Anda di halaman 1dari 35

SKENARIO

BATUK DAHAK
Seorang pria usia 50 tahun datang ke IGD dengan keluhan batuk berdahak sejak 2 hari
sebelum masuk RS. Dahak kental berbau amis tidak disertai nanah ataupun darah. Jumlah dahak 3
sendok setiap batuk. Saat batuk, dada sebelah kanan bawah terasa nyeri dan seperti ditusuk-tusuk
namun nyeri tidak menjalar.

Pasien juga mengeluhkan sesak napas sejak 1 minggu SMRS dan terasa memberat dalam 2
hari terakhir. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca atau aktivitas. Kaki bengak (-), terbangun di
malam hari karena sesak (-). Mual muntah (-), BAB tidak ada keluhan. BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu : DM, HT, sakit gigi dan TB disangkal


Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama
Riwayat Sosial : Merokok (+)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
HR : 88 x/menit, reguler, kuat angkat
RR : 29 x/menit
Suhu : 38,5 C

Kepala dan Leher:


Konjungtivis anemis (+/+)
Sklera ikterik (-/-)
Pembesaran KGB (-)

Thoraks

Pulmo
Inspeksi : Gerakan dinding dada kanan tertinggal dari yang kiri
Palpasi : Vokal fremitus kanan bawah lemah dibandingkan kiri
Perkusi : Redup pada paru kanan dan nyeri ketok pada paru kanan setinggi SIK V ke
bawah
Auskultasi : Suara napas vesikuler, melemah pada kanan bawah, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba lemah di SIK V LMCS

1
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1 dan S2 normal, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-)

Pemeriksaan Penunjang :
Hb : 8.7 gr/dl SGOT : 44 IU/L
Hematokrit : 31,0% SGPT : 63 IU/L
Leukosit : 16.700/mm3 Ureum : 19,4 mg/dl
Basofil : 0%
Eosinofil : 2%
N. Batang : 3%
N. Segment : 81%
Limfosit : 10%
Monosit : 4%
Trombosit : 367.000/mm3
Glukosa : 100 mg/dl

Foto Thoraks AP/Lateral


Soft Tissue : Normal
Bone : Normal, tidak terdapat fraktur, tidak ada osteoblastik maupun osteolitik
Trakea : Normal, di tengah
Sinus costophrenicus : D/S tajam
Hemidiafragma : D/S dome shape

2
Jantung : Site : Normal
Size : Normal
Shape : Normal
Aorta : Normal
Pulmo :
Bronkovaskuler Patern : Normal
Fibroinfiltrat
Tampak cavitas dinding tebal dengan air fluid di dalamnya pada lapang tengah-bawah
paru kanan, disertai infiltrat di sekitarnya
Pleura : Normal
Hilus : Prominen
Kesimpulan : Suspek abses paru dekstra

Oleh dr. IGD pasien diberikan pengobatan :


- Istirahat (bed rest)
- O2 2 L/menit
- IVFD RL 20 tpm
- Infus Ciprofloksasim 200 mg/12 jam
- Infus Metronidazol 500 mg/8 jam
- Injeksi Ranitidine 1 amp/8 jam
- PO : Paracetamol 3 x 500 mg
Sangobion 1 x 1 tab
Pro konsul dokter spesialis paru

3
BAB I
KATA SULIT

1.1 Vocal fremitus


a. Suatu pemeriksaan utk mengetahui getara suara dari saluran napas
b. Vibrasi yang dirasakan ketika pasien mengatakan 77, 99,6767
c. Terjadi karena proses transimisi melalui bronkopulmoner ke dinding dada
d. Fremitus menurun apabila ada gangguan hantaran ke dinding dada dan fremitus
meningkat apabila ada konslidasi paru (pneumonia)
1.2 Timpani
a. Suara yang dihasilkan saat pemeriksaan perkusi pada bagian perut yang
dikarenakan di bawahnya terdapat rongga udara
b. Organ berongga yang berisi udara
1.3 Osteolitik
a. Peningkatan jumlah sel osteoklast
1.4 Dome shape
a. Berbentuk kubah (N)
1.5 Sinus costophrenicus
a. Daerah pertemuan antara diafragma dan costae, normalnya berbentuk tajam
b. Tempat cairan berkumpul ketika terdapat gangguan pada paru
1.6 Scar
a. Bekas luka karena goresan benda tajam, injury, atau bekas operasi
1.7 Air fluid level
a. Gambaran mendatar pada dasar pulmo, kombinasi udara dan cairan
b. Terdapat cairan yang mengisi kavitas sehingga memberikan batas antara udara
dan cairan yang jelas
1.8 IVFD RL
a. Intra Vennes Fluid Drip Ringer Laktat  cairan infus yang diberikan pada
pasien seabgai sumber elektrolit dan air untuk hidrasi
1.9 Hilus
a. Saluran yang menuju ke paru
1.10 Hemidiafragma
a. Setengah bagian diafragma
b. Organ tubuh yang memisahkan rongga perut dan dada

4
1.11 Bronkovaskular
a. Suatu gambaran pembuluh darah saluran paru-paru yang besar
1.12 Infus ciprofloksasin
a. Antibiotic untuk menangani berbagai infeksi bakteri
1.13 Metronidazole
a. Obat antimikroba khususnya protozoa dan bakteri anaerob
1.14 Ranitidine
a. Obat untuk mengurangi jumlah asam lambung
1.15 Prominen
a. Tanda adanya cairan berlebih di hillus
b. Benjolan atau menebal karena pembengakakan pada hillus

5
BAB II
RUMUSAN MASALAH
2.1 Mengapa pasien mengeluhkan batuh berdahak sejak 2 hari lalu SMRS?
2.2 Mengapa dahaknya berbau amis tanpa nanah dan darah?
2.3 Mengapa dada sebelah kanan nyeri dan seperti ditusuk-tusuk?
2.4 Apakah hubungan antara batuk dan sesak nafas?
2.5 Mengapa jumlah dahak setiap batuk 3 sendok?
2.6 Mengapa terjadi sesak nafas dan tidak dipengaruhi cuaca atau aktivitas?
2.7 Apa hubungan merokok dengan keluhan utama pasien?
2.8 Apa hubungan RPD dengan keluhan saat ini?
2.9 Mengapa dievaluasi kaki bengak, malam hari tidak bangun meskipun sesak dan
tidak mual muntah, BAB tidak ada keluhan, serta BAK lancar?
2.10 Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?
2.11 Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik?
2.12 Apa interpretasi pemeriksaan penunjang?
2.13 Apa interpretasi foto rontgen?
2.14 Mengapa dokter memberikan pengobatan tersebut?
2.15 Apa DDx dan WDx dari pasien tersebut?

6
BAB III
BRAINSTORMING
3.1 Mengapa pasien mengeluhkan batuh berdahak sejak 2 hari lalu SMRS?
 Batuk  respon tubuh untuk mengeluarkan dahak atau benda asing yang masuk
ke saluran napas
 Ditandai bahwa ada benda asing yang menyebabkan infeksi pada saluran
pernapasan, batuk untuk mengurangi rangsang infeksi
3.2 Mengapa dahaknya berbau amis tanpa nanah dan darah?
 Bau amis  ciri dari infeksi bakteri anaerob
 Abses paru ada yang disertai batuk dengan darah dan ada yang tidak disertai,
jika tidak ada darah  fokus abses parunya menunjukkan absesnya tidak terlalu
parah
 Kalau batuk produktifnya sangat kuat  gesekan lapisan paru  iritasi 
melukai PD  berdarah  batuk darah
3.3 Mengapa dada sebelah kanan nyeri dan seperti ditusuk-tusuk?
 Abses paru penyebarannya bisa melalui aspirasi dan hematogen. Jika terdapat
riwayat merokok  aspirasi  ketika asap masuk  menuju ke paru kanan
 Rasa nyeri  sudah ada keterlibatan dari pleura
 Keterlibatan pleura  ada abses yang rupture dan didukung banyak sekali
persarafan
 Udara masuk bisa juga ke pleura  ketika tidak bisa keluar  menimbulkan
rasa nyeri
 Tidak menjalar  membedakan nyeri yang disebabkan oleh jantung
 Ditusuk  persepsi pengolahan rasa nyeri
 Tidak menjalar  perasarafannya hanya berada di daerah tersebut atau lokal
3.4 Apakah hubungan antara batuk dan sesak nafas?
 Sesak nafas penyebabnya berbeda-beda, ada yang karena kekurangan oksigen
maupun difusi di paru
 Batuk  terkena infeksi  berdahak  bisa sampai paru kanan  di tempat itu
juga terjadi gangguan difusi oksigen dan karbondikosida  sesak nafas
 Sesak memberat dikarenakan meningkatnya sekresi cairan  ketika sampai paru
 gangguan difusi sesak nafas

7
 Aspirasi  ada benda yang masuk ke saluran napas  tidak menutup
kemungkinan suatu benda asing menyebabkan penghalangan aliran napas 
saluran udara menyempit (obstruksi)  gangguan pernapasan  sesak napas
3.5 Mengapa jumlah dahak setiap batuk 3 sendok?
 Asam rokok akan menonaktifkan silia  silia sebagai transport bagi mucus 
ketika silia diistirahatkan atau dinonaktifkan  tidak bisa mengalirkan mucus 
menumpuk di silianya  kalau tidak merokok  dahak keluar  banyak
 Dahak banyak disebabkan karena pasien merokok dan ditunjang dengan infeksi
 Saluran pernapasan bawah memiliki sel goblet untuk sekresi mucus dan
mikroorganisme juga mengeluarkan secret  dahak semakin banyak
 Bukan dari mikroorganisme langsung  tetapi dari tubuh melalui reaksi
inflamasi  nekrosis  produksi sputum yang berlebih
3.6 Mengapa terjadi sesak nafas dan tidak dipengaruhi cuaca atau aktivitas?
 Tidak dipengaruhi aktivitas  tanda tidak ada kekurangan oksigen melainkan
gangguan difusi
 Tidak dipengaruhi cuaca  menandakan tidak ada alergi
 Mengarahkan bahwa pasien tidak mengalami hipersensitivitas
3.7 Apa hubungan merokok dengan keluhan utama pasien?
 Asam rokok akan menonaktifkan silia  silia sebagai transport bagi mucus 
ketika silia diistirahatkan  tidak bisa mengalirkan mucus  menumpuk di
silianya  kalau tidak merokok  dahak keluar  banyak
3.8 Apa hubungan RPD dengan keluhan saat ini?
 Menunjukkan bahwa absesnya primer
 Jika terdapat riwayat sakit gigi  lama kelamaan menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan  ke paru  untuk mencegah gunakan antibiotik
 Untuk mencari faktor predisposisi dari pasien
 TB yang disangkal  bukan penyakit sekunder
3.9 Mengapa dievaluasi kaki bengak, malam hari tidak bangun meskipun sesak dan
tidak mual muntah, BAB tidak ada keluhan, serta BAK lancar?
 Kalau batuk kronis  hemorrhagic
 Ada atau tidaknya kejadian seperti stasis maupun pecahnya PD
 Gagal jantung  edema paru dengan bengkak kaki
 Untuk mengetahui apakah karena gagal jantung atau abses

8
 Tidak mual muntah  ada kemungkinan dengan etiologi dari aspirasi  tetapi
aspirasinya tidak dari refluks GI tetapi dari saluran napas yang atas
3.10 Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?
 Usia  lebih usia tua karena lebih beresiko untuk aspirasi (bisa dari jalur atas
atau bawah)
 Jenis kelamin  hampir sama, tapi lebih banyak di laki-laki (1,6:1)
3.11 Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik?
 RR  sesak memicu meningkatkan RR  tinggi
 Gangguan difusi  takipneu
 Suhu meningkat  membedakan dengan virus dan bukan TB
 Konjungtivis anemis  dihubungkan dengan Hb  Hb rendah  anemia 
ditandai dengan konjungtivis anemis
 Bakteri  keluarnya sitokin inflamasi  sekuestrasi makrofag  untuk
menghambat petumbuhan mikroorganisme dependent besi atau memperkuat
aspek imunitas pejamu  destruksi eritrosit di limpa  anemia
 Pulmo  melemah karena ada eksudat atau infiltrate
3.12 Apa interpretasi pemeriksaan penunjang?
 DL  Hb turun, hematokrit turun, leukosit tinggi (karena infeksi), neutrophil
segment tinggi (infeksi), limfosit turun, SGOT tinggi, SGPT tinggi
 Hematokrit turun  karena sel darahnya menurun
3.13 Apa interpretasi foto rontgen?
 Fibroinfiltrat karena ada penumpukan cairan di pulmo
 Cavitas menebal  penumpukan cairan memungkin terbentuknya cavitas atau
rongga yang berisi air fluid
3.14 Mengapa dokter memberikan pengobatan tersebut?
 IVFD RL  untuk mencegah pasien dehidrasi
 Ciprofloksasin dan metronidazole  antibiotik dengan spectrum luas
 Oksigen  untuk mengurangi sesak napas
 Sangobion  untuk menambah darah
 Ranitidine  mengurangi refluks dari GI  sehingga tidak terjadi aspirasi
3.15 Apa DDx dan WDx dari pasien tersebut?
 DDx  TB, pneumonia aspirasi, pneumothoraks
 WDx  suspect abses paru dekstra

9
BAB IV
PETA MASALAH
Pria 50 tahun

Datang ke IGD

Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang

a. Batuk berdahak sejak 2 hari a. RR = meningkat a. Hb = turun


SMRS b. TaX= meningkat b. Hct = turun
b. Dahak kental kental bau amis c. Konjungtiva anemis (+/+) c. Leukosit = naik
tanpa disertai nanah atau Pulmo d. Neutrophil segment = naik
darah a. Inspeksi: gerakan dada kanan e. Limfosit = turun
c. Jumlah dahak 3 sendok tertinggal dari yang kiri f. Monosit = turun
setiap batuk b. Palpasi : vocal fremitus kanan g. SGOT= naik
d. Saat batuk, dada kanan bawah lemah dibandingkan kiri h. SGPT = naik
bawah terasa nyeri seperti c. Perkusi bawah : redup pada Foto thorax
ditusuk-tusuk namun nyeri paru kanan dan nyeri ketok Soft tissue, bone, trakea, sinus
tidak menjalar. pada paru kanan setinggi SIK costophrenicus, hemidiafragma,
e. Sesak nafas 1 minggu SMRS V ke bawah jantung, aorta = DBN
dan terasa memberat dalam 2 d. Auskultasi : suara nafas Pulmo :
hari terakhir vasikuler, melemah pada kanan a. Fibroinfiltrat
f. Sesak nafas tidak bawah b. Tampak cavitas dinding tebal
dipengaruhi oleh cuaca atau Cor dengan air fluid didalmanya
aktivitas a. Palpasi : ictus cordis teraba pada lapang tengah-bawah
g. RPD = DM,HT, TB, dan lemah di ICS V MCLS paru kanan, disertai infiltrate
sakit gigi disangkal Abdomen = DBN disekitarnya
c. Hilus = prominen

Ddx
TB Paru
Efusi pleura
Pnemonia aspirasi
Pneumothoraks

Wdx : Abses paru

Tatalaksana
a. Bedrest
b. O2 2L/Menit
c. IVFD RL 20 tpm
d. Infus ciprofloksasin 200mg/12jam
e. Infus metronidazole 500mg/8jam
f. Inj ranitidine 1 amp/8jam
g. Po: paracetamol 3x500mg, sangobion 1x1tab
10
BAB V
LEARNING OBJECTIVE
5.1 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Definisi dan Klasifikasi Abses Paru
5.2 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Abses Paru
5.3 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Etiologi Abses Paru
5.4 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Factor Resiko Abses Paru
5.5 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Abses Paru
5.6 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Abses Paru
5.7 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Kriteria Diagnosis Abses Paru
5.8 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Abses Paru
5.9 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding Abses Paru
5.10 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Abses Paru
5.11 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Prognosis Abses Paru
5.12 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Abses Paru
5.13 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Abses Paru

11
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA

6.1 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Definisi dan Klasifikasi Abses Paru
Abses paru adalah proses infeksi paru supuratif yang menimbulkan destruksi
parenkim dan pembentukan suatu atau lebih kavitas yang mengandung pus sehingga
membentuk gambaran radiologi air fluid level. Kavitas ini berisi material purulen sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila diameter kavitas
<2 cm dan jumlahnya banyak ( multiple small abscesses ) dinamakan necrotizing
pneumonia.
Klasifikasi dari abses paru dikelompokkan berdasarkan durasi, etiologi, organisme
penyebab, ada atau tidaknya bau sputum, ada atau tidaknya kondisi lain, dan cara
penyebarannya.
6.1.1 Berdasarkan Durasinya
6.1.1.1 Akut
Gejalanya sudah berlangsung selama <6 minggu, gejala simptomatis < 2
minggu dan hanya beberapa hari saja
6.1.1.2 Subakut
Gejalanya sudah berlangsung selama >1 minggu tetapi <2 minggu
6.1.1.3 Kronis
Gejalanya sudah berlangsung selama >6 minggu, gejala simptomatis >1
bulan
6.1.2 Berdasarkan Etiologinya
6.1.2.1 Primer
Pada abses paru primer muncul nekrosis jaringan paru akibat infeksi
neoplasma atau pneumonia pada orang normal
6.1.2.2 Sekunder
Abses paru sekunder disebabkan karena gejala sebelumnya, contohnya
seperti septik emboli, obstruksi bronkus, bronkiektasis, atau
immunocompromised
6.1.3 Berdasarkan Organisme Penyebab
6.1.3.1 Aerob
Beberapa organisme aerob yang dapat menyebabkan abses paru
contohnya seperti pseudomonas, Staphylococcus Aureus
6.1.3.2 Anaerob
Beberapa organisme anaerob yang dapat menyebabkan abses paru
contohnya seperti Streptococcus.

12
6.1.4 Berdasarkan Cara Penyebarannya
6.1.4.1 Bronkogenik
Atau juga biasa disebut aspirasi. Beberapa contohnya adalah aspirasi
sekresi orofaringeal, obstruksi bronkial oleh tumor, benda asing,
pembesaran kelenjar getah bening, malformasi kongenital
6.1.4.2 Hematogen
Contohnya seperti sepsis abdomen, endokarditis infektif,
tromboembolisme septik

6.2 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Abses Paru


Angka kejadian Abses Paru berdasarkan penelitian Asher et al tahun 1982 adalah
0,7 dari 100.000 penderita yang masuk rumah sakit hampir sama dengan angka yang
dimiliki oleh The Children’s Hospital of eastern ontario Kanada sebesar 0,67 tiap 100.000
penderita anak-anak yang MRS. Dengan rasio jenis kelamin laki-laki banding wanita
adalah 1,6 : 1. Angka kematian yang disebabkan oleh Abses paru terjadi penurunan dari
30 – 40 % pada era preantibiotika sampai 15 – 20 % pada era sekarang.

6.3 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Etiologi Abses Paru


6.3.1 Primer
Muncul karena nekrosis jaringan paru akibat infeksi, neoplasma, atau
pneumonia pada orang normal.
6.3.2 Sekunder
Disebabkan kondisi sebelumnya seperti septik emboli (misalnya
endokarditis sisi kanan), obstruksi bronkus (misalnya aspirasi benda asing),
bronkiektasis atau pada kasus imunokompromis.
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi sesuai dengan
peneliti dan teknik penelitian yang digunakan. Finegolal dan fishman mendapatkan bahwa
organisme penyebab abses paru lebih dari 89 % adalah kuman anaerob. Asher dan Beadry
mendapatkan bahwa pada anak-anak kuman penyebab abses paru terbanyak adalah
stapillococous aureus.
Tabel 1. Spektrum organisme penyebab Abses paru menurut Asher dan Beaudry
Type of Abscess Organisms
Primary Staphylococcus aureus
Haemophilus influenzae types B, C, F, and nontypable
Streptococcus viridans, pneumoniae
Alpha-hemolytic streptococci

13
Neisseria sp.
Mycoplasma pneumoniae

Secondary Aerobes
All those listed for primary abscess
Haemophilus aphropilus, parainfluenzae
Streptococcus group B, intermedius
Klebsiella penumoniae
Escherichia coli, freundii
Pseudomonas pyocyanea, aeruginosa, denitrificsns
Aerobacter aeruginosa
Candida
Rhizopus sp.
Aspergillus fumigatus
Nocardia sp
Eikenella corrodens
Serratia marcescens
Anaerobes
Peptostreptococcus constellatus, intermedius,
saccharolyticus
Veillonella sp., alkalenscenens
Bacteroides melaninogenicus, oralis, fragilis, corrodens,
distasonis, vulgatus, ruminicola, asaccharolyticus
Fusobacterium necrophorum, nucleatum
Bifidobacterium sp.

Tabel 2. Organisme dan kondisi yang berhubungan dengan Abses paru menurut Finegold
dan Fishmans
Noninfectious and Predisposing
Infectious
Conditions
Bacteria Anatomis
Staphylococcus aureus, Enterbacteriaceae, Fluid-filled cysts, bland
Pseudomanas aeruginosa, streptocicci, infraction
Legonella spp, Nocardia asteroides, Bronchiectasis
Burkholdaria pseudomallei Vasculitis
Mycobacteria (often multifocal) Goodpasture’s syndrome,

14
M. tuberculosis, M. avium complex, M. Wegener’s granulomatosis,
kansasii, other mycobacteria periateritis
Fungi Obstruction (neoplasm, foreign
Aspergillus spp, Mucoraceae, Histoplasma body)
capsulatum, Pneumocystis carinii, Pulmonary sequestration
Coccidioides immitis, Blastocystis hominis Pulmonary contusion
Parasites Carcinoma
Entamoeba histolytical, Paragonimus
westermani, Stronglyoides stercoralis
(post-obstructive)
Empyema (with air-fluid level)
Septic embolism (endocarditis)

6.4 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Faktor Resiko Abses Paru
6.4.1 Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi:
6.4.1.1 Gangguan kesadaran : Alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain, gangguan
serebrovaskular, anestesi umum, penyalahgunaan obat intravena, koma,
trauma, sepsis
6.4.1.2 Gangguan esofagus dan saluran cerna lainnya: Gangguan motilitas
6.4.1.3 Fistula trakeoesopageal
6.4.2 Sebab-sebab Iatrogenik
6.4.3 Penyakit-penyakit periodontal
6.4.4 Kebersihan mulut yang buruk
6.4.5 Pencabutan gigi
6.4.6 Immunosupresi
6.4.7 Bronkiektasis
6.4.8 Kanker paru
6.4.9 Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Psien HIV yang terkena
abses paru pada umumnya mempunyai status immunocompromised yang sangat
jelek (kadar CD<50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi
paru.

6.5 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Abses Paru


Abses paru mengacu pada area nekrosis supuratif berbatas di parenkim paru,
mengakibatkan pembentukan satu atau lebih kavitas yang besar. Terminologi pneumonia
nekrotikans telah digunakan untuk menjelaskan proses yang mirip yang mengakibatkan

15
kavitasi kecil multipel; pneumonia nekrotikans seringkali timbul bersama atau berkembang
menjadi abses paru, membuat perbedaan kedua entitas ini menjadi kabur. Organisme
penyebab dapat masuk ke paru melalui salah satu dari mekanisme berikut: (Kumar, 2007)
6.5.1 Aspirasi materi infektif dari karies gigi atau sinus atau tonsil terinfeksi, terutama
kemungkinan saat operasi mulut, anestesi, koma, atau intoksikasi alkohol dan
pasien yang lemah dengan refleks batuk yang ditekan.
6.5.2 Aspirasi isi lambung, biasanya disertai organisme infeksius dari orofaring.
6.5.3 Sebagai komplikasi pneumonia bakterialis nekrotikans, terutama yang disebabkan
oleh S. aureus, Streptococcus pyogenes, K. pneumoniae, Pseudomonas sp., dan,
kadang-kadang, pneumokokus tipe 3. Infeksi jamur dan bronkiektasis dapat
mengakibatkan abses paru.
6.5.4 Obstruksi bronkus, terutama disertai karsinoma bronkogenik menyumbat bronkus
atau bronkiolus. Drainase yang terganggu, atelektasis distal, dan aspirasi darah
dan serpihan tumor semua berperan dalam pembentukan abses. Abses dapat juga
terbentuk dalam bagian rongga nekrotik dari tumor.
6.5.5 Embolisme septik, dari tromboflebitis septik atau dari endocarditis infektif sisi
kanan jantung.
6.5.6 Selain itu, abses paru dapat timbul akibat penyebaran hematogen bakteri pada
infeksi piogenik diseminata.Abses paru paling khas terjadi pada bakteremia
stafilokokus dan seringkali berakibat abses paru multipel.
Bakteri anaerob ditemukan pada hampir semua abses paru, kadangkadang dengan
jumlah yang sangat banyak, dan dapat menjadi satusatunya yang terisolasi pada sepertiga
hingga duapertiga kasus. Bakteri anaerob yang paling sering ditemukan adalah bakteri
komensal yang secara normal ditemukan pada rongga mulut, terutama spesies Prevotella,
Fusobacterium, Bacteroides, Peptostreptococcus, dan streptokokus mikroaerofilik (Kumar,
2007).
Berdasarkan buku Ilmu Penyakit Dalam (2009), bermacam-macam faktor yang
berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti daya tahan tubuh dan tipe dari
mikroorganisme pathogen yang menjadi penyebab. Terjadinya abses paru biasanya melalui
dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok
abses bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan
striktur bronchial. Keadaan ini yang menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya
organism virulen yang akan menyebabkan terjainya infeksi pada daerah distal obstruksi
tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien bronchitis kronik karena media yang
sangat baik bagi organism yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan
bronkogenik bias merupakan dasar untuk terjadinya abses paru (Rasyid, 2009).

16
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septicemia atau sebagai
fenomena septic emboli, sekunder dari fokusinfeksi dari bagian lain tubuhnya seperti
tricuspidvalve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses
multiple dan keil-kecil adalah lebih sulit dari abses single walaupun ukurannya besar
Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa mm sampai dengan cm atau
lebih (Rasyid, 2009).
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi
pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang
seblumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis dan gangguan
imunitas (Rasyid, 2009).
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang menyebabkan
terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi, dengan
organism penyebabnya paling sering ialah Staphylococus aureus, Klebsiella pneumonia
dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadinya biasanya multiple dan berukuran kecil-kecil
(<2 cm) (Rasyid, 2009).
Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista
bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur untuk
tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi olleh mikroorganisme
yang virulens maka akan terjadilah abses paru (Rasyid, 2009).
Abses hepar bacterial atau amubik bias mengalami rupture dan menembus diafragma
yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura
(Rasyid, 2009).
Abses paru biasanya satu (single), tapi bisa multiple yang biasanya unilateral pada
satu paru, yang terjadi pada pasien dengan keadaan umum yang jelek atau pasien yang
mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan imunologis yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika. Abses akibat
aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus atas dan segmen apical lobus
bawah, dan sering terjai pada paru kana, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding
kiri (Rasyid, 2009).
Abses bisa mengalami rupture ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektorasikan
keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang- kadang abses
rupture ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya
fistula bronkopleura (Rasyid, 2009).

6.6 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Abses Paru
6.6.1 Gejala Klinis

17
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala
pneumonia pada umumnya yaitu:
6.1.1.1 Panas badan
Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai
dengan temperatur > 40C.
6.1.1.2 Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk
yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
6.1.1.3 Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai
berkisar 40 – 75% penderita abses paru.
6.1.1.4 Nyeri dada (± 50% kasus)
6.1.1.5 Batuk darah (± 25% kasus)
6.1.1.6 Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat
badan.
6.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup,
suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi
Pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan local, pada daerah terbatas
perkusi terdengar redup dengan suara napas bronchial.

6.7 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Kriteria Diagnosis Abses Paru
Diagnosis abses paru didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik serta beberapa
pemeriksaan penunjang diantaranya pemeriksaan laboratorium, radiologi atau pemeriksaan
penunjang lainnya.
6.7.1 Kunci diagnosis :
6.7.1.1 Adanya factor risiko
Faktor risiko utama termasuk predisposisi isi lambung, kebersihan
gigi dan pencabutan gigi yang buruk, obstruksi bronkus (malignansi,
benda asing), imunosupresi (kemoterapi, transplantasi organ,
kortikosteroid, infeksi HIV), penyakit kronis (PPOK, bronkiektasis,
diabetes mellitus, skleroderma) , divertikulum esofagus, penyakit hati
dan ginjal), sepsis ekstra-paru (endokarditis katup trikuspid,
tromboflebitis septik), dan pneumonia.
6.7.1.2 Demam
Demam tinggi (> 38,5 ° C [> 101 ° F]) pada infeksi akut. Pada
infeksi kronis, demam ringan dapat terjadi selama beberapa minggu
atau lebih

18
6.7.1.3 Batuk produktif
Biasanya produktif dahak purulen. Sejumlah besar cairan bernanah
dikeluarkan pada minggu kedua atau ketiga. Dahak busuk hadir di
sekitar 50% pasien. Dahak berbau busuk ini sangat menunjukkan
infeksi anaerob
6.7.1.4 Cardiac murmur
Murmur jantung yang baru atau memburuk adalah tanda-tanda
endokarditis bakteri, yang dapat menyebabkan abses paru melalui
emboli septik.
6.7.1.5 Amphoric breath sounds (uncommon)
Mungkin terdengar melalui abses dan menyerupai suara yang
dibuat dengan meniup mulut botol
6.7.2 Diagnosis lainnya
6.7.2.1 Nyeri dada pleuritic
Gejala emboli paru yang mendahului timbulnya demam persisten pada
abses paru sekunder akibat infeksi infark paru.
6.7.2.2 Gejala konstitusional
Berkeringat di malam hari, malaise, dan penurunan berat badan sering
terjadi pada abses kronis
6.7.2.3 Cachexia
Pada abses kronis, keadaan gizi buruk dapat dibuktikan dengan
cachexia dan pucat (kulit dan subkonjungtiva).
6.7.2.4 Pucat
Pada abses kronis, keadaan gizi buruk dapat dibuktikan dengan
cachexia dan pucat (kulit dan subkonjungtiva) sekunder akibat anemia
penyakit kronis.
6.7.2.5 Penyakit gingival
Tanda-tanda penyakit gingiva dengan halitosis mungkin dapat
ditemukan
6.7.2.6 Halitosis
Tanda-tanda penyakit gingiva dengan halitosis terkait dapat ditemukan
6.7.2.7 Absence of gag reflex
Mungkin tidak ada pada pasien dengan kelainan neurologis yang
mendasarinya seperti stroke
6.7.2.8 Dyspnoea
Gejala emboli paru yang mendahului perkembangan demam persisten
pada abses paru sekunder akibat infeksi infark paru

19
6.7.2.9 Haemoptysis
Dapat hadir pada abses paru kronis dan biasanya minor, meskipun bisa
masif. Gejala emboli paru yang mendahului timbulnya demam persisten
pada abses paru sekunder akibat infeksi infark paru.
6.7.2.10 Rigors
Meskipun hampir tidak pernah dilaporkan, kedinginan dan kerasnya
mungkin ada pada abses paru sekunder akibat emboli septik dari sisi
kanan (mis., Katup trikuspid) endokarditis bakteri atau tromboflebitis
septik akibat bakteremia
6.7.2.11 Weakness
Gejala non-spesifik dari bakteri endokarditis, yang dapat menyebabkan
abses paru melalui emboli septik
6.7.2.12 Arthralgia
Gejala bakteri endokarditis, yang dapat menyebabkan abses paru
melalui emboli septik
6.7.2.13 Haemorrhagic lesions
Lesi pada kulit dan retina adalah tanda-tanda endokarditis bakteri, yang
dapat menyebabkan abses paru melalui emboli septik
6.7.2.14 Inspiratory crackles
Mendengar di hadapan konsolidasi parenkim terkait.
6.7.2.15 Bronchial breathing
Mendengar di hadapan konsolidasi parenkim terkait.
6.7.2.16 Decreased breath sounds
Mendengar di hadapan empiema terkait
6.7.2.17 Unilateral fixed rhonchus
Perbaikan rhytus terbatas pada hemi-thorax 1 menunjukkan adanya
obstruksi jalan napas, yang mungkin disebabkan oleh tumor atau benda
asing.

6.8 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Abses Paru
6.8.1 Laboratorium
Hitung leukosit umumnya ditemukan tinggi atau mengalami leukositosis,
berkisar 10.000-30.000/mm³ dan laju endap darah ditemukan meningkat sebesar
> 58 mm/1 jam. Pemeriksaan dahak atau sputum dapat membantu dalam
menemukan mikroorgansime penyebab abses, namun dahak tersebut hendaknya
diperoleh dari aspirasi transtrakheal, transtorakal atau bilasan atau sikatan

20
bronkus, karena dahak yang dibatukan akan terkontamnasi dengan organisme
anaerobik normal pada rongga mulut dan saluran napas atas.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak atau sputum adalah
pewarnaan langsung dengan teknik gram, biakan mikroorganisme aerob, anaerob,
jamur, nokardia, basil Mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium lain.
Pemeriksaan dahak atau sputum dengan pengecatan gram tahan asam
merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara
tepat. Dahak atau sputum bisa mengandung Spirochaeta, fusiform bacilli atau
sejumlah besar bakteri baik yang patogen maupun flora manusia seperti
Streptooccus viridan. Klostridium dapat ditemukan dari aspirasi transrakeal
6.8.2 Radiologi
Foto thoraks PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan
bentuk abses paru. Pada hari-hari awal penyakit, foto thoraks hanya menunjukkan
gambaran opak dari satu atau lebih segmen paru, atau hanya beberapa gambaran
densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran
radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat.
Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi drainase
abses yang tidak sempurna kedalam bronkus, maka baru akan tampak kavitas
yang disertai dengan adanya air fluid level. Khas pada abses paru anaerobik
kavitasnya singel yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan
abses paru sekunder ( aerobik, nosokomial, atau hematogen ) lesinya bisa
multipel. Ukuran dari abses bervariasi namun secara umum memiliki bentuk yang
bulat. Dinding abses umumnya tebal dan permukaan dalamnya irreguler.
Pembuluh darah bronkus dan bronkus sendiri dapat menjadi dinding dari abses.
Untuk suatu gambaran abses paru simpel, noduler dan disertai lifadenopati hilus
maka harus dipikirkan sebabnya adalah keganasan paru.

Gambar 1. Posisi Posterior-Anterior (PA) :

21
Terdapat area berbatas tegas transparan di lobus kiri atas (panah putih). Kavitas diisi oleh
cairan dan udara (air-fluid level) (panah hitam)

Gambar 2. Posisi Lateral : Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan
didalamnya (panah putih)

6.8.3 CT Scan

Gambar 3. CT Scan Abses Paru


CT Scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi
endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan
kavitasi sentral. CT Scan juga bisa menunjukkan lokasi abses berada dalam
parenkim paru yang membedakannya dari empiema Sedangkan gambaran khas
CT-Scan abses paru adalah berupa lesi dens bundar dengan kavitas berdinding
tebal tidak teratur dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak. Tampak
bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada dinding abses,
tidak tertekan atau berpindah letak. Sisa-sisa pembuluh darah paru dan bronkhus
yang berada dalam abses dapat terlihat dengan CT-Scan, juga sisa-sisa jaringan
paru dapat ditemukan di dalam rongga abses. Lokalisasi abses paru umumnya
75% berada di lobus bawah paru kanan bawah.

22
6.8.4 Bronkoskopi
Bronkoskopi dengan biopsi sikatan yang terlindungi dan bilasan bronkus
merupakan cara diagnotik yang paling baik dengan akurasi diagnotik bakteriologi
melebihi 80%. Cara ini hendaknya dilakukan pada pasien AIDS sebelum dimulai
pengobatan karena banyaknya kuman yang terlibat dan sulit diprediksi secara
klinis. Selain itu 10-25% dari penyebab abses paru pada orang dewasa adalah
karsinoma bronkogenik, dan 60% diantaranya dapat didiagnosa dengan memakai
bronkoskopi.
6.8.5 Aspirasi Jarum Perkutan
Cara ini mempunyai akurasi tinggi untuk diagnosis bakteriologis, dengan
spesifitas melebihi aspirasi transtrakheal

6.9 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding Abses Paru
6.9.1 Karsinoma bronkogenik
6.9.2 TB paru
6.9.3 Neoplasma
6.9.4 Nekrosis pneumonia
6.9.5 Fungal infection

6.10 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Abses Paru


Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan
data penyakit dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi
paru. Ada beberapa modalitas terapi yang diberikan pada abses paru :
6.10.1 Terapi Supuratif
Istirahat, Pemberian oksigen, Pemasangan Infus.
6.10.2 Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era
antibiotika maka tingkat kematian dan prognosa abses paru menjadi lebih
baik.Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai
peningkatan Abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35%
kuman gram negatif anaerob). Maka bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi
antibiotika antara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan
Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase
inhibitase, pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang berkembang
menjadi Abses paru. Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis
dan respon radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah

23
bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika minimal 2-3
minggu.
6.10.3 Drainase
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit
diperlukan untuk mempercepat proses resolusi Abses paru.Pada penderita Abses
paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan
drainase melalui bronkoskopi.
6.10.4 Bronkoskopi dan Fisioterapi Paru
Digunakan untuk melihat jalur dari jalannya pernapasan, untuk melihat
abnormalitas pada saluran pernapasan
6.10.5 Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
6.10.5.1 Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.
6.10.5.2 Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
6.10.5.3 Infeksi paru yang berulang
6.10.5.4 Adanya gangguan drainase karena obstruksi.
6.10.5.5 Abses kronik
Pemberian antibiotik dan drainase merupakan kunci terapi abses paru. Pada tahap
awal terapi diberikan antibiotik intravena sampai demam menghilang dan terdapat
perbaikan klinis dalam 4-8 hari diikuti dengan terapi oral hingga 6-8 minggu. Keberhasilan
terapi antibiotik dapat dinilai dari menghilangnya gejala tanpa bukti radiologis atau
perbaikan menipisnya dinding kaviti setelah terapi 4-6 miggu.Drainase postural perlu
dilakukan pada penderita abses paru dan harus dilakukan dengan hati-hati.Tindakan
drainase ini sangat penting dalam penyembuhan abses.
Bronkoskopi dapat membantu drainase dan pengambilan benda asing serta
diagnosis tumor. Perlu diingat bahwa bronkoskopi mengandung risiko pecahnya abses paru
sehingga dapat tumpah ke bronkus dan menyebabkan asfiksia.Penyaliran perkutan
(percutaneus drainage) menggunakan kateter French-10 (F-10) biasanya dilakukan pada
kasus abses paru yang tidak berhasil dengan terapi medis adekuat dan penyaliran
postural.Intervensi bedah berupa reseksi segmen paru nekrotik atau lobektomi biasanya
dilakukan bila terdapat faktor komplikasi misalnya ukuran abses lebih dari 6 cm,
hemoptisis masif, empiema, obstruksi bronkial, fistel bronkopleural, kecurigaan kanker
secara klinis atau obstruksi benda asing, kegagalan terapi medis setelah 4-6 minggu atau
terdapatnya infeksi yang berlangsung progresif.Terapi penunjang lain misalnya pemberian
nutrisi adekuat, terapi penyakit dasar dan memperbaiki kebiasaan hidup yang kurang baik
diantaranya meningkatkan kebersihan gigi dan gusi terutama pada penderita berusia lanjut
atau mengalami sakit berat dan menghentikan kebiasaan penggunaan alkohol.

24
Antibiotik
Klindamisin (bakteri anaerob) 3x600mg IV 4x300mg oral/hari atau regimen
alternatif penisilin G 2-10 juta unit/hari kombinasi denga streptomisin lanj dengan
penisilin oral 4x500-750mg/hari. Antibiotik parenteral diganti oral jika sudah tidak demam,
metronidazole 2gram/hari selama 10hari kombinasi dengan β-laktam dan β-laktamase
inhibitor seperti tikarkilin klavulanat, amoksisilin + asam klavulanat atau piperasilin +
tazobaktam obat ini digunakan pada pasien sakit berat dan pada infeksi nosokomial.
Dosis pengobatan tunggal metronidazole (Flagyl) diberikan dengan dosis
15mg/kgBB intravenous dalam waktu lebih dari 1 jam, kemudian diikuti 6 jam kemudian
infus dengan 7,5mg/kgBB 3-5x/hari, tetapi pengobatan tunggal dengan metronidazole ini
tidak dianjurkan karena beberapa anaerobic cocci dan kebanyakan microareobicphilic
streptococi sudah resisten.
Pengobatan penyebab patogen aerobik kebanyakan memakai klindamisin +
penisilin atau klindamisin + sefalosforin. Cefoksitin 3-4x 2gram/hari intravena yang
merupakan generasi kedua sefalosporin, aktif terhadap bakteri gram positif, gram negatif
resisten penisilinase dan bakteri anaerob, diberikan bila abses paru tersebut didiuga
disebabkan oleh onfeksi polimikrobial.
Antibiotik diberikan sesuai uji sensitivitas, abses paru oleh stafilokokus diobati
dengan penicilinase-resistant penicilin atau sefalosforin generasi pertama, sedangkan untuk
Staphylococus aureus yang methicillin resistant seperti yang disebabkan oleh emboli paru
septik nosokomila, pilihanya adalah vankomisin.
Abses paru yang disebabkan oleh nocardia pilihanya adalah sulfonamid 3x1 gram
oral. Abses paru amubik diberikan metronidazole 3x750mg, sedangkan jika ada ruptur dari
abses harus ditambahkan emetin parenteral pada 5 hari pertama.
Antibiotik diberikan sampai pneumonitis mengalami resolusi dan kavitasinya
hilang, resolusi sempurna biasanya membutuhkan pengobatan 6-10 minggu dengan
pemberian antibiotik oral sebagai pasien rawat jalan.
Perbaikan klinis berupa hilangnya demam tercapai dalam 3-4 sampai dengan 7-10
hari. Demam resisten menunjukan kegagalan pengobatan.

6.11 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Prognosis Abses Paru


Prognosis penderita abses paru bergantung pada penyakit dasar, faktor
risiko dan kecepatan pemberian terapi yang tepat. Penatalaksanaan abses paru
yang tepat memberikan prognosis yang baik pada 90% penderita. Beberapa faktor
prognostik negatif yang telah dilaporkan antara lain kaviti yang besar (berukuran

25
lebih dari 6 cm), abses multipel, penderita berusia lanjut, kondisi lemah, malnutrisi,
immunocompromised dan pneumonia bakteri aerob.

6.12 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Abses Paru


Keberhasilan pengobatan abses paru diindikasikan pertama melalui resolusi
demam, kedua melalui penutupan kavitas dan terakhir melalui bersihnya gambaran
radiologis infiltrat parenkim paru.
Demam biasanya hilang dalam beberapa hari, menetap dalam 2 minggu jarang
terjadi dan membuktikan tidak adekuatnya drainase. Sekitar 50% kavitas akan menutup
dalam sebulan dan meninggalkan gejala selama 4 – 8 minggu.
Turunnya nilai PCR, dan pasien yang merasa lebih baik dan berat badan yang
bertambah merupakan tanda pembaikan semua stage penanganan abses paru. Infiltrasi
radiologis mungkin menetap selama 3 bulan atau lebih dan tidak memberikan peningkatan
untuk memperhatian perkembangan pasien.
Komplikasi dan sequelae jangka panjang kini tampak kurang sering terjadi
dibandingkan era sebelum antibiotik tetapi abses paru masih berhubungan dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah
empiema. Terjadi apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema toraks)Pasien mungkin tidak akan datang pada dokter hingga hal ini terjadi.
Seiring membesarnya abses, ia mungkin akan merapuhkan pembuluh darah dan
memunculkan hemoptisis. Jarangnya, tetapi khusus pada pasien dengan penurunan daya
tahan tubuh, nekrosis mungkin menyebar sangat cepat melalui paru.
Abses yang telah didrainase dan disterilisasi dengan menggunakan antibiotik
mungkin membentuk kavitas yang persisten. Lini awal melalui granulasi jaringan, hal ini
digantikan oleh jaringan fibrosa dan diikuti epitel skuamos atau siliata. Beberapa kavitas
bisa direinfeksi kembali atau dikolonisasi ketika abses asli yang dibentuk berhubungan
dengan bronkus, lebih sering daripada saluran napas kecil, destruksi dinding bronkus
diikuti epitelialisasi memunculkan bronkiektasis sakuler lokal. Penyebaran infeksi ke
dalam vena paru bisa menyebabkan abses serembral emboli, tetapi komplikasi ini sangat
jarang terjadi.

6.13 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Abses Paru


6.13.1 Pencegahan Primer
Pengenalan dini infeksi paru-paru dan terapi antibiotik yang tepat untuk
infeksi semacam itu sangat penting untuk mencegahnya perkembangan abses
paru-paru. Kebersihan gigi yang baik, terutama pada orang yang memiliki
kecenderungan aspirasi lambung sangat penting. Pasien dengan gangguan

26
esofagus, seperti scleroderma atau divertikulum, yang telah menjalani operasi
esofagus atau lambung yang merupakan predisposisi abses paru dianjurkan untuk
meminimalkan risiko aspirasi isi lambung dengan mengangkat kepala saat tidur
dan menghindari terlalu banyak mengisi perut sebelum tidur.
6.13.2 Pencegahan Skunder
Risiko kambuh dapat dikurangi dengan meminimalkan factor predisposisi
(misalnya alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, kebersihan gigi yang buruk)
karena factor factor tersebut diidentifikasi dapat menimbulkan risiko
perkembangan infeksi. Pasien yang berisiko aspirasi konten lambung juga harus
diberi tahu tentang cara meminimalkan risiko ini.

27
BAB VII
PETA KONSEP

28
BAB VIII
SOAP
Data Umum Pasien
1. Nama Pria
2. Usia 50 tahun
3. Jenis Kelamin Pria
4. Pekerjaan (-)
5. Cara datang (-)

(S-ubjektif)
1. Keluhan utama Batuk berdahak sejak 2 hari sebelum masuk RS
sesak napas sejak 1 minggu SMRS dan terasa memberat dalam 2 hari
terakhir
2. Anamnesis Dahak kental berbau amis tidak disertai nanah ataupun darah.
(ditambahkan) Jumlah dahak 3 sendok setiap batuk.
Saat batuk, dada sebelah kanan bawah terasa nyeri dan seperti
ditusuk-tusuk namun nyeri tidak menjalar
Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca atau aktivitas
3. Riwayat alergi (-)
makanan
4. Riwayat alergi (-)
obat
5. Riwayat (-)
penyakit
terdahulu
6. Riwayat (-)
Pengobatan
7. Riwayat (-)
Penyakit
Keluarga
8. Riwayat (-)
Kejadian

9. Riwayat Merokok
Kebiasaan

29
(O-bjektif)
Status Generalis
1. KU Tampak sakit sedang
2. Kesadaran Composmentis
Vital Sign
1. GCS 456
2. BP 130/70 mmHg
3. HR 88 x/mnt
4. RR 29 x/mnt
5. Tax 38.5o C
6. BB 50 kg

Status lokalis
a. Kepala / Leher Konjungtivis anemis (+/+)
Sklera ikterik (-/-)
Pembesaran KGB (-)

b. Thorak Pulmo
Inspeksi : Gerakan dinding dada kanan tertinggal dari yang
kiri
Palpasi : Vokal fremitus kanan bawah lemah dibandingkan
kiri
Perkusi : Redup pada paru kanan dan nyeri ketok pada paru
kanan setinggi SIK V ke bawah
Auskultasi : Suara napas vesikuler, melemah pada kanan bawah,
rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba lemah di SIK V LMCS
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1 dan S2 normal, gallop (-), murmur (-)

c. Abdomen Inspeksi : Tampak datar, scar (-)


Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani

30
d. Ekstremitas Akral hangat, edema (-/-)

Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Lengkap Hb : 8.7 gr/dl
Hematokrit : 31,0%
Leukosit : 16.700/mm3
Basofil : 0%
Eosinofil : 2%
N. Batang : 3%
N. Segment : 81%
Limfosit : 10%
Monosit : 4%
Trombosit : 367.000/mm3
Glukosa : 100 mg/dl

2. Tes Fungsi Ureum : 19,4 mg/dl


Ginjal

3. Tes fungsi hati SGPT : 63 IU/L


SGOT : 44 IU/L

4. Foto thorax Soft Tissue : Normal


AP/Lateral Bone : Normal, tidak terdapat fraktur, tidak ada
osteoblastik maupun osteolitik
Trakea : Normal, di tengah
Sinus costophrenicus : D/S tajam
Hemidiafragma : D/S dome shape
Jantung : Site : Normal
Size : Normal
Shape : Normal
Aorta : Normal
Pulmo :
Bronkovaskuler Patern : Normal
Fibroinfiltrat
Tampak cavitas dinding tebal dengan air fluid di dalamnya
pada lapang tengah-bawah
paru kanan, disertai infiltrat di sekitarnya

31
Pleura : Normal
Hilus : Prominen

(A-ssesment)
a. DDx a. Pneumonia paru
b. TB
c. Karsinoma bronkogenik
d. Bronkitis

a. WDx Abses Paru Dekstra

(P-lanning)
A. Planning a. DL
diagnosis b. X ray
c. Kultur sputum
B. Planning terapi - Istirahat (bed rest)
- O2 2 L/menit
- IVFD RL 20 tpm
- Infus Ciprofloksasim 200 mg/12 jam
- Infus Metronidazol 500 mg/8 jam
- Injeksi Ranitidine 1 amp/8 jam
- PO : Paracetamol 3 x 500 mg
Sangobion 1 x 1 tab
- Drainase
3. Planning 1. Ada tidaknya gejala (berkurang atau tidak)  demam, penutupan
monitoring kavitas, bersihnya gambar radiologis parenkim paru
2. TTV
3. Kesadaran
4. Ada tidaknya keluhan tambahan yang dirasakan setelah
mengkonsumsi obat
4. Planning KIE a. Mengindari alcohol, rokok
b. Menjaga kesehatan mulut dan gigi
c. Menjaga sirkulasi udara dalam rumah
d. Antibiotic dihabiskan
e. Memberikan edukasi pasien dengan menjelaskan dari mana asal
penyakitnya
f. Menjaga kebersihan rumah

32
5. Planning jika kavitas belum menipis (menutup) setelah pemberian antibiotic
follow up oral setelah terapi 4-6 minggu, maka konsul kembali

33
DAFTAR PUSTAKA
Asher MI, Beadry PH. 1990. Lung Abscess in infections of Respicatory tract. Canada

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku saku untuk Brunner &
Sudarth. Jakarta : EGC

Capernito, Linda Juall. 1998. Diagnosa keperawatan: Aplikasi pada praktek klinis; Edisi
ke-6. Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan


dan pendokumentasian perawatan pasien; Edisi ke-3. Jakarta : EGC

Engran Barbara. 1994. Rencana Asuhan Keperawatan, Medical Bedah, Volume 1. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Finegold SM, Fishman JA. 1998. Empyema and lung Abcess; in Fishman’s Pulmonary
Diseases and Disorders 3rded. Philadelphia

Grainger, Ronald. Allison, David. 2001. Grainger & Allison's Diagnostic Radiology: A
Textbook of Medical Imaging, 4th ed. London: Churchill Livingstone. 2001.

Hammond JMJ et al. 1995. The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of
Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess. Chest ; 937 – 41.

Hood Alsagaff, Prof. dr. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press

Kardjito, Thomas. 1994. Pedoman Diagnosis Therapi. Surabaya : Lab/UPF Ilmu Penyakit
Paru RSUD dr. Sutomo

Kumar, Vinay. 2007. Abbas, Abul. Robbins Basic Pathology, 8th edition. Philadelphia:
Saunders.

Mizra, Rakesh. 2007. Planner Andrew. A-Z of Chest Radiology. Cambridge: Cambridge
University Press.

Muller, Nestor. Franquet, Thomas. Soo Lee, Kyung. 2007. Imaging of Pulmonolgy
Infection, 1st edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Rasyid, Ahmad. 2009. Abses Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
V. Jakarta : Interna Publishing.

34
Sabiston; 1994. Buku ajar Bedah bag: 2. Jakarta : EGC

Sjahriar Rasad. 2005. Radiologi Diagnostik; Edisi ke-2. Jakarta : Balai penerbit FKUI

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Sudarth.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC

Sydney M. Finegold. 2208. Lung Abscess in. Cecil text book of Medicine 23th ed.
Phildelphia.

35

Anda mungkin juga menyukai