Anda di halaman 1dari 19

MODEL KEBIJAKAN PUBLIK - Setiap pimpinan berkewajiban membuat kebijaksanaan,

yang kemudian mengikat bagi setiap orang yang dipimpin, Kebijakan (policy) seringkali
disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan,
ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.

Kebijakan Publik (Public Policy) juga bisa diartikan sebagai keputusan-keputusan yang
mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat
oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan
publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik
atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama
rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara
yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah.

Institusi-institusi pemerintah adalah institusi pembuat kebijakan, sekaligus juga institusi


pelaksana kebijakan. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan
publik kebijakan tersebut adalah bersumber pada masalah-masalah yang tumbuh dalam
mansyarakat luas, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk
mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan
peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk
menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam
masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi .

Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli
kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi
sebuah masalah yang kaku. Namun, diharapkan adanya titik temu dalam persepsi kebijakan
itu sendiri.

Memang dalam kenyataan bahwa kebijakan yang lahir belum tentu menyenangkan dan
dapat diterima oleh semua yang terkena sekaligus pelaksana kebijakan tersebut, mamun
jika kebijakan tersebut tidak diambil, bisa jadi pula dapat merugikan semuanya. Sehingga
dengan demikian kebijakan merupakan suatu keharusan sebagai suatu dinamisasi dalam
penomena dan permaslahan yang ada.

Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan makalah yang berkenaan dengan model-model
kebijakan, dalam kaitannya dengan kebijakan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan
adanya persepsi dan pemahaman tentang model kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri.
A. KONSEP TENTANG MODEL KEBIJAKAN

Ada banyak definisi/pengertian tentang konsep model. Model digunakan karena adanya
eksistensi masalah publik yang kompleks. Model pada hakikatnya merupakan bentuk
abstraksi dari suatu kenyataan (a model is an abstraction of reality).

Disamping itu Model juga merupakan representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang
terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu.
Model kebijakan dinyatakan dalam bentuk konsep/teori, diagram, grafik atau persamaan
matematis.

Dengan model dapat dilakukan analisis yang menjelaskan secara sederhana pemikiran-
pemikiran tentang politik dan kebijakan publik.

B. KARAKTERISTIK MODEL KEBIJAKAN PUBLIK

Secara garis besar bahwa model dalam kebijakan publik itu memiliki karakteristik, sifat dan
ciri tersendiri. Karakteristik tersebut antara lain ialah:

Model dalam kebijakan publik itu harus Sederhana & jelas (clear) Ketepatan dalam
indentifikasi aspek penting dalam problem kebijakan itu sendiri (precise) Menolong untuk
pengkomunikasian (communicable) Usaha langsung untuk memehami kebijakan publik
secara lebih baik (manageable) Memberikan penjelasana & memprediksi konsekuensi
(consequences)

C. MODEL PEMBUATAN KEBIJAKAN

Ada beberapa pendapat para ahli tentang model dalam hal pembuatan kebijakan, antara
lain:

model kebijakan berkembang sesuai dengan kondisi real yang ada. Diantara beberapa
model kebijakan antara lainnya adalah:

1. MODEL ELTE
Kebijakan publik dalam model elite dapat dikemukakan sebagai preferensi dari nilai-nilai
elite yang berkuasa. Teori model elite menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya
dengan kebijakan publik hendaknya dibuat apatis atau miskin informasi.

Dalam model elite lebih banyak mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai elite dibandingkan
dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Sehingga perubahan kebijakan
publik hanyalah dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilai-nilai elite
tersebut yang dilakukan oleh elite itu sendiri.

Dalam model ini ada 2 lapisan kelompok sosial:

a. Lapisan atas, dengan dengan jumlah yang sangat kecil (elit) yang selalu mengatur.

b. Lapisan tengah adalah pejabat dan administrator.

c. Lapisan bawah (massa) dengan jumlah yang sangat besar sebagai yang diatur.

Isu kebijakan yang akan masuk agenda perumusan kebijakan merupakan kesepakatan dan
juga hasil konflik yang terjadi diantara elit politik sendiri. Sementara masyarakat tidak
memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini tentang isu kebijakan yang
seharusnya menjadi agenda politik di tingkat atas. Sementara birokrat/administrator hanya
menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari atas ke bawah.

2. MODEL KELOMPOK

Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan. Dimana beberapa
kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara
interaktif.

Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan
dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negoisasi dan kompromi.

Tuntutan-tuntutan yang saling bersaing diantara kelompok-kelompok yang berpengaruh


dikelola. Sebagai hasil persaingan antara berbagai kelompok kepentingan pada hakikatnya
adalah keseimbangan yang tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam
memperjuangkan kepentingan masing-masing pada suatu waktu. Agar supaya pertarungan
ini tidak bersifat merusak, maka sistem politik berkewajiban untuk mengarahkan konflik
kelompok. Caranya adalah:

1. Menetapkan aturan permainan dalam memperjuangkan kepentingan kelompok

2. Mengutamakan kompromi dan keseimbangan kepentingan

3. Enacting kompromi tentang kebijakan publik

4. Mengusakan perwujudan hasil kompromi Kelompok kepentingan yang berpengaruh


diharapkan dapat mempengaruhi perubahan kebijakan publik. Tingkat pengaruh kelompok
ditentukan oleh jumlah anggota, harta kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan,
hubungan yang erat dengan para pembuat keputusan, kohesi intern para anggota dsb.

Model kelompok dapat dipergunakan untuk menganalisis proses pembuatan kebijakan


publik. Menelaah kelompok-kelompok apakan yang paling berkompetensi untuk
mempengaruhi pebuatan kebijakan publik dan siapakan yang memiiki pengaruh paling kuat
terhadap keputusan yang dibuat. Pada tingkat impelemntasi, kompetensi antar kelompok
juga merupakan salah satu faktor yang menentukan efektifitas bebijkan dalam mencapai
tujuan.

3. MODEL INSTITUSIONAL

(kebijakan adalah hasil dari lembaga) Yaitu hubungan antara kebijakan (policy) dengan
institusi pemerintah sangat dekat. Suatu kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik
kecuali jika diformulasikan, serta diimplementasi oleh lembaga pemerintah. Menurut Thomas
dye: dalam kebijakan publik lembaga pemerintahan memiliki tiga hal, yaitu : 1. legitimasi, 2.
universalitas dan ke 3. paksaan. Lembaga pemerintah yang melakukan tugas kebijakan-
kebijakan adalah: lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Termasuk juga didalamnya
adalah lembaga pemerintah daerah dan yang ada dibawahnya. Masyarakat harus patuh
karena adanya legitimasi politik yang berhak untuk memaksakan kebijakan tersebut.
Kebijakan tersebut kemudian diputuskan dan dilaksanakan oleh institusi pemerintah.
Undang-undanglah yang menetapkan kelembagaan negara dalam pembuatan kebijkaan.
Oleh karenanya pembagaian kekuasanaan melakukan checks dan balances. Otonomi
daerah juga memberikan nuansa kepada kebijakan publik.

4. MODEL INKREMENTAL (Policy as Variatons on the Past)


Model ini merupakan kritik pada model rasional. Pada model ini para pembuat kebijakan
pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh
kebijakan yang dibuatnya. karena beberapa alasan, yaitu:

1. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap nilai-nilai
sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan tujuan kebijakan.

2. Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak diinginkan sebagai
akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya.

3. Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan demi
kepentingan tertentu

4. Menghindari konflik jika harus melakukan proses negoisasi yang melelahkan bagi
kebijakan baru.

5. MODEL SYSTEM THEORY (Policy as sytem output) Pendekatan sistem ini


diperkenalkan oleh David Eston yang melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada
dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara organisme dengan
lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan dan perubahan hidup yang relatif
stabil. Ini kemudian dianalogikan dengan kehidupan sistem politik.

Pada dasarnya terdapat 3 komponen utama dalam pendekatansistem, yaitu: input, proses
dan output. Nilai utama model sistem terhadap analisi kebijakan, adalah:

1. Apa karakteristik sistem politik yang dapat merubah permintaan menjadi kebijakan
publik dan memuaskan dari waktu ke waktu.

2. Bagaimana input lingkungan berdampak kepada karakteristik sistem politik.

3. Bagaimana karakteristik sistem politik berdampak pada isi kebijakan publik.

4. Bagaimana input lingkungan berdampak pada isi kebijakan publik.

5. Bagaimana kebijakan publik berdampak melalui umpan balik pada lingkungan.


Proses tidak berakhir disini, karena setiap hasil keputusan merupakan keluaran sistem
politik akan mempengaruhi lingkungan. Selanjutnya perubahan lingkunagn inilah yang akan
memepengruhi demands dan support dari masyarakat. Salah satu kelemahan dari model ini
adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Seringkali terjadi bahwa apa yang diputusakan oleh permerintah memberi kesan telah
dilakukannya suatu tindakan, yang sebenarnya hanya untuk memelihara
ketenangan/kestabilan. Persoalan yang muncul dari pendekatan ini adalah dalam proses
penentuan tujuan itu sendiri.

6. MODEL RASIONAL

(Kebijakan sebagai laba sosial maksimum) Kebijakan rasional diartikan sebagai kebijakan
yang mampu mencapai keuntungan sosial tertinggi. Hasil dari kebijakan ini harus
memberikan keuntungan bagi masyarakat yang telah membayar lebih, dan pemerintah
mencegah kebijakan bila biaya melebihi manfaatnya.
Banyak kendala rasionalitas, Karakteristik rasionaltias sangat banyak dan bervariasi
Untuk memilih kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus:

1. Mengetahui semua keinginan masyarakat dan bobotnya

2. Mengetahui semua alternatif yang tersedia

3. Mengetahui semua konsekwensi alternatif

4. Menghitung rasio pencapaian nilai sosial terhadap setiap alternatif

5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Asumsi rasionalitas adalah preferensi masyarakat harus dapat diketahui dan


dinilai/bobotnya. Harus diketahui nilai-nilai masyarakat secara konprehensif. Informasi
alternatif dan kemampuan menghitung secara akurat tentang rasio biaya dan manfaat.

Aplikasi sistem pengambilan keputusan. Pada dasarnya nilai dan kecenderungan yang
berkembang dalam masyarakat tidak dapat terdeteksi secara menyeluruh, sehingga
menyulitkan bagi pembuat kebijakan untuk mementukan arah kebijakana yang akan dibuat.

Pada akhirnya pendekatan rasional ini cukup problematis dalam hal siapa yang menilai
suatu kebijakan. Bersifat rasionalitas ataukan tidak.

7. MODEL PROSES

(Siklus Kebijakan Publik) Aktivitas politik dilakukan melalui kelompok yang memiliki
hubungan dengan kebijakan publik. Hasilnya adalah suatu kebijakan yang berisi:
Identifikasi/pengenalan masalah, Perumusan agenda, Formulasi kebijakan, Adopsi
kebijakan Implementasi kebijakan, Evaluasi kebijakan MODEL PILIHAN PUBLIK (Opini
Publik) Seharusnya ada keterkaitan anatara opini publik dengan kebijakan publik. Sehingga
tidak timbul perdebatan kapan opini publik seharusnya menjadi faktor penentu terpenting
yang sangat berpengaruh kepada kebijakan publik.

D. Contoh MODEL KEBIJAKAN DALAM PELAKSANAAN RETRIBUSI PARKIR

Pada dasarnya kebijakan pemerintah dapat dipengaruhi oleh lingkungan, dimana sistem
terpengaruh oleh lingkungan sehingga kebijakan yang diambil akibat pengaruh lingkungan
terhadap sebuah sistem politik.

Sistem politik melalui pemilihan langsung oleh masyarakat menjadikan pengambil kebijakan
dapat dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan masyarakat, hal ini disebabkan oleh keinginan
mempertahankan status quo oleh pemegang kebijakan.

Dalam sistem politik Indonesia, pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan adalah
eksekutif, proses pengambil kebijakan harus melalui lembaga legislatif sebagai lembaga
legitimate dalam membuat kebijakan. Sistem ini dapat terpengaruh oleh tuntutan-tuntutan
masyarakat sebab adanya andil masyarakat dalam sistem pemilihan pengambil kebijakan.

Konsep Kebijakan mengenai retribusi parkir oleh Pemerintah Kota Bengkulu pada awalnya
telah disiapkan oleh para administrator di pemerintahan yaitu dengan melakukan lelang
kepada pihak ketiga, kebijakan tersebut akan dituangkan pada peraturan walikota, akan
tetapi para petugas parkir yang menuntut pemerintah daerah kota bengkulu agar tidak
melakukan lelang zonasi parkir kepada pihak ketiga membuktikan bahwa adanya pengaruh
lingkungan-sistem politik terhadap pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah.

Pada awalnya pemerintah berkeinginan melakukan lelang zonasi parkir dengan tujuan untuk
meningkatkan PAD Daerah Kota Bengkulu dengan target pencapaian hingga 3,6 milyar
rupiah. Kebijakan yang akan dilakukan ini tentunya mendapat respon oleh para petugas
parkir di Kota Bengkulu, sehingga adanya tuntutan untuk membatalkan lelang zonasi parkir
melalui demonstrasi oleh para petugas parkir.

Meningat sistem politik di Indonesia saat ini adalah sistem pemilihan langsung dimana
semua pengambil kebijakan ingin mempertahankan status quo melalui pemilahan dan
berharap pencitraan yang positif dikalangan masyarakat. Begitu juga para legitimated di
lembaga DPRD Kota Bengkulu pun ikut memperjuangkan aspirasi petugas parkir tersebut
dengan harapan bahwa mereka bisa dianggap wakil rakyat yang mengerti dan mampu
mengaspirasi keinginan rakyat, sehingga munculah dukungan-dukungan terhadap tuntutan
para petugas parkir.

Lingkungan melalui tuntutan dan dukungan merupakan input yang berpengaruh terhadap
sistem politik sehingga kebijakan pembatalan pelelangan zona parkir merupakan out put dari
sebuah sistem politik pengambil kebijakan yaitu eksekutif.

Konsep-konsep yang telah dipersiapkan oleh para administrator ternyata dapat berubah
karena pengaruh dari lingkungan terhadap sistem politik dimana tuntutan-tuntutan yang
kemudian mendapatkan dukungan mempengaruhi sistem, sehingga keputusan-keputusan
yang dihasilkan adalah pengaruh dari input. Target pencapaian retribusi parkir seolah
diabaikan tetapi tuntutan petugas parkir diakomodir yang hanya menyatakan sanggup
menyetorkan retribusi 2,5 milyar.

Out put yang dihasilkan tidak lagi berorientasi pada peningkatan PAD tetapi lebih pada
stabilitas dan ketenangan, Out put yang dihasilkan menurut model sistem merupakan untuk
memelihara ketenangan/kestabilan saja, sebab adanya keinginan mempertahankan status
quo pada pemilihan kepala daerah serta pencitra yang dilakukan oleh lembaga legislatif.

III. PENUTUP DAN KESIMPULAN

1. Model-model dalam kebijakan publik merupakan beberapa alternative pilihan dalam


mementukan kebjakan apa yang paling tepat yang akan diputuskan dan dilaksanakan.

2. Ketika suatu kebijakan telah diputuskan, maka seluruh komponen harus saling
bekerjasama, membantu dalam merealisasikannya

3. Pilihan kepada salah satu model kebijakan, merupakan suatu upaya untuk
mementukan arah kedepan yang lebih baik.
4. Orientasi kebijakan publik tidak hanya menyenangkan dan memuaskan satu golongan
tertentu saja, melaikan harus bersifat universal dan menyeluruh.

5. Kebijakan Pemerintah Kota Bengkulu terhadap retribusi parkir dikarenakan adanya


tuntutan dan dukungan sehingga merubah karakteristik sistem politik dalam pengambilan
kebijakan retribusi parkir tersebut.

http://www.kursikayu.com/2011/05/model-kebijakan-publik.html

Model-Model Kebijakan Publik

Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang dipilih dari
suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model kebijakan
merupakan penyederhanaan sistem masalah dengan membantu mengurangi kompleksitas
dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan. [1]Model adalah isomorfisme
antara dua atau lebih teori empiris, sehingga model seringkali sulit diuji kebenarannya di
lapangan. Namun model tetap dapat digunakan sebagai pedoman dalam penelitian,
terutama penelitian yang bertujuan untuk mengadakan penggalian atau penemuan-
penemuan baru. Model menjadi pedoman untuk menemukan (to discover) dan mengusulkan
hubungan antara konsep-konsep yang digunakan untuk mengamati gejala sosial. Model
merupakan representasi sebuah realitas. Model sangat bermanfaat dalam mengkaji
kebijakan publik, karena :
1. Kebijakan publik merupkan proses yang kompleks, dengan sifat model yang
menyederhanakan realitas akan sangat membantu dalam memahami realitas yang
kompleks tersebut.

2. Sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang kompleks tanpa
menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model dalam memperjelas kebijakan
publik akan semakin berguna.

Menurut Thomas R. Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat
kegunaan suatu model di dalam mengkaji kebijakan publik, yaitu :

1. Apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga dapat


memahami hubungan-hubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirkannya dengan
lebih jelas.

2. Apakah model mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam kebijakan publik.

3. Apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas.

4. Apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita
semua dapat mengerti.

5. Apakah model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik.

6. Apakah model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik.

Ketika kita melakukan penyederhanaan dalam rangka memahami multiplisitas fktor dan
kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial kita mesti menyusun model,
pemetaan atau berpikir dalam term metafora. Hal ini mencakup kerangka tempat kita
berpikir dan menjelaskan.[2]

Model Elitis/Policy as Elite Preference

Model ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai
dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Thomas R. Dye dan Harmon memberikan
ringkasan pemikiran mengenai model ini, yaitu[3] :

1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan dan
massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang
mengalokasikan nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.

2. Kelompok kecil yang memerintah tersebut bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para
elit ini biasanya berasal dari lapisan massyarakat yang ekonominya tinggi.
3. Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkesinambungan
untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah
menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima dalam lingkaran kaum elit.

4. Elit memberikan konsensus pada nilai dasar sistem soaial dan pemeliharaan sistem.

5. Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi nilai-nilai elit yang berlaku.

6. Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang
apatis. Sebaliknya elit mempengaruhi massa yang lebih besar.

Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan
kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik
beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik yang mempengaruhi massa
rakyat dan bukan sebaliknya. Model ini dikembangkan dari teori elit yang menentang keras
pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi secara merata. Dengan
demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari kaum elit ke
massa (rakyat).

Model Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model Kelompok

Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antar kelompok dalam masyarakat
adalah pusat perhatian dari politik. Individu-individu yang memiliki latar belakang
kepentingan yang sama biasanya akan bergabung baik secara formal maupun informal
untuk mendesakan kepentingan-kepentingannya pada pemerintah. Dalam model ini,
perilaku individu akan mempunyai makna politik kalau mereka bertindak sebagai bagian
atas nama kepentingan kelompok. Kelompok dipandang sebagai jembatan yang penting
antara individu dan pemerintah, karena politik pada dasarnya adalah perjuangan-perjuangan
yang dilakukan kelompok untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dari sudut pandang model
ini sistem politik mempunyai tugas untuk mengelola konflik yang timbul dalam perjuanagan
antar kelompok tersebut, dengan cara :

1. Menetapkan aturan permainan dalam perjuangan kelompok;

2. Mengatur kompromi-kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;

3. Memberlakukan kompromi yang telah dicapai dalam bentuk kebijakan publik;

4. Memaksakan kompromi tersebut.


Model pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan publik terbentuk dari pengaruh sub-
sistem yang berada dalam sistem demokrasi. Dalam model ini adalah gagasan yang
sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan kebijakan atau
pengambilan kebijakan.[4] Padangan Pluralis menurut Robert Dahl dan David Truman,
menguraikan sebagai berikut :

1. Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu


yang lain dalam proses pembuatan keputusan.

2. Hubungan –hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubungan-hubungan


kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan tersebut
dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan ini
akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan
selanjutnya hendak dibuat.

3. Tidak ada pembedaan yang tetap antara elit dan massa. Individu-individu yang
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu wakt tidak dibutuhkan oleh individu
yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.

4. Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi.

5. Terdapat banyak pusat kekuasaan diantara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal
yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.

6. Kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut
dipandang merefleksikan tawar menawar atau kompromi yang dicapai diantara kompetisi
pemimpin politik.

Dalam model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang
tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan kebijakan publik
mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu berhasil
mengarahkan kebijakan publik ke arah yang menguntungkan mereka.Besar kecilnya
pengaruh kelompok-kelompok tersebut ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan
organisasi, kepemimpinan, akses terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.

Model Sistem/ Policy as System output

Model sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan
sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat para pembuat
kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam
pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara pembuat kebijakan
dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs
dan outputs).

Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatau sistem
politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau
keadaan yang berada di luar batas-batas politik. Kekuatan yang timbul dari lingkungan dan
mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukan (inputs) bagi sistem politik,
sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan
terhadap tuntutan tersebut dipandangkan sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik.
Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang
berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-
hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan
alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan publik.

Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep
“sistem” menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasikan
dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan menjadi keputusan yang otoritatif.
Konsep ini juga menunjukan adanya saling hubungan antara elemen yang membangun
sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan dalam
lingkungannya. Masukan yang diterima oleh sistem politik dapat dalam bentuk tuntutan
maupun dukungan.

Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan, suatu sistem harus mampu
mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan
penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian ini pada pihak
yang bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem dibangun berdasarkan elemen yang
mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai sub sistem,
maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yaitu :

1. Menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan;

2. Menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri;

3. Menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).


Menurut Thomas R. Dye, dengan teori sistem ini dapat diperoleh petunjuk mengenai[5] :

1. Dimensi-dimensi lingkungan apakah yang menimbulkan tuntutan-tuntutan terhadap


sistem politik ?

2. Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang memungkinkannya untuk mengubah


tuntutan-tuntutan menjadi kebijakan publik dan berlangsung terus-menerus ?

3. Dengan cara yang bagaimana masukan-masukan yang bersasal dari lingkungan


mempengaruhi sistem politik?

4. Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang mempengaruhi isi kebijakan publik?

5. Bagaimanakah masukan-masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi


kebijakan publik?

6. Bagaimanakah kebijakan publik melalui mekanisme umpan balik mempengaruhi


lingkungan dan sistem politik itu sendiri ?

Model Rasional Komprehensif/ Policy as Efficient Goal Achievement.

Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional
dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat
keputusan. Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan yang
sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah
positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.

Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1. Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.

2. Mengatahui semua alternatif kebijakan yang tersedia.

3. Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.

4. Memperhitungkan rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap
alternatif kebijakan.

5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :

1. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat
dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang
bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.

2. Tujuan, nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan
disusun menurut arti pentingnya.

3. Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.

4. Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.

5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan


alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi yang
memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.

Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu
keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

Namun ada krikit terhadap model rasional komprehensif, yaitu :

1. Para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah yang konkrit dan
jelas. Sehingga seringkali para pembuat keputusan gagal mendefinisikan masalah dengan
jelas, akibatnya keputusan yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak
tepat.

2. Tidak realitis dalam tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Menurut
model ini pembuat keputusan akan mempunyai cukup informasi mengenai alternatif yang
digunakan untuk menanggulangi masalah. Pada kenyataannya para pembuat keputusan
seringkali dihadapkan oleh waktu yang tidak memadai karena desakan masalah yang
membutuhkan penanganan sesegera mungkin.

3. Para pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik daripada
kesepakatan nilai. Sementara nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah
diperbandingkan atau diukur bobotnya.

4. Pada kenyataannya bahwa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk
menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan tujuan masyarakat, sebaliknya mereka
mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran mereka sendiri.

5. Para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan, hambatan dan kekurangan sehingga


menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan atas dasar rasionalitas yang tinggi.

6. Investasi yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat keputusan
tidak mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan sebelumnya.

7. Terdapat banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi yang diperlukan


untuk mengetahui semua kemungkinan alternatif dan konsekuensi dari masing-masing
alternatif.

Model Penambahan ( The Incremental Model)/ Policy as Variation on the Past.

Model inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada masa lampau dengan hanya
melakukan perubahan-perubahan seperlunya.

Model ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara aktual
cara-cara yang dipakai para penjabat dalam membuat keputusan. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan, yakni :

1. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan.

2. Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk


menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif hanya berada secara marginal dengan
kebijakan yang sudah ada.

3. Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa


konsekuensi yang dianggap penting saja.
4. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara
berkesinambungan.

5. Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap paling
“tepat”.

6. Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan


diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata
sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.

Keputusan yang diambil dari model ini hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara
banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya partisipan, keputusan akan lebih mudah
dicapai bila persoalan yang disengketakan oleh berbagai kelompok hanya merupakan
perubahan terhadap program yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika menyangkut
perubahan kebijakan besar yang menyangkut keuntungan dan kerugian besar. Pembuatan
keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik,
memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.

Dalam pandangan inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya


berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi dari
tindakan mereka di masa depan, maka keputusan inkrementalis dapat mengurangi risiko
atau biaya ketidakpastian itu.

Game Teori/ Policy as Rational Choice Competitive Situations.

Menurut Thomas R. Dye, teori ini bertitik tolak pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu :

1. Kebijakan yang akan diambil bergantung pada (setidak-tidaknya) dua pemain atau
lebih;

2. Kebijakan yang dipilih ditarik dari dua atau lebih alternatif pemecahan yang diajukan
oleh masing-masing pemain;

3. Pemain-pemain selalu dihadapkan pada situasi yang serba bersaing dalam


pengambilan keputusan.
Menurut model ini
pilihan kebijakan akan dijatuhkan pada pilihan yang saling menguntungkan, dimana
pembuat kebijakan senantiasa dihadapkan pada pilihan yang saling bergantung.

Outcome Outcome

Outcome Outcome

Gambar 6 : Diagram Game Teori

Policy as Institutional Activity

Model ini memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga pemerintah. Menurut pandangan model ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan
warga negara, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok pada umumnya
ditujukan pada lembaga pemerintah. Kebijakan ditetapkan, disahkan, dan dilaksanakan
serta dipaksakan berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam model ini yang membentuk
kebijakan publik adalah interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah, dilain pihak,
betapapun kerasnya kehendak publik, namum apabila tidak mendapat perhatian dari
lembaga pemerintah, kehendak tersebut tidak akan menjadi kebijakan publik.

Lembaga pemerintah memberikan karakteristik berbeda dalam kebijakan publik, yaitu :

1. Pemerintah memberikan legitimasi kepada kebijakan-kebijakan.

2. Kebijakan-kebijakan pemerintah memerlukan universalitas.

Dengan demikian keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa


kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai
kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli
penggunaan kekuasaan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok
membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai