BERSYUKUR.
َـح َمدُهُ َونَ ْستَ ّع ْينُهُ َونَ ْست َ ْغ ّف ُرهَُ ،ونَعُوذُ ّباهللّ ّم ْن َّ
إن الـ َح ْمدَ ّ هلِلّ ن ْ
ض َّل لَهُ، ت أ َ ْع َما ّلنَاَ ،م ْن يَ ْه ّد ّه هللاُ فَ ََل ُم ّ ور أ َ ْنفُ ّسنَا َو ّم ْن َ
س ّيهئَا ّ ش ُر ّ ُ
ّي لَهَُ ،وأ َ ْش َهدُ أَن الَّ ّإلَهَ ّإالَّ هللا َو ْحدَهُ َال ض ّل ْل فَ ََل َهاد َ َو َم ْن يُ ْ
سولُه ش َّري َْك لَهُ َوأ َ ْش َهدُ أَ َّن ُمـ َح َّمداً َ
ع ْبدُهُ َو َر ُ
قال هللا تعالى فى كتابه الكريم ،يَا أَيُّ َها الَّذّينَ آ َمنُوا اتَّقُوا َّ
َّللاَ
َح َّق تُقَاتّ ّه َو َال ت َ ُموت ُ َّن ّإ َّال َوأ َ ْنت ُ ْم ُم ْس ّل ُمونَ
سدّيدًا وقال تعالى ،يَا أَيُّ َها الَّذّينَ آ َمنُوا اتَّقُوا َّ
َّللاَ َوقُولُوا قَ ْو ًال َ
سولَهُ ص ّل ْح لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغ ّف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم َو َم ْن يُ ّط ّع َّ
َّللاَ َو َر ُ يُ ْ
ع ّظي ًما فَقَ ْد فَازَ فَ ْو ًزا َ
يسنَ ْال َه ْدي ّ َه ْد ُ
َّللاّ َ ،وأَ ْح َ
اب َّ ث ّكت َ ُ صدَقَ ْال َحدّي ّ أَ َّما بَ ْعدُ ،فإّ َّن أ َ َ
سلَّ َم َ ،وش ََّر األ ُ ُم ّ
ور ُم ْحدَثَات ُ َها َ ،و ُك َّل علَ ْي ّه َو َ صلَّى َّ
َّللاُ َ ُم َح َّم ٍد َ
ضَللَ ٍة ّفي النَّ ّ
ار ضَللَةٌ َ ،و ُك َّل َ ع ٍة َ عةٌ َ ،و ُك َّل ّب ْد َ
ُم ْحدَث َ ٍة ّب ْد َ
Ummatal Islam,
ش ُك ُ
ور ﴿﴾١٣ … َوقَ ّلي ٌل ّ هم ْن ّعبَاد َ
ّي ال َّ
“…Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba[34]: 13)
Allah juga memuji Nabi Nuh, karena ia termasuk hamba Allah yang bersyukur. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berjanji untuk memberikan tambahan kepada orang-orang
yang bersyukur. Allah berfirman:
Semakin banyak nikmat, semakin banyak harta yang Allah berikan kepada seorang
hamba, bukan menjadikan dia semakin dekat dan bertaqarrub kepada Allah. Akan
tetapi semakin menjadikan dia kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bersombong, karena ia merasa memiliki harta yang banyak. Ujub dengan
kekayaannya dan hartanya, dengan pakaiannya yang mewah. Seperti si Qorun yang
ia keluar kepada kaumnya dengan perhiasannya dan ia merasa sombong
dengannya. Ia menganggap bahwasannya kekayaan itu semua hasil jerih payahnya.
Tanpa sama sekali menisbatkan kepada Allah pemberi kenikmatan tersebut.
Oleh karena itulah, berapa banyak kenikmatan-kenikmatan tersebut seringkali
membuat kita lupa kepada Allah. Cobalah kita renungkan dalam kehidupan kita.
Allah memberikan kepada kita nikmat-nikmat yang banyak. Berupa nikmat pakaian,
demikian pula nikmat makanan, nikmat tempat tinggal, demikian pula nikmat
kendaraan, terutama nikmat ketika kita bisa berhubungan dengan manusia berupa
handphone. Demikian pula alat-alat komunikasi yang lainnya.
Semua itu adalah nikmat yang Allah berikan kepada kita. Tapi entah kenapa
kamudian diantara kita lebih disibukkan dengan WhatsApp, lebih disibukkan dengan
Facebook, lebih disibukkan dengan alat-alat tersebut daripada berdzikir kepada
Allah, lebih disibukkan dari membaca Al-Qur’anul Karim, lebih disibukkan daripada
berdzikir kepada Allah.
Bahkan ia lebih banyak membaca WhatsApp daripada ia membaca Al-Qur’an,
daripada ia membaca kitab-kitab para ulama. Bukankah itu semua adalah nikmat
Allah? Bukankah itu sesuatu yang harus disyukuri? Sedangkan syukur itu kita
gunakan untuk menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan Untuk kufur kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyebutkan bahwasannya syukur itu
mempunyai rukun.
Rukun yang pertama, mengakui dengan hati kita bahwasannya nikmat ini adalah
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak seperti sebagaimana seseorang yang
sombong yang menganggap bahwasannya kenikmatan tersebut hasil dari pada jerih
payahnya, karena kecerdasannya, karena keterampilannya, karena kemampuannya
dalam berbisnis sehingga dia tidak menisbatkan itu kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Maka seorang yang mengakui bahwasanya nikmat ini semua dari Allah dan semua
itu diberi oleh Allah, maka ia telah mensukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rukun yang kedua, ia mengucapkan dengan lisannya puji dan syukur kepada
Allah. Karena sesungguhnya ia tahu dan yakin bahwasannya satu-satunya yang
memberikan kenikmatan hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan atasannya,
bukan pula siapa-siapa, dia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa pemberi rezeki
hanyalah Allah. Maka ia memuji Allah, ia puji Allah atas seluruh kenikmatan-
kenikmatan yang Allah berikan kepadanya.
Adapun rukun yang ketiga kata Ibnul Qayyim yaitu menggunakan nikmat-nikmat
tersebut untuk mentaati Allah. Kita gunakan HP kita untuk mentaati Allah, kita
gunakan kendaraan kita untuk menaati Allah, bahkan panca indra kita yang
merupakan nikmat yang besar, kita gunakan mata kita untuk melihat apa yang Allah
ridhai, kita gunakan telinga kita untuk mendengarkan apa yang Allah cintai, kita
gunakan hati kita untuk memahami ayat-ayatNya, kita gunakan akal yang berikan
untuk memahami ayat-ayat Allah yang Allah turunkan kepada kita. Bukan untuk
menentang ayat-ayatNya.
Siapa yang menggunakan seluruh kenikmatan tersebut saudaraku, sungguh ketika ia
gunakan dalam kebaikan dan ketaatan, ketika ia gunakan dalam perkara yang
diridhai oleh Ar-Rahman, maka sungguh ia telah mensyukuri nikmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Ummatal Islam,
Sementara kita, gembira dan senang ketika kita mendapatkan kenikmatan dunia
belaka. Lalu setelah itu kita lupa untuk mensyukurinya. Sementara Salafush Shalih
ketika diberikan kenikmatan dunia, mereka sungguh malah ketakutan. Takut itu
menjadi adzab pada hari kiamat untuknya.
Maka dari itulah saudaraku sekalian, setiap kita wajib merenungi tentang harta,
tentang karunia, tentang kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Sudah untuk
apa kita lakukan? Sebelum dihari kiamat Allah tanya kita, tanyakanlah di dunia ini
kepada diri kita sendiri.
Orang yang bersyukur tak akan tertipu dengan banyaknya amal. Banyak diantara
kita ketika kita merasa telah banyak beramal, kita merasa sudah menjadi orang yang
bersyukur. Sementara kita melihat bagaimana Rasulullah dan para Sahabatnya,
diberikan oleh Allah kenikmatan-kenikmatan yang luar biasa dalam perkara dunia
maupun agama. Terutama urusan akhiratnya.
Ini dia Rasulullah, semalam suntuk beliau shalat dan beliau perpanjang shalatnya
sampai-sampai kakinya bengkak. Kemudian ditanya oleh istrinya, “kenapa engkau
lakukan itu ya Rasulullah? Sementara Allah mengampuni dosamu yang telah lalu
maupun yang akan datang” Maka Rasulullah bersabda:
شكورا
ً ُ
أكون عبدًا يا عائشةُ ! أفَل
“Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Subhanallah..
Rasulullah tidak tertipu dengan janji Allah kepadanya berupa telah diampuni
dosanya yang lalu maupun yang akan datang. Bahkan Rasulullah tidak tertipu
dengan janji surga Allah untuknya. Justru semua itu menjadikan beliau semakin
dekat kepada Allah.
Lihatlah para Sahabat yang telah dijamin masuk surga, Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali, Rasulullah telah menyatakan bahwa mereka semua di surga. Apakah mereka
tertipu dengan janji-janji itu semuanya? Ataukah mereka
semakin bertaqarrub kepada Allah sebagai rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Maka orang yang bersyukur tak akan tertipu dengan banyaknya amal. Karena ia
tidak tahu berapa amal yang akan diterima disisi Allah. Dia tidak tahu dan bahkan
khawatir kalau ternyata Allah jadikan hatinya berpaling dari amalan shalih. Ia
dipalingkan karena cintanya kepada dunia, karena ternyata harapannya kepada
dunia naudzubillah.
علَى صلَّي َ
ْت َ علَى آ ّل ُم َح َّم ٍد َك َما َ اَللَّ ُه َّم َ
ص ّهل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َ
علَى ُم َح َّم ٍد علَى آ ّل ّإب َْرا ّهي َْمّ ،إنَّ َك َح ّم ْيدٌ َم ّج ْيدٌَ .وبَ ّ
ار ْك َ ّإب َْرا ّهي َْم َو َ
علَى آ ّل ّإب َْرا ّهي َْم،
علَى ّإب َْرا ّهي َْم َو َ ار ْك َ
ت َ علَى آ ّل ُم َح َّم ٍد َك َما بَ َ
َو َ
ّإنَّ َك َح ّم ْيدٌ َم ّج ْيدٌ
عباد هللا: