Anda di halaman 1dari 8

1.

Subjek dan Bukan Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21


1.1. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21
 Orang Pribadi:
a. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
lebih dari 183 hari dalam periode 12 bulan dan orang pribadi yang dalam satu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk tinggal di Indonesia.

b. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
 Badan; dan
 Bentuk usaha tetap.

1.2. Bukan Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21


 Kantor perwakilan negara asing;
 Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
 Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
c. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2. Objek dan Bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21


2.1. Objek Pajak Penghasilan Pasal 21
Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21:
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara
teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium
anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur,
uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak,
tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport,
tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi
asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama
apapun.
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan
pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti,
tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan
sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.
 Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau
diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau
mingguan yang diterima peserta pendidikan pelatihan atau pemagangan yang
merupakan calon pegawai.
 Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau jaminan hari tua, uang pesangon,
dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja.
 Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak dalam negeri, terdiri dari :
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri dari: pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
c. Olahragawan.
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
f. Pemberi jasa dalam segala bidang, termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial.
g. Agen iklan.
h. Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan dan
peserta sidang atau rapat.
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan.
j. Peserta perlombaan.
k. Petugas penjaja barang dagangan.
l. Petugas dinas luar asuransi.
m. Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai
calon pegawai.
n. Distributor perusahaan MLM atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
 Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan
honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh pejabat
negara dan PNS.
 Uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun
yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.
 Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dalam nama apapun yang
diberikan oleh bukan wajib pajak selain pemerintah atau wajib pajak yang dikenakan
PPh yang bersifat final dan yang dikenakan PPh berdasarkan norma perhitungan khusus.

2.2 Bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21


 Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwi guna dan asuransi beasiswa.
 Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh wajib pajak atau pemerintah kecuali yang diberikan wajib pajak yang dikenakan
pajak penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan
norma perhitungan khusus.
 Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan dan iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara jamsostek
yang dibayar oleh pemberi kerja.
 Zakat yang diterima oleh pribadi yang berhak dari badan atau amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah.

3. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21


Para pemotongan PPh 21 adalah:
 Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi maupun badan, yang merupakan induk,
cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun (mis: bonus,
tunjangan, tantiem, dll), sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh pegawai atau bukan pegawai. Sedangkan yang dimaksud bukan pegawai adalah
orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja
sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau
memperoleh honorarium.
 Bendahara Pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di luar negeri.
 Dana Pensiun atau badan lain(misalnya badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga
Kerja) yang memberi uang pensiun, tunjangan hari tua, dan tabungan hari tua.
 Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta Badan yang
Membayar: honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa
dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak Dalam
Negeri dan Luar Negeri, dan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan,
pelatih, dan magang.
 Penyelenggara Kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi
internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lain yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun
kepada WP Dalam Negeri orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
4. Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
 Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh 21 dalam satu
bulan takwin dengan PPh 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim
yang bersangkutan.
 Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT Tahunan
dengan PPh 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan dan
jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam
tahun berikutnya.
 Pemotong pajak berhak membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan
menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
 Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal
Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil Kurang Bayar.
 Pemotong Pajak berhak mengajukan permononan banding secara tertulis dalam dengan
alasan yang jelas kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini
dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan salinan
surat keputusan tersebut.
 Pemotong pajak dapat mengajukan permohonan untuk mengajukan permohonan untuk
memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pasal 21. Permohonan diajukan
secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan
menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat
pernyataan mengenai perhitungan sementara PPh 21 yang terutang dan bukti pelunasan
kekurangan pembayaran PPh 21 yang terutang untuk tahun takwin yang bersangkutan.
 Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor
Penyuluhan Pajak setempat. Kewajiban sebagai pemotong pajak berlaku juga terhadap
organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan.
 Pemotong pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka
pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor
Penyuluhan Pajak setempat.
 Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh 21 yang terutang
untuk setiap bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan
Usaha Milik Daerah, atau Bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran,
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.
 Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor
Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim
berikutnya. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh 21, maka
kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh 21 yang terutang pada bulan
berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
 Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 baik diminta maupun tidak
pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai
tetap, penerimaan uang tembusan pensiun, penerimaan Jaminan Hari Tua, penerima
uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
 Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 Tahunan kepada pegawai
tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang
ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim
berakhir. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim,
maka bukti pemotongan diberikan oleh pemberi pekerja selambat-lambatnya 1 bulan
setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
 Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak berkewajiban
menghitung kembali jumlah PPh 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerimaan
pensiun bulanan menurut tarif yang berlaku.
 Setiap pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan
PPh 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar atau Kantor
Penyuluhan Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahun PPh 21 harus disampaikan
selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Ketentuan tersebut
berlaku juga bagi pemotong pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama
dengan tahun takwim.
 Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh 21 yang berutang apabila jumlah PPh 21
yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar daripada PPh 21 yang telah disetor.
Penyetoran tersebut harus dilakukan sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh 21
selambat-lambatnya pada tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya.
 Pemotong pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh 21 dengan lampiran-lampiran yang
ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh 21 untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.

5. Penghasilan Tidak Kena Pajak


1. Tabel Pembagian Besaran PTKP 2019

a. Besaran PTKP satu NPWP

PTKP Tunggal Besaran PTKP

TK/0 Rp54.000.000

K/0 atau TK/1 Rp58.500.000

K/1 atau TK/2 Rp63.000.000

K/2 atau TK/3 Rp67.500.000

K/3 Rp72.000.000

c. Besaran PTKP Digabung Suami dan Istri

Status PTKP Digabung Besaran PTKP


K/I/0 Rp112.500.000

K/I/1 Rp117.000.000

K/I/2 Rp121.500.000

K/I/3 Rp126.000.000

a. PTKP Tunggal/Individu
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, PTKP didasarkan pada jumlah tanggungan dan status
perkawinan. Untuk wajib pajak dengan status lajang, PTKP 2018 adalah sejumlah Rp54.000.000
setahun. Jadi artinya ketika Anda memiliki karyawan yang belum menikah dan tidak memiiki
tanggungan, karyawan tidak memiliki beban potongan pajak berdasarkan PPh 21 (penghasilan
kurang dari angkat tersebut). Dalam perhitungan karyawan ini termasuk golongan TK/0.
b. PTKP Tunggal dengan Tanggungan
Berbeda cerita ketika karyawan tersebut memiliki tanggungan, baik anak dari hasil perkawinan,
atau objek tanggungan orang lain, setiap tanggungan akan menaikkan batas PTKP sebesar
Rp4.500.000. Kenaikan sesuai jumlah tanggungan ini berlaku hingga maksimal tiga orang
tanggungan dan jika lebih, diberlakukan batas maksimal tersebut. Golongan karyawan ini
adalah TK/1, TK/2 atau TK/3 tergantung pada jumlah tanggungan.
c. PTKP Tunggal untuk Satu Keluarga
Untuk karyawan yang berstatus menikah, perhitungannya sedikit berbeda. Istri atau suami
yang menjadi wajib pajak utama memiliki angka PTKP sebesar Rp58.500.000. Setiap anak yang
kemudian dimiliki, akan menambah jumlah PTKP sebesar Rp4.500.000 hingga maksimal tiga
anak. Perhitungan ini diberlakukan karena Dirjen Pajak menghitung satu keluarga sebagai satu
kesatuan ekonomi dengan satu NPWP. Kondisi ini masuk dalam Golongan K/0, dengan status
perkawinan tidak/belum memiliki anak, dan K/1, K/2, K/3 sesuai anak yang dimiliki.
d. PTKP Digabung
Berbeda kasus untuk suami istri yang keduanya memiliki pekerjaan dan memiliki NPWP
masing-masing. Status K/… yang menjadi golongan wajib pajak bertatus kawin dibebankan
pada suami dan disesuaikan dengan tanggungan anak yang dimiliki. Sementara si istri masuk
kedalam golongan TK/0 atau dianggap tanpa tanggungan di mata hukum yang berlaku. Untuk
kondisi ini, golongan yang diberikan adalah K/I/0 untuk yang tidak/belum memiliki anak, dan
K/I/1, K/I/2, atau K/I/3 sesuai dengan anak yang dimiliki. Besaran PTKP kemudian digabung
antara PTKP suami dan PTKP istri sesuai dengan tanggungan.
6. Tarif Pajak
 Tarif penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak PMK No. 101/PMK.010/2016 tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, berikut tarif penghasilan tidak kena
pajak:
Wajib pajak orang pribadi sebesar Rp 54 juta
Tambahan Rp 4,5 juta untuk wajib pajak yang sudah menikah
Tambahan Rp 54 juta untuk gabungan penghasilan suami dan istri
Tambahan Rp 4,5 juta untuk yang sudah memiliki tanggungan, maksimal tiga orang
Untuk besaran tarif PTKP itu sendiri juga tergantung dari kondisi perekonomian negara. Jadi
Bisa naik, bisa juga tidak.

 Tarif pajak penghasilan pemilik NPWP


Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat 1, ada dua
jenis tarif pajak penghasilan yang dikenakan kepada wajib pajak, yaitu:
a. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Jadi, misalnya kamu pegawai yang belum menikah dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan.
Berarti dalam satu tahun penghasilanmu sebesar Rp 60 juta.
Karena batas PTKP untuk wajib pajak orang pribadi adalah sebesar Rp 54 juta sedangkan
penghasilanmu dalam satu tahun Rp 60 juta, maka kamu akan dikenakan tarif PPh sebesar lima
persen.
b. Wajib pajak badan dalam negeri
Sedangkan untuk wajib pajak badan dalam negeri atau yang memiliki penghasilan tetap dari
usaha akan dikenakan tarif pajak sebesar 28 persen dari jumlah dana yang dilaporkan ke kantor
pajak.

 Tarif pajak penghasilan tidak memiliki NPWP


Seperti yang tertera pada Undang-Undang No 36 tahun 2008 Pasal 21 (ayat) 5a menjelaskan,
“Wajib pajak orang pribadi yang tidak memiliki NPWP tapi memperoleh penghasilan, akan
dikenakan pemotongan PPh 21 dengan tarif lebih tinggi 20% dibanding wajib pajak yang
memiliki NPWP.”
Dalam hal ini yang dimaksud wajib pajak yang tidak memiliki NPWP seperti pekerja lepas atau
freelance, maupun pensiunan yang tetap menerima penghasilan secara rutin setiap bulannya.

Anda mungkin juga menyukai