Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 4.2 GASTROHEPATOINTESTINAL DISEASE


SKENARIO 2

KELOMPOK XIV

Fandi Muhammad Nugroho G0017066


Gusti Fikrifauzi A. G0017088
Hansel Deltino Bandaso G0017094
Ihsany Arafiasetyanto P. G0017102
Devina Ravelia Tiffany S. G0017052
Difa Ananda Safira G0017054
Elisabeth Nova Kurniasari G0017058
Emillie Sugarcia G0017060
Ersha Nabila Maharani G0017062
Fatin Yurin Azimah G0017070

TUTOR : Leli Saptawati, dr., Sp. MK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO 2

Seorang wanita, usia 48 tahun, dating berobat ke rumah sakit dengan


keluhan rasa panas terbakar di dada. Pasien juga merasa sering sebah, kembung,
dan bersendawa sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan nyeri di bagian
ulu hati. Pasien merasa nafsu makannya berkurang karena sakit kalua menelan.
Suara pasien juga menjadi serak sejak muntah-muntah. Pasien sering
mengkonsumsi obat pusing dan dangat menyukai minuman kopi. Pasien memiliki
riwayat sakit asma.
Dokter memeriksa dengan menggunakan kuisioner kasus refluks dan
pasien diterapi dengan PPI test. Awalnya pasien memberikan reaksi positif
membaik dengan terapi tersebut. Namun karena akhir-akhir ini pasien sering
kambuh, dokter melakukan rujukan agar pasien dapat dilakukan pemeriksaan
untuk melihat saluran cerna bagian atas. Setelah dilakukan endoskopi, didapatkan
hasil adanya mucosal break pada esofagus pasien. Kemudian dokter memberikan
edukasi pada pasien agar sakitnya tidak kambuh lagi sehingga tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut.
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Jump I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa


istilah dalam skenario.
1. Sebah : rasa penuh pada perut
2. Mucosal break : area mukosa yang ada eritem, slough, erosi, atau
ulserasi
3. Heartburn : rasa terbakar di belakang sternum yang tersebar ke atas
karena esofagus terbakar oleh asam
4. PPI test : uji dengan obat Proton Pump Inhibitor
5. Endoskopi : salah satu pemeriksaan penunjang dengan alat seperti
selang yang dimasukkan ke saluran pencernaan melalui mulut untuk
melihat isi dari saluran pencernaan

B. Jump II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan masalah yang


terdapat pada skenario 1 adalah:
1. Mengapa dada pasien terasa terasa panas seperti terbakar?
2. Mengapa pasien merasa sebah, kembung & bersendawa?
3. Apakah yang menyebabkan pasien sakit ketika menelan?
4. Mengapa pasien mengeluh nyeri di ulu hati?
5. Mengapa dokter menggunakan kuisoner kasus reflux?
6. Mengapa penyakit pasien sering kambuh walaupun sebelumnya sudah
dinyatakan membaik?
7. Apakah hubungan kebiasaan minum kopi dan obat pusing dengan
keluhan?
8. Apakah interpretasi hasil ditemukannya mucosal break?
9. Mengapa suara pasien serak dan muntah-muntah?
10. Apakah hubungan riwayat asma dengan keluhan pasien?
11. Bagaimana tatalaksana dan edukasi yang diberikan kepada pasien?
12. Apakah Diagnosis Bandingnya?
C. Jump III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan
sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam jump II)
1. Mengapa dada pasien terasa terasa panas seperti terbakar?
Naiknya asam lambung ke esofagus menyebabkan iritasi pada
mukosa esofagus oleh sifat asamnya. Iritasi pada lambung ditangkap
oleh nocireceptor pada mukosa sehingga pasien merasakn rasa
terbakar dadanya.
Naiknya asam lambung sendiri disebabkan oleh Lower Esophageal
Sphincter (LES) yang meregang. Peregangan LES juga bisa
disebabkan oleh perilaku merokok, obesitas, dan kebiasan makan
makanan yang berlemak.
2. Mengapa pasien merasa sebah, kembung & bersendawa?
Seperti yang sudah disebutkan, LES pada pasien mengalami
regangan sehingga terjadi reflux.
Pasien sering bersendawa disebabkan oleh karena tiga hal:
- Gas Escape
Relaksasi LES, karen refleks gastro LES inhibitory
- Upper barrier elimination
Relaksasi dari Upper Esophageal Sphincter yang diikuti dengan
keluarnya udara
- Gas Transportation phase
Terjadi pengeluaran gas yang diaktivasi oleh reseptor di permukaan
sel
Pasien sering mengalami kembung/ sebah dikarenakan akumulasi
gas/cairan di abdomen yang dapat meningkatkan tekanan intrabdomen

3. Apakah yang menyebabkan pasien sakit ketika menelan?


Naiknya sam lambung dapat menyebabkan ulserasi pada
kerongkongan / faring. Ulserasi inilah yang menyebabkan rasa sakit
menelan pada pasien yang dalam istilah kedokterannya disebut
Odinophagia.
4. Mengapa pasien mengeluh nyeri di ulu hati?
Produksi asam lambung yang berlebihan yang disebabkan oleh
kebiasan pasien meminum kopi dan mengonsumi obat sakit kepala
dapat menyebabkan asam lambung dapat mengalir ke duodenum
ataupaun esofagus dan sehingga dapat terjadi ulserasi. Ulserasi inilah
yang menyebabkan pasien merasakan sakit ulu hati.

5. Mengapa dokter menggunakan kuisoner kasus reflux?


Karena dengan kuisioner kasus reflux ini, akan didapatkan skor
selama 7 hari terakhir yang dapat menunjukkan apakah ada
kemungkinan GERD atau tidak.
Terdapat 6 pertanyaan :
1) Apakah ada rasa terbakar di belakang tulang dada?
2) Seberapa sering isi lambung terasa naik?
3) Seberapa sering nyeri di bagian tengah atas perut?
4) Seberapa sering terasa mual?
5) Seberapa sering tidur terganggu karena dada terasa terbakar?
6) Seberapa sering konsumsi obat untuk heartburn?
Interpretasinya adalah :
 Dirasakan pada hari ke-0 = 0 pts
 Dirasakan pada hari ke-1 = 1 pts
 Dirasakan pada hari ke-2 sampai ke-3 = 2 pts
 Dirasakan pada hari ke-4 sampai ke-7 = 3 pts
 total pts 0-7 pts : kemungkinan bukan GERD
 total pts lebih dari atau sama dengan 8 : kemungkinan GERD

6. Mengapa penyakit pasien sering kambuh walaupun sebelumnya


sudah dinyatakan membaik?
Kembali lagi ke kebiasaan pasien yang sering minum kopi dan
mengonsumsi obat sakit kepala, diperparahi dengan riwayat penyakit
asma pasien.
7. Apakah hubungan kebiasaan minum kopi dan obat pusing
dengan keluhan?
Kopi mengandung kafein dimana kafein dapat meningkatkan
sekresi asam lambung. Naiknya asam lambung ke esofagus didukung
oleh hal ini dan juga peregangan LES.

8. Apakah interpretasi hasil ditemukannya mucosal break?


Ditemukannya mucosal break menandakan adanya iritasi pada
esofagus. Mucosal break sendiri mempunya 4 grade/ tingkat.
Terdapat 4 grade mucosal break :
a. Terdapat 1 atau lebih mucosal break dengan panjang kurang dari 5
mm
b. Terdapat 1 atau lebih mucosal break dengan panjang lebih dari 5 mm
dan tidak berkelanjutan melewati lipatan mukosa
c. Terdapat mucosal break yang berkelanjutan antara lebih dari 2
lipatan mukosa, tapi tidak melingkar/anuler
d. Mucosal break melingkar/anuler

9. Mengapa suara pasien serak dan muntah-muntah?


Naiknya asam lambung dapat mencapai pita suara pasien sehingga
asam lambung tersebut dapat mengiritasinya dan menyebabkan suara
serak pada pasien.

10. Apakah hubungan riwayat asma dengan keluhan pasien?


Dengan mengatahui kondisi pasien yang mempunyai riwayat asma,
kemungkinan besar pasien juga sering menggunakan bronchodilator.
Bronchodilator justru menurunkan kontraksi LES sehingga
meningkatkan risiko asam lambung naik ke esofagus. Tidak hanya itu,
melalui rangsangan parasimpatasi oleh N. Vagus oleh Bronchodilator,
esofagus dapat mengalami dilatasi
11. Bagaimana tatalaksana dan edukasi yang diberikan kepada
pasien?
- Diberi obat PPI (contoh : omeprazole)
- Penurunan berat badan
Oleh karena obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang
utama naiknya asam lambung
- Tidak makan 3 jam sebelum tidur
- Saat tidur posisi kepala sedikit dinaikkan
- Tidak tidur dalam posisi right lateral decubitus

12. Apakah Diagnosis Bandingnya?


GERD (Gastro-Esophageal Reflux Disease)
D. Jump IV: Menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan
yang didapatkan pada jump III
E. Jump V: Merumuskan sasaran pembelajaran.
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan:
1. Diagnosis banding secara umum
2. Etiologi dan epidemiologi GERD
3. Patogenesis, patofisiologi, dan manifestasi klinis GERD
4. Pemeriksaan penunjang, dan prognosis GERD
5. Tatalaksana, edukasi, dan komplikasi GERD
6. Cara mencegah reflux dan kenaikan tekanan intra-abdomen
7. Jenis makanan, minuman, dan obat-obatan yang tidak menyebabkan
reflux
8. Cara kerja dan ketentuan PPI test

F. Jump VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi


kelompok
Dalam langkah ini, setiap anggota kelompok tutorial masing-masing
mencari dan mengumpulkan informasi sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang harus dicapai (yang telah ditentukan pada jump V).

G. Jump VII: Melakukan sintesis dan pengujian informasi-informasi


yang terkumpul
1. Diagnosis banding secara umum
Pertimbangan Diagnostik
Gastroesophageal reflux dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori,
sebagai berikut:
- Refluks gastroesofagus fisiologis (atau fungsional): Pasien-pasien
ini tidak memiliki faktor atau kondisi predisposisi yang mendasarinya;
pertumbuhan dan perkembangan adalah normal; dan pengobatan
farmakologis biasanya tidak diperlukan, meskipun mungkin diperlukan
untuk meredakan gejala jika perubahan gaya hidup tidak berhasil.
- Gastroesophageal reflux atau GERD: Pasien sering mengalami
komplikasi yang disebutkan di atas, membutuhkan evaluasi dan
pengobatan yang cermat.
- Gastroesophageal reflux sekunder: Ini merujuk pada kasus di mana
kondisi yang mendasari dapat menjadi predisposisi terhadap
gastroesophageal reflux, dengan contoh-contoh termasuk asma (suatu
kondisi yang mungkin juga, sebagian, disebabkan oleh atau diperburuk
oleh refluks) dan obstruksi saluran keluar lambung.
Diagnosis GERD pada pasien dengan gejala atipikal bisa sulit.
Ketika pasien datang dengan keluhan atipikal, diagnosis GERD harus
selalu diingat. Pasien dengan aspirasi berulang dapat memiliki asma,
riwayat pneumonia, dan fibrosis paru progresif. Selain itu, suara serak
dapat hadir karena iritasi laring kronis. Nyeri dada adalah gejala lain
yang bisa sulit untuk dievaluasi. Pada pasien-pasien ini, tidak termasuk
etiologi jantung penting sebelum memberi label nyeri sebagai nyeri
dada noncardiac sekunder akibat GERD.

Diagnosis Banding
- Achalasia
- Gastritis akut
- Antral Web Cholelithiasis
- Gastritis Kronis
- Aterosklerosis Arteri Koroner
- Kanker Kerongkongan
- Esophageal Motility Disorders
- Esophageal Spasm
- Esofagitis
- Batu empedu (Cholelithiasis)
- Infeksi Helicobacter pylori
- Hiatal Hernia
- Malrotasi usus
- Gangguan Motilitas usus
- Sindrom iritasi usus
- Penyakit Ulkus Peptikum
2. Etiologi dan epidemiologi GERD
ETIOLOGI
1. Konsumsi obat seperti Teofilin, Anti Kolinergik, Beta Adrenergic,
Nitrat, dan Ca Channel Blocker yang mampu menurunkan tonus
LES
2. Konsumsi makanan atau minuman seperti coklat, alcohol, makanan
berlemak, kopi, dan minuman yang bersifat asam
3. Hiatus hernia
4. Panjang LES, semakin LES memendek tonus ototnya semakin lemah
5. Hormonal
6. Infeksi

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi GERD di Amerika Utara yaitu 18,1%-27,8% di Eropa
yaitu 8,8%- 25,9% di Asia Timur 2,5%-7,8%, Australia 11,6%, dan
Amerika Selatan yaitu 23,0%. Prevalensi pada pria cenderung lebih
tinggi dibandingkan pada wanita. Insidensi GERD meningkat seiring
meningkatnya usia (lebih dari 40 tahun).

3. Patogenesis, patofisiologi, dan manifestasi klinis GERD


Patogenesis
Mekanisme yang terlibat dalam patogenesis GERD multipel dan
meliputi: a) kelainan motorik, seperti gangguan nada istirahat esofagus
bagian bawah (LES) yang lebih rendah, relaksasi LES sementara
(TLESR), gangguan pembersihan asam esofageal dan keterlambatan
pengosongan lambung; b) faktor anatomi, seperti hiatal hernia; c)
hipersensitivitas visceral; d) gangguan resistensi mukosa. Dengan ini,
masing-masing mekanisme ini, serta patofisiologi manifestasi ekstra-
esofagus GERD dibahas.

a) Kelainan tekanan LES


LES adalah zona kompleks anatomis yang terletak di persimpangan
gastro-esofageal, yang terdiri dari dua komponen: LES sejati, segmen
otot polos yang dikontrak tonik yang terletak di esofagus distal dan
bagian crural diafragma. Baik LES dan diafragma berkontribusi pada
kompetensi sfingter gastro-esofagus. Secara fisiologis, relaksasi LES,
sebelum kontraksi esofagus, memungkinkan makanan melewati
lambung. Dalam kondisi istirahat, LES mempertahankan zona tekanan
tinggi yaitu 15-30 mmHg di atas tekanan intragastrik, tergantung pada
variabilitas individu.Sebagian kecil pasien dengan GERD memiliki
LES tekanan rendah yang terus-menerus lemah, yang memungkinkan
refluks setiap kali tekanan di perut melebihi tekanan LES. Ini terjadi
ketika tekanan LES <6 mmHg . Nada istirahat LES yang menurun
secara kronis biasanya dikaitkan dengan esofagitis parah. Demikian
pula, cacat LES telah ditemukan pada banyak pasien dengan komplikasi
GERD lainnya, seperti striktur esofagus dan kerongkongan
Barrett.Faktor-faktor yang mengurangi nada LES termasuk hormon
endogen (cholecystokinin, progesteron dalam kehamilan) , obat-obatan
(nitrat, penghambat saluran kalsium, dll.), Makanan tertentu seperti
makanan tinggi lemak dan cokelat, dan kebiasaan volup Sanctuary
seperti merokok, kafein dan alkohol.

b) Relaksasi sphincter esofagus bawah sementara (TLESRs)


Banyak pasien GERD memiliki nada istirahat LES normal dan tidak
memiliki hernia hiatal, oleh karena itu refluks gastro-esofagus yang
abnormal pada subjek ini dijelaskan oleh teori alternatif. Bahkan,
penelitian pada sukarelawan sehat telah mengidentifikasi episode
refluks selama tidur dan periode postprandial yang disebabkan oleh
peningkatan jumlah relaksasi LES yang tidak tepat . TLESR adalah
episode singkat dari relaksasi LES yang tidak terkait dengan menelan
atau peristaltik. Studi neurofisiologi menunjukkan bahwa TLESRs
adalah refleks visceral dengan jalur aferen dan eferen vagal yang
mengirimkan informasi ke dan dari nukleus dorsal vagus. Distensi
lambung, dengan stimulasi ketegangan lambung proksimal dan reseptor
regangan, telah diakui sebagai faktor utama yang menginduksi
TLESRs. Pada subjek normal, refluks gastro-esofagus hanya terjadi
selama TLESR dan relaksasi LES yang diinduksi menelan, sedangkan
pada pasien dengan GERD, TLESR menyumbang 48-73% episode
refluks : dengan demikian TLESR merupakan mayoritas episode
refluks gastro-esofagus. . Pasien dengan GERD memiliki frekuensi
TLESR yang sama dibandingkan dengan orang normal, walaupun
mereka memiliki persentase TLESR yang lebih tinggi terkait dengan
refluks. Seperti tekanan istirahat LES, frekuensi TLESR dipengaruhi
oleh makanan (lemak, coklat, dll.), Alkohol dan merokok.

c) Gangguan pembersihan asam esofageal


Tingkat cedera mukosa esofagus dan frekuensi serta keparahan
gejala ditentukan oleh derajat dan lamanya paparan asam esofagus.
Memang, proses pembersihan asam esofageal merupakan mekanisme
perlindungan penting terhadap pengembangan GERD. Proses ini
melibatkan peristaltik serta menelan bikarbonat saliva. Peristaltik
primer dan sekunder adalah mekanisme esensial dari pembersihan
esofagus. Peristaltik primer yang berhubungan dengan menelan terjadi
sekitar 60 kali per jam, sedangkan peristaltik sekunder terjadi tanpa
adanya menelan dan dapat ditimbulkan oleh distensi esofagus atau
pengasaman. Menelan air liur (pH 7,8-8,0) sangat penting dalam
penyelesaian pembersihan asam esofageal dan pemulihan pH
esofageal.Dalam refluks yang diinduksi atau spontan secara
eksperimental, pasien dengan GERD telah ditemukan menunjukkan
waktu pembersihan asam yang dua sampai tiga kali lebih lama
dibandingkan dengan subyek tanpa GERD. Gangguan pembersihan
esofagus dapat disebabkan oleh peningkatan volume refluks dan
kadang-kadang disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya seperti
skleroderma. Dua mekanisme gangguan volume clearance telah
diidentifikasi: disfungsi peristaltik dan refluks kembali. Disfungsi
peristaltik ditandai dengan peristaltik yang gagal dan kontraksi
amplitudo rendah (<30 mmHg), yang menyebabkan pengosongan
esofagus yang tidak lengkap. Disfungsi peristaltik sering meningkat
dengan meningkatnya keparahan esofagitis. Re-refluks dikaitkan
dengan hernia hiatal tertentu, ketika cairan yang dibersihkan yang
terjebak di hernia kembali ke kerongkongan setelah relaksasi
LES.Selain itu, pembersihan asam diperpanjang dengan penurunan
tingkat saliva atau dengan penurunan kapasitas saliva untuk
menetralkan asam. Pengurangan air liur selama, atau segera sebelum,
tidur menyumbang waktu pembersihan asam yang lama, yang
tampaknya menjadi faktor penyebab utama dalam bentuk GERD yang
serius. Berkurangnya frekuensi peristaltik yang diinduksi menelan
selama tidur juga memperpanjang paparan asam esofagus. Air liur juga
berkurang pada perokok dan pada pasien yang menggunakan obat
antikolinergik, sehingga memperpanjang proses netralisasi mukosa
pada orang-orang ini.

d) Pengosongan lambung tertunda


Keterlambatan pengosongan lambung menghasilkan retensi yang
diperpanjang dari kandungan lambung yang diasamkan dalam lambung
selama periode pasca-prandial, yang dapat meningkatkan kemungkinan
GERD. Tidak ada kesepakatan dalam literatur tentang kontribusi nyata
dari pengosongan lambung dalam kecenderungan untuk refluks dan
berbagai metodologi penelitian yang digunakan akan muncul untuk
menjelaskan temuan kontroversial. Menggunakan nilai kontrol yang
baru ditetapkan untuk penilaian pengosongan lambung scintigraphic,
telah terungkap bahwa 26% pasien GERD memiliki hasil abnormal
pada 240 menit pasca-prandi.
Kesimpulannya, saat ini diyakini bahwa pengosongan lambung
yang tertunda berkontribusi terhadap patogenesis GERD pada sebagian
kecil pasien, terutama dengan meningkatkan jumlah refluks yang
tersedia dan menyebabkan distensi lambung. Efek distensi lambung
diselidiki dalam sebuah penelitian dengan menggembungkan balon
intra-lambung pada pasien dengan GERD dan kontrol. Pada kedua
kelompok, distensi lambung secara signifikan meningkatkan tingkat
TLESRs, menunjukkan bahwa distensi lambung dapat menjadi faktor
pemicu GERD pasca-prandial.

e) Hiatal hernia
Hernia hiatal sering ditemukan pada pasien dengan GERD. Perut
proksimal dislokasi melalui hiatus diafragma ke dalam dada, dan
diafragma crural menjadi terpisah dari LES, ini merupakan faktor
penting yang mengganggu integritas sfingter gastro-esofagus, sehingga
meningkatkan paparan asam esofagus. Hernia hiatal hadir pada ≥ 90%
pasien dengan esofagitis erosif berat, terutama jika terdapat komplikasi,
seperti striktur esofagus atau esofagus Barrett. Sebuah studi yang
menilai peran hernia hiatal pada pasien dengan Barrett's esophagus
menemukan hernia> 2 cm panjangnya dalam 96% pasien yang diteliti .
Terlepas dari apakah hernia merupakan faktor pemicu GERD, ia
jelas memainkan peran dalam mempertahankan GERD, yang
menghitung kronisitas penyakit. Salah satu cara di mana hiatal hernia
diyakini mempengaruhi kronisitas GERD adalah dengan menghambat
fungsi LES. Kerentanan terhadap refluks yang terkait dengan
peningkatan mendadak tekanan intraabdomen, seperti inspirasi atau
batuk, berhubungan baik dengan penurunan tekanan LES dan hernia
hiatal. Mekanisme potensial lain dimana hiatal hernia dapat
menyebabkan refluks adalah dengan bertindak sebagai reservoir untuk
bahan yang mengandung asam, dimana asam menjadi terperangkap
dalam kantung hernia selama pembersihan asam esofageal dan
kemudian direfluks ke esofagus selama relaksasi LES ketika pasien
menelan. Mekanisme ini bertanggung jawab atas gangguan
pembersihan asam yang terkait dengan GERD.

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit refluks gastroesofageal merupakan proses
yang kompleks dan multifaktorial. Pemahaman tentang patofisiologi
gastroesophageal reflux disease (GERD) juga terus mengalami
perkembangan. Secara garis besar, GERD terjadi karena masuknya
konten dari gaster ke dalam esofagus atau refluks gastroesofageal
(RGE) yang berlangsung secara kronis. Refluks merupakan salah satu
proses yang secara fisiologi dapat terjadi, akan tetapi sistem
gastrointestinal memiliki mekanisme anti-refluks yang sangat baik.
Gangguan mekanisme anti-refluks ini dapat menyebabkan RGE yang
berlangsung secara kronis. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di
antaranya paparan konten gaster, masalah sfingter esofagus, gangguan
motilitas gastrointestinal, hipersensitivitas esofagus, hernia hiatus,
kelainan mukosa.
Refluksat adalah campuran dari asam lambung, asam empedu,
enzim-enzim pencernaan, patogen, serta zat perusak lainnya. Refluksat
pada umumnya bersifat asam, sehingga dapat merusak lapisan epitel
saluran pencernaan dan iritasi esofagus. Dalam keadaan normal, refluks
lambung ini dapat dicegah dengan mekanisme antirefluks. Volume
refluksat serta durasi paparan refluks dapat membuat mekanisme
antirefluks lama kelamaan menjadi tidak efektif. Kegagalan mekanisme
antirefluks akan mengakibatkan zat asam naik ke esofagus dan merusak
integritas sawar mukosa/mucosal barrier. Hal ini yang kemudian akan
menyebabkan esofagitis dan displasia esofagus.

Manifestasi Klinis
 Refluks asam lambung atau regurgitasi. Asam di dalam perut akan
kembali ke kerongkongan dan juga mulut sehingga muncul rasa
asam dan pahit.
 Sensasi terbakar di dada atau nyeri ulu hati. Kondisi ini dirasakan
pada tulang dada akibat asam lambung yang naik ke esofagus. Rasa
nyeri akan terasa lebih kuat setelah makan dan saat membungkuk.
 Merasa seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan
saat menelan.
 Laringitis (peradangan pada laring atau pita suara yang
menyebabkan tenggorokan sakit dan suara menjadi parau).
 Batuk kering tanpa henti, terutama di malam hari.
 Sakit dada.
 Mengi.
 Kesulitan dan nyeri saat menelan.
 Gigi menjadi rusak.
 Kembung dan bersendawa.
 Bau napas tidak sedap.
 jumlah air liur secara tiba-tiba.

4. Pemeriksaan penunjang, dan prognosis GERD


Pemeriksaan penunjang
1) Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk diagnosis GERD.
Melalui emeriksaan endoskopi, perubahan makroskopik dari
permukaaan esofagus dapat dinilai dan menyingkirkan keadaan
patologis lain yang menjadi diagnosis banding dari GERD. Bila pada
pemeriksaan endosokopi ditemukan esofagitis yang dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi (biopsi), hal ini dapat mengkonfirmasi
bahwa gejala heartburn/regurgitasi disebabkan oleh GERD.
Klasifikasi Los Angeles GERD
Derajad
Gambaran Endoskopi
kerusakan
Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan
A
diameter < 5mm
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >
B
5mm tanpa saling berhubungan
Lesi yang konfluen tetapi tidak
C
mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

2) Esofagografi dengan barium


Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan
kelainan pada esofagitis ringan jika dibandingkan dengan endoskopi.
Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.
Kelebihan pemeriksaan ini daripada endosokopi adalah pada kasus
stenosis esofagus derajad ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala
disfagia, dan pada kasus hiatus hernia.

3) Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofagealdapat menyebabkan asidifikasi
bagian distal esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal dapat memastikan
ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm dia
atas LES dianggap diagnostik untuk GERD.

4) Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam

5) Manometri esofagus
Tes ini memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien
dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan
esofagografi barium dan endoskopi yang normal.

6) Sintigrafi gastroesofageal
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair
dan padat yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorbsi,
biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma
counter) eksternal akan memonitor transit dari cairan/makanan yang
dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan

7) Tes penghambat pompa proton (PPI test)


Dilakukan dengan memberikan PPI dosis tinggi 1-2 minggu sambil
melihat respons yang terjadi. Tes ini terutama digunakan bila tidak
tersedia modalitas diagnostik seperi endoskopi, pH metri, dan lain-lain.
Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala
yang terjadi. Terapi ini tidak dianjurkan bagi pasien yang disertai
dengan gejala alarm (berat badan turun, anemia,hematemesis/melena,
disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker
esofagus/lambung) dan umur >40 tahun

Prognosis
80% pasien GERD mengalami rekurensi namun memiliki bentuk
GERD non-progresif dan bisa dikontrol dengan obat (medikamentosa).
20% dari pasien memiliki bentuk progresif dan bisa mengalami
komplikasi seperti striktur dan esofagus Barret

5. Tatalaksana, edukasi, dan komplikasi GERD


Tatalaksana
o Merubah gaya hidup dan kebiasaan.
Pada penderita penyakit RGE dianjurkan untuk merubah beberapa
kebiasaan yang berhubungan dengan gejala RGE. Yang sering
dianjurkan terutama pada anak besar dan remaja adalah untuk berhenti
merokok, minum alkohol, minum kopi dan menurunkan berat badan
pada obesitas, jangan langsung tidur setelah makan dan mengurangi
porsi makanan. Sedangkan pada bayi dianjurkan pemberian thickening
milk, meninggikan posisi kepala sewaktu tidur dan tidak memakaikan
pakaian ketat. Pada penderita asma sebaiknya dihindarkan pemakaian
obat– obatan yang dapat menurunkan tekanan SEB terutama dari
golongan agonis B2 dan mengurangi pemakaian steroid oral. Tapi
belum banyak bukti yang mendukung keberhasilan dengan hanya
merubah kebiasaan dan gaya hidup saja, karena biasanya gejala RGE
selalu diatasi segera dengan pemakaian obat–obatan juga.
o Obat–obatan .
a) Antasida.Tujuan pemberian antasida yang dapat menetralisir
asam lambung adalah untuk mengurangi paparan asam di
esofagus, mengurangi gejala nyeri uluhati dan memperingan
esofagitis. Pengalaman pemakaian antasida pada bayi dan anak
belum banyak sehingga tidak direkomendasikan. Pemakaian
antasida terbatas hanya untuk jangka pendek saja.
b) Antagonis reseptor H2. Cara kerja golongan obat ini adalah
menekan sekresi asam dengan menghambat reseptor H2 pada sel
parietal lambung. Ranitidin merupakan jenis yang paling sering
digunakan. Obat ini efektif untuk mengurangi gejala esofagitis
ringan. Tetapi efeknya terhadap esofagitis berat belum banyak
dilaporkan.
c) Prokinetik. Obat–obat prokinetik meningkatkan motilitas
esofagus dan lambung sehingga membantu mempercepat waktu
pengosongan lambung serta dapat meningkatkan tekanan SEB.
Peran prokinetik untuk mengurangi episode refluks belum
terbukti. Untuk mengurang gejala muntah dan regurgitasi,
golongan prokinetik dapat diandalkan. Jenis obat yang sering
dipakai adalah cisaprid, metoklopramid dan betanekol.
Dilaporkan dari berbagai penelitian bahwa cisaprid relatif aman
walaupun kadang–kadang memberikan efek samping berupa
diare dan kolik yang bersifat sementara. Efek cisaprid terhadap
jantung (memperpanjang interval QT) juga pernah dilaporkan.
d) Proton pump Inhibitor. Golongan obat ini mensupresi produksi
asam lambung dengan menghambat molekul di kelenjar
lambung yang bertanggung jawab mensekresi asam lambung,
biasa disebut pompa asam lambung (gastric acid pump).
Omeprazol terbukti effektif pada esofagitis berat yang refrakter
terhadap antagonis reseptor H2. Namun demikian pengalaman
pemakaian omeprazol pada bayi dan anak masih belum banyak
dilaporkan.

o Operasi.
Tindakan operasi diindikasikan pada kasus–kasus berat yang tidak
respon terhadap pengobatan. Operasi tidak menjadi bagian dari
tatalaksana rutin RGE. Sebelum dilakukan operasi semua prosedur
diagnostik harus dilakukan. Jenis operasi yang biasa dilakukan adalah
fundoflikasi dan fundoflikasi laparoskopi.
Indikasi operasi adalah jika RGE menyebabkan:
a) Muntah persisten dengan gagal tumbuh.
b) Esofagitis atau adanya striktur esofagus.
c) Penyakit paru kronis atau apneic spell yang tidak respon dengan
pengobatan selama 2–3 bulan.
d) Anak berusia > 18 bulan, dengan hiatus hernia yang besar.
e) Anak dengan gangguan neurologis yang tidak respon dengan
obat-obatan

Edukasi
o Penurunan Berat Badan
Obesitas diduga menyebabkan GERD melalui berbagai faktor
antara lain meningkatkan: 1) perubahan (gradient) tekanan sfingter
gastroesofagus, 2) kejadian hiatal hernia, 3) tekanan intra-abdomen, dan
4) pengeluaran enzim pankreas dan empedu.9 Bukti penelitian
epidemiologis yang ada mengenai hal ini masih saling bertentangan,
meskipun sebagian besar mendukung hubungan GERD dengan
obesitas.
Dua meta-analisis dari penelitian epidemiologis di Amerika
menunjukkan adanya hubungan antara indeks massa tubuh (body mass
index, BMI) dengan GERD. Salah satu meta-analisis menyatakan
bahwa bila dibandingkan dengan orang yang tidak overweight dan tidak
obesitas, gejala GERD lebih banyak dialami oleh orang overweight
(BMI 25-30 kg/m2) sebesar 1,43 kali (OR 1,43; 95% CI 1,158-1,774),
dan oleh obesitas (BMI >30 kg/m2) sebesar hampir 2 kali (OR 1,94;
95% CI 1,468-2,566). Sementara itu, 2 studi berbasis populasi dan 2
studi cross sectional di Australia dan beberapa negara Eropa tidak
menunjukkan adanya hubungan tersebut. Perbedaan ini diperkirakan
terjadi karena 1) perbedaan etnis, 2) banyaknya mekanisme patogenesis
GERD, yang mana tidak semua mekanisme tersebut berhubungan
dengan atau dipengaruhi oleh adanya obesitas, serta 3) perbedaan
metodologi penelitian. Peningkatan berat badan pasien yang
mempunyai BMI normal juga berhubungan dengan munculnya gejala
GERD baru.
Penurunan berat badan terbukti berhubungan dengan berkurangnya
gejala GERD. Berdasarkan satu kajian sistematis, terdapat 5 penelitian
mengenai hal ini.9 Satu studi tak terkontrol (n = 34 pasien obesitas)
dalam kajian sistematis tersebut menunjukkan penurunan berat badan
berkorelasi signifikan dengan pH esofagus (OR 0,55; p<0,001). Ketiga
penelitian lainnya juga menunjukkan korelasi positif, sementara hanya
1 penelitian (n = 20 pasien obesitas dan refluks esofagitis) yang
menunjukkan tidak ada perbedaan gejala refluks antara kelompok
kontrol dan kelompok pasien yang menurunkan berat badan sebesar
10% setelah 6 bulan. Efek penurunan berat badan yang diinduksi oleh
tindakan operasi atau endoskopik juga dievaluasi. Terjadi penurunan
signifikan paparan asam terhadap mukosa esofagus selama penurunan
berat badan menggunakan balon intragastrik. Perbaikan gejala GERD
juga terjadi setelah berat badan diturunkan menggunakan metode
operasi bariatrik dan Roux-en-Y gastric bypass. Suatu studi kasus-
kontrol yang besar menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
kelompok kontrol, wanita yang menurunkan berat badannya sebesar 3,5
kali berat badan kelompok kontrol, mengalami penurunan frekuensi
gejala refluks sebesar 40%.
o Menaikkan Posisi Kepala ketika Tidur
Posisi berbaring datar ketika tidur diperkirakan meningkatkan
risiko refluks esofagus. Terdapat 3 penelitian terkait dengan manfaat
menaikkan posisi kepala ketika tidur. Penelitian pertama (n = 63 pasien)
membandingkan berbagai posisi tubuh, antara lain: duduk, berbaring
dan menaikkan posisi kepala saat tidur. Hasilnya, dibandingkan dengan
pasien yang tidur datar, pasien yang menaikkan posisi kepala ketika
tidur dengan menggunakan blok/penyangga setinggi 28 cm secara
signifikan mengalami episode dan gejala refluks lebih sedikit, durasi
refluks lebih singkat, dan pembersihan asam lebih cepat. Penelitian
kedua, randomised trial, membandingkan antara tidur menggunakan
bantalan, tidur dengan posisi kepala dinaikkan, dan tidur datar.
Hasilnya, tidur dengan posisi kepala dinaikkan berhubungan secara
signifikan dengan berkurangnya paparan asam pada esofagus bila
dibandingkan dengan tidur secara datar. Pada penelitian acak lainnya,
pada pasien dengan gejala refluks yang diobati dengan golongan
penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPIs) dan
cisapride, tidak ada hubungan antara menaikkan posisi kepala selama 2
minggu dengan perbedaan penggunaan antasid atau perbaikan gejala,
sehingga intervensi ini tampaknya efektif pada sebagian pasien saja.

o Menghindari Makan Terlalu Malam


Satu kajian sistematis dari 2 penelitian menyelidiki efek waktu
makan di malam hari terhadap keasaman lambung selama 24 jam pada
subyek sehat. Penelitian pertama menunjukkan makan pada pk. 18.00
menghasilkan pH lambung yang lebih rendah dibandingkan makan
pada pk. 21.00 (median pH 1,39 vs 1,67; p<0,01), namun ini hanya
terjadi antara tengah malam dan pk. 07.00 pagi. Studi kedua dilakukan
pada 10 pasien sehat menunjukkan bahwa keasaman lambung 24 jam
dan malam hari tidak dipengaruhi oleh perubahan waktu makan malam.

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah striktur dan pendarahan.
komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah esophagus Barret
(merupakan suatu kejadi premaligna. Komplikasi in terjadi sebagai
dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa
esophagus sehingga dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari
skuamosa menjadi epitel kolumnar yang metaplastik.

6. Cara mencegah reflux dan kenaikan tekanan intra-abdomen


Esofagitis refluks merupakan proses inflamasi epitel esofagus yang
dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Pada anak, esofagitis dapat
terjadi akibat refluks gastroesofagus (RGE), infeksi (bakteri, virus dan
jamur), atau bahan korosif. Esofagitis akibat RGE dikenal sebagai
esophagitis refluks, merupakan bentuk penyakit refluks
gastroesofagus(PRGE) dan penyebab esofagitis tersering pada anak.
Esofagitis refluks melibatkan berbagai proses yang mengakibatkan
tidak berfungsinya mekanisme yang mencegah RGE dan mekanisme
yang membersihkan esofagus dari bahan toksik. Toksisitas isi refluks
(seperti asam, pepsin, empedu), frekuensi dan durasi episode refluks,
serta resistensi esofagus terhadap isi refluks merupakan faktor yang
berperan terhadap kejadian esofagitis. Refluks gastroesofagus terjadi
akibat aliran balik isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara
involunter. Keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada bayi yang
bermanifestasi klinis sebagai regurgitasi. Diperlukan pemeriksaan
penunjang untuk membuktikan adanya RGE dan kerusakan mukosa
esofagus akibat RGE.
Pada beberapa individu, esofagitis refluks dapat merupakan suatu
keadaan yang dialami seumur hidup dan dimulai sejak masa anak. Oleh
karena itu, diagnosis dini dan terapi yang tepat pada masa anak sangat
diperlukan untuk menghasilkan kondisi dan kualitas hidup yang lebih
baik pada masa remaja dan dewasa. Modifikasi gaya hidup merupakan
salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan
merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini
bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah
kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya
hidup adalah meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta
menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan
bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung
ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena
keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta
mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat
menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada pasien
kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi
tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat,
teh, permen mint, kopi dan minuman bersoda karena dapat
menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obatobat
yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin,
diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic,
progesterone.

7. Jenis makanan, minuman, dan obat-obatan yang tidak


menyebabkan reflux
Makanan :
 Berlemak
 Pedas
 Asam
Minuman :
 Cokelat
 Kopi
 Alcohol
 Minuman asam
Obat-obatan :
 Tetrasiklin
 Anti-kolinergik
 Beta-adrenergik
 Nitrat
 Ca Channel blocker

8. Cara kerja dan ketentuan PPI test


Tes proton pump inhibitor (PPI) adalah terapi dan uji coba dengan
PPI dosis tinggi dalam jangka waktu yang singkat, tes ini digunakan
untuk mendiagnosis gastroesophageal reflux disease (GERD). Tes ini
digunakan secara umum di berbagai daerah dan negara karena mudah
didapatkan dan memiliki sensitivitas tinggi. Cara/ tata laksana dalam
PPI Test adalah sebagai berikut :
Interpretasi positif didapat bila terdapat respon positif terhadap
nyeri/keluhan (perbaikan klinis) pasien (keluhan membaik kurang lebih
50%) dan positif berarti pasien menderita GERD. Sebaliknya,
interpretasi negatif bila tidak terdapat efek apapun saat dalam 1-2
minggu pemberian PPI (terutama saat sudah 2x dosis) dan hasil negatif
berarti pasien memiliki masalah lain yang bukan GERD.
Bila hasil PPI Test positif, berikan PPI dalam dosis rendah atau
dosis maintenance (dosis ter-rendah yang efektif) sebagai terapi untuk
pasien. Bila curiga Barret’s Oesophagus, lakukan endoscopy.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari kegiatan diskusi tutorial skenario 2 Blok 4.2 Gastro-
hepatointestinal Disease ini mahasiswa mampu menjelaskan tentang
patofisiologi dari penyakit saluran pencernaan dan organ hepatobilier.
Mahasiswa juga mampu menjelaskan etiologi, epidemiologi, pathogenesis,
patofisiologi, pemeriksaan penunjang, manifestasi klinis, tatalaksana,
edukasi, prognosis, dan komplikasi dari GERD. Sehingga dari diskusi
tutorial ini didapat diagnosis yang paling mungkin adalah GERD (Gastro-
Esophageal Reflux Disease). Mahasiswa pun mampu menjelaskan hal-hal
yang dapat menyebabkan reflux dan naiknya tekanan intra-abdomen.

B. Saran
Kegiatan tutorial skenario 2 Blok 4.2 Gastrohepatointestinal
Disease ini telah berjalan dengan baik. Pada saat pertemuan pertama dalam
membahas jump 1 sampai dengan jump 5 kami telah aktif mencurahkan
pendapat yang telah kami miliki sebelumnya. Pertemuan kedua pada
skenario 2 juga berjalan dengan baik. Masing-masing anggota kelompok
telah mencari dan mengumpulkan informasi secara mandiri untuk
pertemuan kedua ini, sehingga semua pertanyaan yang belum terjawab di
pertemuan pertama serta learning object dapat terjawab.
Kegiatan tutorial kedepannya sebaiknya masing-masing anggota
kelompok telah mempersiapkan materi yang berhubungan dengan topik
pada skenario, sehingga semua anggota kelompok dapat berperan aktif
dalam kegiatan tutorial ini dan tidak ada anggota yang hanya diam
memperhatikan. Dari kegiatan tutorial diharapkan mahasiswa dapat
berpikir kritis dalam menghadapi suatu masalah, berpendapat dalam suatu
forum diskusi, dan menemukan pemecahan permasalahan melalui sumber-
sumber yang telah teruji kebenarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Sveen, S., 2009. Symptom check: is it GERD?. The Journal of Continuing


Education in Nursing, 40(3), pp.103-104.

Katz, P.O., Gerson, L.B. and Vela, M.F., 2013. Guidelines for the diagnosis and
management of gastroesophageal reflux disease. The American journal of
gastroenterology, 108(3), p.308.

Leikin, J. (2019). Gastroesophageal reflux disease (GERD). Disease-a-Month.

Mermelstein, J., Chait Mermelstein, A. and Chait, M. (2018). Proton pump


inhibitor-refractory gastroesophageal reflux disease: challenges and
solutions. Clinical and Experimental Gastroenterology, Volume 11, pp.119-134.

Numans Me, Lau J, deWit NJ, Bonis PA. Short-term treatment with proton-pump
inhibitors as a test for gastroesophageal reflux disease: a meta-analysis of
diagnostic test characteristics. Annals of Internal Medicine, 2004; 140(7):518-27.

J Heidelbaugh, J., Harrison, R., A McQuillan, M. and T Nostrant, T. (2002).


Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). UMHS GERD Guideline, pp.1-12.

Badillo, R., & Francis, D. (2014). Diagnosis and treatment of gastroesophageal


reflux disease. World journal of gastrointestinal pharmacology and
therapeutics, 5(3), 105–112. doi:10.4292/wjgpt.v5.i3.105

Anda mungkin juga menyukai