Anda di halaman 1dari 38

REFERAT April, 2019

“STAGING PADA KEGANASAN KEPALA LEHER”

OLEH :

RAISHA TRIASARI

N 111 17 136

PEMBIMBING KLINIK:

dr. Christin Rony Nayoan, Sp. THT-KL, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Merupakan keganasan pada membran mukosa dan jaringan pembentuk


daerah kepala dan leher, termasuk kulit. Perokok berat dan peminum alkohol,
mempunyai resiko timbulnya karsinoma sel skuamosa pada rongga mulut, faring,
dan laring. Sinar matahari sangat mempengaruhi resiko timbulnya kanker tiroid
dan kelenjar liur. Dua per tiga dari seluruh keganasan kepala dan leher terdapat
pada rongga mulut dan laring. Distribusi keganasan di bidang teling hidung dan
tenggorok terdapat kira-kira 42% tumor ganas rongga mulut, 25% laring, 15%
orofaring dan hipofaring, 7% kelenjar liur besar, 4% nasofaring, 4% hidung dan
sinus paranasal, dan 3% tiroid serta jaringan ikat lainnya.1

Sehubungan dengan terdapatnya tumor primer pada oragan telinga, hidung


tenggorok, tumor primer ini akan memberikan gejala-gejala pada tempat tersebut
seperti odinofagia, disfagia, trismus, ganggguan bentuk muka, neuropatia,
sumbatan hidung, mimisan, gejala aspirasi, sumbatan jalan napas, kerusakan pada
mukosa dan kulit, perdarahan serta pembesaran kelenjar di daerah leher dan
1
sekitarnya.

Untuk klasifikasi tumor dipakai sistem TNM, digunakan sebagai sistem


klasifikasi sebelum terapi. Sistem ini diitujukan untuk menegtahui perluasan
tumor secara anatomi dengan pengertian:

T: perluasan dari tumor primer

N:status terdapatnya kelenjar limfe rgional

M: ada atau tidaknya metastasis jauh.

2
KLASIFIKASI KLINIS SISTEM TNM

Stadium I T1N0M0
T (Tumor Primer)
Tx Stadium II TumorT2N0M0
primer tidak dapat ditemukan
T0 Stadium III Tidak T3N0M0,atau
ada tumor primer T1 atau T2
Tis Tumoratau
primer in situ
T3N1M0
T1,T2,T3,T4 Stadium IV BesarnyaT4N0tumor
atauprimer
N1M0
N (Kelenjar Limfa regional)
Tiap TN2 atau N3 M0
Nx Tidak dapat ditemukan pada kelenjar limfe
Tiap T tiap N M1
regional
N0 Tidak ada metastasis kelejar limfe regional
N1,N2,N3 Besarnya kelenjar limfa regional
M (metastasis jauh)
Mx Tidak ditemukan metastasis jauh
Mo Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Tabel 1. Klasifikasi Klinis TNM

Nx Kelenjar limfa reional tidak ditemukan


N0 Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional
N1 Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran 3 cm, atau kurang.
N2 Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran lebih dari 3 cm, kurang
dari 6 cm atau multipel, pada satu sisi dan tidak lebih dari 6 cm
atau bilateral/ kontralateral juga tidak lebih dari 6 cm.
N2a Metastasis pada satu sisi, tunggal lebih dari 3 cm tidak lebih dari 6
cm.
N2b Metastasis pada satu sisi, multipel tidak lebih dari 6 cm.
N2c Metastasis bilateral/kontralateral tidak lebih dari 6 cm

N3 Metastasis, ukuran lebih dari 6 cm


Tabel 2. Klasifikasi Kelenjar Limfe regional (UICC)

3
Tabel 3. Stadium Tumor Ganas Leher dan Kepala (UICC dan AJCC)

kecuali Tumor kelenjar Liur dan Tiroid

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ALIRAN LIMFA LEHER

4
Sistem aliran limfa leher penting untuk dipelajari karena hampir semua bentuk
radang atau keganasan kepala dan leher akan bermanifestasi ke kelenjar limfa dan
leher.

Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada
pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang
hampir selau terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfa pad arangkaian
jugularis interna, yang terbentang antara clavicula hingga dasar tengkorak.

Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran yang berasal


dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus
piriformis, dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari
kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superfisialis, dan
kelenjar limfa submandibula.

Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal
langsung dari subglotik laring, sinus pririformis bagian inferior dan daerah
krikoid posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar jugularis
interna superior dan kelenjar limfa retrofaring bawah.

Kelenjar limfa jugularis interna inferior menerima aliran limfa yang


berasal langsung dari galndula tiroid, trakea, esofagus bagian servikal. Juga
menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjatr limfa jugularis interna superior
dan kelenjar limfa paratrakea.

Kelenjar limfa submental, terletak pada segitiga submental diantara


platisma dan m.omohioid didalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima
aliran limfa yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi,gusi, dasar
mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen membawa
aliran limfa ke kelenjar mandibula sisi homolateral atau kontralateral, kadang-
kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna.

Kelenjar limfa submandibula terletak disekitar kelenjar liur submandibula


dan didalam kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menrima aliran limfa yang

5
berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah,
rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata,
palatum mole, 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar
jugularis interna superior.

Kelenjar limfa servikal superfisialis erletak di sepanjang vena jugularis


eksterna, menerima aliran limfa yangg berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar
pasrotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke
kelenjar limfa jugularis interna superior.

Kelenjar limfa retrofaring terletak diantara faring dan fasia prevertebra,


mulai leher dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks.
Pembuluh aferen menerima aliran kelenjar limfa dari nasofaring, hipofaring,
telinga tengah, dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke
kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinalis asesorius bagian
superior.

Metastasis dariu tumor ganas yang primernya berada dikepala dan leher
lebih dari 90% primernya dapat ditentukan dengan pemeriksaan fisik. Insiden
tertinggi metastasis dari karsinoma sel skuamosa di rongga mulut, orofaring,
hipofaring, laring, dan nasofaring adalah rangkaian kelenjar limfa jugularis interna
superior.

Adanya massa tumor di preaurikula umumnya disebabkan oleh tumor


primer dari kelenjar parotis atau metastasis tumor ganas kulit muka, kepala, dan
telinga homolateral. Masssa tumor pada kelenjar yang berada di bawah m.
sternokleidomastoideus bagian atas dan atau pada kelenjar servikal superior
posterior biasanya berasal dari tumor ganas di nasofaring, orofaring, dan bagain
posterior sinus maksila.

Pada kelenjar submental dapat berasal dari tumor ganas di kulit hidung,
atau bibir dan dasar mulut bagian anterior. Pada segitiga submandibula dappat
berasal dari tumor primer pada kelenjar submandibula atau metastasis tumor yang
berasal dari kulit muka homoateral, bibir, rongga mulut, atau sinus paranasal.

6
Pada daerah jugularis interna su[erior, dapat berasal dari tumor ganas di
rongga mulut, orofaring posterior, nasofaring, dasar lidah atau laring. Tumor yang
tunggal pada daerah jugularis media biasanya berupa tumor primer pada laring,
hipofaring, atau tiroid.2

1. TUMOR HIDUNG DAN SINONASAL


Kanker rongga hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas
yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal disekitar
hidung. Rongga hidung merupakan sebuah ruang dibelakang hidung
dimana udara melewatinya masuk ke tenggorokan. Sinus paranasal adalah
daerah yang dipenuhi-udara yang mengelilingi rongga hidung pada pipi
(sinus maksila), diatas dan diantara mata (sinus etmoid dan sinus frontal),
dan dibelakang etmoid (sinus sfenoid). Kanker sinus maksila merupakan
tipe paling sering kanker sinus paranasal.

Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan,


tetapi tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan
leher atau kurang dari 1% seluruh tumor ganas.

Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus


paranasal hampir mirip, sehingga seringkali hanya pemeriksaan
histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya.

Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling


berhubungan dan seringkali tumor ditemukan pertamakali pada stadium
yang sudah lanjut, sehingga tidak dapat ditentukan lagi asal tumor
primernya. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang
sukar diobati secara tuntas dan angka kesembuhannya masih sangat
rendah.

Rongga hidung dikelilingi oleh 7 sampai 8 rongga sinus paranasal


yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan posterior, frontal dan sfenoid.
Kedelapan sinus ini bermuara ke meatus medius rongga hidung. Oleh

7
sebab itu pembicaraan mengenai tumor ganas hidung tidak dapat
dipisahkan dari tumor ganas sinus paranasal karena keduanya saling
mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam keadaan dini.

Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara


lain: tembakau, infeksi, imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk
gergaji. Gejala dan tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung,
masalah pernafasan, nyeri lokal, pembengkakan leher dan wajah, masalah
persarafan, dan tanda metastasis.

ANATOMI HIDUNG

HIDUNG LUAR

Hidung luar berbentuk piramid


dengan bagian-bagian seperti puncak
hidung, dorsum nasi, pangkal hidung
(bridge), kolumela, ala nasi dan
lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasalis) dan prosesus frontalis maksila, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa buah tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung.

8
RONGGA HIDUNG (KAVUM NASI)

Rongga hidung mempunyai bentuk sebagai sebuah terowongan dari depan ke


belakang dan di tengah-tengah dipisahkan oleh septum nasi. Lubang bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkannya dengan nasofaring.

Bagian dari rongga hidung


yang letaknya sesuai dengan
ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrissae).

Tiap rongga hidung mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, dinding
lateral, dinding inferior dan dinding superior.

Dinding medial

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis tulang etmoid,
(2) vomer, (3) krista nasalis maksila dan (4) krista nasalis os palatum. Bagian
tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadran-gularis) dan (2)
kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. (6)

Dinding lateral

9
Bagian depan dari dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka yang merupakan bagian terbesar dari dinding lateral
hidung. Terdapat 4 buah konka didalam hidung. Yang terbesar ialah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang paling kecill disebut konka suprema. Konka suprema ini
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan melekat
pada maksila dan labirin etmoid. Konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.

Ruang yang terletak diantara konka inferior dan dinding lateral rongga
hidung disebut meatus inferior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis.

Meatus media ialah ruang yang terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Di sekitar hiatus
semilunaris yang merupakan celah terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan dinding lateral rongga hidung terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid. (6)

Dinding inferior

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os


maksila dan os palatum.

Dinding superior

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

SINUS PARANASAL

10
Ada empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus paranasal berbentuk rongga
didalam tulang yang sesuai dengan namanya dan semuanya mempunyai muara
(ostium) didalam rongga hidung. Perkembangan dimulai pada fetus yang berusia
3-4 bulan (kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa
rongga hidung. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada pada waktu anak lahir,
dan hanya sinus ini yang dapat terkena infeksi pada anak. Sinus frontal mulai
berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia kurang lebih 8 tahun.
Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

a. Epidemiologi

Di Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari


seluruh keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga,
Hidung dan Tenggorok dimana nasofaring merupakan keganasan terbanyak
dengan 57%. Dari kelompok keganasan hidung dan sinus paranasal ini ± 20%
(2)
merupakan keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi lagi yaitu 91,4% ), ±
24% keganasan hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan sinus sfenoid dan
(4)
frontal hanya 1%. Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1.

b. Etiologi

Rahang atas merupakan satu dari sedikit lokasi di kepala dan leher dimana
etiologi pasti telah ditetapkan untuk beberapa jenis tumor. Adenokarsinoma
rongga hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson dkk,
1962). Barton (1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada
karsinoma sel skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses
industri dan program penyaringan diantara pekerja menghasilkan penurunan
insiden. Di Inggris karsinoma sel skuamosa sinus paranasal pada pekerja nikel

11
(3)
juga penyakit yang menentukan. Pekerja nikel memiliki peningkatan 100-870
kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini mungkin akan
berkembang setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20 tahun
masa laten. Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara
khusus berhubungan dengan adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan
dengan malignansi termasuk pigmen krom, radium, gas mustar dan hidrokarbon.
Tembakau tidak memperlihatkan hubungan dengan kanker hidung dan sinus
paranasal.

c. Gambaran Klinis

Gambaran klinis masing-masing pasien tertentu bergantung pada lokasi


primer dan arah dan perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan
gejala hidung berupa obstruksi dan epiataksis. Tumor etmoid juga muncul dengan
gejala hidung, namun juga bisa memiliki gejala orbita seperti proptosis dan
epifora, dengan diplopia menjadi gejala akhir. Tumor sinus frontalis cenderung
muncul semata-mata dengam gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya
muncul terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis.

Merupakan sebuah instruktif untuk melihat presentasi potensial tumor


antrum. Tumor didalam rongga antrum tidak mungkin muncul dini kecuali secara
kebetulan melibatkan nervus infraorbita memberi perubahan pada sensasi wajah,
atau perdarahan secara alternatif menimbulkan epistaksis. Epistaksis apapun pada
pasien dewasa yang tidak hipertensif membutuhkan investigasi radiologis, namun
radiografi sinus terbaik ditunda selama 7-14 hari untuk memberi resolusi
inflamasi apapun sehubungan dengan pembungkusan hidung atau masih lebih
baik CT-scan harus diperoleh. Ketika tumor melanggar dinding antral, tanda-tanda
dan gejala pasti menjadi lebih jelas, sifat sebenarnya bergantung pada dinding
tertentu yang terkikis.

Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan


tumor selalu terlihat jelas. Jarang, tumor menyebabkan poliposis etmoid dan

12
tampaknya polip nasal normal terlihat; dengan demikian penting untuk memeriksa
secara histologis semua bahan yang diangkat dari hidung. Penyebaran inferior
melibatkan palatum dan alveolus dapat mengakibatkan presentasi ke dokter gigi
baik dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi palatum frank merupakan
gejala akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak wajah dapat
mengakibatkan epifora dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan
wajah, gangguan sensasi dan nyeri lebih sering. Penyebaran anterior lebih
mungkin mengakibatkan limfadenopati servikal teraba. Penyebaran posterior
kedalam fossa infratemporal dan basis cranii bisa menyebabkan simtomatologi
kurang jelas, hilangnya fungsi trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan
otot pterigoid. Penyebaran ke nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat
dari disfungsi tuba eustachius. Penyebaran superior ke orbita menyebabkan
proptosis dini dengan meningkatkan volume isi orbita, keterlibatan langsung saraf
dan otot terjadi lambat.

d. Diagnosis

Jarangnya tumor ini, yang merupakan < 1% dari keseluruhan malignansi


(3% tumor kepala-leher), berarti bahwa banyak dokter umum yang tidak akan
melihat pasien dengan penyakit ini sepanjang karir profesional ini.
Ketidaksadaran mereka akan kondisi dan kemiripan gejala dengan kondisi
peradangan yang lebih umum lainnya pada saluran pernafasan atas mengakibatkan
kegagalan dalam menentukan diagnosis yang tepat sebelum tumor meluas
melebihi batas tulang sinus. Rata-rata penundaan antara gejala yang pertama kali
terlihat dan diagnosisnya adalah 6 bulan.

Harapan terbaik untuk diagnosis awal terletak pada penggunaan besar-


besaran pencitraan CT untuk penilaian rinosinusitis kronis dimana gambaran
radiologis akan menunjukkan diagnosis yang benar. Penggunaan pencitraan CT

13
dan MRI memungkinkan penggambaran yang tepat dari perluasan tumor, dan
perencanaan terinci radioterapi dan reseksi bedah selanjutnya.

Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi


biopsi tumor.

Jenis tumor

Rongga hidung dan sinus paranasal dibatasi oleh sebuah lapisan jaringan
penghasil-mukosa dengan jenis-jenis sel sebagai berikut: sel epitel skuamosa, sel
kelenjar saliva kecil, sel saraf, sel yang melawan-infeksi, dan sel pembuluh darah.
Beberapa jenis tumor pada sel dan jaringan ini adalah:

 Karsinoma Sel Skuamosa

Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal
yang mengenai sinus maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada
(1,7)
daerah ini. Sel skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan
(1)
permukaan pipih struktur kepala dan leher. Sinus maksila terlibat 70% diikuti
keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer
yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama
mengenai laki-laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar
keluar dari sinus hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan
lebih dari 90% akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat.
Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus
pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik.
Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T 3/T4). Reseksi bedah
diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-
kasus yang dapat direseksi.

 Adenokarsinoma

14
Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga
hidung dan sinus paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20%
kasus. Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang
paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan pemaparan pekerjaan.
Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi secara
histologis menjadi tingkat tinggi dan rendah.

 Melanoma maligna

Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada
kulit, merupakan kanker yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di
area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga
hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma
sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai kedelapan.
Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi
tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi
sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya
beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi
paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan
insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan
pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan.
Keseluruhan prognosisnya buruk.

 Estesioneuroblastoma

Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel


olfaktorius yang jarang terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu
bermetastasis ke paru-paru dan servikal. Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan
obstruksi hidung. CT-scan penting untuk menetapkan apakah terdapat perluasan
pada intrakranial.

Metastasis

15
Ke nodus servikal atau retrofaringeal. Insiden metastase servikal pada
presentasi berkisar 10%, meskipun hingga 44% kasus akan secara nyata
bermetatase ke area servikal. Hanya 10% pasien yang pernah mengalami
metastase jauh.

e. Prognosis

Pada umumnya prognosis kurang baik. Beberapa hal yang mempengaruhi


prognosis antara lain adalah 1) diagnosis terlambat dan tumor sudah meluas
sehingga sulit mengangkat tumor secara en bloc; 2) sulit evaluasi paska terapi
karena tumor berada dalam rongga; 3) sifat tumor yang agresif dan mudah
kambuh. Untuk stadium dini, angka kesembuhan 5 tahun lebih dari 70%,
sedangkan untuk stadium lanjut berkisar antara 20-30% saja.

Paska operasi dengan pemasangan obturator pengganti palatum sangat


bermanfaat untuk memperbaiki kualitas hidup penderita terutama untuk proses
menelan dan berbicara yang tidak terlalu banyak mendapat kesulitan.

f. Penatalaksanaan

Yang penting dalam penatalaksanaan tumor ialah, pertama menegakkan


diagnosis. Kedua menentukan batas-batas tumor. Ketiga merencanakan terapi.
Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi, sedangkan
untuk menentukan batas tumor dengan pemeriksaan radiologis. Rencana terapi
dibuat berdasarkan diagnosis histopatologi dan stadium tumor.

Klasifikasi dan cara menentukan stadium tumor ganas

Untuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima
oleh seluruh negara di dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan
sinus paranasal karena susunan anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali
ditemukan sudah dalam stadium lanjut.

16
Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk
merencanakan terapi. Kedua, untuk meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk
mengevaluasi hasil pengobatan. Keempat, untuk keseragaman informasi antara
sentra sedunia. Kelima, untuk membantu penelitian mengenai tumor ganas.

Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas dipakai


sistem TNM, yaitu T = Tumor, sampai dimana perluasannya, N = Nodul, kelenjar
limfe regional yang terkena dan M = Metastasis.

Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem
TNM, tetapi selama ini belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian
onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM biasanya mengikuti penentuan stadium
TNM yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM ini pernah diajukan pada
rapat gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan tersebut
dapat diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan
meresmikan satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama
dengan yang diajukan oleh Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku
untuk karsinoma sel skuamosa dan baru ada untuk tumor sinus maksila saja.
Untuk hidung dan sinus etmoid masih harus dipelajari lagi sedangkan untuk sinus
frontal dan sinus sfenoid tidak perlu, karena sangat jarang.

GARIS OHNGREN

Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer
yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang
atas menjadi struktur supero-posterior (= suprastruktur) dan struktur infero-
anterior (= infrastruktur). Yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus
maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya
termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang
jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.

17
Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:

Kategori T untuk karsinoma sinus maksila

T1 : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.

T2 : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum


durum dan/atau meatus medius.

T3 : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar
orbita atau sinus etmoid anterior.

T4 : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu


dari: lamina kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum
mole, fosa pterigomaksila atau temporal, dasar tengkorak.

Kategori N untuk karsinoma sinus maksila

N0 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.

N1 : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter


terbesar 3 cm atau kurang.

18
N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih
dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.

N2b : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar


tidak lebih dari 6 cm.

N2c : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan


diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.

N3 : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.

Kategori M untuk karsinoma sinus maksila

Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.

M0 : Tidak ada metastasis jauh.

M1 : Ada metastasis jauh.

Penentuan stadium karsinoma sinus maksila

Stadium I : T1, N0, M0

Stadium II : T2, N0, M0

Stadium III : T3, N0, M0 atau

: T1, T2 atau T3, N1, M0

Stadium IV : T4, N0 atau N1, M0 atau

: semua T, N2 atau N3, M0 atau

: semua T, semua N, M1

g. Pengobatan

19
Rencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi
dan stadium tumor bila tumor ganas. Sampai sekarang belum ada parameter
pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Hal ini antara lain
karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang berpengalaman untuk dapat
membuat ketentuan yang dapat diikuti, juga karena standar klasifikasi dan
penentuan stadium belum resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan harus
dinilai kasus demi kasus karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu
cara pengobatan dan juga harus dilihat sampai dimana perluasan tumornya.
Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya
buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi,
radioterapi dan kemoterapi.

Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus


paranasal adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah
“inoperable” atau menolak tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan
radioterapi sesudah dibuatkan antrostomi. Radioterapi dapat dilakukan sebelum
atau sesudah operasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Untuk tumor yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih dulu untuk
mengecilkan tumornya dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan
lebih mudah. Tetapi bila telah dilakukan radiasi dulu, sesudah selesai banyak
pasien yang kemudian tidak kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah
mengecil atau ada yang tidak mau operasi karena efek samping radioterapi yang
berkepanjangan. Sekarang lebih disukai radiasi paska operasi, karena sekaligus
dimaksudkan untuk memberantas mikro-metastasis yang terjadi atau bila masih
ada sisa tumor yang tidak terangkat pada waktu operasi.

Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila


tumor di sinus maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila
tumor sudah memenuhi maksila dilakukan maksilektomi radikal, yaitu
mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris dan palatum
durum. Bila tumor sudah sampai ke mata dilakukan eksenterasi orbita. Bila sinus
sfenoid terkena dilakukan operasi kranio-fasial dengan bantuan ahli bedah saraf.

20
Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah
“inoperable” dan hanya diberikan penyinaran saja.

Operasi maksilektomi memerlukan prostesis untuk mengganti kedudukan


maksila yang dibuang. Protesis ini dikerjakan oleh dokter gigi dan harus
dipersiapkan sebelum operasi dan langsung dipasang pada waktu operasi karena
kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan yang akan sulit diperbaiki kemudian.
Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan protesis bola mata. Pada kebanyakan
operasi tumor hidung dan sinus, sesudah operasi sering diperlukan perbaikan
wajah dengan bedah plastik.

2. KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma
nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi,
sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini
berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Survei
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7
per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di
seluruh Indonesia.

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan


suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering
terlambat. Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan
yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang
cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi
yang dikombinasikan dengan radioterapi

21
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke
anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang
septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering
timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior
dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring
berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding
faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius
dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius,
sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium
tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior
dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi
tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-
lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada
usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini
disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Di nasofaring terdapat banyak
saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar
retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).

Anatomi Nasofaring

22
a. Etiologi
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.
Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma
nasofaring yaitu :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :

23
- benzopyrenen
- benzoanthracene
- gas kimia
- asap industri
- asap kayu
- beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA.

b. Tanda dan Gejala


1. Gejala Dini.
Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor
masih terbatas di nasofaring, yaitu :
a. Gejala telinga
- Rasa penuh pada telinga
- Tinitus
- Gangguan pendengaran
b. Gejala hidung
- Epistaksis
- Hidung tersumbat
c. Gejala mata dan saraf
- Diplopia
- Gerakan bola mata terbatas
2. Gejala lanjut
- Limfadenopati servikal
- Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
- Gejala akibat metastase jauh.
c. Diagnosis

24
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pasti serta stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan nasofaring
3. Biopsi nasofaring
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
5. Pemeriksaan radiologi
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
7. Pemeriksaan serologi.

d. Stadium
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara
UICC (Union Internationale Contre Cancer) adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,
yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase, menggambarkan metastase jauh
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.

25
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12,3,9-13
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak
dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan
Dinding lateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial
(atau keduanya).

e. Penatalaksanaan
Terapi kanker nasofaring terutama meliputi radioterapi, operasi dan
kemoterapi. Radioterapi merupakan terapi paling efektif, setiap pasien yang pada
waktu diagnosis belum menunjukkan metastasis multipel harus terlebih dulu
menerima radioterapi,atau radioterapi plus kemoterapi. Operasi bukan pilihan
pertama pada karsinoma nasofaring, umumnya hanya digunakan terhadap lesi
yang tersisa pasca kemoterapi atau radioterapi. Masalah dalam terapi karsinoma
nasofaring sekarang ini adalah: efektivitas jangka pendek baik, efektivitas jangka
panjang tidak ideal. Tindakan yang dapat dilakukan adalah 5:

26
1. Kemoterapi: sebelum radioterapi, sebelum terjadi fibrosis akibat radioterapi,
ketika vaskularisasi local masih baik, gunakan kemoterapi, dapat mengurangi
jumlah sel kanker, meningkatkan sensitivitas radioterapi. Kemoterapi pasca
radioterapi dapatmembasmi mikrokarsinoma yang tersisa, mengurangi
metastasis jauh.

2. Kemoterapi dan radioterapi serentak: dalam proses radioterapi ditambah


kemoterapi, dapat menyusutkan tumor, memperbaiki pasokan darah,
meningkatkan sensitivitas radioterapi. Banyak obat kemoterapiseperti DDP,
MTX, FU, MMC dll. berefek meningkatkan sensitivitas terhadap radiasi, obat
tertentu sepertihidroksilurea yang berefek terhadap fase sintesis DNA sel dapat
menyeragamkan fase, sehingga kebanyakan sel kanker terhambat pada fase G1
hingga meningkatkan sensitivitas terhadap radioterapi.

3. Kemoterapi dengan kateterisasi ke arteri setempat: Melalui arteri temporalis


superfisialis dilakukan kateterisasi retrograd menginfuskan obat kemoterapi
dapat mencapai konsentrasi obat setempat yang tinggi untuk membasmi kanker.
Ini sesuai terutama pada kanker lokal yang tidak remisi pasca radioterapi, atau
pada rekurensi lokal menginfiltrasi p arafaring dan basis kranial.

4. Terapi fotodinamik: sel kanker dapat secara khusus mengikat zat fotosensitif,
mula-mula disuntikkan zat fotosensitif, 48 jam kemudian dimasukkan serat
optik hingga ke tepi kanker nasofaring, disalurkan laser merah 630nm. Di
bawah penyinaran laser, zat fotosensitif mengatalisis molekul oksigen (O2)
menjadioksigen tunggal yang berefek sitotoksik hingga membasmi sel kanker.
Metode ini terutama sesuai bagi kanker yang tersisa di rongga nasofaring atau
kasus yang sudah menginfiltrasi basis kranial. Untuk
pasien yang kambuh setelah terapi konvensional, metode ini dapat menjadi
pilihan utama.

5. Implantasi biji iodium-125: di bawah panduan CT atau endoskop, terhadap lesi


yang tertinggal atau rekuren, ditanamkan biji iodium-125. Biji itu dapat

27
melepaskan sinar gama jarak pendek yang menyinarisecara kontinu jaringan
kanker sekitarnya. Metode ini sederhana, efek sampingnya kecil.

6. Imunoterapi: dari pasien karsinoma nasofaring dikeluarkan darah tepinya,


dipisahkan selmononukleusnya, ditambahkan interleukin-2 dandiinkubasi
ekstrakorporal untuk menginduksi produksi sel dendritik. Kemudian dari
pasien karsinomanasofaring dikeluarkan sel kankernya,
dinonaktifkan,diinkubasikan bersama sel dendritik selama 7-10 hari,dapat
dihasilkan vaksen sel dendritik anti karsinoma nasofaring. Vaksen ini lalu
diinfuskan intravena atau diinjeksikan subkutis atau ke dalam kelenjar
limfemetastasis.

3. ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal


angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke
jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta
sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor
pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga
dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.
Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile
nasopharyngeal angiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena
neoplasma ini terdapat juga pada pasien yang lebih tua.

a. Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan
yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus
faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba

28
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti
ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf
kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari
oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf
hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

b. Epidemiologi
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia,
seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948)
melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien
yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York.
Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada
Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa
lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
Walaupun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada
nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher.
Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-
laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya,
bagaimanapun bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan
Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.

c. Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat

29
bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral
atap rongga hidung. Faktor hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya.
Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon,
seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron
(RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor
seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive
immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan
reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan
penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA,
RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining,
menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan
negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama
adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi
proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1
(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang
disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan
kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi
fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi
pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

d. Penyebaran
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan
merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas kedalam :
a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan
hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua
dapat diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk

30
melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga
masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.

Ada 2 jalan masuknya :


i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum.
Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri
karotikus.

e. Tanda dan gejala


Gejala :
1. Paling sering mengenai anak dan remaja laki-laki.
2. Umumnya pada dekade ke-2, antara 7-19 tahun. Jarang pada pasien dengan
umur lebih dari dua puluh lima tahun.
3. Obstruksi nasal. Gejala yang paling sering, terutama pada tadium awal.
4. Epistaksis. Kebanyakan unilateral dan rekuren; biasanya epistaksis berat
memerlukan perhatian medis; diagnosis dari angiofibroma pada laki-laki remaja
dipertimbangkan.
5. Sakit kepala. Terutama jika sinus-sinus paranasalis tersumbat.
6. Muka bengkak.
7. Gejala lainnya termasuk rinore unilateral, anosmia, hiposmia, rinolalia, otalgia,
pembengkakan dari palatum, dan deformitas pipi.

Tanda-tanda :
1. Massa di cavum nasi.
2. Massa di Orbita.
3. Proptosis.
4. Tanda lainnya mungkin termasuk otitis serosa pada blokade tuba eustakhius.
Pembengkakan zigomatikus dan trismus menandakan penyebaran dari tumor ke
fossa infratemporal. Penuruan penglihatan mengenai nervus optik jarang
dilaporkan.

31
f. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada
keadaan ini.

Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan
untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis
yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor
atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk
biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai
angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.

Pemeriksaan Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam
nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada
foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini
dikenal sebagai “tanda antral” dan terdiri dari tulang anterior dari dinding
posterior dari antrum maksillaris. Tanda ini sering sulit untuk dikenali.
CT SCAN
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang
besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya
terlihat.
MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor,
terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada
Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri
maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan

32
adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan
sebelumnya gagal.

g. Stadium
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada
daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya.
Different Staging System mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler
dan kawan-kawan merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan
sistem untuk kanker nasofaring oleh AJC :

 Stadium I : Tumor di nasofaring.

 Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

 Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa


pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

 Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch :

 Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi


tulang.

 Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus


paranasalis dengan destruksi tulang.

 Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio
parasellar menyisakan lateral ke sinus kavernosus.

 Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan


atau fossa pituitary.

33
Klasifikasi menurut Sessions :
- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.
- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan
melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.
- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.
- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau
tanpa erosi superior dari tulang orbita.
- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid);
perluasan minimal intrakranial.
- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan
ke sinus kavernosus.

h. Pengobatan
Embolisasi
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi
jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan
memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.
Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat
diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.

Operasi
Digunakan untuk tumor yang kecil (Fisch stadium I atau II).
-Pendekatan fossa infratemporal digunakan bila tumor meluas ke lateral.
-Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa LeFort osteotomy,
memanfaatkan jalan masuk posterior ke tumor.
-Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision
dan perluasan koronal untuk frontotemporal craniotomy dengan midface
osteotomies untuk jalan masuk.
-Operasi intranasal endoscopic disiapkan untuk tumor yang terbatas pada cavum
nasi dan sinus-sinus paranasali.

34
Radioterapi
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi
radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi
membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus.
Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi
ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan
radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.

Hormonal
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor
stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan
ini tidak digunakan secara rutin.

4. TUMOR LARING

a. Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda yang sering dijumpai adalah :

• Suara serak
• Sesak nafas dan stridor
• Rasa nyeri di tenggorok
• Disfagia
• Batuk dan haemoptisis
• Pembengkakan pada leher

b. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnese
2. Pemeriksaan THT rutin
3. Laringoskopi direk
4. Radiologi foto polos leher dan dada

35
5. Pemeriksaan radiologi khusus : politomografi, CT-Scan, MRI
6. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti

c. Diagnosis Banding
Tumor ganas faring dapat dibanding dengan :

1. TBC laring
2. Sifilis laring
3. Tumor jinak laring.
4. Penyakit kronis laring

d.Pengobatan
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu
pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi daripadanya.

Pembedahan
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari:

* Laringeatomi

1. Laringektomi parsial

Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang


tidak
memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.

2. Laringektomi total

Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas
(epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.

*Diseksi Leher Radikal

36
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2) karena
kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan
tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali
mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan
tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat
metastase jauh.

*Radioterapi

Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1


dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan
dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat
dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total
6000 – 7000 rad. Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh
Ogura, Som, Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk
memperoleh kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat
disembuhkan pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan
4500–5000 rad selama 4–6 minggu diikuti dengan laringektomi total.

*Kemoterapi

Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun


paliativ. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/m2
dan 5 FU 800–1000 mg/m2.

*Rehabilitasi

Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa


tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik.
rehabilitasi mencakup : “Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan

37
Social
Rehabilitation”.

e. Prognosis

Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan


kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada
karsinoma laring stadium I 90 – 98% stadium II 75 – 85%, stadium III 60 – 70%
dan stadium IV 40 – 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan
menurunkan 5 tahun survival rate sebesar 50%

DAFTAR PUSTAKA

1. Munir, Masrin. Keganasan di Bidang Telinga, Hidung, Tenggorok dalam


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan
Leher. Edisi ke-enam. Balai Penerbit FKUI. 2007
2. Roezin, Averdi. Sistem Aliran Limfa leher. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi ke-enam.
Balai Penerbit FKUI. 2007
3. Nurtrisno,. Achadi. ML, Nietje. Samsudin. Soetomo. Tumor Hidung yang
Berdarah di RS dr. Karyadi Semarang. Dalam CDK edisi 52 tahun 1988.
Tumor-tumor di Kepala dan Leher . Diunduh dari www.kalbefarma.com
4. Asroel,A.H. penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring.
2002. Dari USU Digital Library. Diunduh dari www.usudigitallib.ac.id.
5. Kartika, Henny. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. 2008. Dari
http://en.wordpress.com.
6. Referat Angiofibroma nasofaring Juvenil. Alhamsyah Blog. Diunduh dari
www.alhamsyah.com

38

Anda mungkin juga menyukai