Anda di halaman 1dari 13

Dinamika Interaksi Sosial Masyarakat Keturunan Madura di Dusun Pijetan,

Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Tahun 1950-2012

Oleh: Qaharrudin Widyarto 1

Abstrak: Masyarakat keturunan Madura merupakan salah satu


kelompok masyarakat yang hidup diantara Suku Jawa yang
memiliki identitas etnik Madura di dalam kehidupannya, identitas
yang berbeda saat berinteraksi dengan Suku Jawa. Dari interaksi
dengan identitas etnik Jawa yang dominan tersebut menjadikan
masyarakat keturunan Madura mengalami perubahan-perubahan
yang mempengaruhi identitas etnik yang mereka akui. Perubahan
tersebut terjadi pada bidang mata pencaharian, pendidikan, agama,
tradisi, dan bahasa, yang dari perubahan ini mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh interaksi yang dilakukan oleh masyarakat.
Penggalian data dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
sejarah (historical method). Hasil penelitian adalah (1) masyarakat
kampung Madura terbentuk dan berkumpul dalam satu wilayah
karena adanya ikatan kekerabatan yang kuat, serta menempati
wilayah milik migran Madura pertama di wilayah ini; (2) interaksi
sosial yang terjadi dipengaruhi oleh tradisi, bahasa, agama,
pendidikan dan pekerjaan, yang kemudian menyebabkan
pemudaran identitas etnik Madura; (3) pembelajaran sejarah yang
mengedepankan pemahaman siswa terhadap lingkungan sekitarnya
adalah mutlak dibutuhkan.

Kata kunci: dinamika interaksi sosial, masyarakat keturunan Madura, Identitas


etnik

PENDAHULUAN

Desa Blayu merupakan salah satu daerah di kabupaten Malang yang

sebagian penduduknya memiliki hubungan etnisitas dengan Suku Madura. Leluhur

mereka adalah migran dari Bangkalan dan Sampang yang menempati wilayah ini

sekitar zaman perang kemerdekaan Indonesia. Keberadaan mereka di wilayah Desa

Blayu dan menjadikan sebagian wilayahnya sebagai daerah masyarakat beridentitas

etnik Madura, daerah ini disebut oleh penduduk dengan sebutan Kampung Madura.

1
Mahasiswa jurusan Sejarah, FIS UM Angkatan 2007
Kampung Madura yang telah ada selama hampir enam puluh tahun lebih ini

menjadi saksi dinamika masyarakat Madura selama beberapa generasi, dari

masyarakat migran yang hidup dalam kelompok sampai masyarakat yang membaur

dengan masyarakat lain yang berbeda etnik dan menjadi masyarakat keturunan

Madura.

Masyarakat keturunan Madura memiliki identitas dua etnik, yaitu etnik

Jawa dan etnik Madura, yang masing-masing identitas diterapkan sesuai dengan

kondisi yang dihadapi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa identitas etnik

sebagai Orang Madura kalah dominan dengan status sebagai bagian dari Etnik

Jawa. Sebagian dari mereka dapat dikatakan sudah tidak memiliki identitas etnik

Madura, dan sebagian lagi masih memiliki identitas tersebut dalam bentuk tradisi

dan bahasa. Hal ini disebabkan oleh interaksi yang dilakukan dalam waktu yang

lama dengan etnik Jawa, interaksi yang dilakukan perwujudan peran mereka

sebagai masyarakat Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Perjalanan

interaksi antar kedua masyarakat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya

masyarakat, yang di dalamnya terdapat moment perubahan pada waktu-waktu

tertentu, perubahan yang menjadikan semakin dinamisnya interaksi yang harus

dilakukan masyarakat tersebut.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sejarah datangnya

etnik Madura ke wilayah Desa Blayu, kemudian untuk mengetahui pengaruh

dinamika interaksi sejak kedatangan etnik Madura sampai dewasa ini terhadap

identitas etnik sebagai keturunan Madura, sehingga dari hal tersebut dapat

dirumuskan nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam pendidikan kemasyarakatan

maupun pendidikan dalam bentuk formal.


METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan digunakan metode penelitian sejarah

(historical method) dengan alasan data yang digali adalah sejarah dan

perkembangan suatu masyarakat selama beberapa periode. Adapun langkah

penelitian sejarah yang digunakan peneliti sesuai dengan metode Kuntowijoyo

(2005:91) yaitu melakukan pemilihan topik, kemudian dilanjutkan dengan

heuristic, yaitu upaya penelitian untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah baik

berupa data lisan, dokumen tertulis maupun artifact. Setelah data terkumpul

dilakukan verifikasi untuk menilai dan meneliti data sejarah yang telah ditemukan,

terutama menyangkut otensitas dan kredibilitas data tersebut. Setelah data dianggap

sudah benar dilakukan penafsiran dan penyimpulan dari seluruh data yang didapat

untuk mendapatkan keterangan yang satu, keterangan tersebut kemudian ditulis

dalam bentuk karya tulis yang selaras dan kronologis.

HASIL PEMBAHASAN

Keberadaan masyarakat keturunan Madura di Dusun Pijetan, Desa Blayu,

Kecamatan Wajak tidak terlepas dari kedatangan Suku Madura yang pertama kali

dan tinggal di wilayah ini yaitu Haji Idris bersama keluarganya, yang diperkirakan

diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1940-an. Kedatangan mereka di daerah

Malang merupakan bagian dari migrasi yang dilakukan oleh sebagian Suku

Madura, khususnya daerah Turen. Berdasarkan Volkstelling 1930, daerah Turen

merupakan wilayah terbesar kedua yang menjadi wilayah migrasi masyarakat

Madura di wilayah Malang, dengan prosentase migrasi 56,2% dengan penduduk

Jawa hanya 29,5%, dengan mayoritas masyarakat Madura pendatang berasal dari
Sampang dengan jumlah 6.832 orang, sedangkan dari Bangkalan berjumlah 6.420

orang.

Pada awal tiba di daerah yang sekarang menjadi wilayah Dusun Pijetan,

Desa Blayu, keadaan wialayah yang ada adalah penduduknya masih berjumlah

sedikit karena pemukiman penduduk lebih terkonsentrasi pada daerah yang dekat

jalan besar dan masih berbentuk bukit yang terdapat pepohonan yang lebat. Haji

Idris dan keluarganya kemudian membuka lahan di daerah itu (babat alas/bedah

kerawang) dan menempati wilayah tersebut dan menjadi cikal bakal terbentuknya

kampung Madura di wilayah ini.

Pada sekitar tahun 1950, migrasi Suku Madura ke wilayah ini semakin

bertambah jumlahnya, mereka menempati wilayah Dusun Pedukuhan yang

sebagian besar lahannya telah dimiliki oleh Haji Idris. Semakin banyaknya migrasi

Suku Madura tersebut disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adanya kegiatan

toron yang dilakukan ke daerah Sampang dan Bangkalan. Salah satu dari Suku

Madura yang ikut bermigrasi adalah keluarga Haji Hasan yang kemudian menjadi

tokoh agama wilayah Desa Blayu. Kehadiran Suku Madura di wilayah ini menjadi

bagian dari masyarakat perintis dan pembangun Desa Blayu, hal inilah yang

menjadikan interaksi antara Suku Jawa dan Suku Madura tidak mengalami konflik

yang didasarkan perbedaan etnik.

Setelah meninggalnya Haji Idris pada sekitar tahun 1955, masyarakat

kampung Madura masih tetap melakukan tradisi toron sebagai bentuk cara menjaga

hubungan keluarga dengan Suku Madura, hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat

kampung Madura masih mengakui identitas etnik mereka sebagai bagian dari Suku

Madura, walaupun mereka berada di wilayah Jawa dan tidak secara langsung
mengenal budaya Madura. Identitas etnik lain yang masih sering digunakan adalah

dalam penggunaan bahasa Madura dalam berinteraksi dengan sesama migran dari

Madura, mereka menjadikan bahasa Madura sebagai bahasa kelompok dan untuk

menunjukkan identitas mereka. Menurut diagram pergeseran bahasa milik Fishman

(1972) (dalam Chaer & Agustina. 2004:144) dapat dikatakan bahwa pada periode

ini merupakan periode bilingual bawahan atau masa bahasa ibu (daerah asal) masih

mendominasi dalam komunikasi sehari-hari masyarakat.

Pada awalnya, pemukiman masyarakat Madura berkumpul di wilayah

Dusun Pedukuhan Lor, sedangkan Suku Jawa berada di wilayah Dusun Krajan dan

ada sebagian di wilayah Dusun Pedukuhan Kidul. Pola pemukiman tersebut

akhirnya memperkuat dan mempengaruhi identitas etnik masing-masing suku,

sehingga masyarakat Madura masih melakukan tradisi seperti yang mereka lakukan

di Pulau Madura, misalnya penyembelihan sapi saat ada hajatan dan kesenian

samaan. Di sisi lain masyarakat Madura juga belajar menggunakan budaya Jawa,

demikian pula dengan Suku Jawa yang belajar tentang bahasa Madura, hal ini dapat

dilihat dari adanya tradisi samaan yang diadaptasi dengan menggunakan budaya

Jawa.

Seiring berjalannya waktu, Interaksi masyarakat kampung Madura dengan

Suku Jawa sebagai bagian dari masyarakat Desa Blayu terus dilakukan sampai

akhirnya kedua masyarakat tersebut membaur. Dari pembauran ini, terutama dalam

bentuk pernikahan memunculkan masyarakat keturunan Madura, yaitu suatu

masyarakat yang memiliki identitas etnik Madura dan hidup diantara Suku Jawa.

Selain pernikahan, interaksi juga dilakukan di bidang pendidikan dan bidang mata
pencaharian. Dari interaksi ini terjadi penyesuian-penyesuaian yang dilakukan oleh

kedua Suku untuk mencapai integrasi sebagai satu masyarakat.

Peran masyarakat kampung Madura dalam sejarah Desa Blayu sangatlah

penting, selain sebagai perintis pembangunan desa, keberadaan Haji Hasan sebagai

salah satu dari masyarakat kampung Madura dan guru agama menjadikan Suku

Jawa dan Suku Madura bersikap saling menghormati. Haji Hasan bisa dikatakan

menjadi leader kampung Madura menggantikan peran Haji Idris sebagai “penguasa

lokal” yang telah meninggal dunia, bahkan pada peristiwa 1965 beliau menjadi

pemberi “kartu hijau” atau pembebasan bagi mereka yang dianggap sebagai

golongan kiri. Dari hal ini dapat dikatakan integrasi kedua masyarakat terjaga oleh

sebab adanya tokoh berpengaruh dan disegani oleh masyarakat, baik Suku Madura

maupun Suku Jawa.

Dalam perkembangan selajutnya, kehidupan masyarakat kampung Madura

mulai mengalami perubahan, salah satu perubahan tersebut adalah dibukanya SD

Inpres Blayu pada sebelum tahun 1975, yang semakin meningkatkan jumlah

penduduk yang bersekolah dan semakin mendekatkan masyarakat kampung

Madura pada kehidupan Jawa karena mayoritas teman sekolahnya dan gurunya

adalah Suku Jawa. Adapun kondisi pendidikan sebelumnya, pendidikan masyarakat

lebih diorientasikan pada pendidikan pondok pesantren, dan yang bisa menempuh

pendidikan ini adalah mereka yang berstatus golongan atas. Selain pendidikan

formal, pendidikan agama Islam masih tetap dilakukan di masjid Dusun yang

dibimbing oleh Haji Hasan dan keturunannya, pendidikan pondok pesantren juga

masih tetap dilakukan oleh masyarakat.


Perubahan lainnya adalah pada mata pencaharian masyarakat keturunan

Madura, yaitu perubahan komoditi pertanian dari padi dan ketela menjadi

mendong. Perbedaan pola pertanian mendong dengan padi menyebabkan

perubahan pada interaksi antara pemilik pertanian dengan buruh tani, yang menjadi

lebih sering bekerjasama karena siklus tanam panen mendong terjadi dalam waktu

tiga sampai empat bulan. Selain itu, mulai banyaknya masyarakat keturunan

Madura yang bekerja di sektor perdagangan dan penambang pasir. Meningkatnya

perdagangan semakin banyak diminati masyarakat ketika mulai ramainya pasar

Wajak pada sekitar tahun 1970. Meskipun demikian mayoritas penduduk tetap

bekerja di bidang pertanian.

Dengan adanya perubahan di bidang pendidikan dan ekonomi ini membuat

masyarakat keturunan Madura semakin rutin dan intens dalam berinteraksi dengan

Suku Jawa sehingga semakin mempercepat pembauran budaya dan mempengaruhi

pemudaran identitas etnik masyarakat. Salah satu tanda terjadinya Pergeseran

identitas etnik adalah pemudaran bahasa Madura yang telah mencapai tahap

bilingual setara, yaitu bahasa Madura dan Bahasa Jawa digunakan secara

bergantian sesuai dengan kondisi. Bahasa Madura masih cukup sering digunakan

oleh penduduk, namun mulai mengalami pergeseran seiring pernikahan antara

masyarakat keturunan Madura dengan masyarakat Madura yang banyak, terutama

bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah yang dekat dengan Suku Jawa

(Chaer & Agustina. 2004:144).

Tradisi masyarakat yang dapat dikatakan identitas etnik Madura juga mulai

mengalami perubahan, seperti mulai tidak diadakannya tradisi samaan, Adapun

tradisi-tradisi yang bernafaskan Islam masih dipertahankan oleh masyarakat


sehingga pada masa sekarang tradisi tersebut masih tetap ada. Tradisi toron terus

yang dilakukan, meskipun terjadi perubahan pada tata cara melakukan toron, yang

sebelumnya toron dilakukan dengan jalan kaki dan berperahu sambil membawa

bahan makanan berubah dilakukan dengan mengendari kendaraan tanpa membawa

bahan makanan yang banyak. Perubahan pada tradisi toron ini menunjukkan

perubahan identitas etnik, karena tradisi toron yang awalnya bentuk solidaritas atau

pengakuan diri sebagai bagian dari Suku Madura menjadi acara tahunan untuk

kegiatan nyelasih.

Pada tahun 1988 sampai tahun 1992, kembali terjadi perubahan dalam

kehidupan masyarakat keturunan Madura, konflik yang berakar pada masalah

perbedaan pendapat tentang dukungan terhadap partai politik, yaitu antar

pendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dengan pendukung partai Golkar

(Golongan Karya) pada era Orde Baru, Temuan penelitian berupa konflik yang

terjadi ini bila dianalisis dengan menggunakan teori konflik fungsional milik Lewis

Coser maka dapat dikatakan bahwa konflik tersebut dapat digolongkan kepada

konflik non-realistik, karena konflik ini didasari dari masalah kepercayaan

masyarakat (Susan. 2009:55).

Konflik ini merupakan pemicu dinamika masyarakat sekaligus penguat

identitas masyarakat sebagai pendukung partai Islam di Indonesia. Konflik antar

partai ini kemudian menjadi kekuatan integrasi masyarakat sebagai in-group

sehingga terbentuk suatu kesatuan pendukung partai yang berlatarkan agama

(Susan. 2009:54). Hal itu bisa dilihat dari perkembangannya, yang sebagian

masyarakat masih menjadi pendukung partai Islam, terutama yang dibawah

naungan NU. yaitu PKB (Partai Keadilan Bangsa).


Menurut beberapa penelitian seperti yang dilakukan Mien A. Rifai (2009),

Akhmad Khusyairi (1982), Hermawan N (2004), dukungan masyarakat Madura

terhadap partai Islam adalah wajar adanya karena kebudayaan Madura dan ajaran

Islam sudah membaur, bahkan dikatakan masyarakat Madura sendiri sampai tidak

bisa membedakan mana budaya Madura dan mana ajaran Islam. Salah satu faktor

pendorong bertahannya keadaan ini adalah peran pondok pesantren sebagai

pengarah santrinya untuk mendukung partai Islam, terutama partai yang di bawah

naungan NU karena sebagian besar pondok pesantren merupakan bagian dari NU.

Dari hasil penguatan identitas sebagai umat Islam dari konflik antar partai,

mendorong sebagian masyarakat (khususnya generasi muda) untuk makin giat

memperkuat identitas keislaman mereka dengan belajar lagi mengenai agamanya

tersebut. Dalam proses belajar agama tersebut, mereka mendapati hal yang berbeda

dari yang mereka laksanakan sebelumnya sehingga mereka merasa harus

menerapkan hal yang baru dan dianggapnya benar tersebut. Bagi masyarakat

generasi tua yang telah mengalami penguatan identitas dan merasa yang mereka

yakini adalah mutlak benar menjadikan mereka kurang bisa menerima perubahan

baru dalam hal yang mereka yakini tersebut, sehingga terjadilah konflik yang

didasari perbedaan pendapat tentang ajaran agama.

Konflik yang terjadi mulai mengalami peredaman masalah, seiring dengan

mulai masuknya penceramah-penceramah agama yang mulai masuk ke dalam

lingkungan masyarakat keturunan Madura ini, dan semakin sedikitnya lulusan

pondok pesantren NU yang bisa menjadi aliansi generasi tua untuk menghadapi

kelompok masyarakat yang mengalami perubahan.


Terlepas dari konflik yang terjadi, pada periode tahun 1988 sampai 1998,

pertanian mendong di Dusun Pijetan mengalami keberhasilan, bahkan beberapa

petani atau pemilik lahan sempat menjadi juragan mendong sehingga

meningkatkan interaksi masyarakat sebagai pemilik lahan dan penggarap sawah

maupun sebagai penyedia bahan untuk para perajin tikar mendong. Keadaan ini

menjadikan masyarakat keturunan Madura memiliki hubungan yang rutin dan

semakin membaur dengan Suku Jawa, baik demi kepentingan ekonomi ataupun

kebutuhan sebagai bagian dari masyarakat. Mereka mengalami suka duka dalam

berusaha mengembangkan potensi daerahnya sehingga ikatan perasaan sebagai

rekan berjuang menjadikan masyarakat keturunan Madura lebih dekat dengan Suku

Jawa.

Pada tahun 1997 dan tahun 1998 terjadi perubahan lagi yang disebabkan

oleh keadaan pemerintahan Negara pada masa itu, yaitu terjadinya krisis moneter

dan bergantinya pemerintahan dari orde baru menjadi revolusi. Perubahan ini

mempengaruhi kehidupan masyarakat keturunan Madura, salah satunya adalah

menurunnya perekonomian masyarakat Blayu seiring dengan semakin sulitnya

mengelola pertanian mendong, Perubahan tingkat nasional tersebut juga

mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap politik, yang terwujud dalam

bentuk penurunan tingkat konflik yang didasarkan oleh perbedaan partai.

Masyarakat lebih memilih memikirkan keadaan ekonominya daripada kepentingan

politik terhadap satu partai tertentu.

Pasca orde baru, masyarakat mulai mengalami perubahan-perubahan lagi

sebagai bentuk adaptasi terhadap keadaan yang dihadapinya. perubahan tersebut

dapat dilihat pada bidang mata pencaharian, yaitu semakin berkembangnya


pertanian mendong di Desa Blayu dan pengembangan usaha sentra kerajinan tikar

mendong. Selain itu, beberapa pemilik pertanian mendong memanfaatkan air

sawah yang sebelumnya hanya untuk pertanian menjadi berfungsi juga sebagai

tempat untuk melakukan budidaya ikan (program Mina mendong),

Mengenai perubahan pendidikan adalah banyak anak-anak yang sudah

diperkenalkan dengan pendidikan formal sampai tingkat SMA bahkan tingkat

perguruan tinggi. Di lain pihak, perkembangan tingkat pendidikan formal memiliki

pengaruh pada pendidikan pondok pesantren, yaitu menjadi kalah menarik dengan

pendidikan umum. Hal ini disebabkan adanya pendapat bahwa sistem pendidikan

pondok pesantren yang ketat menyebabkan anak-anak tidak suka dan merasa tidak

kuat untuk sekolah di pondok.

Dewasa ini, hanya sebagian masyarakat keturunan Madura yang masih bisa

menggunakan bahasa Madura, bahasa yang digunakan cenderung ke bahasa

Madura tingkat menengah (bhasa engghi-enten). Pemudaran bahasa Madura bisa

disebabkan oleh beberapa faktor, pertama tidak adanya pewarisan bahasa Madura

kepada generasi penerus. Kedua, tuntutan masyarakat keturunan Madura untuk

menggunakan bahasa Jawa lebih besar. Pemudaran bahasa ini dapat dijadikan

indikator pemudaran identitas etnik/pengakuan diri sebagai bagian dari Suku

Madura, meskipun mereka tetap mengakui leluhur mereka berasal dari Madura.

Dari hal ini dapat dikatakan telah terjadi pemudaran identitas etnik Madura dalam

masyarakat, pernyataan ini diperkuat dengan data kependudukan yang menyatakan

bahwa tidak ada penduduk di Desa Blayu yang beretnik Madura.

Meskipun terjadi pemudaran identitas etnik, tetapi tetap ada beberapa tradisi

yang bertahan yaitu tradisi yang berkonsepkan agama, seperti tradisi cegukan dan
tradisi ter ater. Pada beberapa keluarga kegiatan toron berubah bentuk menjadi

pertemuan keluarga tahunan. Disamping itu ada penjodohan antar kedua

masyarakat yang mempunyai pola, yaitu pihak laki-laki dari Madura sedangkan

pihak perempuan dari daerah Blayu. Hal ini mengidentifikasikan pengakuan

masyarakat terhadap hubungan keluarga antar masyarakat keturunan Madura di

Dusun Pijetan dengan Suku Madura di daerah Sampang dan Bangkalan.

Adapun mengenai relevansi pendidikan dari penelitian ini adalah

pentingnya kemampuan yang didapatkan melalui pengalaman berinteraksi dengan

masyarakat, kompetensi individu yang mampu merubah masyarakat menjadi lebih

baik, dan kekuatan historis pada masyarakat bisa menjadi pengikat yang kuat dan

penjaga keutuhan masyarakat. Adapun penerapannya dalam pembelajaran sejarah

berupa saran bahwa seharusnya tidak hanya menyajikan materi tentang sejarah

nasional maupun sejarah dunia, tetapi juga tentang fakta-fakta masa lalu dari

keadaan sekitar peserta didik, terutama pada keadaan sosial budaya yang

melingkupi kehidupan masyarakat, selain itu perlu ditambah adanya pemformatan

kembali bentuk materi sejarah yang disampaikan dalam pendidikan sejarah di

sekolah.

KESIMPULAN

Hasil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) keberadaan

masyarakat keturunan Madura di Desa Blayu diawali kedatangan keluarga Haji

Idris pada masa sebelum kemerdekaan. Keberhasilannya dalam membuka lahan di

daerah ini menarik suku Madura dari Sampang dan Bangkalan untuk ikut

bermigrasi ke wilayah Desa Blayu dan membentuk kampung Madura di wilayah


ini. (2) dinamika interaksi dalam kehidupan masyarakat keturunan Madura

disebabkan oleh adanya interaksi dengan masyarakat Jawa melalui sarana-sarana

pembauran berupa lahan pertanian sebagai tempat bekerja dan tempat mereka

memperoleh pendidikan, hal ini kemudian berpengaruh pada pemudaran identitas

etnik Madura. Pemudaran juga disebabkan oleh melemahnya interaksi antara Suku

Madura dengan masyarakat keturunan Madura yang dapat dilihat dari dinamika

tradisi toron. Pengaruh pemudaran identitas etnik ini dapat dilihat dari pergeseran

bahasa dan masuknya aliran agama Islam yang berbeda dengan yang telah umum

dianut masyarakat Madura. Meskipun demikian, masih ada tradisi kultural yang

terjaga karena masih sesuai dengan kehidupan masyarakat sebagai keturunan

Madura. (3) nilai pendidikan yang diperoleh adalah kompetensi individu mampu

merubah masyarakat, dan kekuatan historis dalam masyarakat bisa berperan

sebagai pengikat yang kuat dan penjaga keutuhan masyarakat.

Daftar Rujukan

Departement van Economische Zaken. Volkstelling 1930 deel III: Inheemsche

Bevolking van Oost-Java. Batavia: Landsdrukkerij, 1934

Chaer, A & Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT

Rineka Cipta

Jonge, H.D. 1989. Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi interdisipliner

tentang Masyarakat Madura. Jakarta: CV. Rajawali

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka.

Susan, N. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group

Anda mungkin juga menyukai