Anda di halaman 1dari 3

Tarmizi Ihza

Fakultas Bisnis dan Manajemen Teknologi

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Pendidikan di Indonesia, Sudah Wajar-kah?

“Apa yang kamu pikirkan tentang pendidikan di Indonesia saat ini?” Pertanyaan itu
pernah saya tanyakan ke beberapa teman saya. Alhasil jawaban yang mereka keluarkan
bermacam-macam, ada yang menjawab “Ya...gitu-gitu aja gak ada kemajuan”, “Pendidikan
kita itu masih kolot banget broo!”, “Bobrok cuy, liat aja noh hasilnya pada jadi koruptor”.
Bisa saya pastikan jawaban mereka semua rata-rata negatif seperti itu. Saya pun menilai
pendapat mereka bisa menjadi suatu kebenaran. Pasalnya, jika melihat hasil survei dari
Political and Economic Risk Consultant (PERC) kualitas pendidikan di Indonesia berada
pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Yang dimana posisi Indonesia persis berada di
bawah Vietnam. Sedangkan, menurut laporan PISA pada tahun 2015 - program yang
mengurutkan kualitas sistem pendidikan di 72 negara, - Indonesia masih menduduki
peringkat 62. Laporan tersebut menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih
memprihatinkan.

Melihat potret pendidikan tersebut, saya jadi teringat ketika masih berada di Sekolah
Dasar dulu. Sedikit cerita saja soal potret pendidikan yang pernah saya kenyam, ketika
menjelang Ujian Nasional (UN) Sekolah Dasar, saya bersama teman-teman saya
dikumpulkan oleh guru di sebuah kelas. Setiap kelas waktu itu seingat saya dibagi
berdasarkan tingkat kecerdasan siswanya (ya, kecerdasannya cuma diukur berdasarkan nilai
rapor). Setelah itu, kami semua diberi instruksi, siswa-siswi yang sering mendapat nilai ujian
yang bagus diminta untuk memberikan jawaban ujiannya ketika Ujian Nasional berlangsung
ke siswa-siswi lainnya. Saat itu benar-benar kami diberikan arahan yang sangat mendetail
hingga bagaimana cara untuk melakukan hal tersebut agar tidak ketahuan oleh pengawas
ujian. Wajar saja kalau kita manut-manut ae, wong kita masih kecil, ya jadinya nge-bebek
aja. Lalu bagaimana hasilnya? Ya, hampir satu angkatan kami mendapatkan nilai yang nyaris
sempurna.

Pembaca bisa menilai sendiri betapa mirisnya hal tersebut. Hal itu tidak hanya terjadi
dalam kehidupan saya. Sebuah kasus UN pada tahun 2009 di sebuah sekolah negeri Blitar
juga pernah mendapati fakta saat Ujian Nasional berlangsung, para murid dan guru-gurunya
saling contek. Lantas sekarang kita perlu bertanya, Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Dimana letak kredibilitas para pengajar di Indonesia? Apa yang salah dari sistem pendidikan
kita? Jika para pengajar yang menjadi contoh para siswanya saja berlaku curang, bagaimana
dengan siswanya? Semakin dewasa saya pun paham. Alih-alih belajar kejujuran,
kemandirian dan keberanian, serta kreativitas, yang dipelajari di sekolah justru kecurangan,
ketergantungan, dan ketakutan.
Wajah Pendidikan di Indonesia

Sistem pendidikan nasional merupakan sistem pendidikan yang dianut oleh Indonesia
sekarang. Kurikulum yang bersifat sentralistik dan berorientasi kepada nilai merupakan ciri-
ciri sistem ini. Baru-baru ini Pemerintah kembali mempertimbangkan akan menjadikan Ujian
Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan siswa. Sikap pemerintah tersebut justru dapat
menjadi negative back-wash effect yang luas dan masif di mana proses pendidikan direduksi
menjadi sekedar siasat agar lulus Ujian Nasional. Sekolah-sekolah yang masih rendah
kualitas pembelajarannya malah berpotensi melakukan berbagai cara untuk meluluskan
siswa-siswanya sekalipun dengan cara tidak terpuji.

Jagat pendidikan yang terlalu didominasi oleh Pemerintah melalui sekolah formal
dengan berbagai macam otak-atik kurikulum, selama ini belum mampu melahirkan banyak
generasi yang memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, serta memiliki rasa empati yang
tinggi terhadap masyarakat. Hal ini lantaran substansi pendidikan itu sendiri tidak didasarkan
pada kebutuhan masyarakat, maka pendidikan tersebut tidak memberi banyak manfaat bagi
masyarakat. Lantas kemudian pendidikan yang dimanifestasikan dalam institusi sekolah
hanyalah menjadi sebuah candu, tidak lebih. Selain itu, salah satu kesalahan kurikulum di
Indonesia yaitu dirumuskan dengan cara outside-in: kompetensi anak diseragamkan untuk
memenuhi kebutuhan dunia kerja. Bukan sebaliknya inside-out: mengenali dan
mengembangkan potensi, bakat dan minat yang beragam.

Tidak dapat dipungkiri lagi pada abad modern ini internet berkembang dengan sangat
pesat. Sekolah bukan lagi menjadi satu-satunya tempat belajar, melainkan internet telah
menerjang tembok-tembok tersebut. Belajar bisa dimana saja dan kapan saja, tergantung
kebutuhan ataupun keinginan sang anak sebagai warga pembelajar. Namun, kenyataannya
pendidikan nasional saat ini masih belum siap menghadapi problematika pendidikan pada era
digital. Hampir seluruh sekolah di Indonesia masih menggunakan cara-cara kuno, yang tidak
relevan dengan keadaan anak-anak Indonesia yang sesungguhnya berpotensi memiliki
kemampuan principled adaptabilty (sehat, kreatif-produktif, berakhlak mulia) jika disuguhkan
dengan pengembangan pendidikan yang sesuai.

Revolusi Pendidikan di Indonesia

Berkaca dari kesuksesan negara Finlandia sebagai teladan pendidikan dunia saat ini.
Kesuksesan Finlandia justru bukan melalui sistem pendidikan yang formal (sekolah),
melainkan dicapai dengan cara less schooling if not deschooling. Anak-anak Finlandia lebih
banyak belajar di rumah dan di luar sekolah daripada di sekolah. Peran guru dan orang tua
sangatlah vital pada sistem pendidikan di Finlandia. Sehingga kualitas guru di Finlandia
benar-benar terjamin. Hal ini menjadikan anak-anak di Finlandia tidak berorientasi pada nilai
ujian semata seperti di Indonesia, melainkan memaknai arti belajar secara lebih luas. Belajar,
bukan bersekolah.

Pembangunan pendidikan di Indonesia harus dilepaskan dari paradigma persekolahan


yang sudah lapuk. Pemerintah harus mulai bisa mengembangkan sistem pendidikan yang
lebih interaktif sesuai kebutuhan anak-anak bangsa. Munculnya media pembelajaran via
online seperti learning webs seharusnya dapat dikembangkan untuk menunjang pembelajaran
anak-anak pada pendidikan non-formal. Selain itu, sangat perlu mengembangkan metode-
metode pembelajaran secara logis pada pendidikan formal yang didesain dengan
pembelajaran yang sederhana, personal, cepat serta terdapat unsur hiburan untuk
menghilangkan sifat kekakuan pendidikan formal kita saat ini.

Anda mungkin juga menyukai