Anda di halaman 1dari 46

II.

TINJAUAN PUSTAKA

GOUT
A. Definisi

Gout adalah penyakit yang disebabkan penimbunan kristal


monosodium urat monohidrat di jaringan akibat adanya supersaturasi asam
urat. Gout ditandai dengan peningkatan kadar urat dalam serum, serangan
artritis gout akut, terbentuknya tofus, nefropati gout dan batu asam urat.
Masalah akan timbul jika terbentuk kristal – kristal monosodium urat
monohidrat pada sendi – sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal – kristal
berbentuk seperti jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan yang jika
berlanjut akan menimbulkan nyeri hebat yang sering menyertai serangan
gout.
Tofus adalah nodul berbentuk padat yang terdiri dari deposit kristal
asam urat yang keras, tidak nyeri dan terdapat pada sendi atau jaringan. Tofus
merupakan komplikasi kronis dari hiperurisemia akibat kemampuan
eliminasi urat tidak secepat produksinya. Tofus dapat muncul di banyak
tempat, diantaranya kartilago, membrana sinovial, tendon, jaringan lunak dan
lain-lain.
B. Epidemiologi
Di Indonesia, arthritis gout terjadi pada usia yang lebih muda, sekitar
32% pada pria berusia kurang dari 34 tahun. Pada wanita, kadar asam urat
umumnya rendah dan meningkat setelah usia menopause. Prevalensi
arthritis gout di Bandungan, Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok usia
15-45 tahun sebesar 0,8%; meliputi pria 1,7% dan wanita 0,05%. Di
Minahasa (2003), proporsi kejadian arthritis gout sebesar 29,2% dan pada
etnik tertentu di Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata telah
menderita gout 6,5 tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih parah.
C. Etiologi
Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan dengan
hiperurisemia primer dan sekunder. Hiperurisemia dan gout primer adalah
hiperurisemia dan gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain.
Hiperurisemia primer terdiri dari kelainan molekuler yang masih belum jelas

6
dan hiperurisemia karena adanya kelainan enzim spesifik. Hiperurisemia
kelainan molekular yang belum jelas terbanyak didapatkan yaitu 99% terdiri
dari hiperurisemia karena underexcretion (80 – 90%) dan overproduction (10-
20%). Underexcretion kemungkinan disebabkan karena faktor genetik dan
menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat dan menyebabkan gangguan
pengeluaran asam urat sehingga menyebabkan hiperurisemia. Hiperurisemia
primer karena kelainan enzim spesifik diperkirakan hanya 1%, yaitu karena
peningkatan aktivitas dari enzim phoribosylpyro-hosphatase (PRPP)
synthetae.
Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia atau gout yang
disebabkan oleh penyakit lain atau penyebab lain, seperti penyakit glycogen
storage disease tipe I, menyebabkan hiperurisemia yang bersifat automal
resesif, glycogen storage disease tipe III, V, VI akan terjadi hiperurisemia
miogenik. Hiperurisemia sekunder tipe overproduction disebabkan penyakit
akut yang berat seperti pada infark miokard, status epileptikus.
Faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan gout:
1. Diet tinggi purin
Diet tinggi purin dapat memicu terjadinya serangan gout pada orang yang
mempunyai kelainan bawaan dalam metabolisme purin sehingga terjadi
peningkatan produksi asam urat.
2. Minuman beralkohol
Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari
metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam
urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum.
3. Obat-obatan
Sejumlah obat-obatan dapat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal.
Yang termasuk diantaranya adalah aspirin dosis rendah(<1-2/hari),
sebagian besar diuretik, levopoda, diazoksid, asam nikotinat,
asetazolamid, dan etambutol.
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Herediter

7
D. Klasifikasi
1. Gout primer
Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat
tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Pada
kelompok ini 99 % penyebabnya belum diketahui (idiopatik). Tetapi
umumnya berkaitan dengan faktor genetik atau hormonal. Gout Primer,
memiliki pewarisan yang multifaktorial dan berkaitan dengan produksi
berlebih asam urat dengan ekskresi asam urat yang normal atau meningkat
atau produksi asam urat yang normal dengan ekskresi yang kurang;
penggunaan alkohol dan obesitas merupakan faktor predisposisi. Kasus
primer dengan persentase yang kecil berkaitan dengan defek enzim
tertentu (misalnya defisiensi parsial enzim HGPRT (hypoxanthine-
guanine phosphoribosyltransferase) yang berkaitan dengan kromosom X.
2. Gout sekunder
Gout Sekunder (10% dari semua hasus): Sebagian besar berkaitan
dengan peningkatan pergantian asam nukleat yang terjadi pada hemolisis
kronik, polisitemia, leukemia dan limfoma. Yang lebih jarang ditemukan
adalah pemakaian obat-obatan (khususnya diuretik, aspirin, asam
nikotinat dan etanol) atau gagal ginjal kronik yang menimbulkan
hiperurisemia simtomatik. Intoksikasi timbal (timah hitam) dapat
menyebabkan penyakit saturnine gout. Kadang-kadang defek enzim
tertentu yang menyebabkan penyakit von Gierke (penyakit simpanan
glikogenlglycogen storage disease tipe I) dan sindrom Lesch-Nyhan
(dengan defisiensi total HGPRT yang hanya terlihat pada laki-laki serta
disertai defisit neurologis) menimbulkan keluhan dan gejala penyakit
gout.
E. Patofisiologi
Peningkatan kadar asam urat serum dapat disebabkan oleh
pembentukan berlebihan atau penurunan eksresi asam urat, ataupun
keduanya. Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin. Secara normal,
metabolisme purin menjadi asam urat dapat diterangkan sebagai berikut:

8
1. Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat melalui
prekursor nonpurin. Substrat awalnya adalah ribosa-5-fosfat, yang
diubah melalui serangkaian zat antara menjadi nukleotida purin (asam
inosinat, asam guanilat, asam adenilat). Jalur ini dikendalikan oleh
serangkaian mekanisme yang kompleks, dan terdapat beberapa enzim
yang mempercepat reaksi yaitu: 5-fosforibosilpirofosfat (PRPP) sintetase
dan amidofosforibosiltransferase (amido-PRT). Terdapat suatu
mekanisme inhibisi umpan balik oleh nukleotida purin yang terbentuk,
yang fungsinya untuk mencegah pembentukan yang berlebihan.
2. Jalur penghematan adalah jalur pembentukan nukleotida purin melalui
basa purin bebasnya, pemecahan asam nukleat, atau asupan makanan.
Jalur ini tidak melalui zat-zat perantara seperti pada jalur de novo. Basa
purin bebas (adenin, guanin, hipoxantin) berkondensasi dengan PRPP
untuk membentuk prekursor nukleotida purin dari asam urat. Reaksi ini
dikatalisis oleh dua enzim: hipoxantin guanin fosforibosiltransferase
(HGPRT) dan adenin fosforibosiltransferase (APRT).
Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan kadar
asam urat dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang kelarutannya
sangat rendah sehingga cenderung membentuk kristal. Penimbunan asam urat
paling banyak terdapat di sendi dalam bentuk kristal monosodium urat.
Mekanismenya hingga saat ini masih belum diketahui dengan jelas.

9
Gambar 2.1 Patofisiologi gout

Adanya kristal monosodium urat ini akan menyebabkan inflamasi


melalui beberapa cara:
1. Kristal bersifat mengaktifkan sistem komplemen terutama C3a dan C5a.
Komplemen ini bersifat kemotaktik dan akan merekrut neutrofil ke
jaringan (sendi dan membran sinovium). Fositosis terhadap kristal memicu
pengeluaran radikal bebas toksik dan leukotrien, terutama leukotrien B.
Kematian neutrofil menyebabkan keluarnya enzim lisosom yang
destruktif.
2. Makrofag yang juga terekrut pada pengendapan kristal urat dalam sendi
akan melakukan aktivitas fagositosis, dan juga mengeluarkan berbagai
mediator proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF. Mediator-
mediator ini akan memperkuat respons peradangan, di samping itu
mengaktifkan sel sinovium dan sel tulang rawan untuk menghasilkan
protease. Protease ini akan menyebabkan cedera jaringan.

Penimbunan kristal urat dan serangan yang berulang akan menyebabkan


terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut tofi/tofus (tophus) di
tulang rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut endapan akan memicu reaksi
peradangan granulomatosa, yang ditandai dengan massa urat amorf (kristal)

10
dikelilingi oleh makrofag, limfosit, fibroblas, dan sel raksasa benda asing.
Peradangan kronis yang persisten dapat menyebabkan fibrosis sinovium, erosi
tulang rawan, dan dapat diikuti oleh fusi sendi (ankilosis). Tofus dapat
terbentuk di tempat lain (misalnya tendon, bursa, jaringan lunak). Pengendapan
kristal asam urat dalam tubulus ginjal dapat mengakibatkan penyumbatan dan
nefropati gout.
F. Diagnosis

Ketika pasien datang yang kita lakukan pertama kali adalah menentukan
apa benar pasien menderita gagal ginjal menyingkirkan diagnosis banding
lainnya. Kemudian, tentukan juga apakah gagal ginjal tersebut akut atau pun
kronik. Penyakit ginjal akut bersifat reversibel, jadi gejala yang ditimbulkan
tidaklah terlalu berarti. (Guyton, 2004). Berbeda dengan penyakit ginjal kronik
yang kronis dan irreversibel, menimbulkan manifestasi gejala pada seluruh
tubuh, baik keseimbangan cairan tubuh maupun gangguan fungsi organ.
Gangguan elektrolit biasanya terjadi apabila jumlah nefron telah berkurang
lebih dari 60-70% (Ingram, 2005).
Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (Ingram, 2005)
Stadium GFR(ml/menit/1,7 Gangguan metabolik
3 m2)
1 >90 Asimptomatik, kadar kreatinin mulai
meningkat
2 60-89 PTH mulai meningkat, kadar urea dan
kreatinin serum telah meningkat
3 30-59 Aborpsi kalsium menurun, malnutrisi,
hipernatremia, hipertensi, LVH, anemia,
mual, muntah
4 15-29 Hiperfosfatemia, asidosis metabolik,
peningkatan trigliserida, hiperkalemia,
pruritus
5 <15 atau Uremia atau azotemia
memerlukan
dialisis

Pemeriksaan dilakukan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium baru melakukan pemeriksaan radiologik.
Pemeriksaan dilakukan secara bertahap untuk menyingkirkan diagnosis
banding lain dan untuk mengidentifikasi penyebab penyakit. Pada anamnesis,

11
tanyakan gejala utama dan gejala tambahan, anamnesis periodisitas dan
kronisitas gejala. Kemudian, analisis gejalanya secara lebih mendalam.
Tanyakan juga keadaan yang mungkin menjadi faktor resiko hipotesis awal,
riwayat keluarga dan riwayat pemakaian obat-obatan (NICE, 2008)
Gejala gangguan ginjal belum begitu tampak pada penderita gagal
ginjal akut, apalagi pada pasien stadium awal, penderita hanya akan
mengeluhkan oliguria. Keluhan penderita gagal ginjal akut biasanya lebih
terorientasi pada penyakit penyebab gagal ginjal akut. Penderita gagal ginjal
akut akibat gangguan prerenal akan mengeluhkan keadaanya yang sesak karena
hipertensi, rasa haus (dehidrasi) karena diare atau sepsis. Penderita gagal ginjal
akut akibat gangguan renal akan mengeluhkan sesuai gejala dari kerusakan
ginjal. Penderita gagal ginjal akut akibat gangguan postrenal akan
mengeluhkan nyeri kolik akibat batunya ataupun Lower Urinary Tract
Syndrome akibat BPH. Akan tetapi, bila penderita gagal ginjal akut sudah
menuju ke tahap L/E dari RIFLE, gejala seperti lemah, lesu, anoreksia, mual,
muntah, gatal-gatal, rentan terhadap pendarahan bahkan bisa terjadi kejang-
kejang (Amend, 2008).
Pasien gagal ginjal kronik yang masih berada dalam stadium 1 dan 2
biasanya masih asimptomatik. Stadium 3 dan 4 terjadi poliuria, nokturia, badan
lemah, nafsu makan berkurang dan penurunan BB. Stadium 4/5 telah terjadi
gejala sistemik uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
mual, muntah, pruritus, osteomalasia, rentan infeksi, gangguan keseimbangan
air dan gejala terus memburuk sampai indikasi transplantasi ginjal. Penderita
gagal ginjal kronik dengan komplikasi, akan mengehipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, klorida) (Haidary, 1998).
Gejala yang dialami penderita gagal ginjal akut dan kondisi akut pada
gagal ginjal kronik biasanya sama. Bedanya, pada kondisi akut gagal ginjal
kronik, penderita akan mengeluhkan sesak nafas yang lebih berat dibanding
penderita gagal ginjal akut. Hal ini akibat komplikasi gagal ginjal kronik pada
kardiovaskular yang progresif. Selain itu, penderita gagal ginjal akut selalu
mengeluhkan oliguria atau anuria, sedangkan urinari penderita gagal ginjal

12
kronik tahap awal masih normal atau bahkan mengalami poliuria akibat
kompensasi nefron (Sherwood, 2001).
eksplorasi faktor risiko untuk menentukan penyebab. Faktor risiko
penderita Acute Kidney Injury terbanyak adalah akibat dehidrasi, hipertensi,
gagal jantung, nekrosis tubular akut dan hanya sedikit yang disebabkan
obstruksi saluran kemih. 50% dari gagal ginjal kronik disebabkan oleh diabetes
mellitus, 27% disebabkan hipertensi, 13% disebabkan glomerulonefritis dan
penyebab lain hanya berkisar 10%. Perlu ditanyakan obat-obat yang digunakan
sebelumnya seperti diuretik, NSAIDS, ACE-inhibitor, atau ARB untuk
mengidentifikasi obat-obatan yang nefrotoksik. Selain itu, riwayat keluarga
penderita gagal ginjal menjadi suatu faktor resiko penting timbulnya hal yang
sama pada keturunannya (Yacoop, 2001).
Pemeriksaan fisik dianjurkan dilakukan pada ginjal, jantung, paru dan
abdomen untuk menyingkirkan asumsi penyakit lain dan untuk menentukan
apakah terdapat komplikasi pada organ tersebut. Pemeriksaan fisik meliputi
pemeriksaan tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi (Campbell,
2002)
Pada pemeriksaan fisik prerenal gagal ginjal akut ditemukan hipertensi,
penurunan tekanan vena jugularis, berkurangnya turgor kulit, dan membran
mukosa yang kering. Untuk gangguan sirkulasi yang menyebabkan prerenal
ARF, dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik penyakit hati kronik, gagal
jantung lanjut, sepsis, dan sebagainya(tergantung etiologi). Apabila pada kulit
didapati petekie, purpura, ecchymosis menandakan kemungkinan gagal ginjal
akut yang berhubungan dengan pembuluh darah. Ditemukannya uveitis
mengindikasikan adanya nefritis interstitial dan necrotizing vasculitis. Ocular
palsy menandakan keracunan etilen glikol atau necrotizing vasculitis (Kuypers,
2009).
Umumnya pemeriksaan fisik pada gagal ginjal kronik tidak begitu
membantu namun dapat mengetahui etiologi atau komplikasi yang telah
terjadi. Hal ini disebabkan karena pada stadium awal, penderita gagal ginjal
kronik masih belum menunjukkan kelainan apapun. Tetapi, bila sudah
menimbulkan komplikasi, gejala akan sangat parah. Pada inspeksi penderita

13
gagal ginjal kronik akan tampak pucat. Penderita gagal ginjal akut, kecuali
gagal ginjal akut yang disebabkan anemia, tidak akan terlihat
pucat.Pemeriksaan Pada palpasi dan perkusi ginjal akan dirasakan ginjal yang
semakin mengecil. Pemeriksaan palpasi dan perkusi jantung akan
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri. Dan identifikasi murmur saat
auskultasi. Pemeriksaan perkusi paru-paru juga sering menimbulkan bunyi
redup yang menunjukkan terdapatnya edema paru (Yacoop, 2001).
Setelah pemeriksaan fisik, lanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah
pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan BUN, pemeriksaan kreatinin,
pemeriksaan elektrolit dan urinalisis (protein, sedimen urin dan kultur urin bila
terdapat tanda infeksi). Untuk konfirmasi gagal ginjal termasuk gagal ginjal
akut atau gagal ginjal kronik, lakukan pemeriksaan USG. Untuk pasien yang
dicurigai penderita gagal ginjal kronik, wajib dilakukan pemeriksaan
radiologik jantung berupa foto toraks maupun EKG. Selain itu, pemeriksaan
penunjang harus dilakukan juga sesuai dengan penyakit penyerta. Misalnya,
lakukan pemeriksaan KGD atau reduksi urin pada penderita DM, faal hati
(SGOT, SGPT) pada pasien dengan gangguan hati, foto polos dan IVP pada
penderita dengan gangguan ginjal atau obstruksi saluran kemih
(pertimbangkan juga kadar ureum dan kreatinin sebelum melakukan IVP)
(Andreoli, 2001).
Pemeriksaan Hb bisa menjadi suatu patokan awal untuk membedakan
gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Hb (normal= 12-16 g/dL) yang
menurun (anemia normokrom normositik) dijumpai pada penderita gagal
ginjal kronik. Selain itu, pada penderita gagal ginjal kronik sering juga
ditemukan disfungsi platelet dan trombositopenia akibat uremia. Pemeriksaan
leukosit untuk menentukan ada tidaknya terjadi komplikasi infeksi saluran
kemih atau sepsis. Pada pasien gagal ginjal stadium akhir biasanya
menunjukkan keadaan leukopenia (Lingappa, 2003).
Peningkatan BUN (ureum normal=20-40 mg%) dan kreatinin
merupakan pertanda khas untuk gagal ginjal, baik gagal ginjal akut maupun
gagal ginjal kronik. Bedanya, penderita gagal ginjal akut menunjukkan

14
penurunan ureum secara tiba-tiba, sedangkan penderita gagal ginjal kronik
menunjukkan peningkatan ureum yang perlahan. False postive terjadi pada
pasien dengan intake protein yang tinggi. BUN juga mungkin meningkat pada
pasien dengan perdarahan pada mukosa dan saluran pencernaan, dan
pengobatan steroid. Kadar kreatinin darah diperiksa untuk menentukan
stadium penyakit melalui perhitungan GFR dengan rumus: GFR
(ml/menit/1,73m2)= 186 x (Kreatinin serum)-1,154 x (Umur)-0,203 x (0,742
pada wanita) x (1,21 pada orang kulit hitam) (Agraharkar, 2010).
Pemeriksaan protein urin pada penderita gagal ginjal akut biasanya +2
dan + pada penderita gagal ginjal kronik. Pemeriksaan sedimen urin penderia
gagal ginjal akut bila terdapat hemautir menunjukkan eritrosit yang banyak dan
silinder eritrosit. Penderita gagal ginjal kronik menunjukkan eritrosit yang
sedikit, leukosit pada urin, waxy xast, broad renal dan failure cast (Haidary,
1998).
USG merupakan diagnosis pasti untuk membedakan gagal ginjal akut
maupun gagal ginjal kronik. Gejala akut gagal ginjal akut hampir sama dengan
gejala akut pada gagal ginjal kronik. Penting untuk membedakan kedua hal ini
sebab akan sedikit berbeda dalam prosedur diagnosis, penatalaksanaan dan
prognosisnya. Yang dinilai pada USG adalah ukuran ginjal. Pada pasien gagal
ginjal kronik, ukuran ginjalnya telah atropi sebab pengurangan nefron yang
irreversibel dan digantikan oleh jaringan ikat (fibrosis dan sklerosis). Berbeda
dengan gagal ginjal akut yang reversibel, ukuran ginjal masih tampak normal
(Yacoop, 2001).
Karena komplikasi utama gagal ginjal kronik adalah gangguan gagal
ginjal kronik, pada penderita gagal ginjal kronik harus dilakukan penilaian
fungsi jantung. Biasanya pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah foto
toraks dan EKG. Biasanya, hasil pemeriksaan akan mengarah pada pembesaran
ventrikel kiri akibat hipertensi dan anemia dan bisa juga menunjukkan
gambaran gagal jantung (Campbell, 2002).

15
G. Penatalaksanaan
1. Non farmakologi
Bagi yang telah menderita gangguan asam urat, sebaiknya membatasi
diri terhadap hal-hal yang bisa memperburuk keadaan. Misalnya,
membatasi makanan tinggi purin dan memilih yang rendah purin.
 Golongan A.
Makanan mengandung purin tinggi (150-800mg/100gr makanan).
Contoh : jeroan, udang, remis, kerang, ekstrak daging (abon /
dendeng), sardin, ragi, alkohol.
 Golongan B
Makanan mengandung purin sedang (50-150mg/100gr makanan).
Contoh : kacang-kacangan kering, bayam, kembang kol, asparagus,
buncis, jamur, singkong, pepaya, kangkung.
 Golongan C
Makanan mengandung purin rendah (0-50mg/100gr makanan).
Contoh : keju, susu, telur, sayuran lain, buah-buahan.
2. Farmakologi
Gout tidak dapat disembuhkan, namun dapat diobati dan dikontrol.
Gejala-gejala dalam 24 jam biasanya akan hilang setelah mulai
pengobatan. Gout secara umum diobati dengan obat anti inflamasi. Yang
termasuk di dalamnya adalah:
1. Serangan akut
Istirahat dan terapi cepat dengan pemberian NSAID, misalnya
indometasin 200 mg/hari atau diklofenak 150 mg/hari, merupakan
terapi lini pertama dalam menangani serangan akut gout
a. NSAID
Azapropazon merupakan salah satu obat ynag baik untuk mengatasi
serangan akut. NSAID ini menurunkan kadar urat serum,
mekanisme pastinya belum diketahui dengan jelas. Komite
Keamana Obat (CSM) membatasi penggunaan azapropazon untuk
gout akut saja jika NSAID sudah dicoba tapi tidak berhasil.
Penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat

16
ulkus peptik, padaganggunan fungsi ginjal menengah sampai berat
dan pada pasien lanjut usia dengan gangguan fungsi ginjal ringan.
NSAID lain yang umum digunakan untuk mengatasi episode gout
akut adalah: 15,16
• Naproxen – awal 750 mg, kemudian 250 mg 3 kali/hari
• Piroxicam – awal 40 mg, kemudian 10‐ 20 mg/hari
• Diclofenac – awal 100 mg, kemudian 50 mg 3 kali/hari
selama 48 jam, kemudian 50 mg dua kali/hari selama 8 hari.
b. Indometasin
 Pemberian oral
Dosis initial 50 mg dan diulang setiap 6-8 jam tergantung
beratnya serangan akut. Dosis dikurangi 25 mg tiap 8 jam
sesudah serangan akut menghilang. Efek samping yang paling
sering adalah gastric intolerance dan eksaserbasi ulkus
peptikum.
 Pemakaian melalui rektal
Indometasin diabsorpsi baik melalui rektum. Tablet supositoria
mengandung 100 mg indometasin. Cara ini dapat dipakai pada
serangan gout akut yang sedang maupun yang berat, biasanya
pada penderita yang tidak dapat diberikan secara oral.
c. COX-2 inhibitor
Etoricoxib merupakan satu‐satunya COX‐2 inhibitor yang
dilisensikan untuk mengatasi serangan akut gout. Obat ini efektif
tapi cukup mahal, dan bermanfaat terutama untuk pasien yang tidak
tahan terhadap efek gastrointestinal NSAID non‐selektif. COX‐2
inhibitor mempunyai resiko efek samping gastrointestinal bagian
atas yang lebih rendah disbanding NSAID non‐selektif.
Banyak laporan mengenai keamanan kardiovaskular obat
golongan ini, terutama setelah penarikan rofecoxib dari peredaran.
Review dari Eropa dan CSM mengenai keamanan COX‐2 inhibitor
mengkonfirmasi bahwa obat golongan ini memang meningkatkan
resiko thrombosis misalnya infark miokard dan stroke) lebih tinggi

17
dibanding NSAID non‐selektif dan plasebo. CSM menganjurkan
untuk tidak meresepkan COX‐2 inhibitor untuk pasien dengan
penyakit iskemik, serebrovaskuler atau gagal jantung menengah
dan berat. Untuk semua pasien, resiko gastrointestinal dan
kardiovaskuler harus dipertimbangkan sebelum meresepkan
golongan obat COX‐2 inhibitor ini. CSM juga menyatakan bahwa
ada keterkaitan antara etoricoxib dengan efek pada tekanan darah
yang lebih sering terjadi dan lebih parah dibanding COX‐2 inhibitor
lain dan NSAID non‐selektif, terutama pada dosis tinggi. Oleh
karena itu, etoricoxib sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang
hipertensinya belum terkontrol dan jika pasien yang mendapat
etoricoxib maka tekanan darah harus terus dimonitor.
d. Colchicine
Sering juga digunakan untuk mengobati peradangan pada
penyakit gout. Obat ini memberi hasil cukup baik bila
pemberiannya pada permulaan serangan. Sebaliknya kurang
memuaskan bila diberikan sesudah beberapa hari serangan pertama.
Cara pemberian colchicines: 15,16
1. Intravena
Cara ini diberikan untuk menghindari gangguan GTT. Dosis
yang diberikan tunggal 3 mg, dosis kumulatif tidak boleh
melebihi 4 mg dalam 24 jam.
2. Pemberian oral
3. Dosis yang biasa diberikan sebagai dosis initial adalah 1 mg
kemudian diikuti dengan dosis 0.5 mg setiap 2 jam sampai
timbul gejala intioksikasi berupa diare. Jumlah dosis colchicine
total biasanya antara 4-8 mg.
e. Kortikosteroid
Dapat diberikan pada orang yang tidak dapat menggunakan
NSAIDs. Steroid bekerja sebagai anti peradangan. Steroid dapat
diberikan dengan suntikan langsung pada sendi yang terkena atau

18
diminum dalam bentuk tablet. Obat ini digunakan bila terdapat
kontraindikasi bagi pemberian colchicine dan indometasin
2. Gout kronik
a. Allupurinol
Obat hipourisemik pilihan untuk gout kronik adalah
allopurinol. Selain mengontrol gejala, obat ini juga melindungi
fungsi ginjal. Allopurinol menurunkan produksi asam urat dengan
cara menghambat enzim xantin oksidase. Allopurinol tidak aktif
tetapi 60‐70% obat ini mengalami konversi di hati menjadi
metabolit aktif oksipurinol. Waktu paruh allopurinol berkisar antara
2 jam dan oksipurinol 12‐30 jam pada pasien dengan fungsi ginjal
normal. Oksipurinol diekskresikan melalui ginjal bersama dengan
allopurinol dan ribosida allopurinol, metabolit utama ke dua.
Pada pasien dengan fungsi ginjal normal dosis awal
allopurinol tidak boleh melebihi 300 mg/24 jam. Pada praktisnya,
kebanyakan pasien mulai dengan dosis 100 mg/hari dan dosis
dititrasi sesuai kebutuhan. Dosis pemeliharaan umumnya 100‐=600
mg/hari dan dosis 300 mg/hari menurunkan urat serum menjadi
normal pada 85% pasien. Respon terhadap allopurinol dapat dilihat
sebagai penurunan kadar urat dalam serum pada 2 hari setelah terapi
dimulai dan maksimum setelah 7‐10 hari. Kadar urat dalam serum
harus dicek setelah 2‐3 minggu penggunaan allopurinol untuk
meyakinkan turunnya kadar urat. Allopurinol dapat
memperpanjang durasi serangan akut atau mengakibatkan serangan
lain sehingga allopurinol hanya diberikan jika serangan akut telah
mereda terlebih dahulu. Resiko induksi serangan akut dapat
dikurangi dengan pemberian bersama NSAID atau kolkisin (1,5
mg/hari) untuk 3 bulan pertama sebagai terapi kronik.
b. Urikosurik
Kebanyakan pasien dengan hiperurisemia yang sedikit
mengekskresikan asam urat dapat diterapi dengan obat urikosurik.
Urikosurik seperti probenesid (500 mg‐1g 2kali/hari) dan

19
sulfinpirazon (100 mg 3‐4 kali/hari) merupakan alternative
allopurinol, terutama untuk pasien yang tidak tahan terhadapa
allopurinol. Urikosurik harus dihindari pada pasien dengan
nefropati urat dan yang memproduksi asam urat berlebihan. Obat
ini tidak efektif pada pasien dengan fungsi ginjal yang buruk
(klirens kreatinin <20‐30 mL/menit). Sekitar 5% pasien yang
menggunakan probenesid jangka lama mengalami munal, nyeri ulu
hati, kembung atau konstipasi. Ruam pruritis ringan, demam dan
gangguan ginjal juga dapat terjadi Salah satu kekurangan obat ini
adalah ketidakefektifannya yang disebabkan karena ketidakpatuhan
pasien dalam mengkonsumsi obat, penggunaan salisilat dosis
rendah secara bersamaan atau insufisiensi ginjal.
c. Probenesid
Berfungsi untuk mencegah dan mengurangi kerusakan sendi
serta pembentukan tofi pada penyakit pirai, dan tidak efektif untuk
serangan akut. Probenesid juga berguna untuk pengobatan
hiperurisemia sekunder. Probenesid tidak berguna bila laju filtrasi
glomerulus <30 ml/menit.
Salisilat mengurangi efek probenesid. Probenesid menghambat
eksresi renal dari sulfinpirazon, indometasin, penisilin, PAS,
sulfanomid, dan juga berbagai asam organik, sehingga dosis obat
tersebut harus disesuaikan bila diberikan bersamaan. Dapat
digunakan 2x 250 mg/hari selama seminggu. Dilanjutkan dengan
2x 500 mg/hari.
H. Komplikasi
1. Komplikasi pada Ginjal
Tiga komplikasi hiperurisemia pada ginjal berupa batu ginjal,
gangguan ginjal akut dan kronis akibat asam urat. Batu ginjal terjadi
sekitar 10-25% pasien dengan gout primer. Kelarutan kristal asam urat
meningkat pada suasana pH urin yang basa. Sebaliknya, pada suasana urin
yang asam, kristal asam urat akan mengendap dan terbentuk batu.

20
Gout dapat merusak ginjal, sehingga pembuangan asam urat akan
bertambah buruk. Gangguan ginjal akut gout biasanya sebagai hasil dari
penghancuran yang berlebihan dari sel ganas saat kemoterapi tumor.
Penghambatan aliran urin yang terjadi akibat pengendapan asam urat pada
duktus koledokus dan ureter dapat menyebabkan gagal ginjal akut.
Penumpukan jangka panjang dari kristal pada ginjal dapat menyebabkan
gangguan ginjal kronik.
2. Deformitas pada persendian yang terserang
3. Urolitiasis akibat deposit kristal urat pada saluran kemih
4. Nephrophaty akibat deposit kristal urat dalam interstisial ginjal
I. Prognosis
Pasien yang telah menderita arthritis gout tidak akan sembuh sepenuhnya.
Pasien tersebut harus terus menjaga diet sepanjang hidup dan mengurangi
makanan yang mengandungi purin seumur hidupnya. Ini untuk memastikan
penyakitnya tidak kambuh lagi

21
CHRONIC KIDNEY DISEASE

A. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Kriteria definisi CKD:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional dengan atau tanpa laju filtrasi glomerulus
dengan manifestasi kelainan patologis (yang ditentukan secara
radiologik misalnya, terdapatnya kista, massa, scarring, atropi ginjal;
yang ditentukan secara histologik, misalnya kelainan pada hasil biopasi
ginjal) atau ditemukannya marker kerusakan ginjal seperti
mikroalbuminuria, proteinuria, hematuria, cast(hipertensi tidak
termasuk).
2. GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Suwitra, 2006).
B. Epidemiologi
Data dan studi epidemiologi tentang penyakit ginjal kronik di
Indonesia dapat dikatakan tidak ada. Yang adapun juga langka adalah studi
atau data epidemiologi klinik. Pada saat ini tidak dapat dikemukakan pola
prevalensi di Indonesia, demikian pula morbiditas dan mortalitas. Data klinik
yang ada berasal dari RS Referal Nasional, RS Referal Provinsi, RS Referal
Swasta Spesialitik. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa data tersebut
berasal dari kelompok yang khusus (Perkovic, 2004)
Kesulitan dalam menentukan angka yang tepat tentang prevalensi
penyakit ginjal kronik di Indonesia adalah karena banyaknya pasien yang
datang ke rumah sakit dalam stadium terminal atau karena memerlukan
dialisis. Namun di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 6%dari populasi
dewasa menderita gagal ginjal kronik dengan GFR > 60 mL/min per 1.73m2
(stadium 1 dan 2 ) dan 4.5% berada dalam stadium 3 dan 4 (Santoso, 2003).

22
C. Etiologi

Tabel 2.2. Penyebab utama Penyakit Ginjal Kronik (Perkovic, 2004)


Penyebab Contoh
Glomerulopati Fokal glomerulosklerosis
(primer) Nefropati IgA
Membranoproliferatif gromerulonefritis
Nefropati membranosa
Glomerulopati Amiloidosis
terkait penyakit Hepatitis B dan C
sistemik dan Infeksi
sekunder DM
HUS
SLE
RA
Sindroma Goodpasture
Glomerulonephritis post-infeksi
Wegener’s granulomatosis
Nefropati herediter Nefritis herediter (sindroma Alport’s)
Penyakit kistik
Penyakit ginjal polikistik
Hipertensi Glomerulosklerosis malignan
Nefroangiosklerosis
Uropati Obstruktif BPH
Fibrosis retroperitoneal
Obstruksi ureter (kongenital, kalkulus,
keganasan)
Refluks vesikoureter
Penyakit Stenosis arteri renal (aterosklerosis atau
makrovaskular dysplasia fibromuskular)
ginjal Ateroemboli
Trombosis vena renalis

D. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan dua mekanisme: (1)


Adanya mekanisme spesifik (contohnya kompleks imun dan mediator
inflamasi pada beberapa tipe glomerulonephritis atau paparan toksin pada
penyakit tertentu) dan (2) mekanisme progresif berupa hiperfiltrasi dan
hipertrofi nefron yang masih berfungsi.
Hipertensi sistemik yang terjadi mengakibatkan hipertensi glomerulus.
Ginjal secara normal dilindungi dari hipertensi sistemik dengan adanya
mekanisme otoregulasi. Namun, hal ini tidak terjadi pada tekanan darah yang

23
tinggi. Hipertensi glomerulus yang terjadi memicu perubahan lokal pada
hemodinamik glomerulus sehingga terjadi kerusakan glomerulus. Respon
dari pengurangan jumlah nefron diperantarai oleh hormon vasoaktif, sitokin,
dan faktor pertumbuhan.
Hipertensi glomerulus normalnya merupakan mekanisme adaptasi
nefron yang tersisa untuk meningkatkan kerja glomerulus akibat kehilangan
nefron. Dengan adanya mekanisme adaptasi ini, kehilangan 75% jaringan
renal hanya mengakibatkan turunnya GFR 50% dari normal (Perkovic, 2004).
Hal ini berarti hipertensi sistemik ditranslasikan secara langsung pada barrier
filtrasi glomerulus yang menyebabkan kerusakan glomerulus. Namun, pada
saat ini, terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi renal yang mengakibatkan jaringan
renal lebih terkekspos dengan jumlah zat berbahaya yang lebih banyak
(Matovinovic, 2001).
Hipertensi kronik bahkan menyebabkan vasokonstriksi dan sklerosis
arteriol yang menyebabkan atrofi glomerulus dan tubulointerstitial. Faktor
pertumbuhan lainnya seperti angiotensin II, EGF, PDGF, TGF-β, aktivasi
kanal ion dan respon gen awal tertentu terlibat dalam hubungan tekanan darah
yang tinggi yang menyebabkan proliferasi miointima dan sklerosis pembuluh
darah. Peningkatan aktivitas RAA yang terjadi juga dapat mengakibatkan
hipertrofi dan sklerosis pada nefron yang masih aktif. Sklerosis yang terjadi
disebabkan TGF-β. TGF-β dan faktor pertumbuhan lainnya penting untuk
fibrogenesis glomerulus. Sitokin ini menstimulasi sel glomerulus untuk
memproduksi ECM, menghambat sintesa protease (Matovinovic, 2001).
E. Diagnosis
Penyakit ginjal akut bersifat reversibel, jadi gejala yang ditimbulkan
tidaklah terlalu berarti. (Guyton, 2004). Berbeda dengan penyakit ginjal
kronik yang kronis dan irreversibel, menimbulkan manifestasi gejala pada
seluruh tubuh, baik keseimbangan cairan tubuh maupun gangguan fungsi
organ. Gangguan elektrolit biasanya terjadi apabila jumlah nefron telah
berkurang lebih dari 60-70% (Ingram, 2005).

24
Tabel 2.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (Ingram, 2005)
Stadium GFR(ml/me Gangguan metabolik
nit/1,73 m2)
1 >90 Asimptomatik, kadar kreatinin mulai
meningkat
2 60-89 PTH mulai meningkat, kadar urea dan
kreatinin serum telah meningkat
3 30-59 Aborpsi kalsium menurun, malnutrisi,
hipernatremia, hipertensi, LVH, anemia,
mual, muntah
4 15-29 Hiperfosfatemia,asidosis metabolik,
peningkatan trigliserida, hiperkalemia,
pruritus
5 <15 Uremia atau azotemia

Gejala gangguan ginjal belum begitu tampak pada penderita gagal


ginjal akut, apalagi pada pasien stadium awal, penderita hanya akan
mengeluhkan oliguria. Keluhan penderita gagal ginjal akut biasanya lebih
terorientasi pada penyakit penyebab gagal ginjal akut. Penderita gagal ginjal
akut akibat gangguan prerenal akan mengeluhkan keadaanya yang sesak
karena hipertensi, rasa haus (dehidrasi) karena diare atau sepsis. Penderita
gagal ginjal akut akibat gangguan renal akan mengeluhkan sesuai gejala dari
kerusakan ginjal. Penderita gagal ginjal akut akibat gangguan postrenal akan
mengeluhkan nyeri kolik akibat batunya ataupun Lower Urinary Tract
Syndrome akibat BPH. Akan tetapi, bila penderita gagal ginjal akut sudah
menuju ke tahap L/E dari RIFLE, gejala seperti lemah, lesu, anoreksia, mual,
muntah, gatal-gatal, rentan terhadap pendarahan bahkan bisa terjadi kejang-
kejang (Amend, 2008).
Pasien gagal ginjal kronik yang masih berada dalam stadium 1 dan 2
biasanya masih asimptomatik. Stadium 3 dan 4 terjadi poliuria, nokturia,
badan lemah, nafsu makan berkurang dan penurunan BB. Stadium 4/5 telah
terjadi gejala sistemik uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, mual, muntah, pruritus, osteomalasia, rentan infeksi, gangguan
keseimbangan air dan gejala terus memburuk sampai indikasi transplantasi
ginjal. Penderita gagal ginjal kronik dengan komplikasi, akan
mengehipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis

25
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida)
(Haidary, 1998).
Gejala yang dialami penderita gagal ginjal akut dan kondisi akut pada
gagal ginjal kronik biasanya sama. Bedanya, pada kondisi akut gagal ginjal
kronik, penderita akan mengeluhkan sesak nafas yang lebih berat dibanding
penderita gagal ginjal akut. Hal ini akibat komplikasi gagal ginjal kronik pada
kardiovaskular yang progresif. Selain itu, penderita gagal ginjal akut selalu
mengeluhkan oliguria atau anuria, sedangkan urinari penderita gagal ginjal
kronik tahap awal masih normal atau bahkan mengalami poliuria akibat
kompensasi nefron (Sherwood, 2001).
Setelah itu, eksplorasi faktor risiko untuk menentukan penyebab. Faktor
risiko penderita Acute Kidney Injury terbanyak adalah akibat dehidrasi,
hipertensi, gagal jantung, nekrosis tubular akut dan hanya sedikit yang
disebabkan obstruksi saluran kemih. 50% dari gagal ginjal kronik disebabkan
oleh diabetes mellitus, 27% disebabkan hipertensi, 13% disebabkan
glomerulonefritis dan penyebab lain hanya berkisar 10%. Perlu ditanyakan
obat-obat yang digunakan sebelumnya seperti diuretik, NSAIDS, ACE-
inhibitor, atau ARB untuk mengidentifikasi obat-obatan yang nefrotoksik.
Selain itu, riwayat keluarga penderita gagal ginjal menjadi suatu faktor resiko
penting timbulnya hal yang sama pada keturunannya (Yacoop, 2001).
Setelah anamnesis, selanjutnya lakukan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dianjurkan dilakukan pada ginjal, jantung, paru dan
abdomen untuk menyingkirkan asumsi penyakit lain dan untuk menentukan
apakah terdapat komplikasi pada organ tersebut. Pemeriksaan fisik meliputi
pemeriksaan tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi (Campbell,
2002).
Pada pemeriksaan fisik prerenal gagal ginjal akut ditemukan hipertensi,
penurunan tekanan vena jugularis, berkurangnya turgor kulit, dan membran
mukosa yang kering. Untuk gangguan sirkulasi yang menyebabkan prerenal
ARF, dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik penyakit hati kronik, gagal
jantung lanjut, sepsis, dan sebagainya(tergantung etiologi). Apabila pada kulit
didapati petekie, purpura, ecchymosis menandakan kemungkinan gagal ginjal

26
akut yang berhubungan dengan pembuluh darah. Ditemukannya uveitis
mengindikasikan adanya nefritis interstitial dan necrotizing vasculitis. Ocular
palsy menandakan keracunan etilen glikol atau necrotizing vasculitis
(Kuypers, 2009).
Umumnya pemeriksaan fisik pada gagal ginjal kronik tidak begitu
membantu namun dapat mengetahui etiologi atau komplikasi yang telah
terjadi. Hal ini disebabkan karena pada stadium awal, penderita gagal ginjal
kronik masih belum menunjukkan kelainan apapun. Tetapi, bila sudah
menimbulkan komplikasi, gejala akan sangat parah. Pada inspeksi penderita
gagal ginjal kronik akan tampak pucat. Penderita gagal ginjal akut, kecuali
gagal ginjal akut yang disebabkan anemia, tidak akan terlihat
pucat.Pemeriksaan Pada palpasi dan perkusi ginjal akan dirasakan ginjal yang
semakin mengecil. Pemeriksaan palpasi dan perkusi jantung akan
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri. Dan identifikasi murmur saat
auskultasi. Pemeriksaan perkusi paru-paru juga sering menimbulkan bunyi
redup yang menunjukkan terdapatnya edema paru (Yacoop, 2001).
Setelah pemeriksaan fisik, lanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan
adalah pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan BUN, pemeriksaan kreatinin,
pemeriksaan elektrolit dan urinalisis (protein, sedimen urin dan kultur urin
bila terdapat tanda infeksi). Untuk konfirmasi gagal ginjal termasuk gagal
ginjal akut atau gagal ginjal kronik, lakukan pemeriksaan USG. Untuk pasien
yang dicurigai penderita gagal ginjal kronik, wajib dilakukan pemeriksaan
radiologik jantung berupa foto toraks maupun EKG. Selain itu, pemeriksaan
penunjang harus dilakukan juga sesuai dengan penyakit penyerta. Misalnya,
lakukan pemeriksaan KGD atau reduksi urin pada penderita DM, faal hati
(SGOT, SGPT) pada pasien dengan gangguan hati, foto polos dan IVP pada
penderita dengan gangguan ginjal atau obstruksi saluran kemih
(pertimbangkan juga kadar ureum dan kreatinin sebelum melakukan IVP)
(Andreoli, 2001).
Pemeriksaan Hb bisa menjadi suatu patokan awal untuk membedakan
gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Hb (normal= 12-16 g/dL) yang

27
menurun (anemia normokrom normositik) dijumpai pada penderita gagal
ginjal kronik. Selain itu, pada penderita gagal ginjal kronik sering juga
ditemukan disfungsi platelet dan trombositopenia akibat uremia. Pemeriksaan
leukosit untuk menentukan ada tidaknya terjadi komplikasi infeksi saluran
kemih atau sepsis. Pada pasien gagal ginjal stadium akhir biasanya
menunjukkan keadaan leukopenia (Lingappa, 2003).
Peningkatan BUN (ureum normal=20-40 mg%) dan kreatinin
merupakan pertanda khas untuk gagal ginjal, baik gagal ginjal akut maupun
gagal ginjal kronik. Bedanya, penderita gagal ginjal akut menunjukkan
penurunan ureum secara tiba-tiba, sedangkan penderita gagal ginjal kronik
menunjukkan peningkatan ureum yang perlahan. False postive terjadi pada
pasien dengan intake protein yang tinggi. BUN juga mungkin meningkat pada
pasien dengan perdarahan pada mukosa dan saluran pencernaan, dan
pengobatan steroid. Kadar kreatinin darah diperiksa untuk menentukan
stadium penyakit melalui perhitungan GFR dengan rumus: GFR
(ml/menit/1,73m2)= 186 x (Kreatinin serum)-1,154 x (Umur)-0,203 x (0,742
pada wanita) x (1,21 pada orang kulit hitam) (Agraharkar, 2010).
Pemeriksaan protein urin pada penderita gagal ginjal akut biasanya +2
dan + pada penderita gagal ginjal kronik. Pemeriksaan sedimen urin penderia
gagal ginjal akut bila terdapat hemautir menunjukkan eritrosit yang banyak
dan silinder eritrosit. Penderita gagal ginjal kronik menunjukkan eritrosit
yang sedikit, leukosit pada urin, waxy xast, broad renal dan failure cast
(Haidary, 1998).
USG merupakan diagnosis pasti untuk membedakan gagal ginjal akut
maupun gagal ginjal kronik. Gejala akut gagal ginjal akut hampir sama
dengan gejala akut pada gagal ginjal kronik. Penting untuk membedakan
kedua hal ini sebab akan sedikit berbeda dalam prosedur diagnosis,
penatalaksanaan dan prognosisnya. Yang dinilai pada USG adalah ukuran
ginjal. Pada pasien gagal ginjal kronik, ukuran ginjalnya telah atropi sebab
pengurangan nefron yang irreversibel dan digantikan oleh jaringan ikat
(fibrosis dan sklerosis). Berbeda dengan gagal ginjal akut yang reversibel,
ukuran ginjal masih tampak normal (Yacoop, 2001).

28
Karena komplikasi utama gagal ginjal kronik adalah gangguan gagal
ginjal kronik, pada penderita gagal ginjal kronik harus dilakukan penilaian
fungsi jantung. Biasanya pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah foto
toraks dan EKG. Biasanya, hasil pemeriksaan akan mengarah pada
pembesaran ventrikel kiri akibat hipertensi dan anemia dan bisa juga
menunjukkan gambaran gagal jantung (Campbell, 2002).
F. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwita, 2006):
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi kondisi komorbid
 Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Tabel 2.4 Rencana Tatalaksana Gagal Ginjal Kronik Sesuai dengan


Derajatnya (Suwita, 2006)
Derajat LFG Rencana tatalaksana
(ml/menit/
1,73m2)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan(progression)
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-30 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Tetapi pengganti ginjal

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.

29
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien, antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus ini adalah (Lingappa, 2003):
 Diet dengan jumlah kalori 30-35 kkal/kgBB/hari, pengaturan asupan
karbohidrat 50-60% dari kalori total, pengaturan asupan lemak 30-40%
dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak
bebas jenuh dan tidak jenuh, garam 2-3 gram/hari, kalium 40-70
mEq/kgBB/hari, fosfor 5-10 mg/kgBB/hari, dan pembatasan jumlah
protein sebagai berikut:
Tabel 2.4 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal
Kronik (Steven, 2009):

LFG Asupan protein g/kg/hari Fosfat


(ml/menit) g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak
dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hari ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hari ≤ 10 g
protein nilai biologi tinggi atau tambahan
0,3 gr asam amino esesial atau asam keton
< 60 0,8/kg/hari (+1 gr protein / g proteinuria atau ≤ 9 g
(sindrom 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau
nefrotik) asam keton

d. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam

30
pencegahan dan terapi penyakit kardiovakular adalah pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan.
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium V,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa:
 Hemodialisis

Gambar 2.2 Mekanisme Hemodialisis

Pada hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin kedalam


kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat
(fiber) sintetis yang berlubang kecil ditengahnya. Darah mengalir di dalam
lubang serat sementara cairan dialisis (dialisat) mengalir diluar serat,

31
sedangkan dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel tempat
terjadinya proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan
tekanan hidrostatik melintasi membran dialyzer dengan cara menerapkan
tekanan negatif kedalam kompartemen dialisat yang menyebabkan air dan
zat-zat terlarut berpindah dari darah kedalam cairan dialisat.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi
selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi
diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala,
sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang
jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemodialisis, emboli
udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan
hipoksemia. Kontraindikasi dari hemodialisis adalah perdarahan,
ketidakstabilan hemodinamik, dan aritmia (Wijaya, 2010)
Indikasi dilakukannya hemodialisis pada penderita gagal ginjal
stadium terminal antara lain karena telah terjadi (Wijaya, 2010):
o Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensepalopati uremik).
o Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit, misalnya asidosis
metabolik, hiperkalemia, dan hiperkalsemia.
o Kelebihan cairan ( volume overload ) yang memasuki paru-paru
sehingga menimbulkan sesak nafas berat.
o Gejala-gejala keracunan ureum ( uremic symptoms )

Dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari (Wijaya,
2010):

o Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata.


o K serum > 6mEq/L
o Ureum darah > 200 mg/dl
o pH darah < 7,1
o Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
o Fluid overloaded atau kelebihan cairan yang memasuki paru-paru
sehingga menimbulkan sesak nafas berat.

32
G. Prognosis
Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis berdasarkan data
epidemiologi telah menunjukkan bahwa semua penyebab kematian
meningkat sesuai dengan penurunan fungsi ginjalnya. Penyebab utama
kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah penyakit
kardiovaskuler (45%), dengan atau tanpa ada kemajuan ke stage
V.Penyebab lainnya termasuk infeksi (14%), penyakit cerebrovaskular
(6%), dan keganasan (4%). Diabetes, umur, albumin serum rendah, status
sosial ekonomik rendah dan dialisis inadekuat adalah prediktor signifikan
dalam angka kematian (Goldsmith, 2007).
Angka kematian lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis
dibandingkan pada pasien kontrol dengan umur yang sama. Angka kematian
setiap tahun adalah 21,2 setiap seratus pasien per tahun. Angka
kelangsungan hidup yang diharapkan pada pasien grup usia 55-64 tahun
adalah 22 tahun sementara pada pasien dengan gagal ginjal terminal angka
kelangsungan hidup adalah 5 tahun (Goldsmith, 2007).
Sementara terapi penggantian ginjal dapat mempertahankan pasien
tanpa waktu dan memperpanjang hidup, kualitas hidup adalah sangat
terpengaruh. Transplantasi Ginjal meningkatkan kelangsungan hidup pasien
penyakit ginjal kronik stage V secara signifikan bila dibandingkan dengan
pilihan terapi lainnya. (Kuypers, 2009) Namun, transplasntasi ginjal ini
terkait dengan mortalitas jangka pendek yang meningkat (akibat komplikasi
dari operasi). Selain transplantasi, intensitas yang tinggi dari home
hemodialysis tinggi tampak terkait dengan peningkatan ketahanan hidup
dan kualitas hidup yang lebih besar, bila dibandingkan dengan cara
konvensional yaitu hemodialiasis dan dialysis peritonial yang dilakukan tiga
kali seminggu (Skorecki, 2005).

33
HIPERKALEMIA
A. Fisiologi elektrolit
Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi
partikel yang bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif
disebut kation dan ion bermuatan negatif disebut anion. Keseimbangan
keduanya disebut sebagai elektronetralitas. 1-4 Sebagian besar proses
metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi
elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan (Wilson,
2005).
Pemeliharaan homeostasis cairan tubuh adalah penting bagi
kelangsungan hidup semua organisme. Pemeliharaan tekanan osmotik dan
distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi utama
empat elektrolit mayor, yaitu natrium (Na+ ), kalium (K+ ), klorida (Cl- ),
dan bikarbonat (HCO3 - ). Pemeriksaan keempat elektrolit mayor tersebut
dalam klinis dikenal sebagai ”profil elektrolit”(Scott, LeGrys, & Klutts,
2008).
Cairan tubuh terdiri dari air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas
cairan ekstrasel dan intrasel. Cairan ekstrasel meliputi plasma dan cairan
interstisial. Distribusi elektrolit pada cairan intrasel dan ekstrasel (Matfin &
Porth, 2009).
B. Fisiologi kalium
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel.
Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium
ekstrasel 4-5 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah konsentrasi kalium pada orang
dewasa berkisar 50-60 per kilogram berat badan (3000-4000 mEq). Jumlah
kalium ini dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Jumlah kalium pada
wanita 25% lebih kecil dibanding pada laki-laki dan jumlah kalium pada
orang dewasa lebih kecil 20% dibandingkan pada anak-anak (Yaswir &
Ferawati, 2012).
Perbedaan kadar kalium di dalam plasma dan cairan interstisial
dipengaruhi oleh keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan kalium
cairan intrasel dengan cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif

34
(transpor aktif kalium ke dalam sel bertukar dengan natrium) (Priest, SMith,
& Heitz, 1996).
Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan kalium
yang masuk dan keluar. Orang dewasa pada keadaan normal mengkonsumsi
60-100 mEq kalium perhari (hampir sama dengan konsumsi natrium). Kalium
difiltrasi di glomerulus, sebagian besar (70- 80%) direabsorpsi secara aktif
maupun pasif di tubulus proksimal dan direabsorpsi bersama dengan natrium
dan klorida di lengkung henle. 19-20 Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui
traktus gastrointestinal kurang dari 5%, kulit dan urine mencapai 90%
(Ganong, 2005).
Nilai rujukan kalium serum pada:
- serum bayi : 3,6-5,8 mmol/L
- serum anak : 3,5-5,5 mmo/L
- serum dewasa : 3,5-5,3 mmol/L
- urine anak : 17-57 mmol/24 jam
- urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam
- cairan lambung : 10 mmol/L
C. Gangguan keseimbangan kalium
Bila kadar kalium kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia
dan kadar kalium lebih dari 5,3 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia.
Kekurangan ion kalium dapat menyebabkan frekuensi denyut jantung
melambat. 3,10,16,19 Peningkatan kalium plasma 3-4 mEq/L dapat
menyebabkan aritmia jantung, konsentrasi yang lebih tinggi lagi dapat
menimbulkan henti jantung atau fibrilasi jantung (Darwis et al., 2008).
1. Hipokalemia
Penyebab hipokalemia dapatdibagi sebagai berikut:
a. Asupan Kalium Kurang
Orang tua yang hanya makan roti panggang dan teh, peminum alkohol
yang berat sehingga jarang makan dan tidak makan dengan baik, atau
pada pasien sakit berat yang tidak dapat makan dan minum dengan
baik melalui mulut atau disertai oleh masalah lain misalnya pada

35
pemberian diuretik atau pemberian diet rendah kalori pada program
menurunkan berat badan dapat menyebabkan hipokalemia.
b. Pengeluaran Kalium Berlebihan
Pengeluaran kalium yang berlebihan terjadi melalui saluran cerna
seperti muntah-muntah, melalui ginjal seperti pemakaian diuretik,
kelebihan hormon mineralokortikoid primer/hiperaldosteronisme
primer (sindrom barter atau sindrom gitelman) atau melalui keringat
yang berlebihan. 3,7,10 Diare, tumor kolon (adenoma vilosa) dan
pemakaian pencahar menyebabkan kalium keluar bersama bikarbonat
pada saluran cerna bagian bawah (asidosis metabolik). 1,3 Licorice
(semacam permen) yang mengandung senyawa yang bekerja mirip
aldosteron, dapat menyebabkan hipokalemia jika dimakan berlebihan
(Wilson, 2005).
c. Kalium Masuk ke Dalam Sel
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel,
pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-adrenergik (pemakaian
β2- agonis), paralisis periodik hipokalemik, dan hipotermia (Siregar,
2009).
2. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh :
a. Keluarnya Kalium dari Intrasel ke Ekstrasel Kalium keluar dari sel
dapat terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh asidosis
organik (ketoasidosis, asidosis laktat), defisit insulin, katabolisme
jaringan meningkat, pemakaian obat penghambat-β adrenergik, dan
pseudohiperkalemia (Schweitzer & Strandell, 2009).
b. Berkurangnya Ekskresi Kalium melalui Ginjal Berkurangnya ekskresi
kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan hiperaldosteronisme, gagal
ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian siklosporin atau
akibat koreksi ion kalium berlebihan dan pada kasus-kasus yang
mendapat terapi angiotensin-converting enzyme inhibitor dan
potassium sparing diuretics (Schweitzer & Strandell, 2009; Siregar,
2009).

36
c. Pseudohiperkalemia dapat disebabkan oleh hemolisis, sampel tidak
segera diperiksa atau akibat kesalahan preanalitik yang lain yaitu
tornikuet pada lengan atas tidak dilepas sebelum diambil darah setelah
penderita menggenggam tangannya berulangkali (peningkatan sampai
2 mmol/L). Jumlah trombosit >500.000/mm3 atau leukosit
>70.000/mm3 juga dapat meningkatkan kadar kalium serum (Klutts &
Scott, 2006).
D. Metode pemeriksaan
1. Pemeriksaan dengan Metode elektroda Ion Seektif (Ion Selective/ISE)
Pemeriksaan kadar natrium, kalium, dan klorida dengan metode
elektroda ion selektif (Ion Selective Electrode/ISE) adalah yang paling
sering digunakan. Data dari College of American Pathologists (CAP)
pada 5400 laboratorium yang memeriksa natrium dan kalium, lebih dari
99% menggunakan metode ISE. Metode ISE mempunyai akurasi yang
baik, koefisien variasi kurang dari 1,5%, kalibrator dapat dipercaya dan
mempunyai program pemantapan mutu yang baik (Klutts & Scott,
2006).
ISE ada dua macam yaitu ISE direk dan ISE indirek. ISE direk
memeriksa secara langsung pada sampel plasma, serum dan darah utuh.
Metode inilah yang umumnya digunakan pada laboratorium gawat
darurat. Metode ISE indirek yang diberkembang lebih dulu dalam
sejarah teknologi ISE, yaitu memeriksa sampel yang sudah diencerkan
(Klutts & Scott, 2006).
2. Pemeriksaan dengan Spektro fotometer Emisi Nyala (Flame Emission
Spectrofotometry/FES)
Spektrofotometer emisi nyala digunakan untuk pengukuran kadar
natrium dan kalium. Penggunaan spektrofotometer emisi nyala di
laboratorium berlangsung tidak lama, selanjutnya penggunaannya
dikombinasi dengan elektrokimia untuk mempertahankan penggunaan
dan keamanan prosedurnya.
Prinsip pemeriksaan spektrofotometer emisi nyala adalah sampel
diencerkan dengan cairan pengencer yang berisi litium atau cesium,

37
kemudian dihisap dan dibakar pada nyala gas propan. Ion natrium,
kalium, litium, atau sesium bila mengalami pemanasan akan
memancarkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu (natrium
berwarna kuning dengan panjang gelombang 589nm, kalium berwarna
ungu dengan panjang gelombang 768 nm, litium 671 nm, sesium 825
nm). Pancaran cahaya akibat pemanasan ion dipisahkan dengan filter
dan dibawa ke detektor sinar.
3. Pemeriksaan dengan Spektrofotometer berdasarkan Aktivasi Enzim
Prinsip pemeriksaan kadar natrium dengan metode
spektrofotometer yang berdasarkan aktivasi enzim yaitu aktivasi enzim
beta-galaktosidase oleh ion natrium untuk menghidrolisis substrat o-
nitrophenyl-βD-galaktipyranoside (ONPG). Jumlah galaktosa dan
onitrofenol yang terbentuk diukur pada panjang gelombang 420 nm.
Prinsip pemeriksaan kalium dengan metode spektrofotometer adalah
ion K+ mengaktivasi enzim tryptophanase.
Prinsip pemeriksaan klorida dengan metode spektrofoto- meter
adalah reaksi klorida dengan merkuri thiosianat menjadi merkuri
klorida dan ion thiosianat. Ion thiosianat bereaksi dengan ion ferri dan
dibaca pada panjang gelombang 480 nm (O’Callaghan, 2009; Sacher &
McPherson, 2002).
4. Pemeriksaan dengan spektrofotometer atom serapan (Atomic
Absorption Spectrophotometry/ AAS)
Prinsip pemeriksaan dengan spektrofotometer atom serapan
adalah teknik emisi dengan elemen pada sampel mendapat sinar dari
hollow cathode dan cahaya yang ditimbulkan diukur sebagai level
energy yang paling rendah. Elemen yang mendapat sinar dalam bentuk
ikatan kimia (atom) dan ditempatkan pada ground state (atom netral).
Metode spektrofotometer atom serapan mempunyai sensitivitas
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan metode spektrofotometer
nyala emisi.
5. Pemeriksaan Kadar Klorida dengan Metode Titrasi Merkurimeter

38
Prinsip: Spesimen filtrat yang bebas protein dititrasi dengan
larutan merkuri nitrat, dengan penambahan diphenylcarbazone sebagai
indikator. Hg2+ yang bebas, bersama klorida membentuk larutan
merkuri klorida yang tidak terionisasi14 . Kelebihan ion Hg2+ bereaksi
dengan diphenylcarbazone membentuk senyawa kompleks berwarna
biru-ungu. Titik akhir dari titrasi adalah saat mulai timbul perubahan
warna.
6. Pemeriksaan Kadar Klorida dengan Metode Titrasi Kolorimetrik-
Amperometrik
Prinsip pemeriksaan kadar klorida dengan metode titrasi
kolorimetrik-amperometrik bergantung pada generasi Ag+ dari
elektroda perak yang konstan dan pada reaksi dengan klorida
membentuk klorida perak tang tidak larut. Interval waktu yang
digunakan sebanding dengan kadar klorida pada sampel.

39
ANEMIA PENYAKIT KRONIK

A. Definisi

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) sering dijumpai


pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan (Hoffbrand,
2013). Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan
penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada
umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7-11 g/dl,
kadar Fe serum menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang rendah,
cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang
(Setiati, 2014). Selain itu, indeks dan morfologi eritrosit yang normositik
normokromik atau hipokrom ringan (MCV jarang <75 fL) Tabel dibawah ini
menunjukkan diagnosis diferensial dari ACD (Sadoyo, 2009).

Tabel 2.5 Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis

Anemia Anemia Thalasemia Anemia


Penyakit Defisiensi Sideroblastik
Kronik Besi

Derajat Ringan Ringan Ringan Ringan sampai


anemia sampai berat berat

MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N

MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N

Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/

TIBC Menurun <300 Meningkat Normal/ Normal/


>360

Saturasi Menurun/N Menurun Meningkat Meningkat


transferin 10-20% <15% >20% >20%

Besi sumsum Positif Negatif Positif kuat Positif dengan


tulang ring sideroblast

40
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit

Feritin Normal 20-200 Menurun <20 Meningkat Meningkat >50


serum µg/l µg/l >50 µg/l µg/l

Elektrofoesis N N HbA2 N
Hb meningkat

B. Epidemiologi
Anemia penyakit kronis merupakan anemia terbanyak ke dua setelah anemia
defisiensi besi. Tidak ada data epidemiologi yang secara rinci menjelaskan setiap
jenis anemia, termasuk anemia penyakit kronis. Dari hasil penelitian di RSUP Dr.
Kariadi Semarang, didapatkan prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis reguler adalah 86%. Jenis anemia berdasarkan
kemungkinan etiologi yang paling sering ditemukan adalah anemia penyakit kronik
(Adiatma, 2014).

C. Etiologi
Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri subakut,
osteomyelitis dan infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan bahwa hampir semua
infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan
berat ringanyya gejala, seperti demam, penurunan berat badan, dan debilitas umum.
Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan
menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit
dan Hb menjadi stabil (Setiati, 2014).
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti infeksi kronis,
tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis
rheumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis ulseratif serta
sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronik
(Aditama, 2014).
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun masih dalam
stadium dini dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini
biasanya disebut anemia pada kanker (cancer releted anemia) (Lichtin, 2013).

41
D. Patogenesis
Etiologi dari ACD adalah multifaktorial dan ditandai oleh aktivitas sel imun dan
respon sitokin inflamasi yang mengurangi produksi eritrosit, mengganggu
eritropoiesis, mengurangi masa hidup eritrosit, dan disregulasi homeostasis besi
(Sun, 2012). .Berbeda dengan anemia defisiensi besi, tanpa inflamasi. ACD biasanya
merupakan anemia normokromik normositik, mikrositik biasanya tidak terlihat,
kecuali bersamaan dengan kekurangan zat besi. Pathogenesis ACD dapat dilihat dari
uraian dibawah ini (Pardede, 2013):
a. Pemendekan masa hidup eritrosit
Diduga anemia terjadi merupakan bagian dari sindrom stress
hematologic, dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena
kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut
dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mangikat lebih banyak
zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi
eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang inadekuat
pada eritropoesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi
dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 (tetra iodothyronine)
manjadi T3 (tri-iodothyronine), menyebabkan hipotirod fungsional
dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga
sintesis eritropoetin-pun akhirnya berkurang.
Pengikatan lebih banyak zat besi menyebabkan konsentrasi rendah
serum besi, TIBC rendah atau normal, dan saturasi transferin serta
retikulosit redah. Yang terpenting atau kunci dari ACD adalah akumulasi
besi dalam retikuloendotelial makrofag meskipun mengurangi kada zat
besi dalam sirkulasi. Sehingga sedikit zat besi dalam sirkulasi yang
tersedia untuk sintesis hemoglobin. Ada kemungkinan manusia
menggunakan meknisme ini untuk menyerap zat besi sebagai pertahanan
dari patogen tertentu yang menyerang. Namun, pengalihan zat besi dari
sirkulasi ke makrofag sangat efektif untuk menyebabkan defisiensi
fungsional besi dan besi terbatas untuk eritropoiesis, akhirnya jika tidak

42
ditangani menyebabkan anemia. Penting untuk diingat bahwa pada anemia
defisiensi besi, zat besi kosong baik di sirkulasi maupun dan makrofag
Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi
pemendakan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh
hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang terjadi
kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan atau
menurunya respon terhadap eritropoetin.
b. Peningkatan kadar hepcidin serum
Dalam sebuah penelitian, ditemukan hepcidin yang merupakan
hormon regulasi besi. Inflamasi akibat infeksi, penyakit autoimun, atau
kanker yang merangsang sintesis banyak sitokin seperti interferon-γ,
interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6) menginduksi produksi
kelebihan hepcidin. Produksi hepcidin jangka panjang, karena
kemampuannya yang dapat menghambat fungsi ferroportin pada enterosit
duodenum dan makrofag, menyebabkan penyerapan zat besi yang buruk
dari usus dan retensi besi meningkat yang merupakan ciri dari ACD.
Sebuah mekanisme molekuler ditandai dengan inflamasi, sbagai
mediator utamanya disini adalah IL-6/ Jalur Kinase 2 (JAK2)- signal
tranducer dan jalur aktivator transkripsi 3 (STAT3). Ligan mengikat
reseptor IL-6 mengaktifkan JAK2, terjadi fosforilasi transkripsi faktor
STAT3. Translokasi STAT3 terfosforilasi ke dalam inti dan pengikatan
STAT3 ke promotor hepsidin menghasilkan peningkatan regulasi ekspresi
gen hepcidin (Figure 1).
c. Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit
memendek pada sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada
ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien ditransfusikan ke resipien
normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin
menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai
bagian dari filter limpa (compulsive screening), menjadi kurang toleran
terhadap perubahan atau kerusakan minor dari eritrosit.

43
d. Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun
cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi
pada penyakit kronik. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia dapat
disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb.
E. Manifestasi Klinis
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali
gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl
umumnya asimptomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik
meningkat, pengurangan kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala
anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya (Setiati, 2014).
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa
kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil
pemeriksaan laboratorium (Setiati, 2014).
F. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien
mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin
Capacity) <31 g/dl dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV (Mean
Corpuscular Volume) <80 fL. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal dan
trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya (Sudoyo, 2010)
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk
diagnosa penyakit anemia karena penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah
timbul onset suatu infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia.
Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih
tinggi dari pada anemia defisiensi besi. Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi
dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam
sirkulasi kepada sel eritroid imatur (Setiati, 2014).
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat dari pada
penurunan Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12
hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda
(Setiati, 2014)

44
G. Terapi
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya.
Terdapat beberapa cara dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain (Setiati, 2014):
a. Transfusi
Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamika.
Tidak ada batasan yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberi
transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit
kronik yang terkena infak miokard, transfusi dapat menurunkan angka
kematian secara bermakna. Demikian juga dengan pasien anemia akibat
kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dl.
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam
perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan
alasan besi adapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada
penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat terbukti dapat
meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai
saat ini pemberian preparat besi belum direkomendsikan untuk diberikan
pada pasien anemia penyakit kronik.
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin bermanfaat
dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker,
gagal ginjal, myeloma multiple, artritis reumathoid dan pasien HIV.
Selain dapat menghindari transfusi beserta efeknya, pemberian
eritropoetin memberikan keuntungan yaitu : mempunyai efek anti
inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-a dan interferon gamma.
Dilain pihak pemberian eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel
kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sun, et al., terapi alternatife untuk
untuk ACD yang menargetkan pada hepcidin-ferroportin (Sun, 2012). Terapi yang
menurunkan produksi hepcidin dan meningkatkan aktifitas ferroportin akan
meningkatkan bioavailabilitas besi dari diet dan akan memobilisasi penyimpanan
besi dalam tubuh untuk eritropoiesis, tanpa risiko merugikan dari terapi besi atau

45
ESA (erythropoiesis-stimulating agents). Sebuah strategi yang menghambat fungsi
hepcidin (direct hepcidin antagonist), mencegah transkripsi hepcidin (hepcidin
production inhibitors), atau mempromosikan resistensi ferroportin pada aksi
hepcidin (ferroportin agonis/stabilizers) saat ini sedang diteliti.

H. Prognosis
Anemia penyakit kronis, yang merupakan salah satu fitur utama dari penyakit
ginjal kronis (CKD), dan CKD sendiri sering bersamaan pada pasien dengan infark
miokard akut (AMI). Bukti klinis dari Negara Amerika dan penelitian di Eropa
menunjukkan bahwa anemia dan CKD berhubungan dengan meningkatnya
morbiditas dan mortalitas pada pasien AMI selama jangka pendek serta jangka
panjang. Di sisi lain, sindrom anemia cardiorenal, di mana terdapat secara simultan
CKD, anemia, dan gagal jantung menciptakan hubungan timbal balik secara
patologis, sehingga menghasilkan dampak yang merugikan sinergis dengan
morbiditas dan mortalitas (Shirashi et al., 2014).

46
DAFTAR PUSTAKA

Agraharkar M. Acute renal failure: overview, differential diagnosis and workup,


treatment & medication. Medscape; c1994-2010 [updated 2010 June 29;
cited 2010 September 01]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12846757.
Amend WJ, Vincenti FG. Acute renal failure; Chronic renal failure & dialysis.
In: Tanagho EA, McAninch JW, editors. Smith’s general urology 17th
edition. New York: McGraw-Hill Company; 2008. p. 520-532.
Andreoli TE, Bennett JC, Carpenter CJ, Plum F. Acute renal failure; Chronic
renal failure. In: Abdulezz SR, Bunke M, Singh H, Shah SV, editors. Cecil
essentials of medicine 4th edition. Philadelphia: WB Saunders Company;
2001. p. 231-251.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. 2005. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. Hal : 1208-1210.
Brazy P et al. 1989. Progressionn of renal insufficiency: Role of blood pressure.
Kid Int vol 35:670-4
Campbell MF. Etiology, pathogenesis, and management of renal failure. In:
Walsh PC, Vaughan, Wein AJ, editors. Campbell urology 8th edition.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2002. p. 273-303.
Darwis, D., Moenayat, Y., Nur, B., Majid, A., Siregar, P., & Ardiwidyaningsih,
W. (2008). Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa,
Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana (2nd ed.). Jakarta:
FKUI.
Ganong, W. (2005). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (22nd ed.). Jakarta: EGC.
Goldsmith, David. 2007. Chronic Kidney Disease-Prevention of Progression and
of Cardiovascular Complication: ABC of Kidney Disease. Chapter 3.
Blackwell Publishing Ltd.

47
Guyton AC, Hall JE. Pengaturan keseimbangan asam-basa; Miksi, diuretik, dan
penyakit ginjal. In: Setiawan, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta: EGC; 1996. p. 481-503, 512-522
Haidary AL, Logan JL, Van Myck DB. Acute renal failure; Chronic renal
failure. In: Greene HL, Johnson WP, Lemke D, editors. Decision making
in medicine: an alogarithmic approach. New York: McGraw-Hill
Company; 1998. p. 299-301.
Ingram RH, Brady HR, Brenner BM, Karl S, Jacob G, Singh AK. Dyspnea;
Acute renal failure; Chronic renal failure; Dialysis in the treatment of renal
failure. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo LL,
Jameson JL, editors. Harrison’s principles of internal medicine 16th
edition. New York: Mc-Hill Company; 2005. p. 201-204, 1653-1667.
J.McPhee MD, Steven dkk.2009. Kidney Diseses: Current Medical Diagnosis
and Treatment. Chapter 22. United States of America: Mc Graw Hill.
2009. CHAPTER 22
Johnstone A. 2005. Gout – the disease and non‐drug treatment. Hospital
Pharmacist; 12:391‐394.
Klutts, J., & Scott, M. (2006). Tietz Text Book of Clinical Chemistry and
Molecular Diagnostics (4th ed.). Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.
Kuypers DR. Chronic kidney disease: uremic pruritus. CME; c2009-2010
[updated 2009 Aug 19; cited 2010 September 01]. Available from:
http://cme.medscape.com/viewarticle/587670_2.
Lingappa VR. Renal disease. In: McPhee SJ, Lingappa VR, Ganong WF,
editors. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine
4th edition. New York: McGraw-Hill Company; 2003. p. 452-462.
Matfin, G., & Porth, C. (2009). Pathophysiology Concepts of Altered Health
States. USA: McGraw HIll.
Misnadiarly. 2007. Penyakit – penyakit akibat hiperurisemia. Rematik : asam
urat, hiperurisemia, artritis gout. Pustaka Obor Populer. Jakarta. p: 19 – 39
Matovinovic MS. 2001. Pathophysiology and Classification of Kidney Disease.
Electronic Journal of IFCC 20(1): 1-10.

48
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/ckd_evaluation_classification_st
ratification.pdf.
NICE team. Early identification and management of chronic kidney disease in
adults in primary and secondary care. NICE Clinical Guideline [serial on
the internet]. 2008 [cited 2010 September 01]; 16:[about 42 p.]. Available
from: http://www.nice.org.uk/nicemedia/live/12069/42116/42116.pdf
O’Callaghan, C. (2009). Sains Dasar Ginjal dan Gangguan Fungsi Metabolik
Ginjal At a Glance Sistem Ginja. (2, Ed.). Jakarta: Erlangga.
Priest, G., SMith, B., & Heitz. (1996). Electrolyte Analyzer Operator’s Manual
(1st ed.). USA: AVL Scientifi Corporaction.
Price S, Wilson L. 2005. Gout. In buku Patofisiologi. Ed 6 vol.2 Penerbit buku
kedokteran , Jakarta. p: 1402 – 1406.
Putra TR. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis pirai. In: Setyohadi B, Kasjmir
YI eds. Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2008. Jakarta:
2008; 113-8.
Ruggenenti P et al. 2008. Role of Remission Clinic in the longitudinal treatment
of CKD. J Am Soc Nephrol ,19:1213-24
Sacher, R., & McPherson, R. (2002). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta: EGC.
Sawas N. Dual Source CT - Gout Imaging with Dual Energy. 2007. Available at
http://healthcare.siemens.com/computed-tomography/case-studies/dual-
source-ct-gout-imaging-with-dual-energy diakses tanggal 30 november
2018
Schweitzer, M., & Strandell, C. (2009). A Manual of Laboratory and Diagnostic
Test (8th ed.). Lippincot William and Wilkins.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi V. 2009. Jakarta:Interna Publishing. Hal:2556-2560.
Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G. Principles of Surgery eight edition. Mc-Graw
Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma
Electronic Publication, 2005
Shiel CW. Pseudogout. Available at : http://reference.medscape.com/
features/slideshow/diseases-plainradiography di akses 30 november 2018

49
So, Alex . Imaging of Gout : Finding and Utility. The Arthritis Reseach and
Therapy journals. Available at: http://arthritis-research.com/series/gout. 15
Nov 2014
Sumariyono. 2007. Diagnosis dan tatalaksana artritis gout akut. In:Gustaviani R,
Mansjoer A, Rinaldi I eds. Naskah Lengkap Penyakit Dalam PIT 2007.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;.172-8.
Sudarsono, Diagnosis dan Penatalaksanaan artritis gout dalam perkembangan
mutakhir dalam diagnosis dan terapi penyakit sendi inflamasi dan
degeneratif, 2007. Temu Ilmiah Reumatologi, Semarang.
Sherwood L. Sistem kemih; Keseimbangan cairan dan asam-basa. In: Santoso
BI, editor. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC; 2001. p.
490-500, 520-532.
Shiel CW. Pseudogout. Available at :
http://reference.medscape.com/features/slideshow/diseases-plain-
radiography di akses 15 november 2014
Schlesinger N. 2004. Management of acute and chronic gouty arthritis – present
state of the art. Drugs;64:2399‐2416
Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. In: Kasper DL, Fauci
AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York; McGraw Hill; 2005.
P. 1653-63.
Siregar, P. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5th ed.). Jakarta: INterna
Publishing.
Suwitra K, Markum HMS. Penyakit ginjal kronik; Gagal ginjal akut. In: Sudoyo
AR, Setiyohadi N, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid 1 edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.
574-580.
Wijaya, Adi Mulyadi. 2010. Kidney or Renal Replacemnet Therapy. Available
from:http://www.infodokterku.com/index.php%3Foption%3Dcom_conten
t%26view%3Darticle%26id%3D68:terapi-pengganti-ginjal-atau-renal-

50
replacement-therapy-rrt%26catid%3D29:penyakit-tidak-
menular%26Itemid%3D18&anno=2. Accessed on: 14 November 2018
Wilson, L. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (4th ed.).
Jakarta: EGC.
Yaswir, R., & Ferawati, I. (2012). Fisilogi dan Gangguan Keseimbangan
Natrium, Kalium, Klorida, serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal FK
Unand, 1(2), 80–85.

51

Anda mungkin juga menyukai