Anda di halaman 1dari 10

NAMA : Nadila Melinda

KELAS : 4EB26
NPM : 24215924
MATA KULIAH : MANAJEMEN PERPAJAKAN

1.Pengertian subyek dan wajib pajak penghasilan


Jawab : Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengutip Undang-Undang Nomor
17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh), subjek pajak PPh terdiri dari tiga
yaitu orang pribadi, badan dan warisan. Subjek pajak tersebut juga digolongkan
menjadi dua yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Pengertian Wajib Pajak adalah Orang Pribadi dan Badan, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan(Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP, Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh dan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM serta peraturan pelaksanaannya).

2,Pengertian objek dan pengecualian objek pph


objek PPh merupakan setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak. Penghasilan tersebut diperoleh wajib pajak dari dalam maupun luar negeri,
seperti:

a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk
lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.
b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
c) Laba usaha.
d) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta seperti
keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
e) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
f) Royalti.
g) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
h) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
i) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
j) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
k) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
l) Premi asuransi.

Sedangkan yang tidak termasuk dalam Objek Pajak PPh adalah:

1. Bantuan atau sumbangan dan harta hibah.

2. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyetaraan modal.

3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan dengan pekerjaan atau jasa


yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
pajak dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang berikan oleh yang
bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau
wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit).

4. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan


dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, asuransi beasiswa.

5. Dividen atau bagian laba yang diperoleh/diterima oleh perseroan terbatas


sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal dari usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat sebagai
berikut:

o Dividen bagian dari cadangan laba yang ditahan.

o Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang mendapat dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah
modal yang disetor.
6. Iuran yang diterima atau diperoleh dari dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang bayar oleh pemberi
kerja atau pegawai.

7. Penghasilan yang ditanamkan oleh dana pensiun, pada bidang-bidang


tertentu yang telah ditetapkan oleh menteri keuangan.

8. Bagian laba yang diterima dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, perkumpulan, persekutuan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyetaraan kontrak investasi kolektif.

3.Pengurangan yang di perbolehkan dan tidak diperbolehkan

Pengurangan yang Diperbolehkan

A. Biaya Jabatan, Biaya Pensiun, dan Iuran Pensiun/Jaminan Hari Tua Bagi
Pegawai Tetap

Pengurang yang diperbolehkan untuk penghasilan bruto pegawai tetap terdiri dari
biaya jabatan dan iuran pensiun/Jaminan Hari Tua. Sementara itu, untuk penerima
pensiun, pengurang yang diperbolehkan hanya terdiri dari biaya pensiun. Berikut
ini adalah uraian lebih detilnya untuk tahun pajak mulai 2009.

1. Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara


penghasilan sebesar 5% dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum
yang diperkenankan sejumlah Rp 6.000.000,00 setahun atau Rp
500.000,00 sebulan (PerMenkeu No. 250/PMK.03/2008).
2. Iuran pensiun, yaitu iuran yang terkait dengan gaji yang dibayarkan oleh
pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan
3. Iuran Jaminan Hari Tua, yaitu iuran yang terkait dengan gaji yang
dibayarkan oleh pegawai kepada badan penyelenggara Tabungan Hari Tua
atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
4. Biaya pensiun, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
uang pensiun sebesar 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun
dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 2.400.000,00
setahun atau Rp 200.000,00 sebulan (PerMenkeu No. 250/PMK.03/2008).

B. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Pegawai Tetap, Pegawai


Tidak Tetap, dan Bukan Pegawai

1. Besaran PTKP
Sesuai dengan Pasal 6 ayat 3 UU PPh 2008, kepada orang pribadi sebagai
Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa PTKP, yang
besarnya menurut Peraturan Dirjen Pajak No. Per-15/PJ./2006 yang berlaku
mulai tahun 2006 s.d. 2008 beserta perbandingannya sesuai dengan Pasal 7
UU PPh 2008 terlihat pada Tabel I.4 dan Tabel I.5. Untuk penghitungan PPh
Pasal 21, besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai dihitung
berdasar penghasilan netonya juga dikurangi dengan PTKP dengan jumlah
seperti pada Tabel I.4.

5. Tabel I.4 Perbandingan PTKP

tahun 2009 - 2012 mulai tahun 2013


Uraian
Setahun (Rp) Sebulan (Rp) Setahun (Rp) Sebulan (Rp)
Wajib Pajak 15.840.000 1.320.000 24.300.000 2.025.000
Wajib Pajak kawin 1.320.000 120.000 2.025.000 168.750
Tanggungan (maks 3 orang) 1.320.000 120.000 2.025.000 168.750

6. Sumber: Pasal 7 ayat (1) UU PPh 2008 dan PerMenkeu No.


162/PMK.011/2012
7. Tabel I.5 Penerapan Perbandingan PTKP Berdasarkan Status
Perkawinan

Status PTKP mulai PTKP (2009-


Penjelasan Status Perkawinan
Perkawinan 2013 2012)
TK/0 atau Tidak Kawin / Hidup Berpisah
24.300.000 15.840.000
HB/0 tanpa tanggungan
TK/1 atau Tidak Kawin / Hidup Berpisah
26.325.000 17.160.000
HB/1 dengan 1 tanggungan
TK/2 atau Tidak Kawin / Hidup Berpisah
28.350.000 18.480.000
HB/2 dengan 2 tanggungan
TK/3 atau Tidak Kawin / Hidup Berpisah
30.375.000 19.800.000
HB/3 dengan 3 tanggungan
K/0 Kawin tanpa tanggungan 26.325.000 17.160.000
K/1 Kawin dengan 1 tanggungan 28.350.000 18.480.000
K/2 Kawin dengan 2 tanggungan 30.375.000 19.800.000
K/3 Kawin dengan 3 tanggungan 32.400.000 21.120.000

C. Pengurang bagi Pegawai Harian dan Mingguan, serta Pegawai Tidak


Tetap Lainnya

Pengurang bagi pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya
sebelumnya diatur menurut PerMenkeu No. 254/PMK.03/2008 (lihat penjelasan
sebelumnya Tabel I.3). Ketentuan ini berakhir pada tanggal 31 Desember 2012
seiring dengan pemberlakuan PTKP baru mulai 1 Januari 2013. Ketentuan
penggantinya adalah PerMenkeu No. 206/PMK.011/2012, yang di antaranya
mengatur sbb.:

1. Penghasilan bruto sampai dengan Rp 200.000,00 sehari, yang diterima


atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) UU PPh 2008,
tidak dikenakan pemotongan PPh.
2. Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal
a. jumlah penghasilan bruto dimaksud melebihi Rp. 2.025.000,00
sebulan atau
b. penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.

B. Biaya-Biaya Yang Tidak Diperbolehkan Mengurangi Penghasilan

Untuk menentukan, besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri, Pasal 9 UU PPh mengatur tentang biaya-biaya yang tidak
boleh dikurangkan dari pengahasilan bruto (Non Deductible Expense), yaitu:
a. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutàng -
2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Smpanan;
4) cadangan biaya rekiamasi untuk usaha pertambangan;
5) cadangan biaya penanaman kembali imtuk usaha kehutanan; dan
6) cadangan biaya penutupan dan pemeiharaan tempat
pembuangan llmbah industri untuk usaha pengolahan Iimbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
MenteriKeuangan
b. Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa yang dibayar
oeh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi
tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan. Penggantian atau imbalan yang sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura atau kenikmatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan.
D. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saharn
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
e. Harta yang dihibahkan, bantuan, sumbangan, dan warisan, jika memenuhi
ketentuan bahwa bagi yang menerimanya bukan objek pajak sesuai Pasat 4 Ayat
(3) huruf a :an b UU PPh, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf I, huruf j, huruf k, huruf I, dan huruf m serta zakat yang diterima
oleh badan amil acat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemenntah atau .mbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan.
f. Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan
g. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya
h. sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan, serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan
i. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mernpunyai masa manfaat Iebih dan I (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.rh

4.Perhitungan pph dengan tariff umum dan tariff dengan norma perhitungan pph
Perhitungan PPh dengan tarif umum
Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negri adalah sebagai berikut :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%

di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- 15%

di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,- 25%


Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

di atas Rp 500.000.000,- 30%

b. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebesar
25%
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimakusd pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan
menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur denfan
peraturan pemerintah.
(3) Tarif sebagaimana dimakusd pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh
lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah
penuh.

Norma Perhitungan PPh


Pasal 14
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan
neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-
menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan
dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang
lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau
data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta
rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
tersebut, Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Ayat (3)
Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam
menghitung penghasilan neto.

Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada
Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan.

Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan
pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau
pembukuan; atau
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-
bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga
mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya
tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan
dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan
ekonomi dan kemampuan
masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.

Formula umum untuk mencari penghasilan neto itu : penghasilan kotor – biaya
= penghasilan neto

Formula Norma Penghitungan untuk mencari penghasilan neto adalah :


Penghasilan kotor x Norma = penghasilan Neto

Untuk mencari PPh terutang untuk WP OP, penghasilan neto masih dikurangi lagi
dengan PTKP. Sehingga formula lengkap untuk mencari PPh terutang adalah :
((Penghasilan kotor x Norma) – PTKP) x Tarif = PPh Terutang

Besarnya Norma penghitungan Penghasilan Neto


Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai
berikut :
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang,
Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
b. ibukota propinsi lainnya;
c. daerah lainnya.

Menghitung pajak pakai norma :


1. Dasar aturan UU 36 tahun 2008 pasal 14
2. Norma hanya dipakai oleh WP OP saja yang punya pekerjaan bebas
3. Peredaran bruto setahun < Rp. 4.800.000.000 milyar setahun
4. Syarat pemberitahuan ke KPP jangka waktu 3 bulan pertama
5. Rumus norma :
Peredaran burto setahun
(x)Tarif Norma
Penghasilan neto setahun
(-)PTKP setahun
PKP setahun
Pph terutang setahun

Anda mungkin juga menyukai