KELOMPOK XIV
PENDAHULUAN
SKENARIO 2
Diagnosis Banding
- Achalasia
- Gastritis akut
- Antral Web Cholelithiasis
- Gastritis Kronis
- Aterosklerosis Arteri Koroner
- Kanker Kerongkongan
- Esophageal Motility Disorders
- Esophageal Spasm
- Esofagitis
- Batu empedu (Cholelithiasis)
- Infeksi Helicobacter pylori
- Hiatal Hernia
- Malrotasi usus
- Gangguan Motilitas usus
- Sindrom iritasi usus
- Penyakit Ulkus Peptikum
2. Etiologi dan epidemiologi GERD
ETIOLOGI
1. Konsumsi obat seperti Teofilin, Anti Kolinergik, Beta Adrenergic,
Nitrat, dan Ca Channel Blocker yang mampu menurunkan tonus
LES
2. Konsumsi makanan atau minuman seperti coklat, alcohol, makanan
berlemak, kopi, dan minuman yang bersifat asam
3. Hiatus hernia
4. Panjang LES, semakin LES memendek tonus ototnya semakin lemah
5. Hormonal
6. Infeksi
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi GERD di Amerika Utara yaitu 18,1%-27,8% di Eropa
yaitu 8,8%- 25,9% di Asia Timur 2,5%-7,8%, Australia 11,6%, dan
Amerika Selatan yaitu 23,0%. Prevalensi pada pria cenderung lebih
tinggi dibandingkan pada wanita. Insidensi GERD meningkat seiring
meningkatnya usia (lebih dari 40 tahun).
e) Hiatal hernia
Hernia hiatal sering ditemukan pada pasien dengan GERD. Perut
proksimal dislokasi melalui hiatus diafragma ke dalam dada, dan
diafragma crural menjadi terpisah dari LES, ini merupakan faktor
penting yang mengganggu integritas sfingter gastro-esofagus, sehingga
meningkatkan paparan asam esofagus. Hernia hiatal hadir pada ≥ 90%
pasien dengan esofagitis erosif berat, terutama jika terdapat komplikasi,
seperti striktur esofagus atau esofagus Barrett. Sebuah studi yang
menilai peran hernia hiatal pada pasien dengan Barrett's esophagus
menemukan hernia> 2 cm panjangnya dalam 96% pasien yang diteliti .
Terlepas dari apakah hernia merupakan faktor pemicu GERD, ia
jelas memainkan peran dalam mempertahankan GERD, yang
menghitung kronisitas penyakit. Salah satu cara di mana hiatal hernia
diyakini mempengaruhi kronisitas GERD adalah dengan menghambat
fungsi LES. Kerentanan terhadap refluks yang terkait dengan
peningkatan mendadak tekanan intraabdomen, seperti inspirasi atau
batuk, berhubungan baik dengan penurunan tekanan LES dan hernia
hiatal. Mekanisme potensial lain dimana hiatal hernia dapat
menyebabkan refluks adalah dengan bertindak sebagai reservoir untuk
bahan yang mengandung asam, dimana asam menjadi terperangkap
dalam kantung hernia selama pembersihan asam esofageal dan
kemudian direfluks ke esofagus selama relaksasi LES ketika pasien
menelan. Mekanisme ini bertanggung jawab atas gangguan
pembersihan asam yang terkait dengan GERD.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit refluks gastroesofageal merupakan proses
yang kompleks dan multifaktorial. Pemahaman tentang patofisiologi
gastroesophageal reflux disease (GERD) juga terus mengalami
perkembangan. Secara garis besar, GERD terjadi karena masuknya
konten dari gaster ke dalam esofagus atau refluks gastroesofageal
(RGE) yang berlangsung secara kronis. Refluks merupakan salah satu
proses yang secara fisiologi dapat terjadi, akan tetapi sistem
gastrointestinal memiliki mekanisme anti-refluks yang sangat baik.
Gangguan mekanisme anti-refluks ini dapat menyebabkan RGE yang
berlangsung secara kronis. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di
antaranya paparan konten gaster, masalah sfingter esofagus, gangguan
motilitas gastrointestinal, hipersensitivitas esofagus, hernia hiatus,
kelainan mukosa.
Refluksat adalah campuran dari asam lambung, asam empedu,
enzim-enzim pencernaan, patogen, serta zat perusak lainnya. Refluksat
pada umumnya bersifat asam, sehingga dapat merusak lapisan epitel
saluran pencernaan dan iritasi esofagus. Dalam keadaan normal, refluks
lambung ini dapat dicegah dengan mekanisme antirefluks. Volume
refluksat serta durasi paparan refluks dapat membuat mekanisme
antirefluks lama kelamaan menjadi tidak efektif. Kegagalan mekanisme
antirefluks akan mengakibatkan zat asam naik ke esofagus dan merusak
integritas sawar mukosa/mucosal barrier. Hal ini yang kemudian akan
menyebabkan esofagitis dan displasia esofagus.
Manifestasi Klinis
Refluks asam lambung atau regurgitasi. Asam di dalam perut akan
kembali ke kerongkongan dan juga mulut sehingga muncul rasa
asam dan pahit.
Sensasi terbakar di dada atau nyeri ulu hati. Kondisi ini dirasakan
pada tulang dada akibat asam lambung yang naik ke esofagus. Rasa
nyeri akan terasa lebih kuat setelah makan dan saat membungkuk.
Merasa seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan
saat menelan.
Laringitis (peradangan pada laring atau pita suara yang
menyebabkan tenggorokan sakit dan suara menjadi parau).
Batuk kering tanpa henti, terutama di malam hari.
Sakit dada.
Mengi.
Kesulitan dan nyeri saat menelan.
Gigi menjadi rusak.
Kembung dan bersendawa.
Bau napas tidak sedap.
jumlah air liur secara tiba-tiba.
3) Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofagealdapat menyebabkan asidifikasi
bagian distal esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal dapat memastikan
ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm dia
atas LES dianggap diagnostik untuk GERD.
4) Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam
5) Manometri esofagus
Tes ini memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien
dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan
esofagografi barium dan endoskopi yang normal.
6) Sintigrafi gastroesofageal
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair
dan padat yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorbsi,
biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma
counter) eksternal akan memonitor transit dari cairan/makanan yang
dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan
Prognosis
80% pasien GERD mengalami rekurensi namun memiliki bentuk
GERD non-progresif dan bisa dikontrol dengan obat (medikamentosa).
20% dari pasien memiliki bentuk progresif dan bisa mengalami
komplikasi seperti striktur dan esofagus Barret
o Operasi.
Tindakan operasi diindikasikan pada kasus–kasus berat yang tidak
respon terhadap pengobatan. Operasi tidak menjadi bagian dari
tatalaksana rutin RGE. Sebelum dilakukan operasi semua prosedur
diagnostik harus dilakukan. Jenis operasi yang biasa dilakukan adalah
fundoflikasi dan fundoflikasi laparoskopi.
Indikasi operasi adalah jika RGE menyebabkan:
a) Muntah persisten dengan gagal tumbuh.
b) Esofagitis atau adanya striktur esofagus.
c) Penyakit paru kronis atau apneic spell yang tidak respon dengan
pengobatan selama 2–3 bulan.
d) Anak berusia > 18 bulan, dengan hiatus hernia yang besar.
e) Anak dengan gangguan neurologis yang tidak respon dengan
obat-obatan
Edukasi
o Penurunan Berat Badan
Obesitas diduga menyebabkan GERD melalui berbagai faktor
antara lain meningkatkan: 1) perubahan (gradient) tekanan sfingter
gastroesofagus, 2) kejadian hiatal hernia, 3) tekanan intra-abdomen, dan
4) pengeluaran enzim pankreas dan empedu.9 Bukti penelitian
epidemiologis yang ada mengenai hal ini masih saling bertentangan,
meskipun sebagian besar mendukung hubungan GERD dengan
obesitas.
Dua meta-analisis dari penelitian epidemiologis di Amerika
menunjukkan adanya hubungan antara indeks massa tubuh (body mass
index, BMI) dengan GERD. Salah satu meta-analisis menyatakan
bahwa bila dibandingkan dengan orang yang tidak overweight dan tidak
obesitas, gejala GERD lebih banyak dialami oleh orang overweight
(BMI 25-30 kg/m2) sebesar 1,43 kali (OR 1,43; 95% CI 1,158-1,774),
dan oleh obesitas (BMI >30 kg/m2) sebesar hampir 2 kali (OR 1,94;
95% CI 1,468-2,566). Sementara itu, 2 studi berbasis populasi dan 2
studi cross sectional di Australia dan beberapa negara Eropa tidak
menunjukkan adanya hubungan tersebut. Perbedaan ini diperkirakan
terjadi karena 1) perbedaan etnis, 2) banyaknya mekanisme patogenesis
GERD, yang mana tidak semua mekanisme tersebut berhubungan
dengan atau dipengaruhi oleh adanya obesitas, serta 3) perbedaan
metodologi penelitian. Peningkatan berat badan pasien yang
mempunyai BMI normal juga berhubungan dengan munculnya gejala
GERD baru.
Penurunan berat badan terbukti berhubungan dengan berkurangnya
gejala GERD. Berdasarkan satu kajian sistematis, terdapat 5 penelitian
mengenai hal ini.9 Satu studi tak terkontrol (n = 34 pasien obesitas)
dalam kajian sistematis tersebut menunjukkan penurunan berat badan
berkorelasi signifikan dengan pH esofagus (OR 0,55; p<0,001). Ketiga
penelitian lainnya juga menunjukkan korelasi positif, sementara hanya
1 penelitian (n = 20 pasien obesitas dan refluks esofagitis) yang
menunjukkan tidak ada perbedaan gejala refluks antara kelompok
kontrol dan kelompok pasien yang menurunkan berat badan sebesar
10% setelah 6 bulan. Efek penurunan berat badan yang diinduksi oleh
tindakan operasi atau endoskopik juga dievaluasi. Terjadi penurunan
signifikan paparan asam terhadap mukosa esofagus selama penurunan
berat badan menggunakan balon intragastrik. Perbaikan gejala GERD
juga terjadi setelah berat badan diturunkan menggunakan metode
operasi bariatrik dan Roux-en-Y gastric bypass. Suatu studi kasus-
kontrol yang besar menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
kelompok kontrol, wanita yang menurunkan berat badannya sebesar 3,5
kali berat badan kelompok kontrol, mengalami penurunan frekuensi
gejala refluks sebesar 40%.
o Menaikkan Posisi Kepala ketika Tidur
Posisi berbaring datar ketika tidur diperkirakan meningkatkan
risiko refluks esofagus. Terdapat 3 penelitian terkait dengan manfaat
menaikkan posisi kepala ketika tidur. Penelitian pertama (n = 63 pasien)
membandingkan berbagai posisi tubuh, antara lain: duduk, berbaring
dan menaikkan posisi kepala saat tidur. Hasilnya, dibandingkan dengan
pasien yang tidur datar, pasien yang menaikkan posisi kepala ketika
tidur dengan menggunakan blok/penyangga setinggi 28 cm secara
signifikan mengalami episode dan gejala refluks lebih sedikit, durasi
refluks lebih singkat, dan pembersihan asam lebih cepat. Penelitian
kedua, randomised trial, membandingkan antara tidur menggunakan
bantalan, tidur dengan posisi kepala dinaikkan, dan tidur datar.
Hasilnya, tidur dengan posisi kepala dinaikkan berhubungan secara
signifikan dengan berkurangnya paparan asam pada esofagus bila
dibandingkan dengan tidur secara datar. Pada penelitian acak lainnya,
pada pasien dengan gejala refluks yang diobati dengan golongan
penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPIs) dan
cisapride, tidak ada hubungan antara menaikkan posisi kepala selama 2
minggu dengan perbedaan penggunaan antasid atau perbaikan gejala,
sehingga intervensi ini tampaknya efektif pada sebagian pasien saja.
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah striktur dan pendarahan.
komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah esophagus Barret
(merupakan suatu kejadi premaligna. Komplikasi in terjadi sebagai
dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa
esophagus sehingga dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari
skuamosa menjadi epitel kolumnar yang metaplastik.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kegiatan diskusi tutorial skenario 2 Blok 4.2 Gastro-
hepatointestinal Disease ini mahasiswa mampu menjelaskan tentang
patofisiologi dari penyakit saluran pencernaan dan organ hepatobilier.
Mahasiswa juga mampu menjelaskan etiologi, epidemiologi, pathogenesis,
patofisiologi, pemeriksaan penunjang, manifestasi klinis, tatalaksana,
edukasi, prognosis, dan komplikasi dari GERD. Sehingga dari diskusi
tutorial ini didapat diagnosis yang paling mungkin adalah GERD (Gastro-
Esophageal Reflux Disease). Mahasiswa pun mampu menjelaskan hal-hal
yang dapat menyebabkan reflux dan naiknya tekanan intra-abdomen.
B. Saran
Kegiatan tutorial skenario 2 Blok 4.2 Gastrohepatointestinal
Disease ini telah berjalan dengan baik. Pada saat pertemuan pertama dalam
membahas jump 1 sampai dengan jump 5 kami telah aktif mencurahkan
pendapat yang telah kami miliki sebelumnya. Pertemuan kedua pada
skenario 2 juga berjalan dengan baik. Masing-masing anggota kelompok
telah mencari dan mengumpulkan informasi secara mandiri untuk
pertemuan kedua ini, sehingga semua pertanyaan yang belum terjawab di
pertemuan pertama serta learning object dapat terjawab.
Kegiatan tutorial kedepannya sebaiknya masing-masing anggota
kelompok telah mempersiapkan materi yang berhubungan dengan topik
pada skenario, sehingga semua anggota kelompok dapat berperan aktif
dalam kegiatan tutorial ini dan tidak ada anggota yang hanya diam
memperhatikan. Dari kegiatan tutorial diharapkan mahasiswa dapat
berpikir kritis dalam menghadapi suatu masalah, berpendapat dalam suatu
forum diskusi, dan menemukan pemecahan permasalahan melalui sumber-
sumber yang telah teruji kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Katz, P.O., Gerson, L.B. and Vela, M.F., 2013. Guidelines for the diagnosis and
management of gastroesophageal reflux disease. The American journal of
gastroenterology, 108(3), p.308.
Numans Me, Lau J, deWit NJ, Bonis PA. Short-term treatment with proton-pump
inhibitors as a test for gastroesophageal reflux disease: a meta-analysis of
diagnostic test characteristics. Annals of Internal Medicine, 2004; 140(7):518-27.