Anda di halaman 1dari 3

NAMA : RESKY NURFDILLAH RAMADHANI

KELOMPOK : 15

CUKAI ROKOK UNTUK DEFISIT JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (BPJS)

Dana dari cukai hasil tembakau atau rokok sangat dimungkinkan untuk mendanai
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini karena tujuan dari pemungutan cukai adalah
untuk mengendalikan konsumsi demi peningkatan kualitas kesehatan. Sehingga penggunaan
dana dari cukai rokok semestinya juga difokuskan untuk mengatasi dampak kesehatan yang
timbul dari perilaku merokok. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsumsi rokok
merupakan faktor resiko utama terkait dengan banyak penyakit kronis seperti berbagai jenis
kanker, serangan jantung, stroke dan penyakit-penyakit lainnya. Oleh karenanya dana dari
cukai rokok dapat digunakan untuk mendanai JNK yang saat ini sedang mengalami defisit
keuangan.

Mengacu kepada pengalaman Filipina dimana mereka melakukan reformasi kebijakan


cukai rokok dan tambahan penerimaan dari reformasi tersebut sebagian besar digunakan
untuk mendanai program Universal Health Coverage. Filipina melakukan reformasi sistem
cukai rokok dengan jalan menyederhanakan struktur tarif cukai dari banyak jenjang (multi
tiers) menjadi single tier dalam waktu 5 tahun dari 2013 ke 2017. Saat ini tarif cukai rokok di
Filipina seragam sebesar PhP 30 per bungkus. Dari reformasi ini 15% tambahan penerimaan
negaranya di bagi hasilkan ke wilayah pertanian tembakau dan 85% lainnya di kelola oleh
pemerintah pusat. Dari dana yang dikelola pemerintah pusat tersebut, 80% digunakan untuk
program asuransi kesehatan nasional, pencapaian MDGs, dan program kesadaran masyarakat
akan pentingnya kesehatan. Sementara 20% dana yang dikelola pemerintah pusat lainnya
digunakan untuk bantuan medis dan program peningkatan fasilitas kesehatan (RA No. 7171
dan RA No. 8240). Dari program reformasi sistem cukai rokok ini, Filipina telah
mendapatkan beberapa manfaat. Pertama, anggaran kesehatan mereka meningkat drastis dari
PhP 53,3 Milyar di tahun 2013 menjadi PhP 83,7 Milyar di tahun 2014 atau meningkat 57%.
Kedua, terjadi peningkatan jumlah rumah tangga miskin yang dilindungi oleh Asuransi
Kesehatan Nasional Philhealth dari 5,2 juta rumah tangga di 2013 menjadi 14,7 juta di 2014
atau meningkat 2,8 kali lipat.
Pada bagian ini akan dipaparkan kondisi akhir (2017) kebijakan cukai dan pajak
rokok di Indonesia. Pembahasan pada bagian ini akan difokuskan pada potensi pendanaan
defisit JKN dari kedua kebijakan tersebut beserta tantangan-tantangan yang menyertainya.
Mengingat semakin beratnya pendanaan JKN maka diperlukan inovasi pendanaan yang
efektif dan bias berlaku dengan relatif cepat.

Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai menyatakan bahwa cukai adalah
pungutan negara yang dibebankan kepada barang-barang yang memiliki karakteristik
konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya berdampak
negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; dan pemakaiannya perlu pembebanan
pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Terdapat tiga barang yang dikenai cukai
yaitu etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan hasil tembakau. Hasil tembakau
meliputi berbagai jenis sigaret (rokok), cerutu, klobot, klembak menyan, tembakau iris dan
hasil produk tembakau lainnya. Pembebanan cukai ini merupakan pungutan selain pajak atas
hasil tembakau, dimana hasil tembakau juga dikenakan pajak pertambahan nilai. Besaran
cukai akan meningkatkan harga jual rokok dan pada akhirnya akan menurunkan
konsumsinya. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari barang kena cukai yaitu konsumsinya
perlu dikendalikan. Sebagai tambahan, UU No. 39 Tahun 2007 juga mengamanatkan bahwa
cukai hasil tembakau di Indonesia maksimal sebesar 57% dari HJE atau 275% dari Harga
Jual Pabrik (HJP). Namun, tingkat cukai maksimal hasil tembakau ini masih lebih rendah dari
tingkat cukai yang direkomendasikan oleh WHO yaitu minimal 2/3 (67%) dari harga jualnya.

Secara implementatif, kebijakan cukai rokok dijabarkan dalam Peraturan Menteri


Keuangan yang terkait. Untuk tarif cukai hasil tembakau tahun 2017 sesuai Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No. 167/PMK.10/2016 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri
Keuangan No.179/PMK.11/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Di peraturan ini
terlihat bahwa tarif cukai yang dibebankan tergantung pada jenis hasil tembakau, golongan
produksi dan kisaran harganya. Terdapat tiga jenis hasil tembakau yang utama yaitu Sigaret
Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Sedangkan menurut golongan produksinya untuk SKM dan SPM golongan 1 bagi yang
berproduksi di atas 3 milyar batang per tahun, dan golongan 2 bagi yang berproduksi di
bawah 3 milyar batang per tahun. Sementara itu untuk SKT ada 3 golongan produksi yaitu
golongan 1 (lebih dari 2 Milyar batang per tahun), golongan 2 (lebih dari 500 juta sampai
tidak lebih dari 2 Milyar batang per tahun), golongan 3a (lebih dari 10 juta sampai tidak lebih
dari 500 juta batang per tahun) dan golongan 3b (tidak lebih dari 10 juta batang per tahun).
Saat ini ada 12 jenis tarif cukai tembakau. Di bawah ini adalah tabel tarif cukai rokok dari
tahun 2016-2017.

Dalam hal cukai rokok, pengenaan cukai rokok adalah untuk membebani konsumen
sehingga konsumsinya berkurang, di samping itu dana dari cukai rokok selayaknya
digunakan untuk mencegah orang merokok melalui promosi kesehatan anti rokok dan
digunakan untuk mengatasi dampak kesehatan dari penyakit akibat rokok dalam hal ini untuk
mendanai program JKN. Dana dari cukai rokok dapat digunakan untuk membayar premi
orang miskin dan hampir miskin, serta meningkatkan besaran premi yang dibayar sehingga
kualitas pelayanan kesehatan bagi mereka juga meningkat.

Anda mungkin juga menyukai