Hamid Patilima
Abstrak
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 5 September 1990. Hal ini
merupakan komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak.
Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B (2), dan
operasionalnya pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan,
pemerintah mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak.
Abstract
Indonesia had ratification Convention on the Rights of the Child since 5th September
1990. It constitutes Indonesia commitment in respect and pock right for child. This
commitment most decants in Constitution 1945 Sections 28 b (2 ), and its
operational on Number law 23 Years 2002 about protection Child. To transform right for
child into process development, government develops policy `City Fit for Children’.
Kunci: Anak, Kota, Perlindungan Anak, Kota Ramah Anak.
Pendahuluan
Kota Layak Anak[1] merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota
Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan
istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat
menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya
pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak
(KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan
seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.
Kota Layak Anak[2] dan atau Kota Ramah Anak[3] kadang-kadang kedua istilah ini
dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat dalam menjelaskan
pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam pembangunan
sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak.
Pemekaran Daerah
Pemekaran kabupaten dan kota merupakan buah dari otonomi daerah. Gejala ini sudah
terasa sejak berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 2001. Tercatat sampai
Agustus 2008 terdapat 471 kabupaten dan kota + 12 dalam proses pemekaran. Tujuan
akhir dari pemekaran ini adalah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makna dari tujuan akhir ini tersirat bahwa
‘perlindungan anak’ menjadi salah satu urusan wajib[4] yang diserahkan oleh
pemerintah ke pemerintah kabupaten dan kota akan semakin terwujud.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah ‘anak’ menjadi pusat pembangunan di
kabupaten dan kota? Karena selama ini pemerintahan kabupaten dan kota lebih
memusatkan pada bidang ekonomi, politik dan infrastruktur, tanpa mempertimbangkan
unsur kepentingan terbaik anak dalam pengambilan keputusan. Hal ini ditandai oleh
belum berkembangnya wadah-wadah partisipasi anak yang dibangun di kabupaten dan
kota guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk
partisipasi anak dalam proses pembangunan. Padahal pembentukan wadah tersebut
sudah menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tertuang dalam
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Nasional
Jangka Menengah 2004-2009. Meskipun di beberapa kabupaten dan kota sudah ada
Forum Anak, akan tetapi forum tersebut masih banyak intervensi orang dewasa.
Tantangan Pembentukan Kota Layak Anak
Delapan belas tahun yang lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menjamin setiap
anak diberikan masa depan yang lebih baik dengan ratifikasi Konvensi Hak Anak.[5]
Sejak itu tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam laporan
Pemerintah Indonesia mengenai Pelaksanaan Konvensi Hak Anak ke Komite Hak Anak,
Jenewa,[6] lebih banyak anak bersekolah dibandingkan di masa sebelumnya, lebih
banyak anak mulai terlibat aktif dalam keputusan menyangkut kehidupan mereka, dan
sudah tersusun pula peraturan perundang-undangan penting yang melindungi anak.[7]
Kondisi ini menjadi point penting dalam mempercepat pembentukan KLA.
Namun hasil yang dicapai ini tidak merata, dan berbagai kendala pun masih tetap ada,
terutama di beberapa kabupaten dan kota yang tertinggal. Masa depan cerah bagi anak
barulah merupakan ‘khayalan’ semata, dan pencapaian itu pada umumnya kurang
memenuhi kewajiban pemerintah dan komitmen negara.
Keluarga sebagai unit dasar dari masyarakat yang menjadi penentu keberhasilan dalam
mempercepat terwujudnya komitmen negara belum mendapat bantuan dan bimbingan
secara teratur, terorganisasi, dan terjadwal. Tanggung jawab utama untuk melindungi,
mendidik dan mengembangkan anak terletak pada keluarga. Akan tetapi segenap
lembaga pemerintah dan masyarakat belum banyak membantu. Seharusnya lembaga
tersebut menghormati hak anak dan menjamin kesejahteraan anak serta memberikan
bantuan dan bimbingan yang layak bagi orangtua, keluarga, wali, dan pihak-pihak yang
mengasuh anak supaya dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman
dan stabil serta suasana yang bahagia, penuh kasih dan pengertian. Selain itu, ada
pemahaman yang berbeda-beda di kalangan orangtu mengenai arti anak. Pada sebagian
orangtua memahami anak sebagai ‘amanah’ dan ‘titipan’ yang harus dilindungi dan
dihargai. Sedangkan pada sebagian orangtua ‘anak’ sebagai ‘aset keluarga’ dan ‘anak
harus mengerti orangtua[8]’. Pemahaman yang terakhir ini kadang-kadang anak
menjadi korban perdagangan anak, eksploitasi ekonomi dan seksual, serta tumbuh dan
berkembangnya terabaikan.
Sejumlah besar anak-anak hidup tanpa bantuan orangtua, misalnya anak yatim piatu,
anak jalanan, anak pengungsi, dan anak yang tergusur dari tempat tinggalnya, anak
korban perdagangan, anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, serta mereka yang
berada di lembaga pemasyarakatan, belum mendapat perhatian dan perlindungan
secara khusus. Hal yang sama juga dialami oleh lembaga sosial yang memberikan
pelayanan kepada anak-anak tersebut kurang mendapat pembinaan dan apresiasi dari
pemerintah dan masyarakat.
Persoalan lain yang cukup dasar adalah kemiskinan yang menjadi satu-satunya kendala
terbesar yang merintangi upaya memenuhi kebutuhan, melindungi dan menghormati
hak anak. Seharusnya hal ini mendapat perhatian dan sokongan dari pemerintah dan
masyarakat. Akan tetapi, upaya untuk mengatasi persoalan ini di berbagai kabupaten
dan kota belum terencana dengan baik dari penciptaan lapangan kerja, ketersediaan
mikro-kredit sampai investasi di bidang infrastruktur. Anak-anak adalah warga yang
paling terpukul oleh kemiskinan, karena kemiskinan itu sangat mendera mereka untuk
tumbuh dan berkembang. Menurut Prof. Irwanto, PhD bahwa “Salah satu paradoks
pembangunan manusia modern adalah diakuinya anak-anak sebagai masa depan
kemanusiaan, tetapi sekaligus sebagai kelompok penduduk yang paling rentan karena
sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan itu sendiri. Ketika
ekonomi membaik dan pembangunan di segala bidang bergairah, kepentingan anak
tidak menjadi prioritas. Akan tetapi, manakala ekonomi memburuk, konflik berkecamuk,
kekacauan sosial berkembang di mana-mana, anak menjadi korban atau dijadikan
tumbal untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa”.
Dari sekian persoalan di atas yang unik adalah otonomi daerah. Sejak urusan wajib di
bidang kesehatan, pendidikan, termasuk ‘perlindungan anak’ dan lainnya diserahkan
oleh pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten dan kota, sangat berdampak pada
pemenuhan hak anak. Muncul berbagai persoalan, seperti meningkatnya kasus gizi
buruk, turunnya angka kelulusan baik di SD dan SMP maupun SMA/sederajat di
beberapa kabupaten dan kota.
Namun dari sederetan persoalan yang mendera anak, secara nyata yang perlu dipahami
oleh kita adalah penerimaan terhadap berbagai komitmen internasional yang disepakati
oleh Negara untuk kemajuan anak Indonesia. Sebut saja Deklarasi Dunia dan Rencana
Aksi dari World Summit for Children, The Dakar Framework: Education For All dari World
Education Forum, Deklarasi Millennium Development Goals, Deklarasi dan Rencana Aksi
World Fit for Children, dan yang terakhir Deklarasi dan Rencana Pembangunan
Berkelanjutan dari World Summit on Sustainable Development. Semua kesepakatan itu
tersimpan rapi di lemari dan laci para Delegasi Indonesia yang sesungguhnya mereka itu
juga mempunyai keterbatasan dari segi keilmuan, penguasaan isu anak sampai
komunikasi. Dokumen-dokumen tersebut belum tersosialisasi kepada pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, orangtua, dan anak. Sehingga hal ini
melahirkan kesenjangan informasi di antara pihak yang terkait dengan komitmen
internasional dengan perencana dan penyusun program di lapangan, karena semua
kesepakatan internasional tersebut belum menjadi rujukan dalam perencanaan dan
kebijakan program pembangunan. Hal ini wajar saja, jika kita menemukan pemahaman
yang berbeda-beda di kalangan orangtua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah
kabupaten atau kota untuk “memenuhi hak anak” sesuai dengan Konvensi dan
komitmen Negara. Karena mereka pada dasarnya belum mengetahui dan memahami
apa yang sesungguhnya telah menjadi komitmen Negara di tingkat dunia.
Media masa belum mengambil peran secara proporsional. Isu-isu anak selalu kalah
dalam berebut ‘kapling’ atau ruang di media masa, cetak maupun elektronik, dan seslau
kalah bersaing dengan isu-isu politik yang mendominasi pemeberitaan di media.
Konsekuensi logisnya adalah bahwa opini dan pemahaman publik terhadap isu-isu anak
tertinggal sangat jauh dari yang semestinya. Bila ditemui media yang mengangkat isu
anak dalam segmen acara ataupun porsi pemberitaannya kesan yang timbul justru
potensi pelecehan terhadap hak anak. Karena menempatkan anak sebagai obyek
program sehingga sangat banyak ditemui pemberitaan dan program dalam media masa
yang justru menjauhkan anak-anak dari originalitas budayanya dan bahkanmembuat
anak-anak Indonesia terkontaminasi oleh budaya asing.
Dari uraian di atas, tergambar bahwa ada tantangan besar untuk mempercepat
implementasi hak anak di tingkat orangtua, masyarakat, kabupaten/kota, provinsi, dan
nasional pada masa kini dan masa datang. Padahal masalah bukan hanya anak, namun,
jika kita tidak segera berinisatif, dikhawatirkan kepentingan terbaik bagi anak
terabaikan. Artinya, hak tumbuh dan berkembang mereka kurang optimal, yang akan
berujung pada hilangnya satu generasi bangsa.
Selain itu pemerintah kota dalam membuat kebijakan mengenai transportasi umum,
menurut Jill Swart Kruger dan Louise Chawla (Kruger, 2002:85) perlu:
a. memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi umum.
b. mempertimbangkan pembuatan tiket tunggal untuk semua jenis transportasi umum.
c. mempertimbangkan penggunaan bus khusus pada hari minggu dan libur untuk anak
dan keluarganya ke tempat rekreasi.
Selain itu, perlu dipetimbangkan untuk mengalang komuniti sekolah untuk membangun
‘Rute Aman ke Sekolah’. Gagasan ini sebetulnya sudah mulai berkembang di beberapa
kabupaten dan kota di Indonesia melalui Program Zona Aman Sekolah oleh Departemen
Perhubungan, namun sangat disayangkan program ini tidak dikonsultasikan dengan
anak, sehingga program ini belum mendapat tanggapan yang serius dari orangtua dan
masyarakat, dan terkesan program tersebut dipaksakan.
Mewujudkan KLA
KLA adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga
kota, berarti anak:
a. keputusannya mempengaruhi kotanya;
b. dapat mengekspresikan pendapatnya mengenai kota yang mereka inginkan;
c. dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial;
d. dapat mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
e. dapat mengakses air minum segar dan tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang
baik;
f. terlindungi dari eksploitasi, kekerasan dan penelantaran;
g. merasa aman berjalan di jalan;
h. dapat bertemu dan bermain dengan temannya;
i. hidup di lingkungan yang bebas polusi;
j. berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan
k. secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku
bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Kunci sukses untuk mewujudkan kota layak bagi anak adalah adanya keikhlasan dan
ketulusan orang dewasa mengutamakan kepentingan terbaik anak. Fakta di lapangan
menunjukkan, bahwa anak belum menjadi pertimbagan utama dalam proses
penyusunan dan perencanaan pembangunan. Sehingga, dampak pembangunan kurang
optimal untuk mempersiapkan suatu generasi yang tangguh. Pembangunan bidang
pendidikan belum sinkron dengan pembangunan bidang kebutuhan pasar
ketenagakerjaan. Pembangunan bidang infrastruktur belum menyentuh pada
pemenuhan kebutuhan anak dan atau kelompok yang rentan. Penyediaan infrastruktur
perkotaan masih mengabaikan kepentingan terbaik anak.
Ada dua arus yang berkembang pada saat kita menyusun dan merancang kota layak
bagi anak. Pertama, harus adanya pengarustamaan hak anak dalam pembangunan. Arus
ini menghendaki seluruh orang dewasa yang ada di setiap pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan, sebelum
mengambil dan memutuskan kebijakan, perlu mengajukan pertanyaan “Apakah sudah
ada kepentingan terbaik bagi anak di dalamnya?” Jika belum ada, maka proses tersebut
perlu ditinjau ulang, sehingga diketemukan adanya ‘kepentingan terbaik bagi anak’. Hal
ini tidak sederhana, namun upaya untuk mewujudkannya, harus menjadi pertimbangan
utama.
Kedua, pihak yang mengetahui ‘kepentingan terbaik anak’ adalah anak. Upaya yang
perlu ditempuh untuk menggali kebutuhan adalah melalui partisipasi anak. Hal ini
didasarkan pada pemikiran, bahwa yang paling tahu dan paham kepentingan anak
adalah anak itu sendiri. Untuk itu, para pemangku kepentingan di bidang anak,
berkomunikasi secara efektif dengan anak untuk menggali kebutuhan anak. Sehingga
pada saat pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan anak.
Kemitraan dan Partisipasi
Untuk mewujudkan ‘KLA’ perlu diperkokoh kemitraan pemerintah dengan para pelaku
lain yang akan memberikan kontribusi yang unik. Selain itu melalui kemitraan dan
partisipasi ini akan mendorong pemanfaatan segala jalur partisipasi untuk
mensejahterahkan dan meningkatkan perlindungan hak anak.
Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu
kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kemitraan ini
menurut the International Union of Local Authorites membentuk suatu lingkaran projek
dengan proses perencanaan dan pelaksanaan melalui fase. Fase yang dimaksud seperti
terlihat pada gambar berikut:
Selanjutnya adalah pembagian peran apa yang dapat dilakukan oleh setiap individu dan
institusi yang ada di perkotaan untuk mewujudkan KLA. Peran yang dimaksud harus
sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau
institusi. Peran dari para pihak ini perlu dipertegas, seperti uraian berikut:
a. Pemerintah - Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga
melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA.
b. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia - APKSI/APEKSI sebagai
jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah
bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan
KLA di masing-masing kabupaten/kota.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota - Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam
membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan
KLA.
d. Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan - Organisasi Non
Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam
menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.
e. Sektor Swasta dan Dunia Usaha - Sektor swasta dan dunia usaha merupakan
kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang
bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung
terwujudnya KLA.
f. Lembaga Internasional - Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi
dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA.
g. Komuniti (Masyarakat) - Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan
berupa informasi yang obyektif dalam proses monitoring dan evaluasi.
h. Keluarga - Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan
pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan
perlindungan anak.
i. Anak – anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi peran
dan tanggung jawab sebagai agen perubah.
Inisiatif KLA
Inisiatif KLA ini telah diadaptasi oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di 5 kabupaten/kota, yaitu
Kota Jambi di Provinsi Jambi, Kota Surakarta (Solo) di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten
Sidoarjo di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan
Timur, dan terakhir Kabupaten Gorontalo di Provinsi Gorontalo. Sedangkan pada tahun
2007 ditunjuk 10 kabupaten/kota, yaitu Aceh Besar (Nanggroe Aceh Darussalam),
Kabupaten OKI (Sumatera Selatan), Kota Padang (Sumatera Barat), Lampung Selatan
(Lampung), Kabupaten Karawang (Jawa Barat), Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kota
Malang (Jawa Timur), Kota Pontianak (Kalimantan Barat), Kota Manado (Sulawesi
Utara), dan Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur).
Selain itu atas inisiatif Pemda sendiri KLA telah diperkenalkan di Kota Bandung,
Kabupaten Kuningan, Kota Bogor, Kota Yogyakarta dan Kota Banjar. KLA juga diinisiasi
di Kota Semarang dan Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah atas dukungan NGO
Internasional (CCF).
Catatan Akhir
Kata kunci dalam proses mewujudkan KLA adalah ketulusan dan keikhlasan orang
dewasa menerima kehadiran anak di tiap proses pembangunan kota dan pemberian
kesempatan oleh orang dewasa kepada mereka.
Menurut Almarhum Dr. Mansour Fakih, bahwa “Pembangunan dan perubahan sosial
belum meletakkan anak sebagai subyek, atau paling tidak memperhitungkan anak dalam
arah pembangunan. Yang nyaring terdengar dan banyak tersosialisasi adalah bagaimana
membantu orang dewasa untuk memfasilitasi, menghargai, dan menghormati hak anak.”
Daftar Kepustakaan
Adams, Eillen & Sue Ingham. (1998). Changing Places: Children’s Participation in
Environmental Planning. London: The Children’s Society.
Ahier, John. (1988). Industry Children and the Nation: an Analysis of National Identity in
School Textbooks. London, New York, Philadelphia: The Falmer Press.
Al-Zoabi, Ahmad, Y. DR. (2002). “Children’s Mental Maps and Neighborhood Design of
Abu-Nusier, Jordan”. Saudi Arabia: King Saud University.
Australian Institute of Family Studies Family Matters. (1998). “About Growing Up”. No.49
Autumn 1998.
Bartlett, Sheridan. (2002). “The problem of children’s injuries in low-income countries: a
review”. Health Policy and Planning.
Bartlett, Sheridan. (2002). “Urban Children and the Physical Environment”. Amman,
Jordan: International Conference on Children and The City.
Burhan, Merina. (1999). ”Kondisi Lingkungan Bermain Anak di Kota-kota Besar Sebagai
Dampak Proses Urbanisasi”. Tokyo: Tokyo Institute of Technology.
Chawla, Louise. (2001). ”Evaluating Children’s Participation: Seeking Areas of
Concensus”. PLA Notes, Oktober No.42.
Christencen, Pia & Margaret O’Brien (edit.). (2003). Children in the City Home,
Neighbourhood and Community. New York & London: Routledge Falmer.
Erikson, Eric H. & J.M. Erikson. (1987). The Life Cycle Completed. W.W. Norton & Co.
Hardoy, Jorge E., Diana & David Satterthwaite (2001). Environmental Problems in an
Urbanizing World: Finding Solution for Cities in Africa, Asia, & Latin America.
London: Earth-scan Publication
Hendricks, Barbara. (2002) “Child Friendly Environments in the City”. di Brescia: Ordine
degli Achitetti.
Innocenti Digest. (No.2-Nov.2002). Poverty and Exclusion Among Urban Children.
Florence – Italy: UNICEF Innocenti Research Centre.
Irwanto, Prof., PhD., (2008). Mengarusutamakan Hak-Hak Anak Dalam Pembangunan
Nasional: Perspektif Ekologi Perilaku Manusia. Jakarta, Universitas Atmajaya.
Kruger, Jill Swart & Louise Chawla. (2002). “We Know Something Someone doesn’t
Know: Children Speak Out on Local Conditions in Johannesburg”. Environment &
Urbanization Vol.14 No. 2 October.
Satterthwaite, David, Dr. (2002). “City Governance for and with Children”. Amman,
Jordan: International Conference on Children and The City.
Save the Childern. (1996). Children on Their Housing. Swedia: Radda Barnen.
IULA&UNICEF. (2001). Partnership to Create Child Friendly City: Programming for Child
Rights with Local Authorities. Italy: UNICEF Innocenti Research Centre.
Patilima, Hamid. (2004). Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota – Studi Kasus Di
Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat. (Tesis). Jakarta: Kajian Pengembangan
Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia
Save the Children. (1996). Children on Their Housing. Swedia: Radda Barnen.
Suparlan, Parsudi, Prof. (1996). Antropologi Perkotaan. (diktat). Depok: Jur. Antropologi
FISIP UI.
Hamid Patilima
Alumni Kajian Pengembangan Perkotaan – Program Pascasarjana Universitas
Indonesia
Bekerja di Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
Menjadi Konsultan di Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk
Pengembangan Kota Layak Anak
Dipercaya oleh UNICEF untuk menjadi Konsultan dalam penyusunan Laporan
Indonesia Pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak Periode Ketiga dan Keempat (2007)
dan Laporan Pelaksanaan A World Fit for Children Periode 2002-2006 (2006)
Dipercaya oleh ILO sebagai Konsultan Nasional untuk Adaptasi Modul Supporting
Child Right Through Education, Art, and Media (2007) sekaligus menjadi Pelatih
untuk Master Trainner SCREAM.
Menjadi Pengasuh Mata Kuliah Pendalaman Metode Penelitian Kualitatif di
Program Pendidikan Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta
(2008).
Penulis buku Metode Penelitian Kualitatif yang diterbitkan oleh Alfabeta Bandung
(2005 dan 2007)
[1]
Tujuan dari inisitif KLA adalah untuk mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam pembangunan kabupaten/kota;
untuk melaksanakan kebijakan kabupaten/kota yang layak anak; untuk memobilisasi dan mengintegrasikan
sumberdaya manusia, keuangan, sarana, prasarana dan metode yang ada pada pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha dalam rangka menciptakan kabupaten/kota yang dapat memenuhi hak-hak anak; untuk
menyusun perencanaan dan melaksanakan strategi, program, kegiatan, dan anggaran yang responsive
terhadap kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak; untuk memperkuat peran pemerintah
kabupaten/kota, dalam menyatukan tujuan pembangunan daerah di bidang perlindungan anak; untuk
mempercepat kemampuan keluarga, masyarakat, dunia usaha di pemerintahan kabupaten/kota dalam
mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak; dan untuk menyusun dan memantau kerangka kebijakan
pemerintah kabupaten/kota yang layak anak dengan mekanisme berkelanjutan.
[2]
Terinspirasi dari dokumen World Fit for Children, 2002 yang juga merupakan lanjutan dari pertemuan City
Summit Istanbul Turki 1996.
[3]
Bersumber dari Child Friendly City Inniciative yang diperkenalkan oleh UNICEF dan UNHABITAT pada City
Summit Istanbul Turki 1996.
[4]
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
[5]
Ratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990.
[6]
Laporan Indonesia Pelaksanaan Konvensi Hak Anak Periode I (1990-1992), II (1992-1997), III dan IV (1997-
2007).
[7]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 B Ayat (2); Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak; dan Undang-Undang lainnya terkait dengan anak.
[8]
[9]
Dr. Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the Norwegian Centre
for Child Research - Trondheim, Norwegia tahun 1994.
Margaret O’Brien, ahli psikologi sosial dari University of East Anglia dalam tulisannya
“Regenerating children’s neighborhoods: What do children want?” (Christensen (ed.),
2003:144-145) memaparkan hasil penelitiannya tentang “The Childhood, Urban Space
and Citizenship: Child-sensitive Urban Regeneration”.
Virginia Morrow, sosiolog dari London School of Economical and Political Science
(Christensen (ed.), 2003:169) melalui tulisannya “Improving the neighborhood for
children” dalam penelitiannya dengan pendekatan kualitatif diungkapkan bahwa, pada
umumnya anak-anak menggambarkan kota dan lingkungan mereka secara negatif.
Jill Swart Kruger, antropolog dan arkeolog dari University of South Africa dan Louise
Chawla, psikolog lingkungan dari Kentucky State University melakukan penelitian
tentang “Four-site study of children’s needs and priorities”.
[10]
[11]
Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan oleh Cambrigde, MA: MIT Press tahun 1977 dengan judul
“Growing Up in Cities”.
[12]
Program kampanye dapat memanfaatkan berbagai media, seperti media massa – koran dan televisi, pamflet,
brosur dan lain-lain.