Anda di halaman 1dari 70

HUBUNGAN MEROKOK DENGAN DISFONIA

DAN VOICE HANDICAP INDEX

Tesis

Oleh :

dr. Rika Caesaria Hidayat

PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara


HUBUNGAN MEROKOK DENGAN DISFONIA
DAN VOICE HANDICAP INDEX

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat

untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher

Oleh :

dr. Rika Caesaria Hidayat

Nim :

127109006

PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, saya sampaikan rasa syukur
kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat
menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Hubungan Merokok dengan
Disfonia dan Voice Handicap Index” sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Spesialis dalam
bidang Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tesis
ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis mengharapkan
tesis ini dapat menambah perbendaharaan penelitian dalam bidang faring-
laring.
Disadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak, tesis ini tidak dapat
dilaksanakan dengan baik, namun berkat bantuan dan bimbingan serta
dorongan moril dari keluarga, Komisi Pembimbing, Konsultan Penelitian,
Komisi Penguji dan rekan sejawat, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.
Maka dari itu, dengan hati yang tulus dan penuh syukur, terima kasih yang
tak terhingga dan penghargaan yang tulus setinggi-tingginya saya
ucapkan kepada yang terhormat :
Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.T.H.T.K.L (K) selaku Ketua
Komisi Pembimbing yang secara ikhlas telah banyak meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Dr. Linda Irwani Adenin, Sp.T.H.T.K.L selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang telah banyak memotivasi dan memberikan dukungan
moril sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.
Bapak Fotarisman Zaluchu, SKM, MS.i, MPH selaku Konsultan
penelitian yang banyak memberi bantuan, bimbingan dan masukan
mengenai metodologi penelitian dan statistika, sehingga tesis ini dapat
terselesaikan.

Universitas Sumatera Utara


Para Komisi Penguji, Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L (K) dan
dr. Adlin Adnan, Sp.T.H.T.K.L (K) yang telah bersedia memberikan
penilaian, saran dan masukan yang sangat berharga demi sempurnanya
tesis ini.
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung
Sitepu, SH. MH yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S (K), atas kesempatan yang
diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran
Klinik di Departemen Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Ketua Departemen Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp. T.H.T.K.L (K) dan
Ketua Program Studi Departemen Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
dr. Adlin Adnan, Sp. T.H.T.K.L (K) yang telah memberikan izin,
kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister
Kedokteran Klinik sampai selesai.
Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan : Prof.
dr. Ramsi Lutan, Sp. T.H.T.K.L.(K), dr. Yuritna Haryono, Sp. T.H.T.K.L.(K),
Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp. T.H.T.K.L.(K), dr. Mangain
Hasibuan, Sp. T.H.T.K.L., Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. T.H.T.K.L (K), dr.
Linda I. Adenin, Sp. T.H.T.K.L., dr. Rizalina A. Asnir, Sp. T.H.T.K.L.(K),
FICS, dr. Siti Nursiah, Sp. T.H.T.K.L.(K), dr. Harry A. Asroel, Sp.
T.H.T.K.L.(K), Dr. dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L.(K), FICS,

Universitas Sumatera Utara


dr. Aliandri, Sp. T.H.T.K.L., dr. Ashri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS), Sp.
T.H.T.K.L., Dr. dr. H. R. Yusa Herwanto, Sp. T.H.T.K.L.(K), M.Ked (ORL-
HNS), dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp. T.H.T.K.L(K), dr. Ramlan Sitompul,
Sp. T.H.T.K.L., dr. Yuliani M. Lubis, Sp. T.H.T.K.L., dr. Indri Adriztina,
M.Ked (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L., dr. Vive Kananda, Sp. T.H.T.K.L. dan
dr. M. Arfiza Putra Saragih, Sp. T.H.T.K.L serta seluruh supervisor
T.H.T.K.L di rumah sakit jejaring. Terima kasih atas segala ilmu,
keterampilan dan bimbingannya yang sangat berharga selama ini.
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda dr. Hidayatullah, Sp.B dan Ibunda
Ir. Afrida, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak
terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang
yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam
kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta
diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh
dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat
Allah SWT, Ya Alllah ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami,
serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.
Kepada Bapak Ir. M. Madjid Damanik dan Ibu Mertua Sri Muriati yang
selama ini telah memberikan dorongan dan restu sehingga saya dapat
menyelesaikan pendidikan ini.
Suami tercinta, dr. Ahmad Ridho Damanik, saya sampaikan terima
kasih dan penghargaan atas kasih sayang yang diberikan, pengorbanan
tiada tara, kesabaran, ketabahan serta dukungan selama penulis
menjalani masa pendidikan. Yang tercinta ananda Baslan Umar Damanik
yang menjadi pendorong dan penyemangat penulis dalam menyelesaikan
pendidikan ini.

Universitas Sumatera Utara


Yang tercinta adinda dr. Fitra Aina Hidayat, saya ucapkan terima kasih
atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan
serta doa.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, baik
langsung maupun tidak langsung, handai taulan dan para sejawat yang
tidak dapat saya sebut satu persatu, hanya Allah Subhanallahu Wa Ta’ala
yang mampu memberikan balasan terbaik.
Semoga tesis ini dapat memberi sumbangan yang berharga bagi
perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi orang
banyak. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberi rahmat
dan hidayahNya kepada kita semua. Aamiin ya rabbal ‘alamiin. Wabillahi
taufiq walhidayah, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Medan, Juli 2018


Penulis

Rika Caesaria Hidayat

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Latar Belakang : Merokok diketahui memiliki efek yang tidak baik pada
karakter jaringan pita suara, dan merupakan faktor risiko utama yang
mempengaruhi suara dan karakteristiknya. Hal ini telah terdokumentasi
dengan baik bahwa lesi di laring yang berhubungan dengan kebiasaan
merokok dapat menyebabkan terbentuknya polip pita suara, edema reinke,
karsinoma pita suara, peradangan kronik, eritema, atau iritasi mukosa laring.

Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan disfonia dan


Voice Handicap Index.

Metode : Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross-sectional pada


30 orang perokok dan 30 orang bukan perokok berasal dari pegawai dan
peserta didik (PPDS, mahasiswa pendidikan dokter) laki-laki di rumah sakit
RSUP H. Adam Malik Medan. Pada pasien dilakukan anamnesis,
pemeriksaan THT rutin, pengisian kuesioner VHI dan pemeriksaan
laryngoscopy optic.

Hasil : Penelitian ini mendapatkan kelompok usia perokok terbanyak pada


kelompok perokok, yang terbanyak adalah usia 31-40 tahun dan pada
kelompok yang bukan perokok usia terbanyak adalah 21-30 tahun.
Gambaran laring tidak normal terbanyak yang ditemukan pada kelompok
perokok adalah hiperemis disertai dengan oedem, sementara itu pada
kelompok bukan perokok gambaran laring normal adalah gambaran laring
yang paling banyak dijumpai. Terdapat hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan skor VHI (p<0,05).

Kesimpulan : Terdapat huubungan yang signifikan antara kebiasaan


merokok dan skor VHI

Kata Kunci : Merokok, disfonia, VHI

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Background: Smoking is known to have an adverse effect on the character


of the vocal cord tissue, and is a major risk factor affecting the sound and its
characteristics. It has been well documented that lesions in the larynx
associated with smoking habits may lead to the formation of vocal cord
polyps, reinke edema, carcinoma of the vocal cords, chronic inflammation,
erythema, or mucosal irritation of the larynx.

Purpose: To know the relationship between smoking with dysphonia and


Voice Handicap Index.

Method: This research was analytic with cross-sectional design in 30


smokers and 30 non-smokers were from employees and students (PPDS,
doctoral student) in hospital at RSUP H. Adam Malik Medan. History taking,
routine ENT examination, Voice Handicap Index (VHI) questionnaire, and
optic laryngoscopy examination were conducted.

Result: This study found the largest age group of smokers in the group
smokers, the most are aged 31-40 years and in the group that is not the most
age-old smokers are 21-30 years. The most abnormal laryngeal features
found in the smokers group were hyperemic with oedem, whereas in the non-
smoker group the normal laryngeal image was the most common overview of
the larynx. There was a significant relationship between smoking habit and
VHI score (p <0.05).

Conclusion: There is a significant relationship between smoking habits and


VHI scores.

Keywords: smoking, dysphonia, VHI

ii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ......................................................................................... i
ABSTRACT ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ v
DAFTAR TABEL .............................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................ 5
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 7
2.1 Laring .................................................................................. 7
2.1.1 Embriologi dan Perkembangan Laring ......................... 7
2.1.2 Struktur Rangka Laring ............................................... 8
2.1.3 Otot Laring ................................................................... 9
2.1.4 Rongga Laring ............................................................ 11
2.1.5 Histologi Laring ............................................................ 12
2.1.6 Pendarahan Laring ....................................................... 13
2.1.7 Persarafan Laring ........................................................ 13
2.1.8 Aliran Limfe Laring ...................................................... 14
2.2 Fisiologi Laring .................................................................... 15
2.3 Disfonia ............................................................................... 18
2.4 Rokok dan Disfonia .............................................................. 19
2.5 Kualitas Hidup ...................................................................... 25
2.6 Merokok dan VHI .................................................................. 26
2.7 Kerangka Teori/Konsep ....................................................... 28
2.8 Hipotesis Penelitian .............................................................. 29
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 31
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ......................................... 31
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................. 31
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .......................................... 31
3.3.1 Populasi ...................................................................... 31
3.3.2 Sampel ....................................................................... 31
3.3.3 Besar Sampel .............................................................. 32
3.4Teknik Pengambilan Sampel ................................................. 32
3.5 Variabel Penelitian ............................................................... 33
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian .............................. 33
3.7 Bahan / Alat dan Prosedur Penelitian ................................... 34
3.7.1 Bahan / Alat Penelitian ............................................... 34
3.7.2 Prosedur Penelitian .................................................... 35
3.8 Analisis Data ....................................................................... 36
3.9 Kerangka Kerja .................................................................... 36
4.0 Jadwal Penelitian ................................................................. 37
iii

Universitas Sumatera Utara


BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................. 37
4.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Usia dan Gambaran Laring .. 37
4.2 Skor VHI pada Perokok dan Bukan Perokok ........................ 39
4.3 Perbedaan Nilai VHI pada Perokok dan Bukan Perokok ...... 39
4.4 Hubungan Lama Merokok dengan Skor VHI ........................ 40
4.5 Hubungan Jumlah Rokok/Hari dengan Skor VHI .................. 41
4.6 Hubungan Jenis Rokok dengan Skor VHI ............................. 42
BAB V PEMBAHASAN ..................................................................... 43
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 50
6.1 Kesimpulan .......................................................................... 50
6.2 Saran ................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 51
LAMPIRAN ........................................................................................ 57

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Laring ................................................................................ 9
Gambar 2.2 Otot Intrinsik Laring ............................................................. 10
Gambar 2.3 Rongga Laring dan Pita Suara ............................................ 11
Gambar 2.4 Lapisan Histologi Pita Suara ............................................... 13
Gambar 2.5 Inervasi Laring .................................................................... 14
Gambar 2.6 Drainase Limfatik Laring ..................................................... 14
Gambar 4.1 Perbandingan Nilai VHI pada yang merokok dengan yang
tidak merokok ..................................................................... 39
Gambar 4.2 Distribusi skor VHI berdasarkan Lama Merokok ................. 40
Gambar 4.3 Distribusi skor VHI berdasarkan Jumlah Rokok/Hari ........... 41
Gambar 4.3 Distribusi Skor VHI Berdasarkan Jenis Rokok .................... 43

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ..................................................................... 36
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ......... 37
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan
Gambaran Laring ...................................................................... 38
Tabel 4.3 Perbedaan skor VHI pada Perokok dan Bukan Perokok ........... 39
Tabel 4.4 Hubungan Jenis Rokok dengan Lama Meroko .......................... 44

vi

Universitas Sumatera Utara


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut data Badan Kesehatan Dunia/ WHO (2015), jumlah perokok di
seluruh dunia meningkat mencapai 1,2 milyar orang per tahun, dan setiap
tahun sekitar 56 juta orang meninggal dunia akibat berbagai penyakit yang
berhubungan dengan merokok. Sementara itu di Indonesia, konsumsi
produk tembakau, terutama rokok telah mencapai tingkat yang sangat
memprihatinkan dalam. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan
peningkatan prevalensi perokok dari 27% pada tahun 1995, meningkat
menjadi 36,3% pada tahun 2013. Artinya, jika 20 tahun yang lalu dari
setiap 3 orang Indonesia 1 orang di antaranya adalah perokok,
maka dewasa ini dari setiap 3 orang Indonesia 2 orang di antaranya
adalah perokok (Kaundal, 2015; KEMENKES RI, 2016).
Ribuan penelitian setiap tahunnya menguatkan hubungan antara
penggunaan tembakau dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk
rokok, dengan sejumlah penyakit. Dari seluruh penyakit tersebut, telah
diketahui bahwa perokok memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
penyakit pernafasan (seperti emfisema, bronkhitis, dan kanker), sinusitis
(akibat dampak asak rokok pada mekanisme bersihan mukosilia di hidung
yang berakibat pada sekret yang statik dan tertumpuk), jantung coroner,
dan penyakit gastroesofagus (Guimares & Abberton, 2009). Sedangkan
dari sudut pandang ilmu THT, penelitian yang menghubungkan efek rokok
terhadap gangguan pita suara masih sangat jarang ditemukan.
Merokok diketahui sebagai faktor risiko untuk gangguan laring seperti
disfonia. Tanpa mengeliminasi stimulan kronik seperti tembakau, proses
penyembuhan permanen dari kondisi disfonia akan sulit dicapai jika hanya
dengan operasi atau tindakan pembedahan. Bahkan individu yang
merokok lebih dari 35 batang per hari memiliki risiko tujuh kali lebih tinggi
untuk mengalami kanker laring, salah satu hal lain yang juga berhubungan

Universitas Sumatera Utara


2

dengan disfonia. Oleh karena itu, sebagai pencegahan disfonia, faktor


risiko harus dikenali dan harus ditata secara sistematik (Guimares &
Abberton, 2009; Byeon, 2015). Telah lama diketahui bahwa merokok dan
bahkan mereka yang secara pasif menghirup udara yang terpenuhi
dengan asap rokok, dapat memicu terjadinya iritasi laring. Meskipun
begitu, terdapat variasi individual dalam hal tingkat toleransi terhadap
berbagai agen iritan seperti halnya toleransi individual terhadap asap
rokok (Sorensen dan Horii, 1982).
Merokok diketahui memiliki efek yang tidak baik pada karakter jaringan
pita suara, dan merupakan faktor risiko utama yang mempengaruhi suara
dan karakteristiknya, sehingga penting bagi para dokter yang terlibat
dalam penilaian dan penatalaksanaan gangguan suara (ahli otolaring, ahli
patologi percakapan, ahli suara) untuk memiliki pemahaman pada efek
yang mungkin ditimbulkan oleh merokok pada proses penghasilan suara
(Awan, 2010; Tafiadis, et al, 2017).
Hubungan antara merokok dan perubahan di laring yang menimbulkan
gangguan suara sudah terbukti. Hal ini telah terdokumentasi dengan baik
bahwa lesi di laring yang berhubungan dengan kebiasaan merokok dapat
menyebabkan terbentuknya polip pita suara, edema Reinke, karsinoma
pita suara, peradangan kronik, eritema, atau iritasi mukosa laring. Chai
dkk telah membuktikan bahwa merokok mempengaruhi kemampuan
perseptual, akustik, dan aerodinamik (Tafiadis, et al, 2017).
Beberapa studi lain juga telah menggambarkan efek merokok yang
mungkin berkembang pada mekanisme laring, seperti insidensi yang lebih
tinggi pada perubahan histologi pada mukosa pita suara (seperti nukleus
atipikal pre-cancerous, karsinoma invasif dini, dan penebalan menyeluruh
pada epitel), edema ringan hingga kronik, eritema, hiperplasia epitel,
peradangan pada laring, laringitis kronis, dan berkembangnya batuk yang
berlebihan oleh karena meningkatnya sensitivitas struktur laring (Pinar, et
al, 2015; Awan, 2010).

Universitas Sumatera Utara


3

Feijo dkk telah menemukan prevalensi perubahan histologis


(metaplasia, hiperplasia) yang lebih tinggi pada perokok-perokok yang
diautopsi dibandingkan dengan yang tidak merokok. Temuan serupa juga
didapatkan oleh Muller dan Krohn (1980) yang melakukan 148 autopsi
dan dijumpai kelainan epitel pada perokok berat sebesar 30.6%. Gilbert
dan Weismer telah menemukan penebalan pita suara pada 87% perokok
dan hanya 7% pada yang bukan perokok dengan usia rerata 30-54 tahun
(Guimares & Abberton, 2009).
Berbagai hal yang dapat menyebabkan gangguan laring yang bersifat
sementara atau permanen memiliki potensi untuk menyebabkan
gangguan suara. Beberapa penelitian secara khusus telah melaporkan
perubahan pada karakter frekuensi dasar suara, begitu juga peningkatan
gangguan suara yang diamati sebagai karakteristik umum pada suara
perokok (Awan, 2010; Cohen, 2010).
Gangguan suara, pada dasarnya, berasal dari mekanisme yang rumit
dan pasien-pasien dengan gangguan suara ini memiliki berbagai kesulitan
yang kemudian dapat berdampak pada kualitas hidup mereka. Kesulitan-
kesulitan ini dapat berupa kesulitan psikologis, emosional, dan kesulitan
yang berkaitan dengan pekerjaan, begitu juga dengan dampak pada
interaksi sosial mereka (Jones, Carding, & Drinnan, 2006).
Keluhan pasien menyangkut masalah suara telah diidentifikasi sebagai
suatu indikator risiko yang signifikan untuk menilai perkembangan
disfonia. Bersama dengan tes endoskopi laring dan tes fonetik akustik,
status keluhan pasien mengenai masalah suara adalah standar dalam
mendiagnosa disfonia dalam praktik klinis. Meski memiliki kecenderungan
untuk dianggap lebih berat daripada sebenarnya, pengakuan subjektif
mengenai masalah kesehatan telah lama digunakan sebagai indikator
untuk mewakili status kesehatan orang yang diwawancarai karena mudah
dilakukan dan berguna untuk memprediksi risiko penyakit (Byeon, et al.,
2015).

Universitas Sumatera Utara


4

Keluhan mengenai keparahan akibat gangguan pita suara yang


diakibatkan oleh merokok dapat diukur dengan menggunakan VHI (Voice
Handicap Index). VHI adalah kuesioner yang digunakan untuk menilai
derajat keparahan gangguan suara berdasarkan pengakuan pasiennya.
Kuesioner ini digunakan sebagai sarana untuk menilai kualitas hidup dan
derajat keparahan gangguan suara dimana pasien secara subjektif menilai
keluhan menyangkut masalah suara. Kuesioner VHI yang dikembangkan
dan divalidasi oleh Jacobson dkk ini, terdiri dari tiga domain yaitu aspek
fungsional, aspek fisik, dan aspek emosional gangguan suara tersebut
dan dilengkapi oleh pasien-pasien sendiri berdasarkan jenis gangguan
suara yang mereka alami dalam tatanan skala lima poin untuk masing-
masing pernyataan. Di Indonesia, kuesioner ini telah diuji akurasinya oleh
beberapa penelitian berbasis komunitas, antara lain Hellena et al. (2011)
dan Kadriyan (2005). Sementara penelitian berbasis pada pasien di rumah
sakit masih amat jarang ditemukan (Seifpanahi, et al, 2015).
Adapun bukti ilimiah yang mengkaji efek merokok pada laring dan
kualitas suara masih langka. Inkonsistensi ini dapat disebabkan kendala
metodologi tertentu yang dapat membatasi validitas temuan, yang dapat
berupa: 1) data diperoleh hanya dari kelompok pekerjaan tertentu (seperti
pelajar universitas) atau beberapa kelompok pekerjaan (seperti sekretaris,
ibu rumah tangga, perawat); 2) identifikasi kebiasaan merokok (jumlah
tahun, jumlah rokok yang dikonsumsi) yang tidak disajikan; 3)
pemeriksaan laringostroboskopik yang tidak dilakukan; 4) perilaku suara
yang dipelajari selalu terfokus pada huruf vokal yang berkelanjutan
(Guimares & Abberton, 2009).
Byeon (2015), pada penelitiannya di Korea, menyimpulkan bahwa
perokok saat ini memiliki risiko lebih tinggi mengalami keluhan
menyangkut masalah suara dari pada bukan perokok, dan perokok saat
ini memiliki resiko kelainan laring yang lebih tinggi dibanding dengan
bukan perokok.

Universitas Sumatera Utara


5

Penelitian Tafiadis et al. yang menggunakan kuesioner VHI dan


analisis parameter suara akustik, berkesimpulan bahwa: 1) kebiasaan
merokok dini memiliki pengaruh spesifik pada hasil pengukuran
karakteristik akustik suara dan nilai VHI; 2) kuesioner VHI dianggap sama
sensitifnya dengan alat monitor dan skrining untuk para perokok pemula;
3) kuesioner VHI dan analisis akustik suara berperan penting sebagai
sebuah protokol skrining (Tafiadis et al, 2017).
Di Indonesia sendiri penelitian yang dilakukan untuk memperkuat teori
adanya hubungan merokok dengan gangguan suara berkaitan dengan
kualitas hidup masih sangat terbatas dan belum dijumpai dalam literatur.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang efek merokok terhadap kejadian gangguan
suara dan kualitas hidup pada perokok di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.2. Perumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimanakah hubungan antara
merokok dengan disfonia dan VHI.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan disfonia dan VHI.
1.3.2. Tujuan Khusus.
a. Untuk melihat gambaran laring pada perokok dan bukan perokok
b. Untuk mengetahui perbedaan nilai VHI antara perokok dan bukan
perokok.
c. Untuk mengetahui hubungan antara lama merokok dengan disfonia
dan VHI.
d. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah rokok/hari dengan
disfonia dan VHI.

Universitas Sumatera Utara


6

e. Untuk mengetahui hubungan antara jenis rokok dengan disfonia


dan VHI.

1.4 Manfaat Penelitian


a. Memberikan data mengenai prevalensi terkini penderita disfonia
yang juga sebagai perokok di RSUP H. Adam Malik Medan
sehingga dapat menjadi referensi untuk penelitian yang
berhubungan dengan merokok dan disfonia selanjutnya.
b. Memberikan informasi tentang karakter perokok (lama merokok,
jumlah rokok, jenis rokok) di RSUP H. Adam Malik Medan sehingga
dapat menjadi dasar strategi pencegahan dan untuk menekan
jumlah perokok di masa yang akan datang.
c. Menjadi dasar pembelajaran bagi masyarakat mengenai
pentingnya suara dalam komunikasi sosial dan profesional
sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak
merokok terhadap kesehatan telinga, hidung, dan tenggorok.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Laring
2.1.1 Embriologi dan perkembangan laring
Laring merupakan katup biologis yang terletak di persimpangan antara
saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Perkembangan laring menjadi
organ fonasi muncul karena posisinya yang berada di atas tracheobronchial
tree dan fungsinya dalam mengatur katup memberi kemampuan unik untuk
mengatur aliran udara terutama pada saat ekspirasi (Sasaki, Kim & LeVay,
2009; Sulica, 2014).
Berbeda dengan orang dewasa yang umumnya ukuran laring laik-laki dan
perempuan berbeda, pada bayi ukuran laring bayi laki-laki dan perempuan
adalah sama. Ukuran laring pada bayi lebih kecil dari pada orang dewasa,
sehingga isthmus yang terbentuk relatif lebih kecil terhadap saluran napas.
Epiglotis dapat dilihat dibalik dorsum lidah pada kebanyakan bayi karena
sewaktu lahir batas inferior kartilago krikoid berada setinggi batas atas
vertebra servikalis keempat dan ujung epiglotis berhadapan dengan vertebra
servikalis pertama (Ballanger, 2003; Glashan, 2008).
Sulkus laringotrakea terbentuk pada usia embrio mencapai 3 minggu.
Perluasan sulkus ini kearah kaudal akan menjadi primordial paru, yang pada
minggu ke-4 sulkus ini akan bertambah dalam dan berbentuk seperti
kantong, bagian proksimal dari sulkus akan menjadi laring. Pembesaran
aritenoid dan lamina epithelial mulai terbentuk pada hari ke 33. Pada 3-4
minggu kemudian barulah terbentuk struktur tulang rawan,otot dan pita suara
(Spector,1994; Cohen, 2006).
Kartilago laring merupakan turunan dari arkus brankial empat dan enam.
Laring terletak di bagian depan hipofaring yaitu mulai dari vertebra servikalis
ketiga sampai vertebra servikalis keenam. Laring bergerak secara vertikal ke

7
Universitas Sumatera Utara
8

arah anteroposterior saat menelan dan berbicara. Pada orang dewasa laring
berakhir pada batas bawah vertebra servikalis keenam (Patel, Rhys &
Montgomery., 2003; Sasaki, Kim & LeVay, 2009).

2.1.2 Struktur rangka laring


Kerangka pendukung laring terdiri dari sebuah tulang yaitu hyoid, dan
empat buah kartilago, yaitu krikoid, tiroid, dan sepasang aritenoid. Kerangka
eksternal laring dibentuk oleh hyoid, tiroid, dan krikoid, yang saling berikatan
satu sama lain melalui membran tirohyoid dan krikotiroid (Sasaki, Kim &
LeVay, 2009; Sulica,2014; Woodson, 2014).
Tulang hyoid yang berbentuk U merupakan tulang yang menyokong laring
dan mengokohkan hipofaring. Tulang hyoid dihubungkan dengan kartilago
tiroid oleh membran tirohyoid Kartilago krikoid dapat dianggap sebagai
bagian bawah dari laring. Sebagai satu-satunya cincin lengkap di seluruh
jalan napas, krikoid sangat penting dalam mempertahankan patensi jalan
nafas. Namun, kekakuan segmen ini tampaknya dapat menjadi salah satu
predisposisi terjadinya cedera mukosa akibat tekanan endoluminal, seperti
stenosis akibat balon endotracheal tube. Tulang rawan tiroid terletak di atas
krokoid. Sudut di mana dua bagian tiroid bersatu pada bagian anterior lebih
runcing pada pria daripada pada wanita, dan ini menyebabkan penonjolan
pada leher laki-laki yang disebut Adam’s apple (Sasaki, Kim & LeVay, 2009;
Sulica,2014; Woodson, 2014).
Aritenoid merupakan tulang rawan yang berpasangan, berbentuk pyramid
dan bersendian dengan bagian posterosuperior dari kartilago krikoid.
Sepasang aritenoid terletak pada pinggir posterior krioid dan merupakan titik
fiksasi untuk pergerakan plika vokalis, masing-masing ke anterior garis
tengah kartilago tiroid. Tepat ditepi bawah pangkal epiglotis (Sasaki, Kim &
LeVay, 2009; Sulica,2014; Woodson, 2014).

Universitas Sumatera Utara


9

Epiglotis merupakan tulang rawan elastis yang membentuk dinding


anterior laring berbentuk seperti daun. Berfungsi terutama sebagai panahan
masuknya makanan ke dalam laring. Melekat pada tulang hioid melalui
ligamentum hioepiglotika yang membagi epiglotis menjadi suprahioid dan
infrahioid. Kartilago kornikulata merupakan tulang rawan berpasangan.
Melekat pada bagian apex dari kartilago aritenoid. Sedangkan sepasang
kartilago kuneiform melekat pada lipatan ariepiglotika pada bagian depan
kartilago kornikulata dan menyangga lipatan, berbentuk menyerupai batang
atau tangkai (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica,2014; Woodson, 2014).

Gambar 2.1. Laring (tampak posterior) (Hiatt & Gartner, 2010).

2.1.3 Otot laring


Terdapat 2 jenis otot yang mengatur pergerakan laring, yaitu otot intrinsik
yang menghubungkan tulang rawan laring satu sama lain, dan otot ekstrinsik
yang menghubungkan laring dengan struktur di sekitarnya (Sasaki, Kim &
LeVay, 2009, Woodson, 2014).

Universitas Sumatera Utara


10

a. Otot intrinsik, berfungsi untuk menggerakkan pita suara dan aditus


laring. Otot-otot intrinsik terdiri dari otot krikoaritenoid posterior
(abduktor), otot krikoaritenoid lateral, interaritenoid, tiroaritenoid
(adduktor) dan otot krikotiroid dan vokalis (tensor). Sedangkan otot
tiroepiglotik , interaritenoid an ariepiglotik berfungsi membuka dan
menutup aditus laring.
b. Otot ekstrinsik, berfungsi menghubungkan laring dengan struktur di
sekitarnya dan terbagi ke dalam otot elevator dan otot depresor
laring. Otot-otot elevator termasuk didalamnya stilofaringeus,
salpingofaringeus, palatofaringeus, tirohioid, milohioid, digastrik,
stilohioid, geniohioid. Sedangkan otot-otot depressor, termasuk di
dalamnya sternohioid, sternotiroid, dan omohioid. Berfungsi
menggerakkan laring ke bawah pada saat proses inspirasi.

Gambar 2.2. Otot Intrinsik Laring (Sulica, 2014).

Universitas Sumatera Utara


11

2.1.4 Rongga laring


Rongga laring terbagi atas tiga bagian yaitu supraglottis, glottis dan
subglottis yang dipisahkan oleh plika vestibularis dan plika vokalis. Plika
vestibularis sering disebut pita suara palsu, sedangkan plika vokalis sering
disebut dengan pita suara asli. Rongga supraglottis terdiri dari epiglottis,
aryepiglottis sampai ke arytenoid. Batas bawahnya adalah pita suara palsu
yang juga merupakan batas atas dari glottis. Yang termasuk glottis adalah
plika vokalis, komisura anterior dan posterior. Di bawahnya adalah subglottis
sampai ke batas bawah krikoid yang berhubungan dengan trakea (Beasly,
2008).

Gambar 2.3. Rongga laring dan Pita Suara (John, 2009)

Yang dimaksud dengan pita suara ialah plika vokalis. Pita suara ini ada
dua: kanan dan kiri, berbentuk simetris yang ketika melakukan fonasi
bergerak ke medial bertemu merapat di garis median. Untuk menggerakkan
pita suara ke medial ini diperlukan koordinasi banyak otot (Lee, 2003).
Waktu lahir pita suara panjangnya sekitar 0,7 cm, pada wanita dewasa
1,6 – 2 cm dan pada laki-laki dewasa 2 – 2,4 cm. Perpanjangan pita suara
disebabkan otot krikoaritenoid dan otot tiroaritenoid. Tidak hanya panjang pita

Universitas Sumatera Utara


12

suara saja yang mempengaruhi nada tetapi juga ketegangan, elastisitas pita
suara dan tekanan udara di trakea (Lee, 2003; Woodson, 2014)
Pita suara atau plika vokalis (vocal cord/ vocal fold) berperan dalam
memproduksi suara, dan terdiri 2 pita yang kuat disebut ligamentum vokale.
Setiap ligamen memanjang dari dari kartilago aritenoid ke kartilago tiroid dan
besifat elastis. Pita suara terletak di dalam rongga laring, meluas dari dasar
ventrikel Morgagni kebawah sampai setinggi kartilago krikoid dengan jarak
0,8 cm sampai 2 cm. Pita suara berada di atas batas inferior kartilago tiroid.
Secara histologi tepi bebas pita suara diliputi oleh epitel berlapis yang
tebalnya 8-10 sel dan cenderung menipis pada prosesus vokalis (Lee, 2003;
Woodson, 2014).

2.1.5 Histologi laring

Secara histologi tepi bebas pita suara diliputi oleh epitel berlapis yang
tebalnya 8-10 sel dan cenderung menipis pada prosesus vokalis. Stratified
squamous epithellium yang melapisi pita suara dan merupakan bagian atas
dari vestibulum laring. Mukosa dari tepi bebas pita suara sangat penting
dalam menghasilkan getaran pada saat phonasi, dengan struktur epitel
submukosa yang tersusun, memungkinkan getaran bebas dari ligamentum
vokalis. Pinggir bebas pita suara diliputi epitel berlapis yang tebalnya 8
sampai 10 sel, walaupun epitel cenderung menipis pada prosesus vokalis.
Lamina propria terdiri atas 3 lapisan, antara lain lapisan superficial, lapisan
tengah dan lapisan dalam. Mukosa laring mengandung banyak kelenjar
seromukus, terutama banyak di pita suara palsu dan ventrikel. Tetapi pita
suara asli seluruhnya tidak mengandung kelenjar (Lee, 2003; Woodson &
Zaya, 2008; Sulica, 2014).

Universitas Sumatera Utara


13

Gambar 2.4. Lapisan Histologi Pita Suara (Sulica, 2014).

2.1.6 Pendarahan laring


Perdarahan untuk laring terdiri dari dua cabang, yaitu arteri tiroid superior
dan arteri tiroid inferior. Arteri tiroid superior merupakan cabang arteri karotis
eksterna. Arteri tiroid inferior merupakan cabang dari trunkus tiroservikal dari
arteri subklavia. Aliran balik vena laring dibawa oleh vena tiroid superior dan
media, yang bergabung dengan vena jugularis interna dan vena tiroid inferior
(Spector, 1994; Dhingra, 2007; Sasaki, Kim & LeVay, 2009).

2.1.7 Persarafan laring


Laring dipersarafi oleh nervus laringeal rekuren dan superior yang
merupakan cabang nervus vagus. Nervus laringeal superior melewati arteri
karotis interna dan eksterna membawa inervasi sensori dan motorik ke laring.
Sensasi dari vestibulum dan ventrikel laring, di atas pita suara asli dibawa
oleh laringeus internal cabang dari nervus vagus, dan sensasi di bawah pita
suara asli dibawa oleh nervus rekuren laringeus cabang dari nervus vagus.
Inervasi motorik semua otot laring dibawa oleh nervus rekuren laringeus

Universitas Sumatera Utara


14

cabang nervus vagus, kecuali m. krikotiroid yang diinervasi oleh laringeus


eksternal (Lee,2003; Dhingra, 2007).

Gambar 2.5. Inervasi Laring (Probst, Grover & Iro, 2010).

2.1.8 Aliran limfe laring


Pembuluh limfe untuk laring banyak, kecuali pada daerah lipatan vokalis.
Plika vokalis membagi pembuluh-pembuluh limfe menjadi golongan superior
dan inferior. Kelompok superior akan mengalirkan cairan limfe ke nodus
limfatikus servikalis profunda superior. Kelompok inferior akan mengalirkan
aliran limfe ke nodus limfatikus servikalis profunda inferior, beberapa
diantaranya menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikula (Hermani dan
Hutaruruk, 2012; John, 2009).

Gambar 2.6. Drainase limfatik laring (Probst, Grover & Iro, 2010).

Universitas Sumatera Utara


15

2.2 Fisiologi Laring


Secara fisiologi larin g mempunyai tiga fungsi utama, sebagai respirasi,
fonasi dan proteksi jalan nafas (Cohen, 2006).
a. Respirasi
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi, yang
menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif.
Fungsi laring sebagai respirasi menyebabkan perubahan tekanan
intratorakal. Bila laring menutup akan meningkatkan tekanan intratorakal
(Cohen, 2006; Sulica, 2014).
Muskulus krikoaritenoid posterior merupakan satu-satunya otot abduktor
pada vocal fold yang dapat menghindari tekanan negatif pada intra luminal
dengan cara kontraksi diafragma (inspirasi). Muskulus krikoaritenoid posterior
juga mampu bekerja sebagai reseptor dari tekanan udara, temperatur,
kelembaban dan konsentrasi co2 (Cohen, 2006; Sulica, 2014).
Tekanan intratorakal menjadi negatif pada saat inspirasi dapat
meningkatkan curah jantung. Hal ini menyebabkan pengosongan vaskular
intratorakal lebih efektif. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di
dalam traktus trakeobronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi dalam tubuh
(Cohen, 2006; Hermani dan Hutauruk, 2012).
b. Fonasi
Laring berada diatas dari trakeobronkial dan paru-paru. Dimana pada
prinsipnya berfungsi sebagai sumber dari fonasi dan udara. Fonasi dihasilkan
dari interaksi antara udara dan pita suara yang berasal dari teori myoelastic-
aerodynamic (Sulica, 2014; Woodson, 2014).
Siklus glotis yang terakumulasi dari tekanan udara terhadap dinding
subglotis akan menyebabkan pita suara tertutup. Pada tekanan tertentu,
udara mulai terdorong ke bagian bawah pita suara. Penutupan dari pita suara
memiliki dimensi vertikal, dengan naiknya pita suara dari inferior ke superior.

Universitas Sumatera Utara


16

Udara yang lewat akan menyebabkan kontriksi dari pita suara, dan
menyebabkan lumen supraglotik melebar (Sasaki, Kim & LeVay, 2009;
Sulica, 2014).
Udara di glotis akan menekan pita suara lateral yang akan kembali ke
garis tengah. Dipengaruhi oleh penurunan tekanan intraluminal untuk
menutup tepi dari glotis. Karakteristik siklus glotis tergantung pada elastisitas
penutupan pita suara dan aktivitas otot-otot intrinsik laring serta tekanan
udara (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014).
Getaran pita suara dari siklus glotik akan merubah tekanan udara yang
konstan menjadi tekanan yang teratur, yang di kenal sebagai suara. Selama
fonasi, pita suara bergetar menimbulkan tidak hanya satu nada melainkan
beberapa nada (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014).
Suara merupakan suatu gelombang yang terbentuk dari amplitudo,
frekuensi dan morfologi gelombang, yang masing-masing berhubungan
dengan kerasnya suara, nada dan kualitas suara. Hal ini akan merubah siklus
glotis (tekanan udara) atau myoelastic contribution (anatomi serta kekakuan)
pada pita suara (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014; Woodson, 2014).
Amplitudo dari gelombang suara dianggap sebagai intensitas suara.
Kuatnya suara akan meningkatkan tekanan udara di subglotik. Perubahan
elastisitas pada pita suara terjadi untuk mengimbangi peningkatan tekanan
yang berlebihan (Sulica, 2014; Woodson, 2014).
Dalam keadaan normal, meningkatnya tekanan dari pita suara dengan
kontraksi otot (terutama tiroaritenoid dan krikotiroid) meningkatkan ketahanan
glotis, dan mengembalikan keseimbangan untuk mempertahankan siklus
glottis (Sulica, 2014; Woodson, 2014).
Tekanan dari pita suara akan mempengaruhi nada. Mekanisme untuk
mengontrol nada melibatkan interaksi antara krikoaritenoid, muskulus
tiroaritenoid dan tekanan udara. Kontraksi dari muskulus krikotiroid akan

Universitas Sumatera Utara


17

menyebabkan pita suara memanjang, meningkatkan tekanan, dan


meningkatkan frekuensi. Sebaliknya, kontraksi dari tiroaritenoid memendek
dari pita suara, menurunkan tekanan, dan mengurangi frekuensi. Karena
dalam fonasi yang kuat pada frekuensi rendah, tidak hanya mukosa tetapi
juga otot vokalis ikut terlibat dalam getaran. Hasilnya kontraksi meningkatkan
tekanan dan frekuensi (Sulica, 2014; Woodson, 2014).
Nada dan kekuatan suara berhubungan dengan aerodinamik dan
myoelastic phenomena. Tekanan udara yang lebih besar cenderung
meningkatkan peregangan pita suara, dengan mengurangi massa dan
meningkatkan tekanan sehingga menghasilkan frekuensi tinggi (Sasaki, Kim
& LeVay, 2009; Sulica, 2014).
Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis. Bila plika
vokalis adduksi, maka m. krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke
bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang
bersamaan m. krikotiroid posterior akan menahan atau menarik kartilago
aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan efektif untuk
berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m. krikoaritenoid akan mendorong
kartilago aritenoid ke depan sehingga plika vokalis akan menentukan tinggi
rendahnya nada (Hermani & Hutauruk, 2012; Woodson, 2014).
c. Proteksi
Fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas adalah mencegah terjadinya
aspirasi makanan atau minuman ke dalam saluran nafas/paru pada saat
menelan. Penutupan laring sangat mirip dengan mekanisme kerja suatu
sfingter, dimana pita suara dan pita suara palsu, kartilago aritenoid dan
lipatan ariepiglotika saling merapat dan bersatu. Epiglotis bekerja mendorong
dan mengarahkan makanan menjauhi laring tetapi sebaliknya menuju sinus
piriformis lalu menuju muara esofagus. Pada saat otot faring berkontraksi
mendorong bolus kearah inferior, maka otot krikofaringeal akan relaksasi

Universitas Sumatera Utara


18

sehingga memudahkan bolus mencapai esofagus (Cohen, 2006; Sulica,


2014).
Fungsi laring sebagai proteksi adalah mencegah makanan dan benda
asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima
glotis secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena
pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot intrinsik laring. Dalam hal
ini kartilago aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m. tiroaritenoid dan
m. aritenoid. Selanjutnya m. ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter (Sasaki,
Kim & LeVay, 2009; Hermani & Hutauruk, 2012).

2.3 Disfonia
Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala
penyakit atau kelainan pada laring yang dapat mengganggu komunikasi
sosial dan profesional. Setiap gangguan suara yang disebabkan oleh
kelainan laring, dikenal dengan istilah disfonia. Disfonia timbul dikarenakan
hilangnya pola vibrasi yang regular dari korda vokalis, sebagai akibat suatu
keadaan atau penyakit (Haryuna, 2009; Galvan, 2012; Hermani & Hutahuruk,
2012).
Setiap kondisi patologis yang menimbulkan gangguan dalam getaran,
ketegangan serta pendekatan (adduksi) kedua pita suara akan menimbulkan
disfonia. Penyebab paling sering disfonia umumnya adalah infeksi pada
tenggorokan, biasanya karena infeksi saluran nafas atas, lesi jinak pita suara,
keganasan pita suara dan gangguan fungsional pita suara (Hermani dan
Hutauruk, 2012; Parajuli, 2016).
Disfonia memiliki beberapa dampak negatif tidak hanya pada komunikasi,
namun juga pada kehidupan sosial, dan juga profesional. Pasien-pasien
dengan disfonia dilaporkan cukup banyak mengalami pengucilan sosial,
depresi, gangguan kualitas hidup, dan peningkatan frekuensi ketidakhadiran
dalam bekerja. Oleh sebab itu, gangguan suara berdampak buruk tidak

Universitas Sumatera Utara


19

hanya terhadap individu, tetapi juga memberikan beban sosial bagi penerita
disfonia (Cohen, et al., 2012).
Pada penelitian Baitha et al. (2004), yang dilakukan di departemen
otolaringologi – bedah kepala dan leher di Swagram, India pada Januari 1998
hingga September 1999, memaparkan bahwa faktor-faktor predisposisi
disfonia (berturut-turut dari tertinggi hingga terendah) adalah fokus septik
(karies gigi, faringitis) sejumlah 41.8%, penyalahgunaan pita suara (40.9%),
merokok (25.45%), mengunyah tembakau (17.27%), konsumsi alkohol
(12.72%), dan konsumsi kacang (8.18%). Selain itu juga dijumpai dua faktor
predisposisi secara bersamaan, kombinasi yang paling sering dijumpai
adalah penyalahgunaan pita suara dan konsumsi alkohol serta
penyalahgunaan pita suara dan merokok (Baitha, et al., 2004).

2.4 Rokok dan Disfonia


Rokok adalah produk olahan dari daun tanaman kering yang berasal dari
genus Nicotana (Family Solanaceae atau yang biasa dikenal sebagai
keluarga nightshade). Asap rokok bersifat kompleks, dinamis dan
mereaksikan campuran yang mengandung 4.000 bahan kimia. Terdapat juga
43 bahan penyebab kanker (Ferrite dan Santana, 2005; Kaundal dan Takhur,
2015; Pinar, et al, 2015).
Setiap asap rokok mengandung berbagai bahan kimia berbahaya,
contohnya nikotin, tar, karbon monoksida dan eugenol pada jenis rokok
kretek. Asap rokok mengandung bahan kimia yang dikelompokkan menjadi 2
komponen, antara lain komponen gas (10%) dan komponen padat/partikel
(90%). Komponen gas yang paling utama pada rokok adalah karbon
monoksia, sedangkan pada komponen padat/partikel adalah tar dan nikotin
(Ferrite dan Santana, 2005; Pinar, et al, 2015).
Organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization),
menyatakan bahwa Eropa, khususnya Yunani, memiliki jumlah perokok

Universitas Sumatera Utara


20

dewasa tertinggi di dunia yaitu sebesar 42.4%. Angka prevalensi merokok di


antara wanita di Yunani diperkirakan mencapai 30% pada tahun 2012
(Tafiadis, et al, 2017). Sementara itu, di negara kita, Indonesia, telah
mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan dalam konsumsi produk
tembakau, terutama rokok. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan
peningkatan prevalensi perokok dari 27% pada tahun 1995, meningkat
menjadi 36,3% pada tahun 2013. Artinya, jika 20 tahun yang lalu dari setiap 3
orang Indonesia 1 orang di antaranya adalah perokok, maka dewasa ini dari
setiap 3 orang Indonesia 2 orang di antaranya adalah perokok. Keadaan ini
semakin mengkhawatirkan, karena prevalensi perokok perempuan turut
meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi 6,7% pada tahun 2013.
Dengan demikian, pada 20 tahun yang lalu dari setiap 100 orang perempuan
Indonesia 4 orang di antaranya adalah perokok, maka dewasa ini dari setiap
100 orang perempuan Indonesia 7 orang di antaranya adalah perokok
(KEMENKES RI, 2016).
Merokok merupakan faktor risiko utama yang memberikan dampak buruk
bagi kesehatan, terutama kesehatan vokal. Kebiasaan merokok yang
berulang-ulang dapat menyebabkan ketidakmampuan kedua pita suara untuk
bergerak sepenuhnya selama vokalisasi yang mengakibatkan penurunan
kualitas dan tekanan suara (Byeon, 2015).
Hubungan antara merokok dan gangguan vokal telah dikuatkan dalam
beragam penelitian. Sejumlah penelitian epidemiologi telah melaporkan
bahwa merokok adalah penyebab utama edema Reinke,menyebabkan pita
suara kering dan terkait erat dengan radang tenggorokan kronis, keratosis
laring dan leukoplakia laring. Merokok telah terbukti menjadi penyebab
deformasi langsung pada mukosa pita suara hewan coba dalam sebuah
penelitian eksperimental hewan. Perokok kronis menyebabkan perubahan
anatomis laring, nyeri dan suara yang memburuk. Lebih jauh lagi, karena

Universitas Sumatera Utara


21

merokok menyebabkan kelelahan vokal dalam jangka pendek dengan


menstimulasi membran mukosa pita suara, diperkirakan bahwa perokok saat
ini lebih cenderung merasakan masalah suara mereka sendiri daripada non-
perokok (Menvielle, et al., 2004; Wiskirska-Woznica, et al., 2004; Awan,
2011).
Byeon dan Lee, pada penelitiannya di Korea menunjukkan bahwa
prevalensi kondisi patologis pada laring dijumpai lebih tinggi di kalangan
perokok (13,0%) dibandingkan dengan orang yang tidak merokok (6,7%).
Mereka melaporkan timbulnya masalah suara dijumpai meningkat pada lesi-
lesi laring. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik
menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, konsumsi alkohol,
dan BMI (Body Mass Index) dalam prevalensi dari kondisi-kondisi patologis
laring (Byeon dan Lee, 2013).
Beberapa penelitian telah melaporkan kemampuan pernafasan dan fonasi
antara para perokok dengan mereka yang tidak merokok. Telah dilaporkan
adanya efek spesifik pada fungsi pernafasan seperti penurunan kapasitas
vital paksa dan volume ekpirasi paksa pada detik pertama, penurunan
performa pada prosedur uji fungsi paru termasuk kapasitas vital paksa dan
kecepatan aliran ekspirasi puncak pada usia remaja, penurunan pada waktu
fonasi maksimum rerata (MPT, maximum phonation times), dan peningkatan
secara menyeluruh pada reaktivitas bronkus. Beberapa studi lain juga telah
menggambarkan efek merokok yang mungkin berkembang pada mekanisme
laring, seperti insidensi yang lebih tinggi pada perubahan histologi pada
epitel pita suara (seperti nukleus atipikal pre-cancerous, karsinoma invasif
dini, dan penebalan menyeluruh pada epitel), edema ringan hingga kronik,
eritema, hiperplasia epitel, peradangan pada saluran suara, laringitis kronis,
dan berkembangnya batuk yang berlebihan oleh karena meningkatnya
sensitivitas struktur laring (Pinar, et al, 2015; Awan, 2011).

Universitas Sumatera Utara


22

Merokok berkaitan dengan edema Reinke, yang merupakan suatu


kondisi edema dan teregangnya pita suara oleh karena penumpukan cairan
yang terjadi secara primer di dalam lapisan pertama lamina propria.
Penelitian oleh Marcotullio dkk dan Awan dan Morrow, keduanya, mengamati
hubungan antara merokok dengan timbulnya edema. Beberapa penelitian
telah mengindikasikan bahwa wanita lebih cenderung untuk menderita efek
kerusakan yang disebabkan oleh merokok yang berkaitan dengan fungsi
pernafasan dan fonasi (seperti perlambatan pertumbuhan fungsi paru pada
wanita remaja dan peningkatan prevalensi hiperresponsif bronkus) daripada
efek yang dialami oleh para pria. Beberapa penelitian secara khusus telah
melaporkan perubahan pada karakter frekuensi dasar suara, begitu juga
kemungkinan peningkatan gangguan suara yang teramati sebagai
karakteristik umum pada suara perokok (Awan, 2011).
Beberapa penelitian telah meneliti dampaknya terhadap berbagai resiko
pada bebagai karakteristik merokok. Dalam penelitian Menvielle dkk. (2004)
di Perancis, penggunaan tembakau hitam dan rokok linting tangan sedikit
meningkatkan resiko terkena kanker jika dibandingkan tembakau kuning dan
rokok komersial, tapi tidak terjadi penurunan resiko terjadinya kanker jika
dikaitkan dengan penggunaan filter. Kami tidak menemukan hubungan antara
resiko terjadinya kanker dengan usia saat mulai merokok, penelitian ini
menunjukkan bahwa durasi merokok lebih mempengaruhi resiko kanker
daripada usia saat memulai merokok (Menvielle et al., 2004).
Merokok adalah faktor risiko utama yang dapat memicu efek yang tidak
baik pada kesehatan suara dan pita suara. Merokok yang berulang dapat
menimbulkan ketidakmampuan menggerakkan pita suara secara komplit
selama proses vokalisasi melalui dampak yang membahayakan pada
membran mukosa rongga mulut, yang berakibat pada terganggunya kualitas
suara dan nada. Sebuah analisis akustik terhadap suara para perokok

Universitas Sumatera Utara


23

menunjukkan bahwa para perokok memiliki frekuensi fundamental yang lebih


rendah daripada mereka yang tidak merokok dan kualitas suara para perokok
bersifat tidak stabil. Terlebih lagi, telah ditunjukkan bahwa para perokok
memiliki onset lebih cepat untuk mengalami kelelahan vokal dibandingkan
mereka yang tidak merokok dan tentunya para perokok mengalami kelelahan
vokal yang lebih berat (Sorensen & Horii, 1982; Byeon, 2015).
Merokok tembakau telah dikenali sebagai determinan utama pada
perubahan histologi laring. Asap rokok tembakau ini bersifat sangat
merugikan pada membran mukosa dan epitel yang melindungi laring, pada
dasarnya dikarenakan efek iritan rokok tersebut, khususnya pada tepi
penggetar bebas dari lipatan pita suara, dan menurunnya pergerakan
mukosilia yang menyebabkan dehidrasi. Sebagai konsekuensi dari iritasi,
batuk persisten dan bersihan tenggorokan juga berkontribusi pada
konsenterasi mukus pada lapisan superfisial lipatan pita suara. Merokok yang
berkesinambungan menyebabkan jaringan-jaringan ini cenderung mengalami
cedera (seperti hiperemia, edema, dan perdarahan) dan/atau nekrosis
(seperti keratinisasi, hiperplasia, metaplasia sel skuamosa) (Guimares &
Abberton, 2009).
Perubahan pada pola getaran lipatan pita suara dapat terjadi kemudian,
setelah terjadinya perubahan dan variasi histologi laring, yang berakibat pada
menurunnya frekuensi fundamental suara dan tingkat ketidakteraturan
getaran yang lebih tinggi. Risiko laring dan risiko suara terkait penggunaan
tembakau bergantung pada durasi kebiasaan dan jumlah tembakau yang
dikonsumsi (Guimares & Abberton, 2009).
Merokok, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, merupakan
faktor risiko untuk berbagai penyakit. Berbagai penelitian telah menunjukkan
adanya hubungan antara merokok dan patologi laring, begitu juga dengan
perubahan karakter suara. Hal inilah yang mendorong Tafiadis dkk, di Yunani

Universitas Sumatera Utara


24

(2017), untuk melakukan penelitian analitik tentang efek kebiasaan merokok


terhadap suara wanita dewasa muda. Penelitian ini melibatkan 210 wanita
dewasa muda (dengan usia rata-rata 22.12 ± 2.33 tahun) yang dibagi ke
dalam dua kelompok, yaitu kelompok perokok dan kelompok tidak perokok.
Para subjek yang mengalami gangguan sistem pernafasan dalam 2 minggu
sebelum penelitian dimulai tidak diikutsertakan, begitu juga dengan subjek
yang melaporkan gejala-gejala yang berhubungan dengan refluks
gastroesofagus dan refluks laringofaring, atau penyalahgunaan obat dan
alkohol. Perokok, pada penelitian ini, didefinisikan sebagai mereka yang telah
merokok sedikitnya dua batang rokok per hari minimal dalam satu tahun
berturut-turut sebelum penelitian ini dimulai. Sementara yang bukan perokok
didefinisikan sebagai mereka yang tidak pernah merokok sama sekali
(Tafiadis et al, 2017).
Pada penelitian Tafiadis dkk yang menggunakan kuesioner VHI berbahasa
Yunani dan analisis parameter suara akustik, Tafiadis dkk sampai pada
kesimpulan bahwa: 1) kebiasaan merokok dini memiliki pengaruh spesifik
pada hasil pengukuran karakteristik akustik suara dan nilai VHI, 2) kuesioner
VHI dianggap sama sensitifnya dengan alat monitor dan skrining untuk para
perokok pemula, 3) kuesioner VHI dan analisis akustik suara berperan
penting sebagai sebuah protokol skrining (Tafiadis et al, 2017).

2.5 Kualitas Hidup


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit laring dapat merusak
kualitas hidup pasien. Akibatnya, pasien mungkin kehilangan waktu untuk
bekerja, diklaim cacat, memperburuk kesulitan ekonomi masyarakat dan
penurunan produktivitas. Namun, untuk memprediksi dampak gangguan
suara pada fungsi sehari-hari pasien cukup sulit, karena variasi individu yang
ada dan bagaimana individu tersebut merasakan perubahan kesehatan yang
terjadi pada dirinya. Persepsi-persepsi pasien yang merupakan efek dari

Universitas Sumatera Utara


25

gangguan suara mungkin dipengaruhi oleh pekerjaan, status perkawinan,


penggunaan tembakau, pendidikan, persyaratan suara pada kondisi tertentu,
dan faktor-faktor lain yang tidak diketahui. Berbagai jenis gangguan suara
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dalam berbagai derajat, tetapi
bagaimana gangguan suara mempengaruhi kualitas hidup pasien secara
spesifik belum sepenuhnya jelas (Cohen et al., 2006).
VHI adalah kuesioner yang telah diterima secara luas dan digunakan
untuk berbagai penelitian serta untuk aplikasi klinis. Selain itu, VHI telah
diakui pada tahun 2012 oleh Badan Kesehatan Penelitian dan Kualitas di
Amerika sebagai alat diagnostik yang valid dan handal. Sejak itu, VHI telah
diterjemahkan dan disesuaikan dengan bahasa jerman, cina, portugis, dan
polandia. VHI dikembangkan dan divalidasi oleh Jacobson et al. (1997) yang
terdiri dari tiga domain termasuk fungsional, fisik dan aspek emosional dari
gangguan suara dan dilakukan oleh pasien sendiri terlepas dengan jenis
gangguan suara mereka dalam lima skala untuk setiap item (mulai 0 = tidak
pernah sampai 4 = selalu). Kualitas hidup diukur dengan menggunakan data
Voice Handicap Index (VHI). Data VHI 30 pernyataan, dimana pasien diminta
untuk membaca setiap pernyataan dan menunjukkan seberapa sering
pernyataan tersebut berlaku pada situasi kehidupannya, mulai dari 0 (tidak
pernah), 1 (kadang-kadang), 2 (sesekali), 3 (sering) sampai 4 (selalu).
Pernyataan mewakili tiga subkelompok, mencerminkan aspek fungsional,
fisik dan emosional dari kecacatan suara. Dalam setiap subkelompok,
indeksnya adalah 0-40, dengan 0 berarti tidak terdapat kecacatan suara dan
40 berarti kecacatan suara maksimal. Dengan demikian, total VHI adalah 0-
120. Interpretasi dari total VHI adalah skor antara 0 dan 30 mencerminkan
VIII ringan/minimal, skor antara 31 dan 60 mencerminkan VHI
sedang/moderate, dan cacat suara berat tercermin dengan total skor VHI 61-
120 (maksimum). Pasien dengan gangguan suara berat akan memperoleh

Universitas Sumatera Utara


26

total skor VHI tertinggi, dimana nilai tertinggi mencapai 120. Kuesioner ini
adalah instrumen yang valid dan dapat diandalkan untuk menilai persepsi diri
dari kecacatan suara pasien (Seipfanahi, 2015; Jones, Carding dan Drinnan,
2006; Kazi et al., 2007).

2.6 Merokok dengan VHI


Dalam penelitian Tafiadis et al. pada tahun 2017 yang dilakukan di
Greece, mengamati apakah terdapat korelasi antara skor VHI dengan
karakteristik suara. Menurut hasilnya, ditunjukkan bahwa VHI bisa menjadi
alat yang berguna untuk mengukur gangguan fungsional pada perokok yang
mengalami disfonia.
Glas et al. dalam penelitiannya menunjukkan bahwa perokok cenderung
lebih takut terkena kanker laring (karsinophobia) dibandingkan yang bukan
perokok. Gangguan suara dan kecacatan suara terfokus pada aspek yang
berbeda. Penelitian ini memaparkan bahwa perokok tidak memberikan
perbedaan yang signifikan terhadap skala VHI daripada bukan perokok, hal
iini menunjukkan bahwa merokok tidak mempengaruhi kecacatan suara.
Menggambarkan bahwa VHI adalah kuesioner khusus terhadap penyakit dan
tidak bisa menggantikan survei kesehatan secara umum (Glas et al., 2008).
Keluhan pasien menyangkut masalah suara telah diidentifikasi sebagai
suatu indikator risiko yang signifikan untuk menilai perkembangan disfonia.
Bersama dengan tes endoskopi laring dan tes fonetik akustik, status keluhan
pasien mengenai masalah suara adalah standar dalam mendiagnosa disfonia
dalam praktik klinis. Meski memiliki kecenderungan untuk dianggap lebih
berat daripada sebenarnya, pengakuan subjektif megenai masalah
kesehatan telah lama digunakan sebagai indikator untuk mewakili status
kesehatan orang yang diwawancarai karena mudah dilakukan dan berguna
untuk memprediksi risiko penyakit (Byeon et al., 2015).

Universitas Sumatera Utara


27

Byeon (2015), pada penelitiannya di Korea, menyatakan bahwa perokok


saat ini memiliki risiko 1,8 kali lebih tinggi mengalami keluhan menyangkut
masalah suara yang dilaporkan sendiri dari pada bukan perokok, dan
perokok saat ini memiliki 1,6 kali risiko kelainan laring yang lebih tinggi
dibanding dengan bukan perokok. Hasil lain dari penelitian ini adalah bahwa
berdasarkan jangka waktunya, perokok sangat berat secara signifikan lebih
cenderung menderita kelainan laring, sementara keluhan pasien menyangkut
masalah suara secara signifikan lebih mungkin terjadi pada perokok berat
tapi bukan perokok sangat berat.
Hasil yang berbeda telah diperoleh oleh penelitian sebelumnya yang
menyelidiki efek merokok terhadap kualitas hidup dengan menggunakan VHI.
Wiskirska-Woznica dan Wojnowski menyelidiki hubungan antara cacat suara
dan merokok pada pasien-pasien disfonia, berusia 40-55 tahun, yang
menggunakan suara mereka secara profesional. Mereka menemukan bahwa
merokok tidak terkait dengan disfonia, seperti yang diukur dengan VHI.
Berbeda dengan penelitian Pinar et al. (2015), mengamati peningkatan yang
signifikan pada aspek fisik dan fisiologis dan total skor VHI pada kelompok
bukan disfonia pada pria perokok berusia muda (Pinar et al., 2015).

Universitas Sumatera Utara


28

2.7 Kerangka Teori Konsep

Merokok

Penurunan pergerakan Deformasi mukosa


mukosilia pita suara

Mukosa pita suara Perubahan histologi dan


kering (dehidrasi) penebalan epitel pita suara

Terganggunya getaran,
ketegangan serta proses adduksi
pita suara

Hilangnya pola vibrasi yang


regular dari plika vokalis

Disfonia

Berdampak negatif pada komunikasi,


sosial maupun profesional

Kualitas hidup VHI

Universitas Sumatera Utara


29

Keterangan:

Penelitian ini berfokus terhadap hubungan antara merokok dan VHI.


Dimana variabel dipendennya adalah disfonia dan VHI dan independennya
adalah merokok.

2.8 Hipotesis penelitian

Hipotesis peneltian ini adalah terdapat hubungan antara merokok dengan


disfonia dan VHI.

Universitas Sumatera Utara


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-
sectional.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Pengambilan data penelitian ini dilakukan mulai sejak November 2017
sampai dengan terpenuhinya jumlah sampel. Penelitian dilakukan di
RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai dan peserta didik
(PPDS, mahasiswa pendidikan dokter) laki-laki di rumah sakit RSUP H.
Adam Malik Medan.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah anggota populasi yang memenuhi kriteria
sebagai berikut
Kriteria inklusi perokok:
 Usia 18 – 40 tahun
 Jenis kelamin laki-laki
 Merupakan perokok aktif
 Tidak memiliki riwayat kelainan atau gangguan laring, penyakit
paru, laryngopharyngeal reflux, kelainan neurologis, dan trauma
laring.
 Tidak memiliki riwayat pemakaian suara yang berlebihan
 Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani
informed consent.
Kriteria inklusi bukan perokok :
 Usia 18 – 40 tahun

31

Universitas Sumatera Utara


32

 Jenis kelamin laki-laki


 Bukan perokok aktif
 Tidak memiliki riwayat kelainan atau gangguan laring, penyakit
paru, laryngopharyngeal reflux, kelainan neurologis, dan trauma
laring.
 Tidak memiliki riwayat pemakaian suara yang berlebihan
 Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani
informed consent.
Kriteria eksklusi :
Tidak kooperatif untuk dilakukan pemeriksaan laryngoscopy optic.

3.3.3 Besar Sampel


Sampel ditentukan secara purposive, yaitu masing-masing kelompok
berjumlah 30 orang yaitu kelompok perokok dan kelompok bukan
perokok. Rujukan terhadap model sampel seperti ini sebelumnya telah
pernah dilakukan oleh Awan (2010).

3.4 Teknik Pengambilan Sampel


Sampel diperoleh dengan mencari sampel yang bersedia mengikuti
penelitian ini sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi sesuai
dengan kriteria sampel yang telah ditetapkan. Sampel pegawai dicari
dengan menggunakan informan pegawai yang telah bersedia, yang
kemudian akan mencari sampel pegawai lain yang juga bersedia menjadi
sampel. Teknik ini disebut sebagai teknik snow-ball. Sampel PPDS/
mahasiswa pendidikan dokter juga diperoleh dengan cara yang sama,
yaitu peneliti meminta melalui satu orang yang dapat memberikan
informasi mengenai calon sampel lain.

3.5 Variabel Penelitian


Variabel penelitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu disfonia dan
VHI, sedangkan variabel independen yaitu kebiasaan merokok.

Universitas Sumatera Utara


33

3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian


 Disfonia adalah setiap gangguan suara yang disebabkan oleh kelainan
pada organ-organ fonasi, terutama laring.
Cara ukur : Dengan cara melihat keluhan dan
gambaran pita suara dan laring pasien
Alat Ukur : Laringoscopy direct dengan endoscopy
Olympus, lensa 900 dan 700
Hasil Ukur : Gambaran pita suara dan laring pada
penderita disfonia
 Perokok adalah orang yang secara langsung dan rutin menghisap
rokok dan dan menanggung akibat dari kegiatan merokok tersebut
serta sudah mengkonsumsi minimal 100 batang rokok per tahun
sampai saat wawancara dilakukan (WHO, 2014).
Cara ukur : Melakukan anamnesa dan meminta pasien
mengisi kuesioner
Alat Ukur : Kuesioner
Hasil Ukur : Ya/tidak
 Lama merokok adalah waktu antara dari mulai pertama sekali aktif
merokok sampai pada saat berhenti/ saat penelitian dilakukan.
Cara ukur : Melakukan anamnesa dan meminta pasien
mengisi kuesioner
Alat Ukur : Kuesioner
Hasil Ukur : Dalam bulan/tahun.
 Jumlah rokok yang dikonsumsi adalah banyaknya rokok yang
dikonsumsi dalam sehari.
Cara ukur : Melakukan anamnesa dan meminta pasien
mengisi kuesioner
Alat Ukur : Kuesioner
Hasil Ukur : Merokok ringan (≤10 batang/hari), merokok

Universitas Sumatera Utara


34

sedang (11-20 batang/hari), merokok berat


(>20 batang/hari) (WHO, 2013)
 Jenis rokok adalah jenis rokok yang dikonsumsi berdasarkan ada
tidaknya penggunaan filter dalam rokok tersebut.
Cara ukur : Melakukan anamnesa dan meminta pasien
mengisi kuesioner
Alat Ukur : Kuesioner
Hasil Ukur : Filter, tanpa filter atau keduanya.
 Kualitas hidup adalah penilaian subjektif pasien terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan aktifitas sehari-hari di dalam hubungannya dengan
penggunaan suara.
Cara ukur : VHI
Alat Ukur : Kuesioner
Hasil Ukur : Ringan (0-60), sedang (60-90), berat (90-
120).

3.7 Bahan / Alat dan Prosedur Penelitian


3.7.1 Bahan / Alat Penelitian
a. Data pribadi
b. Formulir persetujuan penelitian
c. Lembar kuesioner VHI
d. Alat-alat diagnostik THT seperti lampu kepala, spatel lidah, kaca
laring, spekulum hidung, spekulum telinga.
e. Laryngoscopy direct, terdiri dari :
 Rigid endoscopy KARL-STORZ terdiri dari teleskop dengan
panjang 30 cm dan lensa 900 dan 700.
 Light Source Olympus.
 Monitor televisi
3.7.2 Prosedur penelitian
Pasien yang merokok maupun tidak merokok dijelaskan tindakan yang
akan dilakukan. Tanyakan kepada pasien apakah memiliki keluhan serak.

Universitas Sumatera Utara


35

Sebelum menjalani pemeriksaan THT rutin dan laryngoscopy optic,


peneliti melakukan anamnese dan memberikan kuesioner berisi :
1. Data demografi. Data demografi yang ditanyakan adalah:
 Umur
 Jenis kelamin
2. Data faktor predisposisi. Data ini meliputi:
 Merokok, meliputi : lama merokok, berapa bungkus rokok per
tahun, jenis rokok.
3. Kualitas hidup diukur dengan menggunakan data Voice Handicap
Index (VHI). Data VHI terdiri dari 30 pernyataan, dimana kepada
pasien diminta untuk menjawab seberapa sering pernyataan tersebut
berlaku pada situasi kehidupannya, mulai dari 0 (tidak pernah), 1
(kadang-kadang), 2 (sesekali), 3 (sering) sampai 4 (selalu). Pernyataan
mewakili tiga subkelompok, mencerminkan aspek fungsional, fisik dan
emosional dari kecacatan suara. Dalam setiap subkelompok,
indeksnya adalah 0-40, dengan 0 berarti tidak terdapat kecacatan
suara dan 40 berarti kecacatan suara maksimal. Dengan demikian,
total VHI adalah 0-120. Interpretasi dari total VHI adalah skor antara 0
dan 30 mencerminkan VHI ringan/minimal, skor antara 31 dan 60
mencerminkan VHI sedang/moderate, dan cacat suara berat tercermin
dengan total skor VHI 61-120 (maksimum).
3.8 Analisis Data
Data univariat akan didistribusikan menggunakan tabel distribusi
frekuensi dan atau gambar. Data bivariat, yaitu untuk melihat perbedaan
skor VHI pada perokok dan bukan perokok disajikan dalam tabel.
Perbedaan VHI diuji menggunakan uji t (independen) pada CI = 95%.
Perbedaan dikatakan bermakna jika p<0,05.

Universitas Sumatera Utara


36

3.9 Kerangka Kerja

Perokok Bukan Perokok

Persetujuan
mengikuti
penelitian

Anamnesa & Pengisian


Kuesioner VHI

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan
Laryngoscopy optic

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian mengenai hubungan merokok dengan disfonia dan VHI di


RSUP H. Adam Malik Medan disajikan sebagai berikut :

4.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Usia dan Gambaran Laring

Distribusi frekuensi subjek berdasarkan usia tersaji dalam tabel 4.1


berikut :
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Perokok (n(%)) Bukan Perokok (n(%))


≤ 20 tahun 0(0) 4(13,3)
21 - 30 tahun 13(43,3) 17(56,7)
31 - 40 tahun 14(46,7) 7(23,3)
41 - 50 tahun 3(10) 2(6,7)
Rata-rata umur 31,33 27,87
SD 6,85 7,02
< rata-rata 17(56,7) 14 (46,7)
> rata-rata 13(43,3) 16 (53,3)

Penelitian diikuti oleh sebanyak 60 orang subjek yang terdiri dari 30


orang subjek perokok dan 30 orang subjek bukan perokok. Jika dilihat dari
kelompok usia terbanyak pada kelompok perokok, yang terbanyak adalah
usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 14 orang (46,7%). Berikutnya, kelompok
umur 21-30 tahun sebanyak 13 orang (43,3%), 41-50 tahun sebanyak 3
orang (10%), dan tidak dijumpai orang yang berumur kurang dan sama
dengan 20 tahun. Sedangkan pada kelompok yang bukan perokok usia
terbanyak adalah 21-30 tahun sebanyak 17 orang (56,7%), diikuti oleh
usia 31- 40 tahun sebanyak 7 orang (23,3%), usia ≤ 20 tahun sebanyak 4
orang (13,3%), usia 41-50 tahun sebanyak 2 orang (6,7%). Terlihat bahwa
terdapat kecendrungan data terkumpul ke arah usia yang lebih tua,

37

Universitas Sumatera Utara


38

dengan rerata umur pada perokok adalah 31,33 tahun dengan SD=6,85
dan rerata umur pada bukan perokok adalah 27,87 tahun dengan
SD=7,02.
Distribusi frekuensi subjek berdasarkan gambaran laring tersaji dalam
tabel 4.2 berikut :
Tabel 4.2 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Gambaran Laring
Merokok
Gambaran Laring
Ya (n(%)) Tidak (n(%))
Normal 3 (10) 30 (100)
Massa 1(3,33) 0(0)
Oedem 0(0) 0(0)
Hiperemis 6(20) 0(0)
Oedem + Hiperemis 20 (66,7) 0(0)

Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 30 orang perokok, gambaran


laring normal dijumpai hanya pada 3 orang (10%). Sedangkan gambaran
laring tidak normal didominasi oleh hiperemis disertai dengan oedem
sebanyak 20 orang (66,7%), diikuti dijumpainya gambaran laring
hiperemis saja pada sebanyak 6 orang (20%), dan 1 orang (3,33%)
dengan gambaran laring terdapat massa. Sementara itu pada kelompok
bukan perokok, umumnya memiliki gambaran laring normal yaitu
sebanyak 30 orang (100%).

Universitas Sumatera Utara


39

4.2 Skor VHI pada Perokok dan Bukan Perokok


Distribusi skor VHI pada perokok dan bukan perokok tersaji dalam gambar
4.1 berikut :

Distribusi Nilai VHI


30

25

20

15

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

VHI merokok VHI tidak merokok

Gambar 4.1. Perbandingan Nilai VHI pada yang merokok dengan yang
tidak merokok.
Gambar di atas menunjukkan pola nilai VHI pada dua kelompok
subjek penelitian. Terlihat jika nilai VHI pada kelompok merokok memiliki
pola yang lebih tinggi daripada kelompok tidak merokok. Selain itu nilai
VHI pada kelompok tidak merokok cenderung relatif lebih stabil sementara
pola yang lebih fluktuatif ditemukan pada nilai VHI kelompok yang
merokok.
4.3 Perbedaan Nilai VHI pada Perokok dan Bukan Perokok
Jika dianalisi dengan lebih mendalam, perbedaan skor VHI pada
perokok dan bukan perokok tersaji dalam tabel 4.3 berikut :
Tabel 4.3 Perbedaan skor VHI pada Perokok dan Bukan Perokok
Skor VHI Perokok Bukan Perokok P
Rerata 11,60 1,10 0,000*
SD 7,632 0,923
Min – mak 0-28 0-3
*Uji T Independent

Universitas Sumatera Utara


40

Tabel di atas menunjukkan jika rerata skor VHI pada kelompok perokok
adalah sebesar 11,60, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan skor VHI
pada bukan perokok yang memiliki rerata 1,10. Skor VHI terendah dan
tertinggi pada kelompok perokok adalah 0-28 sementara itu pada
kelompok bukan perokok berada di antara 0-3.
Dengan menggunakan uji T Independent, ditemukan nilai p sebesar
0,000. Maka dapat disimpulkan jika terdapat hubungan yang signifikan
antara kebiasaan merokok dengan skor VHI (p<0,05). Dengan kata lain,
kebiasaan merokok menyebabkan terjadinya perbedaan pada skor VHI
subjek penelitian.

4.4 Hubungan Lama Merokok dengan Skor VHI


Hubungan lama merokok dengan skor VHI tersaji dalam gambar 4.2
berikut :

Kategori 1-10 tahun 11-20 tahun >20 tahun p


N 13 12 5 0,026*
Persen 43,3 40 16,7
Rata-rata 7,46 14,75 15
Min-Max 0-19 0-28 10-24

Gambar 4.2. Distribusi skor VHI berdasarkan Lama Merokok

Universitas Sumatera Utara


41

Berdasarkan gambar diatas, lama merokok terbanyak dari seluruh


subjek yang merokok adalah 1-10 tahun sebanyak 13 orang (43,3%),
diikuti oleh 11-20 tahun sebanyak 12 orang (40%), dan yang paling sedikit
adalah lebih dari 20 tahun sebanyak 5 orang (16,7%).
Dengan menggunakan uji Anova, ditemukan nilai p sebesar 0,026. Maka
dapat disimpulkan jika terdapat hubungan yang signifikan antara lama
merokok dengan skor VHI (p<0,05). Dengan kata lain, lama merokok
menyebabkan terjadinya perbedaan skor VHI pada setiap subjek
penelitian.
Gambar 4.2 memperlihatkan sebaran nilai VHI untuk setiap lama
merokok (tahun). Skor VHI tertinggi dijumpai pada lama merokok dengan
kategori 11-20 tahun. Gambar diatas menunjukkan bahwa semakin lama
seseorang merokok maka semakin tinggi skor VHI. Walaupun pada
kategori >20 tahun mengalami penurunan jumlah skor VHI, tetapi nilai
median pada tahun-tahun selanjutnya memiliki nilai yang hampir sama.

4.5 Hubungan Jumlah Rokok/Hari dengan Skor VHI


Hubungan jumlah rokok/hari dengan skor VHI tersaji dalam gambar 4.3
berikut :

Universitas Sumatera Utara


42

Kategori ≤10 11-20 >20 P


batang/hari batang/hari batang/hari
N 7 18 5 0,074*
Persen 23,3 60 16,7
Rata-rata 12,06 16,8 16,6
Min-Max 0-15 2-28 10-24

Gambar 4.3. Distribusi skor VHI berdasarkan Jumlah Rokok/Hari


Gambar 4.3 memperlihatkan sebaran nilai VHI untuk setiap jumlah
rokok/hari (batang). Skor VHI tertinggi dijumpai pada jumlah rokok dengan
kategori sedang. Berdasarkan gambar diatas, jumlah rokok/hari terbanyak
dari seluruh subjek yang merokok adalah derajat ringan (≤10 batang/hari)
sebanyak 7 orang (23,3%), diikuti oleh derajat sedang (11-20 batang/hari)
sebanyak 18 orang (60%), dan yang paling sedikit adalah derajat berat 5
orang (16,7%).
Dengan menggunakan uji Anova, ditemukan nilai p sebesar 0,074.
Maka dapat disimpulkan jika tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara jumlah rokok/hari dengan skor VHI (p>0,05). Dengan kata lain,
jumlah rokok/hari tidak menyebabkan terjadinya perbedaan skor VHI pada
setiap subjek penelitian.

Universitas Sumatera Utara


43

4.6 Hubungan Jenis Rokok dengan Skor VHI


Hubungan jenis rokok dengan skor VHI tersaji dalam gambar 4.4 berikut :

Kategori filter tanpa filter keduanya P


N 26 2 2 0,067*
Persen 86,6 6,7 6,7
Rata-rata 10,54 23 14,5
Min-Max 0-28 22-24 14-15

Gambar 4.4. Distribusi Skor VHI Berdasarkan Jenis Rokok


Berdasarkan gambar diatas, jenis rokok terbanyak dari seluruh subjek
yang merokok adalah filter sebanyak 26 orang (86,6%), diikuti oleh jenis
tanpa filter sebanyak 2 orang (6,7%), dan keduanya sebanyak 2 orang
(6,7%).
Dengan menggunakan uji Anova, ditemukan nilai p sebesar 0,067.
Maka dapat disimpulkan jika tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara jenis rokok dengan skor VHI (p>0,05). Dengan kata lain, jenis rokok
tidak menyebabkan terjadinya perbedaan skor VHI pada setiap subjek
penelitian.

Universitas Sumatera Utara


44

Gambar 4.4 memperlihatkan sebaran nilai VHI untuk setiap jenis rokok
berdasarkan penggunaan filter. Skor VHI tertinggi dijumpai pada jenis
rokok dengan penggunaan filter.

4.7 Hubungan Lama Merokok dengan Jumlah Rokok/Hari

Hubungan lama merokok dengan jumlah rokok/hari tersaji dalam tabel 4.4
berikut :
Tabel 4.4 Hubungan Jenis Rokok dengan Lama Merokok
Lama Merokok r p value
Jumlah Rokok/Hari 0,781 0,000
*Uji Pearson
Dengan menggunakan uji Pearson, ditemukan nilai p sebesar 0,000.
Maka dapat disimpulkan jika terdapat hubungan yang signifikan antara
lama merokok dengan jumlah rokok/hari (p<0,05).

Universitas Sumatera Utara


BAB V
PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara merokok dengan


disfonia dan VHI yang semakin membuktikan dampak lain merokok yang
sangan penting bagi kesehatan. Penelitian diikuti oleh sebanyak 60 orang
subjek yang terdiri dari 30 orang subjek perokok dan 30 orang subjek bukan
perokok yang berjenis kelamin laki-laki.
Pada penelitian ini, mayoritas usia pada kedua kelompok sedikit berbeda.
Pada kelompok perokok mayoritas usia adalah 31-40 tahun yaitu sebanyak
14 orang (46,7%) dan mayoritas usia pada kelompok bukan perokok adalah
21-30 tahun yaitu sebanyak 17 orang (56,7%).
Menurut Riskesdas tahun 2013, proporsi perokok aktif saat ini di
Indonesia adalah sebesar 29,3 persen dari seluruh penduduk indonesia. Jika
dilihat secara mendetail, maka khusus kelompok umur 30-34 tahun yang
merokok setiap hari adalah sebesar 33,4 persen dan jumlah perokok pada
kelompok umur 35-39 tahun mencapai 32,2 persen. Untuk seluruh kelompok
umur, proporsi perokok setiap hari lebih didominasi oleh laki-laki dengan
perbandingan 47,5% berbanding 1,1% pada perempuan (RISKESDAS,
2013).
Profil demografi subjek penelitian ini serupa dengan yang diteliti oleh
Tafiadis et al (2017) yang mendapatkan bahwa kelompok perokok yang
terbanyak dalam penelitiannya adalah subjek penelitian yang berada pada
rentang usia 20-35 tahun. Pada penelitian ini memang subjek penelitian
dibatasi pada kelompok yang masih produktif, yaitu dokter muda dan dokter
peserta pendidikan dokter spesialis, cleaning service dan satpam. Kelompok
ini cenderung memiliki usia aktif antara 20-40 tahun. Maka tidak heran jika
perbedaan antara kedua kelompok baik yang merokok maupun yang tidak

43

Universitas Sumatera Utara


44

merokok tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu jauh dalam hal nilai rata-
rata umur dan standar deviasi (SD).
Tabel 4.2, menjelaskan bahwa gambaran laring yang tidak normal
ditemukan paling banyak pada perokok, dimana gambaran laring yang paling
sering dijumpai pada perokok adalah oedem dan hiperemis, sebanyak 20
orang (66,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian Pinar et al. (2016) yang
menemukan gambaran laring perokok yang yang signifikan berbeda dengan
bukan perokok. Mereka menemukan jumlah yang lebih besar pada oedem
dan hiperemis pada laring perokok. Sehingga didapatkan hubungan yang
signifikan antara merokok dengan peningkatan oedem dan hiperemis pada
laring.
Byeon dan Lee (2013), pada penelitiannya di Korea menunjukkan bahwa
prevalensi kondisi patologis pada laring dijumpai lebih tinggi di kalangan
perokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Penelitian oleh
Marcotullio et al. (2002) dan Awan dan Morrow (2007) keduanya mengamati
hubungan yang signifikan antara merokok dan peningkatan timbulnya
oedema pada pita suara. Asap rokok bersifat sangat merugikan pada
membran mukosa dan epitel yang melindungi laring, pada dasarnya
dikarenakan efek iritan rokok tersebut. Asap rokok tersebut dapat
menyebabkan iritasi, batuk persisten dan berdehem yang mempengaruhi
konsenterasi mukus pada lapisan superfisial lipatan pita suara. Merokok yang
berkesinambungan menyebabkan jaringan-jaringan ini cenderung mengalami
cedera.
Pada tabel 4.3 jelas terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara skor VHI perokok dan bukan perokok (p<0,05). Rata-rata skor VHI
pada perokok sebesar 10 kali skor VHI pada bukan perokok. Dimana rerata
skor VHI pada perokok adalah 11,60 dan rerata skor VHI pada bukan
perokok adalah 1,10. Perbedaan skor VHI tersebut juga jelas tergambar
dalam gambar 4.1.

Universitas Sumatera Utara


45

Penelitian Tafiadis et al. (2017) memang menunjukkan bahwa terdapat


hubungan antara skor VHI dengan perubahan suara pada 110 pelajar yang
merokok dikota Grecee, Athena. Sejalan dengan Byeon (2015), pada
penelitiannya di Korea, juga menyimpulkan bahwa perokok memiliki risiko
lebih tinggi mengalami keluhan menyangkut masalah suara dari pada bukan
perokok, dan perokok memiliki resiko kelainan laring yang lebih tinggi
dibanding dengan bukan perokok. Maka Guimaires dan Alberton (2009)
berargumentasi bahwa merokok memang merupakan faktor predisposisi
utama yang memberikan dampak buruk bagi kesehatan vokal. Hubungan
antara merokok terhadap kelainan laring dan gangguan vokal telah dikuatkan
dalam beragam penelitian. Sejumlah penelitian telah melaporkan bahwa
merokok adalah penyebab utama terjadinya perubahan histologi dan
karakteristik laring. Hubungan antara merokok dan perubahan di laring yang
menimbulkan gangguan suara sudah terbukti. Hal ini telah terdokumentasi
dengan baik bahwa lesi di laring yang berhubungan dengan kebiasaan
merokok dapat menyebabkan terbentuknya polip pita suara, edema Reinke,
karsinoma pita suara, peradangan kronik, eritema, atau iritasi mukosa laring
(Tafiadis, et al, 2017).
Beberapa studi lain juga telah menggambarkan efek merokok yang
mungkin berkembang pada mekanisme laring, seperti insidensi yang lebih
tinggi pada perubahan histologi pada mukosa pita suara (seperti nukleus
atipikal pre-cancerous, karsinoma invasif dini, dan penebalan menyeluruh
pada epitel), edema ringan hingga kronik, eritema, hiperplasia epitel,
peradangan pada laring, laringitis kronis, dan berkembangnya batuk yang
berlebihan oleh karena meningkatnya sensitivitas struktur laring (Pinar, et al,
2015; Awan, 2010). Pada penelitian mereka, Zvrco, Gledovic dan Ljaljevic
(2008) memperlihatkan bahwa perokok memiliki risiko kanker laring sebesar
15 kali lebih tinggi daripada yang tidak pernah merokok.

Universitas Sumatera Utara


46

Tabel 4.4 menjelaskan bahwa kategori lama merokok terbanyak adalah


pada 1-10 tahun sebanyak 13 orang (43,3%), dan hanya sedikit berbeda
pada kategori 11-20 tahun yaitu sebanyak 12 orang (40%). Hal ini sedikit
berbeda dengan penelitian Pinar et al. pada tahun 2016 yang memaparkan
bahwa durasi merokok terbanyak yang dijumpai antara 0-5 tahun sebanyak
48%. Perbedaan profil subjek penelitian memang akan menghasilkan durasi
merokok yang berbeda. Dalam penelitian ini subjek yang digunakan pada
penelitian ini adalah laki-laki yang berusia 18-50 tahun, dan kemungkinan
besar mereka telah merokok cukup lama mengingat di Indonesia hampir 80%
perokok mulai merokok ketika usianya belum mencapai 19 tahun. Hasil
Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa usia merokok pertama kali paling
tinggi adalah pada kelompok umur 15-19 tahun. Maka kemungkinan subjek
merokok lebih dari 5 tahun sangat besar. Sedangkan pada penelitian lain
banyak yang meneliti pada subjek perokok pemula (< 10 tahun).
Pada tabel ini juga dijelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara lama merokok dengan skor VHI (p<0,05). Sejalan dengan penelitian
Marcutoliio, Magliulo dan Pezone pada tahun 2002, yang memaparkan
bahwa terdapat hubungan antara durasi lama merokok dengan gambaran
histologi laring pada perokok. Sebagaimana telah dirujuk sebelumnya, Zvrco,
Gledovic dan Ljaljevic (2008) di Montenegro juga menekankan bahwa durasi
lama merokok sangat terkait dengan risiko perubahan histologi laring yang
lebih spesifik menjadi kanker laring. Menurut mereka semakin lama durasi
merokok maka semakin besar resiko terjadinya kanker laring. Merokok yang
berulang dapat menimbulkan ketidakmampuan menggerakkan pita suara
secara komplit selama proses vokalisasi melalui dampak yang
membahayakan pada membran mukosa rongga mulut, yang berakibat pada
terganggunya kualitas suara dan nada (Byeon, 2015). Guimares & Abberton,
(2009) memberikan penjelasan bahwa asap rokok tembakau ini bersifat
sangat merugikan pada membran mukosa dan epitel yang melindungi laring,

Universitas Sumatera Utara


47

pada dasarnya dikarenakan efek iritan rokok tersebut, khususnya pada tepi
penggetar bebas dari lipatan pita suara, dan menurunnya pergerakan
mukosilia yang menyebabkan dehidrasi. Sebagai konsekuensi dari iritasi,
batuk persisten dan bersihan tenggorokan juga berkontribusi pada
konsenterasi mukus pada lapisan superfisial lipatan pita suara. Merokok yang
berkesinambungan menyebabkan jaringan-jaringan ini cenderung mengalami
cedera (seperti hiperemia, edema, dan perdarahan) dan/atau nekrosis
(seperti keratinisasi, hiperplasia, metaplasia sel skuamosa) menunjukkan
bahwa tembakau memiliki efek pada beberapa parameter penilaian suara
bahkan dalam tahap yang relatif dini dari kebiasaan merokok. Menurut data
mereka, bahkan kebiasaan merokok dengan durasi yang relatif singkat
(kurang dari satu dekade) tampaknya cukup untuk menyebabkan edema dan
mengakibatkan berkurangnya frekuensi getaran dari pita suara.
Tabel 4.5 menjelaskan bahwa jumlah rokok yang dikonsumsi per hari
yang terbanyak adalah perokok sedang (11-20 batang/hari). Hal ini sesuai
dengan yang dilaporkan oleh Sundari et al. di Indonesia tahun 2015 bahwa
perokok di Indonesia termasuk dalam perokok kelas medium (sedang). Selain
itu menurut Riskesdas (2013), rata-rata jumlah batang rokok yang diisap oleh
perokok adalah 12,3 batang/hari (setara satu bungkus).
Dalam penelitian ini memang tidak dijumpai hubungan yang signifikan
antara jumlah rokok yang dikonsumsi per hari dengan skor VHI pada
penelitian ini. Hal ini sesuai dengan penelitian Awan (2010) yang
mendapatkan hasil tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
gangguan suara dengan berapa banyak rokok yang dikonsumsi/hari.
Gonzales dan Carpi (2004), memaparkan bahwa jumlah rokok yang dihisap
setiap hari tidak berpengaruh pada parameter frekuensi dasar suara, dimana
tidak berbeda secara signifikan laki-laki yang merokok lebih dari 10 batang
rokok per hari dibandingkan laki-laki yang merokok 10 batang rokok atau
kurang per hari.

Universitas Sumatera Utara


48

Hal ini kemungkinan karena pertama, setiap perokok mungkin tidak selalu
mengingat berapa banyak rokok yang dihisap perhari. Perokok biasanya
hanya mengingat berapa banyak mereka merokok pada beberapa bulan
terakhir, dan kemungkinan ada beberapa waktu dalam rentang lama mereka
merokok yang dimana jumlah rokok yang mereka hisap lebih kecil dari
biasanya. Selain itu menurut Awan (2010), bisa jadi subyek yang merokok
dalam jumlah kecil per hari (misalnya 2–4 rokok) memiliki karakteristik suara
yang sama terhadap subjek yang tidak merokok, akibat belum terdapat
perubahan/kelainan laring yang akan berdampak pada kenyamanan
bersuara. Kedua, perokok berat pada penelitian ini belum tentu memiliki nilai
VHI yang lebih tinggi dibandingkan dengan perokok ringan maupun sedang.
Oleh karena perokok yang mengkonsumsi rokok lebih banyak per hari nya
belum tentu sudah merokok sejak lama (periode merokok yang lama),
sehingga belum tentu mendapatkan paparan asap rokok yang lebih banyak
dari yang mengkonsumsi rokok lebih sedikit per hari. Seperti pada penelitian
Sundari et al. (2015) yang pada penelitiannya memiliki korelasi yang rendah
antara lama merokok dengan jumlah merokok, dimana dapat diartikan pula
bahwa seseorang yang baru merokok bukan berarti akan mengonsumsi
jumlah rokok yang lebih sedikit, atau sebaliknya yang sudah merokok lama
akan mengonsumsi rokok yang lebih banyak pula.
Tabel 4.6 menjelaskan bahwa jenis rokok terbanyak pada penelitian ini
adalah filter sebanyak 86,6%. Menurut hasil analisis Hadi & Priyatno (2000),
produk tembakau yang dikonsumsi penduduk di Indonesia terdiri dari rokok
kretek filter, rokok kretek tanpa filter, rokok putih, dan tembakau. Sebagian
besar produk tembakau yang dikonsumsi adalah rokok kretek filter. Dimana
pemakaian rokok filter 3 kali lebih besar dibanding rokok tanpa filter. Rokok
kretek filter dan rokok putih lebih banyak dikonsumsi masyarakat perkotaan,

Universitas Sumatera Utara


49

sedangkan rokok kretek tanpa filter lebih banyak dikonsumsi di daerah


perdesaan.
Pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara jenis
rokok yang dikonsumsi oleh perokok dengan skor VHI (p>0,05). Hal ini
sejalan dengan penelitian Menvielle et al. pada tahun 2004, yang juga
mendapatkan tidak dijumpainya hubungan antara disfonia atau gangguan
suara dengan ada tidaknya pemakaian filter pada rokok. Kandungan gas CO
yang dilepaskan di udara pada jenis rokok pipa 2 kali lebih besar daripada
rokok dengan filter, bahkan 5 kali lebih besar pada rokok cerutu. Akan tetapi
menurut Hartono (2013) pada penelitiannya menyatakan mengurangi bahaya
merokok tidak dapat dilakukan dengan penyaringan rokok karena
penyaringan rokok mungkin hanya menyaring sebagian dari tar dan nikotin
tetapi tidak menyekat sebutir racunpun dari asap rokok.
Filter rokok dimaksudkan untuk mengurangi jumlah asap, ter, dan partikel
halus yang dihirup selama pembakaran sebatang rokok, tetapi tidak memiliki
manfaat kesehatan yang terbukti nyata. Filter juga mengurangi kerasnya
asap dan menjaga serpihan tembakau keluar dari mulut perokok (Hanstrup,
et al., 2001). Meskipun kebanyakan perokok percaya bahwa filter rokok
membuat mereka lebih aman, namun tidak mungkin untuk membuat filter
yang baik tanpa menghilangkan zat yang disukai perokok. Sebagai contoh,
tidak mungkin untuk menghapus tar sepenuhnya seperti yang ditunjukkan
oleh bungkus rokok. Jumlah tar yang ditunjukkan dalam bungkus rokok
diukur setelah filter. Dengan kata lain, itu adalah jumlah tar yang tidak bisa
disaring oleh filter. Selain itu, filter dari rokok standar mengandung lima belas
ribu serat acetato. Serat ini dapat terlepas dari filter dan dihirup saat
merokok. Risiko bahwa serat-serat ini aman untuk kesehatan para perokok
belum ditentukan (Harris, 2011; Hanstrup, et al., 2001).

Universitas Sumatera Utara


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Penelitian ini mendapatkan kelompok usia terbanyak pada
kelompok perokok adalah usia 31-40 tahun dan pada kelompok
yang bukan perokok usia adalah 21-30 tahun.
b. Gambaran laring terbanyak yang ditemukan pada kelompok
perokok adalah hiperemis disertai dengan oedem, sementara itu
pada kelompok bukan perokok gambaran laring normal adalah
gambaran laring yang paling banyak dijumpai.
c. Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok
dengan skor VHI (p<0,05).
d. Terdapat hubungan yang signifikan antara lama merokok dengan
skor VHI (p<0,05)
e. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah rokok/hari
dengan skor VHI (p>0,05).
f. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis rokok dengan
skor VHI (p>0,05).

6.2 Saran
1. Diharapkan ada penelitian lanjutan yang lebih terfokus terhadap
durasi merokok sehingga antara subyek pembanding memiliki
karakteristik yang sama
2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dengan
menggunakan alat diagnostik yang lebih mutakhir dan spesifik
seperti stroboscopy yang mampu memberikan gambaran laring
yang lebih jelas.

50
Universitas Sumatera Utara
51

DAFTAR PUSTAKA

Awan, S.N., Morrow, D.L.,2007. Videostroboscopic Characteristics of


Young Adult Female Smokers vs. Nonsmokers. J Voice. 21. Hal
211–223.
Awan, S.N., 2010. The Effect of Smoking on the Dysphonia Severity Index
in Females. Karger, Folia Phoniatr Logop, 63, 65–7.
Baitha, S., Raizada, R.M., Singh, A.K., Puttewar, M.P., Chaturvedi, V.N.,
2004. Predisposing factors and aetiology of hoarseness of voice.
lndian Journal of Otolarvngology and Head and Neck Surgery,
56(3), hal.186-90.
Ballenger, J., 2003. Anatomy Larynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery (16th ed.). Ontario, Canada: BC Decker,
hal.847-58.
Beasley N., 2008. Anatomy of the Larynx and Tracheobronchial. In: Scott
Brown’s Otolaryngology Head and Neck Surgery, 2(7) London:
Edward Arnold Publishers. hal. 2130-40.
Byeon, H., Lee, Y., 2013. Laryngeal Pathologies in Older Korean Adults
and Their Association With Smoking and Alcohol Consumption.
Laryngoscope, The American Laryngological, Rhinological and
Otological Society, Inc, 123, hal. 429-33.
Byeon, H., 2015. The Association between Lifetime Cigarette Smoking
and Dysphonia in the Korean General Population : Findings from a
National Survey. Peer J, hal.1-11.
Cohen, S.M., Dupont, W.D., Courey, M.S., 2006. Quality-of-Life Impact of
Non-neoplastic Voice Disorders: A Meta-analysis. Annals of
Otologv. Rhinology & Laryngology, 115(2), hal.128-34
Cohen, J.I., George, L.R., Harjanto, K.S., Effendi, C., 2006. Trans,
Anatomi dan Fisiologi Laring, Boies, Buku Ajar Penyakit THT (6th
Ed.),Penerbit EGC,Jakarta, hal.369

Universitas Sumatera Utara


52

Cohen, S.M., 2010. Self-Reported Impact of Dysphonia in a Primary Care


Population: An Epidemiological Study. Laryngoscope: The
American Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc.
(120), hal. 2022-32.
Cohen, S.M., Kim, J., Roy, N., Asche, C., Courey, M., 2012. Prevalence
and Causes of Dysphonia in a Large Treatment-Seeking
Population. The Laryngoscopy-The American Laryngological,
Rhinological and Otological Society, Inc, hal 342-48.
Dhingra, P.L., 2007. Anatomy and physiology of larynx, In: Diseases Ear,
Nose and Throat (4th Ed.) New Delhi, India, hal.259-63.
Ferrite, S., Santana, V. 2005. Joint Effectsof Smoking, Noise Exposure
and Age on Hearing Loss. Occupational Medicine 55 (1), hal. 48-53.
Galvan, C., Guarderas, J.C., 2012. Practical Considerations for Dysphonia
Caused by Inhaled Corticosteroids. Mayo Foundation for Medical
Education and Research Mayo Clin Proc, 87(9), hal.901-04.
Glas, K., Hoppe, U., Eysholdt, U., Rosanowski, F., 2008. Smoking,
Carcinophoba and Voice Handicap Index. Folia Phoniatr Logop, 60,
hal.195–198.
Glashan, J.M., 2008. Disorder of the Voice. In: Scoott-Brown’s
Otolaryngology, 7th Ed, Vol. 2. Butterworth-Heinemann, London,
hal. 2192-210.
Gonzales, J., Carpi, A., 2004. Early effects of smoking on the voice: A
Multidimensional Study. Med Sci Monit. 10(12). Hal 649-656.
Guimares, I., Abberton, E., 2009. Health and Voice Quality in Smokers :
An Exploratory Investigation. Logopedics Phoniatrics Vocology, 30,
hal.185-91.
Hadi, P, U., Priyatno, S., 2011. Peranan Sektor Tembakau dan Industri
Rokok dalam Perekonomian Indonesia. Analisis Jurnal Sektor
Tembakau. Teori Ekonomi SMAK04-3

Universitas Sumatera Utara


53

Harris, Bradford (2011). "The intractable cigarette ‘filter problem’".


Tobacco control 20 (Suppl 1) (BMJ Publishing Group Ltd). hal. 10-
16.
Hartono, G, F., 2013. Bahaya Merokok Bagi Kesehatan. Jurnal Ilmiah. Hal
34-38
Haryuna, T.S.H., 2009. Distribusi Gambaran Klinik Laring pada Penderita
dengan Suara Serak di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran
USU RSUP H. Adam Malik Medan. Majalah Kedokteran Nusantara,
42(1), hal.33-40.
Hastrup, Janice L and Cummings, K Michael and Swedrock, Tracy and
Hyland, Andrew and Pauly, John L (2001). "Consumers' knowledge
and beliefs about the safety of cigarette filters". Tobacco Control 10
(1) (BMJ Publishing Group Ltd). hal. 84.
Hermani, B., Hutahuruk, A., Efiaty, A.S., 2012. (Ed.) Disfonia, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher 6th,
Jakarta, Indonesia: Balai Penerbit FKUI, hal.231-34.
Hiatt J. & Gartner L., 2010. Palate, Pharynx and Larynx. In: Textbook of
Head and Neck Anatomy. 4th ed. Philadelphia : Lihalincott Williams
and Wilkins, hal. 256-62.
Johns M. M., & Parikh S., 2009. Benign laryngeal lesions. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17. Centennial
edition. Shelton, Connecticut: People’s Medical Publishing House,
hal. 878-83.
John, M.M., 2009. Benign Laryngeal Lesions In : Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, centennial Edition,
BC Decker Inc Connecticut, hal.877-83.
Jones, S.M., Carding, P.N., & Drinnan, M.J., 2006. Exploring the
Relationship between Severity of Dysphonia and Voice-Related
Quality of Life. Blackwell Publishing Limited, Clinical
Otolaryngology, 31, hal.411–17.

Universitas Sumatera Utara


54

Kaundal, M., Thakur, B., Tobacco: Incessant Human Health Menace (A


Review). iMedPub Journals, Journal of Drug Abuse, 1(19)
Kazi, R., Cordova, J., Singh, A., Venkitaraman, R., Nutting, C.M., Clarke,
P., Rhys, E.P., & Harrington, K.J., 2007. Voice-related Quality of
Life in Laryngectomees : Assessment Using the VHI and V-RQOL
Symptom Scales. Journal of Voice, London, United Kingdom, 21(6),
hal. 728–34.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Suarakan Kebenaran,
Jangan Bunuh Dirimu dengan Rokok, KEMENKES RI, Jakarta,
Indonesia.
Lee, K.J., 2003. The larynx. In: Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. (8th ed.) Mc. Graw-Hill Company,USA, hal.749.
Marcotullio, D., Maagliolo, G., Pezone, T., 2002. Reinke’s Edema and Risk
Factors: Clinical and Histopathologic Aspects. American Journal of
Otolaryngology, 23(2). hal 81-84.
Menvielle, G., Luce, D., Goldberg, P., Bugel, I., Leclerc, A., 2004.
Smoking, Alcohol Drinking and Cancer Risk for Various Sites of The
Larynx and Hypopharynx. A Case-Control Study in France.
European Journal of Cancer Prevention, 13, hal.165–17.
Parajuli, R., 2016. Spectrum of etiological factors for hoarseness: A
Retrospective Study in a Teaching Hospital. Global Journal of
Otolaryngology, Glob Jo 1(3).
Patel S.G., Rhys-Evans P. & Montgomery P. Q., 2003. Tumours of the
larynx. In: Principles and Practice of Head and Neck Oncology.
Rhys-Evans P., Montgomery P. Q. & Gullane P. J. eds. London :
Martin Dunitz Taylor & Francis Group. hal.279-80.
Pinar, D., Cincik, H., Erkul, E., Atila, G., 2016. Investigating the Effects of
Smoking on Young Adult Male Voice by Using Multidimensional
Methods. Journal of Voice, 30(2), hal. 721-25.

Universitas Sumatera Utara


55

Probst J.A., Grevers G. dan Iro H., 2010. Larynx and Trachea. In: Basic
Otorhinolaryngology: A Step by Step Learning Guide. Stuttgart:
Georg-Thieme Verlag. hal.338-45.
Riset Kesehatan Dasar. (2013) Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2013
Sasaki C. T., Kim Y. H. dan LeVay A. J., 2009. Development, anatomy,
and physiology of the larynx. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery 17. Centennial edition. Connecticut :
People’s Medical Publishing House. hal.847-57
Seifpanahi, S., Shohreh, J., Nikoo, M.R., Sobhanirad, D., 2015. Translated
Versions of Voice Handicap Index (VHI)-30 across Languages: A
Systematic Review. Iran J Public Health, 44(4), hal.458-69
Sorensen, D., Horii, Y., 1982. Cigarette Smoking and Voice Fundamental
Frequency. Journal of Communication Disorders, 15, hal.135-44.
Spector, G.T., 1994. Anatomi Perkembangan Laring. In: Ballanger JJ.
Ed:Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala Leher. Alih Bahasa:
staf Ahli Bagian THT RSCM-FK UI, Jilid I. (13th ed.). Binarupa
Aksara, Jakarta, hal.415-23, 424-34.
Sulica, L., 2014. Voice: Anatomy, Physiology, and Clinical Evaluation. In:
Johnson J.T., Rosen C.A, eds, Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology.5th ed, Philadelphia : Lihalincott Williams & Wilkins,
hal.945-56.
Sundari, R., Widjaya, D, S., Nugraha. A., 2015. Smoking Period and
Number of Cigarette Consumption with Thrombocyte among Active
Male Smokers. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 9(3). Hal
257-63.
Tafiadis, D., Toki, E.I., Miller, K.J., Ziavra, N., 2017. Effects of Early
Smoking Habits on Young Adult Female Voices in Greece. Journal
of Voice, hal 1-5.
Tafiadis, D., Tatsis, G.,Ziavra, N. Toki, E.I., 2017. Voice Data on Female
Smokers: Coherence between the Voice Handicap Index and

Universitas Sumatera Utara


56

Acoustic Voice Parameters. AIMS Medical Science, 4(2), hal.151–


163.
Wiskirska-Woznica, B., Obrebowski, A., Swidzinski, P., Wojnowski, W.,
Wojciechowska, A., 2004. Eff ect of smoking on phonation.
Przeglad Lekarski, 61, hal. 1068–70.
Woodson G. E. & Zaya N. E., 2008. The larynx. In: Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 9th ed. KJ Lee ed.
Connecticut : Mc Graw Hill Companies. hal.56.
Woodson G. E., 2014. Uhaler Airway Anatomy and Function. In : Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th edition. Philadelphia :
Lihalincott Williams & Wilkins. hal. 868-77.
World Health Organization, 2014, WHO Report on the Global Tobacco
Epidemic, WHO, Geneva, Switzerland.
Zvrko, E., , Gledovi, Z., and Ljaljevic, A., 2008. Risk Factors For Laryngeal
Cancer In Montenegro. Arh Hig Rada Toksikol. 59. Hal 11-18.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai