PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit stroke telah banyak dijumpai di berbagai belahan dunia dan dapat
dijumpai pada bermacam-macam kelompok umur. Stroke merupakan keadaan di mana
terjadi gangguan neurologis yang bersifat lokal atau umum yang timbul secara
mendadak, sehingga suplai darah ke jaringan otak berhenti dan dapat menyebabkan
fungsi otak menjadi hilang/rusak (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2011). Secara
umum, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan pada pembuluh darah, atau dikenal
sebagai aterosklerosis. Hal ini membuat gangguan pada sistem peredaran darah ke
otak, di mana terdapat dua jenis kategori yaitu stroke non hemoragik (terdapat
sumbatan) maupun stroke hemoragik (pendarahan) dengan lokasi yang terdapat pada
fungsi otak secara keseluruhan (Saunderajen, 2014).
Faktor risiko stroke digolongkan menjadi dua bagian besar yakni faktor risiko
yang tak Puspita A. Ramadhani dan Merryana Adriani, Hubungan Tingkat Stres, 105
dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, keturunan, ras atau etnik dan lokasi
geografi s. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, penyakit jantung,
diabetes melitus, hiperkolesterolemia, stres berkepanjangan, merokok, faktor diet,
alkoholik, penggunaan narkotika, dan kegemukan (obesitas) (Poerwadi, 2000).
B. Rumusan masalah
1 Untuk mengetahui tanda dan gejala dari stroke
2 Untuk mengetahui komplikasi dari stroke
1
3 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari komplikasi stroke
C. Tujuan
1 Mengetahui tanda dan gejala stroke
2 Mengetahui komplikasi dari stroke
3 Mengetahui penatalaksanaan dari komplikasi stroke
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
a) Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
1) Buta mendadak (amaurosis fugaks).
2) Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia)
bila gangguan terletak pada sisi dominan
3) Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral)
dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
4
8) Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah
bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata
(ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang
pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).
9) Gangguan pendengaran.
10) Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
11) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
12) Koma
13) Hemiparesis kontra lateral.
14) Ketidakmampuan membaca (aleksia).
15) Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.
1. Infeksi Thorax
Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme pada
penjamu rentan yang terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu, cara
transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun
airbone, dan dengan kontak langsung yang terjadi di thorax. Central Periodic
Breathing (CPB), termasuk pernapasan Cheyne-Stokes dan Central Sleep Apnea
(CSA) ditemukan pada penderita stroke. Pernapasan Cheyne-Stokes adalah suatu
pola pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik kemudian turun bergantian
dengan periode apnea. Pola pernapasan ini sering dijumpai pada pasien stroke,
akan tetapi tidak memiliki korelasi anatomis yang spesifik. Salah satu penelitian
melaporkan CPB terjadi pada kurang lebih 53% pasien penderita stroke.
6
Selain menimbulkan gangguan kontrol respirasi sentral, hemiplegi akut
pada stroke berhubungan dengan risiko kematian akibat infeksi paru.
Kemungkinan infeksi paru cukup besar pada pasien dengan aspirasi dan
hipoventilasi. Kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh akibat stroke akan
berkurang pada pernapasan volunter, tidak berpengaruh pada pernapasan
involunter. Emboli paru juga pernah dilaporkan terjadi pada 9% kasus stroke.
7
b) Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan erat
hubungannya dengan aspirasi penumonia. Oleh karena itu, tes refleks
batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko pneumonia.
c) Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) dianjurkan pada pasien
dengan gangguan menelan.
d) Pencegahan aspirasi pneumonia dapat dilakukan dengan:
1) Elevasi kepala 30-450
2) Menghindari sedasi berlebihan
3) Mempertahankan tekanan endotracheal cuff yang tepat pada pasien
dengan intubasi dan trakeostomi.
4) Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan
secara enteral
5) Menghindari pemakaian pipa nasogastrik yang lama
6) Seleksi diit yang tepat untuk pasien dengan disfagia
7) Mengaspirasi sekresi subglotis secara teratu
8) Rehabilitasi fungsi menelan
Penatalaksanaan
Fisioterapi (chest therapy) dengan spidometri, inhalasi ritmik, dan
menepuk- nepuk dada, pemberian antibiotic sesuai indikasi dan mobilisasi
bertahap Jika terjadi gagal nafas akut, dapat dilakukan pemasangan ventilator
sesuai indikasi dan kondisi pasien.
3. Konstipasi
Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi
dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi
defekasi kurang dari tiga kali per minggu dan konsistensi tinja lebih keras dari
biasanya. Konstipasi fungsional didasarkan atas tidak dijumpainya kelainan
organik ataupun patologis yang mendasarinya walau telah dilakukan pemeriksaan
objektif yang menyeluruh.Pasien yang mengalami konstipasi memiliki persepsi
gejala yang berbeda- beda. Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit sering
mengalami kelemahan anggota gerak, baik sebagian maupun seluruhnya yang
menyebabkan pasien imobilisasi. Imobilisasi yang berkepanjangan berpotensi
8
terjadi komplikasi, salah satunya adalah konstipasi. Konstipasi dapat
menyebabkan tekanan pada abdomen yang memicu pasien mengejan saat
berdefekasi. Pada saat mengejan yang kuat terjadi respons maneuver valsava yang
dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial pada
pasien stroke merupakan prognosis yang buruk.Penatalaksanaan konstipasi
dengan Masase abdomen membantu untuk merangsang peristaltik usus dan
memperkuat otot-otot abdomen serta membantu sistem pencernaan sehingga dapat
berlangsung dengan lancar, Mengonsumsi air putih yang hangat dalam jumlah
yang cukup dapat menyebabkan pencernaan bekerja dengan kapasitas yang
maksimal.
4. Kejang
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu
populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga menganggu
fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di
bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam- basa
atau elektrolit. Kejang dapat terjadi sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan
dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun tahun
disebut epilepsi. Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai tipe idiopatik atau
simptomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat di buktikan adanya
suatu lesi sentral. Pada epilepsi simptomatik atau sekunder, terdapat kelainan
serebrum yang mendorong terjadinya respon kejang. Diantara berbagai penyakit
yang mungkin menyebabkan epilepsi sekunder adalah cedera kepala, gangguan
metabolik dan gizi (hipoglikemi, fenilketouria defisiensi vitamin B6), faktor
toksik (intoksikasi alkohol, putus obat narkotik, uremia), ensefalitis, hipoksia,
gangguan sirkulasi, gangguan keseimbangan elektrolit ( terutama hiponatremi dan
hipokalsemi) dan neoplasma.
Kejang pasca stroke dan epilepsi merupakan penyebab tersering dari
sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis ataupun
sebagai komplikasi pasca stroke. Faktor usia menjadi faktor risiko independen
untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian dan
prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke
9
5. Stroke Berulang
Kejadian Stroke yang terjadi setelah stroke pertama. Serangan stroke ulang
masih sangat mungkin terjadi dalam kurun waktu 6 bulan pasca serangan stroke
yang pertama. Serangan stroke ulang pada umumnya lebih berakibat fatal
daripada serangan stroke yang pertama.Penelitian Xu,dkk memperlihatkan bahwa
serangan stroke ulang pada tahun pertama dijumpai pada 11,2% kasus.
Pengendalian faktor resiko yang tidak baik merupakan penyebab utama
munculnya serangan stroke ulang. Penelitian diatas menunjukkan bahwa serangan
stroke ulang pada umumnya dijumpai pada individu dengan hipertensi yang tidak
terkendali dan merokok. Pada pengamatan selama lima tahun pasca serangan
stroke, serangan stroke ulang dijumpai pada 32 kasus. Hal ini berarti sepertiga
pasien stroke akan mengalami serangan stroke ulang dalam lima tahun pasca
serangan stroke yang pertama.
6. Depresi
Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa di Indonesia edisi
III mendefinisikan depresi sebagai gangguan afektif (alam perasaan) yang pada
umumnya ditandai oleh gejala- gejala:
a) Kurang nafsu makan atau penurunan berat badan yang cukup berarti, atau
penambahan nafsu makan dan penambahan berat badan yang cukup
berarti.
10
b) Gangguan tidur (insomnia atau hipersomnia)
c) Agitasi atau sebaliknya melambatkan psikomotor (gerak).
d) Hilang minat atau rasa senang dalam semua kegiatan (yang biasa
dikerjakannya) dan waktu senggang (hobi).
e) Berkurangnya energi, mudah lelah yang nyata oleh kerja sedikit saja.
f) Hilangnya semangat dan kegairahan hidup. Berkurangnya aktifitas, mudah
lelah oleh kerja sedikit saja.
g) Perasaan tak berguna, menyalahkan diri sendiri, atau perasaan bersalah
berlebihan dan tidak tepat.
h) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang, rasa rendah diri.
i) Pandangan masa depan suram dan pesimistis.
j) Keluhan atau tanda tanda berkurangnya kemampuan berfikir atau
konsentrasi, perlambat proses pikir atau tidak mampu.
k) Iritabel, mudah tersinggung atau marah. Rasa sedih, murung, hancur luluh,
putus asa, merasa tak tertolong lagi. Gagasan atau perbuatan
membahayakan diri sendiri, pikiran berulang tentang kematian, gagasan
bunuh diri, keinginnan mati atau usaha bunuh diri.
Untuk menegakkan diagnosis depresi, minimal ada 4 dari gejala
gejala diatas, depresi juga bertingkat, dari episode ringan, sedang, dan berat. Pada
paraktek klinis, depresi bisa diukur derajat keberatannya dengan alat ukur seperti
Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD) atau Back Depression Inventory
(BDI).
Faktor neurobiologik yang dianggap berperan sebagai kausal depresi pasca
stroke adalah gangguan kerusakan anatomik dan gangguan neurohormonal/
neurotransmiter. Gangguan anatomik di otak, baik pada hubungan langsung antar
neuron ataupun akibat kerusakan di neuron itu sendiri, akan mempengaruhi
kinerja dan keseimbangan neurotransmiter. Stroke yang sering juga disebut
sebagai Cerebro-Vascular Accident (CVA) terjadi akibat iskemik atau perdarahan
yang dampaknya bisa berupa gangguan organik otak, yakni deformasi anatomik
atau selanjutnya berupa gangguan organik otak, yakni deformasi anatomik atau
selanjutnya berupa gangguan fungsional.
b) Hindari pemasangan kateter urine, bila tidak ada indikasi kuat. Bila
dipasang kateter , perlu diperhatikan tindakan aseptik. Pilih kateter yang
dimodifikasi (modified catheter coated) dengan anti mikroba seperti
nitrofurazone-coated silicone atau silver-coated latex.
c) Dianjurkan untuk mendapat nutrisi yang cukup, penting dalam
menigkatkan daya tahan tubuh pasien.
8. Stress Ulcer
a) Pasien dengan stress ulcer harus dilakukan penatalaksanaan ABC adekuat.
Petugas yang terlatih diperlukan dalam mengenali tanda gagal nafas dan
mampu melakukan bantuan dasar untuk jalan nafas.
b) Pada perdarahan yang banyak (lebih dari 30% dari volume sirkulasi),
penggantian dengan transfusi darah perlu dilakukan. Untuk mengganti
kehilangan volume sirkulasi cairan pengganti berupa koloid atau kristaloid
dapat diberikan sebelum transfusi. Infusion line: Infus NaCl 0,9%, RL atau
plasma expander.
c) Pasang pipa nasogastrik dan lakukan irigasi dengan air es tiap 6 jam
sampai darah berhenti.
d) Pemberian penghambat pompa proton seperti omeprazole atau
pantoprazole diberikan secara intravena dengan dosis 80 mg bolus,
kemudian diikuti pemberian infus 8 mg/jam selama 72 jam berikutnya.
e) Hentikan pemakaian aspirin atau klopidogrel. Pemakaian aspirin dapat
diteruskan bila terdapat indikasi yang jelas.
12
f) Pemberian nutrisi makanan cair jernih diit pasca hematemesis sangat
membantu percepatan proses penyembuhan stress ulcer. Pemberian nutrisi
haru dengan kadar serat yang tinggi dan dihindarkan dari makanan yang
merangsang atau mengiritasi lambung.
9. Ulkus Dekubitus
Kerusakan integritas kulit dapat berasal dari luka karena trauma dan
pembedahan, namun juga dapat disebabkan karena tertekannya kulit dalam waktu
lama yang menyebabkan iritasi dan akan berkembang menjadi luka tekan atau 18
dekubitus.25 Bagian tubuh yang sering mengalami dekubitus adalah siku, tumit,
punggung, pinggul, pergelangan kaki dan tulang belakang. Dekubitus merupakan
masalah yang serius karena dapat mengakibatkan meningkatkan biaya, lama
perawatan di rumah sakit serta memperlambat program rehabilitasi bagi penderita.
Selain itu dekubitus juga dapat menyebabkan nyeri yang berkepanjangan, rasa
tidak nyaman, meningkatkan biaya dalam perawatan dan penanganannya serta
menyebabkan komplikasi berat yang mengarah ke sepsis, infeksi kronis, sellulitis,
osteomyelitis, dan meningkatkan prevalensi mortalitas pada klien lanjut usia.
Dekubitus sering terjadi pada pasien tirah baring seperti pada pasien stroke. Pada
pasien stroke dengan gangguan mobilisasi, pasien hanya berbaring saja tanpa
mampu untuk mengubah posisi. karena keterbatasan tersebut. Tindakan
pencegahan dekubitus harus dilakukan sedini mungkin dan terus menerus, sebab
pada pasien stroke dengan gangguan mobilisasi yang mengalami tirah baring di
tempat tidur dalam waktu yang cukup lama tanpa mampu untuk merubah posisi
akan berisiko tinggi terjadinya luka tekan (dekubitus)
Penatalaksanaan
a) Manajemen optimal yang komprehensif dan akurat dalam menentukan
riwayat luka, penyebab lokasi, derajat, ukuran, dasar, eksudat dan kondisi
kulit sekitar ulkus. Periksa semua pasien apakah mempunyai factor risiko
terjadinya ulkus dekubitus. Pada pasien dengan factor risiko
dipertimbangkan pemakaian tempat tidur tekanan rendah.
b) Membuat jadwal reposisi dan menghindari pasien dari posisi ulkus.
c) Pasien dengan ulkus derajat 1-2 (eritema dan kehilangan kulit parsial)
harus diposisikan pada matras atau bantalan dengan menurunkan tekanan.
13
d) Pasien dengan ulkus derajat 3-4 (full-thicknes skin loss dan extensive
destruction) diposisikan pada keadaan dengan tekanan rendah yang
konstan Disarankan memakai tempat low-air-loss atau air-fluidized bed .
e) Mempertahankan posisi kepala tempat tidur tetap elevasi serendah
mungkin dengan memperhatikan kebutuhan medis dan pembatasan lain.
f) Miring kanan-miring kiri setiap 2 jam
10. Disfagia
Penatalaksanaan :
a) Semua pasien stroke harus dilakukan skrining disfagia sebelum diberikan
diit melalui mulut.
b) Identifikasi faktor risiko dan komorbiditas terhadap pneumonia aspirasi
berupa kebiasaan merokok dan penyakit pernafasan .
c) Pasien dengan disfagiaharus dimonitor tiap hari dalam 1 minggu pertama.
d) Skrining awal gangguan menelanberupa: penilaian derajat kesadaran
pasien dan kontrol postural .
e) Pasien dengan disfagia persisten harus dievaluasi teratur .
f) Kebersihan mulut harus diperhaikan pada pasien dengan disfagia, terutama
pada pasien dengan PEG atau pipa nasogastric .
Stroke sebagai salah satu penyakit gangguan pembuluh darah otak dapat
mengakibatkan cacat fisik. Stroke pada umumnya dapat terjadi pada semua
kelompok umur, tetapi tiga perempat dari kejadian stroke terjadi pada orang yang
sudah berumur 65 tahun atau lebih (lansia) dan berakibat pada timbulnya
disabilitas atau kecacatan. Pasien pasca stroke mengalami gangguan fisik yang
bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Pasien stroke kemungkinan akan
mengalami kelumpuhan separo badan, sulit untuk berbicara dengan orang lain
(aphasia), mulut mencong (facial drop), lengan dan kaki yang lemah, gangguan
koordinasi tubuh, perubahan mental, gangguan emosional, gangguan komunikasi,
serta kehilangan indera rasa (Junaidi, 2004).
Penatalaksanaan dengan Rehabilitasi dan latihan Range of Motion (ROM)
merupakan salah satu terapi lanjutan pada pasien stroke setelah fase akut telah
14
lewat dan memasuki fase penyembuhan. Mobilisasi dini dalam bentuk latihan
Range of Motion dan terapi akupresur sebagai bagian dari rehabilitasi mempunyai
peranan yang besar untuk mengembalikan kemampuan penderita untuk kembali
bergerak, memenuhi kebutuhan sehari-harinya, sampai kembali bekerja.
15
BAB III
A.Kesimpulan
Penyakit stroke telah banyak dijumpai di berbagai belahan dunia dan dapat
dijumpai pada bermacam-macam kelompok umur. Stroke merupakan keadaan di
mana terjadi gangguan neurologis yang bersifat lokal atau umum yang timbul secara
mendadak, sehingga suplai darah ke jaringan otak berhenti dan dapat menyebabkan
fungsi otak menjadi hilang/rusak.
B.Saran
Pentingnya menjaga kesehatan dengan cara mengatur pola hidup yang sehat,
untuk mencegah kejadian stroke sebaiknya hindari factor pencetus yang dapat
menyebabkan resiko stroke.
16
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional
2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
17