Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM BAHAN BAKAR NABATI

PEMBUATAN BIODISEL DARI MINYAK JELANTAH KELAPA

Dosen Pembimbing :

Valency Femintasari, S.Pd, M.Pd

Disusun oleh :
1 Moch Syahrul Birri H41160679
2 Arip Mujito H41160772
3 David Mahendra H41160780
4 Muhammad Rizal Efendi H41160800
5 Rivaldy Ahmad Nurfaizy H41160827
6 Mohammad Yusuf Chabibi H41160863
7 Ridwan Fauzi H41160908

PROGRAM STUDI TEKNIK ENERGI TERBARUKAN


JURUSAN TEKNIK
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pembuatan biodiesel telah banyak dilakukan seiring menipisnya cadangan


minyak bumi dunia. Penelitian pembuatan biodiesel diawali oleh Rudolf Diesel,
pada tahun 1900 menciptakan mesin diesel berbahan bakar minyak nabati (minyak
kacang tanah) (Knothe et al., 1997; Khan, 2002).
Biodiesel didefinisikan sebagai mono alkil ester asam lemak rantai
panjang yang diturunkan dari bahan baku lemak sebagai sumber yang dapat
diperbaharui, seperti minyak nabati dan lemak hewani, untuk digunakan dalam
mesin diesel (ASTM, 2003). Pemanfaatan biodiesel dapat mengurangi berbagai
masalah, diantaranya sebagai solusi mengantisipasi krisis energi. Selain itu, sebagai
upaya untuk mendorong eksplorasi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan
(Knothe et al., 1997; Srivastava dan Prasad, 2000).
Pengembangan pemanfaatan biodiesel terus dikembangkan seiring dengan
kebutuhan energi yang terus meningkat. Maka dari itu telah banyak dilakukan
berbagai penelitian tentang pengembangan pemanfaatan biodiesel, walaupun
diperlukan pengembangan lebih lanjut dalam berbagai aspek teknis dan ekonomis.
Secara ekonomis, pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel
memberikan nilai lebih, karena ketersediaan bahan yang melimpah dan merupakan
bahan yang tidak terpakai lagi.
Ketika minyak goreng dipakai untuk menggoreng terjadi peristiwa
oksidasi dan hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam. Konsentrasi
asam lemak bebas bertambah dengan pemanasan pada suhu tinggi dan waktu yang
lama selama penggorengan. Adanya kandungan asam lemak bebas yang rendah
dalam minyak jelantah dapat menjadi ester apabila bereaksi dengan metanol
melalui proses standar untuk pengolahan biodiesel adalah dengan proses
transesterifikasi, namun jika bereaksi dengan natrium atau kalium akan membentuk
sabun. Reaksi transesterifikasi tanpa katalis akan memerlukan waktu yang lama
serta suhu dan tekanan yang tinggi (Zabeti dkk, 2009).
Pembuatan biodiesel umumnya menggunakan katalis basa yaitu NaOH,
KOH, K2CO3, dan lain-lain termasuk CaO untuk mempercepat terbentuknya
produk juga untuk menurunkan energi aktivasi dan pemberian reaktan yang
berlebihan agar reaksi bergeser ke arah kanan. Pengunaan katalis padatan telah
banyak digunakan. Katalis ini meliputi jenis katalis padatan oksida alkali yang
diaplikasikan dalam reaksi transesterifikasi minyak nabati untuk menghasilkan
biodiesel (Leung dkk, 2010). Diantara oksida alkali, kalsium oksida (CaO) banyak
digunakan untuk reaksi transesterifikasi karena memiliki kekuatan basa yang
relative tinggi, ramah lingkungan, kelarutan yang rendah dalam metanol dan dapat
disintesis dari sumber yang murah seperti batu kapur, kalsium hidroksida, batu
gamping, dan yang lain yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) (Zabeti dkk,
2009; Oates, 1998).
Pada tahun 2011, Mahreni dan Endang Sulistyawati telah melakukan
penelitian dengan membuat biodiesel dari minyak sawit dengan menggunakan
katalis CaO yang diperoleh dari hasil proses kalsinasi kulit telur ayam. Kemudian
Didik Prasetyoko dan Imroatul Qoniah juga telah melakukan penelitian dengan
membuat biodiesel dari minyak sawit dengan katalis CaO hasil proses kalsinasi
cangkang bekicot. Oleh sebab itu pada penelitian ini dilakukan pembuatan biodiesel
dari minyak jelantah dan metanol dengan memanfaatkan kapur tohor basah
(Ca(OH)2 yang dikeringkan sehingga membentuk senyawa kapur tohor kering
(CaO) yang kemudian dimanfaatkan sebagai subtitusi katalis, serta melakukan
variasi jumlah minyak jelantah dengan jumlah metanol dan melakukan variasi
temperatur untuk mengetahui kondisi optimum pada proses pembuatan biodiesel.

1.2.Tujuan
1. Mengetahui kadar FFA pada minyak kelapa
2. Mengetahui proses dan hasil pada pembuatan biodiesel dari minyak jelantah
3. Mengetahui karakteristik biodiesel dari minyak jelantah kelapa
BAB 2

DASAR TEORI

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel


yangdiproduksi dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Penggunaan biodiesel
dapat dicampur dengan petroleum diesel (solar). Biodiesel mudah digunakan,
bersifat biodegradable, tidak beracun, dan bebas dari sulfur dan senyawa aromatik.
Selain itu biodiesel mempunyai nilai flash point (titik nyala) yang lebih tinggi dari
petroleum diesel sehingga lebih aman jika disimpan dan digunakan. (Anonim,
2003).

Sifat fisik kimia Biodiesel dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat kimia fisika Biodiesel

Parameter dan Satuannya Batas Nilai


Massa jenis (40 0C), kg/m3 850 – 890
0 2
Viskositas kinematik (40 C), mm /s 2,3 -6,0
Angka setana Minimum 51
(cSt)
Titik nyala 0C Minimum 100
0
Titik kabut, C Maksimum 18
Residu karbon (%-b) : Maksimum 0,05
Air dan sedimen, %-vol. Maksimum 0,05
- dalam contoh
Temperatur asli 90 %, 0C
distilasi Maksimum 360
Maksimum 0,3
Abu tersulfatkan, %-b Maksimum 0,02
-Belerang,
dalam 10ppm-b
% ampas distilasi
(mg/kg) Maksimum 100
Fosfor, ppm-b (mg/kg) Maksimum 10
Angka asam, mg-KOH/g Maksimum 0,8
Gliserol bebas, %-b Maksimum 0,02
Gliserol total, %-b Maksimum 0,24
Kadar ester alkil, %-b Minimum 96,5
Angka iodium, %-b (g-I2/100g) Maksimum 115
Sumber : SNI-04-7182-2006, Persyaratan Mutu Biodiesel di Indonesia

Minyak goreng bekas yang biasa disebut minyak jelantah, sangat potensial
untuk diolah menjadi biodiesel. Sementara ini, pemanfaatan minyak jelantah di
Indonesia masih dinilai kontraversial. Minyak jelantah dari perusahaan besar dijual
ke pedagang kaki lima dan kemudian digunakan untuk menggoreng makanan
dagangannya dan sebagian lagi hilang begitu saja ke saluran pembuangan (Ananta,
2002). Selanjutnya Ananta (2002), telah melakukan penelitian tentang biodiesel
dari minyak jelantah dengan metode transesterifikasi dua tahap menyimpulkan
bahwa sifat-sifat ester dari minyak jelantah (AME) tidak berbeda jauh dari sifat
biodiesel dari minyak baru dan juga sifat minyak solar

Minyak jelantah adalah minyak yang telah digunakan lebih dari dua atau

tiga kali penggorengan, dan dikategorikan sebagai limbah karena dapat merusak
lingkungan dan dapat menimbulkan sejumlah penyakit. Sebuah penelitian
menyimpulkan bahwa orang-orang yang menggunakan minyak jelantah lebih
mungkin mengidap tekanan darah tinggi dibandingkan dengan mereka yang sering
mengganti minyak gorengnya untuk memasak (Anonim, 2003)

Minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik,


yang terjadi selama proses penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak
jelantah yang berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia dan akibat
selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya (Ananta, 2002)

Selanjutnya Ananta (2002), mengatakan bahwa minyak jelantah jika dipakai


untuk menggoreng makanan akan sangat berbahaya bagi kesehatan karena
mengandung senyawa- senyawa karsinogen yang terjadi selama proses
penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan
dapat merusak kesehatan manusia. Penggunaan minyak jelantah yang sudah
berulang kali mengandung zat radikal bebas yang bersifat karsinogenik seperti
peroksida, epioksida, dan lain-lain. Pada percobaan terhadap binatang, konsumsi
makanan yang kaya akan gugus peroksida ini menimbulkan kanker usus. (Anonim,
2005)

Perkembangan biodiesel dari minyak jelantah semakin pesat dengan


dilarangnya pemakaian minyak jelantah untuk campuran pakan ternak, karena
sifatnya yang karsinogenik. Sekarang biodiesel dari minyak jelantah telah di
produksi di mana-mana di negara Eropa, Amerika dan Jepang. Biodiesel dari
minyak jelantah di Austria dikenal dengan nama AME (Altfett Methyl Ester),
sedang di Jerman selain dikenal dengan AME juga mendapat nama Frittendiesel
atau Ecodiesel, sedang di Jepang dikenal dengan e-oil (Ananta, 2002).

A. Tahap Pembuatan Biodiesel


1. FFA ( Free Fatty Acid )
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas
tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses
hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Hasil reaksi
hidrolisa minyak sawit adalah gliserol dan ALB. Reaksi ini akan dipercepat dengan
adanya faktor-faktor panas, air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama
reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar ALB yang terbentuk Asam
lemak bebas dalam kosentrasi tinggi yang terikut dalam minyak sawit sangat
merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan rendemen minyak
turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan terbentuknya asam lemak
bebas dalam minyak sawit. Kenaikan asam lemak bebas ditentukan mulai dari
tandan dipanen sampai tandan diolah di pabrik. Kenaikan ALB ini disebabkan
adanya reaksi hidrolisa pada minyak . Asam lemak bebas terbentuk karena proses
oksidasi, dan hidrolisa enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan
pangan, asam lemak dengan kadar lebih besar dari berat lemak akan mengakibatkan
rasa yang tidak diinginkan dan kadang-kadang dapat meracuni tubuh. Timbulnya
racun dalam minyak yang dipanaskan telah banyak dipelajari. Bila lemak tersebut
diberikan pada ternak atau diinjeksikan kedalam darah, akan timbul gejala diare,
kelambatan pertumbuhan, pembesaran organ, kanker, kontrol tak sempurna pada
pusat saraf dan memperrsingkat umur (Anonim, 2012).
2. Esterifikasi
Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester.
Esterifikasi mereaksikan asam lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok
adalah zat berkarakter asam kuat, seperti asam sulfat, asam sulfonat, asam sulfonat
organik atau resin penukar kation asam kuat. Asam-asam tersebut biasa dipilih
dalam praktek industrial (Soerawidjaja, 2006).
Proses esterifikasi adalah reaksi reversibel dimana asam lemak bebas (free
fatty acid/FFA) dikonversi menjadi alkil ester melalui katalis asam (HCl atau
umumnya H2SO4). Ketika konsentrasi asam lemak bebas dalam minyak tinggi,
seperti dalam CPO parit, esterifikasi simultan dan reaksi transesterifikasi melalui
katalis asam dapat berpotensi untuk mendapatkan konversi biodiesel yang hampir
sempurna. Proses esterifikasi mengikuti mekanisme reaksi yang sama seperti
transesetrifikasi katalis asam (Lotero et al., 2005). Brown (2000) dan Ronnback et
al.(1997) mengilustrasikan mekanisme esterifikasi asam karboksilat rantai pendek
seperti asam asetat dalam medium homogen dimulai dengan protonasi gugus
karbonil.
Esterifikasi umumnya dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak
berkadar FFA tinggi (berangka asam ³ 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak
bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasanya diikuti
dengan tahap transesterifikasi, tetapi sebelum produk esterifikasi diumpankan ke
tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya
harus disingkirkan terlebih dahulu (Soerawidjaja, 2006).

3. Transesterifikasi
Penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar diesel menimbulkan suatu
masalah karena tingginya viskositas, dimana dapat menyebabkan pembakaran yang
kurang sempurna pada mesin diesel. Untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan
mereaksikan minyak dan alkohol berantai pendek dengan bantuan katalis. Proses
ini dikenal dengan reaksi transesterifikasi atau alkoholisis. (Prakoso, 2004)

Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa biasanya menggunakan logam alkali


alkoksida, NaOH, KOH, dan NaHCO3 sebagai katalis. Katalis basa ini lebih efektif
dibandingkan katalis asam, konversi hasil yang diperoleh lebih banyak, waktu yang
dibutuhkan juga lebih singkat serta dapat dilakukan pada temperatur kamar.
(Anonim, 2005)

Agar reaksi berjalan cepat tahap transesterifikasi memerlukan pengadukan dan


pemanasan (50-55 oC) atau di bawah titik didih methanol (64,7 oC) untuk
memisahkan gliserin dan metil ester (biodiesel). Pada reaksi transeseterifikasi ini,
sebagai reaktan dapat digunakan metanol atau etanol. Pada proses ini dipilih
metanol sebagai reaktan karena merupakan alkohol yang paling reaktif. Alkohol
dengan atom C lebih sedikit mempunyai kereaktifan yang lebih tinggi daripada
alkohol dengan atom C lebih banyak. Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi
yang bersifat ireversible. (Pelly, 2000)

Karena sifatnya yang ireversible, maka pergeseran reaksi ke kanan (ke arah
produk) biasanya dilakukan dengan menggunakan alkohol secara berlebih dari
kesetimbangan stoikhiometri (Anonim, 2005).

Dalam reaksi alkoholis, alkohol bereaksi dengan ester dan menghasilkan ester
baru. Pada pembuatan biodiesel melalui reaksi transesterifikasi dapat dilakukan
secara batch dan bisa juga secara kontinyu. Persamaan reaksi antara trigliserida dan
metanol pada proses transesterifikasi ditunjukkan pada gambar 1 berikut.
(Anonym, 2005).

4. Pencucian Biodiesel
Pencucian merupakan proses lanjutan dalam pembuatan Biodiesel setelah
proses transesterifikasi. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan pengotor
yang masih terdapat dalam biodiesel. Pengotor ini termasuk sisa katalis dan gliserol
serta sisa alkohol yang tidak bereaksi. Penambahan air yang dilakukan pada
umumnya sebesar 50 % dari total minyak yang akan dicuci. Pencucian yang
dilakukan pertama kali akan menimbulkan warna pada air pencuci menjadi putih
seperti air susu (Suprianti & Kurniawan, 2006). Untuk mendapatkan hasil yang
terbaik diperlukan 3 – 4 kali pencucian hingga air pencuci menjadi lebih jernih
setelah terpisah. Air yang digunakan pada proses pencucian dengan suhu minimal
30ºC. Pencucian dengan air hangat ini akan meningkatkan nilai kelarutan dari
pengotor. Dalam proses pencucian, penambahkan asam bertujuan untuk
menetralisasi katalis basa yang digunakan dalam proses trans-esterifikasi. Akan
tetapi asam yang digunakan dalam proses netralisasi ini juga menimbulkan reaksi
balik dimana sabun yang terbentuk akan diubah kembali menjadi asam lemak bebas
(free fatty fcid ) dimana asam lemak bebas ini tidak diinginkan keberadaannya
dalam bahan bakar. Ada tiga metode pencucian yan umum : Spray Washing, Bubble
Washing dan Pengadukan (Hayafuji, 1999; Van Gerpen et.al, 2004.; Knothe, et.al,
2005)
a. Metode semprotan (Spray Washing) : Metode ini mengubah partikel air yang
digunakan untuk mencuci menjadi partikel yang lebih halus / kecil, kemudian
dipompa ke bagian permukaan atas tangki pencucian dan digunakan sprayer untuk
menyebarkan partikel air tersebut. Pompa yang digunakan juga tergantung pada
banyaknya biodisel yang akan dicuci. Semakin banyak biodiesel yang dicuci maka
sebanding dengan volume tangki pencuci serta kekuatan pompa untuk mengalirkan
air pencuci tersebut. Air pencuci yang berbentuk partikel halus ini akan melewati
permukaan crude metil ester dan turun ke bawah, sesuai dengan berat jenis air,
dengan mengikat pengotor yang ada. Pengotor yang diharapkan terikat yaitu sisa
methanol yang tidak bereaksi dengan minyak serta sisa katalis KOH yang tidak ikut
terbuang dalam gliserol.

b. Metode Aerasi ( Bubble Washing ) : Metode ini diperkenalkan pertama kali di


universitas Idaho dan terkenal dalam pembuatan biodiesel dalam skala kecil.
Pencucian model ini sering dipergunakan dalam industri besar, hal ini dikarenakan
metode ini mudah dilakukan dan tidak perlu untuk menambahkan air. Keunggulan
yang lain yaitu metode ini tidak menyita waktu yang banyak Peralatan yang
digunakan cukup memakai pompa udara berukuran kecil (small aerator) dan batu
apung. Proses pencucian ini dengan memasukkan air pencuci ke dalam crude metil
ester sehingga air pencuci berada pada lapisan bawah, kemudian batu apung yang
telah dihubungkan dengan aerator diletakkan pada bagian air sehingga akan
terbentuk gelembung-gelembung dari batu apung tersebut.

c. Metode Pengadukan (Mixed Washing):

Metode pencucian ini bertujuan untuk memperluas kontak antara crude metil ester
dan air pencuci dengan cara pengadukan. Proses pengadukan ini memakai motor
yang menggerakkan pengaduk sehingga pengotor di dalam crude metil ester dapat
larut dalam air pencuci (Hayafuji, S., 1999, Method and apparatus for producing
diesel fuel oil from waste edible oil, Lonford Development Limited, Kyoto)
CH2-O-COR1 R1COOR’ CH2OH

3 R’OH + CH-O-COR2 KOH R2COOR’ + CHOH

CH2-O-COR3 R3COOR’ CH2OH

Alkohol Trigliserida Ester/Biodiesel Gliserol

B. Bahan Baku Pembuatan Biodiesel


1. Minyak Nabati
Minyak nabati adalah limbah yang berasal dari jenis minyak goreng. Minyak ini
adalah minyak bekas pemakaian rumah tangga atau industri. Minyak jelantah
tersebut dapat dilakukan kembali hanya saja bila komposisi kimianya, minyak
jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogen. Jadi, sangat jelas
dikatakan bahwa pemakaian minyak jelantah yang berulang-ulang dapat merusak
dan menimbulkan penyakit. (chairani, 2013)

2. Metanol (CH3OH)
Metanol merupakan bentuk alkohol paling sederhana pada keadaan atmosfer,
metanol berebentuk cairan yang ringan, mudah menguap tidak berwarna , mudah
terbakar dan beracun dengan bau khas. Methanol dapat dibantu dengan
mereaksikan Hidrogen dan karbon dioksida. Metanol banyak dipakai pada industri
sebagai starting. (Taufik, 2012)
Sifat fisika kimia Metanol dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sifat fisika dan kimia metanol

Sifat Kimia Sifat Fisika

Massa molar : 32,04 g/mol cairan


Densitas : 0.7918 g/ml mudah menguap
Titik lebur : -97 oC tidak berwarna
Titik didih : 64,7 oC Beracun
Viskositas : 0,59 mPa Mudah terbakar
Sumber: SNI 06-2568-1992

3. Katalis
Katalis adalah zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu tanpa
mengalami perubahan. Katalis basa yaitu natrium hidroksida. Katalis NaOH
bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap kerbon dioksida dari udara bebas.
NaOH dapat larut dalam etanol dan metanol. (Ayuk, 2012) Sifat fisik kimia NaOH
dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat fisika dan kimia NaOH


Sifat fisika/Sifat kimia NaOH

Sifat rumus molekul NaOH


Massa molar 39,9971 gr/mol (zat padat putih)
Densitas 2,19 g/cm3,padat
Titik lebur 318oC (519 K)
Titik didih 1390oC (1663 K)
Kelarutan dalam air 1119/100 ml (20oC)
Kebasaan (pKb) -2,43
Sumber: SNI 06-2568-1992
BAB 3

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


a. Alat
Alat-alat yang digunakan pada pembuatan biodiesel dari minyak jelantah
disajikan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alat pembuatan Biodiesel

No Nama Alat Spesifikasi Jumlah Satuan

1 Batang Pengaduk 30 cm 1 Buah


2 Botol Reagent Kaca 1 Buah
3 Corong ø75 mm 1 Buah
4 Corong Pisah 250 ml 1 Buah
5 Erlemeyer 250 ml 2 Buah
250 ml 1
6 Gelas Beaker 1000 ml 1 Buah
100 ml 1
7 Gelas Ukur 100 ml 1 Buah
8 Hot Plate/ pemanas Box heating 1 Buah
9 Klamp & statif Set 1 Buah
10 Neraca Analitik 1 Buah
11 Piknometer 5 ml 1 Buah
12 Pipet Volume 25 ml 1 Buah
13 Spatula Stainless stell 1 Buah
14 Stirer Magnetik 1 Buah
15 Thermometer Raksa 1000C 1 Buah
16 Burret Kaca 1 Buah
17 Pipet Tetes Kaca 1 Buah
b. Bahan
Bahan yang digunakan pada pembuatan biodiesel dari minyak jelantah
disajikan pada tabel 3.2
Tabel 3.2 Bahan pembuatan biodiesel
No Nama Bahan Spesifikasi Jumlah satuan
Minyak Nabati Minyak Jelantah 100 ml
1
Kelapa
2 Metanol Teknis 60 ml
3 KOH P.a 5g gram
4 Kertas pH secukupnya lembar
6 Aquadest Air 1000 ml
7 Indikator PP cairan 1 botol

3.2 Prosedur Kerja


a. Prosedur Uji FFA pada Minyak Jelantah
 Mempersiapkan alat dan bahan
 Menimbang Minyak Jelantah sebanyak 100 gram kemudian diletakkan
pada Erlenmeyer
 Memberi indikator PP sebanyak 5 tetes pada Minyak Jelantah
 Mengisi Buret dengan larutan KOH 0,1 M hingga volume maksimal
 Mentitasri Minyak Jelantah dengan larutan KOH hingga terjadi
perubahan atau sampai titik akhir titrasi.
 Nilai titik akhir titrasi digunakan untuk mengetahui nilai FFA pada
minyak jelantah
b. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah (Tras-Esterifikasi)
 Mengukur volume minyak jelantah kelapa sebanyak 100 ml
 Mengukur volume metanol sebanyak 60 ml
 Menimbang KOH sebanyak 1 gr
 Melarutan KOH 1 gr dalam metanol sampai homogen ( Lar 1)
 Mencampurkan minyak jelantah dan larutan 1 sedikit demi sedikit
 Memanaskan campuran sampai suhu 55 -60 ℃ selama 60 menit
 Mendinginkan campuran selama 5 menit
 Memasukkan campuran ke dalam corong pisah
 Memisahkan antara biodisel dengan gliserolnya menggunakan corong
pisah
 Biodiesel yang dihasilkan ditimbang agar mengetahui produk yang
dihasilkan
c. Prosedur Pencucian
 Mempersiapkan alat dan bahan
 Memanaskan air pada suhu 60oC
 Mencampurkan Hasil Biodiesel kedalam air yang dipanaskan
 Campuran kemudian dipanaskan serta diaduk dengan stirrer pada suhu
60oC selama 15 menit
 Setalah itu, campuran didinginkan kemdian dipindahkan ke corong
pemisah.
 Mengkocok corong pemisah selama 15 menit
 kemudian didiamkan hingga 24 jam campuran membentuk 2 lapisan
 Lapisan tersebut yaitu lapisan biodiesel dan lapisan lainnya yaitu zat-
zat lain yang masih tersisa dan air.
 Biodiesel kemudian di Uji Mutu.
d. Prosedur Uji Mutu
 Menimbang pikno kosong, catat hasil
 Menimbang pikno yang berisi biodiesel, catat hasil
 menghitung massa jenis biodiesel dengan rumus :

(𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔 + 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) − 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔


𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜
BAB 4
DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Data
4.1.1. Data Uji FFA (Free Fatty Acid)
Tabel. 4.1 ( Data hasil titrasi)
Sampel Etanol 95 % KOH 0,1 N Volume Titran
Minyak (gram) (ml) Volume Titran Rata-rata
(ml)
5 100 18,1
5 100 21,75 21.183
5 100 23,7

Tabel. 4.2 ( Data hasil FFA minyak jelantah kelapa sawit)


Percobaan ke- Volume Titran Kadar asam / FFA pH
KOH 0,1 N (ml) (%)
1 18,1 9,5206 12
2 21,75 11,44 12
3 23,7 12,466 12

4.1.2. Data Trans-Esterikasi


Tabel 4.3 (Data Perbandingan Trigliserida dengan methanol)
Mol minyak 0.442
Mol methanol 1.485
perpandingan trigliserida dengan methanol 1 : 3,36

Tabel 4.4 (Data Hasil dari Trans-Esterifikasi)


Warna biodiesel warna seperti minyak baru
Volume biodiesel dalam 24 jam 120 ml
Volume biodiesel dalam 7 hari 100 ml
Volume gliserol 50 ml

4.1.3. Data Pencucian


Tabel 4.5 (Data hasil pencucian didiamkan 24 jam)
Aquades (ml) 93
Sabun (ml) 105
pH sabun 9-10
pH Aquades 9-10

Tabel 4.6 (Data hasil pencucian didiamkan 7 hari)


Biodisel (ml) 79
pH 6

4.1.4. Data uji karakteristik Biodisel


Tabel 4.7(Data uji karakteristik berat jenis Biodisel)
Massa piknopikno + biodiesel 50 ml (gr) 73,52
Massa piknometer (gr) 30,35
Massa Biodiesel per 50 ml (gr) 43,17
Massa jenis Biodiesel (gr/ml) 0.8634

Tabel 4.8 (Data Rendemen Biodisel)

Volume Produk (ml) 79


Volume Bahan (ml) 100
Rendemen (%) 79
4.2. Pembahasan
4.2.1. Uji FFA
Dilakukan uj FFA bertujuan untuk mengetahu berapa kadar asam
lemak bebas yang terkandung pada sampel kelapa sawit .Keberadaan asam
lemak bebas yang berlebih akan mengganggu proses utama dalam
pembuatan biodiesel yaitu esterifikasi. Kadar FFA yang tinggi dapat
menghambat reaksi pembentukan biodiesel, karena basa (KOH) yang
digunakan sebagai katalis akan bereaksi dengan FFA membentuk sabun.
Selain itu sabun yang dihasilkan akan mempersulit separasi pemurnian
biodiesel (Liisa, 2016). Menurut Aziz ,(2011) kadar FFA minimum adalah
3% dan apabila memenuhi 3% perlu dilakukan proses esterifikasi untuk
menurunkan kadar FFA dalam minyak. Produk esterifikasi selanjutnya
dilakukan transesterifikasi.

Pengujan FFA pada praktikum ini menggunakan metode titrasi


alkalimeter. Metode titrasia alkalmeter merupakan metode analisa yang
didasarkan pada reaksi asam basa. Penggunaan indikator PP dikarenakan
memliki rentan PH yang cenderung bersifat basa dan berwarna. .Perubahan
warna mudah diamati karena menggunakan indikator PP. Sementara
menggunakan KOH untuk titrasi dikarenakan sifat KOH yang basa kuat.
(juga bisa menggunakan NaOH). Cara pengujiannya yaitu dengan cara
pengambilan sampel minyak kelapa sawit. Kemudian sampel ditambahkan
metanol dan PP dan kemudian dipanaskan hingga homogen. Penambahan
methanol pelarut karena minyak hanya bisa larut dengan alcohol salah
satunya metanol. Titrasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna merah
muda. Volume KOH yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi
digunakan dalam penentuan kadar FFA menggunakan persamaan sebagai
berikut

Berdasarkan literature yang didapat dimana kadar FFA minimum


untuk dilakaukan transesterifikasi yaitu 3% maka hasil penilitian kami
sangat jauh dari standart yaitu kadar FFA 9,5% untuk kelompok 1 dengan
volume titran (KOH) 18,1 ml; 11,4 % untuk kelompok 2 dengan volume
tiitran 21,75 ml ; serta 12,46 % untuk kelompok 3 dengan volume titran 23,7
ml. Dari 3 kali percobaan didapat bahwa semakin besar volume KOH akan
semakin besar pula kadar FFA pada minyak jelantah kelapa sawit. Hasil
tersebut sangat jauh dari standar yang dikatakan oleh Aziz, (2011).
Beberapa hal yang mungkin terjadi adalah terlewatkanya titik akhir titrasi
sehingga mengakibatkan KOH atau larutan basa berlebih. Selain itu yang
menjadi faktor terpenting tentunya kandungan bahan baku minyak kelapa
sawit itu sendiri yaitu mungkin disebabkan oleh kualitas buah kelapa
sawitnya. Dimana diantaranya buah kelapa sawit yang terlambat diolah
akibat dari terlambatnya pengangkutan dapat meningkatkan FFA.
Penanganan yang kasar juga dapat meningkatkan FFA. Penanganan yang
kasar pada buah kelapa sawit dapat menstimulasi konversi molekul minyak
menjadi FFA dengan laju yang sangat tinggi sehingga kandungan FFA
meningkat dengan cepat. ( Mangoensoekardjo dan Semangan, 2003 ).

4.2.2. Trans-Esterifikasi
Sampel sebelumnya yaitu minyak jelantah kelapa sawit memiliki
FFA yang terlalu tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
transesterefikasi. Maka dari itu kami mengganti sampel dengan minyak
jelantah minyak kelapa yang relatif memiliki kadar FFA lebih rendah.
Menurut Valency, (2018) dalam penentuan kadar FFA pada minyak
jelantah didapat kadar FFA kurang dari 1 % dimana langsung dapat
dilanjutkan ke proses transesterefikasi. Transesterefikasi dilakukan untuk
mengkonversi minyak jelantah menjadi biodisel menggunakan katalis
asam ( Suhartono, 2005 ). Sedangkan pada penelitian kami menggunakan
katalis basa yaitu KOH karena penggunaan katalis basa dapat dilakukan
pada suhu ruang. Beda halnya dengan katalis asam yang memerlukan
pemanasan 50-100 C ( Lesmana, 2006 ).

Volume sampel minyak jelantah kelapa 100 ml dengan pemanasan


55 – 60 C. Penambahan laurutatan metoksida 60 ml sampel dengan rincian
60 ml Metanol + 1 gram Katalis KOH. Penambahan larutan metoksida
diatas dilakukan secara perlahan dengan menjaga suhu tetap konstan 60 C
karena jika lebih, metoksida akan teruapkan. Karakteristik yang di dapat
setelah proses transesterefikasi diantarana warna kuning seperti minyak
baru, volume metil ester selama 24 jam yaitu 120 ml, sedangkan untuk 7
hari yaitu 100 ml. Perbedaan volume biodisel atau metil ester pada rentang
waktu yang berbeda dikarenakan metanol yang masih terdapat pada
biodisel teruapkan. Menurut Sipahutar, (2013) Metil ester merupakan hasil
reaksi transesterefikasi yang masih bercampur dengan metanol, gliserol
dan katalis. Komposisi trigliserida dengan methanol pada penelitian ini
adalah 1 : 3,36 , dalam artian setiap satu mol trigliserida membutuhkan
3,36 mol methanol dalam pembuatanya.

4.2.3. Pencucian
Biodisel yang dihasilkan kemudian dilakukan pemurnian atau
pencucian. Pencucian biodisel bertujuan untuk memisahkan biodisel dari
gliserol, katalis dan sisa reaktan. ( Budiawan dkk, 2013 ). Pada penelitian
ini pencucian menggunakan perbandingan antara biodisel dengan aquadest
panas ( 60 C ) yaitu 1:1. Penggunaan air sebagai pencucian karena untuk
melarutkan Katalis, dan metanol yang bisa larut dalam air. Hasil dari
pencucian diluar dugaan terjadi penyabunan pada biodisel setelah di
diamkan 1 hari. Akan tetapi setelah di diamkan lebih lama yaitu selama 7
hari reaksi penyabunan menghilang sehingga dihasilkan biodisel yang lebih
murni. Metil ester adalah biodisel namun belum murni atau masih perlu
dilakukan penetralan hingga Ph metil ester mendekati 7 (netral) dengan
penambahan zat asam dan basa ( Ahmad, 2007 ). Sedangkan untuk hasil
metil ester atau biodisel pada penelitian ini didapatkan Ph 9-10 yang berarti
basa. Pengaruh Ph yang termasuk kategori basa diduga menjadi alasan
terbentukanya reaksi saponifikasi pada saat setalah penyucian atau
pemurnian. Selain itu dari diagnogsa kami bawasanya penambahan air
panas suhu 60 C saat pencucian yang menyebabkan terjadinya reaksi
penyabunan dimana setelah diamati lebih lama ( 7 hari ) ternyata reaksi
penyabunanya menghilang. Maka kami menganggap bahwa suhu yang
tinggi mengakibatkan terjadinya reaksi penyabunan. Dikarenakan suhu
yang tinggi adalah salah satu faktor dalam cepatnya proses reaksi. Semakin
panas suhu pencucian mengakibatkan air yang mulanya hanya sebagai
pelarut akan memebuat katalis KOH kembali bereaksi dengan kadar FFA
yang masih tersisa pada minyak jelantah kelapa. Menurut Ahmad, (2007)
reaksi penyabunan terjadi antara asam lemak bebas (FFA) dengan katalis
basa, sehingga effektifitas katalis akan menurun karena sebagian katalis
bereaksi dengan asam lemak.

4.2.4. Data uji karakteristik Biodisel


Karakteristik biodisel dibutuhkan untuk mengetahui apakah biodisel
yang dihasilkan sudah sesuai dengan standar mutu biodisel di indonesia.
Sehingga dapat digunakan sesuai dengan kebutuhanya. Parameter yang
dianalisis pada penelitian ini adalah densitas. Kemudian dibandingkan
dengan dengan densitas biodisel berdasarkan SNI adalah 850-890 kg/m3.
Densitas biodisel yang dihasilkan yaitu 863,4 kg/m3 sudah sesuai dengan
standar SNI. Menurut Budiawan dkk (2013), nilai densitas dalam batas SNI
dapat menghasilkan pembakaran yang sempurna. Biodisel dengan densitas
yang melebihi standar akan mengakibatkan reaksi pembakaran tidak
sempurna sehingga dapat meningkatkan emisi.

Sedangkan untuk hasil randemen dari biodisel yang kami adalah 79


% dengan produk yang dihasilkan 79 ml biodisel dari 100 ml bahan baku.
Data diatas sudah cukup potensial dalam pemanfaatanya ( biodisel ) sebagai
bahan bakar.
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
 Hasil karakteristik massa jenis dari biodiesel minyak jelantak kelapa
adalah 863,4 kg/m3 sudah sesuai dengan standart SNI di Indonesia
 Rendemen biodiesel yang dihasilakan adalah 79%
 Sifat fisik biodiesel minyak jelantah kelapa adalah warna kuning
(minyak goring baru)
5.2. Saran
 Untuk mendapatkan kualitas biodisel optimum/ maksimal,sebaiknya
pada proses pencucian tidak menggunakan suhu yang tinggi
 Untuk melengkapi standard biodisel yang berlaku, perlu diadakan
penelitian lanjutan tentang kualitas biodisel yang dihasilkan
 Perlu lebih banyak penelitian karakteristik diantaranya viskositas dan
titik nyala pembakaran
DAFTAR PUSTAKA

Suhartono.2001.”Minyak jelatah sebagai biodiesel melalui proses


transestererefikasi (Jurnal ilmiah)” Universitas Ahmad Yani

Amran.l.2006. ”Proses synthesis optimal dari minyak jelatah di PT.Sidomuncul


Semarang (laporan penelitian).” Bandung ITB

Sipahutar, R.2013.”Pengaruh variasi suhu dan waktu karena biodiesel dari minyak
jarak terhadap kuantitas Biodisel yang dihasilkan. Jurusan Teknik
Mesin. Universitas Sriwijaya. Jurnal rekayasa mesin Vol. 13 No.
1

Budiman, R., Zufiansyah., Fatra, W., dan Helwani, Z. 2013. Off-grade palm oil ar
a Renewable Raw Material for Biodisel production By two-stop
Processes. Chesa Cenference. Januari. Banda Aceh Chemial
Enginering on science and Application

Hanafi, A., Haslinah, A., Qalaman., dan Made, A. Permodelan Karakteristik


Biodisel dan minyak jelantah, Teknik Industri . Universitas
Makasar. ILTEK Volume 12, no. 24

Sumiarso, L. 2016 standard dan mutu bahan bakar nabati jenis Biodisel sebagai
bahan bakar lain.
Lampiran 1.

Uji FFA

Sampel Minyak Etanol 95% KOH 0,1 N Volume Titran


(gram) Volume Titran Rata-rata
(ml)
5 100 18,1
5 100 21,75 21.183
5 100 23,7

Persamaan nilai bilangan asam / kadar FFA

𝑚𝑙 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝑁 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝑀
Kadar asam = 10 𝑥 𝐺

Keterangan :

G = berat sampel (gr)

M = berat molekul asam lemak yang dominan dalam sampel minyak

Miyak kelapa = 206

Minyak kelapa sawit = 263

Asam oleat = 282

Percobaan ke- Volume Titran Kadar asam / FFA pH


KOH 0,1 N (ml)
1 18,1 9,5206 12
2 21,75 11,44 12
3 23,7 12,466 12

Trans-Esterifikasi

Perbandingan minyak jelantah kelapa(trigliserida) dengan methanol adalah 1: 3,36


dengan persamaan berikut:
Massa miyak = Volume minyak x massa jenis minyak

Masaa minyak = 100 ml x 0,9076 gr/ml

Massa minyak = 90,76 gr

Mol minyak = massa minyak / mr minyak

Mol minyak = 90,76/ 205

Mol minyak = 0.442 mol

Massa methanol = 60 ml x 0, 792 gr/ ml

Massa methol = 47,52 gr

Mol methanol = 47,52 gr/32

Mol methanol = 1.485 mol

Sehingga perpandingan trigliserida dengan methanol

0,442 : 1.485 atau 1 : 3,36

Hasil trans-esterifikasi

Warna biodiesel = warna seperti minyak baru

Volume biodiesel dalam 24 jam = 120 ml

Volume biodiesel dalam 7 hari = 100 ml

Volume gliserol = 50 ml
Pencucian

Perbandingan biodiesel dengan aquades yaitu 1:1

Sehingga 100 biodisel : 100 ml aquades

Aquades dipanaskan terlebih dahulu hingga suhu 60℃

Hasil pencucian dalam 24 jam

Volume aquades = 93 ml

Saponifikasi = 105 ml

Dengan pH 9-10

Setelah di diamkan 7 hari sapon berubah menjadi biodiesel lagi dengan

volume : 79 ml

pH : 6

Data uji karakteristik Biodisel

penghitungan massa jenis biodiesel dengan menggunakan piknometer

berat piknopikno + biodiesel 50 ml = 73,52 gr

berat piknometer = 30,35 gr

sehingga berat biodiesel per 50 ml = 43,17 gr

jadi massa jenis biodiesel = 0.8634 gr/ml


Lampiran 2

Gambar 1 dan 2 hasil Trans-esterifikasi

Gambar 3 Pemanasan air untuk pencucian Gambar 4 setelah pengocokan

Gambar 5 Hasil Pencucian Gambar 6 Proses menghitung massa


Biodisel Biodiesel

Anda mungkin juga menyukai