Anda di halaman 1dari 19

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kanker sistem hematopoietik merupakan gangguan akibat poliferasi sel


keganasan yang berasal dari sumsum tulang, timus, dan jaringan limfatik. Sel
darah berasal dari sumsum tulang disebut sel hematopoietik; sel yang berasal
dari limfa disebut sel limfoid. Leukemia adalah kanker sumsum tulang.

Leukemia merupakan penyakit maligna yang disebabkan abnormal


overproduksi dari tipe sel darah putih tertentu, biasanya sel-sel imatur dalam
sumsum tulang. Karakteristik dari leukemia adalah sel-sel yang abnormal, tidak
terkontrolnya poliferasi dari satu tipe darah putih seperti granulosit, limfosit,
monosit (Tarwoto, 2008).

Leukemia adalah penyakit keganasan organ pembentuk darah. American


Cancer Society memperkirakan bahwa pada tahun 2007, sekitar 44.240 kasus
baru leukemia akan terdiagnosis dan sekitar 21.790 kematian berhubungan
dengan penyakit ini. Leukemia adalah keganasan paling umum pada anak-anak
dan dewasa muda. Separus dari keseluruhan leukemia diklasifisikasikan sebagai
akut dengan onset cepat dan progresif penyakit mengakibatkan 100% kematian
dalam beberapa hari sampai beberapa bulan tanpa terapi yang tepat sisanya
diklasifikasikan sebagai kronis memiliki perjalanan lebih lambat. Pada anak-
anak, 80% leukemia adalah limfositik dan 20% adalah nonlimfositik. Pada orang
dewasa orang dewasa presentasenya terbalik, dengan 80% nonlimfositik.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa definisi dari leukemia ?


b. Bagaimana etiologi dari leukimia ?
c. Bagaimana patofisiologi dari leukemia ?
d. Apa saja manifestasi klinis dari leukemia ?
e. Bagaimana WOC dari leukemia ?
f. Apa saja pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari leukemia ?
g. Bagaimana penatalaksanaan dari leukemia ?
h. Apa saja diagnosa keperawatan dari leukemia ?

1.3 Tujuan Umum

Memahami dan menerapkan asuhan keperawatan terhadap klien dengan


gangguan sistem hematologi : leukemia secara komprehensif meliputi aspek
biopsikososio dan spiritual.

1.4 Tujuan Khusus


a. Mampu melaksanakan pengkajian terhadap klien dengan gangguan sistem
hematologi : leukemia.
b. Mampu mendiagnosa keperawatan sesuai dengan prioritas masalah.
c. Mampu membuat rencana tindakan dan rasional dalam praktek nyata sesuai
dengan masalah yang diprioritaskan.
d. Mampu melaksanakan tindakan dalam praktek nyata sesuai dengan masalah
yang telah diprioritaskan.
e. Mampu menilai dan mengevaluasi hasil dari tindakan yang telah
dilaksanakan pada klien leukemia.
f. Mampu mendokumentasikan rencana tindakan asuhan keperawatan yang
telah dilaksanakan.
Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi

Leukemia adalah produksi sel darah putih yang tidak terkontrol


disebabkan oleh mutasi yang bersifat kanker pada sel mielogen atau sel limfogen
yang biasanya ditandai dengan jumlah sel darah putih abnormal yang sangat
meningkat dalam sirkulasi darah (Guyton & Hall; 2008).

Leukemia adalah suatu penyakit keganasan pada sistem hematopoiesis


yang menyebabkan proliferasi sel darah yang tidak terkendali (Kliegman,2007).
Leukemia adalah poliferasi sel lekosit yang abnormal, ganas, sering
disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan
dapat menyebabkan anemia, trombisitopeni dan diakhiri dengan kematian
(Dalam Nanda, 2015)

Secara sederhana leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan maturasi


sel dan tipe sel asal yaitu :

1. Leukemia Akut

Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang yang


berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah
abnormal (blastosit) yang disertai dengan penyebaran ke organ-organ lain.
Leukemia akut memiliki perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan
penderita akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan.

a. Leukemia Limfositik Akut (LLA); LLA merupakan jenis leukemia


dengan karakteristik adanya poliferasi dan akumulasi sel-sel
patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali
(pembesaran organ dalam) dan kegagalan organ. LLA lebih sering
ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%).
Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun. Tanpa
pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2-3 bulan setelah
terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari sumsum
tulang.
b. Leukemia Mielostik Akut (LMA); LMA merupakan leukemia yang
mengenai sel stem hematopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua
sel mieloid. LMA merupakan leukemia non limfositik yang paling
sering terjadi. Lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%)
dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya mendadak dan
progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang
singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3 sampai 6 bulan.
2. Leukemia Kronik
Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai poliferasi
neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau terjadi karena keganasan
hematologi.
a. Leukemia Limfositik Kronik (LLK); LLK adalah suatu keganasan
klonal limfosit B (jarang pada limfosit T). Perjalanan penyakit ini
biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif yang berjalan lambat
dari limfosit kecil yang berumur panjang. LLK cenderung dikenal
sebagai kelainan ringan yang menyerang individu berusia 50 sampai
70 tahun dengan perbandingan 2:1 untuk laki-laki.
b. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK); LGK/LMK
adalah gangguan mieloproliteratif yang ditandai dengan produksi
berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang.
LGK/LMK mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai
pada orang dewasa usia pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas
genetik yang dinamakan kromosom philadelphia ditemukan pada 90-
95% penderita LGK/LMK. Sebagian besar penderita LGK/LMK
akan meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut fase krisis
blastik yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit, biasanya serupa
mieloblas/promielosit, disertai produksi neutrofil, trombosit dan sel
darah merah yang amat kurang.

2.2 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor
predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :

1. Faktor genetik: virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan


struktur gen ( Tcell Leukemia-lhymphoma Virus/ HLTV)
2. Radiasi
3. Obat obatan imunosupresif, obat – obatan kardiogenik seperti
diethylstilbestrol
4. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot
5. Kelainan kromosom, misalnya pada down sindrom
Leukemia biasanya mengenai sel – sel darah putih. Penyebab dari
sebagaian besar jenis leukemia tidak di ketahui. Pemaparan terhadap
penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu (benzena) dan pemakaian
obat anti kanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia. Orang yang
memiliki kelainan genetic tertentu (misalnya sindroma Down dan
sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.

2.3 Patofisiologi

Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel
darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap
infeksi. Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang
termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai
oksigen pada jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan
seluruh kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan
kembali), delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih
mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap
menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah
putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan.
Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari
kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom
mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah
tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum
tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah
yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk
hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal, dan otak.

2.4 Manifestasi Klinis / Tanda dan Gejala

1. Leukemia Mielositik Akut


a. Rasa lemah, pucat, nafsu makan hilang
b. Anemia
c. Perdarahan, petekie
d. Nyeri tulang
e. Infeksi
f. Pembesaran kelenjar getah bening, limpa, hati dan kelenjar mediatinum
g. Kadang – kadang ditemukan hipertrofi gusi khususnya pada M4 dan M5
h. Sakit kepala

2. Leukemia Mielositik Kronik


a. Rasa lelah
b. Penurunan berat badan
c. Rasa penuh di perut
d. Kadang – kadang rasa sakit di perut
e. Mudah mengalami perdarahan
f. Diaforesis meningkat
g. Tidak tahan panas
3. Leukemia Limfositik Akut
a. Malaise, demam, letargi, kejang
b. Keringat pada malam hari
c. Hepatosplenomegali
d. Nyeri tulang dan sendi
e. Anemia
f. Macam – macam infeksi
g. Penurunan berat badan
h. Muntah
i. Gangguan penglihatan
j. Nyeri kepala

4. Leukemia Limfositik Kronis


a. Mudah terserang infeksi
b. Anemia
c. Lemah
d. Pegal – pegal
e. Trombositopenia
f. Respons antibodi tertekan
g. Sintesis immonuglobin tidak cukup
2.5 WOC Leukemia
2.6 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Fisik

Untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali (86%), hepatomegali,


limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, dan perdarahan retina. Pada
penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi yang mudah berdarah. Kadang-kadang
ada gangguan penglihatan yang disebabkan adanya perdarahan fundus oculi.
Pada penderita leukemia jenis LLK ditemukan hepatosplenomegali dan
limfadenopati. Anemia, gejala-gejala hipermetabolisme (penurunan berat badan,
berkeringat) menunjukkan penyakitnya sudah berlanjut. Pada LGK/LMK
hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Selain itu Juga
didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang
terdapat purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar getah bening
dan kadangkadang priapismus.

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi


dan pemeriksaan sumsum tulang, seperti :

1. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%) dan


kadang-kadang leukopenia (25%). Pada penderita LMA ditemukan penurunan
eritrosit dan trombosit. Pada penderita LLK ditemukan limfositosis lebih dari
50.000/mm3, sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan leukositosis lebih
dari 50.000/mm3.

2. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut ditemukan


keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia
(blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang
tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam
sumsum tulang. Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi merata oleh
limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih 95%
pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit sedangkan pada penderita
LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah
megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari
30.000/mm3.

2.7 Penatalaksaan

1. Kemoterapi

A. Kemoterapi pada penderita LLA

Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua


fase yang digunakan untuk semua orang.

a. Tahap 1 (terapi induksi)

Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian


besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi
kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang karena
obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses membunuh sel
leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi yaitu
daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.

b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)

Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi


yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah
relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan
setelah 6 bulan kemudian.
c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)

Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP.


Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang
lebih rendah. Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda,
kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah leukemia
memasuki otak dan sistem saraf pusat.

d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)

Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap


ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang membaik
dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai
remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai
remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang
dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan
SSP.

B. Kemoterapi pada penderita LMA

a. Fase induksi

Fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif, bertujuan untuk


mengeradikasi sel-sel leukemia secara maksimal sehingga tercapai remisi
komplit. Walaupun remisi komplit telah tercapai, masih tersisa sel-sel leukemia
di dalam tubuh penderita tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini
berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa yang akan datang.

b. Fase konsolidasi

Fase konsolidasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari fase induksi.


Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis
yang digunakan pada fase induksi. Dengan pengobatan modern, angka remisi
50-75%, tetapi angka ratarata hidup masih 2 tahun dan yang dapat hidup lebih
dari 5 tahun hanya 10%.
C. Kemoterapi pada penderita LLK

Derajat penyakit LLK harus ditetapkan karena menetukan strategi terapi


dan prognosis. Salah satu sistem penderajatan yang dipakai ialah klasifikasi Rai
:

a. Stadium 0 : limfositosis darah tepi dan sumsum tulang

b. Stadium I : limfositosis dan limfadenopati

c. Stadium II : limfositosis dan splenomegali/ hepatomegali

d. Stadium III : limfositosis dan anemia (Hb < 11 gr/dl)

e. Stadium IV : limfositosis dan trombositopenia

Terapi untuk LLK jarang mencapai kesembuhan karena tujuan terapi


bersifat konvensional, terutama untuk mengendalikan gejala. Pengobatan tidak
diberikan kepada penderita tanpa gejala karena tidak memperpanjang hidup.
Pada stadium I atau II, pengamatan atau kemoterapi adalah pengobatan biasa.
Pada stadium III atau IV diberikan kemoterapi intensif.

Angka ketahanan hidup rata-rata adalah sekitar 6 tahun dan 25% pasien
dapat hidup lebih dari 10 tahun. Pasien dengan sradium 0 atau 1 dapat bertahan
hidup rata-rata 10 tahun. Sedangkan pada pasien dengan stadium III atau IV
rata-rata dapat bertahan hidup kurang dari 2 tahun.

D. Kemoterapi pada penderita LGK/LMK

a. Fase Kronik Busulfan dan Hidroksiurea

Merupakan obat pilihan yag mampu menahan pasien bebas dari gejala
untuk jangka waktu yang lama. Regimen dengan bermacam obat yang intensif
merupakan terapi pilihan fase kronis LMK yang tidak diarahkan pada tindakan
transplantasi sumsum tulang.

b. Fase Akselerasi
Sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respons sangat rendah.

2. Radioterapi

Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh selsel


leukemia. Sinar berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain
dalam tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi
gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar gamma.
Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan
karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.

3. Transplantasi Sumsum Tulang

Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang


yang rusak dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat
disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu,
transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang
rusak karena kanker. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80% angka
keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun setelah
terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai.
Pada penderita LMA transplantasi bisa dilakukan pada penderita yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang
pada awalnya memberikan respon terhadap pengobatan.

4. Terapi Suportif

Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan


penyakit leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah
untuk penderita leukemia dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk
mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.
2.8 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakseimbangan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplai darah


keperifer (anemia)

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan


proliferative gastrointestinal dan efek toksik obat kemoterapi

3. Resiko perdarahan b.d penurunan jumlah trombosit

4. Resiko infeksi b.d menurunnya sistem pertahanan tubuh

5. Nyeri akut b.d ilfiltrasi leukosit jaringan sistemik

6. Hambatan mobilitas fisik b.d kontraktur, kerusakan integritas struktur


tulang, penurunan kekuatan otot (depresi sumsum tulang)
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Biodata
Nama : An. A
Umur : 5 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Belum Menikah
Alamat : LA
No. Rm : 01-16-66-76
Tanggal dirawat : 24 April 2013
Alamat : LA

3.2 Riwayat penyakit


a. Keluhan Utama
Nyeri tulang sering terjadi, lemah, nafsu makan menurun, demam (jika
disertai infeksi) juga disertai dengan sakit kepala, pucat, letih, lunglai, lesu.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Pada penderita sering di temukan riwayat keluarga yang terpapar oleh bahan
kimia ( benzene dan arsen ) ; infeksi virus ( Epstein barr, HTLV-1 ) ;
kelainan kromosom dan penggunaan obat-obatan seperti phenylbutazone
dan chloromphenycol ; serta terapi radiasi maupun kemoterapi.
c. Riwayat kelahiran anak :
1) Prenatal
2) Natal
3) Post natal
d. Riwayat keluarga
Insiden LLA lebih tinggi berasal dari saudara kandung anak-anak yang terserang
terlebih pada kembar monozigot (identik).
3.3 Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum tampak lemah
Kesadaran composmentis selama belum terjadi komplikasi.
b. Pemeriksaan Kepala Leher
c. Rongga mulut : apakah terdapat peradangan (infeksi oleh jamur atau bakteri),
perdarahan gusi
d. Konjungtiva : anemis atau tidak. Terjadi gangguan penglihatan akibat
infiltrasi ke SSP.
e. Pemeriksaan Integumen
Adakah ulserasi ptechie, ekimosis, tekanan turgor menurun jika terjadi
dehidrasi
f. Pemeriksaan Dada dan Thorax
1) Inspeksi bentuk thorax, adanya retraksi intercostae.
2) Auskultasi suara nafas, adakah ronchi (terjadi penumpukan secret
akibat infeksi di paru), bunyi jantung I, II, dan III jika ada
3) Palpasi denyut apex (Ictus Cordis)
4) Perkusi untuk menentukan batas jantung dan batas paru.
g. Pemeriksaan Abdomen
1) Inspeksi bentuk abdomen apakah terjadi pembesaran, terdapat
bayangan vena
2) auskultasi peristaltic usus,
3) palpasi nyeri tekan bila ada pembesaran hepar dan limpa.
h. Pemeriksaan persistem

a) B1 ( Breathing )

Anak lebih mudah mengalami kelelehan serta sesak saat beraktifitas


ringan. Dapat di temukan adanya dispnea, takipnea, batuk, ronki, dan penurunan
suara napas

b) B2 ( Bleeding )
Penderita mudah mengalami pendarahan spontan yang tidak terkontrol
dengan trauma minimal, gangguan visual akibat pendarahn retina, demam, lebam,
perdarahan gusi, dan epitaksis. Keluhan berdebar, takikardia, suara murmur
jantung kulit dan mukosa pucat.

c) B3 ( Brain )
Keluhan nyeri abdominal , sakit kepala, nyeri persendian, dada terasa
lemas, kram pada otot, meringis, kelemahan dan hanya berpusat pada diri sendiri.

d) B5 ( Bowel )
Anak sering mengalami menurunan nafsu makan, anoreksia, muntah,
perubahan sensasi rasa, penurunan berat badan, dan gangguan menelan.
Dari pemeriksaan fisik di dapatkan adanya distensi abdomen, penurunan bising
usus, pembesaran limpa, pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah putih yang
berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis, ulserasi oral, dan adanya
pembesaran gusi ( bisa menjadi indikasi terhadap acute monolytic leukemia ).
f) B6 ( Bone )
Berikut ini akan di jelaskan mengenai dampak terhadap pola tidur, pola
latihan, dan aktivitas
1) pola istirahat dan tidur
anak memperhatikan penurunan aktifitas dan lebih banyak waktu yang di
habiskan untuk tidur/istirahat karena mudah mengalami kelelahan.
2) pola latihan
penderita sering di temukan mengalami penurunan koordinasi dalam
pergerakkan keluhan nyeri pada sendi atau tulang. Anak sering dalam keadaan
umum lemah, rewel, dan ketidakmampuan melaksanakan aktifitas sehari-hari
dari pemeriksaan fisik di dapatkan penurunan tonus otot, kesadaran samnolen,
kelainan jantung berdebar-debar ( palpitrasi ), adanya murmur kulit pucat,
membran mukosa pucat.serta penurunan fungsi saraf cranial, dengan atau di
sertai tanda tanda pendarahan serebral.
3.4 Analisa Data
Symtomp Problem Etiologi
1. Ds : Nyeri akut Leukimia
Do : pembesaran
limpa, Sel darah putih imatur
pembesaran hepar
Penurunan daya tahan
tubuh

Produksi sel darah merah


menurun

Anemia

Hepatomegali,
splenomegali

Produksi trombisit
menurun

Nyeri akut

3.5 Diagnosa Keperawatan

Nyeri akut berhubungan dengan ilfiltrasi leukosit jaringan sistemik


3.6 Intervensi Keperawatan

NO Diagnosa Tujuan & intervensi rasional


Keperawatan kriteria hasil
1. Nyeri akut Setelah 1. Kaji skala nyeri 1. menganjurkan pasien
berhubungan dilakukan pasien. untuk melokalisasi/
dengan tindakan 2. Ajarkan pasien mengetahui kuantitas
ilfiltrasi keperawatan untuk nyeri yang menunjukkan
leukosit selama 2x24 menggunakan perubahan adanya
jaringan jam diharapkan teknik relaksasi. perbaikan.
sistemik masalah dapat 3. berikan 2. memfokuskan kembali
teratasi dengan kompres hangat secara langsung dari
kriteria hasil: pada pasien . perhatian / persepsi dan
-Nyeri 4. kolaborasi meningkatkan koping
berkurang. dengan dokter yang dapat membantu
-Penurunan dalam pemberian menghilangkan rasa
skala nyeri. analgetik untuk nyeri.
-Ungkapan rasa mengurangi nyeri. 3. Membantu pasien
nyaman setelah mendapatkan control
nyeri berkurang perasaan tidak nyaman
secara konstan yang
disebabkan oleh
parestesia dan
menurunkan
kekakuan/nyeri pada
otot.
4. Sebagai anti nyeri

Anda mungkin juga menyukai