Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI
Disusun untuk Memenuhi Penugasan Stase Keperawatan Anak
Program Profesi Ners 7

Oleh :
CHRIS TOPEL ARDEN
NIM SN181029

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
AKUT MIOCARD INFARK

I. Konsep Teori
A. Definisi
Akut Miokard Infark (AMI) adalah suatu keadaan kematian jaringan otot
jantung akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen yang terjadi
secara mendadak. Penyebab paling sering adalah adanya sumbatan pembuluh
jantung, sehingga terjadi gangguan aliran darah yang diawali dengan hipoksia
miokard (Setianto, et.al., 2003; dalam Kasron 2012).
Akut Miokard Infark (AMI) didefinisikan sebagai nekrosis miokardium
yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut pada
arteri koroner. Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh rupture flak ateroma
pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh terjadinya thrombosis,
vasokontriksi, reaksi inflamasi dan mikroembolisasi distal (Arif Muttaqin, 2009;
dalam Wijaya dan Putri, 2013).
Akut Miokard Infark adalah nekrosis daerah miokardial yang biasanya
disebabkan oleh suplai darah yang terhambat atau berhenti terlalu lama dan
manifestasi klinis pertama adalah iskemia jantung, atau adanya riwayat angina
pectoris (Sunaryo, 2015).

B. Etiologi
Penyebabnya dapat karena penyempitan kritis arteri koroner akibat
arterosklerosis atau oklusi arteri komplet akibat embolus atau thrombus.
Penurunan aliran darah koroner dapat juga disebabkan oleh syok dan hemoragi.
Pada setiap kasus terdapat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen miokard (Rendi dan Margareth, 2012).
Menurut (Murwani, 2011) ada beberapa penyebab lain terjadinya AMI
yaitu:
1. Sindroma klasik : sumbatan total yang terjadi secara tiba-tiba pada arteri.
2. Koronaria besar oleh thrombosis.
3. Hiperkholesterolemia atau meningkatnya kadar kolesterol dalam pembuluh
darah.

C. Klasifikasi
Menurut Rendi dan Margareth, (2012), jenis-jenis miokard infark terbagi
menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Miokard infark subendokardial
Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang amat peka
terhadap iskemia dan infark. Miokard infark subendokardial terjadi
akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu
lama sebagai akibat perubaha derajat penyempitan arteri koroner atau
dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan, hipoksia.
Derajat nekrosis dapat bertambah bila disertai peningkatan kebutuhan
oksigen miokard misalnya akibat takikardia atau hipertrofi ventrikel.
2. Miokard infark transmural
Pada lebih dari 90% pasien miokard infark transmural berkaitan dengan
thrombosis koroner. Trombosis sering terjadi di daerah yang mengalami
penyempitan arterioskleorotik. Penyebab lain lebih jarang ditemukan,
termasuk disini misalnya perdarahan dalam plague arterioskleorotik
dengan hematom intramural, spasme yang umumnya terjadi ditempat
arterioskleorotik yang emboli koroner. Miokard infark dapat terjadi
walau pembuluh koroner normal, tetapi hal ini amat jarang.

D. Manifestasi klinis
Menurut Kasron (2012) tanda dan gejala Akut Miokard Infark
(TRIAGE AMI) adalah :
1. Klinis
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak
mereda, biasanya di atas region sternal bawah dan abdomen bagian
atas, ini merupakan gejala utama.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak
tertahankan lagi.
c. Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat
menjalar ke bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya
lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau
gangguan emosional), menetap selama beberapa jam atau hari,dan
tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NGT).
e. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher.
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin,diaforesis
berat, pening atau kepala terasa melanyang dan mual muntah.
g. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang
hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu
neuroreseptor (menumpulkan pengalaman nyeri).
2. Laboratorium
Pemeriksaan Enzim jantung
a. CPK-MB/CPK (Creatine Phosphokinase), Isoenzim yang ditemukan
pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24
jam, kembali normal dalam 36-48 jam.
b. LDH/HBDH (Laktat Dehidrogenase), Meningkat dalam 12-24 jam
dan memakan waktu lama untuk kembali normal.
c. AST/SGOT (Serum Glutamic Oxsalotransamine Test),Meningkat
(kurang nyata atau khusus) terjadi dalam 6-12 jam, memuncak dalam
24 jam, kembali normal dalam 3 atau 4 hari.
3. EKG (Electrocardiogram)
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi
dan simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen St. Perubahan yang
terjadi kemudian ialah adanya gelombang Q atau QS yang menandakan
adanya kematian jaringan..

E. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penyakit Infark miokard akut antara lain
(Rendi dan Margareth, 2012):
1. Gagal jantung kongesti
2. Syok kardiogenik
3. Disfungsi otot papilaris
4. Defek sektum ventrikel
5. Ruptura jantung
6. Aneurisma ventrikel
7. Tromboembolisme
8. Perikarditis
9. Aritmia

F. Patofisiologi
Akut Miokard Infark sering terjadi pada orang yang memiliki satu atau
lebih faktor resiko seperti merokok, obesitas, hipertensi dan lain-lain.
Faktor ini disertai dengan proses kimiawi terbentuknya lipoprotein di
tunika intima yang dapat menyebabkan interaksi fibrin dan patelet
sehingga menimbulkan cedera endotel pembuluh darah
koroner.Interaksi tersebut menyebabkan invasi dan akumulasi lipid yang
akan membentuk plak fibrosa. Timbunan plak menimbulkan lesi
komplikata yang dapat menimbulkan tekanan pada pembuluh darah dan
apabila ruptur dapat terjadi trombus. Trombus yang dapat menyumbat
pembuluh darah menyebabkan aliran darah berkurang sehingga suplai
oksigen yang diangkut darah ke jaringan miokardium berkurang yang
berakibat penumpukan asam laktat. Asam laktat yang meningkat
menyebabkan nyeri dan perubahan pH endokardium yang
menyebabkan perubahan elektrofisiologi endokardium, yang pada
akhirnya menyebabkan perubahan sistem konduksi jantung sehingga
jantung mengalami distritmia. Iskemik yang berlangsung lebih dari 30
menit menyebabkan kerusakan otot jantung yang ireversibel dan
kematian otot jantung (infark) (Aspiani, 2015).
AMI terjadi ketika kekurangan oksigen yang terjadi berlangsung cukup
lama yaitu lebih dari 30-45 menit sehingga menyebabkan kerusakan
seluler yang ireversibel. Bagian jantung yang terkena infark akan
berhenti berkontraksi selamanya. Kekurangan oksigen yang terjadi
paling banyak disebabkan oleh penyakit arteri koroner atau coronary
artery disiese
(CAD). Pada penyakit ini terdapat materi lemak (plaque) yang telah
terbentuk dalam beberapa tahun di dalam lumen arteri koronari (arteri
yang mensuplai darah dan oksigen pada jantung). Plaque dapat rupture
sehingga menyebabkan terbentuknya bekuan darah padapermukaan
plaque. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka bisa menghambat
aliran darah baik total maupun sebagian pada arteri koroner (Kasron,
2012).
Pathway

Aterosklerosis
Trombosis
Konstriksi arteri koronaria

Aliran darah ke jantung


menurun
Oksigen dan nutrisi turun

Jaringan Miocard Iskemik

Nekrose lebih dari 30


menit
Supply dan kebutuhan oksigen ke jantung tidak
seimbang
Supply Oksigen ke Miocard
turun

Metabolisme an Seluler
aerob hipoksia
Kerusakan Timbunan asam Integritas membran sel
laktat meningkat nyeri
pertukaran berubah

gas
Fatique Cema Kontraktilitas Resiko
turun
s penurunan
curah
Intoleransi
jantung
aktifitas

COP turun Kegagalan


pompa jantung

Gangguan Gagal jantung


perfusi jaringan

Resiko kelebihan volume cairan


ekstravaskuler

(Sumber : Sieh, S. 2010)


G. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Prinsip umum penatalaksanaan AMI menurut (Kasron, 2012).
1. Diagnosa
Berdasarkan riwayat penyakit dan keluhan/tanda-tanda EKG awal tidak
menentukan, hanya 24-60% dari AMI ditemukan dengan EKG awal yang
menunjukan luka akut (Acute injury).
2. Diet makanan lunak atau sering serta redah garam (bila ada gagal
jantung).
3. Terapi Oksigen
a. Hipoksia menimbulkan metabolisme anaerob dan metabolik asidosis,
yang menurunkan afektifitas obat-obatan dan terapi elektrik (DC
shock).
b. Pemberian oksigen menurunkan perluasan daerah iskemik.
c. Penolong harus siap dengan bantuan penafasan bila diperlukan.
4. Monitor EKG
Kejadian VF sangat tinggi pada beberapa jam pertama AMI. Penyebab
utama kematian beberapa jam pertama AMI adalah aritmia jantung 3.
Elevasi segmen ST > atau = 0,1 Mv pada 2 atau lebih hantaran dari area
yang terserang (anterior, lateral, inferior), merupakan indikasi adanya
serangan miokard akut.
5. Pemberian obat
Obat-obatan yang digunakan pada pasien AMI diantaranya:
a. Obat-obatan trombolitik Obat-obatan ini ditujukan untuk memperbaiki
kembali aliran pembuluh darah koroner, sehingga referfusi dapat
mencegah kerusakan miokard lebih lanjut. Obat-obat ini digunakan
untuk melarutkan bekuan darah yang mnyumbat arteri koroner.
Waktu paling efektif pemberianya adalah 1 jam setelah timbul gejala
pertama dan tidak boleh lebih dari 12 jam paska serangan. Selain itu
tidak boleh diberikan pada pasien di atas 75 tahun contohnyaadalah
streptokinase.
b. Beta blocker
Obat-obatan ini menurunkan beban kerja jantung. Bisa juga
digunakan untuk mengurangi nyeri dada atau ketidaknyamanan dan
juga mencegah serangan jantung tambahan. Beta blocker juga
digunakan untuk memperbaiki aritmia. Terdapat 2 jenis yaitu
cardioselective (metoprolol, atenolol, dan acbutol) dan
noncardioselective (propanolol, pindolol, dan nadolol).
II. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
(Nurarif (2015) menjelaskan bahwa yang perlu dikaji pada pasien epilepsi
antara lain:
a. Data Subyektif :
1) Keluhan Utama
Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan
kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang
klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering
tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota
keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
2) Riwayat kesehatan.
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual.
Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuensi serangan,
ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi
yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai
hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak, Apakah klien
terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau
mengkonsumsi alkohol. Klien mengalami gangguan interaksi dengan
orang lain / keluarga karena malu, merasa rendah diri, ketidak
berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati
dalam hubungan dgn orang lain. Klien dapat mengeluhkan
kelemahan/lelah dan kurang mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Dimaksudkan untuk mendapatkan informasi kemungkinan masalah
yang sama pada keluarga.
4) Pemeriksaan Diagnostik
a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk
mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler
abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik
yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas
pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah
antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang,
waktu serangan
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.
i. mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
ii. menilai fungsi hati dan ginjal
iii. menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
iv. Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi
otak
5) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
a) Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada 𝑁𝑎+ dan
𝐾 + dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas
kejang
b) Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus )
kejang
c) Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko
timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi
nefrofoksik yang berhubungan dengan pengobatan
d) Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari
therapy obat
e) Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti
epilepsi yang teurapetik
f) Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda
infeksi, perdarahan
g) Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
h) DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan
perubahan metabolik

b. Data Objektif, antara lain:


Dari pemeriksaan fisik didapat penurunan kekuatan otot. Data
pada saat serangan dijumpai:
1) Perubahan pada tanda-tanda vital berupa peningkatan tekanan darah,
denyut nadi meningkat dan sianosis.
2) Inkontinensia urin dan fekal.
3) Perlukaan pada gusi dan lidah.
4) Ada riwayat nyeri, kehilangan kesadaran/pingsan, kehilangan
kesadaran sesaat klien menangis, jatuh kelantai, disertai komponen
motorik seperti kejang tonik klonik.
5) Mioklonik.
tonik, klonik, atonik. Klien menggigit lidah. mulut berbuih, ada
inkontinensia urin dan fekal, bibir dan muka cianosis, mata dan
kepala bergerak memutar-mutar pada satu posisi atau keduanya.
c. Data setelah Serangan:
1) Setelah serangan tanda-tanda vital mungkin berubah.
2) Klien mengalami lethargi, bingung, otot sakit, gangguan bicara,
nyeri kepala.
3) Perubahan dalam gerakan misalnya hemiplegi/hemiparese
sementara.
4) Klien lupa atau sedikit ingat terhadap kejadian yang menimpa
dirinya.
5) Terjadi perubahan kesadaran/tidak, pernafasan, denyut jantung.
6) Ada perlukaan/cedera.
7) Gusi mengalami hiperplasi karena efek samping penggunaan
Dilantin.
Deskripsi spesifik dari kejang harus mencakup beberapa data
penting meliputi:
1) Awitan yakni serangan itu mendadak atau didahului oleh
prodormal dan fase aura.
2) Durasi kejang berapa lama dan berapa kali frekuensinya.
3) Aktivitas motorik mencakup apakah ekstrimitas yang terkena
sesisi atau bilateral, dimana mulainya dan bagaimana
kemajuannya.
4) Status kesadaran dan nilai kesadarannya. Apakah klien dapat
dibangunkan selama atau setelah serangan ?
5) Distrakbilitas, apakah klien dapat memberi respon terhadap
lingkungan. Hal ini sangat penting untuk membedakan apakah
yang terjadi pada klien benar epilepsi atau hanya reaksi konversi.
6) Keadaan gigi. Apakah pada saat serangan gigi klien tertutup rapat
atau terbuka.
7) Aktivitas tubuh seperti inkontinensia, muntah, salivasi dan
perdarahan dari mulut.
8) Masalah yang dialami setelah serangan paralisis, kelemahan, baal
atau semutan, disfagia, disfasia cedera komplikasi, periode post
iktal atau lupa terhadap semua pristiwa yang baru saja terjadi.
9) Faktor pencetus seperti stress emosional dan fisik.

2. Diagnosa keperawatan
a. Risiko cedera berhubungan dengan tipe kejang.
b. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
trakheobronkhial.
c. Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan aktivitas kejang.
e. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan.
f. Risiko isolasi berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
g. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita
penyakit kronis.
h. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian.
i. Kurang pengetahuan orang tua berhubungan dengan keterbatasan
paparan.
j. Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan konflik
pengambilan keputusan.

3. Intervensi
a. Diagnosa 1 : Risiko cedera berhubungan dengan tipe kejang.
1) NOC : Pengendalian Resiko.
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pencegahan jatuh
selama 3x24 jam diharapkan pasien tidak mengalami cedera dan tetap
tenang dengan seringnya pengendalian resiko skala 3.
3) Kriteria hasil :
a) Pantau faktor resiko perilaku dan lingkungan.
b) Mempersiapkan lingkungan yang aman (misalnya, penggunaan
tikar karet).
c) Menghindari cedera fisik.
d) Mengidentifikasi risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap
cedera.
e) Orang tua akan mengenali resiko dan memantau kekerasan.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Mencegah Jatuh
a) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan,
misalnya perubahan status mental, usia, pengobatan dan defisit
motorik / sensorik.
b) Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan risiko jatuh.
c) Singkirkan benda-benda yang dapat menimbulkan bahaya.
d) Arahkan anak ke area aman, khususnya jauh dari jendela, tangga,
alat pemainan/sumber air.
e) Jangan membuat anak teragitasi; bicara dengan suara lembut dan
sikap tenang.
f) Lindungi anak setelah kejang.
b. Diagnosa 2 : Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
obstruksi trakheobronkhial
1) NOC : Kontrol Aspirasi
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mencegah Jatuh
selama 3x24 jam diharapkan jalan nafas pasien kembali efektif
dengan seringnya memonitor aspirasi skala 2.
3) Kriteria hasil :
a) Mengidentifikasi faktor risiko.
b) Menghindari faktor risiko.
c) Menyediakan makanan sesuai kemampuan menelan pasien.
d) Mengupayakan konsitusi cairan dan makanan.
Skala :
1. Ekstrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
4) NIC : Mencegah Jatuh
a) Pengelolaan jalan nafas.
b) Ajarkan batuk secara efektif.
c) Posisikan 90 derajat sesuai kemampuan.
d) Berikan oksigen sesuai kebutuhan.
e) Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan untuk
membersihkan sekresi.
c. Diagnosa 3 : Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia
1) NOC : Orientasi Kognitif
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pelatihan
Memori selama 3 x 24 jam diharapkan pasien tidak menunjukkan
kerusakan memori dengan status orientasi kognitif skala 4.
3) Kriteria hasil :
a) Mengidentifikasikan orang terdekat, tempat sekarang, dan musim,
tahun, hari yang benar.
b) Menggunakan teknik untuk membantu memperbaiki memori.
c) Secara akurat mengingat secara tepat, informasi saat ini dan lama.
d) Mengungkapkan kemampuan yang lebih baik untuk mengingat.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Pelatihan Memori
a) Kaji depresi, ansietas, dan peningkatan stres yang mungkin
memberikan kontribusi pada kehilangan memori.
b) Kaji fungsi neurologis untuk menentukan masalah pasien, apakah
kehilangan memori atau demensia.
c) Beri label pada barang-barang.
d) Bantu pasien untuk rileks untuk meningkatkan konsentrasi.
e) Berikan kesempatan pasien untuk konsentrasi seperti suatu
permainan pasangan kartu yang sesuai.
f) Berikan gambar pengingat memori; bila diperlukan.
d. Diagnosa 4 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan aktivitas
kejang
1) NOC : Citra Tubuh
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencapaian Citra
Tubuh selama 3x24 jam diharapkan persepsi pasien terhadap dirinya
positif dengan status citra tubuh skala 3
3) Kriteria hasil :
a. Kepuasan terhadap penampilan dan fungsi tubuh.
b. Kesesuaian antara realitas tubuh, ideal tubuh dan wujud tubuh.
c. Mengidentifikasi kekuatan personal.
d. Memelihara hubungan sosial yang dekat dan hubungan personal.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Pencapaian Citra Tubuh
a) Tentukan bagaimana respon anak terhadap tubuhnya sesuai
dengan tahap perkembangan.
b) Identifikasi budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan usia dari orang
penting bagi pasien yang menyangkut citra tubuh.
c) Beri dorongan pada pasien dan keluarga untuk mengungkapkan
perasaan dan untuk berduka.
d) Beri dorongan pada pasien dan keluarga untuk mengungkapkan
perhatian tentang hubungan personal yang dekat.
e. Diagnosa 5 : Harga Diri Rendah berhubungan dengan perubahan
perkembangan.
1) NOC : Perkembangan Anak :2,3,4,5 tahun: Masa Kanak-kanak
Pertengahan (%-11 tahun), dan Remaja (12-17 tahun).
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan Harga
Diri selama 3x24 jam diharapkan harga diri pasien positif (pasien
dapat meningkatkan harga dirinya) dengan status perkembangan
menunjukkan skala 3.
3) Kriteria hasil :
a) 2 th : Mengindikasikan keinginan secara verbal, berinteraksi
dengan orang dewasa dalam permainan sederhana.
b) 3 th : mampu mengatakan nama pertamanya; memainkan interaksi
dengan anak seusianya.
c) 4 th : Mampu menjelaskan aturan-aturan permainan interaktid
bersama teman seusianya.
d) Mempertahankan hubungan pribadi yang dekat.
Skala :
1. Ekstrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
4) NIC : Peningkatan Harga Diri
a) Pantau pernyataan pasien tentang penghargaan diri.
b) Bantu pasien meningkatkan penilaian dirinya terhadap
penghargaan diri.
c) Hindari tindakan yang dapat melemahkan pasien.
d) Beri penghargaan / pujian terhadap perkembangan pasien dalam
pencapaian tujuan.
e) Ajarkan orang tua akan pentingnya ketertarikan dan dukungannya
terhadap perkembangan konsep diri yang positif pada anak.
f. Diagnosa 6 : Resiko isolasi sosial berhubungan dengan gangguan
psikologis.
1) NOC : Keterlibatan Sosial
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan
Sosialisasi selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat berinteraksi
dengan lingkungan dan dapat diterima di lingkungan dengan status
keterlibatan sosial menunjukkan skala 3.
3) Kriteria Hasil :
a) Melaporkan adanya interaksi dengan teman, tetangga, aggota
keluarga.
b) Berpartisipasi dalam aktivitas pengalihan
c) Mulai berhubungan dengan orang lain.
d) Mengembangkan hubungan satu sama lain.
e) Melaporkan adanya peningkatan dukungan sosial.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Peningkatan Sosialisasi
a) Identifikasi dengan pasien faktor-faktor yang berpengaruh pada
perasaan isolasi sosial.
b) Kurang stigma isolasi dengan menghormati martabat pasien.
c) Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai
ketertarikan dan tujuan sama
d) Dukung usaha-usaha yang dilakukan pasien, keluarga dan teman-
teman untuk berinteraksi.
e) Berikan uji pembatasan interpersonal.
f) Dukung pasien untuk mengubah lingkungan, seperti jalan-jalan
dan menonton film

g. Diagnosa 7 : Perubahan proses keluarga berhubungan dengan


mempunyai anak yang menderita penyakit kronik.
1) NOC : Parenting
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan
Integritas Keluarga selama 3x24 jam diharapkan keluarga berfungsi
secara efektif dengan seringnya melakukan peran sebagai orang tua
yang ditunjukkan dengan skala 4.
3) Kriteria hasil :
a) Memberikan kebutuhan psikologi untuk anak.
b) Memberikan perlindungan dan perawatan kesehatan secara teratyr
dan aseptik.
c) Stimulasi perkembangan kognitif.
d) Stimulasi perkembangan emosi.
e) Stimulasi perkembangan spiritual.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Peningkatan Integritas keluarga
a) Kaji interaksi antara pasien dan keluarga.
b) Tentukan jenis hubungan keluarga.
c) Tentukan gangguan dalam jenis proses keluarga.
d) Ajari keterampilan merawat pasien yang diperlukan oleh keluarga.
e) Ajari keluarga perlunya kerja sama dengan sistem sekolah untuk
menjamin akses kesempatan pendidikan yang sesuai untuk
penyakit kronik.
f) Bantu keluarga berfokus pada anaknya dibanding dengan
penyakitnya.
h. Diagnosa 8 : Cemas berhubungan dengan ancaman kematian /
perubahan status kesehatan.
1) NOC : Kontrol Cemas
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengurangan
ansietas selama 3x24 jam diharapkan kecemasan hilang atau
berkurang dengan seringnya mengontrol cemas dengan skala
3) Kriteria hasil :
a) Merencanakan strategi koping untuk situasi yang membuat
stres.
b) Melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.
c) Manifestasi perilaku kecemasan tidak ada.
d) Menunjukkan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan
dan keterampilan yang baru.
e) Tidak menunjukkan perilaku agresif
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Pengurangan Ansietas
a) Sediakan informasi yang sesungguhnya meliputi diagnosis,
treatmen dan prognosis.
b) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
c) Berikan dorongan kepada orang tua untu menemani anak,
sesuai dengan kebutuhan.
d) Sediakan pengalihan melalui televise, radio, permainan, untuk
mengurangi ansietas.

i. Diagnosa 9 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan


paparan
1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Menjelaskan
Proses Penyakit selama 3x24 jam diharapkan defisit pengetahuan
dapat teratasi dengan status pengetahuan mengenai proses
penyakit menunjukkan skala 4.
2) NOC : Knowledge: Proses Penyakit
a) Menguraikan proses penyakit
b) Menguraikan faktor risiko
c) Menguraikan komplikasi
d) Menguraikan tanda dan gejala penyakit.
e) Menguraikan faktor penyebab untuk mencegah komplikasi.
Skala:
1 : Tidak mengetahui
2 : Terbatas pengetahuannya
3 : Sedikit mengetahui
4 : Banyak pengetahuannya
5 : Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
3) NIC : Menjelaskan proses penyakit
a) Identifikasi etiologi yang memungkinkan.
b) Uraikan proses penyakit.
c) Uraikan tanda dan gejala penyakit.
d) Diskusikan terapi atau pilihan pengobatan.
e) Jelaskan patofisiologi penyakit.
f) Jelaskan komplikasi kronis yang mungkin terjadi.
j. Diagnosa 10 : Resiko isolasi sosial berhubungan dengan gangguan
psikologis.
1) NOC : Keterlibatan Sosial
2) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan
Sosialisasi selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat berinteraksi
dengan lingkungan dan dapat diterima di lingkungan dengan status
keterlibatan sosial menunjukkan skala 3.
3) Kriteria Hasil :
a) Melaporkan adanya interaksi dengan teman, tetangga, anggota
keluarga.
b) Berpartisipasi dalam aktivitas pengalihan
c) Mulai berhubungan dengan orang lain.
d) Mengembangkan hubungan satu sama lain.
e) Melaporkan adanya peningkatan dukungan sosial.
Skala :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang
4. Sering
5. Konsisten
4) NIC : Peningkatan Sosialisasi
a) Identifikasi dengan pasien faktor-faktor yang berpengaruh pada
perasaan isolasi sosial.
b) Kurang stigma isolasi dengan menghormati martabat pasien.
c) Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai
ketertarikan dan tujuan sama.
d) Dukung usaha-usaha yang dilakukan pasien, keluarga dan teman-
teman untuk berinteraksi.
e) Berikan uji pembatasan interpersonal.
f) Dukung pasien untuk mengubah lingkungan, seperti jalan-jalan
dan menonton film
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, Gloria M. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC), Sixth


Edition. Missouri: Elsevier Mosby.

Elizabeth, J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media

Manjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.

Harsono. (2010). Kapita Selekta Neurologi.. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Herdman, T. Heather. (2015). Nursing Diagnoses Definition and Classification


2015-2017. Oxford: Wiley-Blackwell.

Harsono. (2010). Epilepsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Moorhead, Sue et.al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition.
Missouri: Elsevier Mosby.

Ngastiyah. (2012). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.


Nurarif, Amin Huda. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda NIC – NOC. Yogyakarta: MediAction.

Wong, Donna L. (2009). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai