Isi Paper ACS
Isi Paper ACS
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Menurut laporan Rumah Sakit di Yogyakarta pada tahun 2009, penyakit jantung dan
pembuluh darah yang merupakan penyakit kardiovaskular menunjukan dominasi kematian
mencapai 80%. Penyakit kardiovaskular menempati urutan teratas dari penyebab kematian
dan jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Hal ini dapat
disebabkan karena peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek samping
modernisasi.
Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Acute Coronary
Syndrome (ACS). Faktor risiko Acute Coronary Syndrome (ACS) meliputi jenis kelamin (pria
sedikit lebih tinggi risikonya), usia (pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun), riwayat keluarga
dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor risiko yang dimodifikasi. Faktor risiko yang
dimodifikasi meliputi hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, gaya hidup, dan kebiasaan
merokok.
Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan penderita
ACS. Perlu adanya suatu sistem yang secara terus – menerus memonitor terapi yang diterima
pasien agar pengobatan serta penatalaksanaan pasien ACS berlangsung secara optimal,
efektif, dan efisien sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan.
1
Kebutuhan pasien akan terapi obat meliputi ketepatan indikasi, keefektifan,
keamanan, dan kesesuaian. Apabila kebutuhan akan pengobatan atau drug related needs
tersebut tidak tercapai, maka hal tersebut didefinisikan sebagai drug related problems (DRPs).
DRPs merupakan kejadian atau pengalaman tidak menyenangkan yang dialami pasien yang
melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial
mempengaruhi outcome terapi pasien.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Acute Coronary Syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom koroner
akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari fase kritis pada penyakit arteri koroner.
Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi karena
serangkaian pembentukan trombus sehingga menyebabkan penyumbatan parsial ataupun
total pada pembuluh darah. Berdasarkan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan
marker biokimia jantung, maka Acute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan menjadi ST-
segment elevation myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment elevation myocardial
infarction (NSTEMI), serta unstable angina pectoris.
3
2.2. Epidemiologi
4
7. Obesitas
Boudi and Ali (2008) mengklasifikasikan faktor resiko PJK menjadi : faktor resiko
yang tidak dapat dimodifikasi yaitu : umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga sedangkan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu: merokok, hipertensi, diabetes melitus, obesitas,
hiperkolesterolemia, diet tinggi lemak jenuh, dan faktor hemostatik.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), faktor risiko PJK yang
ikut berperan menyebabkan kematian adalah tingginya tekanan darah (13% dari kematian
global), diikuti oleh konsumsi tembakau (9%), peningkatan gula darah (6%), rendahnya
aktivitas fisik (6%), dan kelebihan berat badan atau obesitas (5%).
2.4. Patofisiologi
Pembentukan plak aterosklerotik
a. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan
arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi
sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel,
migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons
inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis.
Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain
hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Faktor risiko ini dapat menyebabkan
kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel
memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel
mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi
perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak.
5
otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat
terjadinya plak.
c. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis,
dan infl amasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi
ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di
sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit,
selanjutnya terbentuk trombus.
2.5.Menifestasi klinis
Riwayat perjalanan nyeri dada sangat penting untuk membedakan ACS dengan
sejumlah penyakit lainnya. Gejalanya berupa gejala khas angina, yaitu nyeri dada
tipikal yang berlangsung selama 10 menit atau lebih yang terasa seperti ditusuk-tusuk,
ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, rasa diperas dan terpelintir. Nyeri tidak
sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat nitrat serta dapat dicetus oleh
serangkaian faktor seperti latihan fisik, stress, emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Nyeri juga bisa terjadi pada daerah-daerah yang independen dari nyeri dada. pasien dengan
NSTE-ACS juga bisa timbul dengan diaphoresis, dyspnea, mual, sakit perut, atau sinkop.
Dyspnea saat aktivitas adalah yang paling umum saat angina equivalent tanpa gejala nyeri.
Faktor-faktor resiko lain yang harus menjadi pertimbangan adalah probabilitas usia yang
lebih tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga positif CAD, dan adanya penyakit arteri
perifer, diabetes mellitus, insufisiensi ginjal, MI sebelumnya, dan revaskularisasi koroner
sebelumnya. Meskipun pasien yang lebih tua (≥75 tahun) dan perempuan biasanya hadir
dengan gejala khas ACS, namun frekuensi presentasi atipikal meningkat pada kelompok-
kelompok ini serta pada pasien dengan diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal, dan
demensia. Gejala atipikal, termasuk nyeri epigastrium, gangguan pencernaan, nyeri pleuritik,
dan meningkatkan dyspnea dengan tidak adanya nyeri dada harus meningkatkan kepedulian
terhadap ACS. Gejala lain termasuk masalah kejiwaan (misalnya, gangguan somatoform,
serangan panik, gangguan kecemasan).
6
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya sindroma koroner akut
Pemeriksaan fisis pada pasien SKA dapat normal, namun tanda-tanda gagal jantung
harus dievaluasi dalam menegakkan diagnosis dan tatalaksana SKA. Ronkhi halus dapat
ditemukan pada kedua lapangan paru pada keadaan suatu gagal jantung akut. Suatu IMA
dapat menyebabkan paradoxical splitting dari S2 atau murmur baru regurgitasi mitral akibat
adanya disfungsi muskulus papilaris. Pemeriksaan fisis penting dilakukan untuk membedakan
suatu SKA dengan diagnosis banding lainnya yang dapat meniru suatu SKA, seperti diseksi
aorta, perikarditis akut, pneumothorax, atau aneurisme aorta abdominalis
Pemeriksaan EKG
Berdasarkan guidelines ESC terbaru, perubahan EKG pada pasien dengan nyeri dada
yang persisten dibagi menjadi 2 yaitu (Hamm, Bassand, et al., 2011):
Pasien nyeri dada dengan elevasi segmen ST > 20 menit yang persisten, disertai inversi
gelombang T dan atau ada gelombang Q. Perubahan EKG ini terjadi pada pasien
STEMI. ST elevasi yang tipikal pada STEMI adalah bila didapatkan elevasi ST pada 2
sadapan yang berdekatan (contigous leads) ≥ 0,25 millivolts (mV) pada laki- laki < 40
tahun, dan ≥ 0,2 mV pada laki-laki > 40 tahun atau ≥ 0,15 mV pada wanita di sadapan
V2-V3 dan atau ≥ 0,1 mV pada sadapan yang lain (bila tidak ada hipertropi ventrikel
7
kiri/left ventricle hypertrophy (LVH) atau LBBB,termasuk sadapan V3R , V4R dan
sadapan V7-V9.
Pasien nyeri dada tanpa disertai elevasi segmen ST dan bisa berupa depresi segmen ST
yang persisten ataupun transient, inversi gelombang T, dan/atau gelombang T yang
datar. Perubahan EKG ini terjadi pada pasien APTS/UA dan NSTEMI. Maka untuk
membedakan keduanya digunakan petanda biomarker kardiak serial.
Sel miokard yang mengalami injuri akan melepaskan protein dan enzim yang dikenal
dengan penanda biokimia kardiak ke dalam darah. Penanda biokimia ini membantu para
dokter untuk mementukan apakah pasien mengalami suatu IMA. Manfaat dari berbagai
penanda kimia ditentukan oleh waktu dan durasi peningkatan kadarnya didarah. Troponin T
dan troponin I merupakan penanda biokimia kadiak yang paling spesifik. Protein ini dalam
keadaan normal tidak ditemukan diserum darah oleh karena itu peningkatan kadar diserum
kedua penanda biokimia ini dapat memprediksi derajat pembentukan trombus dan embolisasi
mikrovaskular yang berkaitan dengan lesi koroner.
Kadar troponin I dan T mengalami peningkatan dalam empat sampai enam jam dari
injuri miokard. Kadar troponin I tetap meningkat selama 4- 7 hari sedangkan troponin T tetap
meningkat dalam 10-14 hari. Troponin kardiak merupakan penanda biokimia pilihan dalam
mendiagnosis SKA karena peningkatan kadarnya berkaitan dengan diagnosis yang lebih
akurat, prediksi risiko tinggi kejadian KV yang akan datang bahkan bila kadar CKMB normal
atau meningkat ringan. Selain itu troponin mengurangi positif palsu ketika terjadi suatu injuri
muskuloskeletal (contohnya trauma atau pembedahan). Apabila pada laboratorium tidak
tersedia troponin maka CKMB dapat dipilih sebagai alternatifnya, dimana CKMB merupakan
enzim spesifik kardiak yang dilepaskan dalam empat sampai enam jam setelah injuri dan
tetap meningkat selama 48 sampai 72 jam setelah injuri.
Penanda kardiak lainnya adalah mioglobin yang merupakan suatu protein heme, tidak
bersifat spesifik kardiak namun masih dapat dipertimbangkan sebagai penanda biokimia yang
bermakna karena meningkat pertama kali setelah terjadi kerusakan miokard. Apabila onset
gejala SKA pasien kurang dari 3 jam, CKMB dan troponin dapat belum mengalami
peningkatan , maka pada kedaan ini pemeriksaan mioglobin dapat membantu diagnosis awal
suatu IMA dan menentukan terapi segera..
8
2.7.Diagnosis
Gambar2. EKG, Seorang pria berusia 54 tahun dengan dua jam nyeri dada, tampak ST
elevasi Lead V6 dan ST depresi di I, aVL, dan V1-V4.(3)
9
2.8.Penatalaksanaan
Secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hampir sama baik pra maupun
saat di rumah sakit hanya berbeda dalam strategi reperfusi terapi, dimana STEMI lebih
ditekankan untuk segera melakukan reperfusi baik dengan medikamentosa (trombolisis)
atau intervensi percutaneus coronary intervention (PCI). Berdasarkan rekomendasi
AHA/ACC tahun 2013, sangat ditekankan waktu efektif reperfusi terapi.
Tatalaksana ACS dibagi atas:
1. Prehospital
Monitoring dan amankan ABC, persiapkan RJP dan defibrilasi
Berikan Aspirin dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin dan morfin jika
diperlukan
Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi
Lakukan pemberitahuan ke Rumah sakit untuk persiapan penerimaan pasien
dengan STEMI
2. Hospital
Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
Pasang intravena
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah
Lengkapi check list fibrinolitik, cek kontraindikasi
Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit dan pembekuan darah
Pemeriksaan sinar X (<30 menit setelah pasien sampai IGD)
Berikan Aspirin 160-325 mg dikunyah
Nitrogliserin sublingual
Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang
3. Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan STEMI
tahap awal karena fase inilah yang menentukan progresivitas perburukan area infark. Bagi
pasien dengan manifestasi klinis STEMI <12 jam dengan ST elevasi persisten atau
adanya LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) primer atau terapi reperfusi secara farmakologi harus dilakukan
sesegera mungkin. Penanganan reperfusi STEMI dalam 24 jam pertama sebelum pasien
tiba di rumah sakit. Terapi PCI primer diindikasikan dilakukan dalam dua jam pertama
10
terhitung jarak pertama sekali pasien mendapatkan terapi (first medical contact). Dalam
dua jam pertama tersebut terapi reperfusi dengan PCI primer lebih diutamakan dibandingkan
dengan terapi dengan menggunakan fibrinolisis. Sebelum dilakukan PCI primer maka
dianjurkan pemberian dual antiplatelet therapy (DAPT) meliputi aspirin dan adenosine
diphosphate (ADP).
4. Terapi Non-reperfusi
Terapi non reperfusi ini dilakukan jika onset serangan sudah melibihi 12 jam.
Obat-obat yang digunakan meliputi antitrombotik, meliputi aspirin, clopidogrel, serta
agen antithrombin seperti UFH, enoxaparin, atau fondaparinux harus diberikan sesegera
mungkin.
2.9. Komplikasi
1. Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan pada saat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari
separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki
paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada.
Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan
temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat
disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan atau penurunan isi
sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena mengurangi
kongesti paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan diastolik. Klasifikasi
berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut berdasarkan suara ronkhi
dan S3 gallop:
11
Derajat II : Gagal jantung dengan ronkhi di basal paru (setengah lapangan paru bawah),
S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru.
Derajat IV :Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru disertai
dengan syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90mmHg) dan
vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
2. Stroke iskemik
Pasien STEMI bisa mengalama stroke iskemi sebagain efek kompolikasi iskemik akut
dan AF Peresisten. .Pasien STEMI yang mengalami stroke dengan AF persisten harus
mendapat terapi warfarin seumur hidup (INR 2-3) (level of evidence A).Pasien STEMI
dengan atau tanpa stroke iskemik akut yang memiliki sumber AF d jantung, trombus
mural/ akinetik segmen harus mendapat terapi warfarin intensitas sedang. Durasinya
tergantung kondisi klinis (minimal 3 bulan untuk pasien dengan thrombus mural/akinetik
segmen dan tidak terbatas pada pasien AF persisten). Pasien harus mendapat
LMWH/UFH sampai antikoagulasi dengan warfarin adekuat (level of evidence
B).Cukup beralasan untuk menilai risiko stroke iskemik pasien STEMI (level of
evidence A). Cukup beralasan untuk pasien STEMI dengan risiko stroke iskemik akut
nonfatal menerima terapi suportif untuk menuunkan komplikasi dan meningkatkan outcome
fungsional (level of evidence C).Angioplasty karotis 4-6 minggu setelah stroke iskemik dapat
dipertimbangkan pada pasien STEMI yang mengalami stroke iskemik akut karena stenosis
pada a.carotis inferior min 50% dengan risiko tinggi morbiditas/mortalitas setelah STEMI.
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama
perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivesel.
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena
jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.
12
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard. Aritmia yang
biasanya timbul dapat berupa Fibrilasi atrium, Aritmia supraventricular, Asistol ventrikel,
bradiaritmia dan Blok.
6. Komplikasi Mekanik
Komplikasi mekanik adanya infark pada jantung adalah ruptur muskulus papilaris, ruptur
septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.
2.10. Prognosis
Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan klasifikasi Killip dan TIMI
score (Thrombolysis in Myocardial Infarction). Klasifikasi Killip adalah alat klinis sederhana
untuk penentuan keadaan klinis pasien dengan ST-elevasi miokard infark (STEMI). Menurut
Killip dan Kimball kriteria pasien dikelompokkan ke dalam 4 kelas selama pemeriksaan fisik.
Pasien di Killip I menunjukkan tidak ada bukti gagal jantung (HF). Pasien di Killip II
memiliki temuan klinis konsisten ringan sampai sedang HF, Kelas III menunjukkan edema
paru yang jelas dan pasien kelas IV berada di kardiogenik syok. Risiko pasca-MI stratifikasi
yang telah diturunkan dari beberapa uji klinis penting untuk mengatur pengobatan dan
prognosis yang tepat. Pasien dengan kelas Killip tinggi memiliki gambaran angiografi yang
lebih berat penyakit arteri koroner serta insiden yang lebih tinggi adanya disfungsi ventrikel,
dan infark miokard yang luas.
TIMI risk score berfungsi untuk mengidentifikasi STEMI signifikan gradien dari
risiko kematian dengan menggunakan variabel yang menangkap sebagian besar
informasi prognostik yang tersedia di multivariabel model. Kapasitas prediksi risiko ini
skor stabil selama beberapa titik waktu, pada pria dan wanita, dan pada perokok dan
bukan perokok. Selain itu,TIMI skor risiko dilakukan baik dalam data eksternal yang
besar ditetapkan pasien dengan STEMI.
13
Gambar 2. TIMI Risk Score
14
BAB III
KESIMPULAN
Acute coronary syndrome (ACS) saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan
utama di dunia. Sejak tahun 1990 prevalensi ACS terus meningkat, pada tahun 2004
American Heart Association (AHA) memperkirakan prevalensi ACS di Amerika Serikat
mencapai 13.200.000 jiwa. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun
2013, ACS menjadi penyebab kematian terbanyak dengan mencapai jumlah 7 juta jiwa
kematian setiap tahunnya di seluruh dunia, hal ini terutama terjadi di negara berkembang
(WHO, 2013).
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 di Indonesia,
prevalensi ACS mencapai 9,3% dan menempati peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian
terbanyak setelah stroke dan hipertensi (Depkes RI, 2008).
15
DAFTAR PUSTAKA
16