Anda di halaman 1dari 3

Makassar Dibangun Untuk Apa? Untuk Siapa?

Di hari yang tidak terlau sibuk, ditemani secangkir kopi di beranda depan rumah, dengan
kuota internet atau wi-fi yang memadai, saya ingin mengajak anda merasakan sensasi
bagaimana rasanya menjadi Wali Kota. Silakan mengunduh game bernama Sim City pada
gawai anda lalu mulailah membangun kota yang anda inginkan.

Di awal permainan, kita akan diperhadapkan oleh sebuah bentang alam luas yang sama sekali
tak berpenghuni. Setelahnya, kita akan dipandu untuk membangun petak-petak bangunan
yang bakal semakin kompleks seiring waktu sebab setiap bangunan akan saling terkait satu
sama lain. Jejaring inilah yang nantinya menjadikan kita, para wali kota gadungan ini
menggaruk-garuk kepala sebab tak jarang, kita dituntut untuk menata ulang bagian-bagian
kota demi memenuhi tuntutan publik dalam game virtual tersebut.

Setelah puas bermain game dan kopi anda tandas dalam gelas, mendongaklah. Perhatikan apa
yang nampak di hadapan anda. Ya, kita juga sedang berada di sebuah kota. Tapi di sini, wali
kota tidak sedang bermain game.

Makassar, sebagai sebuah kota metropolitan setidaknya ditilik dari demografinya,


menyimpan banyak benang kusut dari segi bagaiman ia merencakan dan menggunakan
‘ruang’ yang ada. Sebuah permasalahan yang kita tahu telah menghasilkan berbagai buntut
persoalan. Mulai dari kemacetan, banjir, polusi, transportasi, oke, oke, silakan anda
menambahkan daftarnya sendiri.

Lalu. jika deretan masalah itu disebabkan oleh kacaunya penataan ruang yang ada, maka apa
itu ruang?

Anggap anda sedang pulang ke rumah untuk bertemu Ibu dan memakan masakannya: anda
sedang berada dalam ruang. Esoknya, anda berangkat ke kampus atau kantor yang mana anda
akan beraktifitas seharian; Ruang juga ada di sana. DI sore hari, anda pergi menonton Dilan
1991 bersama kekasih di sebuah bioskop dalam mall di pusat kota: itu juga ruang.
Sederhananya, ruang adalah tempat (spasial) yang terdapat aktifitas di dalamnya. Interaksi
antara tempat dan aktifitas inilah yang kemudian menghasilkan karakter dari tiap ruang.

Dikarenakan karakter yang berbeda dari ruang-ruang yang ada, maka tentu saja apa yang
diharapkan adalah harmonisasi dari jalianan antar ruang hingga nantinya mampu
menghasilkan kota yang nyaman, aman, tentram, dan tentu saja manusiawi. Tapi alih-alih
demikian, yang kita dapat adalah kesemrawutan demi kesemrawutan.

Kita bisa saja membiarkan kota berjalan sebagaimana adanya dan melepasnya seperti
melepas anak kucing anggora. Dari kejauhan, kita akan melihatnya tumbuh menjadi besar
dan semakin besar, kaya dan semakin kaya. Pembangunn yang membuat kota menjadi tempat
pesta lampu-lampu malam hari yang gemerlap. Tapi, dengan segala kebesaran, kekayaan dan
kemegahan ini, sebenarnya, kota ini dibangun untuk apa? Untuk siapa?

Jika mengacu kepada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka jelaslah
sudah bahwa segala usaha penataan ruang kota adalah untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat. Olehnya, upaya-upaya penataan ruang yang ada seharusnya tidak direncanakan
dan dieksekusi demi kepentingan seseorang atau sekelompok saja. Karena setiap kita adalah
masyarakat.
Tapi, mari sejenak melipat konstitusi dan melihat sekeliling. Pada hampir seluruh ruang yang
dibangun pada hari ini, harus diakui bahwa yang menjadi hal yang paling utama yang
dijadikan pertimbangan adalah seberapa besar nilai ekonomi yang bisa diperoleh dari setiap
pembangunan. Faktor manfaat untuk umum, lingkungan, hngga keberlanjutan untuk generasi
mendatang adalah urusan kesekian yang nyaris tidak dilirik sama sekali.

Sebagai contoh, dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diatas telah diatur
perihal prasyarat bahwa setiap kota diwajibkan untuk menyediakan setidaknya 30% RTH
(Ruang Terbuka Hijau) sebagai kawasan penunjang. Namun yang terjadi, tidak sampai 10%
yang kita temukan. Ini sesuatu yang penting mengingat peran RTH selain sebagai paru-paru
kota, ia juga berfungsi untuk menjadi daerah resapan dan penetralisir polusi yang semakin
banyak.

Mengingat peran yang sedemikian besar, juga himbauan yang gambling oleh konstitusi kita,
mengapa RTH menjadi sedemikian dibaikan? Jawabannya sederhana: Membangun RTH
sama sekali tidak menguntungkan.

Semenjak Kapitalisme menjadi ideologi bersama negara-negara di dunia, sejak itu pula setiap
lahan yang ada menjelma kue apem yang bisa dibeli siapa saja dan dipergunakan untuk
kepentingan siapa saja yang membelinya. Syaratnya hanya satu: ada uang, ada kue apem—
atau dalam kasus ini, ada lahan.

Dan tentu saja, kapitalis yang kaffah akan selalu berusaha melipatgandakan modal yang bisa
ia peroleh dari apapun yang ia beli. Maka bukan hal aneh ketika yang terjadi adalah semacam
kompetisi antar pemodal. Kita melihat kota sebagai arena lomba tentang siapa yang bisa
membangun gedung yang paling megah, mendirikan hotel yang paling gemerlap.
Memanfaatkan ruang yang baik dan benar adalah menggunakannya untuk mengumpulkan
pundi-pundi.

Akibatnya, terjadi ketimpangan antar kawasan. Pada beberapa bagian kota, kita seperti
menemukan keping Jakarta yang megah dan riuh dengan segala fasilitas terbaiknya. Namun
pada mereka yang tidak memiliki modal dan terdesak semakin ke pinggir, terpaksa harus
berhadapan pada kenyataan dan berdesak-desakan tanpa diperhatikan karena tak memiliki
akses terhadap apa saja.

Sebaiknya, kita kembali pada pertanyaan: kota ini dibangun untuk apa? Untuk siapa?

Pemerintah pada dasarnya telah memiliki pedoman yang jelas dalam RTRW (Rencana Tata
Ruang Wilayah) yang telah disahkan menjadi Perda pada tahun 2015 yang lalu. Sejatinya,
pada setiap bangunan yang akan dan telah dibangun mesti berangkat dari pahaman tentang
pentingnya mematuhi aturan penataan ruang demi menjadikan kota yang ramah untuk hidup
dan menggantungkan hidup. Lalu pada saatnya nanti, Makassar benar-benar menjadi kota
untuk semua.

Kecuali, wali kota dan pemerintah memang sudah menyerahkan kota bergerak sesuai
mekanisme pasar yang ada. Maka kita, hanya bisa menunggu Makassar tercinta menjadi
semakin sesak dan asing sembari menggerutu ketika macet dan banjir tahunan datang
kembali. Tapi setelah semuanya lewat, kita kembali bermain sim city.
Ada benarnya juga, apa yang pernah dikatakan Winston Churchill paman saya di London
sana: “We shape our bulidings, thereafter they shape us”.

Anda mungkin juga menyukai