Anda di halaman 1dari 1

Sepak bola adalah rangkaian pertarungan taktik, persiapan matang, dan tentu saja

perhitungan yang presisi. Namun terkadang kita lupa, bahwa pada satu titik tertentu, sepak
bola juga adalah pertunjukan sejarah panjang akal sehat yang harus rela disingkirkan oleh
takdir.

Estádio do Maracanã di kota Rio de Janeiro, Brasil, pada 16 Juli 1950 merupakan contoh terbaik
bagaimana sepak bola menertawai seluruh prediksi orang-orang. Bertindak sebagai tuan rumah,
generasi awal para penari samba lapangan hijau itu menandai satu tragedi yang akan selalu dikenang
orang-orang Brasil sebagai peristiwa paling menyakitkan sepanjang hidupnya. Para orang tua yang
menyaksikan pertandingan itu secara langsung, mereka yang melihat dengan kedua mata mereka
sendiri bagaimana Karnaval juara yang telah mereka persiapkan sedemikian rupa harus runtuh
bersamaan dengan peluit panjang wasit. Uruguay juara Piala Dunia. Seisi Brasil nestapa. Maracanazo.
Tragedi itu diceritakan turun temurun seperti legenda hantu.

Kita mengenal Istanbul 2005, Munchen 2012, AFF 2010. Kita mengenang peristiwa-peristiwa
itu—juga banyak pertandingan lainnya—sebagai sesuatu di luar nalar yang seperti mempermainkan
segerombolan statistik di atas kertas.

Lalu, mari melompat jauh dari tragedi Maracanazo, Di Makassar dengan langit malam yang sejuk
itu, Akhir pekan kemarin para dewa sepak bola kembali mempertontonkan kuasanya. Seolah memberi
peringatan tentang keberadaan mereka. Dua kemenangan beruntun di awal Liga yang ditorehkan
Pasukan Ramang seolah menguap begitu saja malam itu. Ada hal-hal aneh dan ganjil yang tidak bisa
dijelaskan. Saya bisa memastikan, terkecuali para pendkung Persela, tidak satupun manusia berakal
sehat yang meramlkan PSM akan tersungkur kalah malam itu.

“Saya memprediksi PSM akan menjadi tim pertama yang meraih poin sempurna dalam tiga
pertandingan awal”. Kata Pengamat sepak bola Imam Martono,

Sebuah argumen yang sangat beralasan menengok bagaimana Juku Eja akan menjalani laga
malam itu. Dengan skuad yang utuh yang berhasil membawa oleh-oleh poin sempurna dari timur jauh
Indonesia, dengan mental yang membuncah, dengan kerumunan supporter di rumah sendiri. PSM
memiliki semua syarat yang dibutuhkan untuk berpesta di Mattoanging.

Tapi seperti yang dikatakan Darmanto Simaepa, “Manusia merencakan, para dewa sepak bola
tertawa.”

Anda mungkin juga menyukai