Anda di halaman 1dari 5

LO Patofisiologi

Menurut Buku Ajar Patologi Robbins (2013), tuberkulosis pada orang imunokompeten dan
belum terpajan sebelumnya berpusat pada pembentukan kekebalan yang dimediasi oleh sel dengan target
tertentu dan menimbulkan daya tahan pada organisme sehingga mengakibatkan terjadinya
hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tuberkulosis. Gambaran patologis tuberkulosis, seperti
granuloma kaseosa dan kavitasi, adalah akibat destruksi jaringan yang hipersensitif yang merupakan bagian
dari respons imun pejamu. Karena sel efektor untuk kedua proses tersebut sama, maka tampilan jaringan
yang hipersensitif juga memberi sinyal tambahan kekebalan terhadap organisme. Rangkaian kejadian dari
inhalasi zat yang infeksius untuk mengontrol focus primer diilustrasikan pada Gambar 12-35,A dan B
diringkas sebagai berikut:
1. Begitu mycobacterium turunan virulen masuk ke dalam endosom makrofag (suatu proses yang
dimediasi oleh beberapa reseptor makrofag, termasuk reseptor manose makrofag dan reseptor
komplemen yang mengenali beberapa komponen dinding sel mycobacterium), organisme tersebut
mampu menghambat respons mikrobisida normal dengan cara mencegah fusi lisosom dengan
vakuol fagositik. Pencegahan formasi fagolisosom memungkinkan proliferasi mycobacterium
tanpa terdeteksi. Sehingga, fase paling dini dari tuberculosis primer (pada 3 minggu pertama) pada
pasien yang belum tersensitisasi yang ditandai oleh proliferasi basil di dalam makrofag alveolus
paru dan rongga udara, serta terjadi bakteremia yang selanjutnya terjadi penyemaian pada berbagai
tempat. Terlepas dari bakteremia, sebagian besar pasien pada fase ini bersifat asimptomatik
atau mengalami gejala mirip flu ringan. (Kumar, 2013)
2. Susunan gen pasien mungkin memengaruhi perjalanan penyakit. Pada beberapa orang dengan
polimorfisme gen NRAMPI (natural resistance-associated macrophage protein I ), penyakit dapat
berlanjut tanpa terbentuknya respons imun yang efektif. NRAMPI adalah protein transpor ion
transmembran yang ditemukan pada endosom dan lisosom yang dipercaya berperan dalam
membunuh mikroba. (Kumar, 2013)
3. Perkembangan imunitas yang dimediasi sel yang terjadi sekitar 3 minggu pasca pajanan. Antigen
mycobacterium yang telah diproses mencapai aliran kelenjar getah bening dan dipresentasikan ke
sel T CD4+ oleh sel dendritik dan makrofag. Di bawah pengaruh IL-12 yang disekresi makrofag,
sel T CD4+ subset sel TH 1 diproduksi dan mampu mensekresi IFN-y (Kumar, 2013).
4. IFN-y yang dilepaskan oleh sel T CD4+ subset TF41 penting dalam mengaktifkan makrofag.
Makrofag yang teraktifkan akan melepas berbagai mediator dan meningkatkan regulasi
(upregulation) gen dengan efek downstream yang penting, termasuk (I) TNF, yang bertanggung
jawab untuk menarik monosit, yang kemudian menjadi aktif dan berdiferensiasi menjadi "histiosit
epiteloid" inducible nitric oxide synthase (iNOS), yang mengakibatkan peningkatan kadar oksida
nitrat pada tempat infeksi, dengan aktivitas antibakteria yang baik; dan (3) menghasilkan jenis
oksigen reaktif, yang mempunyai sifat antibakteri. Ingatlah bahwa oksida nitrat adalah zat
oksidatorkuat yang mendorong produksi nitrogen reaktif dan radikal bebas lain yang mampu
melakukan destruksi oksidatif pada beberapa komponen mycobacterium, dari dinding sel hingga
DNA nya. (Kumar, 2013)
5. Defek pada setiap langkah respons sel TH I (termasuk produksi IL-12, IFN-y, TNF, atau oksida
nitrat) mengakibatkan tidak terbentuk granuloma yang baik, tidak adanya daya tahan, dan penyakit
akan berlanjut. Orang dengan kelainan bawaan berupa mutasi pada komponen manapun dari jalur
TH I, sangat rentan terhadap infeksi mycobacterium. (Kumar, 2013)
Sebagai ringkasan, imunitas terhadap infeksi tuberculosis terutama dimediasi oleh sel TH I yang
merangsang makrofag untuk membunuh bakteri. Respons imun ini, meskipun sebagian besar efektif,
tetapi juga mengakibatkan reaksi hipersensitif disertai destruksi jaringan. Pengaktifan kembali infeksi atau
pajanan ulang basil pada pejamu yang sebelumnya sudah sensitive mengakibatkan mobilisasi cepat reaksi
pertahanan tubuh, namun juga meningkatkan nekrosis jaringan. Sebagaimana keadaan hipersensitif dan
daya tahan timbul secara paralel atau bersamaan, maka begitu pula hilangnya keadaan hipersensitif
(ditandai oleh uji tuberkulin negatif pada pasien yang sebelumnya positif) dapat menjadi tanda bahwa daya
tahan terhadap organisme tersebut juga telah hilang. (Kumar, 2013)
Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer adalah suatu bentuk penyakit yang terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak
pernah terpajan dan tidak pernah tersensitisasi. Orang tua dan pasien dengan sistem imun yang sangat
tertekan dapat kehilangan sensitivitas terhadap basil tuberkulosis, sehingga dapat mengalami tuberkulosis
primer lebih dari sekali. Sekitar 5% dari pasien yang baru terinfeksi menderita penyakit yang signifikan.
(Kumar, 2013)
Konsekuensi utama tuberkulosis primer adalah (1) penyakit ini menginduksi hipersensitivitas dan
meningkatkan daya tahan; (2) focus jaringan parut dapat menyimpan basil yang viabel selama
bertahuntahun, mungkin seumur hidup, dan dapat menjadi nidus reaktivasi di kemudian hari apabila sistem
imun pejamu terganggu; dan (3) jarang, tetapi dapat menimbulkan tuberkulosis primer progresif.
Komplikasi ini terjadi pada pasien dengan imunitas terganggu atau memiliki gangguan pertahanan tubuh
yang tidak spesifik, misalnya khas pada anak-anak dengan malnutrisi atau pada orang tua. Kelompok ras
tertentu, misalnya suku Inuit, juga lebih rentan terhadap terjadinya tuberkulosis primer progresif. Kejadian
tuberkulosis primer progresif meningkat pada pasien HIV positif dengan derajat imunosupresi yang lanjut
(misalnya, hitung CD4+ di bawah 200 se1/1.4. Keadaan dengan imunosupresi mengakibatkan kegagalan
dalam menimbulkan reaksi imunologi yang dimediasi oleh sel T CD4+ yang akan mengontrol focus primer,
karena hipersensitivitas dan daya tahan merupakan faktor yang saling berkaitan, maka kurangnya reaksi
hipersensitivitas jaringan mengakibatkan tidak terjadi granuloma kaseosa yang khas (tuberkulosis
nonreaktif) (Gambar 12-37, D). (Kumar, 2013)

Tuberkulosis Sekunder (Reaktivasi Tuberkulosis)


Tuberkulosis sekunder adalah penyakit yang muncul pada pejamu yang sebelumnya tersensitisasi.
Penyakit ini dapat terjadi segera sesudah tuberkulosis primer, namun seringkali timbul akibat reaktivasi lesi
primer yang dorman beberapa dekade setelah infeksi awal, terutama ketika daya tahan pejamu melemah.
Tuberkulosis sekunder dapat juga berasal dari reinfeksi eksogen karena menurunnya proteksi yang
ditimbulkan oleh penyakit primer atau karena menghirup sejumlah besar basil yang virulen. Apa pun
sumber organismenya, hanya beberapa pasien (kurang dari 5%) dengan penyakit primer yang akhirnya
menderita tuberkulosis sekunder. (Kumar, 2013)
Tuberkulosis paru sekunder secara klasik terbatas di apeks salah satu atau kedua lobus atas.
Alasannya belum jelas, namun mungkin juga berkaitan dengan tekanan oksigen yang tinggi di kedua apeks.
Karena keadaan hipersensitif sebelumnya, maka basil dapat mengeksitasi respons jaringan dengan segera
dan nyata yang cenderung membentengi fokus tersebut. Sebagai akibat dari lokalisasi ini, kelenjar getah
bening regional menjadi kurang berperan di awal penyakit dibandingkan dengan pada tuberkulosis primer.
(Kumar, 2013)
Sebaliknya, kavitasi dapat mudah terjadi pada bentuk sekunder, mengakibatkan erosi ke dalam
dan diseminasi di sepanjang jalan napas. Kondisi tersebut menjadi menjadi sumber infeksi yang penting,
karena pasien sekarang memproduksi sputum yang mengandungi basil. (Kumar, 2013)
Tuberkulosis sekunder selalu perlu dipertimbangkan pada pasien dengan HIV positif yang muncul
dengan penyakit paru. Perlu diketahui, meskipun peningkatan risiko tuberkulosis terjadi pada semua
stadium penyakit HIV, manifestasinya berbeda-beda bergantung pada derajat imunosupresi. Sebagai
contoh, pasien dengan imunosupresi yang tidak terlalu berat (hitung CD4+ lebih besar dari 300 sel/mm3)
akan terjadi tuberkulosis sekunder yang "biasa" (penyakit di apeks dengan kavitasi) sementara pasien
dengan imunosupresi yang lebih berat (hitung CD4+ di bawah 200 sel/mm3) timbul dengan gambaran klinis
yang mirip tuberkulosis primer progresif (konsolidasi lobus bawah dan tengah, limfadenopati hilus, dan
penyakit nonkavitas). Derajat imunosupresi juga menentukan frekuensi keterlibatan jaringan di luar paru,
yang meningkat dari 10% hingga 15% pada pasien dengan imunosupresi ringan menjadi lebih dari 50%
pada pasien dengan imunodefisiensi berat. (Kumar, 2013)

Daftar Pustaka :
Kumar, V., Abbas, Abdul K. And Aster, John C. 2013. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9.
Penerjemah: I Made Nasar. Singapura: Elsevier, hal 65-66

Anda mungkin juga menyukai