Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO II : DADA TERASA TERBAKAR


Seorang wanita, usia 48 tahun datang berobat ke Rumah Sakit dengan keluhan rasa
panas terbakar di dada. Pasien juga merasa sering sebah, kembung, dan bersendawa
sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan disertai nyeri di bagian ulu hati. Pasien juga merasa
nafsu makannya berkurang karena sakit kalau menelan. Suara pasien juga menjadi serak
sejak muntah-muntah. Pasien sering mengonsumsi obat pusing dan sangat menyukai
minuman kopi. Pasien juga memiliki riwayat sakit asma.
Dokter memeriksa dengan menggunakan kuesioner kasus refluks dan pasien diterapi
dengan PPI test. Awalnya pasien memberikan reaksi positif membaik dengan terapi
tersebut. Namun karena akhir-akhir ini pasien sering kambuh, Dokter melakukan rujukan
agar pasien dapat dilakukan pemeriksaan untuk melihat saluran cerna bagian atas.
Setelah dilakukan endoskopi, didapatkan hasil adanya mucosal break pada esophagus
pasien. Kemudian dokter memberikan edukasi pada pasien agar sakitnya tidak kambuh lagi
sehingga tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.

1
BAB II
DISKUSI

2.1. JUMP 1: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah sulit dalam
skenario
1. PPI Test = Cara mengecek GERD dengan menggunakan PPI (Proton Pump
Inhibitor).
2. Endoskopi = Prosedur diagnostic pemeriksaan saluran cerna dengan alat endoskop
3. Mucosal break = area eritem pada esofagus.
4. Sebah = perut terasa nyeri, seperti ada gas/udara (kembung)

2.2. JUMP 2: Menentukan/mendefinisikan permasalahan


Setelah membaca skenario yang diberikan, yaitu “Dada Terasa Terbakar?”
didapatkan beberapa permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut.
1. Mengapa dada pasien terasa terbakar?
2. Apakah ada hubungan sering minum obat pusing dan minum kopi dengan keluhan?
Etiologi GERD?
3. Apa hubungan riwayat sakit asma dengan keluhan yang dirasa?
4. Apa makna reaksi (+) pada PPI test? Fungsi PPI test? Mengapa keluhan sering
kambuh setelah dilakukan PPI test?
5. Mengapa pasien merasa sering sebah, kembung, bersendawa sejak 6 bulan lalu serta
nyeri di bagian ulu hati? Hubungannya dengan keluhan?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dan tatalaksananya?
7. Apa penyebab mucosal break? Interpretasi hasil pemeriksaan endoskopi?
8. Mengapa pasien merasa sakit saat menelan? Apakah ada hubungan dengan
penurunan nafsu makan?
9. Apakah edukasi yang diberikan pada pasien agar keluhan tidak kambuh?
10. Apa itu kuesioner reflux dan bagaimana interpretasinya?
11. Apa saja diagnosis bandingnya?
12. Bagimana faktor risiko dan komplikasi dari setiap diagnosis banding?
13. Bagaimana prognosis dan epidemiologinya?
14. Bagaimana pemeriksaan penunjang dan tatalaksananya?

2
2.3. JUMP 3: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara mengenai
permasalahan (tersebut dalam jump 2)
1. Mengapa dada pasien terasa terbakar?
 Menelan makanan  esophagus  Lower esophageal sphincter (LES)  terjadi
abnormalitas LES atau pelemahan fungsi  makanan reflux  asam lambung
naik ke esophagus  epitel squamous esophagus tidak dapat menahan asam
karena tidak memiliki musin  dada terasa panas/terbakar.
 Penyebab lain selain LES:
- Terlambatnya pengosongan isi lambung
- Tekanan di dalam lambung meningkat karena obat-obatan (histamin, gastrin).
- Iritasi lambung
- Langsung tidur setelah makan (harusnya menunggu 2-3jam)

2. Bagaimana etiologi GERD?


 GERD terjadi karena adanya peningkatan asam lambung. Peningkatan asam
lambung dapat menyebabkan peradangan pada mukosa serta peningkatan H+
pada lambung. Hal ini dapat menyebabkan produksi gas berlebih sehingga juga
dapat menyebabkan munculnya sensasi sendawa terus menerus serta perut terasa
penuh/kembung.
 Etiologi:
- Kopi (kafein), rokok  menurunkan peran LES
- Diazebam, barbiturate, CA blocker, morfin, anti histamin, anti kolinergik 
menurunkan peran LES sehingga tidak dapat menahan reflux
- Makanan asam
- Hormon: sekretin, koelistokinin, glucagon, somastotatin, progesterone,
vasoaktif intertinal polypeptide, gastric inhibitor polypeptide
- NSAID  menghambat aktivitas COX  menurunkan produksi
prostaglandin yang berfungsu sebagai proteksi lambung  kadar HCO3-
menurun  mukosa lambung terpapar asam lambung
- Bakteri: Helicobacter pylori

3. Apa hubungan riwayat sakit asma dengan keluhan yang dirasa?

3
Keadaan patologis pernafasan seperti asma akan memerlukan konsumsi obat-
obatan. Obat asma berfungsi sebagai bronkokonstriksi, sehingga dapat memberikan
efek perubahan anatomis pada gastroesofageal dan menurunkan tonus LES yang
berujung pada munculnya reflux.

4. Apa makna reaksi (+) pada PPI test? Fungsi PPI test? Mengapa keluhan sering
kambuh setelah dilakukan PPI test?
Prosedur pelaksanaan PPI test dilakukan dengan cara pemberian obat PPI
(Proton Pump Inhibitor) guna mengurangi asam lambung. PPI test dilakukan
sebanyak 2 kali sehari selama 7 hari llau dihentikan untuk dilakukan evaluasi.
Apabila setelah pengobatan dihentikan masih timbul gejala, berarti pasien tersebut
(+) GERD. Tetapi bila sudah tidak timbuh gejala, maka pasien tersebut (-) GERD.

5. Apa itu kuesioner reflux dan bagaimana interpretasinya?


Kecurigaan terhadap GERD secara klinis dapat dikonfirmasi dengan
melakukan kuesioner GERD-Q. GERD-Q terdiri dari 6 butir pertanyaan yang
masing-masing dinilai dengan skor 0 sampai 3, yaitu:

4
Skor akhir GERD-Q < 7 menandakan pasien tidak memiliki penyakit refluks
gastroesofageal. Skor GERD-Q 8 hingga 18 meningkatkan kemungkinan pasien
mengalami GERD dan harus dilakukan penilaiaan lebih lanjut. Kuesioner GERD-Q
ini memiliki sensitifitas 65% dan spesifisitas 71%. GERD-Q memiliki nilai prediksi
positif yang sangat tinggi (92%) tetapi nilai prediksi negatifnya sangat rendah
(22%). Penilaian klinis dokter digabungkan dengan GERD-Q dapat mengurangi
prosedur diagnostik yang tidak dibutuhkan dan mengurangi biaya medis yang harus
dikeluarkan pasien.

5
2.4. JUMP 4: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara
mengenai permasalahan pada Jump 3.

1. Anamnesis
- Wanita
- Usia 48 tahun
- Riwayat sakit asma
- Sering konsumsi obat
pusing
- Sangat menyukai
minuman kopi 2. Gejala klinis
• Sebah
6. Tatalaksana • Kembung
•Medikamentosa • Sendawa
•Non • Gejala-gejala
medikamentosa muncul sejak 6
bulan lalu

Dada
Terasa
Terbakar

5. Pemeriksaan
Penunjang 3. Pemeriksaan
- Kuesioner GERD Fisik
- PPI Test -
- Endoskopi

4. DD
•GERD
•Dispepsia

2.5. JUMP 5: Merumuskan tujuan pembelajaran (learning objective).


1. Mengetahui etiologi dan epidemiologi GERD dan Dispepsia
2. Mengetahui patofisiologi GERD dan Dispepsia
3. Mengetahui faktor risiko GERD dan Dispepsia
4. Mengetahui patofisiologi keluhan yang dirasakan pasien
5. Mengetauhi DD selain GERD dan Dispepsia dan patofisiologinya
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang GERD dan Dispepsia
7. Mengetahui tatalaksana GERD dan Dispepsia
8. Mengetahui komplikasi dan prognosis GERD dan Dispepsia

6
2.6. JUMP 6: Mengumpulkan informasi baru dengan belajar mandiri.
Dalam langkah ini, setiap anggota kelompok tutorial masing-masing mencari dan
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
harus dicapai (yang telah ditentukan pada Jump 5) dengan menggunakan sumber
referensi ilmiah seperti buku, jurnal, review, dan artikel ilmiah yang berkaitan dengan
skenario.

2.7. JUMP 7: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh.
Berikut beberapa informasi tambahan terkait rumusan pertanyaan yang belum
terjawab atau masih dirasa kurang pada pertemuan sebelumnya setelah dilakukan
pencarian informasi lebih lanjut.
1. Bagaimana etiologi dan epidemiologi dari GERD dan dyspepsia?
Etiologi GERD:
1. Peningkatan asam lambung yang dapat disebabkan oleh: kafein, rokok,
alkohol, makanan asam, dan hormon (sekretin, kolesitokinin, glukagon,
somatostatin, progesteron, vasoaktif in-testinal polipeptide, dan gastric inhibitor
polipeptide)
2. Melemahnya fungsi atau menurunnya tonus LES (Low Esophageal Sphincter)
yang dapat disebabkan oleh: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES (makin
pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat- obatan seperti antikolinergik, beta
adrenergik, teofilin, opiat, dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan,
peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan to-nus LES.
3. Ketahanan epitel esophagus menurun
4. Bahan refluks mengenai dinding esophagus (adanya pepsin, garam empedu,
dan HCl)
5. Terlambatnya pengosongan isi lambung
6. Iritasi lambung
7. Peningkatan tekanan di dalam lambung karena obat-obatan, seperti: NSAID,
antihistamin, bar-biturat, ca blocker, diazepam, serta morfin
8. Kebiasaan langsung tidur setelah makan (seharusnya menunggu 2 sampai 3
jam setelah makan)

Etiologi Dispepsia:

7
1. Gangguan motilitas gastroduodenal: dapat disebabkan oleh penurunan
kapasitas lambung, per-lambatan pengosongan lambung, atau inkoordinasi
duodenal.
2. Faktor psikososial, contoh: depresi dan anxietas
3. Asam lambung
4. Infeksi H.pylori
5. Peranan hipersensitivitas viseral yang ,enyebabkan peningkatan sensitivitas
sensorik perifer dan sentral
6. Obat-obatan: NSAID, teofilin, digitalis, antibiotic

Epidemiologi GERD:
1. Prevalensi di Asia lebih rendah dari negara barat (pengaruh lifestyle)
2. Risiko GERD pada laki-laki sama dengan wanita, namun kenyataannya kasus
GERD lebih banyak mengenai laki-laki daripada perempuan
3. Segala usia dapat terkena GERD

2. Bagimana patofisiologi dari GERD dan Dispepsia?


 GERD
Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%). Gangguan fungsional lebih pada
disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus.
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup
lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat
dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak
dengan refluksat tidak terlalu lama. Selain itu penurunan tekanan otot sfingter
esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga
ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan
dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau
retrogard (muntah atau sendawa).
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah. Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah.

8
Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. Sedangkan pada orang
normal 25-35 mmHg.
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus
bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan
intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan
lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi
lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan
mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai
respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring,
mulut atau nasofaring.
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan
refluksat. Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
a) Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan
tekanan intraabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat
menurunkan tonus SEB antara lain :
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-
lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan
tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus
GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya

9
transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan
berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas
diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu
diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi
lambung.
Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena
banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak
menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus
SEB.

b) Bersihan asam dari lumen esofagus


Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat
akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses
menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar
saliva dan kelenjar esofagus
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan
maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu
transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah
peristaltik esofagus yang minimal
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus,
karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif

c) Ketahanan Epitelial Esofagus.


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus
untuk melindungi mukosa esofagus
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2

10
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster
(menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim
pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya
pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya
rusak tinggi.
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi
lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung.
Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
tidak banyak didukung oleh data yang.
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD. Pada
kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak.
Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang
meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya
SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah refluks.

d) Peran Sfingter Atas Esofagus


SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke larinofaring.
Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap
refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan
terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.

e) Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus


Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme
tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal
dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.

11
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan
spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan
laring.

 Dispepsia
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor
berikut mungkin berperan penting (multifaktorial):
1. Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien
dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster.
Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum
postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala
dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang
"kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal
seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi
distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke
bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien
dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian
bagian antrum terlalu cepat.
2. Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap
distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster
intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri
pada bagian ini.
3. Stres dan faktor psikososial
Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas
psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus daripada
subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan
keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan
perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.
Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan
dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang
lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti
nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba
menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial
lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan
orang normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak
ansietas, depresi dan neurotik.
4. Gastritis Helicobacter pylori

12
Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis
non-erosif non-spesifik. Disini ditambahkan non-spesifik karena gambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang
bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori
sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis
secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas
dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan
dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.

Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah
diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus
masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita
infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus
dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa
dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik peranan
Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata
setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf
pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat
walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang
dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.
5. Gastritis Helicobacter pylori
Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis
non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang
bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori
sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis
secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas
dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan
dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.

Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah
diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus
masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita
infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus
dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa
dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik peranan
Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata

13
setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf
pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat
walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang
dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.
6. Kelainan gastrointestinal fungsional
Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan
fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada nonkardiak dan
nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita
dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai
gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala
extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi. Pada
anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti
nyeri abdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi buang air besar atau
bentuknya mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar
dan perut kembung. Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan
dari perut kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa,
diikuti oleh kembung yang lebih darah. Ini memerlukan perbaikan tingkah
laku.Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak
selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam
terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung keanekaragaman
kelompok ini.
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa
lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada
linkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang
sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi
ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi “awan amoniak”
yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella
Helicobacter pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi.
Bagian yang menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal.
Melalui zat yang disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu
jenis gliserolipid yang terdapat di dalam epitel.
Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase,
oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan
musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan
fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin yang
beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa
mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai
pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor
defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat
merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam
obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian
aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung,
sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.

14
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,
lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun
seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut,
karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik
dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung,
yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum.
Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan
duodenum. Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan
perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi
mucus oleh pepsin. Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah berlebihan dalam
mucus gastric dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung.
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa
lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik
asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah.
Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan
meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan
sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak,
mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan. Sawar mukosa tidak
dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik dihambat
oleh gastrin.
Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena
mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu,
kadar asam yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum
diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh
produksi yang berkurang.
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat
fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus) yang
memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan
kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam berlebihan.
Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam ulkus peptikum. Daya
tahan jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai darah dan cepatnya
regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari). kegagalan
mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus peptikum.

3. Bagaimana factor risiko GERD dan Dispepsia?


1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-
channel blocker, meperidine, morphine, diazepam, barbiturate, etanol, B-
adrenergic agonis, dan a-adrenergic antagonis.
2. Makanan asam (citric juice), cokelat, makanan berlemak, peppermint, kopi,
alkohol, dan rokok.

15
3. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita
hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar
progesteron. Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES
terjadi akibat terapi hormon estrogen. Selain progesterone, hormone lain
yang dapat menurunkan tekanan LES adalah secretin, cholesystokinin,
glukagon, somatostatin, gastric inhibitory polypeptide, dopamine, vasoactive
intestinal polypeptide, dan prostaglandin (E2, 12).
4. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia,
Panjang LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya
GERD.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya
GERD juga semakin tinggi.
6. Makan 2-3 jam sebelum tidur.

4. Bagaimana patofisiologi keluhan yang dirasakan pasien?


 Heart burn (rasa panas terbakar di dada) dan sakit saat menelan
Refluks makanan  asam lambung naik ke esofagus  terjadi inflamasi  epitel di
esofagus tidak tahan terhadap asam, dan tidak terdapat sel goblet yang menghasilkan
musin  epitel esofagus menipis (berubah dari epitel squamous kompleks menjadi
epitel squamous simpleks  heart burn dan rasa sakit saat menelan

 Sering sebah, kembung, dan bersendawa


Akibat asam lambung yang meningkat  H+ meningkat  produksi gas berlebih 
bisa menyebabkan sebah, kembung, dan bersendawa

 Suara serak
Kelemahan otot di LES  Terjadi refluks asam lambung sampai ke tenggorokan
(refluks laringofaringeal)  iritasi dan pembengkakan vocal folds pada tenggorokan
(pita suara)  kelainan suara, bisa berupa suara serak

 Sering mengkonsumsi obat pusing

16
Obat pusing termasuk obat NSAID yang bisa menghambat aktivitas COX
produksi prostaglandin untuk memproteksi lambung dihambat HCO3- menurun
mukosa lambung terpapar asam lambung sehinga terjadi peningkatan asam lambung

 Suka minum kopi


Kopi mengandung kafein yang bisa meningkatkan produksi asam lambung,
membuat tonus LES relaksasi sehingga bisa terjadi refluks, dan bisa mempengaruhi
sistem saraf yang akan menghambat persarafan.

 Riwayat asma
Penderita asma berisiko lebih tinggi untuk terkena GERD. Asma dapat
menyebabkan LES (Lower Esophageal Sphincter) menjad relaksasi atau akan
menurunkan peran tonus LES sehingga bisa mengakibatkan regurgitasi makanan
(naiknya kembali makanan ke esofagus) / refluks. Beberapa obat asma (terutama
theophilin) bisa memperburuk gejala refluks. Di sisi lain, refluks asam dapat
memperburuk gejala asma dengan mengiritasi paru-paru dan jalan nafas (airway)
sehingga bisa menyebabkan asma yang semakin serius. Dan juga iritasi ini dapat
membuat jalan nafas (airway) menjadi lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan
seperti asap atau udara dingin.

5. Bagaimana DD selain GERD dan Dispepsia dan patofisiologisnya?


1. Ulkus Pepticum
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini tidak dapat
menahan kerja asam lambung pencernaan (asam hidrochlorida danpepsin). Erosi
yang terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerjaasam pepsin, atau
berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa. Mukosa yang rusak
tidak dapat mensekresi mukus yang cukupbertindak sebagai barier terhadap asam
klorida

2. Gastritis
a. Gastritis superfisial akut

17
Merupakan respon mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal. Endotoksin
bakteri (masuk setelah menelan makanan terkontaminasi), kafein, alkohol dan
aspirin merupakan agen-agen penyebab yang sering. Membran mukosa lambung
menjadi edema dan hiperemik (kongesti dengan jaringan, cairan dan darah) dan
mengalami erosi superficial, bagian ini mensekresi sejumlah getah lambung, yang
mengandug sangat sedikit asam tetapi banyak mucus. Ulserasi superficial dapat
terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi. Mukosa lambung dapat memperbaiki diri
sendiri setelah mengalami gastritis. Kadang-kadang hemoragi memerlukan
intervensi bedah.
b. Gastritis atrofik kronik
Gastritis kronik diklasifikasikan menjadi tipe A dan tipe B. Tipe A (sering disebut
gastritis autoimun) ditandai oleh atrofi progresif epitel kelenjar disertai kehilang sel
parietal dan sel chief. Akibatnya, produksi asam klorida, pepsi dan faktor intrinsik
menurun. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai permukaan yang
rata. Minum alkohol berlebihan, teh manis dan merokok merupakan predisposisi
timbulnya gastritis akut. Tipe B (kadang disebut sebagai gastritis H. Pylori)
mempengaruhi antrum dan pylorus (ujung lambung dekat duodenum). Ini
dihubungkan dengan bakteri H. Pylori; faktor diet seperti minuman panas atau peda;
penggunaan obat-obatan dan alkohol; merokok atau refluks isi lambung.

3. Angina Pectoris
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan suply
oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekauan arteri dan
penyempitan lumen arteri koroner (ateriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara
pasti apa penyebab ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang
bertanggungjawab atas perkembangan ateriosklerosis. Ateriosklerosis merupakan
penyakir arteri koroner yang paling sering ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu
jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan
meningkat pada jantung yang sehat maka artei koroner berdilatasi dan megalirkan
lebih banyak darah dan oksigen keotot jantung. Namun apabila arteri koroner
mengalami kekauan atau menyempit akibat ateriosklerosis dan tidak dapat
berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka
terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.

18
Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat Oksid0
yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya
fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner
yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang.
Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila
belum mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih dari 75 % serta dipicu dengan
aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Sel-sel
miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi
mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH
miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila kenutuhan energi sel-sel jantung
berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi
oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat.
Dengan hilangnya asam laktat nyeri akan reda.

4. ASMA
Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi mediator
agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin
D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang
dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post
ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah
hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks
pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas
dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang
keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.(7)
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas
adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan
volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks.
Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara
pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua
paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara
mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal .

19
Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya
kelelahan dan gagal nafas.

6. Bagaimana pemeriksaan penunjang GERD dan Dispepsia?


 Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi
pasien dengan dugaan PRGE.Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai
kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini
merupakan biopsi.Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan
berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).

Gambar 1: Saluran cerna bagian atas

Klasifikasi Los Angeles


Derajat kerusakan Gambaran endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling
berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi
seluruh lumen esophagus)

 Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama
pada kasus esofagitis ringan.Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE
menunjukkan refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada
keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan
lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.

20
 Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus
terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke
esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa
menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada
asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena.
Dengan dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri
motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara
manometrik untuk memastikan nyeri dada asal esofagus.

 Pengukuran pH dan tekanan esofagus


Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE,
pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara
lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat
yang mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan
manometrik esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada
yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH
esofagus/gangguan motorik esofagus.Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold
standar untuk memastikan adanya PRGE. Namun tidak semua bayi yang muntah
atau regurgitasi diindikasikan untuk melakukan pemeriksaan ini.

 Tuttle test acid reflux


Tes ini menggunakan asam hidrokhloric (0.1N per 1.7m2) atau dengan jus apel yang
tidak dimaniskan (300ml per 1.7m2) yang ditelan oleh pasien lalu pH dimonitor
selama 30 menit, penurunan pH dibawah 4 merupakan kasus abnormal.

 Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy


Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan
sifatnya non invasive.

21
 Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa
esofagus, erosi, dan striktur.

 Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien
NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.

 Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan.Tetapi
bukan untuk memastikan NERD

PEMERIKSAAN PENUNJANG DISPEPSIA


Pemeriksaan penunjang harus bisa menyingkirkan kelainan serius, terutama kanker
lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien memiliki
resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa endoskopi.
Menurut Schwartz, M William (2004) dan Wibawa (2006) berikut merupakan
pemeriksaan penunjang:
a. Tes Darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan kelainan serius.
Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter pylori menunjukkan ulkus peptikum
namun belum menyingkirkan keganasan saluran pencernaan.
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium Barret, dan
ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse untuk H.pylori (tes CLO).
Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan kausa
organic pada pasien dispepsia. Namun, pemeriksaan H. pylori merupakan
pendekatan bermanfaat pada penanganan kasus dispepsia baru. Pemeriksaan
endoskopi diindikasikan terutama pada pasien dengan keluhan yang muncul pertama
kali pada usia tua atau pasien dengan tanda alarm seperti penurunan berat badan,

22
muntah, disfagia, atau perdarahan yang diduga sangat mungkin terdapat penyakit
struktural.
Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan kemungkinan
komplikasi serupa dengan pasien muda. Menurut Tytgat GNJ, endoskopi
direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada evaluasi penderita dispepsia dan
sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan keadaan pasien apakah dispepsia
organik atau fungsional. Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa lambung.
c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan
d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esofagitis
e. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah
lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil kimia, dan pemeriksaan ovum dan
parasit pada tinja. Jika terdapat emesis atau pengeluaran darah lewat saluran cerna
maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan barium pada saluran cerna bgian
atas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG ULKUS PEPTIKUM


1. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri tekan epigastrik
atau distensi abdominal.
2. Bising usus mungkin tidak ada.
3. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dapat menunjukkan
adanya ulkus, namun endoskopi adalah prosedur diagnostic pilihan.
4. Endoskopi GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi,
ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan
biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi
yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya.
5. Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negative
terhadap darah samar.
6. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam
mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida dalam getah
lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan
atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan
adanya ulkus.

23
7. Adanya H. Pylori dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui
kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. serta tes
serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.

PEMERIKSAAN PENUNJANG GASTRITIS


Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri tekan epigastrik atau
distensi abdominal.
1. Bising usus mungkin tidak ada.
2. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dapat menunjukkan
adanya ulkus, namun endoskopi adalah prosedur diagnostic pilihan.
3. Endoskopi GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi,
ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan
biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi
yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya.
4. Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negative
terhadap darah samar.
5. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam
mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida dalam getah
lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan
atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan
adanya ulkus.
6. Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui
kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. serta tes
serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.

7. Bagaimana tatalaksana GERD dan Dispepsia?


FARMAKOTERAPI GERD
1. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 merupakan first-line agents untuk pasien GERD dengan
gejala ringan sampai sedang. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah ranitidine,
cimetidine, famotidine, dan nizatidine.
Obat antagonis reseptor H2 merupakan obat yang bekerja secara reversibel
kompetitif dengan histamine dan selektif terhadap reseptor H2. Sehingga akan
menghambat sekresi dari asam lambung oleh sel parietal lambung. Obat ini dapat

24
digunakan untuk menghindari terjadinya relapse dan hanya untuk terapi sementara
dari gejala yang muncul (Medscape, 2019). Dosis untuk obat ini adalah:
- Cimetidine 400 mg dua kali sehari, dosis 400 sampai 800 mg
- Famotidine 20 mg dua kali sehari, dosis 20 sampai 40 mg
- Nizatidine 150 mg dua kali sehari, dosis 150 mg
- Ranitidine 150 mg dua kali sehari, dosis 150 mg (Heidelbaugh et al., 2019)

2. Proton Pump Inhibitors


Proton pump inhibitors (PPIs) merupakan obat yang menghambat sekresi asam
lambung dengan cara menghambat enzim H+/K+ ATPase di sel parietal lambung.
Obat ini digunakan untuk terapi kasus GERD yang sudah parah dan tidak bereaksi
terhadap obat antagonis reseptor H2. Contoh obat-obat PPI adalah pantoprazole,
omeprazole, lansoprazole, rabeprazol, dan esomeprazole.
Obat PPI merupakan obat yang paling efektif untuk terapi GERD. Tetapi jika
digunakan untuk jangka panjang maka obat ini dapat memberi efek samping karena
PPI dapat mengganggu homeostasis dari kalsium yang terdapat dalam tubuh
(Medscape, 2019). Dosis untuk obat ini adalah:
- Esomeprazole 40 mg per hari, dosis 20 sampai 40 mg
- Lansoprazole 30 mg per hari, dosis 15 sampai 30 mg
- Omeprazole 20 mg per hari, dosis 20 mg
- Pantoprazole 40 mg per hari, dosis 40 mg
- Rabeprazol 20 mg per hari, dosis 20 mg per hari (Heidelbaugh et al., 2019)

3. Prokinetik
Obat prokinetik dapat meningkatkan motilitas dari esophagus dan meningkatkan
tekanan Lower Esophageal Sphincter (LES) untuk dapat mengurangi reflux dan
mempercepat pengosongan lambung. Obat-obat prokinetik efektif untuk pasien yang
memiliki gejala ringan, karena kebanyakan pasien GERD perlu penambahan obat
lain seperti PPI. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan komplikasi serius dan bisa
berpotensial fatal (Medscape, 2019). Contoh obat ini adalah metoclopramide dengan
dosis 10-15 mg dan tidak boleh melebihi 80 mg per hari nya. Selain itu ada cisapride
yang juga merupakan salah satu terapi untuk GERD, tetapi cisapride sudah ditarik
dari pasar karena obat ini memiliki efek samping pada jantung yaitu menyebabkan
aritmia jantung yang parah (World Health Organization, 2019).

25
4. Antasida
Obat ini dapat memberikan terapi untuk meringankan gejala yang dirasakan pasien
GERD dengan meningkatkan pH lambung. Jenis obat ini dan dosisnya ialah sebagai
berikut:
- Aluminium hidroksida
- Magnesium hidroksida
Dosis 200 mg 3-4 kali sehari

5. Gastroduodenal Sitoprotektif atau Protektan


Sukralfat merupakan obat Carafate yaitu obat yang digunakan untuk terapi dan
untuk menghindari adanya ulkus pada duodenum. Obat ini akan menempel pada
jaringan yang mengalami ulkus dan melindungi dari asam lambung. Obat ini
diminum dua kali sehari selama 8 minggu untuk mengobati ulkus (MedlinePlus,
2019).
6. Tindakan Operasi
Jika pasien GERD tidak membaik setelah diberikan farmakoterapi, maka tindakan
operasi dapat dilakukan, atau jika sudah terjadi komplikasi dari GERD yaitu Barrett
esophagus maka pasien dapat dioperasi.

8. Bagaimana komplikasi dan prognosis GERD dan Dyspepsia?

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit refluks gastroesofageal
dibagi menjadi komplikasi esofageal, ekstraesofageal, dan komplikasi akibat
tindakan operasi yang dilakukan.
Komplikasi Esofageal
Komplikasi esofageal yang dapat terjadi akibat GERD adalah:
 Barrett esofagus

 Esofagitis erosif

 Striktur esofagus

 Kanker esofagus

Komplikasi Ekstraesofageal
GERD juga dapat menyebakan komplikasi ekstraesofageal berupa:
 Aspirasi asam lambung

26
 Asma
 Laringitis posterior
 Batuk kronis
 Erosi enamel gigi
 Sinusitis kronis
 Kanker laring
 Pneumonitis
 Faringitis kronis
 Stenosis laring dan trakea

Komplikasi Operasi
Operasi yang dilakukan pada pasien GERD juga dapat menyebabkan komplikasi
sebagai berikut:
 Fundoplikasi
 Disfagia
 Dilatasi esofagus

Komplikasi GERD cukup sering terjadi, terutama pada GERD kronis atau refrakter.
Komplikasi dapat terjadi secara ringan hingga berat.

Prognosis

Prognosis pada pasien dengan GERD cukup baik. Sebagain besar kasus GERD
dapat ditangani dengan modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis. Salah satu
uji klinis menunjukkan remisi 5 tahun pasien GERD sekitar 92% pada terapi PPI dan
85% pada terapi operasi. Namun demikian, terapi sering kali harus dilakukan secara
jangka panjang karena risiko untuk relaps sangat tinggi

Klasifikasi Los Angeles

Klasifikasi kerusakan mukosa esofagus berdasarkan kriteria Los Angeles

Derajat
Keterangan
esofagitis

Perubahan mukosa minimal, berupa


Derajat A kerusakan mukosa dengan luas <
5mm

Derajat B Perubahan/kerusakan mukosa


minimal satu buah dengan luas > 5

27
mm, tetapi tidak berhubungan antara
puncak lipatan yang satu dengan
yang lainnya

Terdapat hubungan antara satu


puncak kerusakan mukosa dengan
Derajat C
kerusakan mukosa lain, tetapi tidak
melingkari lumen

Derajat D Lesi sirkumferensial pada mukosa

Derajat A dan B  Prognosis baik

Derajat C dan D  Prognosis buruk

28
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1. SIMPULAN
Dari skenario dapat disimpulkan dari seorang pasien wanita berusia 48 tahun
dengan keluhan rasa panas terbakar di dada. Pasien juga memiliki gejala sebah,
kembung, dan bersendawa sejak 6 bulan lalu, serta merasa nyeri di bagian ulu hati dan
nafsu makan berkurang karena sakit jika menelan. Suara pasien juga serak dan sering
muntah-muntah. Pasien memiliki kebiasaan mengonsumsi obat pusing dan menyukai
minuman kopi, serta memiliki riwayat sakit asma.
Pada pemeriksaan PPI Test didapatkan bahwa pada saat prosedur PPI
berlangsung, gejala pasien berkurang. Tetapi setelah PPI test dihentikan, gejala pasien
kembali kambuh. Setelah dokter melakukan pemeriksaan endoskopi juga didapatkan
adanya mucosal break pada esophagus. Hal ini menandakan bahwa pasien positif terkena
GERD. GERD merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan reflux yang sampai
ke esophagus, sehingga menimbulkan gejala-gejala yang dialami pasien. Selain itu,
riwayat asma pasien dan kebiasaan pasien sering mengonsumsi obat pusing dan suka
minum kopi memperburuk keadaan pasien. Oleh karena itu, dokter memberikan edukasi
agar keluhan pasien tidak kambuh lagi dan tidak terjadi komplikasi yang lebih lanjut.

3.2. SARAN
Kegiatan tutorial di blok Penyakit Gastrointestinal, Hepatobilier, dan Pankreas
skenario 2 telah berjalan dengan baik. Pada pertemuan pertama kelompok 17 telah
membahas jump 1 sampai jump 5 dengan baik. Mungkin beberapa masih ada yang
belum aktif dalam memberikan pendapatnya dan juga masih ada beberapa pertanyaan
yang belum terjawab di pertemuan pertama. Tetapi di pertemuan kedua sampai ke jump
7 dapat terselesaikan dengan baik karena semua sudah terjawab dan learning objective
yang ditentukan telah tercapai. Tetapi masih ada jawaban dan pengetahuan yang masih
belum lengkap dan masih harus dipelajari lagi. Kegiatan tutorial kedepannya sebaiknya
masing-masing anggota kelompok telah mempersiapkan materi yang berhubungan
dengan topik pada skenario, sehingga semua anggota kelompok dapat berperan aktif
dalam kegiatan tutorial ini dan tidak ada anggota yang hanya diam memperhatikan. Dari
kegiatan tutorial diharapkan mahasiswa dapat berpikir kritis dalam menghadapi suatu

29
masalah, berpendapat dalam suatu forum diskusi, dan menemukan pemecahan
permasalahan melalui sumber-sumber yang telah teruji kebenarannya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Alotaibi H.S., Shivanandappa T.B. and Nagarethinam S., 2015, Contribution of community
pharmacists in educating the asthma patients, Saudi Pharmaceutical Journal, 24 (6), 685–
688. Tersedia di : http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-
s2.084932090881&partnerID=40&md5=e7e7e00dbb23bbed6a6d5beff13634ec.
Aleddini,Jamshid., 2014. Angina Pectoris [serial online]. Tersedia di:URL:http://emedicine.
medscape.com/article/150215-overview
American Family Physician. 2010. Dyspepsia: What It Is and What to Do About It. American
Family Physician. https://www.aafp.org/afp/2010/1215/p1459.html [diakses tanggal 24
April 2019]
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC

DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2005;100:190-200.

Heidelbaugh, J., Nostrant, T., Kim, C. and Harrison, R. (2019). Management of


Gastroesophageal Reflux Disease. [online] American Academy of Family Physicians.
Available at: https://www.aafp.org/afp/2003/1001/p1311.html [Diakses 25 April 2019].

Hirlan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI
Kahrilas, Peter J. 2019. Patient Education: Acid Reflux (Gastroesophageal Reflux Disease) in
Adults (Beyond the Basic). UpToDate. https://www.uptodate.com/contents/acid-reflux-
gastroesophageal-reflux-disease-in-adults-beyond-the-basics#H21 [diakses tanggal 24
April 2019]

Lundell LR, Dent J, Bennet JR. Endoscopy assessment of esophagitis : clinical and functional
correlation and further validation of the Los Angeles Classification. Gut. 1999;45:172-8.

MedlinePlus. 2019. GERD. MedlinePlus. https://medlineplus.gov/gerd.html [diakses tanggal


24 April 2019]

MedlinePlus. (2019). Sucralfate: MedlinePlus Drug Information. [online] Available at:


https://medlineplus.gov/druginfo/meds/a681049.html [Diakses 25 April 2019].

Medscape. (2019). Gastroesophageal Reflux Disease Medication: H2-Receptor Antagonists,


Proton Pump Inhibitors, Prokinetics, Antacids. [online] Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/176595-medication#3 [Diakses 25 April 2019].

Patti, Marco G. 2017. Gastroesophageal Reflux Disease. Medscape.


https://emedicine.medscape.com/article/176595-overview [diakses tanggal 24 April 2019]

31
Sethi, Saurabh. 2018. Spotting the Symptoms of GERD. Healthline.
https://www.healthline.com/health/gerd-symptoms [diakses tanggal 24 April 2019]

World Health Organization. (2019). Pharmaceuticals: Restrictions in Use and Availability:


Monocomponent products: Cisapride. [online] Available at:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Js2203e/2.12.html#Js2203e.2.12 [Diakses 25
April 2019].

32

Anda mungkin juga menyukai