Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn K (65 TAHUN)

DENGAN ABSES PEDIS DI RUANG TERATAI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


BANGIL

OLEH :

Nama: Deki Huki Palangga Ringu

Nim:2018611028

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI

MALANG

2019
A. PENGERTIAN
Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga
(rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas.( Mansjoer, 2007 )
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari infeksi
yang melibatkan 2rganism piogenik, nanah merupakan suatu campuran dari jaringan
nekrotik, bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim
autolitik.( Price, 2005)
Abses (misalnya bisul) biasanya merupakan titik “mata”, yang kemudian
pecah; rongga abses kolaps dan terjadi obliterasi karena fibrosis, meninggalkan
jaringan parut yang kecil.( Doengos, 2010 )
Pedis adalah anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan
(dari pangkal paha ke bawah).(Mansjoer,2007)

B. ETIOLOGI
1. Infeksimikrobial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah
infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi
intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis
kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan
endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.
2. Reaksihipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan
merusak jaringan.
3. Agenfisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan
merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses
radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan
kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan
oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan
terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus
yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering
memperlihatkan suatu respons, radang akut.( Underwood, 2000 )

C. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Smeltzer & Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan
pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa:
1. Nyeri
2. Nyeri tekan
3. Teraba hangat
4. Pembengakakan
5. Kemerahan
6. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai
benjolan. Adapun lokasi abses antar lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika abses
akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya
menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala seringkali terlebih
tumbuh lebih besar. Abses dalam mungkin lebih menyebarkan infeksi keseluruh
tubuh.( Underwood, 2000 )

D. PATOFISIOLOGI
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau benda asing
membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin
tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan
sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran
darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul,
oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah pus menginfeksi
struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut
justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan
(agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam
pus.Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi
nanah di dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses
mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses
terjadinya abses tersebut.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi
bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi
infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan
sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel
darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang
mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih
lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh
maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.( Price, 2005 )

E. PATHWAYS
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan leukosit menunjukan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan pemeriksaan rontgen,
USG, CT, Scan, atau MRI.( Underwood, 2000 )

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Temuan yang umum peradangan-panas, kemerahan, bengkak, dan nyeri-
mudah mengidentifikasi abses dangkal. Abses di tempat lain mungkin hanya
memproduksi gejala umum seperti demam dan ketidaknyamanan. Jika seseorang
gejala dan hasil pemeriksaan fisik tidak membantu, dokter mungkin harus resor untuk
baterai tes untuk menemukan lokasi abses. Biasanya sesuatu dalam mengarahkan
evaluasi awal pencarian. Baru atau penyakit kronis di organ mungkin menunjukkan
lokasi abses. Disfungsi organ atau sistem, misalnya kejang atau berubah fungsi usus,
dapat memberikan petunjuk. Rasa sakit dan nyeri pada pemeriksaan fisik adalah
temuan umum. Kadang-kadang abses yang mendalam akan makan saluran kecil
(sinus) ke permukaan dan mulai bocor nanah. Sebuah abses steril hanya dapat
menyebabkan benjolan yang menyakitkan jauh di pantat di mana tembakan itu
diberikan.

H. PENATALAKSANAAN
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik.
Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah,
debridemen, dan kuretase untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan,
suatu abses bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Salah satu pembedahannya yaitu
dengan laparatomi eksplorasi.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebab,
utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus
diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong
dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga
antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya di indikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap pus
yang lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang
kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir
yang perlu dilakukan.
Memberikan kompres hangat pada daerah yang bengkak dan meninggikan
posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan.
Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA)
yang didapat melalui komunitas, 6ntibiotic biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk
menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan 6ntibiotic lain:
clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses bisa
ditusuk dan dikeluarkan isinya. Suatu abses tidak memiliki aliran darah, sehingga
pemberian antibiotik biasanya sia-sia.

Antibiotik biasanya diberikan setelah abses mengering dan hal ini dilakukan
untuk mencegah kekambuhan. Antibiotik juga diberikan jika abses menyebarkan
infeksi kebagian tubuh lainnya.( Mansjoer, 2007)

I. PENGKAJIAN

Menurut Doenges,E.M (2010), data dasar pengkajian pasien dengan Abses Pedis
meliputi:
1. Aktivitas/istirahat
Menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu lemah, latergi, penurunan massa
otot/tonus.
2. Sirkulasi
Menunjukkan adanya gagal jantung kronis, distritmia, bunyi jantung ekstra, distensi
vena abdomen.
3. Eliminasi
Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus, distensi abdomen,
penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap pekat.
4. Makanan/cairan
Menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat
mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan dan peningkatan cairan, edema, kulit
kering, turgor buruk, ikterik.
5. Neurosensori
Menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma, bicara tidak jelas.
6. Nyeri/kenyamanan
Menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan atas, pruritas, perilaku berhati-
hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
7. Pernapasan
Menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan,
ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia.
8. Keamanan
Menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, ekimosis.
9. Seksualitas
Menunjukkan adanya kelainan pada alat genetalia.( Doengos, 2010 )
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas
otot.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanisme pada
kulit/jaringan.
4. Resiko tinggi infeksi berubungan dengan luka operasi dan prosedur invasif.
5. Gangguan kebutuhan tidur berhubungan dengan proses penyakit, efek
hospitalisasi, perubahan lingkungan.
6. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses kesehatan.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.( Doengos, 2010 )

K. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot,
trauma musculoskeletal/tulang.
Tujuan: rasa nyeri/sakit telah terkontrol/dihilangkan.
KH:
– Klien melaporkan adanya rasa nyeri yang berkurang.
– Wajah klien terlihat rileks.
Intervensi:
1) Kaji skala nyeri, intensitas, dan frekuensinya.
2) Evaluasi rasa sakit secara regular.
3) Kaji tanda-tanda vital.
4) Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin sesuai prosedur
operasi.
5) Berikan posisi yang nyaman bagi klien.
6) Dorong penggunaan teknik relaksasi.
7) Kolaborasi dalam memberikan obat analgetik sesuai advice dokter..
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan: Klien mampu beraktivitas seperti biasanya.
KH:
– Berpartisipasi dalam aktivitas fisik.
– Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
– klien dapat beristirahat dan beraktifitas sesuai kemampuan.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
2) Observasi adanya kelelahan dalam melakukan aktifitas
3) Monitor Tanda-tanda Vital sebelum, selama dan sesudah melakukan
aktifitas.
4) Berikan lingkungan yang tenang bagi klien.
5) Tingkatkan aktifitas klien sesuai dengan toleransi klien.
6) Bantu klien dalam melakukan aktivitasnya.
7) Ajarkan teknik ROM aktif dan ROM pasif pada klien.
3. Gangguan integeritas kulit berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan kesehatan.
Tujuan: klien memperlihatkan tindakan untuk meningkatan metabolik.
KH:
– Integritas kulit klien dapat mengalami perbaikan.
– Ketahanan kesehatan kulit terjaga.
Intervensi:
1) Kaji kembali kemampuan dan keadaan klien secara fungsional
2) Letakkan klien pada posisi tertentu.
3) Pertahankan kesejahteraan tubuh secara fungsional.
4) Bantu dalam melakukan latihan rentang gerak.
5) Berikan perawatan kulit dengan cermat.
6) Kolaborasi dalam memperbaiki integritas kulit bagi klien.
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi dan prosedur invasif.
Tujuan: Tidak terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi.
KH:
– Keadaan luka baik, tidak ada tanda-tanda infeksi.
– TTV dalam batas normal.
Intervensi:
1) Berikan perawatan aseptik dan anti septik, pertahankan cuci tangan
yang baik.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (luka, insisi).
3) Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil.
4) Awasi atau kurangi jumlah penggunjung.
5) Berikan lingkungan yang bersih, kondusif bagi klien.
6) Monitor hasil laboratorium mengenai jumlah leukosit klien tiap
pemeriksaan.
7) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
5. Gangguan kebutuhan istrahat tidur berhubungan dengan perubahan
lingkungan dan efek hopitalisasi.
Tujuan: kebutuhan istrahat dan tidur klien dapat terpenuhi.
KH:
– Klien melaporkan dapat istirahat dan tidur.
– Kebutuhan istirahat dan tidur klien terpenuhi.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan kebiasaan tidur klien
2) Berikan tempat tidur yang nyaman dengan beberapa barang milik
pribadinya contoh : Sarung, guling
3) Dorong aktifitas ringan pada klien.
4) Intruksikan tindakan relaksasi
5) Ciptakan lingkungan yang nyaman bagi klien dengan membatasi
pengunjung.
6) Kolaborasi dalam memberikan obat sesuai indikasi dokter.
6. Cemas b.d kurang pengetahuan tentang proses kesehatan.
Tujuan: Cemas klien berkurang atau hilang.
KH:

– Klien mampu mengungkapkan cara mengatasi cemas


– Klien Mampu menggunakan coping secara efektif.

Intervensi:

1) Bina Hubungan saling percaya pada klien.


2) Libatkan keluarga dalam meyakinkan klien tentang kesehatanya.

3) Jelaskan semua Prosedur yang akan dilakukan pada klien.

4) Hargai pengetahuan klien tentang penyakitnya

5) Bantu klien untuk mengefektifkan sumber support seperti keluarga.

6) Berikan reinfocement untuk menggunakan Sumber Coping yang


efektif.

7) Yakinkan klien tentang proses kesehatanya.

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, pragnosis kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Menyatakan, pemahaman tentang proses penyakit/pragnosis.
KH:
– Klien dapat memahami keadaan kesehatanya.
– Klien dan keluarga tidak mencemaskan perubahan status kesehatanya.
Intervensi:
1) Tinjau ulang pembedahan/prosedur khusus yang dilakukan dan
harapan masa datang.
2) Diskusikan terapi obat-obatan, meliputi penggunaan resep.
3) Indentifkasi keterbatasan aktivitas khusus.
4) Berikan penjelasan pada klien tentang proses penyakitnya.
5) Berikan kesempatan pada klien untuk bertanya tentang penyakitnya.
6) Libatkan orang terdekat dalam program pengajaran.
R/Menyediakan instruksi tertulis/materi pengajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Dengoes,Marlyn E.2010. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. Jakarta:ECG.

Smeltzer,Suzane.2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC.

Price,Sylvia.2005.Patofisiologi.Jakarta:EGC.

Mansjoer,Arief.2007.Kapita selekta kedokteran.Jakarta.EGC

J. c. e. Underwood 2000.Patologi Umum dan Sistematika. Edisi II. Jakarta: Balai Penerbitan
Buku Kedokteran ECG.

Anda mungkin juga menyukai