Dosen Pembimbing :
Disusun oleh :
1 Moch Syahrul Birri H41160679
2 Arip Mujito H41160772
3 David Mahendra H41160780
4 Muhammad Rizal Efendi H41160800
5 Rivaldy Ahmad Nurfaizy H41160827
6 Mohammad Yusuf Chabibi H41160863
7 Ridwan Fauzi H41160908
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.2.Tujuan
1. Mengetahui kadar FFA pada minyak kelapa
2. Mengetahui proses dan hasil pada pembuatan biodiesel dari minyak jelantah
3. Mengetahui karakteristik biodiesel dari minyak jelantah kelapa
BAB 2
DASAR TEORI
Minyak goreng bekas yang biasa disebut minyak jelantah, sangat potensial
untuk diolah menjadi biodiesel. Sementara ini, pemanfaatan minyak jelantah di
Indonesia masih dinilai kontraversial. Minyak jelantah dari perusahaan besar dijual
ke pedagang kaki lima dan kemudian digunakan untuk menggoreng makanan
dagangannya dan sebagian lagi hilang begitu saja ke saluran pembuangan (Ananta,
2002). Selanjutnya Ananta (2002), telah melakukan penelitian tentang biodiesel
dari minyak jelantah dengan metode transesterifikasi dua tahap menyimpulkan
bahwa sifat-sifat ester dari minyak jelantah (AME) tidak berbeda jauh dari sifat
biodiesel dari minyak baru dan juga sifat minyak solar
Minyak jelantah adalah minyak yang telah digunakan lebih dari dua atau
tiga kali penggorengan, dan dikategorikan sebagai limbah karena dapat merusak
lingkungan dan dapat menimbulkan sejumlah penyakit. Sebuah penelitian
menyimpulkan bahwa orang-orang yang menggunakan minyak jelantah lebih
mungkin mengidap tekanan darah tinggi dibandingkan dengan mereka yang sering
mengganti minyak gorengnya untuk memasak (Anonim, 2003)
3. Transesterifikasi
Penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar diesel menimbulkan suatu
masalah karena tingginya viskositas, dimana dapat menyebabkan pembakaran yang
kurang sempurna pada mesin diesel. Untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan
mereaksikan minyak dan alkohol berantai pendek dengan bantuan katalis. Proses
ini dikenal dengan reaksi transesterifikasi atau alkoholisis. (Prakoso, 2004)
Karena sifatnya yang ireversible, maka pergeseran reaksi ke kanan (ke arah
produk) biasanya dilakukan dengan menggunakan alkohol secara berlebih dari
kesetimbangan stoikhiometri (Anonim, 2005).
Dalam reaksi alkoholis, alkohol bereaksi dengan ester dan menghasilkan ester
baru. Pada pembuatan biodiesel melalui reaksi transesterifikasi dapat dilakukan
secara batch dan bisa juga secara kontinyu. Persamaan reaksi antara trigliserida dan
metanol pada proses transesterifikasi ditunjukkan pada gambar 1 berikut.
(Anonym, 2005).
4. Pencucian Biodiesel
Pencucian merupakan proses lanjutan dalam pembuatan Biodiesel setelah
proses transesterifikasi. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan pengotor
yang masih terdapat dalam biodiesel. Pengotor ini termasuk sisa katalis dan gliserol
serta sisa alkohol yang tidak bereaksi. Penambahan air yang dilakukan pada
umumnya sebesar 50 % dari total minyak yang akan dicuci. Pencucian yang
dilakukan pertama kali akan menimbulkan warna pada air pencuci menjadi putih
seperti air susu (Suprianti & Kurniawan, 2006). Untuk mendapatkan hasil yang
terbaik diperlukan 3 – 4 kali pencucian hingga air pencuci menjadi lebih jernih
setelah terpisah. Air yang digunakan pada proses pencucian dengan suhu minimal
30ºC. Pencucian dengan air hangat ini akan meningkatkan nilai kelarutan dari
pengotor. Dalam proses pencucian, penambahkan asam bertujuan untuk
menetralisasi katalis basa yang digunakan dalam proses trans-esterifikasi. Akan
tetapi asam yang digunakan dalam proses netralisasi ini juga menimbulkan reaksi
balik dimana sabun yang terbentuk akan diubah kembali menjadi asam lemak bebas
(free fatty fcid ) dimana asam lemak bebas ini tidak diinginkan keberadaannya
dalam bahan bakar. Ada tiga metode pencucian yan umum : Spray Washing, Bubble
Washing dan Pengadukan (Hayafuji, 1999; Van Gerpen et.al, 2004.; Knothe, et.al,
2005)
a. Metode semprotan (Spray Washing) : Metode ini mengubah partikel air yang
digunakan untuk mencuci menjadi partikel yang lebih halus / kecil, kemudian
dipompa ke bagian permukaan atas tangki pencucian dan digunakan sprayer untuk
menyebarkan partikel air tersebut. Pompa yang digunakan juga tergantung pada
banyaknya biodisel yang akan dicuci. Semakin banyak biodiesel yang dicuci maka
sebanding dengan volume tangki pencuci serta kekuatan pompa untuk mengalirkan
air pencuci tersebut. Air pencuci yang berbentuk partikel halus ini akan melewati
permukaan crude metil ester dan turun ke bawah, sesuai dengan berat jenis air,
dengan mengikat pengotor yang ada. Pengotor yang diharapkan terikat yaitu sisa
methanol yang tidak bereaksi dengan minyak serta sisa katalis KOH yang tidak ikut
terbuang dalam gliserol.
Metode pencucian ini bertujuan untuk memperluas kontak antara crude metil ester
dan air pencuci dengan cara pengadukan. Proses pengadukan ini memakai motor
yang menggerakkan pengaduk sehingga pengotor di dalam crude metil ester dapat
larut dalam air pencuci (Hayafuji, S., 1999, Method and apparatus for producing
diesel fuel oil from waste edible oil, Lonford Development Limited, Kyoto)
CH2-O-COR1 R1COOR’ CH2OH
2. Metanol (CH3OH)
Metanol merupakan bentuk alkohol paling sederhana pada keadaan atmosfer,
metanol berebentuk cairan yang ringan, mudah menguap tidak berwarna , mudah
terbakar dan beracun dengan bau khas. Methanol dapat dibantu dengan
mereaksikan Hidrogen dan karbon dioksida. Metanol banyak dipakai pada industri
sebagai starting. (Taufik, 2012)
Sifat fisika kimia Metanol dapat dilihat pada Tabel 2.
3. Katalis
Katalis adalah zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu tanpa
mengalami perubahan. Katalis basa yaitu natrium hidroksida. Katalis NaOH
bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap kerbon dioksida dari udara bebas.
NaOH dapat larut dalam etanol dan metanol. (Ayuk, 2012) Sifat fisik kimia NaOH
dapat dilihat pada Tabel 3.
METODOLOGI
4.1. Data
4.1.1. Data Uji FFA (Free Fatty Acid)
Tabel. 4.1 ( Data hasil titrasi)
Sampel Etanol 95 % KOH 0,1 N Volume Titran
Minyak (gram) (ml) Volume Titran Rata-rata
(ml)
5 100 18,1
5 100 21,75 21.183
5 100 23,7
4.2.2. Trans-Esterifikasi
Sampel sebelumnya yaitu minyak jelantah kelapa sawit memiliki
FFA yang terlalu tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
transesterefikasi. Maka dari itu kami mengganti sampel dengan minyak
jelantah minyak kelapa yang relatif memiliki kadar FFA lebih rendah.
Menurut Valency, (2018) dalam penentuan kadar FFA pada minyak
jelantah didapat kadar FFA kurang dari 1 % dimana langsung dapat
dilanjutkan ke proses transesterefikasi. Transesterefikasi dilakukan untuk
mengkonversi minyak jelantah menjadi biodisel menggunakan katalis
asam ( Suhartono, 2005 ). Sedangkan pada penelitian kami menggunakan
katalis basa yaitu KOH karena penggunaan katalis basa dapat dilakukan
pada suhu ruang. Beda halnya dengan katalis asam yang memerlukan
pemanasan 50-100 C ( Lesmana, 2006 ).
4.2.3. Pencucian
Biodisel yang dihasilkan kemudian dilakukan pemurnian atau
pencucian. Pencucian biodisel bertujuan untuk memisahkan biodisel dari
gliserol, katalis dan sisa reaktan. ( Budiawan dkk, 2013 ). Pada penelitian
ini pencucian menggunakan perbandingan antara biodisel dengan aquadest
panas ( 60 C ) yaitu 1:1. Penggunaan air sebagai pencucian karena untuk
melarutkan Katalis, dan metanol yang bisa larut dalam air. Hasil dari
pencucian diluar dugaan terjadi penyabunan pada biodisel setelah di
diamkan 1 hari. Akan tetapi setelah di diamkan lebih lama yaitu selama 7
hari reaksi penyabunan menghilang sehingga dihasilkan biodisel yang lebih
murni. Metil ester adalah biodisel namun belum murni atau masih perlu
dilakukan penetralan hingga Ph metil ester mendekati 7 (netral) dengan
penambahan zat asam dan basa ( Ahmad, 2007 ). Sedangkan untuk hasil
metil ester atau biodisel pada penelitian ini didapatkan Ph 9-10 yang berarti
basa. Pengaruh Ph yang termasuk kategori basa diduga menjadi alasan
terbentukanya reaksi saponifikasi pada saat setalah penyucian atau
pemurnian. Selain itu dari diagnogsa kami bawasanya penambahan air
panas suhu 60 C saat pencucian yang menyebabkan terjadinya reaksi
penyabunan dimana setelah diamati lebih lama ( 7 hari ) ternyata reaksi
penyabunanya menghilang. Maka kami menganggap bahwa suhu yang
tinggi mengakibatkan terjadinya reaksi penyabunan. Dikarenakan suhu
yang tinggi adalah salah satu faktor dalam cepatnya proses reaksi. Semakin
panas suhu pencucian mengakibatkan air yang mulanya hanya sebagai
pelarut akan memebuat katalis KOH kembali bereaksi dengan kadar FFA
yang masih tersisa pada minyak jelantah kelapa. Menurut Ahmad, (2007)
reaksi penyabunan terjadi antara asam lemak bebas (FFA) dengan katalis
basa, sehingga effektifitas katalis akan menurun karena sebagian katalis
bereaksi dengan asam lemak.
Sipahutar, R.2013.”Pengaruh variasi suhu dan waktu karena biodiesel dari minyak
jarak terhadap kuantitas Biodisel yang dihasilkan. Jurusan Teknik
Mesin. Universitas Sriwijaya. Jurnal rekayasa mesin Vol. 13 No.
1
Budiman, R., Zufiansyah., Fatra, W., dan Helwani, Z. 2013. Off-grade palm oil ar
a Renewable Raw Material for Biodisel production By two-stop
Processes. Chesa Cenference. Januari. Banda Aceh Chemial
Enginering on science and Application
Sumiarso, L. 2016 standard dan mutu bahan bakar nabati jenis Biodisel sebagai
bahan bakar lain.
Lampiran 1.
Uji FFA
𝑚𝑙 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝑁 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝑀
Kadar asam = 10 𝑥 𝐺
Keterangan :
Trans-Esterifikasi
Hasil trans-esterifikasi
Volume gliserol = 50 ml
Pencucian
Volume aquades = 93 ml
Saponifikasi = 105 ml
Dengan pH 9-10
volume : 79 ml
pH : 6