Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

AGAMA ISLAM
BAB V
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN SENI
DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5


1.RISKIA REPILDA

NPM: 171110017311048
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih dan maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahka rahmat hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang ilmu pengetahuan teknologi dan seni dalam
islam.

Makalah ini telah kami susun dengan dengan maksimal dan mendapat materi
dari beberapa sumber di internet sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagikan materinya lewat internet ataupun blog blog pribadi.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karna itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan
pengetahuan bagi para pembaca.

Samarinda, 1 oktober 2017


Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………..
PENTINGNYA IPTEKS DALAM KEHIDUPAN…………………………
KONSEP IPTEK DALAM ISLAM………………………………………...
SYARAT-SYARAT ILMU………………………………………………...
SUMBER ILMU PENGETAHUAN……………………………………….
INTEGRASI IAMN, ILMU DAN AMAL…………………………………
IPTEKS DAN PERADABAN……………………………………………...
KONSEP PENGEMBANGAN TEKNOLOGI…………………………….
ARAH PENGEMBANGAN TEKNOLOGI……………………………….
ILMU DAN TEKNOLOGI…………………………………………………
KEUTAMAAN ORANG BERIMAN DAN BERAMAL…………………
TANGGUNG JAWAB ILMUAN TERHADAP ALAM DAN LINGKUNGAN
KESENIAN…………………………………………………………………
KEMAJUAAN IPTEKS SEBAGAI TANTANGAN BAGI UMAT ISLAM
SIKAP MUSLIM MENGHADAPI KEMAJUAN IPTEKS………………..
KESIMPULAN………………………………………………………………
SARAN………………………………………………………………………
PENTINGNYA IPTEK DALAM KEHIDUPAN

Islam sangat memperhatikan pentingnya ilmu pengetahuan, teknologi dan


seni dalam kehidupan umat manusia. Martabat manusia disamping ditentukan oleh
peribadahannya kepada Allah, juga ditentukan oleh kemampuannya
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Bahkan di dalam Al
Qur’an sendiri Allah menyatakan, bahwa hanya orang yang berilmulah yang benar-
benar takut kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam QS. 35 (Fathir) : 28.
Allah akan mengangkat derajat dan martabat orang-orang yang beriman dan
berilmu, seperti difirmankan dalam QS. 58 (Al-Mujadilah) : 11.
Dialog antara Allah dengan Malaikat ketika Allah mau menciptakan
manusia, dan Malaikat mengatakan bahwa manusia akan berbuat kerusakan dan
menumpahkan darah, Allah membuktikan keunggulan manusia daripada malaikat
dengan kemampuan manusia menguasai ilmu melalui kemampuan menyebutkan
nama-nama. Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam praktiknya mampu
mengangkat harkat dan martabat manusia, karena melalui ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni manusia mampu melakukan eksplorasi kekayaan alam yang
disediakan oleh Allah. Karena itu dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, nilai-nilai Islam tidak boleh diabaikan agar hasil yang diperoleh
memberikan kemanfaatan sesuai dengan fitrah hidup manusia.
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki
arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Islam memberi warna
khas corak peradaban yang diwariskan Romawi-Yunani yang pernah Berjaya
selama satu millenium sebelumnya. Walaupun pada awalnya karakteristik ini tidak
mudah bekerja, karena pengaruh peradaban Hellenisme yang begitu kuat, namun
dalam waktu yang tidak begitu panjang akhirnya kaum muslimin dapat memainkan
sendiri peran peradabannya yang unik selama beberapa abad. Ilmu dalam Islam
berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah SWT
sebagaimana seni Islam murni yang melahirkan bentuk plastis yang dapat
membuat orang merenungkan Keesaan Ilahi, begitu pula semua ilmu yang pantas
disebut bersifat islami menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari
segala yang ada. Dengan merenungkan kesatupaduan alam orang dapat menuju kea
rah Keagungan dan Keesaan Ilahi.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus untuk menjalankan dan
menyebarkan risalah-nya, sumber-sumber bagi dunia ilmu pengetahuan hanyalah
pengembaraan akal yang dikuasai oleh naluri dan berbagai nafsu manusia. Dengan
berbekal hal ini manusia mengembangkan pemikiran induktifnya dan kemudian
melahirkan karya-karya yang dianggap besar pada zamannya. Namun demikian
pengaruh-pengaruh pemikiran dan mitos masih saja bekerja dan tak melampaui
batas-batas yang telah digariskan.
Turunnya wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW membawa
semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan. Ditinjau dari peranan kewahyuan
dalam kehidupan manusia, sebenarnya apa yang terjadi pada diri beliau bukanlah
suatu hal yang baru. Para Nabi Allah yang sebelumnya pernah diutus ke berbagai
generasi manusia dalam suatu kurun waktu yang sangat panjang, namun keunikan
ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW membawa semangat baru,
memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-
sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intelektual-
induktif. Dijelaskan dalam QS. 41 (Fushilat) : 53.
Al Qur’an menganggap anfus (ego) dan afaak (dunia) sebagai sumber
pengetahuan. Tuhan menampakkan tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan
juga lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas karena ditimbang
dari berbagai sisi pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan pengembaraan
manusia terhadap seluruh potensi jiwa inteleknya yang atmosfernya telah dipenuhi
oleh nuansa wahyu Ilahi. Sedangkan Al Qur’an membimbing pengalaman lahir
manusia ke arah obyek alam dan sejarah.
Al Qur’an melihat tanda-tanda kebenaran dalam matahari, bulan,
pemanjangan bayang-bayang, pergantian siang dan malam, aneka macam warna
kulit dan bahasa manusia, dan peredaran sejarah di antara bangsa-bangsa.
Dinyatakan dalam QS. 3 (Ali Imran) : 140 dan QS. 2 (Al-Baqarah) : 164.
KONSEP IPTEK DALAM ISLAM

Berbagai definisi tentang sains, teknologi dan seni telah diberikan oleh para
filosuf, ilmuwan dan kebudayaan seolah-olah mereka mempunyai definisi masing-
masing sesuai dengan apa yang mereka senangi. Sains di Indonesia menjadi ilmu
pengetahuan, sedangkan dalam sudut pandang filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu
sangat berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui
manusia melalui tangkapan panca indera, intuisi dan firasat, sedangkan ilmu adalah
pengetahuan yang sudah diklasifikasi , di organisasi, di sistematisasi , dan di
interpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya,
dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan.
Karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai cirri kejelasan.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al Qur’an. Kata ini
digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan
sehingga memperoleh kejelasan.
Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang
kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai
spesialis, sedang orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut generalis.
Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang ditemukan orang
yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam .
Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut
pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsure budaya sebagai hasil
penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga
memiliki karakteristik, obyektif dan netral, dalam situasi tertentu teknologi tidak
netral karena memiliki potensi untuk merusak potensi kekuasaan. Disinilah letak
perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan
kesejahteraan bagi manusia, juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif
berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya
yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi dapat digunakan
untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan atau digunakan
untuk kehancuran manusia itu sendiri.
Seni adalah hasil ungkapan akal dengan segala prosesnya. Seni merupakan
ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut menjadi bagian dari budaya
manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan
kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian.
Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga
muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah
sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai Ketuhanan tidak akan abadi
karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya
tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus
bertambah.
Dalam pemikiran sekuler, perennial knowledge yang bersumber dari wahyu
Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu
dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam
wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan.
Memang demikian adanya karena hakikat agama adalah membimbing dan
mengarahkan akal.
SYARAT-SYARAT ILMU

Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan


meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam
[1]
manusia . Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti.
Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya[2].

Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi kedalam
hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku
manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku
manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab
pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi
menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat.

Syarat-syarat Ilmu

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana


seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah
sesuatu dapat disebut sebagai ilmu[4]. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak
terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.

1. Obyektif. Ilmu harus memiliki obyek kajian yang terdiri dari satu golongan
masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya
dari dalam. Obyeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih
harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji obyek, yang dicari adalah
kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan obyek, dan karenanya
disebut kebenaran obyektif; bukan subyektif berdasarkan subyek peneliti
atau subyek penunjang penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi
kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk
menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos”
yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang
digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan
suatu obyek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang
teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh,
menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat
menyangkut obyeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam
rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang
bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut
180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat.
Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang
dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat obyeknya adalah
tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam
ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
SUMBER-SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Secara umumnya, sumber ilmu pengetahuan adalah diperolehi melalui wahyu,
pancaindera, akal dan intuisi atau ilham.

Wahyu

Sumber pengetahuan yang disebut “ wahyu” identik dengan agama atau


kepercayaan yang sifatnya mistis. Ia merupakan pengetahuan yang bersumber dari
tuhan melalui hambanya yang terpilih untuk menyampaikan nabi dan rosul.
Melalui wahyu atau agama, manusia diajarkan tentang sejumlah penegetahuan.
Baik yang terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia.[1]

Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan tuhan kepada manusia.


Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang di utusnya sepanjang zaman.
Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang
terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat
trasendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di
akherat nanti. Pengetahuan ini didasarkan pada kepercayaan kepada tuhan yang
merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan
kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari
penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan adalah titik tolak dalam agama. Suatu
pernyataan harus dipercaya dahulu utuk dapat diterima, pernyataan ini bisa saja
selanjutnya dikaji dengan metode lain.

Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataaan yang


terkandung didalamnya bersifat konsisten atau tidak. Dipihak lain secara empiris
bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak.
Singkatnya agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengajian selanjutnya
kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain seperti ilmu
perumpamaannya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui
proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendiria semula.

Pancaindera

Semua pancaindera seperti sentuhan, ciuman, penglihatan, pendengaran dan deria


rasa merupakan seumber pengetahuan yang utama dan amat berguna bagi manusia
untuk berinteraksi dengan alam sekelilingnya dengan mudah dan betul. Kelima-
lima pancaindera ini merupakan satu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
melalui beberapa percubaan dan pengalaman yang berulang-ulang. Bagaimanapun
kebenaran yang diperolehi tidak semestinya selalu betul dan tepat. Pancaindera
kadangkala di dalam keadaan tertentu gagal memberikan gambaran atau
penglihatan umpamanya matahari kelihatan kecil oleh mata sedangkan
kenyataannya adalah sebaliknya.[2]

Akal

Akal adalah merupakan sumber utama pengetahuan manusia, malah perbezaan


antara manusia dan haiwan adalah melalui hasil tamadun yang diusahakan oleh
manusia berpunca dari pemikiran akal manusia yang kreatif. Dengan akal manusia
dapat menimbang dan membezakan antara yang baik dan buruk, walaupun
mungkin ianya tidak bersifat kebenaran secara mutlak namun ianya memadai
untuk mengatasi masalah kehidupan seharian. Bagaimanapun Allah s.w.t
menyuruh manusia menggunakan semaksima mungkin kedua-dua daya akal dan
pancaindera yang dianugerahkan kepadanya agar dapat sampai kepada
pengetahuan sahih dan kebenaran yang tidak menyesatkan. Al-Quran banyak
menyebut seruan serta galakan daripada Allah s.w.t agar manusia dapat
memerhatikan alam sekeliling mereka dengan akal dan pancaindera bagi mencari
kebenaran yang hakiki.

Intuisi atau Ilham

Intuisi atau ilham juga boleh menjadi sumber pengetahuan manusia yang amat
berguna. Ianya merupakan pengetahuan yang diperolehi tanpa melalui proses
pemikiran yang tertentu. Contohnya seseorang yang mempunyai masalah yang
sedang menumpukan pemikiran nya terhadap penyelesaian masalah tersebut, tiba-
tiba menjadi jalan penyelesaian tanpa perlu berfikir panjang seolah-olah kebenaran
yang dicari datang sendiri. Dalam Islam ilham ini boleh dikenali dengan istilah
"firasat" atau pun pandangan bashirah (tembus) yang dikurniakan oleh Allah
kepada para Ulama.[3]

Walaupun begitu, ada juga di kalangan sarjana yang berpendapat bahawa sumber
ilmu itu datangnya juga daripada sumber lisan dan tulisan serta kajian sejarah. Ilmu
yang diperolehi melalui sumber lisan wujud dalam sistem pendidikan secara tidak
formal seperti ilmu pertukangan dan sebagainya yang diperolehi melalui warisan
secara tidak langsung daripada keluarga atau masyarakat. Pengajaran-pengajaran
secara lisan daripada tokoh-tokoh ilmu juga dianggap sebagai sumber lisan. Ilmu
yang sumbernya dari tulisan dapat dilihat melalui ilmu perubatan, matematik, dan
undang-undang. Sementara ilmu yang diperolehi daripada kajian sejarah pula dapat
dilihat melalui kajian-kajian dan penulisan-penulisan yang khusus tentang
peristiwa sejarah yang telah berlaku.
Hati (Fuad)

Kata fu`ad dan yang seakar kata dengannya tersebar dalam 16 ayat. Semuanya
dalam bentuk kata benda, yakni al-fu`ad dan al-af`idah. Mahmud Yunus
mengartikannya sebagai hati atau akal. Kedua kata ini seakar dengan fā`idah
(jamak: fawā`id) artinya faedah atau guna. Makna yang dapat ditarik dari
penggunaan Al-Qur’an terhadap kata al-fu`ad dan al-af`idah adalah bahwa al-
fu`ad memiliki fungsi akal (memahami, mengerti), sama dengan al-qalb. Dalam
surat Yusuf/12: 120 disebutkan yang artinya

“Dan semua kisah-kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad),


agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan
kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.”

Secara tekstual, Allah menceritakan, yang bermakna Nabi Saw mendengarkan


kisah-kisah Rasul terdahulu. Lalu dengan kisah-kisah itu menjadi kuat fu`ad (hati)
Nabi. Dengan al-fu’ad itu berarti Nabi mendapatkan makna atau hikmah sejarah.

Dalam ayat lain disebutkan yang artinya

“Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sungguh hampir saja dia menyatakan
(rahasia tentang Musa), seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia
termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah)”.

Makna al-fuad dalam ayat terakhir juga sama dengan makna al-fuad pada ayat
sebelumnya. Makna yang sama juga dinyatakan oleh Allah ketika menjelaskan
bahwa hati Nabi Saw tidak mendustakan apa yang ia lihat oleh beliau ketika Jibril
mendekat kepadanya untuk menyampaikan wahyu.(An-Najm/53: 1-19).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-fu`ad merupakan
sentral dan pengendali bagi aktifitas al-‘aql dan al-qalb dalam menetapkan
pengetahuan yang benar, baik dan berguna bagi manusia.

Secara umum, bagi Al-Qur`an indera dalam dan luar manusia seperti al-‘aql, al-
qalb, al-fu’ad, al-sam’, al-absar adalah alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Dan obyek pengetahuan adalah ayat-ayat Allah baik yang qauliyah/tanziliyah
maupun yang kauniyah. Berbeda sekali dengan perspektif Barat yang memandang
bahwa akal dan indera sebagai fakultas yang memberi manusia pengetahuan.
Hemat penulis, Barat berpandangan demikian karena hirarki pengetahuan mereka
hanya berhenti pada tataran empirikal. Asumsi-asumsi teologis-metafisik telah
terputus dari epistemologi keilmuan Barat, sejalan dengan pandangan humanis
mereka yang sekular-ateistik.[4]
INTEGRASI IMAN, ILMU, DAN AMAL

Dalam pandangan islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan


seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi kedalam
suatu sistem yang disebut dinul islam. Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok,
yaitu akidah, syari’ah dan akhlak, dengan kata lain Iman, Ilmu dan Amal shaleh.
Sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran yang artinya :

“Tidakkah kamu perhatikan Allah telah membuat perumpamaan kalimat yg


baik(Dinul Islam) seperti sebatang pohon yg baik,akarnya kokoh(menghujam ke
bumi) dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu mengeluarkan buahnya setiap
musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan – perumpamaan itu
agar manusia selalu ingat" ( QS : 14 ;24-25).

Ayat diatas mengindentikkan bahwa Iman adalah akar,Ilmu adalah pohon yg


mengeluarkan dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan.Sedangkan Amal ibarat
buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan seni. Ipteks dikembangkan diatas
nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal saleh bukan kerusakan alam.

Islam adalah agama wahyu yang mengatur sistem kehidupan yang paripurna.
Keparipurnaannya terletak pada tiga aspek yaitu : aspek Aqidah, aspek ibadah dan
aspek akhlak. Meskipun diakui aspek pertama sangat menentukan,tanpaintegritas
kedua aspek berikutnya dalam perilaku kehidupan muslim, maka makna realitas
kesempurnaan Islam menjadi kurang utuh, bahkan diduga keras akan
mengakibatkan degradasi keimanan pada diri muslim, sebab eksistensi prilaku
lahiriyah seseorang muslim adalah perlambang batinnya.
Keutuhan ketiga aspek tersebut dalam pribadi Muslim sekaligus merealisasikan
tujuan Islam sebagai agama pembawa kedamaian, ketentraman dan keselamatan.
Sebaliknya pengabaian salah satu aspek akan mengakibatkan kerusakan dan
kehancuran

Agama (Iman) berfungsi untuk memberikan arah bagi seorang ilmuwan untuk
mengamalkan Ilmunya. Dengan didasari oleh keimanan yang kuat, pengembangan
ilmu dan teknologi akan selalu dapat dikontrol beradapada jalur yang benar.
Sebaliknya, tampa dasar keimanan ilmu dan teknologi dapat disalahgunakan
sehingga mengakibatkan kehancuran orang lain dan lingkungan.
IPTEK DAN PERADABAN

A. Penyikapan terhadap Perkembangan IPTEK

Setiap manusia diberikan hidayah dari Allah swt berupa “alat” untuk
mencapai dan membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah (1) indera, untuk
menangkap kebenaran fisik, (2) naluri, untuk mempertahankan hidup dan
kelangsungan hidup manusia secara probadi maupun sosial, (3) pikiran dan
atau kemampuan rasional yang mampu mengembangkan kemampuan tiga
jenis pengetahuan akali (pengetahuan biasa, ilmiah dan filsafi). Akal juga
merupakan penghantar untuk menuju kebenaran tertinggi, (4) imajinasi, daya
khayal yang mampu menghasilkan kreativitas dan menyempurnakan
pengetahuannya, (5) hati nurani, suatu kemampuan manusia untuk dapat
menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk yang harus
bermoral.

Dalam menghadapi perkembangan budaya manusia dengan perkembangan


IPTEK yang sangat pesat, dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara
sistem nilai dan norma-norma Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut
Mehdi Ghulsyani (1995), dalam menghadapi perkembangan IPTEK ilmuwan
muslim dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok; (1) Kelompok yang
menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-
hasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Quran yang sesuai; (2)
Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha juga
mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen
yang tidak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam dan
berusaha membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-
Faruqi yang mengintrodusir istilah “islamisasi ilmu pengetahuan”. Dalam
konsep Islam pada dasarnya tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu
agama dan ilmu non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang
dikembangkan manusia merupakan “jalan” untuk menemukan kebenaran
Allah itu sendiri. Sehingga IPTEK menurut Islam haruslah bermakna ibadah.
Yang dikembangkan dalam budaya Islam adalah bentuk-bentuk IPTEK yang
mampu mengantarkan manusia meningkatkan derajat spiritialitas, martabat
manusia secara alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam semesta, bahkan
membawa manusia ketingkat yang lebih rendah martabatnya.

Dari uraian di atas “hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari


yang islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan
martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah swt.
Kebenaran IPTEK menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya
IPTEK itu sendiri. IPTEK akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada
kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya, (2) dapat membantu umat
merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik), (3) dapat memberikan pedoman
bagi sesama, (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam
sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung
manfaat dalam arti luas.

B. Keselarasan IMTAQ dan IPTEK

“Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin
menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-
duanya juga harus dengan ilmu” (Al-Hadist).

Perubahan lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak


globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus
diakui telah memberikan kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan
kebutuhan hidup manusia.

Di sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku


khususnya para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya
kehidupan baru yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas.
Semuanya ini menuntut perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya
guru, yang kerap bersentuhan langsung dengan siswa.

Dari sisi positif, perkembangan iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat
pada sebagian pelajar kita akan pentingnya memiliki keahlian dan
keterampilan. Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang
lebih baik, dalam rangka mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai
era informasi dan era bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah
memunculkan sikap optimis, generasi pelajar kita umumya telah memiliki
kesiapan dalam menghadapi perubahan itu.

Don Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital (1999), telah melakukan


survei terhadap para remaja di berbagai negara. Ia menyimpulkan, ada
sepuluh ciri dari generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut. Ciri-ciri
itu, para remaja umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tak
terbatas. Bergaul sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas
berekspresi, hidup didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga
inovatif, bersikap lebih dewasa, investigative arahnya pada how use
something as good as possible bukan how does it work. Mereka pemikir cepat
(fast thinker), peka dan kritis terutama pada informasi palsu, serta cek ricek
menjadi keharusan bagi mereka.

Sikap optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi
dengan memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual
keagamaan dan aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai keselarasan
pemenuhan kebutuhan otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran
pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan
kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga
kelak di akhirat.

Jika hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar
dari kemungkinan melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan
merugikan masa depannya serta memperburuk citra kepelajarannya. Amatilah
pesta tahunan pasca ujian nasional, yang kerap dipertontonkan secara vulgar
oleh sebagian para pelajar. Itulah salah satu contoh potret buram kondisi
sebagian komunitas pelajar kita saat ini.

Untuk itu, komponen penting yang terlibat dalam pembinaan keimanan dan
ketakwaan (imtak) serta akhlak siswa di sekolah adalah guru. Kendati faktor
lain ikut mempengaruhi, tapi dalam pembinaan siswa harus diakui guru faktor
paling dominan. Ia ujung tombak dan garda terdepan, yang memberi pengaruh
kuat pada pembentukan karakter siswa.

Kepada guru harapan tercapainya tujuan pendidikan nasional disandarkan. Ini


sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Intinya, para pelajar kita disiapkan agar
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Sekaligus jadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan sebenarnya mengisyaratkan, proses dan hasil harus


mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan
intelektual dan aspek spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara
dikhotomis. Namun praktiknya, aspek spiritual seringkali hanya bertumpu
pada peran guru agama. Ini dirasakan cukup berat, sehingga pengembangan
kedua aspek itu tidak berproses secara simultan.

Upaya melibatkan semua guru mata ajar agar menyisipkan unsur keimanan
dan ketakwaan (imtak) pada setiap pokok bahasan yang diajarkan,
sesungguhnya telah digagas oleh pihak Departeman Pendidikan Nasional
maupun Departemen Agama.

Survei membuktikan, mengintegrasikan unsur ‘imtaq’ pada mata ajar selain


pendidikan agama adalah sesuatu yang mungkin. Namun dalam praktiknya,
target kurikulum yang menjadi beban setiap guru yang harus tuntas serta
pemahaman yang berbeda dalam menyikapi muatan-muatan imtaq yang harus
disampaikan, menyebabkan keinginan menyisipkan unsur imtak menjadi
terabaikan.

Memang tak ada sanksi apapun jika seorang guru selain guru agama tidak
menyisipkan unsur imtaq pada pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Jujur saja guru umumnya takut salah jika berbicara masalah agama, mereka
mencari aman hanya mengajarkan apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Sesungguhnya ia bukan sekadar tanggung jawab guru agama, tapi tanggung


jawab semuanya. Dalam kacamata Islam, kewajiban menyampaikan
kebenaran agama kewajiban setiap muslim yang mengaku beriman kepada
Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

C. Islamisasi IPTEK

Sains adalah sarana pemecahan masalah mendasar setiap peradaban. Ia adalah


ungkapan fisik dari world view di mana dia dilahirkan. Maka kita bisa
memahami mengapa di Jepang yang kabarnya sangat menghargai nilai waktu
demikian pesat berkembang budaya “pachinko” dan game. Tentu disebabkan
mereka tak beriman akan kehidupan setelah mati, dan tak mempunyai batasan
tentang hiburan.

Kini umat Islam hanya sebagai konsumen sains yang ada sekarang. Kalaupun
mereka ikut berperan di dalamnya, maka – secara umum — mereka tetap di
bawah kendali pencetus sains tersebut. Ilmuwan-ilmuwan muslim masih sulit
menghasilkan teknologi-teknologi eksak — apalagi non-eksak — untuk
menopang kepentingan khusus umat Islam.
Dunia Islam mulai bangkit (kembali) memikirkan kedudukan sains dalam
Islam pada dekade 70-an. Pada 1976 dilangsungkan seminar internasional
pendidikan Islam di Jedah. Dan semakin ramai diseminarkan di tahun 80-an.

Secara umum, dikenal 4 kategori pendekatan sains Islam:

1. I’jazul Quran (mukjizat al-Quran).

I’jazul Quran dipelopori Maurice Bucaille yang sempat “boom” dengan


bukunya “La Bible, le Coran et la Science” (edisi Indonesia: “Bibel, Quran
dan Sains Modern“).

Pendekatannya adalah mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat


Quran. Hal ini kemudian banyak dikritik, lantaran penemuan ilmiah tidak
dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap
Quran sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap
Quran juga bisa berubah.

2. Islamization Disciplines.

Yakni membandingkan sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian


melahirkan text-book orisinil dari ilmuwan muslim. Penggagas utamanya
Ismail Raji al-Faruqi, dalam bukunya yang terkenal, Islamization of
Knowledge, 1982. Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali
dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic
Thought (IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif
menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan.

Rencana Islamisasi pengetahuan al-Faruqi bertujuan:

1. Penguasaan disiplin ilmu modern.

2. Penguaasaan warisan Islam.

3. Penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern.

4. Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan


Islam dan pengetahuan modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat
manusia seluruhnya).

5. Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju


pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah.

6. Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui: penulisan kembali disiplin


ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.

3. Membangun sains pada pemerintahan Islami.

Ide ini terutama pada proses pemanfaatan sains. “Dalam lingkungan Islam
pastilah sains tunduk pada tujuan mulia.” Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi,
memasukkan Abdus Salam dan Habibie pada kelompok ini.

4. Menggali epistimologi1 sains Islam (murni).

Epistimologi sains Islam murni digali dari pandangan dunia dunia Islam, dan
dari sinilah dibangun teknologi dan peradaban Islam. Dipelopori oleh
Ziauddin Sardar, dalam bukunya: “Islamic Futures: “The Shape of Ideas to
Come”” (1985), edisi Indonesia: “Masa Depan Islam”, Pustaka, 1987).

Sardar mengkritik ide Al-Faruqi dengan pemikiran:

1. Karena sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi dan
politik yang menguasai dunia.

2. Tidak ada kegiatan manusia yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak:


“psikologi”, “sosiologi”, dan ilmu politik.

3. Menerima bagian-bagian disipliner pengetahuan yang dilahirkan dari


epistimologi Barat berarti menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah
daripada peradaban Barat. 1Epistimologi: teori pengetahuan, titik dari setiap
pandangan dunia. Pokok pertanyaannya: “Apa yang dapat diketahui dan
bagaimana kita mengetahuinya.

Penemuan kembali sifat dan gaya sains Islam di zaman sekarang merupakan
salah satu tantangan paling menarik dan penting, karena kemunculan
peradaban muslim yang mandiri di masa akan datang tergantung pada cara
masyarakat muslim masa kini menangani hal ini.

Dalam seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai-Nilai” di Stocholm, 1981,


dengan bantuan International Federation of Institutes of Advance Study
(IFIAS), dikemukakan 10 konsep Islam yang diharapkan dapat dipakai dalam
meneliti sains modern dalam rangka membentuk cita-cita Muslim. Kesepuluh
konsep ini adalah:

Paradigma Dasar:

(1) Tauhid — meyakini hanya ada 1 Tuhan, dan kebenaran itu dari-Nya.

(2) Khilafah — kami berada di bumi sebagai wakil Allah — segalanya sesuai
keinginan-Nya.

(3) Ibadah (pemujaan) — keseluruhan hidup manusia harus selaras dengan


ridha Allah, tidak serupa kaum Syu’aib yang memelopori akar sekularisme:
“Apa hubungan sholat dan berat timbangan (dalam dagang)”.

Sarana:

(4) `Ilm — tidak menghentikan pencarian ilmu untuk hal-hal yang bersifat
material, tapi juga metafisme, semisal diuraikan Yusuf Qardhawi dalam
“Sunnah dan Ilmu Pengetahuan”.

Penuntun:
(5) Halal (diizinkan).

(6) `Adl (keadilan) — semua sains bisa berpijak pada nilai ini: janganlah
kebenciankamu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. (Q.S.
Al-Maidah 5 : 8). Keadilan yang menebarkan rahmatan lil alamin, termasuk
kepada hewan, misalnya: menajamkan pisau sembelihan.

(7) Istishlah (kepentingan umum).

Pembatas:

(8) Haram (dilarang).

(9) Zhulm (melampaui batas).

(10) Dziya’ (pemborosan) — “Janganlah boros, meskipun berwudhu dengan


air laut”.

Dalam membangun dan mengejar perbaikan iptek dunia Islam, Sardar


mengajukan 2 pemikiran dasar:

1. Menganalisa kebutuhan sosial masyarakat muslim sendiri, dan dari sinilah


dirancang teknologi yang sesuai.

2. Teknologi ini dikembangkan dalam kerangka pandangan-dunia muslim.


Kenyataannya, sangat tidak mudah bekerja di luar paradigma yang dominan,
lantaran kita masih terikat dan terdikte dengan disiplin-disiplin ilmu yang
dicetuskan dari, oleh dan untuk Barat.

Namun paling tidak ada dua agenda praktis yang dapat dijadikan landasan:
jangka pendek: membekali ilmuwan Islam dengan syakhshiyah Islamiyah,
dan jangka panjang: perumusan kurikulum pendidikan Islam yang holistik.

Program perumusan kurikulum pendidikan Islam ini sudah mulai terlihat


bentuknya di Indonesia, dengan lahirnya banyak sekolah sekolah Islam.
Secara umum garis besarnya berlandaskan: SD: habitual; SMP: habitual
dengan konsep; SMU: habitual dengan konsep dan ideologi. Diharapkan, anak
anak yang dididik di sini, pada saat memasuki universitas, sudah siap
bertarung secara ideologi.
KONSEP PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi telah muncul sejak


manusia lahir, hal ini dikarenakan manusia diberi akal dan kemampuan berfikir
dari Allah SWT. Teknologi dan Ilmu Pengetahuan dapat dibilang sebagai alat
pembentuk budaya dalam kehidupan khalayak ramai karena peranan penting yang
dimiliki oleh keduanya.
Dalam paradigma islam, adanya pemahaman bahwa perkembangan IPTEK
berkaitan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Paradigma Islam inilah yang
mencetak para cendikiawan yang unggul dalam bidang IPTEK dan soleh sehingga
menciptakan kejayaan Islam pada tahun 700 M -1400 M. Pada masa-masa itu,
muncul tokoh-tokoh yang sangat terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, seperti Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al Khawarzmi di bidang
matematika, Jabir bin Hayyan di bidang Kimia, Al-Battani di bidang astronomi,
dan banyak tokoh lainnya.

Konsep umum dari munculnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi awal


mulanya adalah untuk memudahkan kehidupan manusia dan untuk menjelaskan
fenonema alam yang tadinya tidak dapat dijelaskan sehingga manusia memiliki
tingkat pemahaman yang lebih maju sekaligus komplek mengenai alam
semesta. Arah Pengembangan Teknologi untuk memperoleh kemakmuran dan
kesejahteraan di dunia sebagai jembatan untuk mencari keridhaan Allah sehingga
terwujud kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Peran Islam dalam perkembangan
IPTEK adalah menjadikan paradigma Islam sebagai pandangan utama dan
menjadikan syariah Islam sebagai dasar dalam penerapan dan pemanfaatan konsep
IPTEK.
Implementasi dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berada di tangan
manusia dan mampu memiliki dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan
bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa
ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang
berakibat kehancuran alam semesta.
Dalam Islam pun diajarkan untuk menuntut ilmu yang mengindikasikan
bahwa selama ilmu tersebut bermanfaat bagi umatnya(dalam konteks positif) maka
diwajibkan bagi umatnya untuk mempelajarinya, hal ini juga sebagai wujud syukur
akan Allah atas kemampuan akal dan kemampuan berfikir yang diberikan.

Pengetahuan dalam pandangan Islam, baik yang diperoleh dengan ilmu


pengetahuan maupun yang berasal dari wahyu Illahi melalui agama, keduanya
berasal dan bersumber dari Allah s.w.t., pengetahuan apapun yang dimiliki
manusia, semua bersal dari karunia Allah s.w.t. hal ini bisa dipahami dari ayat al-
Quran yang menjelaskan firman Allah, ketika Allah s.w.t. mengajarkan kepada
Adam berbagai macam ilmu pengetahuan dialam semesta (QS. Al-Baqarah,
2:31)
31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"

Apabila IPTEK bersumber yang satu yakni Allah s.w.t. tentunya tidak ada
pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan, keduanya bersifat
komplementeri (saling melengkapi) dan tidak perlu dipertenangkan.
Selain itu, Agama Islam juga mewajibkan bagi umatnya untuk
mengamalkan ilmu yang mereka peroleh untuk kebaikan di dunia, yang
diimplementasikan dalam bentuk teknologi serta pengajaran akan ilmu tersebut.
Agama Islam sebagai agama yang sejalan atas wahyu dan akalnya dapat dibuktikan
dalam ayat dan tafsir berikut ini:
o Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk memikirkan alam semesta (QS
3/190-192)
o Akal dan pikiran merupakan kelebihan dan keistimewaan yang diberikan oleh
Allah kepada manusia sebagai bekal untuk hidup di dunia agar manusia dapat
memahami dan menyelidiki elemen-elemen yang terdapat di alam serta
memanfaatkannya untuk kesejahteraan mereka (Q.S. Al Isra 70).
o Manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di muka Bumi dengan
kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan makhluk ciptaan Allah lainnya di alam
ini (Q.S. Ar Ra’du 2). Alam dengan segala manfaat yang dapat diperoleh darinya
harus tunduk dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah
manusia. Manusia jangan sampai “ditundukkan” oleh alam melalui nilai-nilai
materialistik dan keserakahan karena sesungguhnya hal tersebut melanggar kodrat
manusia yang diberikan oleh Allah.

Pemanfaatan konsep IPTEK akan menjadi lebih berkah dan bermanfaat


dengan didasari dengan keimanan dan ketakwaan.

Terhambatnya kemajuan umat Islam di bidang ilmu pengetahuan dan


teknologi saat ini disebabkan umat Islam tidak memahami konsep dan
mengoptimalkan fungsinya sebagai khalifah di Bumi.
Seiring denga berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah diturunkan
Allah s.w.t. dari masa nabi Adam hingga sekarang, sudah banyak sekali ilmu
pengetahuan yang dapat kita peroleh. Dan denga ilmu pengetahuan tersebut
harusnya kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang buruk, serta
mana hal yang harus kita lakukan dan mana hal yang harus kita hindarkan.
ARAH PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

Nabi bersabda : “Sesungguhnya segala amalan itu hendaklah dengan niat


(HR. Bukhari Muslim). Yang dimaksud dengan niat menurut syara’, yaitu
kehendak atau sengaja melakukan pekerjaan atau amal karena tunduk kepada
hukum Allah SWT. Dinyatakan dalam QS. 98 (Al-Bayinah) : 5.

Dalam segala amalan atau memulai pekerjaan Islam mengajarkan selalu


dengan basmallah (dengan nama Allah), karena dalam Islam segala amal
perbuatan (manusia muslim) senantiasa dikaitkan dengan menuntutnridha Allah.
Dalam masalah ibadah senantiasa memperhatikan petunjuk-petunjuk yang sudah
baku dari Rasulullah. Tapi dalam menghadapi dunia yang terus berkembang ini,
manusia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk dikembangkan dengan
memperhatikan batasan-batasan yang telah ditentukan. Motivasi yang menjadi
pijakan seorang mukmin dalam melakukan sesuatu itu disebut niat.

Hasil suatu perbuatan sangat ditentukan oleh niat. Maka dalam rangka ini Al
Qur’an memberikan arahan, jika seseorang ingin pahala di akhirat, niscaya akan
ditambah pahalanya, tapi kalau ia hanya ingin balasan di dunia ini saja, maka akan
diberikan di sini, hanya di akhirat nanti ia tidak memperoleh bagian apapun. Ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah lapangan kegiatan yang terus menerus
berkembang dan perlu dikembangkan karena mempunyai manfaat sebagai
penunjang kehidupan manusia. Dengan adanya teknologi begitu banyak segi
kehidupan manusia yang di permudah.

Berpijak kepada dasar dan motif alam pencarian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bagi umat muslim tak lain kecuali untuk memperoleh
kemakmuran dan kesejahteraan di dunia sebagai jembatan untuk mencari
keridhaan Allah. Sehingga dapat dicapai kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat
kelak.
ILMU DAN TEKNOLOGI

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menurut pandangan Al-


Qur’an mengundang kita untuk menengok sekian banyak ayat Al-Qur’an yang
berbicara tentang alam raya. Menurut ulama terdapat 750 ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan tentang alam beserta fenomenanya dan memerintahkan manusia untuk
mengetahui dan memanfaatkannya. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah
ayat 31 yang artinya :“Dan dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
semuanya, kemudian diperintahkan kepada malaikat-malaikat, seraya berfirman
“Sebutkan kepadaku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar”. Dari ayat di
atas yang dimaksud nama-nama adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti
manusia berpotensi mengetahui rahasia alam semesta. Adanya potensi tersebut,
dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam untuk
membangkang pada perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan
dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu
menghantarkan pada manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam itu merupakan
buah dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an memerintahkan manusia
untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia
biasa, Rasul Allah Muhammad SAW pun diperintahkan agar berusaha dan berdoa
agar selalu ditambah pengetahuannya (QS Yusuf : 72).

Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan teknologi
dengan memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Karena itu,
laju IPTEK memang tidak dapat dibendung, hanya saja mabusia dapat berusaha
mengarahkan diri agar tidak diperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta
dan IPTEK yang dapat membahayakan dirinya dan yang lainnya.
KEUTAMAAN ORANG BERIMAN DAN BERAMAL

Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal shalih apabila perbuatan
tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya
pengembangan iptek yang lepas dari keimanan dan ketaqwaan tidak akan bernilai
ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam
lingkungannya, bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.


Kesempurnaannya karena dibekali seperangkat potensi. Potensi yang paling utama
adalah akal. Akal berfungsi untuk berfikir, hasil pemikirannya adalah ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, akan memberikan jaminan
kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi lingkungannya. Allah
berjanji dalam QS. 58 (Al-Mujadalah): 11.

Menurut Al Ghazali, bahwa makhluk yang paling mulia adalah manusia,


sedangkan sesuatu yang paling mulia pada diri manusia adalah hatinya. Tugas
utama pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan dan menggiring peserta
didik agar hatinya selalu dekat kepada Allah SWT melalui pengembangan ilmu
pengetahuan. Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang amat mulia yang
dapat menentukan masa depan seseorang. Karena itu para pendidik akan selalu
dikenang dalam hati anak didiknya. Al Ghazali memberikan argumentasi yang
kuat, baik berdasarkan Al Qur’an, Al-Sunnah maupun argumentasi secara rasional.

Dalam bagian awal kitab Ihya Ulumuddin , Al Ghazali memulainya dengan


menerangkan tentang keutamaan ilmu dan pembelajaran. Ia menggambarkan
kedudukan tinggi bagi para ahli ilmu dan para ulama dengan menyetir ayat-ayat Al
Qur’an dan sabda Rasulullah SAW serta perkataan orang-orang dan ahli.
Pandangannya tentang hal-hal di atas sangat kuat. Ini terbukti dengan seringnya ia
menerangkan kedudukan dan keutamaan ulama dan guru dalam berbagai karya
monumentalnya. Sebagai contoh, ia pernah mengatakan bahwa makhluk yang
mulia di atas bumi ini adalah manusia. Sedangkan bagian tubuh manusia yang
paling mulia adalah hatinya.

Guru sibuk menyempurnakan, mengagungkan, mensucikannya serta


menuntunnya agar selalu dekat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, mengajarkan
ilmu bukan hanya termasuk aspek ibadah kepada Allah belaka, melainkan juga
termasuk khalifah Allah SWT. Dikatakan termasuk khalifah Allah SWT karena
hati orang ’alim telah dibukakan oleh Allah SWT untuk menerima ilmu yang
merupakan sifat-Nya yang paling khusus. Orang ‘alim adalah bendaharawan yang
mengurusi khasanah Allah SWT yang paling berharga. Tidurnya orang ‘alim lebih
baik dari ibadahnya orang-orang bodoh.

Menjelaskana keutamaan-keutamaan orang yang berilmu, Al-Ghazali


mengatakan, barang siapa berilmu, membimbing manusia dan memanfaatkan
ilmunya bagi orang lain, bagaikan matahari, selain menerangi dirinya juga
menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kesturi yang harum dan menyebarkan
keharumannya kepada orang yang berpapasan dengannya.
TANGGUNG JAWAB ILMUWAN TERHADAP ALAM DAN
LINGKUNGAN

Ilmuwan merupakan sosok manusia yang diberikan kelebihan oleh Tuhan dalam
menguasai sebuah ilmu pengetahuan. Dari kelebihannya ini maka Tuhan
mengangkat harkat dan martabat ilmuan tersebut di tengah-tengah masyarakat,
bangsa dan Negara sehingga mereka disanjung dan dihormati serta menjadi sumber
solusi dari situasi-dan kondisi lingkungan hidup manusia.
Karena ilmuwan tersebut telah diberi penghargaan oleh Tuhan maka
peanaghargaan tersebut membawasa kedalam posisi yang tinggi disbanding dengan
manusia yang lain. Dialah menjadi wakil Tuhan di bumi untuk menjadikan
lingkungan hidup manusia terpelihara dan membawa kebaikan kepada manusia itu
sendiri. Dengan demikian dapta diartikan bahwa ilmuan dijadikan Tuhan sebagai
pemimmpin kelangsungan lingkungan hidup manusia di muka bumi ini.
Isu Ekologi (lingkungan hidup) adalah salah satu isu global diantara HAM.
Demokrasi, yang semakin kencang dengungannya. Menurut Prof. Sayed Hosein
Nasr dalam makalahnya Islam environmental crisis, krisis lingkungan dewasa ini
tidak hanya terdapat dalam negara-negara maju yang notabene sebagai pelopor
industrialisasi, tapi juga pada Negara-negara Islam. Bias disebut, polusi di Qairo
dan Teheran, erosi pada perbukitan di Yaman, hingga penggundulan hutan besar-
besaran di Malaysia dan Banglades (juga Indonesia). Bagi Nasr krisis lingkungan
hidup sekarang ini tidak bisa dibedakan lagi antara dunia islam dan non Islam.
Hal ini ditarik kesimpulan dari logika sederhana, pasti akan diperoleh jawaban
bahwa konsep Islam dan Barat (pelopor industrialisasi tanpa memperdulikan
lingkunga) tentang alam tidaklah berbeda. Karena dalam dunia Islam juga terjadi
pengrusakan alam seperti yang terjadi di Barat. Padahal kalau kita teliti lebih
dalam ada perbedaan esensial antara Barat dan Islam dalam memandang alam ini
yang membuat umat Islam menjadi tidak islami dalam berbuat dan memberlakukan
alam ini, meskipun demikian, Islam tetap hidup sebagai dorongan religius dan
spiritual yang kuat. Dan pandangannya tentang alam dan lingkungan hidup masih
tetap terhujam dalam pikiran dan jiwa umatnya. Adanya perjuangan umat Islam
yang satu perlima penduduk dunia adalah merealisasikan pandangan Islam tersebut
agar membumi, dengan begitu keselarasan lingkungan hidup dapat dirasakan.
Kesenjangan antara cita Islam dan fakta perbuatan kaum muslimin dalam masalah
lingkungan harus segera dihapuskan sehingga pada akhirnya, menjadi muslim
sekaligus pendekar lingkungan hidup.

Memelihara Lingkungan
Krisis ingkungan ldari sudut teologis (metafisik) bukanlah hanya persoalan politik
dan ekonomi belaka. Namum ada persoalan mendasar yang berhubungan dengan
keyakinan yang menjadi dasar tindakan dan prilaku seseorang. Krisis lingkungan
yang sekarang menjadi problem serius manusia pertama kali disulut oleh
modernisasi (era Industrialisasi) Yang terjadi di Barat. Sedangkanm dunia timur
hanya mengekor jalan yang telah dilaluai Barat, meski sebenarnya jalan itu telah
bertentangan dengan pandangan filsafat mereka sendiri.
Modernisasi Barat yang membuahkan konsumerisme, individualisme, hedonisme,
adalah kelanjutan dari filsafat materialisme yang mendasari bangunan
peradabannya. Dalam filsafat materialisme barat menempatkan esensi segala
sesuatu hanyalah pada materi semata : eksistensi manusia, tujuan hidupnya tidak
lebih hanya materi saja. tidak ada tempat lagi bagi nilai dan sesuatu yang
transendental dalam bangunan pemikiran dan peradaban yang dijungjung barat.
Hidup di dunia ini adalah senyatanya, dan tidak ada kehidupan lain selain dunia
ini. Bahkan selogan “Tuhan telah mati”adalah jargon resmi barat mengawali
modernisasi peradabannya. Akibat lanjut dari filsafat materialisme di atas adalah
pandangannya tentang manusia yang sangat ekstrim. Manusia adalah penguasa
tunggal (yang bebas, merdeka) di alam ini. Manusia tidak akan
mempertanggungjawabkan pekerjaannya selain pada dirinya sendiri karena tuhan
telah mati. Bagi mereka Tuhan adalah mitos yang hanya menakut-nakuti pikiran
manusia untuk berbuat bebas di alam ini. Juga dengan pandangannya bahwa
kehidupan hanya ada di dunia ini, membuat obsesi dan cita-cita mereka hanya
sebatas menikmati kelezatan materi yang ada di dunia. Maka terjadilah peradaban
barat yang memobilisasi masa untuk berebut kenikmatan duniawi tanpa
mempedulikan nilai-nilai transendental. Gaya hidup hedonisme, konsumerisme,
individualisme adalah anak sah dari pandangan hidup seperti di atas. Dari sinilah
akar terjadinya ekploitasi alam secara besar-besaran tanpa mesti memperhatikan
keseimbangan dan keselarasannaya. Terjadi kolonialisme yang dengan pongahnya
menghabisi sumber-sumber alam Negara jajahannya merupakan bukti nyata
keserakahan manusia yang dimasuki pandangan materilaisme.
Bagi Prof Sayyed Hossen Nasr, dengan pandangan barat bahwa manusia sebagai
pengusaha tunggal (tanpa kehadiran Tuhan) telah menjadikan manusia sewenang-
wenang dalam memperlakukan alam bagi seorang pelacur yang terus dieksploitir
tanpa memberikan imbalan yang layak.keserakahan dan kerakusan Barat telah
menghancurkan keseimbangan dan keselarasan alam. Hal di atas sangat berbeda
dengan pandangan Islam tentang alam . Bagi Prof , Fazrur Rahman membicarakan
alam dalam konsep Islam tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang Tuhan
dan manusia. Membahas salah satunya pasti akan menyeret tema lainnya dalam
pembicaraannya. Dalam Islam Tuhan (baca: Allah SWT) adalah pemilik tunggal
alam semesta, dimana manusia termasuk didalamnya. Namun begitu manusia
mempunyai kedudukan yang sangat unik dan khas dibandingkan makhluk-
makhluk Allah lainnya.
Manusia diberi akal pikiran dan nafsu, dimana tidak diberikan pada makhluk
lainnya. Dengan bekal akal pikiran itulah Allah memberikan mandat sebagai
khalifah di bumi agar mengurusi (mempergunakan dan memeliharanya) alam mini
sebaik baiknya sebagai mana temaktub dalam Al-Quran pada (Qs: 2:30; Qs:7:129;
Qs:27:62; Qs:35:39; Qs:38:26). Kewenangan manusia untuk mempergunakan alam
bukanlah hak mutlaknya tapi merupakan hak yang telah direkomendasikan oleh
Allah SWT. Dan suatu saat akan diminta pertanggungjawaban oleh pemilik
sejatinya. Oleh karenanya manusia berkewajiban memelihara keseimbangan dan
keselarasan alam agar tidak rusak seperti pertama kali Allah meminjamkan pada
manusia. Sebagai mana termaktub dalam Qs. Al-Qhashash (28) ayat 77 (“dan
carilah pada apa yang Allah karuniakan kepada kamu negeri akhirat, tetapi
janganlah engkau melupakan nasibmu di dunia ini. Berbuatlah kebaikan sebagai
mana Allah telah berbuat kebaikan kepada kamu; dan janganlah kamu berbuat
kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”).
Sebagai khalifah di bumi manusia sekaligus sebagai hamba Allah yang
berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya dengan menjalankan ajaran-ajaran yang
telah diturunkan kepada umat manusia.Untuk dapat beribadah dengan khusu dan
istiqamah (mantap dalam keimanan) manusia harus lebih mengenal dan memahami
Khaliknya. Dalam rangka mengenal dan memahami Allah itulah alam semesta
digunakan sebagai media untuk memngerti dan memahami rahasia Allah. Dzat
yang mutlak. Tentu bersama-sama dengan mengkaji dan memahami ayat-ayat yang
terdapat di dalam Al-Qur’an. Perpaduan anatara ayat kauniyah (alam semesta) dan
ayat Al-qur’an akan memmberikan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia
di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jadi dalam pandangan Islam alam semesta
mempunyai dua fungsi; pertama, untuk memenuhi kebutuhan manusia agar bisa
beribadah kepada Allah. Kedua, sebagai media untuk memahami kekuasaan,
kebesaran, dan keluasan dzat Allah.
Dengan dua peranan alam bagi manusia menurut konsep Islam inilah tindakan
eksploitasi alam secara brutal yang mengesampingkan keselarasan dan
keseimbangannya tidak bisa ditolerir ajaran Islam, dan krisis lingkungan yang
melanda dunia saat ini merupakan persoalan besar dalam memahami perannan
manusia sebagai khalifah sekaligus hamba Allah di bumi. Manusia telah
menjadikan dirinya sebagai raja yang mempunyai kekuasaan mutlak atas semesta.
Dan meniadakan pertanggungjawabannya nanti dihadapan Allah atas tindakannya
terhadap alam semesta.
Bagi seorang muslim menyelamatkan lingkungan hidup adalah merupakan
perintah agamanya, tidak hanya sekedar mencari legitimasi agama atas isu-isu
lingkungan hidup yang semakin keras dendangnya. Karena dengan lingkungan
yang sehatlah seorang muslim dapat melangsunglkan ibadah dan menjadikan alam
sebagai media mengenal dan memahami Allah, disamping kitab suci.
KESENIAN

Seni dalam Islam muncul seiring dengan diutusnya Rasulullah SAW. Hal ini
bisa kita jumpai dalam hadits nabawi yang diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah
masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi SAW. Ketika itu ada dua gadis disisi
Aisyah yang sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata:
“Apakah pantas ada seruling syetan dirumah Rosulullah?” kemudian Rosulullah
SAW. Menimpali : biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini
adalah hari raya”. Dimasa generasi tabi’in, teori musik juga dikenal dikalangan
kaum muslimin mereka mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari
bahasa Yunani dan Hindia. Diantara para ahli musik yang muncul dikala itu adalah
Ibnu Misyah (wafat tahun 705 M), Yusuf bin Sulaiman al-Khotib (wafat tahun 785
M), Kkhalil bin Ahmad yang telah mengarang buku teori musik mengenai not dan
irama. Perhatian cukup besar terhadap seni musik diberikan dimasa akhir Daulah
Umayyah, kemudian juga dimasa Daulah Abbasiah. Salah satu pendorong
didirikannya sekolah musik dimasa kekuasaan daulah Abbasiah karena keahlian
seni musik dan menyanyi merupakan salah satu syarat bagi pelayan (budak),
pengasuh, dayang-dayang di Istana dan di Rumah-rumah para pejabat. Meskipun
seni telah dikenal sejak awal kemunculan Islam, namun perdebatan mengenai
batasan-batasan yang membolehkan maupun tidak

membolehkan hingga saat ini masih terus tumbuh berkembang, seiring


dengan beragamnya alat musik yang diproduksi. Bahkan, pembahasan mengenai
hukum memperdagangkan alat-alat musik masih terus menjadi diskusi yang cukup
menarik, termasuk mengenai batasan-batasan yang diperbolehkan secara syar’i
dalam mengekspresikan seni. Pada kerajaan Islam, kesenian itu dengan segala
macam ragamnya dapat berkembang seluas-luasnya, bahkan khalifah atau raja-raja
Islam itulah pendorong utama dalam mendirikan masjid, bangunan-bangunan hasil
kesenian lainnya yang bernafaskan rasa keagamaan dan ketuhanan. Pemecahan
masalah fiqih dengan segala macam masalah khilafiahnya, telah menghisap kering
sebagian besar persediaan energi ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Islam
Indonesia. Oleh sebab itu walaupun berabad-abad lamanya suara adzan
berkumandang di angkasa Indonesia, namun soal kesenian belum mendapat tempat
sewajarnya, bahkan terkadang merupakan soal yang masih asing bagi kaum
muslimin

KEMAJUAN IPTEKS SEBAGAI TANTANGAN BAGI UMAT ISLAM

Di negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini
sudah lama digulirkan. Profesor B.J. Habibie, adalah orang pertama yang
menggagas integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain karena adanya problem
dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu
agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan
iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan
asas iman dan takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak
memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi
kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Kekhwatiran ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita
tidak cukup mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa
kepada Allah swt sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering
terjadi dan banyak dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat
terpelajar, bahkan mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut menyumbang dan
memberikan saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang.
Kenyataan ini menjadi salah satu catatan mengenai raport merah pendidikan
nasional kita. Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini
diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan
manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek
disertai oleh asas iman dan takwa kepada Allah swt. Sebaliknya, tanpa asas imtak,
iptek bisa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat
mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara
metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi.
Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah
menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik,
dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang
dianut oleh bangsa kita.
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti
(kebutuhan jasmani), tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi
(kebutuhan spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan
menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi
hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa
raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat.
Keempat, imtak menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar
manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi,
seperti harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal
mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman
dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak
menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu (Q.S. An-Nur:39).
Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat
sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita
meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-
akhirah) seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan kepada Tuhan (Q.S. Al-
Baqarah :201).
SIKAP MUSLIM MENGHADAPI KEMAJUAN IPTEKS

Sikap kita sebagai muslim dalam menanggapi IPTEK, tentunya kita harus
menanggapi dengan bijak. cara menaggapi IPTEK diantaranya :

Resesif, kita harus menerimanya dengan bijak. jangan sampai kita menolaknya
terhadap perkembangan IPTEK. Kemajuan IPTEK itu tidak bisa kita tolak.

Selektif, setelah menerima kita harus memilah dan memilih mana yang baik dan
mana yang tidak. Dengan dasar Al-Quran, hadits dan sunnah tentu kita bisa
melakukan hal ini.

Digesif, IPTEK itu perlu kita arahkan, tentunya untuk amal ma,ruf nahi munkar.

Adaftif, perlu juga kita sesuaikan dengan dengan jati diri kita sebagai muslim yang
pasti sesuai dengan dasar islam.

Transmitif, kembangkanlah IPTEK untuk menyiarkan agama islam. Sebagai


contoh dengan adanya alquran seluler, quran digital dan sebagainya.
KESIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai