Tesis
Oleh :
MEDAN
2018
Tesis
untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher
Oleh :
Nim :
127109006
MEDAN
2018
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, saya sampaikan rasa syukur
kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat
menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Hubungan Merokok dengan
Disfonia dan Voice Handicap Index” sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Spesialis dalam
bidang Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tesis
ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis mengharapkan
tesis ini dapat menambah perbendaharaan penelitian dalam bidang faring-
laring.
Disadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak, tesis ini tidak dapat
dilaksanakan dengan baik, namun berkat bantuan dan bimbingan serta
dorongan moril dari keluarga, Komisi Pembimbing, Konsultan Penelitian,
Komisi Penguji dan rekan sejawat, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.
Maka dari itu, dengan hati yang tulus dan penuh syukur, terima kasih yang
tak terhingga dan penghargaan yang tulus setinggi-tingginya saya
ucapkan kepada yang terhormat :
Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.T.H.T.K.L (K) selaku Ketua
Komisi Pembimbing yang secara ikhlas telah banyak meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Dr. Linda Irwani Adenin, Sp.T.H.T.K.L selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang telah banyak memotivasi dan memberikan dukungan
moril sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.
Bapak Fotarisman Zaluchu, SKM, MS.i, MPH selaku Konsultan
penelitian yang banyak memberi bantuan, bimbingan dan masukan
mengenai metodologi penelitian dan statistika, sehingga tesis ini dapat
terselesaikan.
Latar Belakang : Merokok diketahui memiliki efek yang tidak baik pada
karakter jaringan pita suara, dan merupakan faktor risiko utama yang
mempengaruhi suara dan karakteristiknya. Hal ini telah terdokumentasi
dengan baik bahwa lesi di laring yang berhubungan dengan kebiasaan
merokok dapat menyebabkan terbentuknya polip pita suara, edema reinke,
karsinoma pita suara, peradangan kronik, eritema, atau iritasi mukosa laring.
Result: This study found the largest age group of smokers in the group
smokers, the most are aged 31-40 years and in the group that is not the most
age-old smokers are 21-30 years. The most abnormal laryngeal features
found in the smokers group were hyperemic with oedem, whereas in the non-
smoker group the normal laryngeal image was the most common overview of
the larynx. There was a significant relationship between smoking habit and
VHI score (p <0.05).
ii
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................... i
ABSTRACT ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ v
DAFTAR TABEL .............................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................ 5
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 7
2.1 Laring .................................................................................. 7
2.1.1 Embriologi dan Perkembangan Laring ......................... 7
2.1.2 Struktur Rangka Laring ............................................... 8
2.1.3 Otot Laring ................................................................... 9
2.1.4 Rongga Laring ............................................................ 11
2.1.5 Histologi Laring ............................................................ 12
2.1.6 Pendarahan Laring ....................................................... 13
2.1.7 Persarafan Laring ........................................................ 13
2.1.8 Aliran Limfe Laring ...................................................... 14
2.2 Fisiologi Laring .................................................................... 15
2.3 Disfonia ............................................................................... 18
2.4 Rokok dan Disfonia .............................................................. 19
2.5 Kualitas Hidup ...................................................................... 25
2.6 Merokok dan VHI .................................................................. 26
2.7 Kerangka Teori/Konsep ....................................................... 28
2.8 Hipotesis Penelitian .............................................................. 29
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 31
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ......................................... 31
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................. 31
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .......................................... 31
3.3.1 Populasi ...................................................................... 31
3.3.2 Sampel ....................................................................... 31
3.3.3 Besar Sampel .............................................................. 32
3.4Teknik Pengambilan Sampel ................................................. 32
3.5 Variabel Penelitian ............................................................... 33
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian .............................. 33
3.7 Bahan / Alat dan Prosedur Penelitian ................................... 34
3.7.1 Bahan / Alat Penelitian ............................................... 34
3.7.2 Prosedur Penelitian .................................................... 35
3.8 Analisis Data ....................................................................... 36
3.9 Kerangka Kerja .................................................................... 36
4.0 Jadwal Penelitian ................................................................. 37
iii
iv
vi
2.1 Laring
2.1.1 Embriologi dan perkembangan laring
Laring merupakan katup biologis yang terletak di persimpangan antara
saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Perkembangan laring menjadi
organ fonasi muncul karena posisinya yang berada di atas tracheobronchial
tree dan fungsinya dalam mengatur katup memberi kemampuan unik untuk
mengatur aliran udara terutama pada saat ekspirasi (Sasaki, Kim & LeVay,
2009; Sulica, 2014).
Berbeda dengan orang dewasa yang umumnya ukuran laring laik-laki dan
perempuan berbeda, pada bayi ukuran laring bayi laki-laki dan perempuan
adalah sama. Ukuran laring pada bayi lebih kecil dari pada orang dewasa,
sehingga isthmus yang terbentuk relatif lebih kecil terhadap saluran napas.
Epiglotis dapat dilihat dibalik dorsum lidah pada kebanyakan bayi karena
sewaktu lahir batas inferior kartilago krikoid berada setinggi batas atas
vertebra servikalis keempat dan ujung epiglotis berhadapan dengan vertebra
servikalis pertama (Ballanger, 2003; Glashan, 2008).
Sulkus laringotrakea terbentuk pada usia embrio mencapai 3 minggu.
Perluasan sulkus ini kearah kaudal akan menjadi primordial paru, yang pada
minggu ke-4 sulkus ini akan bertambah dalam dan berbentuk seperti
kantong, bagian proksimal dari sulkus akan menjadi laring. Pembesaran
aritenoid dan lamina epithelial mulai terbentuk pada hari ke 33. Pada 3-4
minggu kemudian barulah terbentuk struktur tulang rawan,otot dan pita suara
(Spector,1994; Cohen, 2006).
Kartilago laring merupakan turunan dari arkus brankial empat dan enam.
Laring terletak di bagian depan hipofaring yaitu mulai dari vertebra servikalis
ketiga sampai vertebra servikalis keenam. Laring bergerak secara vertikal ke
7
Universitas Sumatera Utara
8
arah anteroposterior saat menelan dan berbicara. Pada orang dewasa laring
berakhir pada batas bawah vertebra servikalis keenam (Patel, Rhys &
Montgomery., 2003; Sasaki, Kim & LeVay, 2009).
Yang dimaksud dengan pita suara ialah plika vokalis. Pita suara ini ada
dua: kanan dan kiri, berbentuk simetris yang ketika melakukan fonasi
bergerak ke medial bertemu merapat di garis median. Untuk menggerakkan
pita suara ke medial ini diperlukan koordinasi banyak otot (Lee, 2003).
Waktu lahir pita suara panjangnya sekitar 0,7 cm, pada wanita dewasa
1,6 – 2 cm dan pada laki-laki dewasa 2 – 2,4 cm. Perpanjangan pita suara
disebabkan otot krikoaritenoid dan otot tiroaritenoid. Tidak hanya panjang pita
suara saja yang mempengaruhi nada tetapi juga ketegangan, elastisitas pita
suara dan tekanan udara di trakea (Lee, 2003; Woodson, 2014)
Pita suara atau plika vokalis (vocal cord/ vocal fold) berperan dalam
memproduksi suara, dan terdiri 2 pita yang kuat disebut ligamentum vokale.
Setiap ligamen memanjang dari dari kartilago aritenoid ke kartilago tiroid dan
besifat elastis. Pita suara terletak di dalam rongga laring, meluas dari dasar
ventrikel Morgagni kebawah sampai setinggi kartilago krikoid dengan jarak
0,8 cm sampai 2 cm. Pita suara berada di atas batas inferior kartilago tiroid.
Secara histologi tepi bebas pita suara diliputi oleh epitel berlapis yang
tebalnya 8-10 sel dan cenderung menipis pada prosesus vokalis (Lee, 2003;
Woodson, 2014).
Secara histologi tepi bebas pita suara diliputi oleh epitel berlapis yang
tebalnya 8-10 sel dan cenderung menipis pada prosesus vokalis. Stratified
squamous epithellium yang melapisi pita suara dan merupakan bagian atas
dari vestibulum laring. Mukosa dari tepi bebas pita suara sangat penting
dalam menghasilkan getaran pada saat phonasi, dengan struktur epitel
submukosa yang tersusun, memungkinkan getaran bebas dari ligamentum
vokalis. Pinggir bebas pita suara diliputi epitel berlapis yang tebalnya 8
sampai 10 sel, walaupun epitel cenderung menipis pada prosesus vokalis.
Lamina propria terdiri atas 3 lapisan, antara lain lapisan superficial, lapisan
tengah dan lapisan dalam. Mukosa laring mengandung banyak kelenjar
seromukus, terutama banyak di pita suara palsu dan ventrikel. Tetapi pita
suara asli seluruhnya tidak mengandung kelenjar (Lee, 2003; Woodson &
Zaya, 2008; Sulica, 2014).
Gambar 2.6. Drainase limfatik laring (Probst, Grover & Iro, 2010).
Udara yang lewat akan menyebabkan kontriksi dari pita suara, dan
menyebabkan lumen supraglotik melebar (Sasaki, Kim & LeVay, 2009;
Sulica, 2014).
Udara di glotis akan menekan pita suara lateral yang akan kembali ke
garis tengah. Dipengaruhi oleh penurunan tekanan intraluminal untuk
menutup tepi dari glotis. Karakteristik siklus glotis tergantung pada elastisitas
penutupan pita suara dan aktivitas otot-otot intrinsik laring serta tekanan
udara (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014).
Getaran pita suara dari siklus glotik akan merubah tekanan udara yang
konstan menjadi tekanan yang teratur, yang di kenal sebagai suara. Selama
fonasi, pita suara bergetar menimbulkan tidak hanya satu nada melainkan
beberapa nada (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014).
Suara merupakan suatu gelombang yang terbentuk dari amplitudo,
frekuensi dan morfologi gelombang, yang masing-masing berhubungan
dengan kerasnya suara, nada dan kualitas suara. Hal ini akan merubah siklus
glotis (tekanan udara) atau myoelastic contribution (anatomi serta kekakuan)
pada pita suara (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014; Woodson, 2014).
Amplitudo dari gelombang suara dianggap sebagai intensitas suara.
Kuatnya suara akan meningkatkan tekanan udara di subglotik. Perubahan
elastisitas pada pita suara terjadi untuk mengimbangi peningkatan tekanan
yang berlebihan (Sulica, 2014; Woodson, 2014).
Dalam keadaan normal, meningkatnya tekanan dari pita suara dengan
kontraksi otot (terutama tiroaritenoid dan krikotiroid) meningkatkan ketahanan
glotis, dan mengembalikan keseimbangan untuk mempertahankan siklus
glottis (Sulica, 2014; Woodson, 2014).
Tekanan dari pita suara akan mempengaruhi nada. Mekanisme untuk
mengontrol nada melibatkan interaksi antara krikoaritenoid, muskulus
tiroaritenoid dan tekanan udara. Kontraksi dari muskulus krikotiroid akan
2.3 Disfonia
Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala
penyakit atau kelainan pada laring yang dapat mengganggu komunikasi
sosial dan profesional. Setiap gangguan suara yang disebabkan oleh
kelainan laring, dikenal dengan istilah disfonia. Disfonia timbul dikarenakan
hilangnya pola vibrasi yang regular dari korda vokalis, sebagai akibat suatu
keadaan atau penyakit (Haryuna, 2009; Galvan, 2012; Hermani & Hutahuruk,
2012).
Setiap kondisi patologis yang menimbulkan gangguan dalam getaran,
ketegangan serta pendekatan (adduksi) kedua pita suara akan menimbulkan
disfonia. Penyebab paling sering disfonia umumnya adalah infeksi pada
tenggorokan, biasanya karena infeksi saluran nafas atas, lesi jinak pita suara,
keganasan pita suara dan gangguan fungsional pita suara (Hermani dan
Hutauruk, 2012; Parajuli, 2016).
Disfonia memiliki beberapa dampak negatif tidak hanya pada komunikasi,
namun juga pada kehidupan sosial, dan juga profesional. Pasien-pasien
dengan disfonia dilaporkan cukup banyak mengalami pengucilan sosial,
depresi, gangguan kualitas hidup, dan peningkatan frekuensi ketidakhadiran
dalam bekerja. Oleh sebab itu, gangguan suara berdampak buruk tidak
hanya terhadap individu, tetapi juga memberikan beban sosial bagi penerita
disfonia (Cohen, et al., 2012).
Pada penelitian Baitha et al. (2004), yang dilakukan di departemen
otolaringologi – bedah kepala dan leher di Swagram, India pada Januari 1998
hingga September 1999, memaparkan bahwa faktor-faktor predisposisi
disfonia (berturut-turut dari tertinggi hingga terendah) adalah fokus septik
(karies gigi, faringitis) sejumlah 41.8%, penyalahgunaan pita suara (40.9%),
merokok (25.45%), mengunyah tembakau (17.27%), konsumsi alkohol
(12.72%), dan konsumsi kacang (8.18%). Selain itu juga dijumpai dua faktor
predisposisi secara bersamaan, kombinasi yang paling sering dijumpai
adalah penyalahgunaan pita suara dan konsumsi alkohol serta
penyalahgunaan pita suara dan merokok (Baitha, et al., 2004).
total skor VHI tertinggi, dimana nilai tertinggi mencapai 120. Kuesioner ini
adalah instrumen yang valid dan dapat diandalkan untuk menilai persepsi diri
dari kecacatan suara pasien (Seipfanahi, 2015; Jones, Carding dan Drinnan,
2006; Kazi et al., 2007).
Merokok
Terganggunya getaran,
ketegangan serta proses adduksi
pita suara
Disfonia
Keterangan:
31
Persetujuan
mengikuti
penelitian
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
Laryngoscopy optic
37
dengan rerata umur pada perokok adalah 31,33 tahun dengan SD=6,85
dan rerata umur pada bukan perokok adalah 27,87 tahun dengan
SD=7,02.
Distribusi frekuensi subjek berdasarkan gambaran laring tersaji dalam
tabel 4.2 berikut :
Tabel 4.2 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Gambaran Laring
Merokok
Gambaran Laring
Ya (n(%)) Tidak (n(%))
Normal 3 (10) 30 (100)
Massa 1(3,33) 0(0)
Oedem 0(0) 0(0)
Hiperemis 6(20) 0(0)
Oedem + Hiperemis 20 (66,7) 0(0)
25
20
15
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Gambar 4.1. Perbandingan Nilai VHI pada yang merokok dengan yang
tidak merokok.
Gambar di atas menunjukkan pola nilai VHI pada dua kelompok
subjek penelitian. Terlihat jika nilai VHI pada kelompok merokok memiliki
pola yang lebih tinggi daripada kelompok tidak merokok. Selain itu nilai
VHI pada kelompok tidak merokok cenderung relatif lebih stabil sementara
pola yang lebih fluktuatif ditemukan pada nilai VHI kelompok yang
merokok.
4.3 Perbedaan Nilai VHI pada Perokok dan Bukan Perokok
Jika dianalisi dengan lebih mendalam, perbedaan skor VHI pada
perokok dan bukan perokok tersaji dalam tabel 4.3 berikut :
Tabel 4.3 Perbedaan skor VHI pada Perokok dan Bukan Perokok
Skor VHI Perokok Bukan Perokok P
Rerata 11,60 1,10 0,000*
SD 7,632 0,923
Min – mak 0-28 0-3
*Uji T Independent
Tabel di atas menunjukkan jika rerata skor VHI pada kelompok perokok
adalah sebesar 11,60, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan skor VHI
pada bukan perokok yang memiliki rerata 1,10. Skor VHI terendah dan
tertinggi pada kelompok perokok adalah 0-28 sementara itu pada
kelompok bukan perokok berada di antara 0-3.
Dengan menggunakan uji T Independent, ditemukan nilai p sebesar
0,000. Maka dapat disimpulkan jika terdapat hubungan yang signifikan
antara kebiasaan merokok dengan skor VHI (p<0,05). Dengan kata lain,
kebiasaan merokok menyebabkan terjadinya perbedaan pada skor VHI
subjek penelitian.
Gambar 4.4 memperlihatkan sebaran nilai VHI untuk setiap jenis rokok
berdasarkan penggunaan filter. Skor VHI tertinggi dijumpai pada jenis
rokok dengan penggunaan filter.
Hubungan lama merokok dengan jumlah rokok/hari tersaji dalam tabel 4.4
berikut :
Tabel 4.4 Hubungan Jenis Rokok dengan Lama Merokok
Lama Merokok r p value
Jumlah Rokok/Hari 0,781 0,000
*Uji Pearson
Dengan menggunakan uji Pearson, ditemukan nilai p sebesar 0,000.
Maka dapat disimpulkan jika terdapat hubungan yang signifikan antara
lama merokok dengan jumlah rokok/hari (p<0,05).
43
merokok tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu jauh dalam hal nilai rata-
rata umur dan standar deviasi (SD).
Tabel 4.2, menjelaskan bahwa gambaran laring yang tidak normal
ditemukan paling banyak pada perokok, dimana gambaran laring yang paling
sering dijumpai pada perokok adalah oedem dan hiperemis, sebanyak 20
orang (66,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian Pinar et al. (2016) yang
menemukan gambaran laring perokok yang yang signifikan berbeda dengan
bukan perokok. Mereka menemukan jumlah yang lebih besar pada oedem
dan hiperemis pada laring perokok. Sehingga didapatkan hubungan yang
signifikan antara merokok dengan peningkatan oedem dan hiperemis pada
laring.
Byeon dan Lee (2013), pada penelitiannya di Korea menunjukkan bahwa
prevalensi kondisi patologis pada laring dijumpai lebih tinggi di kalangan
perokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Penelitian oleh
Marcotullio et al. (2002) dan Awan dan Morrow (2007) keduanya mengamati
hubungan yang signifikan antara merokok dan peningkatan timbulnya
oedema pada pita suara. Asap rokok bersifat sangat merugikan pada
membran mukosa dan epitel yang melindungi laring, pada dasarnya
dikarenakan efek iritan rokok tersebut. Asap rokok tersebut dapat
menyebabkan iritasi, batuk persisten dan berdehem yang mempengaruhi
konsenterasi mukus pada lapisan superfisial lipatan pita suara. Merokok yang
berkesinambungan menyebabkan jaringan-jaringan ini cenderung mengalami
cedera.
Pada tabel 4.3 jelas terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara skor VHI perokok dan bukan perokok (p<0,05). Rata-rata skor VHI
pada perokok sebesar 10 kali skor VHI pada bukan perokok. Dimana rerata
skor VHI pada perokok adalah 11,60 dan rerata skor VHI pada bukan
perokok adalah 1,10. Perbedaan skor VHI tersebut juga jelas tergambar
dalam gambar 4.1.
pada dasarnya dikarenakan efek iritan rokok tersebut, khususnya pada tepi
penggetar bebas dari lipatan pita suara, dan menurunnya pergerakan
mukosilia yang menyebabkan dehidrasi. Sebagai konsekuensi dari iritasi,
batuk persisten dan bersihan tenggorokan juga berkontribusi pada
konsenterasi mukus pada lapisan superfisial lipatan pita suara. Merokok yang
berkesinambungan menyebabkan jaringan-jaringan ini cenderung mengalami
cedera (seperti hiperemia, edema, dan perdarahan) dan/atau nekrosis
(seperti keratinisasi, hiperplasia, metaplasia sel skuamosa) menunjukkan
bahwa tembakau memiliki efek pada beberapa parameter penilaian suara
bahkan dalam tahap yang relatif dini dari kebiasaan merokok. Menurut data
mereka, bahkan kebiasaan merokok dengan durasi yang relatif singkat
(kurang dari satu dekade) tampaknya cukup untuk menyebabkan edema dan
mengakibatkan berkurangnya frekuensi getaran dari pita suara.
Tabel 4.5 menjelaskan bahwa jumlah rokok yang dikonsumsi per hari
yang terbanyak adalah perokok sedang (11-20 batang/hari). Hal ini sesuai
dengan yang dilaporkan oleh Sundari et al. di Indonesia tahun 2015 bahwa
perokok di Indonesia termasuk dalam perokok kelas medium (sedang). Selain
itu menurut Riskesdas (2013), rata-rata jumlah batang rokok yang diisap oleh
perokok adalah 12,3 batang/hari (setara satu bungkus).
Dalam penelitian ini memang tidak dijumpai hubungan yang signifikan
antara jumlah rokok yang dikonsumsi per hari dengan skor VHI pada
penelitian ini. Hal ini sesuai dengan penelitian Awan (2010) yang
mendapatkan hasil tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
gangguan suara dengan berapa banyak rokok yang dikonsumsi/hari.
Gonzales dan Carpi (2004), memaparkan bahwa jumlah rokok yang dihisap
setiap hari tidak berpengaruh pada parameter frekuensi dasar suara, dimana
tidak berbeda secara signifikan laki-laki yang merokok lebih dari 10 batang
rokok per hari dibandingkan laki-laki yang merokok 10 batang rokok atau
kurang per hari.
Hal ini kemungkinan karena pertama, setiap perokok mungkin tidak selalu
mengingat berapa banyak rokok yang dihisap perhari. Perokok biasanya
hanya mengingat berapa banyak mereka merokok pada beberapa bulan
terakhir, dan kemungkinan ada beberapa waktu dalam rentang lama mereka
merokok yang dimana jumlah rokok yang mereka hisap lebih kecil dari
biasanya. Selain itu menurut Awan (2010), bisa jadi subyek yang merokok
dalam jumlah kecil per hari (misalnya 2–4 rokok) memiliki karakteristik suara
yang sama terhadap subjek yang tidak merokok, akibat belum terdapat
perubahan/kelainan laring yang akan berdampak pada kenyamanan
bersuara. Kedua, perokok berat pada penelitian ini belum tentu memiliki nilai
VHI yang lebih tinggi dibandingkan dengan perokok ringan maupun sedang.
Oleh karena perokok yang mengkonsumsi rokok lebih banyak per hari nya
belum tentu sudah merokok sejak lama (periode merokok yang lama),
sehingga belum tentu mendapatkan paparan asap rokok yang lebih banyak
dari yang mengkonsumsi rokok lebih sedikit per hari. Seperti pada penelitian
Sundari et al. (2015) yang pada penelitiannya memiliki korelasi yang rendah
antara lama merokok dengan jumlah merokok, dimana dapat diartikan pula
bahwa seseorang yang baru merokok bukan berarti akan mengonsumsi
jumlah rokok yang lebih sedikit, atau sebaliknya yang sudah merokok lama
akan mengonsumsi rokok yang lebih banyak pula.
Tabel 4.6 menjelaskan bahwa jenis rokok terbanyak pada penelitian ini
adalah filter sebanyak 86,6%. Menurut hasil analisis Hadi & Priyatno (2000),
produk tembakau yang dikonsumsi penduduk di Indonesia terdiri dari rokok
kretek filter, rokok kretek tanpa filter, rokok putih, dan tembakau. Sebagian
besar produk tembakau yang dikonsumsi adalah rokok kretek filter. Dimana
pemakaian rokok filter 3 kali lebih besar dibanding rokok tanpa filter. Rokok
kretek filter dan rokok putih lebih banyak dikonsumsi masyarakat perkotaan,
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Penelitian ini mendapatkan kelompok usia terbanyak pada
kelompok perokok adalah usia 31-40 tahun dan pada kelompok
yang bukan perokok usia adalah 21-30 tahun.
b. Gambaran laring terbanyak yang ditemukan pada kelompok
perokok adalah hiperemis disertai dengan oedem, sementara itu
pada kelompok bukan perokok gambaran laring normal adalah
gambaran laring yang paling banyak dijumpai.
c. Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok
dengan skor VHI (p<0,05).
d. Terdapat hubungan yang signifikan antara lama merokok dengan
skor VHI (p<0,05)
e. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah rokok/hari
dengan skor VHI (p>0,05).
f. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis rokok dengan
skor VHI (p>0,05).
6.2 Saran
1. Diharapkan ada penelitian lanjutan yang lebih terfokus terhadap
durasi merokok sehingga antara subyek pembanding memiliki
karakteristik yang sama
2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dengan
menggunakan alat diagnostik yang lebih mutakhir dan spesifik
seperti stroboscopy yang mampu memberikan gambaran laring
yang lebih jelas.
50
Universitas Sumatera Utara
51
DAFTAR PUSTAKA
Probst J.A., Grevers G. dan Iro H., 2010. Larynx and Trachea. In: Basic
Otorhinolaryngology: A Step by Step Learning Guide. Stuttgart:
Georg-Thieme Verlag. hal.338-45.
Riset Kesehatan Dasar. (2013) Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2013
Sasaki C. T., Kim Y. H. dan LeVay A. J., 2009. Development, anatomy,
and physiology of the larynx. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery 17. Centennial edition. Connecticut :
People’s Medical Publishing House. hal.847-57
Seifpanahi, S., Shohreh, J., Nikoo, M.R., Sobhanirad, D., 2015. Translated
Versions of Voice Handicap Index (VHI)-30 across Languages: A
Systematic Review. Iran J Public Health, 44(4), hal.458-69
Sorensen, D., Horii, Y., 1982. Cigarette Smoking and Voice Fundamental
Frequency. Journal of Communication Disorders, 15, hal.135-44.
Spector, G.T., 1994. Anatomi Perkembangan Laring. In: Ballanger JJ.
Ed:Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala Leher. Alih Bahasa:
staf Ahli Bagian THT RSCM-FK UI, Jilid I. (13th ed.). Binarupa
Aksara, Jakarta, hal.415-23, 424-34.
Sulica, L., 2014. Voice: Anatomy, Physiology, and Clinical Evaluation. In:
Johnson J.T., Rosen C.A, eds, Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology.5th ed, Philadelphia : Lihalincott Williams & Wilkins,
hal.945-56.
Sundari, R., Widjaya, D, S., Nugraha. A., 2015. Smoking Period and
Number of Cigarette Consumption with Thrombocyte among Active
Male Smokers. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 9(3). Hal
257-63.
Tafiadis, D., Toki, E.I., Miller, K.J., Ziavra, N., 2017. Effects of Early
Smoking Habits on Young Adult Female Voices in Greece. Journal
of Voice, hal 1-5.
Tafiadis, D., Tatsis, G.,Ziavra, N. Toki, E.I., 2017. Voice Data on Female
Smokers: Coherence between the Voice Handicap Index and