Anda di halaman 1dari 30

SKENARIO

Aduh, terbakar rasa dadaku !!!

Seorang perempuan berusia 50 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan dada terasa panas
sejak 4 bulan yang lalu yang semakin memberat semenjak 1 minggu terakhir. Keluhan disertai
dengan makan cepat kenyang, nyeri ulu hati disertai perut kembung dan sering sendawa setelah
makan. Pasien mengeluh nyeri hilang timbul, mual, muntah terasa asam di mulut. Pasien
mengeluh sesekali terbangun dari tidur karena keluhan tersebut. Pasien mengaku sering minum
soft drink dan jamu.

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis.
Tanda Vital : TD 110/70 mmHg, Nadi 80 x/menit, RR 20x/menit, suhu 36 C
BB: 65 kg, TB : 158 cm
Pemeriksaan Spesifik
Kepala dalam batas normal
Leher dan thoraks dalam batas normal
Abdomen :
inspeksi : datar
Palpasi : soefl, nyeri tekan epigastrium (+) , hepar lien tidak teraba
Perkusi : shifting dullness (-)
Ekstremitas : palmar eritema (-), akral pucat, edema perifer (-)

Dokter kemudian menyerahkan kuosioner yang harus diisi oleh pasien. Setelah menyimpulkan
hasil kuosioner, dokter memberikan terapi Lanzoprazole tablet 1x 30 mg. Pasien juga diminta
untuk mengurangi berat badannya sampai mencapai ideal serta memberikan penjelasan mengenai
adab makan sesuai Nabi untuk dapat dipraktekkan.

1
LANGKAH 1
KLARIFIKASI KATA SULIT

1. Shifting Dullness : Suara pekak berpindah – pindah saat dilakukan perkusi akibat
adanya cairan bebas dalam rongga abdomen
2. Palmar Eritema : Bintik – bintik merah pada telapak tangan.
3. Epigastrium : Regio abdomen bagian tengah diatas umbilicus dibawah P.
Xiphoideus
4. Lansoprazole : Obat golongan Proton Pump Inhibitor (PPI), untuk mengatasi
gangguan saluran pencernaan akibat peningkatan asam lambung
5. Ulu Hati : Nama lain dari epigastrium (nama bagi orang awam)

2
LANGKAH 2
RUMUSAN MASALAH

1. Apa hubungan usia san jenis kelamin terhadap keluhan pasien?


2. Mengapa pasien mengeluhkan heartburn sejak 1 minggu yang lalu?
3. Mengapa pasien mengeluhkan cepat kenyang, nyeri ulu hati, kembung dan sendawa?
4. Mengapa pasien nyeri hilang timbul, mual & muntah, serta terasa asam dimulut?
5. Mengapa pasien sesekali terbangun saat tertidur pada malam hari?
6. Apa hubungan riwayat suka minum softdrink dan jamu dengan keluhan?
7. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter?
8. Mengapa dokter menyerahkan kuisioner kepada pasien dan apa isi daripada kuisioner
tersebut?
9. Mengapa dokter memberikan terapi lanzoprazole tablet 1x30 mg?
10. Mengapa pasien diminta mengurangi BB?
11. Bagaimana anjuran makan yang sesuai dengan anjuran Nabi SAW?
12. Apa KIE yang diberikan oleh dokter kepada pasien?
13. Apa kemungkinan diagnosis?

3
LANGKAH 3
JAWABAN RUMUSAN MASALAH
1.
a. Jenis Kelamin
Memiliki rasio yang sama antara perempuan dengan laki-laki. Perempuan lebih sering
mengalami heartburn,gejala ini cederung terjadi pada wanita hamil.Karena menopause
(terjadi degenerasi )
b. Usia
Dapat mengenai semua usia, prevalensi meningkat ketika usia >40 tahu, karena
2. Mengapa pasien cepat
Heartburn (nyeri ulu hati dengan rasa terbakar), terjadi akibat asam lambung yang naik dan
mengalami refluks dikarenakan sfingter tidak adekuat di daerah peralihan antara esofagus
dan lambung
Tidak dapat tidur pada malam hari karena keluhan, dikarenakan pada saat tidur terlebih lagi
pada saat berbaring maka pada saat itu tidak ada gaya gravitasi yang mempengaruhi
Memberat 1 minggu, karena mengalami refluks yang terus menerus sehingga
menyebabkan iritasi yang semakin parah pada bagian esofagus dan lambung efek dari asam
lambung yang berlebih.
3. Kenyang: lambung lambat untuk melakukan pengosongan, adanya produksi asam lambung
yang banyak sehingga memenuhi ruang lambung dan memberikan rasa kenyang
Nyeri ulu hati : respon yang menurun, epitel mengalami iritasi akibat asam lambung
(destruksi epitel saluran pencernaan)
Kembung dan sendawa : HCL meningkat dapat meningkatkan produksi gas, karena ada
perjalanan dari gas ke arah rongga mulut melalui sfingter terjadilah sendawa
4. Mual muntah karena adanya respon fagal dari esofagus bagian bawah saat terjadinya aliran
retrograde dari lambung ke esofagus yang sebenarnya aliran nya anterograde, SEB
(sfingter esofagus bawah) akan terbuka pada saat rangsangan distensi mendadak atau iritan
dalam jumlah besar lalu diteruskan ke pusat muntah di medula oblongata.
Teras asam dimulut karena asam lambung mengalami refluks (naik ke arah rongga mulut
melalu esofagus) sehingga rongga mulut merasakan sensasi asam
5. Akibat tidak adanya gaya gravitasi
6. Soft drink: kandungan karbondioksida (pH 3,7) yang masuk ke lambung sehingga
meningkatkan pH di lambung. Minuman ini juga mengandung pemanis
Jamu : mengandung steroid (anti-inflamasi, memblok COX tidak spesifik > tidak bisa
memproduksi mukus) > peningkatan PH lambung.

4
7. Keadaan umum : sakit ringan, komposmentis
BB : 65 kg
TB : 158
BMI = 26, overweight
Abdomen : palpasi, nyeri tekan epigastrium, adanya kelainan pada organ sebelum intestine
atau daerah epigastrium (perut bagian tengah antara umbilikus dan precessus xyphoideus).
Hepar dan lien tidak teraba, menandakan tidak adanya hepatomegali dan spleenomegali.
Perkusi, shifting dullness,
Ekstremitas : tidak adanya bintik merah di telapak tangan pasien (palmar eritema -), akral
pucat, dan tidak ditemukannya edema perifer sehingga ekstremitas dapat dikatakan normal.
8. Karena pemeriksan GOLD standartnya adalah endoskopi, tetapi kemungkinan kondisi di
puskesmas tidak memadai, sehingga memakai kuisioner. Isi kuisioner ada 6 pertanyaan,
penilaian dari 1-3 point, apabila akumulasi nilai >8 point maka harus diterapi, dan apabila
nilai < 7 tidak diperlukan terapi. Refluks terjadi baik pada kondisi fisiologis maupun
kondisi patologis, sehingga diberikan kuisioner untuk mengetahui kondisi kesehatan pasien
yang nantinya dapat mengarahkan dokter untuk mendiagosis kondisi patologis dari saluran
cerna tersebut.
9. Merupakan golongan PPI, pengganti benzimidazole : menghambat produksi asam lambung
dengan menghambat step terakhir sekresi asam lambung (inhibit enzim ATPase,
transporter ion H+/K+, CL- dalam sel parietal). Pemberian hingga 4-8 minggu, dengan
dosis 15-30 mg sebelum makan. PPI setingkat dengan terapi pembedahan. Pemberian
terapi untuk menegakkan diagnosis refluks esofagus atau refluks gastroesofageal.
10. Karena untuk mengontrol berat badan yang ideal sehingga dapat mengurangi resiko
terkena refluks esofagus atau GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) atau penyakit
lainnya.
11. Adab makan Nabi saw adalah anjuran untuk menyisahkan isi perut dengan pembagian 1/3
makanan, 1/3 udara, 1/3 cairan. Makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Makan dengan duduk (gravitasi). Makan dengan tiga jari (untuk membatasi intake
makanan sehingga tidak berlebihan). Dijelaskan juga di dalam Al-quran surat Al-A’raf ayat
31 yang artinya,“.... makan dan minumlah, dan jangan berlebih-berlebihan...”
12. Mengurangi berat badan, menghindari faktor resiko lain: menghindari atau mengurangi
konsumsi jamu dan soft drink.
13. GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) dan maag kronik

5
LANGKAH 4
PETA MASALAH

6
LANGKAH 5
LEARNING OUTCOME

1. Definisi dan klasifikasi Gastroesophageal Reflux Disease


2. Epidemiologi Gastroesophageal Reflux Disease
3. Mekanisme sekresi asam lambung
4. Faktor resiko Gastroesophageal Reflux Disease
5. Etiopatofisiologi Gastroesophageal Reflux Disease
6. Kriteria diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease
7. Diagnosis banding Gastroesophageal Reflux Disease
8. Tatalaksana astroesophageal Disease
9. Komplikasi dan prognosis Gastroesophageal Reflux Disease
10. Pencegahan Gastroesophageal Reflux Disease
11. Adab makan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW

7
LANGKAH 6
SELF DIRECTED LEARNING

8
LANGKAH 7
(JAWABAN LO DAN PETA KONSEP)

1. Definisi dan Klasifikasi Gastroesophageal Reflux Disease


GERD didefinisikan sebagai suatu gangguan di mana isi lambung mengalami refluks
secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang
mengganggu. Pernyataan ini diajukan oleh Konsensus Asia Pasifik mengenai GERD tahun 2008, di
mana penekanan diberikan kepada kata “mengganggu”, oleh karena menandakan adanya gangguan
terhadap kualitas hidup dan menyarikan pendapat umum yang menyatakan bahwa apabila refluks
esofageal ingin dinyatakan sebagai penyakit, maka kelainan tersebut harus mempengaruhi kualitas
hidup pasien (Fock dkk, 2008).
GERD juga dapat dipandang sebagai suatu kelainan yang menyebabkan cairan lambung
dengan berbagai kandungannya mengalami refluks ke dalam esofagus, dan menimbulkan gejala
khas seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) serta
gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri epigastrium, disfagia, dan
odinofagia.2 Gejala GERD dapat mengalami tumpang tindih dengan sindroma dispepsia, sehingga
pembedaannya harus dilakukan dengan cermat. Heartburn tidak mempunyai padanan kata dalam
bahasa Indonesia, sehingga anamnesis perlu dilakukan dengan cermat. Namun demikian, saat ini
pemahaman masyarakat mulai meningkat dan penjelasan menggunakan bahasa lokal dapat
membantu penyampaian pesan, misal “rasa panas dari ulu hati dan naik ke arah dada”. Selain itu,
masyarakat Asia nampaknya lebih mudah memahami regurgitasi asam, yang diartikan sebagai
perasaan adanya cairan asam di dalam mulut Martinez-Serna, 1999).
Terdapat dua kelompok pasien GERD, yaitu pasien dengan esofagitis erosif yang ditandai
dengan adanya kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan endoskopi (Erosive
Esophagitis/ERD) dan kelompok lain adalah pasien dengan gejala refluks yang mengganggu tanpa
adanya kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan endoskopi (Non-Erosive Reflux
Disease/NERD). Data yang ada menunjukkan bahwa gejala-gejala yang dialami oleh pasien NERD
juga disebabkan oleh asam, berdasarkan pemantauan pH, respons terhadap penekanan asam dan tes
Bernstein yang positif (Fock dkk, 2008).
GERD refrakter adalah pasien yang tidak berespons terhadap terapi dengan penghambat
pompa proton (Proton Pump Inhibitor/PPI) dua kali sehari selama 4-8 minggu. Pembedaan ini
penting oleh karena individu dengan GERD refrakter ini harus menjalani endoskopi saluran cerna
bagian atas (SCBA) untuk mengeksklusi diagnosis penyakit ulkus peptik atau kanker dan
mengidentifikasi adanya esofagitis (Richter, 2007).

9
Refluks non-asam (Non Acid Reflux/NAR) adalah suatu kondisi di mana refluksat dapat
berupa cairan empedu, cairan asam lemah atau alkali, dan/atau gas.4 NAR dapat merujuk kepada:
(a) Episode refluks yang terdiagnosis dengan manometri atau skintigrafi tanpa adanya
penurunan pH di bawah 4;
(b) Kejadian GERD yang terdiagnosis dengan pemantauan metode spektrofotometri
(Bilitec);
(c) Kejadian refluks yang terdiagnosis dengan pemantauan impedansi tanpa adanya
penurunan pH atau penurunan pH yang tidak mencapai angka 4; dan
(d) Kejadian refluks yang terdiagnosis dengan pemantauan impedansi tanpa adanya
perubahan pH atau penurunan pH kurang dari (Sifirm, 2004).

2. Epidemiologi Gastroesophageal Reflux Disease

Regurgitasi merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan pada bayi yang
mengalami RGE. Regur– gitasi 1-4 kali setiap harinya ditemukan pada 70% bayi berumur 3-4
bulan, 5%-12% bayi berumur 9-12 bulan, dan 0-3% anak berumur 2 tahun.6-8,9 Esofagitis refluks
ditemukan pada 15%-62% anak dengan gejala PRGE dan prevalensinya meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia.10 El-Serag dkk. Melaporkan prevalens esofagitis refluks 27% pada usia 1,5-5
tahun, 31% pada usia 5-10 tahun, dan 58% pada usia 10-15 tahun. Prevalens tertinggi ditemukan
pada usia 15-25 tahun yaitu 91%.11 Esofagus Barrett ditemukan pada 0,1%-3% anak dan
diperlukan tindakan bedah pada 6%-13% kasus.10 Berdasarkan laporan orangtua, keluhan
heartburn ditemukan pada 1,8% anak berusia 3-9 tahun dan 3,5% anak berusia 10-17 tahun,
sedangkan nyeri epigastrium ditemukan pada 7,2% anak berusia 3-9 tahun dan 3% anak usia 10-17
tahun (Nelson. 2000).
Berdasarkan 16 studi epidemiologi yang telah dilakukan, prevalensi GERD di Amerika
Utara 18,1%–27,8%, Amerika Selatan 23,0%, Eropa 2,5%–7,8%, Australia 11,6%, Timur Tengah
8,7%– 33,1%, dan Asia 2,5%–7,8%. Data ini menunjukkan bahwa kejadian GERD di Asia adalah
yang terendah dari negara-negara lain di dunia (EL-Serag, dkk,. 2014).
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun Divisi Gastroenterologi
Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan kasus esofagitis
sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia
(EL-Serag, dkk,. 2014).
Kejadian GERD dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa obesitas, berat badan, dan kenaikan indeks massa tubuh (IMT) berkaitan
dengan GERD. Obesitas adalah faktor penting, yang kejadiannya juga semakin lazim pada
populasi dunia (Mohammed, dkk,. 2005).

10
Angka kejadian refluks pada bayi baru lahir terjadi pada bulan pertama kelahiran,
puncaknya pada bulan ke-4 dengan lebih dari 1 kali episode regurgitasi. Pada umur 6–7 bln gejala
berkurang dari 61% menjadi 21% dan hanya 5% pada bayi berumur 12 bulan yang masih
mengalami RGE. Penyakit RGE (PRGE) terjadi ketika RGE menimbulkan komplikasi seperti
esofagitis, striktura, dan pneumonia. Keadaan ini jarang terjadi tapi akan meningkat pada anak
dengan cerebral palsy, sindroma Down, cystic fibrosis dan kelainan anatomi saluran cerna bagian
atas (hiatus hernia, stenosis pilorus). Tampaknya pada PRGE terdapat faktor predisposisi genetik
(Nelson. 2000).

3. Mekanisme Sekresi Asam Lambung

Gambar 1. Anatomi lambung


sumber: Sherwood, 2007

H+ yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses metabolik di
dalam sel parietal (Gambar 2). Secara spesifik, H+ yang akan disekresikan berasal dari penguraian
molekul H2O menjadi H+ dan OH (ion hidroksil) di dalam sel parietal. H+ ini disekresikan ke
dalam lumen oleh H+ K+. AIPase di membran luminal sel parietal. Pembawa transpor aktif primer
ini juga memompa Kt ke dalam sel dari lumen, serupa dengan pompa Na-K. ATPase yang sudah
anda kenal. K+ yang dipindahkan tersebut kemudian secara pasif mengalir kembali ke dalam lumen
melalui saluran K+ sehingga kadar K+ tidak berubah oleh proses sekresi H+ ini. Sementara itu OH
yang dihasilkan oleh penguraian H2O dinetralkan dengan berikatan dengan H+ baru yang
dihasilkan dari asam karbonat (H2CO3). Sel parietal mengandung banyak enzim carbonat
anhidrase (ca). Dengan keberadaan karbonat anhidrase, H2O cepat berikatan dengan CO2, yang
diproduksi oleh sel parietal dari proses metabolik atau berdifusi masuk dari darah. Kombinasi H2O
dan CO, menyebabkan terbentuknya H2CO3, yang mengalami penguraian parsial untuk

11
menghasilkan H+ dan HCO3- . H+ yang dihasilkan pada hakikatnya menggantikan H+ yang
disekresikan (Sherwood, 2011).
HCO3-, yang terbentuk dipindahkan ke dalam plasma oleh penukar CI- HCO3- di
membran basolateral sel parietal. Penukar ini memindahkan CI- ke dalam sel parietal melalui
transpor aktif sekunder. Terdorong oleh gradien HCO3- , pembawa ini memindahkan HCO3-
keluar sel menuju plasma menuruni gradien konsentrasinya dan secara bersamaan memindahkan
Cl- dari plasma ke dalam sel parietal melawan gradien elektrokimiawinya. Penukar ini
meningkatkan konsentrasi Cl- di dalam sel parietal, membentuk gradien konsentrasi antara sel
parietal dan lumen lambung. Berkat gradien konsentrasi ini dan karena interior sel lebih negatif
dibandingkan dengan isi lumen maka Cl-yang bermuatan negatif yang dipompa masuk ke sel oleh
penukar di membran basolateral berdifusi keluar sel menuruni gradien elektrokimiawinya melalui
saluran di membran luminal menuju lumen lambung, menyelesaikan proses sekresi Cl- (Sherwood,
2011).

Gambar 2. Mekanisme sekresi HCl


Sumber: Sherwood, 2007

12
Fase-fase Yang Mempengaruhi Sekresi Asam Lambung
Laju sekresi lambung dapat dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor yang muncul bahkan
sebelum makanan mencapai lambung, (2) faktor-faktor yang disebabkan oleh keberadaan
makanan di lambung, dan (3) faktor-faktor di duodenum setelah makanan meninggalkan
lambung. Karena itu, sekresi lambung dibagi menjadi tiga fase; fase sefalik, fase lambung, dan
fase usus (Sherwood, 2011).
a. Fase Sefalik
Fase sefalik sekresi lambuag merujuk kepada peningkatan sekresi HCI dan pepsinogen
yang terjadi melalui mekanisme umpan sebagai respons terhadap rangsangan yang bekerja
di
kepala bahkan sebelum makanan mencapai lambung (sefalik artinya kepala). Memikirkan,
mencicipi, mencium, mengunyah, dan menelan makanan meningkatkan sekresi lambung
oleh aktivitas vagus melalui dua cara. Pertama, stimulasi vagus terhadap pleksus intrinsik
mendorong peningkatan sekresi ACh, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan
sekresi HCI dan pepsinogen oleh sel sekretorik. Kedua, stimulasi vagus pada sel G di
dalam PGA menyebabkan pembebasan gastrin, yang pada gilirannya semakin
meningkatkan sekresi HCI dan pepsinogen, dengan efek HCI mengalami potensiasi
(diperkuat) oleh pelepasan histamin yang dipicu gastrin
b. Fase Lambung
Fase lambung sekresi lambung berawal ketika makanan benar-benar mencapai lambung.
Rangsangan yang bekerja di lambung yaitu; protein, khususnya potongan peptida;
peregangan; kafein; dan alkohol meningkatkan sekresi lambung melalui jalur-jalur eferen
yang tumpang tindih. Sebagai contoh, protein di lambung, perangsang paling kuat,
merangsang kemoreseptor yang mengaktifkan pleksus saraf intrinsik, yang selanjutnya
merangsang sel sekretorik. Selain itu, protein menyebabkan pengaktifan serat vagus
ekstrinsik ke lambung. Aktivitas vagus semakin meningkatkan stimulasi saraf intrinsik
pada sel sekretorik dan memicu pelepasan gastrin. Protein juga secara langsung
merangsang pengeluaran gastrin. Gastrin, pada gilirannya, adalah perangsang kuat bagi
sekresi HCI dan pepsinogen lebih lanjut serta juga menyebabkan pengeluaran histamin,
yang semakin meningkatkan sekresi HCl. Melalui jalur-jalur yang sinergistik dan tumpang
tindih ini, protein menginduksi sekresi getah lambung yang sangat asam dan kaya pepsin,
melanjutkan pencernaan protein yang menjadi pemicu proses ini.
c. Fase Usus
Fase usus sekresi lambung mencakup faktor-faktor yang berasal dari usus halus yang
mempengaruhi sekresi lambung. Sementara fase-fase lain bersifat eksitatorik, fase ini
inhibitorik. Fase usus penting untuk menghentikan aliran getah lambung sewaktu kimus
mulai mengalir ke dalam usus halus.

13
4. Faktor Risiko Gastroesophageal Reflux Disease

Beberapa faktor risiko GERD adalah:

a) Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-channel


blocker. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tonus LES.
b) Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok. Didalam
roko mengandung nikotin yang dapat menhambat transport ion Na+ melalui epitel
esofagus sedangkan, alkohol meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Kedua
hal tersebut dapat mempengaruhi ketahanan epitel esofagus.
c) Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita hamil,
menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron. Sedangkan
pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon
estrogen.
d) Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Hiatus hernia dapat
menurunkan tonus otot LES. Selain hiatus hernia, panjang LES yang < 3 cm juga
memiliki pengaruh erhadap terjadinya GERD. Semakin pendek LES, semakin rendah
tonus ototnya.
e) Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD
juga semakin tinggi. Orang dengan berat badan berlebih atau obesitas dapat
mmeningkatkan tekanan intrabdominal yang mengakibatkan terjadinya reflux
gastroesofageal
(Sharma, 2010)

5. Etiopatofisiologi Gastroesophageal Reflux Disease


Menurut Kahrilas (2003) dan Corwin (2009), beberapa penyebab terjadinya GERD
meliputi:
Tabel x: Etiologi GERD
No. Faktor Ofensif Faktor Defensif
1. Peningkatan asam lambung Fungsi LES yang
terganggu
2. Distensi lambung dan pengosongan lambung Mekanisme bersihan
yang terlambat esofagus yang terganggu
3. Peningkatan tekanan intragastrik dan Perubahan epitel
intraabdomen esofagus
Sumber: Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) di Pusat
Pelayanan Kesehatan Primer (2017)

14
Mekanisme bersihan esofagus terganggu karena adanya bahan refluksat dari lambung yang
mengenai dinding esofagus dengan PH<2, adanya pepsin, garam empedu, HCl. Non acid refluks
(refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral. Alergi makanan juga bisa menyebabkan
refluks, namun kejadian ini tidak sering terjadi. Distensi lambung akibat bertambahnya volume
baik karena makanan atau udara dalam lambung (Kahrilas, 2003)
Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol,
merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter
bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek antikolinergik (seperti berbagai antihistamin
dan beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat. Selain itu,
kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan juga dapat menyebabkan GERD (Corwin,
2009).
GERD diperkirakan berkembang saat refluks asam dari lambung ke esophagus terjadi
secara patologis dan melibatkan perubahan epitel yang berkaitan dengan mekanisme proteksi
esophagus. Biasanya pembersihan asam esophagus dan resistensi mukosa membantu
mempertahankan keadaan seimbang secara fisiologis. Refluks asam yang berlebihan disebabkan
oleh terbukanya sfingter esophagus bagian bawah. Distensi lambung juga berkontribusi pada
peningkatan refluks dengan cara meningkatkan laju TLESR (Patti, 2010).
Peningkatan tekanan intragastrin dapat disebabkan oleh obesitas, kehamilan atau
gangguan relaksasi normal dari lambung setelah peningkatan volume lambung. Peningkatan
volume lambung biasanya terjadi setelah makan dan menyebabkan tekanan intraabdomen
meningkat dan didukung dengan tonus sfingter esophagus yang lemah, kemudian isi lambung
yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus. Setelah refluks terjadi, maka
pembersihan asam lambung pada esophagus memakan waktu yang lama dan memperpanjang
paparan mukosa esophagus terhadap efek asam yang akan merusak epitel esophagus yang
berfungsi proteksi. Dengan ini maka gerak peristaltic juga akan menurun (Patti, 2010).
TLESR adalah episode singkat relaksasi LES yang tidak terkait dengan menelan atau
peristaltik. Berlangsung kurang lebih 10 detik hingga 35 detik, TLESRs menurunkan tekanan
LES ke lambung dan terjadi melalui stimulasi sensoris vagal dan motorik saraf sebagai respons
terhadap distensi lambung. Dilihat di antara individu baik dengan dan tanpa GERD, TLESRs
tidak selalu menghasilkan refluks gastroesofagus namun sangat terkait dengan refluks fisiologis
dan patologis. Pada percobaan yang melibatkan pengukuran tekanan LES dan pH esofagus
secara bersamaan, sebagian besar episode refluks ditemukan disebabkan oleh relaksasi yang
spontan dan lengkap, atau dengan kata lain normal. Bahkan, TLESRs pada sebagian besar
peristiwa refluks fisiologis. Peristaltik mengembalikan sekitar 90% dari refluks bahan asam ke
lambung, dan asam yang tersisa dinetralisir oleh air liur yang tertelan selama proses menelan
terus-menerus. Di antara pasien dengan GERD, TLESRs dianggap penyebab utama utama
refluks patologis dengan adanya periode istirahat normal. Pasien dengan GERD memiliki

15
frekuensi yang sama dengan TLESR dibandingkan dengan individu normal, meskipun mereka
memiliki persentase lebih tinggi dari TLESR yang terkait dengan refluks. Dengan demikian,
waktu asam lambung tetap kontak dengan mukosa esofagus meningkat pada pasien dengan
GERD, meningkatkan risiko gejala dan cedera esofagus (Kahrilas, 2003).
Paparan esophagus terhadap asam merupakan persentase waktu dalam periode 24 jam
di mana pH esofagus berada kurang dari 4. Tingkat cedera mukosa esofagus dan frekuensi dan
keparahan gejala seperti heartburn, regurgitasi, dan nyeri ditentukan oleh tingkat dan durasi
paparan asam esofagus. Paparan asam esofagus terkait dengan pH material yang berada dalam
lambung. Semakin asam maka gejala bisa semakin buruk. Pembersihan asam esofagus yang
tidak efektif meningkatkan waktu paparan asam esofagus pada pasien dengan GERD. Secara
eksperimental, refluks induksi atau spontan pada pasien dengan GERD telah ditemukan
memiliki waktu bersihan asam dua hingga tiga kali lebih panjang daripada orang-orang tanpa
GERD. Cacat esofagus yang terganggu dapat disebabkan oleh peningkatan volume refluks
(Kahrilas, 2003).
Dua mekanisme gangguan pembersihan volume adalah disfungsi peristaltik dan
rereflux. Disfungsi peristaltik ditandai dengan peristaltik yang gagal dan kontraksi amplitudo
rendah. Kontraksi peristaltik yang gagal dan kontraksi peristaltik hipotensif (<30 mm Hg)
menyebabkan pengosongan esofagus yang tidak sempurna. Amplitudo menurun akibat
gelombang peristaltik sekunder dan kontraksi segmental telah ditunjukkan di antara beberapa
pasien dengan GERD. Disfungsi peristaltik sering meningkat dengan meningkatnya keparahan
esofagitis. Re-refluks berhubungan dengan hernia hiatal dan jenis hernia tertentu. Selain itu,
hernia juga merusak pengosongan esofagus hingga berbagai derajat (Kahrilas, 2003).
Pembersihan asam pada esofagus secara sempurna dengan pemulihan pH esofagus
tergantung pada air liur. Biasanya, air liur dapat menetralisir setiap sisa asam yang menempel
pada esofagus setelah gelombang peristaltik sekunder. Klirens asam diperpanjang oleh
penurunan kadar saliva atau oleh berkurangnya kapasitas saliva yang mengandung bikarbonat
untuk menetralkan asam (Saputera, 2017).
Umumnya, refluks terjadi pada malam hari karena malam hari merupakan periode
paling lama sekresi asam lambung yang tidak terserap karena berkurangnya netralisasi asam
lambung oleh bikarbonat yang terkandung dalam saliva selama tidur. Berkurangnya air liur
selama, atau segera sebelum, tidur menyumbang waktu pembersihan asam yang sangat lama.
Pengurangan asam esofagus berkurang selama tidur tampaknya menjadi faktor penyebab utama
dalam bentuk serius GERD. Berkurangnya frekuensi peristaltik yang diinduksi oleh menelan
selama tidur juga memperpanjang paparan asam esofagus (Saputera 2017).

16
Nyeri yang timbul pada GERD umumnya pada esofagus, dekat dengan jantung.
kelumpuhan viseral diduga menjadi salah satu faktor penyebabnya. Nyeri timbul akibat
stimulasi kemoreseptor atau bisa juga karena distensi lambung yang menyebabkan peningkatan
TLESR dengan stimulasi motorik dan sensoris nervus vagus (Kahrilas, 2003).
Mekanisme regulasi asam melibatkan 3 jalur yaitu asetilkolin, gastrin, dan histamin
reseptor. Asetilkolin disekresi saat terstimulasi melihat, membau, dan merasakan makanan.
Makanan yang dicerna secara kimiawi di dalam lambung memicu sekresi gastrin oleh sek G
pada antrum. pH lambung yang meningkat juga memicu sekresi gastrin. Sedangkan pH
lambung yang menurun akan menghambat sekresi gastrin dengan mensekresi somatostatin dari
sel D pada antrum lambung dan akan menurunkan sekresi gastrin dari sel G. distensi lambung
memicu sekresi asetilkolin dan menstimulasi sel G untuk memproduksi gastrin. Gastrin berjalan
sepanjang pembuluh darah dan berikatan dengan gastrin reseptor pada sel parietal pada fundus
dan corpus lambung. Asetilkolin dan gastrin akan menstimulasi enterokromafin untuk
mensekresi histamin. Selanjutnya, asetilkolin, gastrin, dan histamin berikatan pada reseptornya
pada sel parietal dan menginisiasi produksi asam dengan mengubah permeabilitas sel parietal
menjadi ion kalsium. Influx ion kalsium akan meningkatkan konsentasi kalsium intraseluler dan
mengaktifkan fosfokinase intraselular. Kemudian pompa proton (H,K, ATP-ase) akan aktif dan
HCl akan terbentuk (Kahrilas, 2003).

6. Kriteria Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease


A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis yang cermat merupakan cara utama untuk menegakkan diagnosis GERD. Gejala
spesifk untuk GERD adalah heartburn dan/ atau regurgitasi yang timbul setelah makan. Meskipun
demikian, harus ditekankan bahwa studi diagnostik untuk gejala heartburn dan regurgitasi sebagian
besar dilakukan pada populasi Kaukasia. Di Asia keluhan heartburn dan regurgitasi bukan
merupakan penanda pasti untuk GERD (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).
Selain itu, gejala lain GERD yang dapat ditemui adalah kembung, mual, cepat kenyang,
bersendawa, hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau
keganasan Barrett’s esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya
akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi (Saputera, 2017).
Selain gejala-gejala tersebut, GERD dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak enak
di epigastrium, mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal yang juga dapat ditimbulkan
oleh GERD adalah nyeri dada non kardiak, batuk kronik, suara serak, laringitis, erosi gigi, batuk
kronis, bronkiektasis, dan asma (Ndraha, 2014).

17
B. Kuesioner GERD (GERD-Q)
Kuesioner GERD (GERD-Q) merupakan suatu perangkat kuesioner yang dikembangkan
untuk membantu diagnosis GERD dan mengukur respons terhadap terapi. Kuesioner ini
dikembangkan berdasarkan data-data klinis dan informasi yang diperoleh dari studistudi klinis
berkualitas dan juga dari wawancara kualitatif terhadap pasien untuk mengevaluasi kemudahan
pengisian kuesioner. Kuesioner GERD merupakan kombinasi kuesioner tervalidasi yang digunakan
pada penelitian DIAMOND. Tingkat akurasi diagnosis dengan mengkombinasi beberapa kuesioner
tervalidasi akan meningkatkan sensitivitas dan spesifsitas diagnosis (Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia, 2013).
Analisis terhadap lebih dari 300 pasien di pelayanan primer menunjukkan bahwa GERD-Q
mampu memberikan sensitivitas dan spesifsitas sebesar 65% dan 71%, serupa dengan hasil yang
diperoleh oleh gastroenterologis. Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan kemampuan untuk
menilai dampak relatif GERD terhadap kehidupan pasien dan membantu dalam memilih terapi.17
Di bawah ini adalah GERD-Q yang dapat diisi oleh pasien sendiri. Untuk setiap pertanyaan,
responden mengisi sesuai dengan frekuensi gejala yang dirasakan dalam seminggu. Skor 8 ke atas
merupakan nilai potong yang dianjurkan untuk mendeteksi individu-individu dengan
kecenderungan tinggi menderita GERD. GERD-Q telah divalidasi di Indonesia (Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia, 2013).

18
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas
Standar baku untuk diagnosis GERD dengan esofagitis erosif adalah dengan menggunakan
endoskopi SCBA dan ditemukan adanya mucosal break pada esofagus. Endoskopi pada pasien
GERD terutama ditujukan pada individu dengan gejala alarm (disfagia progresif, odinofagia,
penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, anemia awitan baru, hematemesis dan/atau
melena, riwayat keluarga dengan keganasan lambung dan/atau esofagus, penggunaan OAINS
kronik, dan usia lebih dari 40 tahun di daerah prevalensi kanker lambung tinggi) dan yang tidak

19
berespons terhadap terapi empirik dengan PPI dua kali sehari. Sedangkan sampai saat ini belum
ada standar baku untuk diagnosis NERD (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).
Menurut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (2013), sebagai pedoman untuk diagnosis
NERD adalah dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
 Tidak ditemukannya mucosal break pada pemeriksaan endoskopi SCBA,
 Pemeriksaan pH esofagus dengan hasil positif,
 Terapi empiris dengan PPI sebanyak dua kali sehari memberikan hasil yang positif.
Menurut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (2013), endoskopi pada GERD tidak
selalu harus dilakukan pada saat pertama kali, oleh karena GERD dapat ditegakkan berdasarkan
gejala dan/atau terapi empirik. Peran endoskopi SCBA dalam penegakan diagnosis GERD adalah:
 Memastikan ada tidaknya kerusakan di esofagus berupa erosi, ulserasi, striktur, esofagus
Barrett atau keganasan, di samping untuk menyingkirkan kelainan SCBA lainnya.
 Menilai berat ringannya mucosal break dengan menggunakan klasifkasi Los Angeles
modifkasi atau Savarry-Miller.
 Pengambilan sampel biopsi dilakukan jika dicurigai adanya
esofagus Barrett atau keganasan.
Tabel. Klasifikasi Los Angeles untuk Kelainan Esofagitis dari Pemeriksaan Endoskopi
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI (2009)

2. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan adanya
metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang diperlukannya pengambilan
sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan datang, diperlukan studi lebih lanjut
mengenai peranan pemeriksaan endoskopi resolusi tinggi (magnifying scope) pada NERD
(Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).

20
Gambar. Histopatologi pada GERD
Sumber: Gastroesophageal Reflux Disease (2016).

3. Pemeriksaan pH-metri 24 jam


Menurut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (2013), pemeriksaan pH-metri
konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia) dalam diagnosis NERD adalah:
 Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan
terapi PPI.
 Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum terapi PPI atau
setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI.
 Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau untuk evaluasi gejala NERD
berulang setelah operasi anti-refluks.
4. PPI Test
PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala tipikal dan
tanpa adanya tanda bahaya atau risiko esofagus Barrett. Tes ini dilakukan dengan memberikan PPI
dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa didahului dengan pemeriksaan endoskopi. Jika gejala
menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi PPI dihentikan, maka diagnosis
GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan positif, apabila terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu
sebanyak lebih dari 50% (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).

21
Indikasi uji terapi PPI adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm.
Tanda-tanda alarm meliputi usia >55 tahun, disfagia, odinofasia, anemia defisiensi besi, BB turun,
dan adanya perdarahan (melena/ hematemesis). Apabila gejala membaik selama penggunaan dan
memburuk kembali setelah pengobatan dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan
(Saputera, 2017).
Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI test dinyatakan memiliki sensitivitas sebesar 80% dan
spesiftas sebesar 74% untuk penegakan diagnosis pada pasien GERD dengan nyeri dada non
kardiak. Hal ini menggambarkan PPI test dapat dipertimbangkan sebagai strategi yang berguna dan
memiliki kemungkinan nilai ekonomis dalam manajemen pasien nyeri dada non kardiak tanpa
tanda bahaya yang dicurigai memiliki kelainan esofagus (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia,
2013).
D. Pemeriksaan Diagnostik Lainnya
1. Esofagografi Barium
Walaupun pemeriksaan ini tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan
tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dibandingkan endoskopi, yaitu pada kondisi
stenosis esofagus dan hernia hiatal (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).
2. Manometri Esofagus
Tes ini bermanfaat terutama untuk evaluasi pengobatan pasienpasien NERD dan untuk
tujuan penelitian (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).
3. Tes Impedans
Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal melalui perubahan
resistensi terhadap aliran listrik di antara dua elektroda, pada saat cairan dan/atau gas bergerak di
antaranya. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk evaluasi pada pasien NERD yang tidak
membaik dengan terapi PPI, di mana dokumentasi adanya refluks non-asam akan merubah
tatalaksana (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).
4. Tes Bilitec
Tes ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal dengan menggunakan sifat-sifat
optikal bilirubin. Pemeriksaan ini terutama untuk evaluasi pasien dengan gejala refluks persisten,
meskipun dengan paparan asam terhadap distal esofagus dari hasil pH-metri adalah normal
(Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).
5. Tes Bernstein
Tes ini untuk mengukur sensitivitas mukosa esofagus dengan memasang selang trans-nasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 N dalam waktu kurang dari 1 jam.
Tes ini bersifat pelengkap terhadap pemantauan pH esofagus 24 jam pada pasien dengan gejala
tidak khas dan untuk keperluan penelitian (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).

22
E. Surveilans Barret’s Esofagus
Peranan endoskopi surveilans pada pasien-pasien dengan esofagus Barrett masih
kontroversial sekalipun di negara-negara dengan prevalensi yang tinggi. Di Asia, prevalensi
esofagus Barrett masih rendah, dilaporkan sekitar 0,08%. Sementara itu di Amerika Serikat
dilaporkan bahwa, insidensi kanker esofagus pada pasien dengan esofagus Barret berkisar 0,4%,
sedangkan laporan-laporan lainnya menyatakan berkisar antara 1-2% (Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia, 2013).
Saat ini pemeriksaan penyaring untuk esofagus Barrett masih kontroversial, oleh karena
kurangnya dampak pemeriksaan penyaring terhadap mortalitas adenokarsinoma esofageal.
Endoskopi surveilans untuk individu dengan risiko tinggi disarankan untuk dilakukan sesuai
dengan tingkatan displasia yang ditemukan. Untuk pembahasan lebih lanjut, harap melihat literatur
terkait (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013).

7. Diagnosis Banding Gastroesophageal Reflux Disease


Beberapa diagnosis banding GERD, antara lain :

A. Dispepsia
Dispepsia menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau
didasari oleh berbagai penyakit, termasuk juga didalamnya penyakit yang mengenai lambung atau
yang dikenal sebagai penyakit maag (Djojoningrat, 2009).
B. Tukak Pada Saluran Cerna Atas (Ulkus Peptikum)
Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada mukosa, submukosa dan lapisan
muskularis, pada distal esophagus, lambung, dan duodenum. Keluhan yang sering terjadi adalah
nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau
terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat
menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau setelah
minum antasida. Gejala lain yang dirasakan seperti mual, muntah, kembung, bersendawa, dan
kurang nafsu makan (Hadi, 2002).
C. Hiatus hernia
Hernia hiatus adalah suatu kelainan anatomi dimana terdapat bagian dari lambung menonjol
melalui diafragma masuk ke rongga thoraks. Pada keadaan normal, esofagus, atau tabung makanan
lewat turun melealui dada, dan memasuki rongga abdomen melalui lubang di diafragma disebut
hiatus esofagus. Tepat di bawah diafragma, esofagus bergabung dengan lambung Pada individu
dengan hernia hiatus, pembukaan hiatus esofagus (hiatal opening) lebih besar dari biasanya, dan
sebagian lambung bagian atas masuk memelui hiatus ke rongga Thoraks. Diperkirakan penyebab

23
dari hiatus hernia adalah karena hiatus esofagus yang lebih besar dari normal, sebagai akibat dari
pembukaan besar tersebut, bagian dari lambung masuk ke rongga thoraks. Faktor yang berpotensi
menyebabkan terjadinya hernia hiatus adalah
1. Suatu pemendekan permanen pada esofagus (yang mungkin disebabkan karena
inflamasi atau jaringan parut akibat refluks atau regurgitasi asam lambung) yang
menyebabkan lambung tertarik keatas.
2. Perlekatan yang abnormal (longgar) dari esofagus ke diafragma sehingga esofagus
dan lambung naik ke atas (Suraatmaja, 2007).

Gambar 3. Hernia hiatus


D. Akhalasia
Kondisi hilangnya kemampuan kerongkongan (esofagus) untuk mendorong makanan atau
minuman dari mulut ke lambung. Merupakan suatu keadaan dimana tidak adanya relaksasi
esophagus terminal. Spasme esophagus dapat menimbulkan sumbatan partial pada
daerah perbatasan gaster-esophagus, dimana dengan Ba kontras, tampak adanya konstriksi
esophagus bagian terminal dan bagian atasnya melebar. Keadaan ini sering ditemukan pada anak
lebih besar, jarang pada bayi. Pengobatannya dengan melebarkan bagian yang mengalami
konstriksi dan perlu tindakan berulang (Suraatmaja, 2007).
E. Stenosis pylorus hipertrofi kongenital
Pada penderita dengan stenosis pylorus terdapat muntah yang projektil terjadi pada umur lebih dari
1 minggu. Pada permulaan gejala muntah tidak mencolok tetapi pada usia lebih dari 1 minggu,
muntah lebih sering dan lebih jelas. Gejalanya makin berat, berat badan tidak naik. Penyebabnya
tidak jelas, diduga ada tendensi familier karena 1% dari penderita ternyata orang tuanya juga
menderita kelainan yang sama. Beberapa peneliti menduga adanya hipertrofi otot pilorus akibat

24
adanya spasme otot. Pendapat sarjana lain adalah respon terhadap rangsangan atau iritasi terhadap
n. vagus (Suraatmaja, 2007).
F. Obstruksi / atresia duodenum
Atresia duodenum adalah suatu keadaan kegagalan kanalisasi pada masa embrional disertai atresia
di bagian usus lainnya. Gejala klinis yang sering terjadi adalah muntah-muntah yang mengandung
getah empedu. Bila atresia di bawah ampula vateri, muntahnya berupa gumpalan susu atau
muntahnya keruh. Gejala lainnya yaitu mekonium tidak keluar dalam waktu lebih dari 24 jam. Pada
penderita atresia duodenum, distensi abdomen terjadi pada bagian atas. Bila penderita habis
minum, tampak gerakan peristaltik melintasi garis tengah, dari kiri ke kanan. Dengan foto abdomen
polos, tampak adanya gambaran Double buble yaitu tidak adanya gambaran udara di usus halus.
Pengobatan definitif adalah operasi (Suraatmaja, 2007).
G. Mekonium ileus
Sering terjadi pada bayi dengan penyakit kista fibrosis yang dasar penyakitnya adalah perubahan
pada jaringan pankreas, asini atropi dan inaktif, sehingga produksi enzim pankreas sangat
berkurang. Juga disertai perubahan pada kelenjer yang memproduksi lendir dari saluran
pencernaandan saluran pernafasan. Penyumbatan usus oleh mekonium memberikan gejala
meconium tidak kelauar lebih dari 24 jam, perut gembung dan muntah-muntah yang makin lama
makin sering dan makin kental sehingga bayi akan mengalami dehidrasi. Pada pemeriksaan dengan
Ba kontras menunjukkangambaran kolon dibawah sumbatan mengecil. Pengobatan yang
dikerjakan pada dasarnya simptomatik dengan pemberian enzim pankreas dan mengatasimasalah
metabolik yang terjadi. Dapat dilakukan irigasi usus dengangastroprafin untuk melunakkan
mekoneum yang kental. Bila pengobatantersebut gagal, maka dilakukan operasi (Suraatmaja,
2007).

8. Tatalaksana Gastroesophageal Reflux Disease

Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan


mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the
Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun
2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan:
1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification
2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII: Refractory GERD

25
Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan primer berdasarkan
Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan
melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD. Modifikasi gaya hidup,
merupakan pengaturan pola hidup yang dapat dilakukan dengan:
1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai dengan
IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi berbaring
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman
mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam – pedas (Konsensus
GERD,2013).
Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-obatan. PPI merupakan salah
satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa dengan terapi pembedahan. Jika
dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan
lesi esophagitis (Konsensus GERD,2013).
Yang termasuk obat-obat golongan PPI adalah omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg,
lansoprazole 30 mg, esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya
diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda diberikan pagi hari sebelum
makan pagi dan malam hari sebelum makan malam (Konsensus GERD,2013).
Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di
Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD yang mendapat skor
GERD-Q > 8 dan tanpa tanda alarm.1 Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut
Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis tunggal
selama 8 minggu (Konsensus GERD,2013).
Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8 minggu atau gejala terasa
mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Bila
penderita mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan
terapi maintenance. Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14 hari untuk
penderita yang memiliki gejala sisa GERD.1,9-11 Selain PPI, obat lain dalam pengobatan GERD
adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor
serotonin). Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks yang
ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi dengan PPI. Yang termasuk ke dalam antagonis
reseptor H2 adalah simetidin (1 x 800 mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x
20 mg), dan nizatidin (2 x 150 mg). Prokinetik merupakan golongan obat yang berfungsi
mempercepat proses pengosongan perut, sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk

26
naik ke esofagus. Obat golongan prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan metoklopramid
(3 x 10 mg) (Konsensus GERD,2013).

9. Komplikasi dan Prognosis Gastroesophageal Reflux Disease

Setelah melalui beberapa tahap manajemen terapi yang telah dilakukan, setidaknya terdapat
kurang lebih 80% pasien GERD yang mengalami rekuren atau kekambuhan. Meskipun begitu,
kejadian rekuren tersebut tidak progresif jika dikontrol dengan terapi medikasi. Sebanyak kurang
lebih 20% pasien mengalami perjalanan penyakit yang progresif. Kejadian ini butuh perhatian
khusus karena akan menimbulkan komplikasi yang lebih parah, seperti striktur atau Barret’s
esophagus (Matti, 2017: 1).
Berdasarkan American College of Gastroenterology (2017: 14-15), pasien dengan kondisi
GERD yang lama atau kronis dapat menimbulkan komplikasi yang parah, diantaranya Striktur
Peptik, Barret’s Esophagus, Esophageal Cancer. Berikut penjelasannya.
a. Striktur Peptik
Kondisi striktur peptik dapat terjadi karena injuri asam lambung yang lama dan
terbentuknya jaringan parut pada bagian distal esofagus. Biasanya pasien mengeluhkan
adanya makanan yang tertinggal pada esofagus bagian bawah (distal).
b. Barret’s Esophagus
Komplikasi serius yang dapat ditimbulkan akibat GERD adalah Barret’s Esophageal.
Pasien dengan Barret’s Esophagus dapat mengeluhkan heartburn yang ringan, namun hal
ini perlu dicurigai adanya keganasan. Menurut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
(2013: 3) Barret’s Esophagus didefinisikan sebagai adanya metaplasia dari epitel kolumnar
esofagus yang terbukti secara endoskopi dan dikonfirmasi dengan hasil histopatologi.
Barret’s esophagus memiliki potensi untuk terjadi kanker esofagus sebanyak 30 kali lipat.
c. Esophageal Cancer
Penelitian terbaru melaporkan bahwa GERD yang tidak tertangani selama beberapa tahun
akan mengalami komplikasi berupa Esophageal Cancer atau kanker esofagus. Terapi
endoskopi terus digunakan untuk mengevaluasi kondisi dari esofagus.

10. Pencegahan Gastroesophageal Reflux Disease

Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat dilakukan untuk
mencegah GERD yaitu dengan (Saputera dan Budianti, 2017):
1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai
dengan IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi
berbaring

27
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman
mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam – pedas
5. Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
6. Jangan makan terlalu kenyang
7. Jangan merokok
8. Jangan menggunakan obat-obatan yang menurunkan sfingter esofagus bawah

11. Adab Makan Yang Dianjurkan Oleh Rasulullah SAW


1. Tidak makan dan minum berlebihan
a. Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallammelarang
(umatnya) menelan dua kurma sekaligus sebelum meminta izin kepada teman-
temannya.” (Muttafaq Alaih, dikeluarkan oleh Al-Bukhari No. (2455)dan Muslim
No. (2045) lafazh ini baginya).
b. Dari Miqdam bin Ma’dikarib r.a, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidaklah anak Adam
memenuhi bejana lebih buruk dari memenuhi perutnya. Cukuplah bagi bani Adam
makanan yang dapat menegakkan tulang rusuknya, kalau tidak boleh tidak (harus
memenuhi perutnya) hendaklah 1/3 (perutnya) untuk makanan, 1/3 untuk minuman
dan 1/3 lagi untuk nafasnya.”
(Hadits sahih, dilkeluarkan oleh At-Tirmidzi No. (2380) dan lafazh ini
baginya, Shahih Sunan At-Tirmidzi No. (1939), dan dikeluarkan juga oleh Ibnu
Majah No. (3349), Shahih Sunan Ibni Majah No. (2704)).
c. Dari Ibnu Umar r.a, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang kafir
makan dengan tujuh usus, sedangkan orang mukmin makan dengan satu usus.”
(Muttafaq Alaih, dikeluarkan oleh Al-Bukhari No. (5393), dan Muslim No.
(2060) lafazh ini baginya)
d. Dari Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘(Jatah) makanan satu orang cukup untuk dua orang,
makanan dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan empat orang cukup
untuk delapan orang.” (Muslim No. (2059)).
2. Posisi duduk ketika makan
Dari Abu Juhaifah r.a, ia berkaa, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda,
“Sesungguhnya aku makan tidak dengan bersandar.” (Al-Bukhari No. (5398)).
3. Mendahulukan Makan Malam daripada Shalat Isya
Dari Anas bin Malik r.a, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jika
makan malam telah dihidangkan sedang shalat (Isya) sudah didirikan maka dahulukanlah

28
makan malam.” (Muttafaq Alaih, dikeluarkan oleh Al-Bukhari No. (5463) lafazh ini
baginya, dan Muslim No. (557)).

PETA KONSEP

29
30

Anda mungkin juga menyukai