Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

Rhinosinusitis Kronik dan Rhinitis Alergi

Penyusun :

Jonathan B. Gilbert (112017087)

Dokter Pembimbing :

dr. Daneswarry, Sp. THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Rumash Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat

Periode 4 Februari 2019 – 9 Maret 2019


LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

NAMA : Jonathan B. Gilbert

NIM : 112017087

PERIODE : 4 Februari 2019 – 9 Maret 2019

JUDUL : Rhinosinusitis Kronik dan Rhinitis Alergi

TANGGAL PRESENTASI : 18 Februari 2019

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Daneswarry, Sp. THT-KL

Jakarta, 18 Februari 2019


Yang Mengesahkan,

__________________________
dr. Daneswarry, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikan-Nya,
sehingga Referat ini dapat diselesaikan. Laporan kasus dengan judul “Rhinosinusitis Kronik dan
Rhinitis Alergi” ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mengikuti dan
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah
Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat. Laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai kasus otitis eksterna serta penatalaksanaannya. Penulis menyadari bahwa
tanpa bimbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak, laporan kasus ini tidak akan dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Daneswarry, Sp. THT-KL, selaku Pembimbing Kasus di Bagian SMF Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan yang telah
membimbing saya menyelesaikan laporan kasus ini,
2. Para Pegawai dan Perawat di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
3. Rekan-rekan sejawat dokter muda di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
4. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini
dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh kerana itu, kritik dan saran dari pembaca akan
sangat bermanfaat bagi penulis demi perbaikan buat di masa yang akan datang. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya,

Jakarta, 18 Februari 2019

3
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul .....................................................................................................................1

Lembar Pengesahan Referat ................................................................................................2

Kata Pengantar .....................................................................................................................3

Daftar Isi ..............................................................................................................................4

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................................5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................6

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung..............................................................................6


2.2 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal ..............................................................13
2.3 Rhinosinusitis Kronik .........................................................................................16
2.4 Rhinitis Alergi .....................................................................................................24

BAB III. LAPORAN KASUS ...........................................................................................31

BAB IV. PEMBAHASAN.................................................................................................39

Daftar Pustaka ....................................................................................................................41

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rhinosinusitis adalah salah satu penyakit yang sering ditemukan baik oleh dokter umum
maupun dokter spesialis. Rhinosinusitis seringkali bermanifestasi sebagai rasa mampat atau
banyaknya lendir yang keluar dari hidung disertai dengan adanya nyeri pada daerah sekitar sinus
paranasal. Hal tersebut disebabkan oleh inflamasi pada mukosa sinus paranasal. Sinusitis
seringkali belum dapat diketahui gejalanya dan tidak ada keluhan sampai terdapat keterlibatan
hidung seperti inflamasi mukosa hidung sehingga istilah rhinosinusitis lebih tepat digunakan.
Penyebab rhinosinusitis dapat berbagai macam, yaitu selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri, ataupun juga dapat disebabkan
karena faktor alergi ataupun autoimun. Disekitar wajah, terdapat 4 sinus yaitu sinus maksilaris,
sinus etmoidalis, sinus frontalis, dan sinus sphenoidalis, namun lokasi sinusitis yang paling umum
terjadi terdapat pada sinus frontalis dan maksilaris. Perjalanan penyakit rhinosinusitis dapat saja
hanya terjadi secara akut, namun bila tidak ditangani dapat menjadi kronis hingga terjadinya
bentuk eksaserbasi akut pada rhinosinusitis kronik. Hal tersebut dapat menimbulkan komplikasi
yang tentu dapat menurunkan kualitas hidup dan beban ekonomi berkaitan dengan
penatalaksanaan pembedahannya.

Demikian laporan kasus mengenai rhinosinusitis kronik dan rhinitis alergi ini ditulis agar
mahasiswa dapat melakukan diagnosis dan tatalaksana yang benar berkaitan dengan rhinosinusitis.

1.2 Maksud Penulis

Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai Otitis Media Akut dan
Rinosinusitis Kronik dengan harapan pembaca dapat mengerti dan memahaminya berdasarkan teori dan
membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.

1.3 Tujuan Penulis

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung terbagi dua, hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah terdapat pangkal hidung (bridge), batang
hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares
anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala
mayor),beberapa pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.1

Gambar 1. Anatomi hidung luar

6
Gambar 2. Anatomi kerangka hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis
os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum dan
kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema, biasanya rudimenter.1

7
Gambar 3. Anatomi hidung bagian dalam

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak, ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan
os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.1

Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika, berasal dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung
a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.

8
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.1

Gambar 4. Pendarahan hidung

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga idung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, berasal dari n.optalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf
sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut
saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Saraf
ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.2

9
Gambar 5. Persarafan Hidung

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi
oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithelium) yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya.1

Sistem Transpor Mukosilier


Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut
lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa.
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaannya
terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti
albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin,
lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik dan IgA sekretorik.
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan

10
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri.
Pada sinus maksila, sistem transpor mukosilier menggerakan sekret sepanjang
dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran
halo atau bintang yang mengarah ke ostiuma alamiah. Setinggi ostium sekret akan lebih
kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan berkembangnya
infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau mengubah transpor,
dan sekret akan melewati mukosa yang rusak tersebut. Tetapi jika sekret lebih kental, sekret
akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.
Gerakan sistem transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan
bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus
sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di
dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya.
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpor mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Sekret ini biasanya
bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus
uncinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian
anteroinfeior orifisium tuba eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan
epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi
dan proses menelan.
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian posterosuperior
orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan
bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret pada
septum akan berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan
menyatu di bagian inferior tuba eustachius.1,3

Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah:1

11
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local. Udara inspirasi masuk ke hidung
menuju system respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut
lender. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit
penguapan udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang
terhirup bersama udara akan disaring dihidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum
nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

2. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah
untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti
perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa
ayam yang berasal dari cuka dan asam jawa.

3. Fungsi fonetik
Berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara
ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi
berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu

12
proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka
dan palatum mole turun untuk aliran udara.

4. Fungsi statik dan mekanik


Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas

5. Reflex nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal Hidung

Anatomi
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berada di dalam tulang wajah dan di
sekitar rongga hidung dan mata. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar
yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke dalam rongga hidung.
Bentuk, ukuran dan simetri dapat bervariasi antara individu. Sinus maksilaris dan
sinus etmoid telah terbentuk pada saat lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus
etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterior superior rongga hidung. Sinus-
sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1

Gambar 6. Sinus Paranasal

13
Sinus frontalis adalah rongga yang terletak di dalam tulang dahi di atas fossa orbitalis
superior. Sinus frontalis bervariasi dalam ukuran, tapi selalu berbentuk segitiga. Mukus yang
terbentuk mengalir ke rongga hidung melalui saluran frontonasal, yang terbuka pada hiatus
semilunaris di dinding lateral kavum nasi.
Sinus etmoidalis terdiri dari 2 kelompok sinus-sinus kecil didalam tulang etmoid
yaitu sinus ethmoidalis anterior dan posterior. Sinus etmoidalis anterior bermuara di meatus
nasi medius dan sinus etmoidalis posterior bermuara di meatus nasi superior. Sinus
etmoidalis terletak di bagian bawah sudut dalam tulang setiap mata dan terdiri dari 6-12
sinus-sinus kecil.
Sinus sfenoidalis juga terletak relatif superior, pada setinggi tulang sfenoethmodialis.
Sinus ini ditemukan lebih posterior dari sinus etmoidalis, dan bagian superior dan lateralnya
berhubungan ke rongga kranial. Sinus sfenoidalis bermuara di atap rongga hidung melalui
meatus nasi superior. Sinus ini sangat penting secara klinis karena kelenjar hipofisis dapat
diakses melalui atap hidung melalui tulang sfenoidalis. Untuk ketiga sinus frontalis,
etmoidalis dan sfenoidalis dipersarafi oleh N. trigeminus cabang oftalmikus.
Sinus maksilaris terletak di dalam tulang pipi kiri dan kanan. Ini merupakan sinus
paranasal terbesar, berada di bawah mata, di atas tulang rahang atas dan bermuara di hiatus
semilunaris atau meatus nasi medius. Ini adalah jalur potensial untuk penyebaran infeksi
karena cairan dari sinus frontalis dapat memasuki sinus maksilaris melalui hiatus
semilunaris. Sinus ini diinervasi oleh N. trigeminus cabang maksilaris. Oleh karena gigi
rahang atas juga dipersarafi oleh saraf ini, dapat timbul sakit gigi pada penderita sinus
maksilaris.1,4
Karena sinus paranasal berlanjut dengan rongga hidung, infeksi saluran pernapasan
bagian atas dapat menyebar ke sinus. Infeksi sinus menyebabkan radang, terutama nyeri dan
pembengkakan mukosa, dan kondisi ini dikenal sebagai sinusitis. Jika semua sinus
terpengaruh, ia disebut sebagai pansinusitis.1

Kompleks Osteomeatal
Kompleks osteomeatal merupakan suatu struktur kompleks yang terdiri daripada
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula
etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris.1

14
Gambar 7. Kompleks Osteomeatal

Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fungsi sinus paranasal. Ada
yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunya fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Beberapa teori yang dikemukakan
sebagai fungsi sinus paranasal antara lain, sebagai pengatur kondisi udara, sebagai penahan
suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi udara, peredam perubahan
tekanan udara dan membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga hidung.1

Sistem Mukosilier

Seperti di mukosa hidung, di dalam sinus terdapat mukosa bersilia dan Pada dinding
lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di
depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung
di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Dari
ruang hidung lendir masuk ke nasofaring dan ditelan. Oleh sebab itulah, pada sinusitis
didapati post nasal drip, tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.1

15
2.3 Rhinosinusitis

Definisi
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys (EPOS) 2012,
rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu inflamasi hidung dan sinus paranasal, yang
ditandai dengan dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk obstruksi/hidung
tersumbat/kongesti/pilek (sekret hidung anterior/posterior),
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidu

dan salah satu dari temuan nasoendoskopi:


- polip dan/atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/obstruksi mukosa di meatus medius

dan/ atau terdapat gambaran tomografi komputer yaitu perubahan mukosa di kompleks
osteomeatal dan/atau sinus.5

Klasifikasi Rinosinusitis
Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan lama serangan dan beratnya serangan.
Berdasarkan lamanya penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut dan kronik.
Dikatakan akut apabila lamanya <12 minggu dan terjadi resolusi komplit gejala sedangkan
kronik apabila lama penyakit >12 minggu dan tanpa resolusi gejala komplit termasuk kronik
eksaserbasi akut.5
Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan
berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor 0-10:
 Ringan = VAS 0-3
 Sedang = VAS > 3-7
 Berat = VAS > 7-10

Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari
pertanyaan:

16
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium - ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Struktur yang membentuk KOM letaknya
berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Sumbatan di ostium sinus dapat diakibatkan
edema yang terjadi sekunder karena adanya inflamasi traktus respiratorius atas (hidung).
Akibatnya terjadi penurunan aerasi sinus, penurunan tekanan O2 dalam sinus,
hipooksigenasi dan akhirnya terjadi vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme kompensasi.
Proses ini memicu terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat akan masuk ke sub
mukosa sehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju ekstra vaskuler, menembus
epitel hingga masuk ke rongga sinus. Akibatnya akan terdapat cairan transudat di rongga
sinus yang mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non bakterial
dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen yang berwarna
kuning kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan
terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Keadaan sinus yang
hipooksigen juga dapat mengganggu gerakan silia sehingga mekanisme klirens mukosiliar
terganggu. Akibatnya cairan transudat tidak dapat didrainase dan semakin tertimbun di dalam
sinus. Keadaan ini membuat pH sinus menjadi asam dan mendukung aktivitas multiplikasi
bakteri. Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus yang terus
berputar hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.1,5

17
Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindrom kartagener, dan penyakit fibrosis kistik.1

Epidemiologi
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM
Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah
435 pasien, 69% nya adalah sinusitis.7

Gejala
Keluhan utama rhinosinusitis adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat
disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah
sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang nyeri juga terasa di
tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau
dibelakang bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri di vertex, oksipital, belakang bola
mata, atau daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak.1

Diagnosis Rhinosinusitis Kronik


Untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Menurut EPOS 2012, diagnosis
rhinosinusitis untuk fasilitas layanan primer dan doctor non spesialis THT dapat ditegakkan
berdasarkan :5

18
a. Anamnesis
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satu termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidu dan ada tidaknya alergi

b. Pemeriksaan fisik
- Rinoskopi anterior: mukosa konka edema dan hiperemis. Pada sinusitis maksila,
sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak pus pada meatus medius. Pada
sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sphenoid tampak pus di meatus superior.
- Rinoskopi posterior: tampak pus pada nasofaring (post nasal drip)
- Pemeriksaan mulut: ada tidaknya infeksi gigi
-
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan transiluminasi
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena terbatas kegunaannya.
- Nasoendoskopi
Dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya secret, patensi kompleks osteomeatal,
ukuran konka nasi, udem di sekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan
penampakan mukosa sinus.
- Pemeriksaan radiologis
Foto polos posisi Waters, PA dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus frontal dan maksila. Kelainan akan terlihat
perselubungan, air fluid level atau penebalan mukosa. Foto polos sinus paranasal
tidak direkomendasikan untuk diagnosa. CT Scan sinus merupakan gold standard
diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit
dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun mahal dan
tidak direkomendasikan, kecuali terdapat penyakit sangat berat, pasien
imunokompromais dan terdapat tanda komplikasi.

19
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan rinosinusitis meliputi:5
1. Mempercepat penyembuhan rinosinusitis
2. Mencegah komplikasi orbital dan intrakranial

Prinsip pengobatan rinosinusitis adalah membuka sumbatan di kompleks ostio-meatal


sehingga drainase dan ventilasi sinus dapat pulih secara alami. EPOS memberikan pedoman
tatalaksana rhinosinusitis kronik untuk pelayanan kesehatan primer.

Gambar 8. Penatalaksaan Rinosinusitis Kronik pada Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan Primer (EPOS) 5

Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis kronik


yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rhinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rhinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah
kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga

20
hidung. Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa antara lain:
1. Obat antiinflamasi dengan kortikosteroid topikal atau oral dapat menguntungkan semua
bentuk rhinosinusitis. Menurut EPOS 2012, kortikosteroid topikal direkomendasikan untuk
memperbaiki gejala dan outcome pasien rhinosinusitis. Kortikosteroid topikal dapat
diberikan secara drop, spray, ataupun nebulizer. Kortikosteroid tersebut antara lain,
mometason, flutikason, budesonide, betametason, deksamethasone, atau triamnisolon.
Namun, pemberian kortikosteroid oral dapat memberikan efek samping epitaksis, hidung
kering, iritasi mukosa hidung.
2. Obat antibiotik yang diberikan secara jangka pendek (<4 minggu) atau jangka panjang (>12
minggu). Pemberian antibiotic jangka pendek diberikan pada rhinosinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut. Antibiotik yang dapat diberikan adalah antibiotik dengan spektrum luas
seperti amoksisilin, sefalosporin, florokuinolon, makrolid, dan klindamisin. Penggunaan
makrolid jangka panjang direkomendasikan oleh EPOS karena dapat meningkatkan
outcome pasien rhinosinusitis akut.
3. Terapi penunjang lainnya dapat diberikan meliputi dekongestan topikal, antihistamin,
mukolitik, probiotik dan terutama irigasi hidung dengan cairan saline yang
direkomendasikan oleh EPOS 2012.5

21
Gambar 9. Tatalaksana Berbasis Bukti dan Rekomendasi untuk Rinosinusitis Kronik pada Dewasa (EPOS)

Komplikasi
- Kelainan orbita: disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran
infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul
ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses orbita, thrombosis sinus kavernosus
- Kelainan intracranial: meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak1

22
Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan peralatan
yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi. Beberapa jenis
tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:6
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah:
a. Sinusitis kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b. Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible
c. Polip ekstensif
d. Adanya komplikasi sinusitis
e. Sinusitis jamur

Prognosis
Sekitar 40% kasus rinosinusitis akut sembuh spontan tanpa antibiotik. Penyembuhan
spontan untuk rinosinusitis virus adalah 98%. Pasien dengan rinosinusitis akut bila diobati
dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Kekambuhan
setelah pengobatan yang berhasil kurang dari 5%. Sinusitis yang rumit dapat menyebabkan
morbiditas dan, dalam kasus yang jarang, kematian.1,6

23
2.4 Rhinitis Alergi

Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.7

Etiologi

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.
Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang
tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan
dalam dalam rhinitis alergi yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,
terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.7

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak
dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan
sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian
sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. 7

24
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel
ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 7
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada
RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit
di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag
Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.7
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,

25
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.7
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:1
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek
dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan
Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun
dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

Dan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi :2

1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat olah raga dan saat
santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada keluhan mengganggu.

2. Sedang – berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala berikut ; tidur terganggu
(tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan saat santai terganggu, masalah saat bekerja
dan sekolah, ada keluhan yang menggangu.

Gejala Klinik Rinitis Alergi


Gejala klinik rinitis alergi, yaitu: Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau

26
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu
proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).7
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat
sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau
otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis
granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara.7

Diagnosis Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan
gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
(self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan
adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1,8

27
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala
spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan
punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini
lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung
langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).8

3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro:
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST
(Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.8
In Vivo:
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET

28
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga
derajat tinggi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.8
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.8

Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.1

Gambar 7. Logaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititif ARIA.

2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin
dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2
(non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar

29
darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara
tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor.1,8
3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Keduanya untuk alergi inhalan
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.8

Komplikasi Rinitis Alergi


1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-
sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia
epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa,
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
Rinosinusitis. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.8

30
BAB III
LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Jumat, 10 November 2018
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Jonathan B. Gilbert Tanda tangan


Nim : 112017087 …………….

Dr. Pembimbing/penguji : dr. Daneswarry Sp.THT-KL ……………

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. FRB Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 38 tahun Agama : Katolik
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pendidikan : S1
Alamat : Kebon Jeruk, Jakarta Barat Status menikah : Belum Menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 15 November 2018 Jam : 10.30 WIB

Keluhan Utama:
Hidung terasa tersumbat sejak 1 bulan yang lalu.

31
Keluhan Tambahan:
Keluhan disertai dengan nyeri di sekitar alis, penurunan daya penciuman sejak 1 bulan lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Os data dengan keluhan hidung terasa sering tersumbat sejak 1 bulan yang lalu. Hidung
tersumbat hilang timbul pada kedua sisi hidung secara bergantian terutama ketika saat bangun tidur
di ruangan yang ber-AC. Keluhan hidung tersumbat terkadang disertai dengan rasa gatal pada
hidung dan keluar banyak lendir dengan konsistensi cair berwarna bening dan tidak berbau. Os
juga mengatakan adanya penurunan daya penciuman baik saat hidung tersumbat atau tidak. Os
tidak memiliki riwayat karang gigi atau gigi berlubang sebelumnya. Os menyangkal adanya
riwayat perdarahan dari hidung. Os mengatakan memiliki riwayat alergi terhadap udara dingin dan
debu, dan menyangkal orangtua os memiliki riwayat alergi yang sama seperti os.
Os juga mengatakan adanya rasa nyeri pada daerah dahi di sekitar kedua alis mata, terutama
ketika menekan. Nyeri dirasakan tidak terus-menerus dan tidak menyebar. Nyeri tersebut disertai
dengan rasa pusing yang hilang timbul. Keluhan pada telinga disangkal. Os juga menyangkal
adanya rasa sakit ditenggorokan, sulit menelan, rasa sumbatan di leher, ataupun demam.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Os mengatakan pernah mengalami hidung tersumbat seperti ini 1 tahun lalu namun kembali lagi
saat ini.
Os mengatakan memiliki riwayat tinnitus AD pada tahun 2016.
Os memiliki riwayat rhinitis alergi pada tahun 2012.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS LOKALIS
Telinga
Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), anotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-), anotia (-),
atresia (-), fistula (-), bat’s ear (-), atresia (-), fistula (-), bat’s ear (-),
lop’s ear (-), cryptotia (-), satyr ear (-) lop’s ear (-), cryptotia (-), satyr ear (-)
Kelainan Kongenital Mikrotia (-), makrotia (-) atresia Mikrotia (-), makrotia (-) atresia

32
(-), fistula (-), bat’s ear (-), anotia (-), fistula (-), bat’s ear (-), anotia
(-), stenosis canalis (-), agenesis (-), stenosis canalis (-), agenesis
kanalis (-), lop’s ear (-), cryptotia kanalis (-), lop’s ear, cryptotia (-),
(-), satyr ear (-) satyr ear (-)
Radang Nyeri (-), hiperemis (-), hipertemi Nyeri (-), hiperemis (-), hipertemi
(-), edema (-), tumor (-) (-), edema (-), tumor (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), massa (-), Fistula pre-aurikula (-), massa (-),
retroaurikuler hiperemis (-), edem (-), nyeri hiperemis (-), edem (-), nyeri
tekan (-), ulkus (-), ekimosis (-), tekan (-), ulkus (-), ekimosis (-),
hematoma (-), sikatrik (-), laserasi hematoma (-), sikatrik (-), laserasi
(-), abses (-) (-), abses (-)
Region Mastoid Massa (-), hiperemis (-), edema (-), Massa (-), hiperemis (-), edema (-
nyeri tekan (-), pus (-), hipertemi (- ), nyeri tekan (-), pus (-), hipertemi
), krepitasi (-), sikatriks (-) (-), krepitasi (-), sikatriks (-)

Liang telinga Liang telinga lapang, furunkel (-), Liang telinga lapang, furunkel (-),
jar. granulasi (-), serumen (-), jar. granulasi (-), serumen (-),
edema (-), sekret (-), darah (-), hifa edema (-), sekret (-), darah (-), hifa
(-), hiperemis (-), kolesteatom (-), (-), hiperemis (-), kolesteatom (-),
stenosis (-), atresia (-), laserasi (-), stenosis (-), atresia (-), laserasi (-),
corpus alienum (-) corpus alienum (-)

Membran Timpani Intak, refleks cahaya (+) jam 5, Intak, refleks cahaya (+) jam 7,
hiperemis (-), retraksi (-), bulging hiperemis (-), retraksi (-), bulging
(-), sekret (-), edema (-), bulla (-) (-), sekret (-), edema (-), bulla (-)

Tes Penala
Kanan Kiri
Rinne Positif Positif

33
Weber Tidak ada lateralisasi
Swabach Sam dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : Normal

Hidung
Dextra Sinistra
Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump nose (-),
agenesis (-), hidung bifida (-), agenesis (-), hidung bifida (-),
deformitas (-) deformitas (-)
Tanda peradangan Hiperemis (-), hipertermi (-), Hiperemis (-), hipertermi (-),
nyeri (-), massa (-) nyeri (-), massa (-)
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (+), nyeri ketuk (- Nyeri tekan (+), nyeri ketuk (-
maxillaris ), krepitasi (-) ), krepitasi (-)
Vestibulum Atresia nares anterior (-), Atresia nares anterior (-),
laserasi (-), sekret (-), furunkel laserasi (-), sekret (-), furunkel
(-), krusta (-), hiperemis (-), (-), krusta (-), hiperemis (-),
hipertermi (-), nyeri (-), massa hipertermi (-), nyeri (-), massa
(-) (-)
Cavum Nasi Sempit, secret (-), massa (-), Sempit, sekret (-), massa (-),
krusta (-), benda asing (-) krusta (-), benda asing (-)
hiperemis (-) hiperemis (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis (-), Hipertrofi (-), hiperemis (-),
livide (-), edema (+) livide (-), edema (+)
Meatus nasi inferior terbuka, sekret (-), massa (-), terbuka, sekret (-), massa (-),
edema (-) edema (-)
Konka Medius Edema (+), hipertrofi (-), Edema (+), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (-), konka hiperemis (-), livide (-), konka
bulosa (-) bulosa (-)

34
Meatus nasi medius Terbuka, sekret (-), massa (-), Tertutup, sekret (-), massa (-),
edema (-) edema (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), krista (-), Deviasi (-), spina (-), krista (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-) perforasi (-)

Nasofaring
Koana : Tidak dapat dinilai
Septum nasi posterior : Tidak dapat dinilai
Muara tuba eustachius : Tidak dapat dinilai
Tuba eustachius : Tidak dapat dinilai
Torus tubarius : Tidak dapat dinilai
Post nasal drip : Tidak dapat dinilai

Pemeriksaan Transiluminasi
Sinus Frontal kanan, Kiri : Tidak dapat dinilai
Sinus Maxilla kanan, Kiri : Tidak dapat dinilai

Faring
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Dinding pharynx Hiperemis (-), edema (-), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif (-),
clotting (-), post nasal drip (-), massa (-), krusta (-), corpus alienum
(-)
Arcus simetris, hiperemis (), edema (-), ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil T2-T2, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-), detritus (-),
pseudomembran (-), kriptus (-)
Uvula Terletak di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-), memanjang (-),
edema (-)
Gigi Caries dentis (-), gigi berlubang (-)
Lain-lain Mukosa mulut : permukaan licin, hiperemis (-), massa (-)
Gingiva : hiperemis (-), ulkus (-), laserasi (-)

35
Larynx
Epiglotis : Tidak dapat dinilai
Plica aryepiglotis : Tidak dapat dinilai
Arytenoid : Tidak dapat dinilai
Ventricular band : Tidak dapat dinilai
Pita suara : Tidak dapat dinilai
Rima glotidis : Tidak dapat dinilai
Cincin trachea : Tidak dapat dinilai
Sinus Piriformis : Tidak dapat dinilai
Kelenjar limfe submandibula dan servikal: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan palpasi.

RESUME
Seorang perempuan berusia 38 tahun datang ke poli THT dengan keluahan adanya rasa
hidung tersumbat sejak 1 bulan lalu. Rasa tersumbat terjadi pada kedua hidung hilang timbul secara
bergantian terutama pada pagi hari. Terkadang hidung terasa gatal dan keluar banyak lendir dengan
konsistensi cair berwarna bening dan tidak berbau. Os mengatakan terdapat penurunan daya
penciuman.. Os juga mengatakan adanya rasa nyeri pada daerah dahi di sekitar kedua alis mata,
terutama ketika menekan. Nyeri dirasakan tidak terus-menerus dan tidak menyebar. Nyeri tersebut
disertai dengan rasa pusing yang hilang timbul. Keluhan pada telinga dan tenggorokan disangkal.
Os pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya sekitar 1 tahun lalu dan timbul kembali. Os
mengatakan memiliki riwayat tinnitus pada telinga kanan tahun 2016, dan pernah didiagnosa
rhinitis alergi tahun 2012. Os mengatakan memiliki riwayat alergi terhadap udara dingin dan debu,
dan menyangkal orangtua os memiliki riwayat alergi yang sama seperti os
Pada pemeriksaan fisik telinga tidak ditemukan adanya kelainan dan pada tes penala kesan
normal. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior cavum nasi dextra dan sinistrasempit, tidak terdapat
secret atau massa, konka inferior dextra dan sinistra edema, meatus inferior sinistra tertutup, konka
media dextra dan sinistra edema, meatus media sinistra tertutup. Terdapat nyeri tekan di sinus
frontalis dextra dan sinistra. Pemeriksaan faring ditemukan tonsil T2-T2 tenang. Pemeriksaaan
rhinoskopi posterior dan laringoskopi indirek tidak dilakukan.

36
DIAGNOSIS KERJA
1. Rinosinusitis Kronik
Dasar yang mendukung:
- Anamnesis: Hidung tersumbat pada kedua sisi bergantian, dan nyeri tekan di sinus frontalis
dextra dan sinistra, penurunan daya penciuman, pernah mengalami hal seperti ini sekitar 1
tahun lalu.
- Pemeriksaan Fisik: Pada rinoskopi anterior dextra dan sinistra ditemukan cavum nasi
sempit, namun tidak terdapat sekret ataupun massa, konka inferior dextra dan sinistra
edema, meatus inferior sinistra terututup, konka media dextra dan sinistra edema, meatus
medius sinistra tertutup, namun tidak terdapat cairan mukopurulen.

2. Rhinitis Alergi
Dasar yang mendukung:
- Anamnesis: hidung sering gatal dan tersumbat terutama pagi hari, memiliki riwayat alergi
udara dingin dan debu, pernah didiagnosa rhinitis alergi pada tahun 2012.
- Pemeriksaan Fisik: pada rhinoskopi anterior konka inferior dan media baik dextra maupun
sinistra ditemukan edema, namun tidak livide dan tidak ada sekret.

DIAGNOSIS BANDING
1. Rhinosinusitis Akut
- Dasar yang mendukung: hidung yang tersumbat dikedua sisi, penurunan daya
penciuman, nyeri tekan di sinus frontalis dextra dan sinistra
- Dasar yang tidak mendukung: os pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya 1 tahun
lalu dan os memiliki riwayat rhinitis alergi yang berlangsung sejak tahun 2012.

2. Rhinitis Vasomotor
- Dasar yang mendukung: hidung tersumbat ketika terkena paparan udara dingin dan hidung
yang tersumbat bergantian
- Dasar yang tidak mendukung: os memiliki riwayat alergi terhadap udara dingin dan debu.

Rencana Pemeriksaan Lanjutan

37
 Nasoendoskopi
 Skin Prick test

PENATALAKSANAAN
1. Rinosinusitis Kronik
Medikamentosa
 Antibiotik oral = Cefixime tab 2x200mg
 Kortikosteroid topikal = fluticasone furoate nasal spray 2 dd puff 2 /hari
 Cuci hidung (NaCl 0,9% 500cc 2 kali sehari)
Nonmedikamentosa
 Menjaga higienitas hidung
 Istirahat yang cukup

2. Rhinits Alergi
Medikamentosa:
 Antihistamin = Loratadine 10 mg 1 dd tab 1 / hari
 Dekongestan oral = Pseudoefedrin 30 mg 3 x 1
Non-medikamentosa:
 Hindari kontak langsung dengan alergen
 Hindari tidur dengan posisi yang berhadapan langsung dengan AC

PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam: Dubia ad bonam

38
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, anamnesis dan pemeriksaan fisik THT yang telah dilakukan pada pasien
maka dapat ditegakkan diagnosis kerja rhinosinusitis kronis dan rhinitis alergi. Berdasarkan
anamnesa, pasien perempuan tersebut mengeluhkan adanya hidung yang tersumbat sejak sebulan
lalu, rasa nyeri pada puncak hidung diseklitar alis, penurunan daya penciuman.

Berdasarkan EPOS 2012, rhinosinusitis dapat didefinisikan sebagai radang dari mukosa
hidung dan sinus paranasal. Rhinosinusitis dapat ditandai dengan dua atau lebih gejala. Salah satu
gejala tersebut harus berupa adanya obstruksi (hidung yang tersumbat) atau adanya nasal discharge
(sekret yang keluar baik melalui kavum nasi atau post nasal drip), dan salah satu atau lebih dari
gejala nyeri pada wajah dan adanya gangguan pada kemampuan penciuman. Bila manifestasi klinis
tersebut berlangsung kurang dari 12 minggu maka disebut akut dan pada sama atau lebih dari 12
minggu disebut sebagai kronik. Pada kasus ini, dari anamnesis yang didapatkan keluhan pasien
dapat memenuhi kriteria diagnosis dari rhinosinusitis. Namun, keluhan sumbatan pasien tersebut
sejak 1 bulan SMRS, yakni <12 minggu. Pasien mengatakan pernah mengalami hal seperti ini
sebelumnya 1 tahun lalu dan memiliki riwayat rhinitis alergi terhadap udara dingin dan debu yang
telah didiagnosa dari tahun 2012. Pertimbangan akan rhinosinusitis kronik yang terjadi karena
rhinitis alergi dapat dipertimbangkan.

Pada pemeriksaan fisik telinga didapatkan tidak ada kelainan, tes penala dilakukan
memberikan kesan normal. Hal tersebut sesuai dari tidak adanya keluhan mengenai telinga pasien.
Pada palpasi daerah sinus didapatkan adanya nyeri tekan sinus frontalis dextra dan sinistra. Pada
rhinoskopi anterior cavum nasi dextra dan sinistra sempit, tidak terdapat secret atau massa, konka
inferior dextra dan sinistra edema, meatus inferior sinistra tertutup, konka media dextra dan sinistra
edema, meatus media sinistra tertutup. Berdasarkan mata pemeriksa, tidak ditemukan adanya
sekret, cairan mukopurulen, dan mukosa yang livide yang seharusnya mendukung terhadap
rhinosinusitis kronik dan rhinitis alergi. Oleh karena itu disarakan untuk melakukan pemeriksaan
nasoendoskopi. Pemeriksaan nasoenskopi dapat membantu untuk menilai kondisi rongga hidung,
adanya sekret mukopurulen yang tidak terlihat di meatus, dan dapat menilai patensi dari kompleks
osteomeatal serta menilai lebih cermat muara sinus di meatus media. Pemeriksaan faring

39
ditemukan tonsil T2-T2 tenang, sesuai dengan pasien yang tanpa keluhan. Pemeriksaaan
rhinoskopi posterior dan laringoskopi indirek tidak dilakukan.
Berdasarkan algoritma rhinosinusitis kronik tanpa polip kepada pelayan kesehatan primer,
pasien rhinosinusitis kronik tidak dianjurkan untuk dilakukan foto ataupun ct-scan. Pada fasilitas
tanpa endoskopi, anamnesis dan pemeriksaan rhinoskopi anterior cukup dilakukan untuk
mendiagnosis rhinosinusitis kronik. Pemberian medikamentosa dapat diberikan steroid topikal
biasa dalam bentuk spray untuk menurunkan aktivitas inflamasi pada mukosa hidung dan
sinusparanasal, dapat juga diberikan antibiotik terutama pada kondisi eksaserbasi akut, dan juga
irigasi hidung dengan cairan salin. Setelah pemberian obat tersebut disarankan untuk mengevaluasi
hasil 1 bulan kedepan. Bila terdapat perbaikan terapi kemudian dilanjutkan dan bila tidak ada
perbaikan dapat melakukan rujukan kepada dokter spesialis THT.
Pada rhinitis alergi pasien, dapat diberikan obat antihistamin dan yang paling utama adalah
edukasi pasien untuk menghindari allergen.

40
Daftar Pustaka

1. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga.


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
2. Pabst R, Putz R. Sobotta atlas of human anatomy. Vol 1. 14th ed. Germany: Elsevier. 2006.
Tortora GJ, Derrickson B. Principples of Anatomy and Physiology. USA: John Wiley and Sons.
2009
3. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2006.
4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.h
30-8,107-16.
5. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 2012 Mar(23): 1-298.
6. Rhinosinusitis Kronik. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/ 134825-
overview. Diunduh pada 16 Februari 2019.
7. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2007. p. 128-32
8. Nina I, Elise K, Nikmah R. Rinitis alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2012.

41

Anda mungkin juga menyukai