Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PRAKTEK FITOTERAPI

“GANGGUAN LIVER”

SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK B1


ANGGOTA:

Ainun Fatuta Almujiasih (NIM. 165070500111014)


Avira Hajar S (NIM. 165070500111018)
Ayu Budi Lestari (NIM. 155070501111025)
Daniel Matin A. G (NIM. 155070500111027)
Dhiana Lu’lu’il F (NIM. 165070500111016)
Imroatul Hasanah (NIM. 165070500111010)
Eki Mayuka Trisnawati (NIM. 165070500111012)
Diska Yuniarohim (NIM. 165070500111004)

Fitria Febriliani Putri (NIM. 165070500111008)


Linda Wandini Putri (NIM. 165070500111002)
Malyda Savira (NIM. 165070500111022)
Muhammad Fahmi Hidayat (NIM. 165070500111020)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2019/2020
BAB I

PATOFISIOLOGI

Penyakit liver kronik dan paparan substansi yang sifatnya hepatotoksik menyebabkan

kerusakan pada jaringan normal yang terdapat di liver. Hal ini memicu terjadinya respon

inflamasi dan sekresi kolagen yang abnormal. Manifestasi awal dari inflamasi dan sekresi

kolagen tersebut adalah fibrosis hepatik. Fibrosis didefinisikan sebagai akumulasi protein

berlebih (seperi kolagen) pada matriks ekstraseluler hepar. Akumulasi protein merupakan

respon tubuh untuk mengatasi inflamasi yang terjadi, namun bila terjadi penumpukan

berlebih dari protein tersebut terjadi penyakit yang disebut dengan sirosis. Sirosis, berasal

dari Bahasa yunani, kirrhos, yang berarti berwarna oranye/jingga, yang ditujukan pada warna

jingga yang nampak sebagai manifestasi dari kondisi patologis yang terjadi di hepar. Secara

histologis, sirosis nampak melalui tiga kriteria ; kelainan difusi, keberadaan fibrosis, dan

adanya nodul abnormal yang mengganti atau menutupi jarringan normal liver. Ketika

jaringan fibrosis menggantikan jaringan normal, resistensi aliran darah menyebabkan portal

hipertensi dan memicu terjadinya asites dan varises. Penurunan kadar hepatosit dan peralihan

jalur laju darah inilah yang menyebabkan terjadinya ensefalopati hepatik dan koagulopati.

(Dipiro et al, 2008)

Hepatik ensefalopati adalah suatu gangguan fungsi otak yang dipicu oleh

abnormalitas metabolic. Hepatik enselopati dapat disebabkan oleh alterasi ammonia,

glutamate, agonis reseptor benzodiazepine, asam amino aromatik, dan nilai mangan.

Manifestasi klinis dari hepatik ensefalopati dihasilkan dari akumulasi substansi nitrogen yang

teralirkan secara sistemik. Substansi ini kemudian memasuki system saraf pusat dan

mengalterasi neurotransmisi yang terdapat dalam SSP, sehingga mempengaruhi kesadaran

dan perilaku penderita. Meski demikian, kadar ammonia dalam darah tidak memiliki
keterkaitan yang bermakna terhadap perubahan kesadaran. Terdapat tiga tipe hepatik

ensefalopati, yakni tipe A (diinduksi oleh gagal ginjal akut), tipe B (dipicu oleh portal

systemic bypass tanpa penyakit liver), dan tipe C (umumnya bersamaan dengan kejadian

sirosis hepatikum). (Wells et al, 2015)

Asites (berasal dari Bahasa yunani, askos yang berarti kantung air) adalah sebuah

kondisi patologis dimana cairan limpa terakumulasi pada rongga peritoneal. Faktor pencetus

terjadinya asites adalah multifactorial. Pada umumnya, asites merupakan gejala awal

terjadinya sirosis hepatikum. Perkembangan asites berhubungan dengan vasodilatasi

pembuluh darah arteri dan penurunan tahanan perifer yang memicu aktivasi baroreseptor

pada ginjal dan aktivasi system renin-angiotensin-aldosterone, aktivasi system saraf simpatis,

dan pelepasan hormone antidiuretic sebagai reaksi hipotensi arteri. Perubahan-perubahan tsb.

menyebabkan retensi sodium dan retensi air. (Dipiro et al, 2008)

Tabel 1 Patogenesis terjadinya asites (Dipiro et al, 2008)


BAB II

KASUS DAN ANALISA

2.1 Kasus Fitoterapi

Seorang pasien Tn.G (60 tahun) dibawa ke rumah sakit dan diketahui

menderita ensefalopati. Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa HbsAg (+); Anti-Hbc

IgM (-); HbeAg (-). Nilai pemeriksaan AST 153 IU/L; ALT 90 IU/L; bilirubin 1,4

mg/dl; dan INR 1,3. Tn.G juga diketahui mengalami ascites sedang (mild to

moderate). Nilai BUN adalah 34 dan serum kreatinin 1,5. Pasien mendapatkan terapi

lamivudine.

Pertanyaan :

1. Bagaimana mekanisme terjadinya ensefalopati dan ascites pada pasien tersebut?


2. Apakah tujuan pengobatan dengan Lamivudin? Jelaskan mekanisme kerjanya!
3. Jelaskan interpretasi data laboratorium yang dilakukan pasien!
4. Sebagai apoteker anda diminta menberikan rekomendasi obat herbal dengan fungsi

sebagai berikut:
a. Antivirus
b. Hepatoprotektif
c. Antifibrosis
Sebutkan nama tanaman, kandungan senyawa aktif, mekanisme kerja, dan dosis/cara

preparasi masing-masing!
5. Jelaskan potensi efek samping dan interaksi yang terjadi!

2.2 Analisis Kasus

Pasien Tn.G berusia 60 tahun, datang ke rumah sakit, di ketahui pasien

menderita ensefalopati dan ascites sedang (mild to moderate). Ensefalopati hepatik

merupakan sindrom neuropsikiatri yang diakibatkan oleh peningkatan neurotoksin

atau toksisitas ammonia yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat

dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan

perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan di


otak yang mendasarinya. Secara fisiologis, amonia akan dimetabolisme oleh hati

menjadi urea dan glutamin. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika

terjadi gagal hati di mana otot rangka memegang peranan penting dalam metabolisme

amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin melalui jalur glutamin sintetase.

Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh

keseimbangan asam basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim

glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia.

Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk amonium

(NH4+) dan urea, ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH

tubuh. Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses

detoksifikasi. Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat

menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting

portosistemik yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran

sistemik tanpa melalui hati. Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko

toksisitas amonia. Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak untuk amonia pada

pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi

melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Peningkatan

kadar neurotoksin mengakibatkan terganggunya fungsi neuron, sitotoksisitas,

pembengkakan sel dan pengurangan glutamate (Prio dan aditya, 2011)

Sedangkan asites yang dialami pasien dapat terjadi karena banyak hal seperti

adanya hipertensi porta. Asites adalah penimbunan cairan abnormal dirongga

peritoneum yang disebabkan oleh sirosis hati dan hipertensi porta. Sirosis hati akan

menyebabkan vasokonstriksi danfibrotisasi sinusoid yang berakibat pada terjadinya

peningkatan resistensi system porta yang berujung kepada hipertensi porta. Hipertensi

porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah splanknik)
akibat adanya vasodilator endogen (NO, endotelin, dll). Dengan adanya vasodilatasi

splanknik tadi, akan menyebabkan peningkatan aliran darah dan membuat hipertensi

porta menetap. Vasodilatasi pembuluh darah splanknik juga akan memperngaruhi

sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer. Respon tubuh akan

meningkatkan aktivitas system syaraf simpatik dan sumbu system renin-angiotensin-

aldosteron serta arginine vasopressin, sehingga akan meningkatkan reabsorpsi natrium

dan ginjal diikuti dengan reabsorpsi (N2O) dan menyebabkan semakin banyak cairan

yang terkumpl di rongga peritoneal. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan

transudasi pada daerah sinusoid dan kapiler usus, sehingga transudate akan terkumpul

di rongga peritoneum dan menyebaban asites (Setiawan, 2017).

Berdasarkan data Lab didapatkan HbsAg (+), Anti-Hbc IgM (-), HbeAg

(-),AST 153 IU/L, ALT 90 IU/L, bilirubin 1,4 mg/dl, INR 1,3, BUN 34 dan serum

kreatinin 1,5. Pada pasien, HbsAg (+) menandakan bahwa pada tubuh pasien terdapat

virus Hepatitis B dengan Anti-Hbc IgM (-) untuk mendeteksi antibodi IgM dan

dinyatakan negatif menunjukkan infeksi kronis atau pernah terinfeksi virus Hepatitis

B serta HbeAg (-) menandakan tidak terjadinya replikasi. INR 1,3 menunjukkan

bahwa pasien rentan mengalami pendarahan. AST pasien ialah 153 IU/L sedangkan

kadar normalnya ialah 5-43 yang menandakan kadar AST pasien Tinggi dengan ALT

pasien 90 IU/L sedangkan kadar normal ialah 5-60 yang menandakan kadar ALT

pasien Tinggi. Hal ini menggambarkan berat ringannya proses nekroinflamasi.

Apabila tidak diTerapi dapat menjadi fibrosis dan sirosis. Bilirubin pasien ialah 1,4

mg/dL yaitu Normal. Kadar kreatinin dalam darah digunakan untuk menilai fungsi

ginjal. Serum Kreatinin pasien adalah 1,5 dengan normalnya 0,6-1,2 mg/dL

menandakan kadar serum kreatinin Tinggi. Hal ini menunjukkan adanya gangguan
fungsi ginjal. Nilai BUN pasien ialah 34 yang dikategorikan Tinggi menunjukkan

fungsi ginjal tidak bekerja dengan baik.


BAB III

REKOMENDASI TERAPI

3.1 Tanaman yang Direkomendasikan

3.1.1 Hepatoprotektor

a. Kunyit (Curcuma domestica)

Senyawa yang terkandung : Kurkumin

Mekanisme kerja :

 Menghambat siklooksigenase dan sebagai antioksidan.


 Menghambat iNOS (inducible nitric oxide synthase) pada studi antikanker
dengan mekanisme yang melibatkan factor transkripsi pro-inflamasi NFi-kB
serta menghambat aktivitas dari factor transkripsi lainnya.
Posologi : 500 mg kurkumin/hari selama 7 hari secara peroral

b. Milk Thistle (Silybum marianum)

Senyawa yang terkandung : Silymarin (silyandin, silichristin, silibinin)

Mekanisme kerja :
 Sebagai antioxidant
 Detoksifikasi fenol dan substansi toxic lainnya dengan aktivasi enzim yang terlibat
dalam jalur biosintesis UDP-asam glukoronat
 Meningkatkan sintesis DNA dan stimulasi DNA polymerase, peningkatan sintesis
RNA ribosomal dan stimulasi regenerasi liver, menstabilkan membran sel dan
meningkatkan glutation di liver

Posologi : 420 mg silymarin dalam tiga dosis terbagi. Dikonsumsi


sebelum sarapan dan sebelum makan malam

c. Meniran (Phylantus niruri)

Senyawa yang terkandung : Phyllantantin dan Hypophyllanthin


Meknisme kerja :
 Antioksidan
 Antihepatoksik terhadap CCl4 dan galaktosamin
 Meningkatkan viabilitas hepatosit, mencegah pelepasan enzim-enzim hepar,

menurunkan peroksidasi lipid dan meningkatkan glutation


Posologi : Herba segar diserbuk dan digerus dengan 300 ml air

dengan suhu 90 C selama 15 menit. Atau 2x1 kapsul

(25 mg ekstrak/hari)

3.1.2 Antivirus

a. Astragalus membranaceus

Astragalus memiliki kandungan senyawa aktif saponin triterpenoid (termasuk

astragalosida I sampai VIII), isoflavonoid (termasuk formononetin), polisakarida,

Fitosterol, flavonoid, essential oil, asam amino (asam gammaaminobutyric,

canavanine). Astragalus menunjukkan aktivitas antigen-inaktifasi antigen yang aktif

terhadap permukaan hepatitis B, dengan menghambat aktivitas murine retroviral

reverse transcriptase dan DNA polymerases manusia. Astragalus polisakarida memiliki

efek penghambatan yang lemah pada virus hepatitis B pada tikus, tetapi astragaloside

IV cukup aktif terhadap virus in vitro.

dosis/ cara preparasi:

Root kering untuk rebusan; ekstrak cair, tablet dan kapsul; akar bubuk.

 10 hingga 30 g / hari dari akar kering dengan rebusan.


 4 hingga 8 mL / hari ekstrak cair 1: 2 atau dosis setara ekstrak kering dalam bentuk

tablet atau kapsul.

b. Phyllanthus niruri

Phyllanthus niruri memiliki kandungan senyawa aktif seperti flavonoid,

alkaloid, terpenoid, lignans, polifenol, tanin, coumarin dan saponin.


Obat herbal alternatif yang menggunakan ekstrak Phyllanthus niruri telah terbukti

efektif melawan Hepatitis B dan infeksi virus lainnya. Sebuah studi melaporkan

penentuan kuantitatif efek anti-virus herbal dalam sistem in vitro yang terdefinisi

dengan baik. Phyllanthus niruri telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antigen anti-

virus B dalam studi in-vivo dan in-vitro. Dalam sebuah penelitian, 37 pasien dengan

virus hepatitis B kronis diobati dengan dosis harian 600mg Phyllanthus niruri selama

30 hari. 59% pasien mengalami penurunan HBsAg pada dua minggu setelah akhir

pengobatan. Selanjutnya, tidak satu pun kasus yang diikuti sampai 9 bulan memiliki

gejala HBsAg. Phyllanthus niruri dapat menghambat proliferasi virus dengan

menghambat replikasi bahan genetik virus.

Untuk mengobati hepatitis B, 200-1,100 miligram Phyllanthus niruri kering dapat

diminum tiga kali sehari hingga tiga bulan. Apabila HbsAg pasien masih tinggi maka

pasien dianjurkan mengkonsumsi dalam bentuk kapsul dengan dosis 600 mg/ hari

selama 30 hari. Namun apabila data lab pasien sudah baik, pasien disarankan

mengkonsumsi ekstrak Phyllantus niruridalam bentuk kapsul dengan dosis 150 mg/hari

(stimuno kapsul 3x1) selama 30 hari.

3.1.3 Antifibrosis

a. Pegagan (Cantella asiatica)

Senyawa: asiatic acid

Mekanisme: AA pada fibrosis dengan penghambatan aktivasi HSC sebagaimana

ditentukan oleh blokade transisi a-SMA + myofibroblast. Penambahan AA mampu

menghalangi akumulasi sel a-SMA + sepanjang septa fibrotik. Penambahan AA secara


signifikan menghambat ekspresi kolagen I-SMA1 dan mRNA yang tidak terpengaruh

TGF-beta1 (Kumar dan Gupta, 2006).

Dosis dan preparasi: Dosis kapsul 1–2 g 3x1. Pada sediaan memiliki kekuatan 400

mg sehingga dapat dikonsumsi 3x3 caps. Tiap kemasan mengandung 60 kapsul

dengan harga Rp 32.000.

Efek Samping : sakit kepala, sakit perut, mual, iritasi mukosa lambung, reflux,

pusing, rasa kantuk yang berlebihan, kulit terasa seperti terbakar atau perih,

serta alergi (Katno, 2005).

Interaksi : Menurunkan nilai SGOT/SGPT, meniran jika dikonsumsi dengan

lamivudin dapat menurunkan kadar serum HBeAg (Katno, 2005).

b. Cordyceps (Cordceps sinensis)

Senyawa: Adenosine, alkenoic acid, cordycepin

Mekanisme: inhibisi TGF-beta dengan mengatur faktor pertumbuhan turunan

trombosit (PDGF) dan mengurangi deposisi prokolagen I dan II (Chakraborty et

al., 2014).
Dosis dan preparasi: Dosis kapsul 3 - 4,5 g 2x1 (UMHS, 2015). Pada sediaan

memiliki kekuatan 500 mg sehingga dapat dikonsumsi 3x2 caps. Tiap kemasan

mengandung 60 kapsul dengan harga Rp 370.000.

Efek Samping :mual, pusing, hipoglikemi, keseimbangan hormon, darah encer.

Interaksi : Pada obat anti kolesterol, anti diabetes, anti koagulan, dan sejumlah

obat anti depresan meningkatkan efek sehingga bisa berakibat toksik. Antagonis

dengan imunosupresan (Shersta, 2011).

3.2 Terapi yang Dipilih

3.2.1 Antivirus
Nama tanaman : Astragalus (Astragalus membranaceus)
Senyawa aktif : Kandungan utamanya adalah saponin triterpen, yang meliputi

astragalosida I-VIII dan turunan asetilnya, agroastragalosida I-IV, astramembran I dan

II dan lainnya. Terdapat kandungan isoflavon, terutama glikosida calycosin dan

formononetin, dengan astrapterocarpan, kumatakenin dan banyak turunan hidroksil

dan metoksil dari pterocarpan dan isoflavan, dan serangkaian polisakarida yang

dikenal sebagai astragaloglucans (Williamson dkk., 2009).


Mekanisme Kerja :
- Polisakarida  menginduksi produksi interferon endogen untuk mempotensiasi aksi

IFN pada infeksi virus


- Polisakarida dan flavonoid  menjaga fungsi hepar pada respon hepatotoxin
- flavonoid  antioksidan seluler  menjaga dan melindungi dari perubahan hepar.

Meningkatkan LFT dan aliran darah pada portal vena

Dosis :

- Simplisia : 2 – 30 gram per hari

- Ekstrak cair (1:2) : 4,5 – 8,5 ml per hari

- Dekokta : 8 – 12 gram yang dibagi dalam dua dosis per hari, diminum saat perut

kosong (Braun dan Marc, 2007)


3.2.2 Hepatoprotektif

Nama tanaman : Kunyit (Curcuma domestica)

Senyawa aktif : Kurkuminoid

Mekanisme kerja : Mekanisme hepatoprotektif terjadi karena efek kurkumin sebagai

antioksidan yang mampu menangkap ion superoksida dan memutus rantai antar ion

superoksida (O2) sehingga mencegah kerusakan sel hepar karena peroksidasi lipid

dengan cara dimediasi oleh enzim antioksidan yaitu superoxide dismutase (SOD)

dimana enzim SOD akan mengonversi O2 menjadi produk yang kurang toksik.

Curcumin juga mampu meningkatkan gluthation S-transferase (GST) dan mampu

menghambat beberapa faktor proinflamasi seperti nuclear factor-ĸB (NF-kB) dan

profibrotik sitokin.

Aktifitas penghambatan pembentukan NF-kB merupakan faktor transkripsi sejumlah

gen penting dalam proses imunitas dan inflamasi, salah satunya untuk membentuk

TNF-α. Dengan menekan kerja NF-kB maka radikal bebas dari hasil sampingan

inflamasi berkurang.

Cara preparasi : Sebanyak 0,5-1 gram simplisia direbus dengan air mendidih dalam

penangas air, tutup, diamkan 5 menit dan dalam penangas air, tutup, diamkan 5 menit

dan kemudian dalam penangas air, tutup, diamkan 5 menit dan kemudian saring dan
encerkan dengan perbandingan 1:10. saring dan encerkan dengan perbandingan 1:10.

kemudian saring dan encerkan dengan perbandingan 1:10.

Dosis : 3 x 1 tablet (500 mg ekstrak)/hari, sementara untuk sediaan simplisia 3-9 gram

perhari. Rata-rata dosis adalah 1,5-3 gram. Serbuk harus diminum 2 sampai 3 kali

perhari setelah makan, teh (2 sampai 3 gelas) harus diminum sebelum makan. Dosis

tingtur adalah 10 sampai 15 tetes (0,5-1 ml) 2 sampai 3 kali perhari.

3.2.3 Antifibrosis

Nama Tanaman : Cordyceps sinensis

Senyawa aktif : Cordycepin

Mekanisme Kerja : Cordyceps sinensis memiliki kandungan utama cordycepin

yang berpotensi dalam menghambat Transforming Growth Factor-beta 1 (TGF-β1),

Platelet- derived growth factor (PDGF), Interleukin-2 (IL-2), serta menurunkan aktivasi

Hepatic Stellate Cell (Liu & Shen, 2003).


Kerusakan yang timbul karena toksisitas parasetamol dimediasi oleh zat

reaktifnya, yaitu N-acetylbenzoimiquinone (NAPQI) yang bersifat radikal bebas.

Proses meatbolit ini mengoksidasi sitokrom P450, sehingga terjadinya jejas pada hati

(Albanis et al., 2003).

Ketika berinteraksi dengan lipid dan protein pada sel hepar, radikal bebas ini

menimbulkan peroksidasi asam polienoat pada organel retikulum endoplasma,

kemudian menghasilkan radikal bebas sekunder dari reaksi radikal bebas-lipid

sebelumnya; yakni suatu proses yang disebut reaksi berantai. Peroksidasi lipid ini

memicu kerusakan struktur dan gangguan fungsi membran sel, dan apabila jumlah

parasetamol yang terpapar cukup banyak, terjadi pengosongan glutation hepar sehingga

alur glukoronidasi dan sulfas mengalami kejenuhan yang berdampak pada kematian sel

(Klaassen, 2001). Kerusakan berantai oleh radikal bebas ini akan menimbulkan efek

merugikan yaitu peningkatan stres peroksidatif yang mengakibatkan kerusakan sel.

Kerusakan ini dapat dinetralkan oleh antioksidan (Cotran & Pober, 2007).

Mekanisme aksi antioksidan yang terjadi adalah penghambatan inisiasi serta

propagasi rantai dan atau peningkatan terminasi rantai. Antioksidan dapat diproduksi

oleh tubuh secara fisiologis (endogen) maupun diperoleh melalui diet (eksogen) (Papas,

1999). Kebanyakan sumber alami antioksidan eksogen berasal dari tumbuh-tumbuhan

(fitofarmaka).

Cordyceps sinensis dilaporkan dapat menekan aktivitas peroksidasi lipid,

meningkatan kadar antioksidan endogen glutation dan superoksida dismutase (SOD),

serta meningkatkan rasio adenosin-trifosfat (ATP) terhadap fosfat inorganik yang

mengindikasikan keadaan energi yang tinggi untuk optimalisasi kemampuan perbaikan

sel hepar yang rusak (Liu & Shen, 2003; Holliday et al, 2007). Cordyceps menghambat

fibrogenesis dari kerusakan liver, menurunkan perkembangan sirosis dan


mengembalikan fungsi liver. Stim

WBCs and interleukins, possibly

cytotoxic to cancer cells.

Dosis : Menurut University of

Michigan health-org dosis

Cordyceps yang direkomendasikan

yaitu 3-9 gram 2x1 pada sediaan

ekstrak Cair maupun ekstrak

bubuk. Sementara, menurut Medscape yaitu 3g per hari difermentasi dengan teh, untuk

sediaan ekstrak 1050 mg 2-3kali sehari.

Contoh sediaan jadi :

BAB IV

PEMBAHASAN
4.1 STUDI KASUS

Seorang pasien Tn G (60 tahun) dibawa ke rumah sakit dan diketahui menderita

encefalopati. Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa HbsAg (+); Anti-HBc IgM (-);

HbeAg (-) .Nilai pemeriksaan AST 153, ALT 90 IU/L, bilirubin 1,4 mg/dL dan INR 1,3.

Tn G juga diketahui mengalami ascites sedang (mild to moderate). Nilai BUN adalah 34

dan serum kreatinin 1,5. Pasien mendapatkan terapi lamivudin.

Pertanyaan:

1. Bagaimana mekanisme terjadinya encefalopati dan ascites pada pasien tersebut?


2. Apakah tujuan pengobatan dengan lamivudin ? Jelaskan mekanisme kerjanya!
3. Jelaskan interpretasi data laboratorium yang dilakukan pasien!
4. Sebagai apoteker anda diminta memberikan rekomendasi obat herbal dengan fungsi

sebagai berikut:
a. Antivirus
b. Hepatoprotektif
c. Antifibrosis

Sebutkan nama tanaman, kandungan senyawa aktif, mekanisme kerja, dan dosis/ cara

preparasi masing-masing!

5. Jelaskan potensi efek samping dan interaksi yang terjadi!

4.2 PEMBAHASAN STUDI KASUS

1. Bagaimana mekanisme terjadinya encefalopati dan ascites pada pasien tersebut?


- Encefalopati
Ensefalopati hepatik terjadi akibat peningkatan neurotoksin / toksisitas amonia.

Peningkatan kadar neurotoksin mengakibatkan terganggunya fungsi neuron,

sitotoksisitas, pembengkakan sel dan pengurangan glutamat. Neurotoksin yang

meningkat antara lain amonia, mercaptan, endogenous benzodiazepine, GABA,

phenol, short cain fatty acid, di mana toksin bekerja sinergis dengan hasil

metabolisme bakteri usus pada urea dan protein disertai ketidakmampuan


pembersihan oleh hati yang sudah rusak, yang mengakibatkan konsentrasi amonia

yang meningkat (5-10 kali lebih tinggi pada sistem portal dari hepar). Secara

fisiologis, amonia akan dimetabolisme oleh hati menjadi urea dan glutamin. Otot dan

ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati di mana otot rangka

memegang peranan penting dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia

menjadi glutamin melalui jalur glutamin sintetase. Ginjal berperan dalam produksi

dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa tubuh. Ginjal

memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi

glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan

melalui urin dalam bentuk amonium (NH4+) dan urea, ataupun diserap kembali ke

dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan

mengeluarkan amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis,

penurunan laju filtrasi glomerolus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan

ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonemia. Amonia akan

masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi. Metabolisme oleh

hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia

menjadi urea melalui siklus Krebs-Hensleit dan sel hati yang terletak dekat vena

sentral, di mana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin.


Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan

menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik

yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa

melalui hati. Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas

amonia. Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien

sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi

melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin (Prio dan

Adityo, 2017)
- Ascites
Asites ditandai dengan adanya kelebihan cairan didalam rongga peritoneum.

Asites terjadi karena adanya sirosis hepatik. Terdapat beberapa faktor yang terlibat

dalam pathogenesis asites pada sirosis hati. (1) hipertensi porta, (2) hipoalbuminemia,

(3) meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati, (4) retensi natrium, (5)

gangguan ekskresi air. Mekanisme primer penginduksi hipertensi porta adalah

resistensi aliran darah melalui hati. Hal ini meningkatkan tekanan hidrostatik dalam

jaringan pembuluh darah intestinal. Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya

sintesis yang dihasilkan oleh sel-sel hati yang terganggu. Hipoalbuminemia

menyebabkan menurunnya tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan

hidrostatik yangmeningkat dan menurunnya tekanan osmotik koloid dalam pembuluh

darah intestinal menyebabkanterjadinyan transudasi cairan dari ruang intravaskular ke

ruang interstisia. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi

porta adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi

melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia.

Penimbunan cairan asites merupakan suatu patofisiologis yang kompleks dengan

melibatkan berbagai faktor dan mekanisme pembentukannya, yaitu berdasarkan teori

underfilling, teori overflow dan teori periferal vasodilatation (Setiawan, 2011).

2. Apakah tujuan pengobatan dengan lamivudin ? Jelaskan mekanisme kerjanya!


Berdasarkan gejala yang diderita oleh pasien, diduga pasien mengalami hepatitis B

kronis sehingga terapinya menggunakan lamivudin. Selain itu pasien juga sudah ada

tanda-tanda sirosis seperti ensefalopati hepatik dan ascites. Pemberian lamivudin

sendiri diharapkan dapat mengurangi jumlah virus hepatitis dalam tubuh dan

menghambat progresivitas dari sirosis hati tersebut.


Mekanisme kerja: lamivudin merupakan analog nukleosida. Lamivudin bekerja

dengan menghambat enzim reverse transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi

balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin
menghambat produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat

yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi

(Soemoharjo, 2008)

3. Jelaskan interpretasi data laboratorium yang dilakukan pasien!

Data Lab Hasil Lab Normal Interpretasi

HbsAg + HBs-Ag merupakan antigen

permukaan hepatitis B yang

ditemukan pada 4-12 minggu

setelah infeksi. Hasil positif

menunjukkan hepatitis B akut

(infeksi akut dan kronik),

Bila HbsAg menetap setelah

lebih dari 6 bulan artinya

hepatitis telah berkembang

menjadi kronis.

Anti-HBc - Anti-HBc IgM mendeteksi

IgM hanya antibodi IgM pada

antigen hepatitis B core. Jika

negatif, menunjukkan infeksi

kronis atau pernah terinfeksi

VHB

HbeAg - HbeAg merupakan suatu

protein nonstruktural dari VHB

yang disekresikan ke dalam

darah dan merupakan gen


precore dan gen core.
Jika HbeAg terdeteksi dalam

sampel darah, berarti virus

masih aktif di hari (dan dapat

ditularkan ke orang lain). Jika

negatif, berati bahwa virus

tersebut tidak aktif (tidak ada

replikasi)

AST 153 5-35 SGOT (Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase) atau

juga dinamakan AST (Aspartat

Aminotransferase) merupakan

enzim yang dijumpai dalam otot

jantung dan hati, sementara

dalam konsentrasi sedang

dijumpai pada otot rangka,

ginjal dan pankreas.

Konsentrasi rendah dijum pai

dalam darah, kecuali jika terjadi

cedera seluler, kemudian dalam

jumlah banyak dilepaskan ke

dalam sirkulasi. Pada penyakit

hati, kadarnya akan meningkat

3 kali lebih dan akan tetap

demikian dalam waktu yang

lama.
ALT 90 5-35 SGPT (Serum Glutamic Pyruvic

Transaminase) atau juga

dinamakan ALT (Alanin

Aminotransferase) merupakan

enzim yang banyak ditemukan

pada sel hati serta efektif untuk

mendiagnosis destruksi

hepatoseluler. Enzim ini dalam

jumlah yang kecil dijumpai

pada otot jantung, ginjal dan

otot rangka. Pada umumnya

nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi

daripada SGOT/AST pada

kerusakan parenkim hati akut,

sedangkan pada proses kronis

didapat sebaliknya. Peningkatan

ALT dapat terjadi pada penyakit

hepatoseluler, sirosis, dan

hepatitis

Bilirubin 1,4 - Total ≤ 1,4 mg/dL Batas atas. Bilirubin terjadi dari
SI = <24 μmmol/L
- Langsung ≤ 0,40 hasil peruraian hemoglobin dan

mg/dL merupakan produk antara dalam


SI = <7 μmmol/L
proses hemolisis. Bilirubin

dimetabolisme oleh hati dan

diekskresi ke dalam empedu


* Peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi sedangkan sejumlah kecil

lebih sering terjadi akibat ditemukan dalam serum.

peningkatan pemecahan Peningkatan bilirubin terjadi

eritrosit, sedangkan jika terdapat pemecahan sel

peningkatan bilirubin darah merah berlebihan atau

tidak terkonjugasi lebih jika hati tidak dapat

mensekresikan bilirubin yang


cenderung akibat
dihasilkan.
disfungsi atau gangguan

fungsi hati.

INR 1,3 0,8 – 1,2 Tinggi. Darah lebih lambat

menggumpal, sehingga lebih

mudah mengalami perdarahan.

BUN 34 8 – 24 mg/dl Penetapan kadar ureum dalam

serum mencerminkan

keseimbangan antara produksi

dan ekresi.
Kadar urea darah bisa dicek

lewat sebuah tes yang bernama

tes BUN. Urea adalah zat sisa

buangan dari protein yang

dicerna tubuh. Umumnya, kadar

urea yang tinggi dalam darah

berarti ginjal Anda tidak bekerja

dengan baik

Kreatinin 1,5 0,6 – 1,3 mg/dl Pemeriksaan kadar kreatinin

dalam darah merupakan salah


satu parameter yang digunakan

untuk menilai fungsi ginjal,

karena konsentrasi dalam

plasma dan ekskresinya di urin

dalam 24 jam relatif konstan.

Kadar kreatinin darah yang

lebih besar dari normal

mengisyaratkan adanya

gangguan fungsi ginjal.

4. Sebagai apoteker anda diminta memberikan rekomendasi obat herbal dengan

fungsi sebagai berikut:


a. Antivirus
b. Hepatoprotektif
c. Antifibrosis

Sebutkan nama tanaman, kandungan senyawa aktif, mekanisme kerja, dan

dosis/ cara preparasi masing-masing!

a. Antivirus
Nama tanaman : Astragalus (Astragalus membranaceus)

Senyawa aktif :Kandunganutamanyaadalah saponin triterpen, yang meliputi

astragalosida I-VIII dan turunan asetilnya, agroastragalosida I-IV, astra membran I

dan II dan lainnya. Terdapat kandungan isoflavon, terutama glikosida calycosin dan

formononetin, dengan astrapterocarpan, kumatakenin dan banyak turunan hidroksil

dan metoksildari pterocarpan dan isoflavan, dan serangkaian polisakarida yang

dikenal sebagai astragaloglucans (Williamson dkk., 2009).

MekanismeKerja :

- Polisakarida  menginduksi produksi interferon endogen untuk mempotensiasi

aksi IFN pada infeksi virus


- Polisakarida dan flavonoid  menjaga fungsi hepar pada respon hepatotoxin
- flavonoid  antioksidan seluler  menjaga dan melindungi dari perubahan

hepar. Meningkatkan LFT dan aliran darah pada portal vena

Dosis :

- Simplisia : 2 – 30 gram per hari

- Ekstrak cair (1:2) : 4,5 – 8,5 ml per hari

- Dekokta : 8 – 12 gram yang dibagi dalam dua dosis per hari, diminum

saat perut kosong (Braun dan Marc, 2007)

b. Hepatoprotektif

Nama tanaman :Kunyit(Curcuma domestica)


Senyawa aktif :Kurkuminoid

Mekanisme kerja :

- Mekanisme hepatoprotektif terjadi karena efek kurkumin sebagai antioksidan

yang mampu menangkap ion superoksida dan memutus rantai antar ion

superoksida (O2) sehingga mencegah kerusakan sel hepar karena peroksidasi lipid

dengan cara dimediasi oleh enzim antioksidan yaitu superoxide dismutase (SOD)

dimana enzim SOD akan mengonversi O2 menjadi produk yang kurang toksik.

- Curcumin juga mampu meningkatkan gluthation S-transferase (GST) dan mampu

menghambat beberapa factor proinflamasi seperti nuclear factor-ĸB (NF-kB) dan

profibrotiksitokin.

- Aktifitas penghambatan pembentukan NF-kB merupakan factor transkripsi

sejumlah gen penting dalam proses imunitas dan inflamasi, salah satunya untuk

membentuk TNF-α. Dengan menekan kerja NF-kB maka radikal bebas dari hasil

sampingan inflamasi berkurang.

Cara preparasi : Sebanyak 0,5-1 gram simplisia direbus dengan air mendidih

dalam penangas air, tutup, diamkan 5 menit dan dalam penangas air, tutup, diamkan 5

menit dan kemudian dalampenangas air, tutup, diamkan 5 menit dan kemudian saring

dan encerkan dengan perbandingan 1:10. saring dan encerkan dengan perbandingan

1:10. Kemudian saring dan encerkan dengan perbandingan 1:10.

Dosis : 3 x 1 tablet (500 mg ekstrak)/hari, sementara untuk sediaan

simplisia 3-9 gram per hari. Rata-rata dosis adalah 1,5-3 gram. Serbuk harus diminum

2 sampai 3 kali perhari setelah makan, teh (2 sampai 3 gelas) harus diminum sebelum

makan. Dosis tingtur adalah 10 sampai 15 tetes (0,5-1 ml) 2 sampai 3 kali perhari.
c. Antifibrosis

Nama Tanaman : Cordyceps sinensis

Senyawa aktif : Cordycepin

Mekanisme Kerja : Cordyceps sinensis memiliki kandungan utama cordycepin

yang berpotensi dalam menghambat Transforming Growth Factor-beta 1 (TGF-β1),

Platelet- derived growth factor (PDGF), Interleukin-2 (IL-2), serta menurunkan

aktivasi Hepatic Stellate Cell (Liu & Shen, 2003).

- Kerusakan yang timbul karena toksisitas parasetamol dimediasi oleh zat

reaktifnya, yaitu N-acetylbenzoimiquinone (NAPQI) yang bersifat radikal bebas.

Proses meatbolit ini mengoksidasi sitokrom P450, sehingga terjadinya jejas pada

hati (Albanis et al., 2003).

- Ketika berinteraksi dengan lipid dan protein pada sel hepar, radikal bebas ini

menimbulkan peroksidasi asampolienoat pada organel reticulum endoplasma,

kemudian menghasilkan radikal bebas sekunder dari reaksi radikal bebas-lipid

sebelumnya; yakni suatu proses yang disebut reaksi berantai. Peroksidasi lipid ini

memicu kerusakan struktur dan gangguan fungsi membrane sel, dan apabila
jumlah parasetamol yang terpapar cukup banyak, terjadi pengosongan glutation

hepar sehingga alur glukoronidasi dan sulfas mengalami kejenuhan yang

berdampak pada kematiansel (Klaassen, 2001). Kerusakan berantai oleh radikal

bebas ini akan menimbulkan efek merugikan yaitu peningkatan stress peroksidatif

yang mengakibatkan kerusakan sel. Kerusakan ini dapat dinetralkan oleh

antioksidan (Cotran&Pober, 2007).

- Mekanisme aksi antioksidan yang terjadi adalah penghambatan inisiasi serta

propagasi rantai dan atau peningkatan terminasi rantai. Antioksidan dapat

diproduksi oleh tubuh secara fisiologis (endogen) maupun diperoleh melalui diet

(eksogen) (Papas, 1999). Kebanyakan sumber alami antioksidan eksogen berasal

dari tumbuh-tumbuhan (fitofarmaka).

- Cordyceps sinensis dilaporkan dapat menekan aktivitas peroksidasi lipid,

meningkatan kadar antioksidan endogen glutation dan superoksida dismutase

(SOD), serta meningkatkan rasioa denosin-trifosfat (ATP) terhadap fosfatin

organik yang mengindikasikan keadaan energi yang tinggi untuk optimalisasi

kemampuan perbaikan sel hepar yang rusak (Liu & Shen, 2003; Holliday et al,

2007). Cordyceps menghambat fibrogenesis dari kerusakan liver, menurunkan

perkembangan sirosis dan mengembalikan fungsi liver. Stim WBCs and

interleukins, possibly cytotoxic to cancer cells.

- Dosis : Menurut University of Michigan health-org dosis Cordyceps yang

direkomendasikan yaitu 3-9 gram 2x1 pada sediaan ekstrak Cair maupun ekstrak

bubuk. Sementara, menurut Medscape yaitu 3g per hari di fermentasi dengan teh,

untuk sediaan ekstrak 1050 mg 2-3kali sehari.


- Contoh sediaan jadi :

5. Jelaskan potensi efek samping dan interaksi yang terjadi!


a. Astragalus
Efek samping :

Astragalus bisa membuat sistem

kekebalan tubuh lebih aktif. Hal

ini dapat memperparah gejala

penyakit autoimun seperti

multiple sclerosis (MS), lupus

dan rematik.
Interaksi : astragalus adalah

tanaman yang memiliki efek

merangsang sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu, astragalus kemungkinan

akan memengaruhi efek imunosuppresive dari cyclosporine dan kelas obat

kortison. Hindari penggunaan astragalus pada waktu bersamaan dengan obat

tersebut atau obat immune-modulating lainnya. Akar astragalus juga dapat

membuat tubuh sulit terbebas dari lithium, sehingga tingkat obat tinggi yang

berbahaya dapat terjadi. Suplemen herbal ini dapat berinteraksi dengan


pengobatan lain atau dengan kondisi kesehatan yang anda miliki. Konsultasikan

dengan ahli herbal atau dokter sebelum penggunaan.


b. Kunyit
Efek samping : Penggunaan pada kehamilan dan menyusui harus dengan

pengawasan dokter. Mual pada dosis tinggi.


Interaksi : Dapat meningkatkan aktivitas obat antikoagulan, antiplatelet,

heparin, trombolitik sehingga meningkatkan risiko perdarahan. Interaksi

kurkumin dengan herbal yang lain: Orang sehat diberi 2 g curcumin dikombinasi

dengan 20 mg piperine, bioavailabilitas kurkumin meningkat 20 kali.


c. Cordyceps
Efek Samping : Menurut University of Michigan Health tidak ada studi yang

cukup tentang keamanan Cordyeps. Namun, sejaun ini Cordyceps digunakan

sebagai makanan dan tergolong aman. Tidak ada informasi keamanan pada

penggunaan kehamilan, laktasi ataupun anak-anak.There are two reported cases

of lead poisoning associated with the use of apparently contaminated cordyceps

powder. Cordyceps should only be purchased from companies that test to exclude

heavy metal contamination.


Interaksi : Menurut Medscape dan University of Michigan Health, tidak

ada laporan interaksi Antara cordyceps dengan obat maupun suplemen.


BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa, seorang pasien Tn G (60 tahun)

menderita hepatitis B dengan gejala encefalopati dan ascites sedang (mild to moderate) serta

hasil pemeriksaan HbsAg (+) ; Anti-HBc IgM (-); HbeAg (-). Nilai pemeriksaan AST 153,

ALT 90 IU/L, bilirubin 1,4 mg/dL, dan INR 1,3. Sehingga diberikan terapi Astragalus

(Astragalus membranaceus) sebagai antivirus, Kunyit(Curcuma domestica) sebagai

hepatoprotektif, dan Cordyceps sinensis sebagai antifibrosis.


DAFTAR PUSTAKA

Albanis E.L., Rifaat S.L., and ScottF.L. 2003. Treatment of hepatic fibrosis almost there.

Division of Liver Mount Sinai School of Medicine. New York

http://www.hcvets.com/data/hcv_liver/fibrosis.htm.

Bone, Kerry., dan Simon Mills. 2013. Principles and Practice of Phytotherapy. US:
Elsevier.
Braun, Lesley dan Marc Cohen. 2007. Herbs & Natural Supplement :s An Evidence-based

Guide Second Edition. Australia : Elsevier.

Chakraborty, Sudipta, Sailee Chowdhury,dan Gouranga Nandi. 2014. Review on

Yarsagumba (Cordyceps sinensis) - An Exotic Medicinal Mushroom. International

Journal of Pharmacognosy and Phytochemical Research 2014. 6(2) : 339-346.

Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., dan Michael Posey. 2008.

Pharmacotherapy : A Patophysiological Approach 7th ed. New York : McGraw-

Hill.

Holiday J.C., and Cleaver M. 2004. On the trail of the yak ancient cordyceps in modern

world. http://www.nwbotanicals.org/nwb/lexicon/hybridcordyceps.htm.

Katno, Pramono S. 2005. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat

Tradisional.Yogyakarta : Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu UGM.

Kumar, Verendra dan Gupta. 2006. Centella asiatica. Dalam jurnal penelitian: Provital

Group.

Liu Y.K., Shen W. 2003. Inhibitive effect of cordyceps sinensis on experimental hepatic

fibrosis and its possible mechanism. World.J.Gastroenterol 9(3): page.529-33.

Prio, Prayudo dan Aditya, Wibowo. 2017. Ensefalopati hepatic pada pasien Sirosis hepatic.

Jurnal Medula Unila. 7(2): 90-94.


Setiawan, Meddy. 2011. Hubungan antara kejadian asites pada chirrhosis hepatitis dengan

komplikasi spontaneous bacterial peritonitis. Vol 7, pg: 79-92.

Shrestha B. 2011. Diversity of Cordyceps Fungi in Nepal. Nepal Journal of Science and

Technology 2011; 12:103-110.

Soemoharjo, S. 2008. Hepatitis Virus B. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

UMHS. 2015. Cordyceps. https://www.uofmhealth.org/health-library/hn-3936006 . Diakses

pada 15 Juli 2019.

Wells, Barbara G., Joseph T. Dipiro, Terry L. S., dan Cecily D.. 2015. Pharmacotherapy

Handbook 9th ed. New York : McGraw-Hill.

Williamson, Elizabeth., Samuel Driver dan Karen Baxter. 2009. Stockley’s Herbal

Medicines Interactions. Britain : Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai