Imam Syafi’i
A. Pendahuluan
Ilmu pada hakekatnya adalah cahaya dari Allah, dan hal itu hanya diberikan pada
hamba-Nya yang taa’at kepada-Nya. Oleh karena itu, peserta didik dalam mencari ilmu
perlu kesucian jiwa, Ia perlu melakukan muroqqobah (mendekatkan diri) kepada Allah,
karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugrah dari Allah. Allah lah
yang pada hakekatnya membimbing untuk mendapatkan cahaya-Nya kepada siapa saja
yang Dia kehendaki. Sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur [24] ayat
35:
[1039] Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu
lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya,
biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain.
Untuk mendapatkan ilmu dilakukan melalui sebuah proses belajar kepada guru
(untuk selanjutnya disebut dengan pendidik). Hal ini mengandung makna bahwa
seorang peserta didik yang sedang mencari ilmu memerlukan pertolongan dan
bimbingan dari seorang pendidik. Peserta didik tidak boleh dibiarkan begitu saja untuk
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Seorang peserta didik yang dibiarkan
tumbuh dengan sendirinya cenderung untuk bertindak sesuai dengan apa yang
dianggapnya benar, walau hal tersebut sebenarnya keliru.
Bertitik tolak dari alasan tersebut di atas, maka diperlukan etika pergaulan yang
baik yang harus dilakukan oleh seorang peserta didik. Baik etika dalam muroqqobah
(mendekatkan diri) kepada kholik, dan etika mushohibah (bergaul) dengan makhluk.
Etika dalam muroqqobah (mendekatkan diri) kepada kholik konsekwensinya dengan
melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi perbuatan yang dilarang-Nya.
Sedangkan etika mushohibah (bergaul) dengan makhluk konsekwensinya melalui
kegiatan-kegiatan ibadah, muamalah, dan akhlak yang baik (akhlakul karimah).
Secara morpologi kata kewajiban berasal dari bahasa Arab “wajib”, yang berarti
“mesti dilakukan”. Sehingga, kalau kita merujuk kepada istilah Fiqih, kata “wajib”
diartikan sebagai sesuatu yang apabila dilakukan mendapatkan pahala dan apabila tidak
dilakukan berdosa. Sehingga perbuatan wajib berarti perbuatan yang mesti dilakukan
dan ia akan mendapatkan pahala, sebaliknya kalau perbuatan tersebut tidak dilakukan,
ia melakukan dosa.4
1
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Van Hoep, 1984: 339).
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: 2001:
382).
3
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Jakarta: T.t., 211).
4
Said Sabiq, Fiqih Sunnah, (Riyad: Maktabah Islamiyah, 1995).
5
Lihat W. J. S. Poerwadarminta, Op. Cit, hal, 145.
6
Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Op. Cit., hal, 781.
Republik Indonesia yang mengartikan kewajiban dengan “sesuatu yang harus
dilaksanakan”.7
Dalam sistem pendidikan islam istilah “peserta didik” sering digunakan terutama
dengan menggunakan istilah—istilah lain yang sepadan, terutama dengan
menggunakan istilah-istilah sebagai berukut:
1. Murid
Istilah “murid” berasal dari bahasa Arab, yaitu: arada, yuridu, iradatan, muridan,
yang artinya: menginginkan (the willer). Istilah “muridan” yang mengandung arti
Maha Menghendaki menjadi salah satu sifat Allah.8 Definisi ini dapat dipahami
karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 126.
8
Sayyid Khaim Husyain An-Naqawi, 1992, hal, 235.
pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal
kehidupannya agar bahagia di dunia dan diakherat dengan jalan belajar dengan
sungguh-sungguh. Istilah “murid” banyak digunakan dalam terminologi ilmu Tasauf,
yaitu sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasauf kepada seorang guru yang
disebut syeikh atau Mursyid.9 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata murid”
diartikan “Orang (anak) yang sedang berguru (belajar atau sekolah)”.10
2. At-Tilmid
Kata “At-Tilmid” adalah isimun jimsiyyah (kata benda) yang mengandung arti
“pelajar”. Dalam penggunaan bahasa Arab kata at-tilmid ini digunakan untuk
menunjuk kepada murid yang belajar di madrasah (sekolah).
3. Al-Mudaris
Kata “Al-Mudaris” berasal dari bahasa Arab, yaitu: daarosa, yudaarisu, mudarisan,
yang artinya: orang yang mempelajari sesuatu. Kelihatannya penggunaan kata “al-
mudaris” ini dekat dengan kata “madrasah” (sekolah), dan seharusnya digunakan
untuk arti pelajar pada suatu mmadrasah (sekolah), namun dalam prakteknya tidak
demikian.
4. At-Thalib
Kata “At-Thalib” berasal dari bahasa Arab, yaitu: thalaba, yathlubu, tholiban, yang
artinya: orang yang mencari sesuatu. Penggunaan kata ini dapat dipahami oleh
karena seorang pelajar adalah orang yang sedang mencari ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal kehidupannya
agar bahagia di dunia dan diakherat. Kata “Thalib” sering digunakan untuk
menunjukan orang yang belajar diperguruan tinggi atau mahasiswa.11 Menurut
Nana Saodih Sukmadinata, Istilah “At-Thalib” lebih bersifat aktif, mandiri, kratif dan
sedikit tergantung kepada guru. Istilah “At-Thalib” dalam beberapa hal dapat
meringkas, mengkritik, dan menambahkan informasi yang disampaikan oleh
9
Lihat Abdurrahman Al-Kholiq, 1986, hal, 316.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Op. Cit., Hal, 765
11
Lihat Abudin Nata, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: PT. Rajawali Pres, 1954), hal, 50. Lebih lanjut menurut
Abudin Nata bahwa penggunaan istilah Thalib untuk mahasiswa sudah memiliki bekal untuk mencari,
menggali, dan mendalami bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih
bahan-bahan bacaan, seperti buku, majalah, surat kabar, dan bahan bacaan lainnya. Bahan-bahan bacaan
tersebut untuk selanjutnya ditelaah kemudian dituangkan dalam berbagai karya ilmiah.
guru/dosen.12 Mengutif pendapatnya Imam Al-Ghozali yang mengatakan: istilah At-
Thalib bukan ditujukan kepada anak-anak yang belum dapat berdiri sendiri dan
mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian,
manfaat bagi dirinya. At-Tholib adalah seorang yang sudah mencapai usia dewasa
dan telah dapat bekerja dengan baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia
adalah seseorang yang sudah dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam
melaksanakan kewajiban agama yang dibebankan kepadanya sebagai fardu ‘ain.13
Dalam kontek ini seorang At-tholib adalah manusia yang telah memiliki
kesanggupan memilih jalan kehidupan dan menemukan apa yang dinilainya baik.
5. Al-Muta’alim
Kata “Al-muta’alim” berasal dari bahasa Arab, yaitu: allama, yu’allimu, ta’liman,
yang artinya: orang yang mencari ilmu pengetahuan. Istilah “Al-muta’alim” ini
merupakan istilah yang populer digunakan dalam karya-karya ilmiah para ahli
pendidikan muslim.14
D. Hak dan Kewajiban Peserta Didik Menurut Sistem Pendidikan Islam
Hak dan Kewajiban peserta didik menurut sistem pendidikan islam tercermin
dalam hubungan proses pendidikan, yang didalamnya ada peserta diidik, pendidik,
lembaga pendidikan, kurikulum, dan lain-lainnya, yang tidak hanya tertuju pada satu
aspek, tetapi meliputi seluruh aspek hubungan, sehingga hak dan kewajiban peserta
didik dapat tercapai.15 Hak peserta didik meliputi:
12
Nana Saodih Sukmadinata, 1997, hal, 196.
13
Dalam kontek ini seorang At-tholib adalah manusia yang telah memiliki kesanggupan memilih jalan
kehidupan dan menemukan apa yang dinilainya baik. Abudin Nata, hal, 151.
14
Istilah “al-muta’alim bukan saja merupakan istilah yang digunakan oleh para ulama dan ahli
pendidikan islam saja tetapi merupakan istilah yang digunakan dalam Al-Qur’an dan al-Hadist. Misalnya saja
terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] ayat 31, yang berbunyi:
Artinya: 31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Dan juga terdapat dalam al-Hadist sebagai berikut:
Artinya: Telah berkata Hisam bin ‘Umar, telah berkata Shidqoh bin Kholid, telah berkata ‘Ustman bin abi
‘Atikah, dari ‘Ali bin Yazid, dari Qosim, dari Abi Umamah ia berkata, Rasulullah Saw bersabda .... (H. R. Ibnu
Majah). Lihat Burhanudin al-Zarmuziy, 1962, hal, 13.
15
Muhammad Athiyah Al-Abrasi, 1989, hal 72.
1. Peserta didik berhhak untuk memperoleh kemudahan dalam pasilitas pendidikan
agar proses belajar mengajar dapat berlangsung lebih mudah setiap saat, dan
berhak untuk memperoleh kesempatan belajar, tampa harus dibedakan antara
mereka yang kaya dengan yang miskin, sehingga peserta didik mendapatkan
pelayanan secara wajar.
2. Peserta didik berhak dipenuhinya segala kebutuhan jasmani dan rohani.
Terpenuhinya kebutuhan materil dan moril. Dalam sistem pendidikan islam
kebutuhan materil meliputi: kebutuhan dhoruri, tahsini, dan takmili. Sedangkan
kebutuhan moril meliputi: kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, harga diri, rasa
bebas, dan bimbingan.16
Sedangkan menurut Iman Al-Ghozali kewajiban peserta didik ada sepuluh, yaitu:
16
Ramayulis, 1990, hal, 54.
17
Muhammad Athiyah Al-Abrasi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, A. Ghani (Penterjemah),
(Jkarata: Bulan Bintang, 1993), hal 73-75.
8. Mengetahui sebab-sebab yang dapat mengetahui semulia—mulia ilmu, baik dalam
dalil maupun dalam buahnya ilmu;
9. Bertujuan untuk menghiasi dan mengindahkan batin dengan keutamaan;
10. Mengetahui kaitan ilmu dengan umumnya.18
Hak dan Kewajiban peserta didik menurut sistem pendidikan nasional diatur
secara khusus (lex specialis) dalam Pasal 12 ayat 4 Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (disingkat menjadi Undang-
undang Sindiknas). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hak peserta didik meliputi:
1. Hak untuk mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama yang dianut dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama;
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya;
3. Hak untuk mendapat beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikan;
4. Hak untuk dapat pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan
lain yang setara;
5. Hak untuk menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
18
Dalam Zuhairini, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal, 149-
164.
2. Peserta didik wajib ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali
bagi peserta didik yang dibebaskan kewajibannya tersebut sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.19
Secara historis eksistensi Hak dan Kewajiban peserta didik, menurut Pasal 12
ayat 4 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Undang-undang Sindiknas,
merupakan “revisi” dari Undang-undang Nomor 2 tahun 1989, yang menjelaskan bahwa
peserta didik itu mesti dikembangkan daya nalar dan daya intelektualnya. Sedangkan
19
Depdiknas, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional, (Jakarta: fokus media, 2006, hal, 8-9.
menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, yang harus dikembangkan pada
peserta didikitu bukan hanyadaya nalar dan daya intelektualnya, tetapi juga seluruh
potensi yang dimiliinya. Semisal daya emosional, daya sosial dan daya spiritual. Adanya
“revisi” terhadap sebuah undang-undang merupakan hal yang wajar, karena hakekat
lahirnya sebuah undang-undang adalah untuk mengatur setiap hal yang menyangkut
kehidupan umum. Disampi itu, adanya “revisi” diperlukan untuk menjawab tantangan
jaman yang berubah, apalagi kalau kita bicara tentang kehidupan yang pareatif dan
kompetitif.
F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hak peserta didik
menurut sistem pendidikan islam memliki substnsi yang sama dengan hak peserta didik
menurut sistem pendidikan nasional, secara garis besarnya meliputi tiga aspek, yaitu:
(1). Peserta didik berhak mendapatkan pengajarran sebaik-baiknya; (2). Peserta didik
berhak mendapatkan pasilitas pendidikan sebagaimana mestinya; dan (3) Peserta didik
berhak mendapatkan pelayanan pengajaran yang sama dan mendapatkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan uuntuk hidup.
Begitu pula dengan kewajiban peserta didik menurut sistem pendidikan islam
memliki substnsi yang sama dengan kewajiban peserta didik menurut sistem pendidikan
nasional, dapat disimpulkan memiliki tiga aspek, yaitu: (1). Peserta didik wajib menjaga
kualuitas dan kesucian hati; (2). Peserta didik wajib menguasai ilmu pengetahun dan
keterampilan yang diajarkan; dan (3). Peserta didik wajib menyebarkan dan
mengamalkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dilmilikinya, baik untuk
didirinya sendiri, maupun untuk masyarakat.
G. Daftar Bacaan