Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

Oleh :
dr. Topaz

Pendamping :
dr Aryo Agni

Pembimbing
dr. Sianturi Sp.P

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD EMBUNG FATIMAH
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Allah atas rahmat dan karuniaNya,
sehingga pada akhirnya Saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Tidak lupa Saya mengucapkan terimakasih kepada pendamping Saya dr.
Aryo Agni dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini
sejak awal hingga selesainya tugas ini.
Tujuan penulisan referat ini adalah sebagai salah satu syarat dalam
kegiatan Case Report dibagian IGD.
Saya menyadari bahwa penulisan tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu Saya sangat mengharapkan bantuan dan partisipasi teman sejawat
untuk memberikan masukan dan saran guna menyempurnakan referat ini di masa
mendatang.
Akhir kata Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya atas
perhatian dan dukungannya, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Batam, April 2019

Penulis
BAB 1
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. Newa Damanik
No. RM : 210270
Tgl Lahir : 01-11-1943
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : sungai pelungut, sagulung no 09
Agama : Islam
Status Pernikahan : Sudah menikah
Masuk RS : 06 April 2019, pukul 11.00 WIB

1.2. Anamnesis
Keluhan Utama : sesak nafas memberat sejak 1 hari SMRS
Keluhan Tambahan : lemas, batuk kering

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Embung Fatimah tanggal 06 April 2019 dengan
keluhan sesak nafas yang memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit,
sebelumnya pasien mengatakan sudah sesak sejak 1 tahun ini dan sesak sering
kambuh terutama saat berdebu dan malam har, pasien juga mengatakan bahwa
pasien tidak pernah memiliki alergi dan gatal gatal sebelumnya, riwayat merokok
diakui pasien sudah lama merokok dan baru satu tahun ini pasien mulai
mengurangi aktivitas merokoknya, yang tadinya 1 bungkus menjadi ½ bungkus
perhari.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa sebelumnya diakui.
Riwayat asma disangkal
Hipertensi dan DM disangkal
Riwayat penyakit hati dan ginjal disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat hipertensi dan DM disangkal
Riwayat TBC disangkal.
Riwayat keluhan serupa disangkal.

Riwayat kebiasaan :
Konsumsi alcohol disangkal.
Merokok diakui pasien sejak umur 17 tahun

1.3.Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
 KeadaanUmum : Tampak sakit sedang

 Kesadaran: ComposMentis

 Tekanan Darah : 110 / 80 mmHg

 Nadi : 82 x/mnt

 Nafas : 25 x/mnt
 SpO2 : 88

1. Status Generalis

1. Kepala :
a. Mata: CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor, diameter pupil 3 mm, reflex cahaya
+/+, mata cekung -/-, edema palpebra -/-
b. Hidung : tidak tampak kelainan
c. Telinga : tidak tampak kelainan
d. Tenggorokan : faring hiperemis -, tonsil T1/T1
e. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, JVP tidak meningkat.
2. Thoraks :
a. Paru-paru
 Inspeksi : barrel chest, simetris kiri kanan, retraksi dinding dada (-)
intercostal dan subcostal dalam batas normal
 Palpasi : gerak dinding dada simetris kiri dan kanan, fremitus kiri =
kanan
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : napas vesikuler, Rh -/- basal paru, Wh +/+

b. Jantung
 Inspeksi : Iktus tidak tampak
 Palpasi : Iktus teraba pada ICS V linea axilaris sinistra
 Perkusi : batas jantung normal, kardiomegali (-)
 Auskultasi : Bunyi jantung reg, irama ireguler, murmur (-) diastolik,
gallop (-)
3. Abdomen
 Inspeksi : distensi ( - )
 Palpasi : defans muskular (-), nyeri tekan Ulu Hati (-), nyeri lepas (-),
hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
 Auskultasi : BU ( + ) normal
4. Ekstremitas : akral hangat, CRT <2” / <2”, edema ekstermitas bawah -/-
1.4. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi Lengkap :
Haemoglobin 11,2 gr/dl 11.5 – 16.5g/dL
Leukosit 9000 /mm3 3500 – 10.000 109/L
Hematokrit 39 % 35.0 – 55.0 %
Eritrosit 5,9 3.5 – 5.5 1012/L
Trombosit 307.000/mm3 145 – 450 109/L
MCV 92 75.0 – 100.0 fL
MCH 28 25.0 – 35.0 Pg
MCHC 34 31.0 – 38.0 g/dL
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 2 0-4 %
Netrofil Segment 80 46-73 %
Limfosit 18 17-48 %
Monosit 14 4-10 %

Glukosa Sewaktu 185 <200 mg/dl


SGOT 34 P<40 W< 32 U/I
SGPT 30 P<41 W<33 U/I
Ureum 30 10-50 Mg/dl
Creatinin 1,0 P=0,7-1,2 W=0,5-1,0 Mg/dl
Elektrolit :
Elek. Natrium (Na+) 136 135 – 148 mmol/L
Elek. Kalium (K+) 4.0 3.50 – 5.50 mmol/L
Elek. Clorida (Cl-) 99 95 – 108 mmol/L
1. RontgenToraks : gambaran paru hiperinflasi
2. ECG : dalam batas normal

1.5. Diagnosa Kerja :


PPOK ekstrasebasi akut
1.6. Penatalaksanaan :
Farmakologi
- Infus RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxim 3x1 gr
- Inj. Ranitidin 2x1
- Inj. Ondansetron 3x1
- Nebulizer ventolin/8 jam
- Nebulizer pulmicort/12 jam

Nonfarmakologi
- Diet Tinggi kalori tinggi protein
- Memberikan informasi mengenai penyakit PPOK dan penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya. Hambatan aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan
dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap partikel
atau gas yang bersifat iritatif, terutama disebabkan oleh rokok. Walaupun
PPOK berefek pada paru-paru, penyakit ini juga menimbulkan efek
sistemik. Hambatan aliran udara biasanya disebabkan oleh penyakit paru
dan emfisema. Gangguan pada jalan nafas utamanya akibat dari
berkurangnya diameter lumen akibat dari penebalan dinding, peningkatan
produksi mukus intralumen, dan perubahan pada cairan yang melapisi

jalan nafas kecil.2,3,4

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh


batuk kronis berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut tidak disebabkan oleh penyakit
lainnya. Emfisema merupakan kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronis
juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma
persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh,

dan memenuhi kriteria PPOK.3


B. Faktor risiko
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Rokok sejauh

ini masih menjadi faktor resiko penting untuk terjadinya PPOK.3

Gambar 2.1 Peranan rokok sebagai faktor risiko PPOK5

Faktor risiko penting lainnya adalah paparan di tempat kerja, status sosoial
ekonomi, dan predisposisi genetik. PPOK mempunyai riwayat yang
bervariasi dan tidak semua individu mempunyai riwayat yang sama. PPOK
sudah timbul beberapa dekade sebelum onset dari gejalanya muncul.
Kegagalan pertumbuhan fungsi paru semasa kanak-kanak dan remaja,
disebabkan oleh infeksi berulang atau rokok dapat mengakibatkan
gangguan fungsi paru pada dewasa muda. Pertumbuhan abnormal ini
disertai dengan fase plateu yang memendek pada perokok, meningkatkan

risiko PPOK.3

Tabel 2.1 Faktor risiko PPOK3


C. Patofisiologi
Iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi adalah faktor
pencetus bronkitis kronik. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas.
Pada setiap hembusan asap rokok terdapat radikal bebas yaitu radikal

hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus

waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak
paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding
alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran nafas.
Anti elastase berfungsi menghambat netrofil.oksidan menyebabkan fungsi ini
terganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikulat
asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang
melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel mukosa meningkat. Hal
ini akan merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan
gangguan aktivitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekspektorasi.
Produk mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi
hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi terus berlangsung di saluran napas maka
akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.selain itu terjadi
pula metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini

menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran nafas yang bersifat irreversibel.3

Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang


permanen disertai destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan
terhadap PPOK adalah emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar. Pada
jenis pan-asinar kerusakan asinar relative difus dan dihubungkan dengan
proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini
menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi
saluran nafas. Pada jenis sentry-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan
aderah perifer asinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok

dan penyakit saluran nafas perifer.3.4


Gambar 2.2 Patofisiologi PPOK

Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:4

1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke


perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama
2. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
3. Emfisema asinar distal (parasetal), lebih banyak mengenai saluran
nafas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau
dekat pleura.
Obstruksi saluran nafas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran nafas kecil yaitu: infamasi, fibrosis,
metaplasia sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan

nafas.3,4

D. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaa fisis tidak ditemukan kelainan sampai
kelainan jelas dan tanda inflamasi paru. Diagnosis PPOK ditegakkan

berdasarkan :6
1. Anamnesis
a. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
b. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
e. Batuk berulang dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu).
Pursed-lips breathing adalah sikap seseorang yang bernafas
dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini

terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2

yang terjadi pada gagal napas kronik.


2) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
Penggunaan otot bantu nafas, Hipertropi otot bantu nafas,
Pelebaran sela iga
3) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema tungkai
4) Penampilan pink puffer atau blue bloater.
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, penderita
kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breating. Blue
bloater adalah gambaran khas pada bronchitis kronik, penderita
gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal
paru, sianosis sentral dan perifer
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi
1) Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
2) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
3) Ekspirasi memanjang
4) Bunyi jantung terdengar jauh

3. Pemeriksaan Penunjang7,8,9

a. Uji Faal Paru


Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk
menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan
menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan
secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat.
Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara
yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital
capacity (FVC). Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur
volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat
melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory

Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga

harus dilakukan (FEV1/FVC) untuk menentukan ada tidaknya

obstruksi jalan nafas, nilai normal FEV1/FVC adalah > 70%. Penderita

PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC.
Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes bronkodilator
yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi
mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis,
dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan
sebagai persentase dari nilai prediksi normal.
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji
bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini
adalah dengan memberikan bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila
perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini
dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).
b. Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan
gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi,
ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada
penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat
menunjukkan hasil yang normal aataupun dapat terlihat corakan
bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang
hiperlusen.
c. Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah amat penting
untuk dilakukan. AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada
penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis
tampak tanda-tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan
seperti sianosis sentral, pembengkakan engkel, dan peningkatan
jugular venous pressure.
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada
pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis
dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan
hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%, hal
ini menunjukkan adanya shunt kanan ke kiri. Dapat juga menunjukkan
hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta
asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini
disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio
ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan pada emfisema,
rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun
perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit
ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran
analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia
ringan, normokapnia, dan tidak ada shunt kanan ke kiri. Analisa gas
darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi,
dan untuk memantau keseimbangan asam basa.
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat,
khususnya pada saat terjadinya eksaserbasi akut. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
e. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis
pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk

melihat terjadinya peningkatan hematokrit.

f. Pemeriksaan penunjang lainnya


Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui
komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau
hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang
dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus,
CT- scan resolusi tinggi, ecocardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-
1 antitryipsin
E. Diagnosis banding
 Asma
 SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculosis) adalah penyakit
obstruksi saluran nafas yang ditemukan pada penderita
pascatuberkulosis dengan lesi paru yang minimal.
 Pneumotoraks
 Gagal jantung kronik
 Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misal:
bronkiektasis, destroyed lung.

 Perbedaan asma, PPOK, dan SOPT6


Asma PPOK SOPT
Timbul pada usia muda ++ - +
Sakit mendadak ++ - -
Riwayat merokok +/- +++ -
Riwayat atopi ++ + -
Sesak dan mengi berulang +++ + +
Batuk kronik berdahak + ++ +
Hipereaktiviti bronkus +++ + +/-
Reversibility obstruksi ++ - -
Variability harian ++ + -
Eosinofil sputum + - +/-
Neutrofil sputum - + +/-
Makrofag sputum + - +/-
F. PENATALAKSANAAN 7,8,9
Penatalaksanaan PPOK disesuaikan dengan kondisi, apakah pasien dalam
keadaan stabil atau eksaserbasi akut. Penatalaksanaan terhadap PPOK yang
stabil dilakukan dengan jalan meningkatkan terapi tergantung kepada tingkat
keparahan penyakit penderita. Dilakukan dengan memberikan edukasi
kesehatan, farmakoterapi, serta terapi non-farmakologi.
Edukasi kesehatan memiliki target berupa penghentian kebiasaan merokok,
dan bertujuan agar penderita PPOK dapat meningkatkan kemampuan untuk
mengatasi keterbatasan aktivitas akibat penyakitnya, dan peningkatan status
kesehatan.
Farmakoterapi diberikan untuk mencegah dan mengontrol gejala, menurunkan
frekwensi dan tingkat keparahan dari periode eksaserbasi, peningkatan status
kesehatan, dan meningkatan toleransi beraktivitas. Terapi diberikan bila
diperlukan, dan bukan untuk memperbaiki fungsi dari paru-paru.
Bronkodilator adalah pilihan farmakoterapi yang paling utama, baik saat
penggunaan reguler ataupun saat eksaserbasi akut. Obat-obatan yang

digunakan adalah golongan ß2-agonist, antikolinergik, ataupun golongan

xanthine. Pemilihan obat dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya obat dan
respon pasien. Semua jenis bronkodilator di atas dapat meningkatkan
kapasitas beraktivitas namun tidak dapat meningkatkan fungsi paru.
Bronkodilator lebih baik jika digunakan secara reguler. Dapat pula digunakan

secara kombinasi untuk mningkatkan FEV1 seperti contohnya kombinasi ß2-

agonist dan antikoninergik. Digunakan juga sesuai dengan respon pasien,


sebagai contoh, nebulizer terus digunakan jika terapi konvensional tidak
menghasilkan respon yang baik namun baik dengan nebulizer.
Terapi farmakoterapi yang lain yang dapat digunakan dengan penggunaan
glukokortikoid, yaitu pada pasien dengan stage III atau IV dan terjadi
eksaserbasi yang berulang. Pilihan pemakaiannya adalah dengan inhalasi yang
diharapkan dapat digunakan untuk menurunkan frekwensi eksaserbasi. Lebih

baik lagi jika digunakan dengan kombinasi bersama ß2-agonist, dan tidak
dianjurkan untuk menggunakan glukokortikoid secara oral yang
berkepanjangan karena memiliki efek samping sistemik berupa steroid
myopathy.
Terapi non-farmakologi yang dapat digunakan antara lain adalah:
1. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK. Kemungkinan disebabkan
karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorius
yang yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnea yang
menyebabkan hipermetabolisme. Asupan nutrisi yang seimbang adalah
yang utama pada pasien PPOK.
2. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi adalah untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualitas hidup dari penderita PPOK. Penderita PPOK
yang diamsukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan yang optimal disertai dengan :
gejala pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat,
Kualitas hidup yang menurun
 Program rehabilitasi terdiri dari tiga komponen yaitu : latihan fisik,
psikososial, dan latihan pernapasan. Latihan pernapasan ditujukan untuk
mengurangi dan mengontrol sesak napas penderita. Teknik latihan ini
meliputi pernapasan diafragma, dan pursed-lips breathing guna
memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan
thoraks.
 Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia yang progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Terapi ini merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Indikasi
pemberian terapi oksigen adalah :
a. PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90 %
b. PaO2 diantara 55-59 mmHg atau SaO2 > 89% disertai kor pulmonal,
perubahan P pulmonal, Hct > 55 %, dan tanda-tanda gagal jantung
kanan, sleep apnea, dan
c. penyakit paru yang lain.
d. Terapi oksigen dapat dilakukan di rumah maupun di rumah sakit.
 Ventilatory Support
 Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU ataupun di rumah.
Berikutnya adalah penanganan terhadap keadaan eksaserbasi akut.
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi
yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Untuk
eksaserbasi ringan dapat dilakukan oleh penderita yang telah dilatih dengan
cara:
1. Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator dari bentuk inhaler, oral menjadi bentuk nebulizer, dan dosis
serta pemberian ditingkatkan.
2. Steroid sistemik dapat diberikan misalnya prednisolon 400 mg selama 10-
14 hari, antibiotik bila ada tanda infeksi cukup jelas, umumnya 7-14 hari.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan dengan
rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di: (1) Poliklinik rawat jalan, (2)
Unit Gawat Darurat, (3) ruang rawat, (4) ruang ICU. Perawatan rawat inap
di RS pada pasien eksaserbasi akut PPOK dilakukan bila didapatkan tanda
eksaserbasi berat berupa sesak yang memberat dan berkepanjangan,
adanya peningkatan produksi sputum, dan perubahan warna sputum
menjadi purulen dan perburukan kondisi umum pasien yang membutuhkan
perawatan yang lebih intensif di RS. Prinsip penanganannya adalah atasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal nafas. Bila
telah terjadi gagal nafas, segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa
hal yang harus diperhatikan :
3. Pemberian obat-obatan yang optimal
a. Bronkodilator
Bila rawat jalan β-2 agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan rumah sakit, bronkodilator dapat
diberikan secara intravena dan nebulizer, dengan pemberian yang lebih
sering, perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek
samping bronkodilator. Sebagai contoh :
1) Ipratropium bromide bekerja menghambat refleks vagal yang
menyebabkan kontraksi otot polos jalan nafas dan mengurangi
sekresi mukus tanpa menambah kekentalannya.
2) Salbutamol bekerja mengatasi bronkospasme dan edema bronkhial
juga merangsang mobilisasi dahak. Pemberian secara kombinasi
akan memperkuat efek bronkodilatasi selain itu akan memudahkan
bagi penderita karena pemberiannya lebih sederhana, atau dapat
diberikan Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali
setiap jam dan dapat dilanjutkan dengan pemberian perdrip 3
ampul per 24 jam. Bila tidak ada digunakan Adrenalin 0,3 mg
subkutan, dengan hati-hati.
3) Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) dilanjutkan
perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
4) Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama
dalam 1 botol cairan perinfus. Cairan infus yang dipergunakan
adalah dekstrose 5%, NaCl 0,9% atau Ringer laktat.
b. Antibiotika
Diberikan bila terdapat 2 atau lebih dari gejala peningkatan sesak,
peningkatan jumlah sputum atau sputum berubah menjadi purulen.
Pemilihan disesuaikan pola kuman setempat. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat
jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya dikombinasi dengan
makrolide, bila ringan dapat diberi tunggal. Antibiotika diberikan
karena adanya infeksi pada saluran nafas.
c. Kortikosteroid
Diberikan tergantung derajat eksaserbasi. Derajat sedang dapat
diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu dan pada derajat
berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak efek
sampingnya.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK eksaserbasi
yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi akut, terutama pada bronkitis
kronis dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada
PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin. Pemberian mukolitik berguna untuk mengencerkan dahak yang
mempermudah pengeluaran dahak sehingga meringankan batuk
berdahak. Bila diperlukan dapat ditambahkan dengan ekspektoran
untuk membantu mengeluarkan dahak
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah :
1. Gagal nafas

Gagal nafas kronik: hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2>

60 mmHg, dan pH normal


Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, ditandai oleh:
Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, Sputum bertambah dan purulent,
Demam, Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya
infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
3. Kor pulmonal: ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%,
dapat disertai gagal jantung kanan
H. PROGNOSIS
Beberapa penelitian menunjukkan predictor mortalitas pasien PPOK adalah
usia tua dan penurunan forced expiratory volume per detik (FEV1). Pasien
usia muda dengan PPOK memiliki tingkat mortalitas lebih rendah kecuali
pada keadaan defisiensi alpha1-antitrypsin, abnormalitas genetic yang
menyebabkan panlobular emfisema pada usia dewasa muda. Defisiensi
alpha1-antitrypsin harus dicurigai ketika PPOK muncul pada lebih muda dari
45 tahun dan tidak ada riwayat bronchitis kronis atau penggunaan tembakau,
atau ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit paru obstruktif pafda usia

muda. 5
BAB III
KESIMPULAN

PPOK merupakan penyakit yang bersifat kronis dan dapat kambuh (mengalami
eksaserbasi) apabila ada pencetus.
Faktor-faktor risiko pemicu eksaserbasi akut PPOK adalah kebiasaan merokok
yang lama, paparan terhadap insektisida, sirkulasi udara dalam rumah yang
kurang baik, paparan asap dapur arang, paparan debu di dalam rumah pasien dan
kebiasaan membakar sampah.
Pasien harus mengenakan masker atau kain penutup hidung dan mulut saat
bepergian keluar rumah atau bekerja di sawah, serta dalam setiap kondisi
menghindari terpapar dari asap saat pembakaran sampah, pada ruangan tertutup
dengan dupa menyala saat sembahyang dan saat terpapar insektid
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Tim Kelompok Kerja PPOK; 2012.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam, edisi 1, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2012.

3. Kasper, D.L., Braunwald,E., Fauci, A., Hauser, A., Longo, D, Harrison


Principles of Internal Medicine, McGraw-Hill Professional, New York; 2016

4. Kathryn L. Mc Cance et al. Pathophysiology. The Biologic Basis for


Disease in Adults and Children.,6th ed. Canada. Mosby. Pg 1286-1290; 2010

5. WHO. COPD. Definition. WHO 2010. [Cited] 8 april 2019. Didapat dari :
http://www.who.int/respiratory/copd/definition/en/index.html

6. Gabriel Ortiz. Applying the 2009 Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) Guidelines for the Pharmacological Management of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Clinical Practice. [Cited] 30
August 2011. Didapat dari :
http://www.advanceweb.com/web/astrazeneca/copd/gold_guidelines.html

7. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2012. hal 1-56

8. Bambang S.R et al. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Ilmu Penyakit


Dalam.Vol II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Jakarta, Juni 2016, hal 978-987

9. Roberto R.R, et al. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease.
In : Pocket Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease:2011.

Anda mungkin juga menyukai