Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

KERJA, KALOR, DAN HUKUM TERMODINAMIKA I


2.1 Proses Perubahan Keadaan Sistem Termodinamika
Proses Quasistatik
Proses quasistatik adalah proses perubahan keadaan suatu
sistem dimana pada setiap saat, selama proses berlangsung , perubahan
keadaan sistem sangat kecil (infinitesimal) terhadap keadaan
setimbangnya. Selama berlangsungnya proses quasistatik, keadaan sistem pada
setiap saat selalu mendekati keadaan setimbang, sehingga besaran-besaran
makroskopis sistem tetap mencirikan sifat-sifat sistem dan memenuhi persamaan
keadaan yang berlaku pada sistem tersebut.

Contoh:
Suatu sistem apabila diubah volumenya dengan sangat perlahan maka tekanan dan
temperatur sistem akan mengalami perubahan yang infinitesimal, sehingga
keadaan sistem tersebut setiap saat mendekati keadaan setimbang. Proses
perubahan volume sistem ini dapat dikatakan sebagai proses kuasistatik.
Apabila perubahan volume ini dilakukan secara spontan, yaitu dengan cepat,
maka pada setiap saat terjadi perbedaan tekanan yang cukup berhingga antara satu
bagian sistem dengan bagian sistem lainnya, sehingga sistem berada dalam
keadaan tidak setimbang. Proses seperti ini disebut proses yang tidak quasistatik
(nonquasistatic).
Proses quasistatik pada sistem koordinat PVT direpresentasikan oleh kurva-kurva
isoterm, isobar, isokhor, atau permukaan PVT. Pada kurva-kurva tersebut setiap
titik merepresentasikan keadaan setimbang tertentu dari sistem PVT.

Catatan:
Di dalam kenyataan sehari-hari, proses-proses perubahan keadaan suatu

sistem pada umumnya merupakan proses nonquasistatic.


Proses Reversibel (Proses Berkebalikan)
Proses reversibel adalah proses yang arahnya dapat
berkebalikan melalui perubahan yang infinitesimal pada sifat-sifat
sistem.

Contoh:
Apabila temperatur lingkungan hanya sedikit lebih besar dari temperatur suatu
sistem, maka akan terjadi aliran panas ke dalam sistem melalui perubahan yang
infinitesimal pada temperatur sistem. Sebaliknya, jika temperatur sistem hanya
sedikit lebih besar dari temperatur lingkungan, maka akan terjadi aliran panas ke
luar sistem melalui perubahan yang infinitesimal pada temperatur sistem. Proses
yang dapat berlangsung bolak balik ini disebut proses reversibel. Jika ada yang

cukup berhingga pada temperatur sistem/perubahan lingkungannya


(misalnya temperatur lingkungan/sistem diturunkan secara tiba-tiba),
maka aliran panas yang terjadi tidak akan disertai dengan perubahan
yang infinitesimal pada temperatur sistem lingkungan. Proses ini
disebut proses tak reversibel (irreversible).
Proses reversibel dan tak reversibel akan lebih jelas diterangkan dengan
menggunakan sifat sistem yang disebut entropi. Hal ini akan dipelajari pada Bab
3. Setiap proses yang reversibel pada umumnya quasistatik, tetapi proses yang
quasistatik belum tentu reversibel.

Proses Adiabatik
Proses adiabatik adalah proses perubahan keadaan suatu sistem
tanpa penambahan/pengurangan panas dari/ke luar sistem
(lingkungan).

Contoh:
Suatu proses perubahan keadaan sistem yang dilingkup oleh dinding adiabat
adalah proses adiabatik, karena panas dari luar tidak dapat mengalir ke dalam
sistem. Proses adiabatik juga dapat terjadi pada sistem yang dilingkup oleh
dinding diaterm, asalkan selama berlangsungnya proses, temperatur lingkungan
dijaga tetap sama dengan temperatur sistem.

2.2 Kerja
Kerja atau usaha, dengan simbol W, adalah besaran skalar yang
didefenisikan sebagai hasil kali anatara lintasan dengan komponen gaya pada
arah lintasan.
Secara vektor, kerja didefenisikan sebagai perkalian skalar antara vektor
gaya 𝐹̅ dengan vektor lintasan 𝑆̅ atau:
W = F̅ . S̅ = FS cos α
Dimana α menyatakan sudut yang dibentuk oleh vektor 𝐹̅ dengan vektor 𝑆̅ ,
sedangkan F dan S menyatakan besarnya vektor gaya dan lintasan tersebut.
Secara umum, untuk setiap perpindahan (pergeseran) dihasilkan kerja
sebesar dW:
dW = F cos α dS
Persamaan diatas ini menyatakan kerja dalam bentuk diferensial (kerja
infinitesimal). Kerja total oleh gaya F dituliskan dalam bentuk:

W = ∫ F cos α dS

Di dalam termodinamika, besaran kerja dibedakan menjadi kerja eksternal dan


kerja internal. Kerja eksternal adalah kerja yang dilakukan oleh gaya eksternal.
Kerja eksternal dapat dilakukan oleh lingkungan terhadap sistem atau sebaliknya
(dilakukan oleh sistem terhadap lingkungan). Kerja internal adalah kerja yang
dilakukan oleh gaya internal. Kerja internal dilakukan oleh satu bagian sistem
terhadap bagian sistem lainnya. Untuk pembahasan selanjutnya istilah kerja
dimaksudkan untuk kerja eksternal.
Gambar 2.1 a. Gaya sebesar F bekerja pada benda m dan menyebabkan
perpindahan sejauh S.
b. Vektor gaya 𝐹̅ membentuk sudut α dengan vektor S⃗.

2.3 Kerja pada Sistem PVT


Untuk sistem PVT, besaran kerja berhubungan dengan perubahan volume
dV. Gambar 2.2 menunjukkan sejumlah gas yang berada di dalam suatu tabung
yang dilengkapi piston (pengisap). Gaya eksternal sebesar F menyebabkan
volume gas di dalam tabung berubah sebesar dV, dimana:
dV = A dy
dengan A menyatakan luas penampang tabung dan dy adalah pergeseran piston.
Kerja yang dilakukan oleh gaya F adalah:
δW = F dy
F
= ( ) dV
A
Atau,
δW = Pc dV
F
dimana, Pc = (A), menyatakan tekanan eksternal.

Gambar 2.2 Perubahan volume sistem (gas) yang disebabkan oleh gaya eksternal

Jika proses perubahan volume ini merupakan proses yang reversibel, maka
sistem selalu dalam kesetimbangan meknaik, sehingga Pc pada persamaan
sebelumnya diatas dapat digantikan dengan P (tekanan gas) sehingga
δW = P dV
Persamaan diatas menyatakan kerja infinitesimal untuk sistem PVT.
Untuk sistem termodinamika, kerja infinitesimal diberi simbol δW yang
menyatakan bentuk diferensial tidak eksak. Untuk diferensial tidak eksak,
integrasinya:
2
W = ∫ δW
1

Tidak hanya bergantung pada keadaan awal dan keadaan akhir saja, tetapi
tergantung pula pada lintasan integrasinya. Kenyataan bahwa δW adalah
diferensial tidak eksak, atau ∫ δW tergantung pada lintasan integrasinya,
didapatkan dari kenyataan bahwa besarnya kerja pada sistem termodinamika
tergantung pada proses yang menyebabkan perubahan keadaan tersebut.

Gambar 2.3 Perubahan volume sistem gas dalam tabung


a. Kerja dilakukan oleh lingkungan terhadap sistem
b. Kerja dilakukan oleh sistem terhadap lingkungan

Besaran kerja dapat berharga positif atau negatif. Kita tetapkan sebagai
perjanjian bahwa, kerja berharga positif apabila sistem melakukan kerja terhadap
lingkungan dan kerja berharga negatif apabila lingkungan melakukan kerja
terhadap sistem.
Gambar 2.3 menunjukkan perubahan volume suatu gas yang berada di
dalam tabung, melalui proses reversibel. Dengan menganggap dV selalu positif,
maka:
-
- Untuk Gambar 2.3a,

- lingkungan melakukan kerja terhadap sistem:


δW = −P dV
- Untuk Gambar 2.3b, sistem melakukan kerja terhadap lingkungan:

δW = +P dV

Catatan:
Beberapa buku menggunakan tanda (memberikan harga) negatif untuk kerja yang
dilakukan oleh sistem terhadap lingkungan dan menggunakan tanda positif untuk
kerja yang dilakukan oleh lingkungan terhadap sistem. Perbedaan pemberian
tanda ini tidaklah prinsipil, yang penting kita dapat memberikan arti
(menjelaskan) dari tanda yang diberikan pada besaran kerja tersebut.

2.4 Kerja pada Sistem Selain PVT


Kerja untuk Mengubah Panjang Kawat

Gambar 2.4 a.Kedaan kawat mula-mula.


b.Kawat berubah panjangnya sebesar dL karena gaya Fe .

Gambar 2.4 menunjukkan gaya eksternal Fe yang bekerja pada seutas kawat dan
menyebabkan perubahan panjang kawat sebesar dL.
Jika proses perubahan panjang kawat tersebut reversibel, maka Fe = F, dimana F
adalah gaya tegang kawat.
Kerja oleh gaya tegang kawat untuk mengubah panjang kawat tersebut
adalah
δW = F dL
Dengan anggapan bahwa F selalu positif, sedangkan dL berharga positif apabila
kawat bertambah panjangnya dan dL berharga negatif apabila kawat berkurang
panjangnya, maka tanda minus (-) dimaksudkan agar tanda dari besaran kerja
sesuai dengan perjanjian. Maksudnya, kerja berharga positif jika sistem
melakukan kerja terhadap lingkungan dan kerja berharga negatif apabila
lingkungan melakukan kerja terhadap sistem.

Kerja pada Sistem Selaput Tipis

Gambar 2.5 Perubahan luas permukaan suatu selaput tipis

Gambar 2.5 menunjukkan suatu selaput tipis yang berada diantara kerangka kawat
yang berbentuk empat persegi panjang. Sisi AB pada kerangka kawat tersebut
dapat digerakkan.
Gaya eksternal Fe menyebabkan perubahan luas selaput pada dua permukaannya
sebesar dA,
dA = 2L dx
Kerja untuk mengubah luas permukaan selaput tersebut dapat dinyatakan dengan,
δW = −γ dA
dimana γ adalah tegangan permukaan selaput tersebut dan besarnya sama dengan:
Fe
γ=
2L

Kerja untuk Memisahkan Muatan Listrik pada Dielektrik


Gambar 2.6 Pemisahan muatan pada dielektrik yang diletakkan diantara dua pelat
kapasitor bermuatan

Gambar 2.6 menunjukkan pengutuban muatan pada dielektrik yang diletakkan di


antara 2 pelat kapasitor yang bermuatan ±q. Jika diketahui konstanta dielektrikum
dari bahan dielektrik adalah K, maka besarnya medan listrik E di dalam dielektrik
dapat dinyatakan dengan:
E0
E=
K
Dimana E0 adalah medan listrik di dalam kapasitor tanpa dielektrik. Besarnya
gaya listrik pada muatan sebesar q di dalam dielektrik adalah, F = q E. Kerja
untuk memisahkan muatan sejauh dX di dalam dielektrik:

W = ∫ δW = − ∫ E dP

Dimana, dP = q dy, menyatakan perubahan momen dipol listrik di dalam bahan


dielektrik.

Kerja untuk Mengubah Magnetisasi dari Bahan Paramagnetik

Gambar 2.7 Solenoida dengan inti bahan magnetik

Gambar 2.7 menyatakan suatu solenoida yang panjangnya L, jumlah lilitan


kumparannya N, luas penampangnya A dan dialiri arus listrik sebesar I.
Intensitas magnetik di dalam bahan paramagnetik dapat dinyatakan
dengan:
NI
H=
L
Induksi magnetik yang disebabkan oleh perubahan magnetisasi dinyatakan
dengan:
μ0
Bm = μ0 𝑀 = M
V
Dimana,
μₒ = 4π x 10−7 Henry Ampremeter, adalah permeabilitas ruang hampa (vakum)
V = AL, adalah volume solenoida
M = momen magnetik
M
M = V , adalah magnetisasi di dalam bahan paramagnetik

Kerja untuk mengubah magnetisasi di dalam bahan paramagnetik


dinyatakan dengan:
δWm = 𝐻 d𝑀
Dengan,
̅ = μ0 𝑀
𝑀
Atau,
̅ = μ0 d𝑀
d𝑀

Kerja untuk Mengubah Jumlah Muatan pada Sel Elektrolitik (Sel Reversibel)

Gambar 2.8 Sel elektrolitik dengan ggl dihubungkan dengan hambatan geser dan
sebuah baterai dengan ggl ɛ > ɛ’.

Gambar 2.8 menunjukkan sel elektrolitik dengan ggl ɛ dihubungkan dengan


hambatan geser dan sebuah baterai dengan ggl ɛ > ɛ’. Dengan mengatur hambatan
geser dapat dibuat Vab > 𝜀 atau Vab < 𝜀. Jika Vab > 𝜀 secara infinitesimal, maka
akan mengalir muatan sebesar dZ dari elektroda Zn ke elektroda Cu.
Kebalikannya, aliran muatan sebesar dZ akan mengalir dari elektroda Cu ke
elektroda Zn jika Vab < 𝜀. Proses bolak-balik demikian disebut proses reversibel
dan sel elektrolitiknya disebut sel reversibel.

Kerja untuk mengubah muatan sel elektrolitik tersebut dinyatakan dengan:

W = ∫ δW = − ∫ ε dZ

Dimana dZ adalah perubahan muatan dalam waktu dt sehingga menghasilkan arus


listrik I sebesar:
dZ
I=
dt
Harga dZ pada persamaan sebelumnya adalah positif apabila muatan sel
bertambah dan negatif apabila muatan sel berkurang.

2.5 Kerja Konfigurasi


Dari contoh pembahasan pada subbab 2.4 dapat disimpulkan bahwa kerja
merupakan hasil kali (produk skalar) antara besaran intensif (P, T, H, ɛ) dengan
perubahan besaran ekstensif (V, A, M, P). Kerja suatu sistem termodinamika
secara umum dapat dituliskan sebagai:
δW = Y dX
dimana Y menyatakan variabel intensif sistem dan X menyatakan variabel
ekstensif sistem.
Apabila suatu sistem merupakan gabungan dari beberapa sistem
termodinamika, maka kerja sistem tersebut dinyatakan sebagai:
δW = Y1 dX1 + Y2 dX2 + Y3 dX3 + ⋯
dimana Y1 , Y2 , Y3 , . . .menyatakan variabel intensif untuk masing-masing sistem
yang tergabung tersebut dan X1 , X2 , X3 , . . .menyatakan variabel ekstensif dari
sistem-sistem tersebut.
Persamaan diatas menyatakan kerja untuk sistem gabungan atau kerja konfigurasi
untuk sistem gabungan.
2.6 Kerja Disipatif
Kerja disipatif adalah kerja yang tidak berhubungan dengan perubahan
besaran intensif sistem.
Contoh:
Jika suatu resistor dengan besar hambatan R dialiri arus I, maka untuk satuan
waktu dt terjadi kerja disipatif sebesar:
δW = I2 𝑅 dt
Adanya kerja disipatif ini menimbulkan energi panas pada resistor. Dengan
adanya kerja disipatif, maka kerja total sistem merupakan jumlahan dari kerja
konfigurasi ditambah kerja disipatif.
Wtotal = Wkonfigurasi + Wdisipatif

2.7 Kerja pada Proses Irreversible (Tak Reversibel)


Proses irreversible terjadi jika perubahan besaran ekstensif sistem
berlangsung secara spontan. Selama berlangsungnya proses ini sistem berada
dalam keadaan tak setimbang. Untuk proses irreversible kerja sistem hanya dapat
dinyatakan sebagai harga negatif dari kerja lingkungan terhadap sistem:
2
W = −Weks = −Yeks ∫ dx
1

Dimana Yeks menyatakan besaran intensif lingkungan (eksternal) yang pada


umumnya konstan.

Gambar 2.9

Contoh:
1. Kerja pada proses perubahan volume yang irreversible. Gambar di atas
menunjukkan perubahan volume gas secara spontan apabila stoper dilepas.
Kerja pada proses spontan ini dinyatakan dengan:
V2
W = −Peks ∫ dV
V1

W = −Peks (V2 − V1 )
2. Kerja pada proses pemuaian bebas (ekspansi bebas).
Gambar di bawah ini menunjukkan perubahan volume gas karena mengisi
ruang vakum.

Gambar 2.10

Setelah kran dibuka, maka gas dari ruang A akan mengalir ke ruang B yang mula-
mula vakum, sehingga volume gas bertambah dari V = VA menjadi V = VA + VB .
Karena Peks = 0, maka perubahan volume gas tersebut dikatakan sebagai
pemuaian bebas dan prosesnya berlangsung secara spontan. Pada pemuaian bebas
besarnya kerja, W = 0, karena Peks = 0.

Catatan:
Prinsip pemuaian bebas ini digunakan oleh Gay Lussac dan Joule di dalam
percobaannya untuk mengamati perubahan temperatur akibat perubahan volume.
Percobaan dikenal sebagi eksperimen Joule-Gay Lussac.
2.8 Kalor dan Hukum Termodinamika I
Kalor
Istilah kalor digunakan untuk menyatakan energi yang
berpindah. Aliran kalor terjadi karena adanya perbedaan temperatur,
dan kalor mengalir dari suatu tempat yang temperaturnya tinggi ke
tempat lain yang temperaturnya rendah. Kalor diberi simbol Q dan
perubahan infinitesimalnya dinyatakan dengan δQ yang merupakan diferensial
tidak eksak seperti halnya δW.
Suatu sistem yang tidak terisolasi akan menyerap kalor dari lingkungannya
jika temperatur sistem lebih rendah dari temperatur lingkungan dan sebaliknya
sistem akan melepaskan kalor ke lingkungannya jika temperatur sistem lebih
tinggi dari temperatur lingkungan. Sebagai konvensi, kalor pada sistem berharga
positif apabila sistem menyerap kalor dari lingkungan, dan berharga negatif
apabila sistem melepas kalor ke lingkungannya.

Hukum Termodinamika I
Suatu sistem dari sekumpulan partikel-partikel mempunyai
energi kinetik dan energi potensial tertentu . Jumlah total energi kinetik
seluruh partikel di dalam sistem disebut energi dalam (energi internal) dan diberi
simbol U. Pada umumnya energi dalam merupakan fungsi koordinat
termodinamika sistem, kecuali untuk gas ideal di mana U hanya bergantung pada
temperatur dan derajat kebebasan molekul-molekulnya. Apabila suatu sistem
menyerap kalor maka energi kalor tersebut akan digunakan untuk melakukan
kerja dan untuk mengubah energi dalamnya. Secara kuantitatif interaksi energi ini
dinyatakan dengan:
Q = ∆U + W
Dimana ∆U menyatakan perubahan energi dalam.

Persamaan diatas dikenal sebagai Hukum Termodinamika I yang tidak lain


adalah pernyataan hukum kekekalan energi untuk sistem termodinamika. Dalam
bentuk diferensialnya, hukum termodinamika I dinyatakan dengan persamaan:
δQ = dU + δW
dimana dU menyatakan perubahan infinitesimal energi dalam.

Perubahan energi dalam ∆U tidak bergantung pada proses perubahan


keadaan sistem, jadi hanya tergantung pada keadaan awal dan akhir dari
perubahan keadaan sistem. Oleh karena itu U tergolong sebagai sifat sistem
seperti halnya P, V, dan T dan perubahan diferensial dU merupakan bentuk
diferensial eksak.

Satuan untuk Q menurut SI adalah Joule, tetapi sering juga dinyatakan


dalam kalori (kal) atau kilokalori (kkal). Hubungan antara satuan joule dan satuan
kalori adalah:
1 kal = 4,186 Joule
Persmaan diatas dikenal sebagai kesetaraan energi mekanik dan kalor
(mechanical equivalent of heat). Kesetaraan energi ini untuk pertama kalinya
ditemukan oleh Joule dari hasil eksperimennya pada sekitar abad ke-19.
Pada proses adiabatik dimana tidak ada penambahan atau pengurangan kalor
dalam sistem maka dQ = 0, dan persamaan diatas menjadi:
δW = −dU
atau
W = ∆U (adiabatik)
Jadi, pada proses adiabatik, besarnya perubahan energi dalam sama dengan
besarnya kerja adiabatik.

2.9 Kapasitas Kalor dan Kalor Jenis


Kapasitas kalor rata-rata C didefenisikan sebagai:
∆Q
C=
∆T
Dimana ∆Q adalah kalor yang diserap sistem dan ∆T adalah perubahan temperatur
yang terjadi pada sistem.
Kapasitas kalor C yang sesungguhnya didefenisikan untuk perubahan T yang
sangat kecil (∆T → 0):
∆Q δQ
C = lim =
∆T→ ∆T dT
Dimana δQ menyatakan sejumlah kecil kalor yang mengalir ke sistem dan
menyebabkan perubahan temperatur sebesar dT.

Karena Q bergantung pada proses perubahan keadaan sistem, maka C juga


bergantung pada proses perubahan keadaan sistem. Untuk sistem PVT kapasitas
kalor pada proses isobarik, Cp, dan kapasitas kalor pada proses isokhorik, Cv,
dinyatakan dengan:
δQ
Cp = ( )
dT p
δQ
Cv = ( )
dT v
Dengan indeks p dan v menyatakan proses perubahan keadaan sistem pada
tekanan dan volume konstan. Satuan untuk kapasitas kalor menurut SI adalah
JK −1.
Kapasitas kalor persatuan massa atau persatuan mol disebut kalor jenis dengan
simbol c kecil. Untuk sistem PVT,
Cp 1 δQ
cp = = ( )
m m dT p
Cv 1 δQ
cv = = ( )
m m dT v
Atau,
Cp 1 δQ
cp = = ( )
n n dT p
Cv 1 δQ
cv = = ( )
n n dT v
Dengan m adalah massa zat dan n adalah jumlah mol.
Satuan kalor jenis menurut SI adalah Jkg −1 K −1 atau Jkmol−1 K −1 . Contoh
harga cp dari beberapa macam zat padat:
Tabel 2.1 Harga cp zat padat pada temperatur ruang dan tekanan 1 atm
Zat cp
Jmol−1 C−1 Kal mol−1 C−1
Alumunium 24,4 5,82
Karbon 6,14 1,46
Tembaga 24,5 5,85
Perak 25,5 6,09
Tungsten 24,8 5,92

2.10 Panas (Kalor) Transformasi dan Entalpi


Perubahan Fasa
Apabila suatu zat padat dipanaskan terus menerus pada tekanan tetap maka
temperaturnya akan naik terus sampai pada suatu harga temperatur tertentu
dimana temperaturnya menjadi konstan. Pada temperatur konstan tersebut kalor
yang diserap zat dipergunakan seluruhnya untuk melakukan perubahan wujud
(transformasi fasa). Temperatur zat akan naik lagi apabila seluruh massa zat
sudah berubah wujudnya. Perubahan wujud zat secara skematis dapat
digambarkan sebagai berikut:
Proses 1 → 2 disebut melebur (meleleh) yaitu perubahan zat dari padat ke
cair, dan kebalikannya (proses 2 → 1) disebut membeku. Proses 3 → 4 disebut
mendidih yaitu perubahan zat dari cair ke uap dan kebalikannya (proses 4 → 3)
disebut mengembun. Proses 2 → 3 adalah proses kenaikan temperatur zat (dalam
bentuk cairnya) secara isobarik dari titik leburnya (Tm ) sampai dengan titik
didihnya (Tb ).
Ada beberapa zat yang di dalam pengamatan kita zat tersebut dapat
berubah wujud dari padat langsung menjadi uap, misalnya pada es kering
(CO2 padat) dan pada kamper (kapur barus). Hal ini disebabkan karena titik beku
dan titikdidihnya mempunyai harga yang berdekatan, sehingga bentuk cair dari zat
tersebut tidak sempat teramati. Perubahan zat dari padat ke uap disebut sublimasi.
Gambar 2.11

Titik lebur suatu zat (Tm ) adalah harga temperatur pada saat sejumlah zat padat
berubah seluruhnya menjadi zat cair jika dipanaskan pada tekanan konstan.
Titik didih suatu zat (Tb ) adalah harga temperatur pada saat sejumlah zat cair
berubah seluruhnya menjadi uap jika dipanaskan pada tekanan konstan.
Banyaknya panas persatuan massa yang dibutuhkan oleh suatu zatdi dalam proses
peruabhan wujudnya disebut kalor transformasi dan diberi simbol l. Satuan l
menurut SI adalah Jkg −1 atau Jkmol−1 .
Kalor transformasi untuk proses melebur disebut kalor lebur (𝑙𝑚 ) dan untuk
proses mendidih disebut kalor didih atau kalor uap (𝑙𝑏 atau 𝑙v ). banyaknya kalor
yang diperlukan m kg zat untuk melebur seluruhnya, Qm , atau untuk mendidih,
Qb , dapat dinyatakan dengan:
Q m = m . 𝑙m
Q b = m . 𝑙b

Contoh harga Tm , Tb , 𝑙m dan 𝑙b dari beberapa zat:


Tabel 2.2 Harga Tm , Tb , 𝑙m dan 𝑙b pada temperatur ruang dan tekanan 1 atm
Zat Tm (K) 𝑙m (KJ/mol) Tb (K) 𝑙b (KJ/mol)
O2 54,8 0,45 90,2 6,83
N2 63,3 0,72 77,3 5,58
CH4 90,7 0,94 111,0 8,80
C2 H4 104,0 3,35 185,0 14,68
HCl - - 188,0 16,18

Entalpi
Entalpi, H, suatu sistem didefenisikan sebagai:
H = U + PV
Dan entalpi spesifik, yaitu entalpi persatuan massa atau persatuan jumlah mol:
H H
ℎ= = = 𝑢 + P𝑣
m n
Pada peristiwa transformasi fasa, banyaknya kalor yang diserap atau dilepaskan
oleh sistem atau zat persatuan massa sama dengan kalor transformasi l. jadi dapat
kita tuliskan:
Q ∆U P∆V
𝑙= = +
m m m
= ∆u + P . ∆v
Untuk perubahan fasa dari fasa 1 ke fasa 2:
𝑙1,2 = 𝑢2 −𝑢1 + P(𝑣2 − 𝑣1 )
= (𝑢2 + P𝑣2 ) − (𝑢1 + P𝑣1 )
= ℎ2 − ℎ1
Jadi,
𝑙 = ∆ℎ
Persamaan diatas menyatakan bahwa pada perubahan fasa, besarnya kalor
transformasi sama dengan besarnya perubahan entalpi sistem.

2.11 Asas Black dan Kalorimetri


Apabila pada kondisi adiabatis dicampurkan 2 macam zat yang
temperaturnya mula-mula berbeda, maka pada saat tercapai kesetimbangan,
banyaknya kalor yang dilepas oleh zat yang temperatur mula-mulanya tinggi
sama dengan banyaknya kalor yang diserap oleh zat yang temperatur mula-
mulanya rendah.

Gambar 2.12

Pernyataan diatas dikenal sebagai asas Black. Gambar diatas menunjukkan


pencampuran 2 macam zat yang temperaturnya berbeda.
Menurut asas Black berlaku:

Qlepas = Qisap
Atau,

m1 . c1 (T1 − T ′ ) = m2 c2 (T ′ − T2 )
Dimana 𝑐1 dan 𝑐2 menyatakan kalor jenis zat 1 dan zat 2.

Gambar 2.13 Bagan Kalorimeter

Apabila diketahui harga kalor jenis suatu zat, maka dapat ditentukan harga kalor
jenis zat yang lain berdasarkan azaz Black. Prinsip pengukuran seperti ini disebut
kalorimetri. Alat pengukur kalor jenis zat berdasarkan prinsip kalorimetri disebut
kalorimeter. Bagan dari calorimeter ditunjukkan oleh Gambar 2.13. Tabung
bagian dalam calorimeter terbuat dari logam (biasanya alumunium atau tembaga)
dan sudah diketahui kalor jenisnya. Tabung tersebut diisi air hingga penuh logam
yang akan diukur panas jenisnya dipanaskan dulu dan kemudian dimasukkan ke
dalam kalorimeter.
Pada setiap kalorimeter biasanya diketahui kapasitas panasnya yang
disebut harga air kalorimeter (H2 ) yaitu hasil kali antara massa kalorimeter
degan jenis kalor jenisnya. Jadi kalor yang diserap oleh kalorimeter dapat
dituliskan sebagai:
Qk = Mk . ck . T
Atau,
Qk = H2 . ∆T
Dengan,
H2 = Mk . ck
2.12 Persamaan Energi untuk Keadaan Stasioner
Apabila pada suatu aliran fluida, keadaan fluida tersebut di setiap titiknya
selalu tetap maka aliran fluida tersebut disebut aliran steady (lunak).

Gambar 2.14

Gambar 2.14 menunjukkan suatu aliran steady dimana massa dan kecepatan fluida
di titik A dan B selalu konstan terhadap waktu dan dinyatakan dengan (m1 . v1 )
dan (m2 . v2 ). Untuk aliran steady bentuk hokum termodinamika I menjadi:
Q = ∆E + W
Dengan,
∆E = ∆U + ∆EK + ∆EP
Dimana E menyatakan energi mekanik total yaitu jumlahan energi dalam (∆U) +
energi kinetik aliran (∆EK ) + energy potensial gravitasi (∆EP ).
Besarnya ∆U, ∆EK dan ∆EP untuk fluida dengan massa m adaah:
∆U = U2 − U1
1
∆EK = m(v22 − v12 )
2
EP = mg (y2 − y1 )
Dimana v menyatakan kecepatan dan y menyatakan ketinggiannya dari suatu
permukaan tanah, sedangkan g menyatakan perceatan gravitasi local. Perubahan
energy total ∆E kemudian dapat dituliskan sebagai:
1
∆E = (U2 − U1 ) + m(v22 − v12 ) + mg (y2 − y1 )
2
Jika aliran steady ini dipergunakan juga untuk kerja mekanik maka:
W = P∆V + Wmek = P(V2 − V1 ) + Wmek
Dimana P∆V menyatakan kerja pada system fluida dan Wmek menyatakan kerja
mekanik oleh aliran fluida tersebut. Substitusi persamaan diatas dan persamaan
sebelumnya ke dalam persamaan Q sehingga menghasilkan persamaan:
1
Q = (U2 − U1 ) + m(v22 − v12 ) + mg (y2 − y1 ) + P(V2 − V1 ) + Wmek
2
Atau,
1 1
Q − Wmek = (H2 + mv22 + mg y2 ) − (H1 + mv12 + mg y1 )
2 2
Dengan,
H2 = U2 + PV2
H1 = U1 + PV1
Kita dapat menyatakan persamaan diatas untuk sisa satuan massa sebagai:
1 1
q − wmek = (h2 + v22 + g y2 ) − (h1 + v12 + g y1 )
2 2
dimana q.w dan h menyatakan kalor, kerja dan entalpi persatuan massa, atau:
Q W H
q= , w = , dan, h =
m m m

Gambar 2.15 Aliran fluida melalui nozzle

Gambar 2.16 Aliran fluida tak kompresibel pada pipa yang luas penampangnya
berbeda untuk ketinggian yang berbeda

Contoh modifikasi persamaan sebelum gambar diatas untuk berbagai system


aliran tunak:
1. Turbin
Aliran uap pada turbin kecepatannya sangat besar sehingga aliran kalor dari
uap ke lingkungannya sangat kecil, atau q ~ 0. Selain itu perbedaan
ketinggian juga dapat diabaikan sehingga pada turbin berlaku persamaan
aliran:
1
−wmek = (h2 − h1 ) + (v22 − v12 )
2

2. Aliran fluida pada pipa sempit (Nozzle)


Untuk mempercepat aliran suatu fluida maka fluida tersebut dialirkan melalui
suatu pipa sempit (nozzle, lihat Gambar 2.15). Untuk proses ini berlaku
persamaan (2.35) dengan wmek = 0, sehingga persamaan alirannya adalah
v22 = v12 + 2(h2 − h1 )

3. Persamaan Bernoulli
Gamabr 2.16 menunjukkan suatu fluida yang inkompresibel (tak
termampatkan) mengalir pada suatu pipa yang luas penampangnya dan
ketinggiannya bervariasi. Apabila pada sistem ini tidak ada kerja mekanik
maupun kerja konfigurasi, serta sistem tidak menyerap kalor dari luar (q = 0,
adiabatik) persamaan alirannya menjadi:
1 1
P1 V1 + mv12 + mgy1 = P2 V2 + mv22 + mgy2
2 2
Karena tidak ada kerja konfigurasi maka ∆V=0 atau V1 = V2 , sehingga
dengan membagi persamaan diatas dengan V = V1 = V2 diapatkan
persamaan:
1
P + 𝑃𝑣 2 + 𝑃𝑔𝑦 = konstan
2
m
Dengan, 𝑃 = v , adalah kerapatan massa fluida.

Persamaan diatas dikenal sebagai persamaan Bernoulli.

2.13 Konsekuensi dari Hukum Termodinamika I


Pada umumnya energi dalam suatu sistem termodinamika merupakan
fungsi dua variable bebas termodinamika. Biasanya dituliskan sebagai u = u
(X,Y) dengan X dan Y menyatakan variable bebas pada koordinat termodinamika
dalam bentuk diferensial dituliskan:
∂u ∂u
𝑢 = ( ) dX + ( ) dY
∂X Y ∂Y X
Misalkan untuk sistem PVT:
∂u ∂u
𝑢 = 𝑢(T, v) → d𝑢 = ( ) dT + ( ) dv
∂T v ∂v T
∂u ∂u
𝑢 = 𝑢(T, p) → d𝑢 = ( ) dT + ( ) dp
∂T p ∂p T
∂u ∂u
𝑢 = 𝑢(P, v) → d𝑢 = ( ) dP + ( ) dv
∂P v ∂v P

Proses Reversibel dengan u = u (T,v)


𝛿𝑞 = d𝑢 + P d𝑣
Dengan,
∂u ∂u
d𝑢 = ( ) dT + ( ) dv
∂T v ∂v T
maka kita dapatkan:
∂u ∂u
𝛿𝑞 = ( ) dT (P + ( ) ) dv
∂T v ∂v T
Panas jenis pada volume konstan dapat dituliskan sebagai:
∂q ∂u
𝑐𝑣 = ( ) = ( )
dT v ∂T v
Panas jenis pada tekanan konstan dapat dituliskan sebagai:
𝜕𝑞
𝑐𝑝 = ( )
dT p
∂u ∂u ∂v
𝑐𝑝 = ( ) + (P + ( ) ) ( )
∂T v ∂v T ∂T
Subsitusi persamaan akan menghasilkan:
∂u ∂u
𝑐𝑝 − 𝑐𝑣 = (P + ( ) )( )
∂v T ∂T p

Proses Reversibel dengan u = u (T,P)


Entalpi Sistem:
H
ℎ = 𝑢 + P𝑣, dengan ℎ =
n
dℎ = d𝑢 + P d𝑣 + 𝑣 dP
atau,
d𝑢 + Pd𝑣 = dℎ − 𝑣 dP
Ruas kiri pada persamaan diatas tak lain adalah δq, sehingga:
𝛿𝑞 = dℎ − 𝑣 dP
Karena u = u (T,P), maka h = h (T,P) sehingga,
∂ℎ ∂ℎ
𝛿ℎ = ( ) dT + ( ) 𝑑𝑃
∂T P ∂T T
Dari persamaan sebelumnya dapat dituliskan sebagai:
∂ℎ ∂ℎ
𝛿𝑞 = ( ) dT + (( ) − 𝑣) 𝑑𝑃
∂T P ∂T T
Panas jenis pada tekanan konstan dapat dituliskan sebagai:
δq ∂ℎ
𝑐p = ( ) = ( )
dT P ∂T P
Panas jenis pada volume konstan dapat dituliskan sebagai:
δq
𝑐v = ( )
dT v
∂h ∂P
𝑐v = ( T − v) ∂T
dP v

Subsitusi persamaan menghasilkan:


∂h ∂P
𝑐𝑝 − 𝑐𝑣 = (v − ( ) )( )
∂P T ∂T v

Proses Reversibel dengan u = u (P,v)


Entalpi sistem
𝛿𝑞 = d𝑢 + P d𝑣
∂𝑢 ∂𝑢
𝛿𝑞 = ( ) dP + (( ) + P) d𝑣
∂P v ∂v P
Dapat dibuktikan hubungan-hubungan berikut ini:
∂𝑢 ∂T
( ) = cv ( )
∂P v ∂P v
∂ℎ ∂T
( ) = cv ( )
∂𝑣 P ∂𝑣 T
∂P ∂P
cv ( ) = cp ( )
∂𝑣 s ∂𝑣 T
∂P
Dimana (∂𝑣 ) menyatakan perubahan tekanan karena perubahan volume pada
s

proses adiabatik.

Percobaan Gay Lussac-Joule


Percobaan ini bertujuan mengukur perubahan energi dalam yang
∂T
disebabkan oleh perubahan volume ( ∂𝑣 ) . Percobaan ini dilakukan pertama-tama
T

oleh Gay Lussac pada pertengahan abad ke-19, kemudian dilanjutkan oleh Joule.
∂u
Besaran (∂𝑣) tidak dapat diukur secara langsung, sehingga diperlukan besaran
T
∂T
lain yang dpaat diukur secara langsung yaitu besaran ( ) .
∂𝑣 u

∂u ∂T
Hubungan antara (∂𝑣) dan (∂𝑣 ) didapatkan dari hubungan matematis:
T u

∂u ∂v ∂T
( ) ( ) ( ) = −1
∂𝑣 T ∂T u ∂𝑢 v
Dimana,
∂v 1
( ) =
∂T u (∂u)
∂T u
Dan
∂T 1 1
( ) = =
∂𝑢 v (∂u) cv
∂T v
Dari hubungan-hubungan diatas didapatkan:
∂u ∂T
( ) = −cv ( )
∂𝑣 T ∂𝑣 u
∂T
Besaran (∂𝑣 ) kemudian disebut koefisien Gay Lussac-Joule dan diberi simbol
u

∂T
𝔶=( )
∂𝑣 u
Gambar 2.17

Prinsip percobaan Gay Lussac-Joule dapat digambarkan sebagai berikut:


Jika kran K dibuka maka gas pada tabung A akan berekspansi bebas mengisi
tabung B. jika terjadi perubahan temperatur karena perubahan volume gas ini
maka akan terjadi aliran kalor dari sistem gas ke sekelilingnya, sehingga
temperatur air juga akan berubah. Perubahan temperatur ini dapat diamati pada
termometer.

∂T
Hasil percobaan menunjukkan bahwa (∂𝑣 ) sangat kecil dan sangat sulit
u

dideteksi. Hal ini disebabkan oleh karena begitu besarnya kapasitas kalor air di
sekeliling tabung sedangkan kalor yang mengalir dari gas ke air sangat kecil.
Percobaan-percobaan yang dilakukan kemudian, yaitu dengan menggunakan
peralatan yang lebih modern ternyata mendapatkan hasil yang sama.

∂T ∂u
Untuk gas ideal dipostulatkan bahwa ( ∂𝑣 ) = 0, sehingga (∂𝑣) = 0 yang berarti
u T

bahwa energi dalam gas ideal tidak tergantung pada perubahan volume. Untuk gas
ideal:
∂u du
cv = ( ) =
∂T v dT
Atau
u T
∫ du = ∫ cv dT
u0 T0

Sehingga diperoleh hubungan:

u = u0 + cv (T − T0 )
dimana, u0 menyatakan harga energi dalam pada temperatur T0 .

Percobaan Joule-Thomson (Joule-Kelvin)


∂u
Jika percobaan Gay Lussac-Joule bertujuan mengukur (∂v) maka
T
∂h
percobaan Joule-Thomson atau Joule-Kelvin bertujuan (∂P), yaitu perubahan

entalpi karena perubahan-perubahan P.


∂h
Analog dengan persamaan sebelumnya maka berhubungan antara (∂P) dengan
T

besran yang terukur adalah:


∂h ∂T
( ) = −c̅p ( )
∂P T ∂P h
∂T
Besaran (∂P) kemudian disebut koefisien Joule-Thomson (Joule-Kelvin) dan
h

diberi simbol μ.

∂T
μ=( )
∂P h

Gambar 2.18 Kurva-kurva insentalpik hasil percobaan Joule-Thomson

Hasil percobaan Joule-Thomson jika digambarkan pada diagram T-P, akan


menghasilkan kurva-kurva isentalpik, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.18.
Kurva inversi adalah kurva yang menghubungkan titik-titik maksimum isentalpik.
∂T
Koefisien Joule-Thomson, μ = (∂P) , tak lain adalah koefisien arah garis
h

singgung pada suatu titik pada isentalpik. Untuk temperatur tinggi dan tekanan
rendah, dimana sifat gas mendekati sifat gas ideal, kurva isentalpiknya hampir
horizontal, sehingga koefisien arahnya mendekati nol. Karena itu dipostulatkan
bahwa untuk gas ideal,
∂T
μ=( ) =0
∂P h
sehingga,
∂h
( ) = 0 (gas ideal)
∂P T
Entalpi sistem dapat dinyatakan dengan:
h = h0 + cp (T − T0 )
dimana h0 adalah besarnya entalpi pada temperatur acuan T0 .

Proses Adiabatik Reversibel untuk Gas Ideal


Dari persamaan sebelumnya kita dapatkan hubungan:
∂P cp ∂P
( ) = ( )
∂v s cv ∂v T
Atau,
∂P ∂P
( ) =( )
∂v s ∂v T
Dengan,
cp
γ=
cv
untuk gas ideal,
∂P P
( ) =−
∂v T v
Sehingga,
∂P P
( ) = −γ ( )
∂v s v
Atau,
dP dv
= −γ
p v
Integrasi persamaan diatas menghasilkan ln P = −γ ln V + konstanta atau,
PV γ = konstanta
Dalam variabel T dan V, persamaan diatas dapat dinyatakan sebagai
TV y−1 = konstan
Harga γ untuk gas ideal secara teoritik adalah:
Gas ideal monoatomik
5 3
cp = R, cv = R, γ = 1,67
2 2
Gas ideal diatomik
7 5
cp = R, cv = R, γ = 1,40
2 2
Gas ideal triatomik
9 7
cp = R, cv = R, γ = 1,29
2 2
Harga-harga diatas berlaku untuk temperatur ruang.

Anda mungkin juga menyukai