Referat THT
Referat THT
OLEH :
RAISHA TRIASARI
N 111 17 136
PEMBIMBING KLINIK:
PALU
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
KLASIFIKASI KLINIS SISTEM TNM
Stadium I T1N0M0
T (Tumor Primer)
Tx Stadium II TumorT2N0M0
primer tidak dapat ditemukan
T0 Stadium III Tidak T3N0M0,atau
ada tumor primer T1 atau T2
Tis Tumoratau
primer in situ
T3N1M0
T1,T2,T3,T4 Stadium IV BesarnyaT4N0tumor
atauprimer
N1M0
N (Kelenjar Limfa regional)
Tiap TN2 atau N3 M0
Nx Tidak dapat ditemukan pada kelenjar limfe
Tiap T tiap N M1
regional
N0 Tidak ada metastasis kelejar limfe regional
N1,N2,N3 Besarnya kelenjar limfa regional
M (metastasis jauh)
Mx Tidak ditemukan metastasis jauh
Mo Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Tabel 1. Klasifikasi Klinis TNM
3
Tabel 3. Stadium Tumor Ganas Leher dan Kepala (UICC dan AJCC)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Sistem aliran limfa leher penting untuk dipelajari karena hampir semua bentuk
radang atau keganasan kepala dan leher akan bermanifestasi ke kelenjar limfa dan
leher.
Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada
pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang
hampir selau terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfa pad arangkaian
jugularis interna, yang terbentang antara clavicula hingga dasar tengkorak.
Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal
langsung dari subglotik laring, sinus pririformis bagian inferior dan daerah
krikoid posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar jugularis
interna superior dan kelenjar limfa retrofaring bawah.
5
berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah,
rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata,
palatum mole, 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar
jugularis interna superior.
Metastasis dariu tumor ganas yang primernya berada dikepala dan leher
lebih dari 90% primernya dapat ditentukan dengan pemeriksaan fisik. Insiden
tertinggi metastasis dari karsinoma sel skuamosa di rongga mulut, orofaring,
hipofaring, laring, dan nasofaring adalah rangkaian kelenjar limfa jugularis interna
superior.
Pada kelenjar submental dapat berasal dari tumor ganas di kulit hidung,
atau bibir dan dasar mulut bagian anterior. Pada segitiga submandibula dappat
berasal dari tumor primer pada kelenjar submandibula atau metastasis tumor yang
berasal dari kulit muka homoateral, bibir, rongga mulut, atau sinus paranasal.
6
Pada daerah jugularis interna su[erior, dapat berasal dari tumor ganas di
rongga mulut, orofaring posterior, nasofaring, dasar lidah atau laring. Tumor yang
tunggal pada daerah jugularis media biasanya berupa tumor primer pada laring,
hipofaring, atau tiroid.2
7
sebab itu pembicaraan mengenai tumor ganas hidung tidak dapat
dipisahkan dari tumor ganas sinus paranasal karena keduanya saling
mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam keadaan dini.
ANATOMI HIDUNG
HIDUNG LUAR
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasalis) dan prosesus frontalis maksila, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa buah tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung.
8
RONGGA HIDUNG (KAVUM NASI)
Tiap rongga hidung mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, dinding
lateral, dinding inferior dan dinding superior.
Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis tulang etmoid,
(2) vomer, (3) krista nasalis maksila dan (4) krista nasalis os palatum. Bagian
tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadran-gularis) dan (2)
kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. (6)
Dinding lateral
9
Bagian depan dari dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka yang merupakan bagian terbesar dari dinding lateral
hidung. Terdapat 4 buah konka didalam hidung. Yang terbesar ialah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang paling kecill disebut konka suprema. Konka suprema ini
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan melekat
pada maksila dan labirin etmoid. Konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
Ruang yang terletak diantara konka inferior dan dinding lateral rongga
hidung disebut meatus inferior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis.
Meatus media ialah ruang yang terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Di sekitar hiatus
semilunaris yang merupakan celah terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan dinding lateral rongga hidung terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid. (6)
Dinding inferior
Dinding superior
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
SINUS PARANASAL
10
Ada empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus paranasal berbentuk rongga
didalam tulang yang sesuai dengan namanya dan semuanya mempunyai muara
(ostium) didalam rongga hidung. Perkembangan dimulai pada fetus yang berusia
3-4 bulan (kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa
rongga hidung. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada pada waktu anak lahir,
dan hanya sinus ini yang dapat terkena infeksi pada anak. Sinus frontal mulai
berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia kurang lebih 8 tahun.
Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.
a. Epidemiologi
b. Etiologi
Rahang atas merupakan satu dari sedikit lokasi di kepala dan leher dimana
etiologi pasti telah ditetapkan untuk beberapa jenis tumor. Adenokarsinoma
rongga hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson dkk,
1962). Barton (1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada
karsinoma sel skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses
industri dan program penyaringan diantara pekerja menghasilkan penurunan
insiden. Di Inggris karsinoma sel skuamosa sinus paranasal pada pekerja nikel
11
(3)
juga penyakit yang menentukan. Pekerja nikel memiliki peningkatan 100-870
kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini mungkin akan
berkembang setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20 tahun
masa laten. Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara
khusus berhubungan dengan adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan
dengan malignansi termasuk pigmen krom, radium, gas mustar dan hidrokarbon.
Tembakau tidak memperlihatkan hubungan dengan kanker hidung dan sinus
paranasal.
c. Gambaran Klinis
12
tampaknya polip nasal normal terlihat; dengan demikian penting untuk memeriksa
secara histologis semua bahan yang diangkat dari hidung. Penyebaran inferior
melibatkan palatum dan alveolus dapat mengakibatkan presentasi ke dokter gigi
baik dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi palatum frank merupakan
gejala akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak wajah dapat
mengakibatkan epifora dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan
wajah, gangguan sensasi dan nyeri lebih sering. Penyebaran anterior lebih
mungkin mengakibatkan limfadenopati servikal teraba. Penyebaran posterior
kedalam fossa infratemporal dan basis cranii bisa menyebabkan simtomatologi
kurang jelas, hilangnya fungsi trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan
otot pterigoid. Penyebaran ke nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat
dari disfungsi tuba eustachius. Penyebaran superior ke orbita menyebabkan
proptosis dini dengan meningkatkan volume isi orbita, keterlibatan langsung saraf
dan otot terjadi lambat.
d. Diagnosis
13
dan MRI memungkinkan penggambaran yang tepat dari perluasan tumor, dan
perencanaan terinci radioterapi dan reseksi bedah selanjutnya.
Jenis tumor
Rongga hidung dan sinus paranasal dibatasi oleh sebuah lapisan jaringan
penghasil-mukosa dengan jenis-jenis sel sebagai berikut: sel epitel skuamosa, sel
kelenjar saliva kecil, sel saraf, sel yang melawan-infeksi, dan sel pembuluh darah.
Beberapa jenis tumor pada sel dan jaringan ini adalah:
Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal
yang mengenai sinus maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada
(1,7)
daerah ini. Sel skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan
(1)
permukaan pipih struktur kepala dan leher. Sinus maksila terlibat 70% diikuti
keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer
yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama
mengenai laki-laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar
keluar dari sinus hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan
lebih dari 90% akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat.
Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus
pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik.
Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T 3/T4). Reseksi bedah
diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-
kasus yang dapat direseksi.
Adenokarsinoma
14
Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga
hidung dan sinus paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20%
kasus. Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang
paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan pemaparan pekerjaan.
Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi secara
histologis menjadi tingkat tinggi dan rendah.
Melanoma maligna
Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada
kulit, merupakan kanker yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di
area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga
hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma
sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai kedelapan.
Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi
tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi
sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya
beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi
paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan
insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan
pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan.
Keseluruhan prognosisnya buruk.
Estesioneuroblastoma
Metastasis
15
Ke nodus servikal atau retrofaringeal. Insiden metastase servikal pada
presentasi berkisar 10%, meskipun hingga 44% kasus akan secara nyata
bermetatase ke area servikal. Hanya 10% pasien yang pernah mengalami
metastase jauh.
e. Prognosis
f. Penatalaksanaan
Untuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima
oleh seluruh negara di dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan
sinus paranasal karena susunan anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali
ditemukan sudah dalam stadium lanjut.
16
Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk
merencanakan terapi. Kedua, untuk meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk
mengevaluasi hasil pengobatan. Keempat, untuk keseragaman informasi antara
sentra sedunia. Kelima, untuk membantu penelitian mengenai tumor ganas.
Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem
TNM, tetapi selama ini belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian
onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM biasanya mengikuti penentuan stadium
TNM yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM ini pernah diajukan pada
rapat gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan tersebut
dapat diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan
meresmikan satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama
dengan yang diajukan oleh Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku
untuk karsinoma sel skuamosa dan baru ada untuk tumor sinus maksila saja.
Untuk hidung dan sinus etmoid masih harus dipelajari lagi sedangkan untuk sinus
frontal dan sinus sfenoid tidak perlu, karena sangat jarang.
GARIS OHNGREN
Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer
yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang
atas menjadi struktur supero-posterior (= suprastruktur) dan struktur infero-
anterior (= infrastruktur). Yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus
maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya
termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang
jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.
17
Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:
T1 : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.
T3 : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar
orbita atau sinus etmoid anterior.
18
N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih
dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.
: semua T, semua N, M1
g. Pengobatan
19
Rencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi
dan stadium tumor bila tumor ganas. Sampai sekarang belum ada parameter
pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Hal ini antara lain
karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang berpengalaman untuk dapat
membuat ketentuan yang dapat diikuti, juga karena standar klasifikasi dan
penentuan stadium belum resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan harus
dinilai kasus demi kasus karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu
cara pengobatan dan juga harus dilihat sampai dimana perluasan tumornya.
Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya
buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi,
radioterapi dan kemoterapi.
20
Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah
“inoperable” dan hanya diberikan penyinaran saja.
2. KARSINOMA NASOFARING
21
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke
anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang
septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering
timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior
dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring
berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding
faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius
dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius,
sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium
tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior
dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi
tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-
lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada
usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini
disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Di nasofaring terdapat banyak
saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar
retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).
Anatomi Nasofaring
22
a. Etiologi
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.
Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma
nasofaring yaitu :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :
23
- benzopyrenen
- benzoanthracene
- gas kimia
- asap industri
- asap kayu
- beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA.
24
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pasti serta stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan nasofaring
3. Biopsi nasofaring
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
5. Pemeriksaan radiologi
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
7. Pemeriksaan serologi.
d. Stadium
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara
UICC (Union Internationale Contre Cancer) adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,
yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase, menggambarkan metastase jauh
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.
25
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12,3,9-13
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak
dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan
Dinding lateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial
(atau keduanya).
e. Penatalaksanaan
Terapi kanker nasofaring terutama meliputi radioterapi, operasi dan
kemoterapi. Radioterapi merupakan terapi paling efektif, setiap pasien yang pada
waktu diagnosis belum menunjukkan metastasis multipel harus terlebih dulu
menerima radioterapi,atau radioterapi plus kemoterapi. Operasi bukan pilihan
pertama pada karsinoma nasofaring, umumnya hanya digunakan terhadap lesi
yang tersisa pasca kemoterapi atau radioterapi. Masalah dalam terapi karsinoma
nasofaring sekarang ini adalah: efektivitas jangka pendek baik, efektivitas jangka
panjang tidak ideal. Tindakan yang dapat dilakukan adalah 5:
26
1. Kemoterapi: sebelum radioterapi, sebelum terjadi fibrosis akibat radioterapi,
ketika vaskularisasi local masih baik, gunakan kemoterapi, dapat mengurangi
jumlah sel kanker, meningkatkan sensitivitas radioterapi. Kemoterapi pasca
radioterapi dapatmembasmi mikrokarsinoma yang tersisa, mengurangi
metastasis jauh.
4. Terapi fotodinamik: sel kanker dapat secara khusus mengikat zat fotosensitif,
mula-mula disuntikkan zat fotosensitif, 48 jam kemudian dimasukkan serat
optik hingga ke tepi kanker nasofaring, disalurkan laser merah 630nm. Di
bawah penyinaran laser, zat fotosensitif mengatalisis molekul oksigen (O2)
menjadioksigen tunggal yang berefek sitotoksik hingga membasmi sel kanker.
Metode ini terutama sesuai bagi kanker yang tersisa di rongga nasofaring atau
kasus yang sudah menginfiltrasi basis kranial. Untuk
pasien yang kambuh setelah terapi konvensional, metode ini dapat menjadi
pilihan utama.
27
melepaskan sinar gama jarak pendek yang menyinarisecara kontinu jaringan
kanker sekitarnya. Metode ini sederhana, efek sampingnya kecil.
a. Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan
yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus
faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
28
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti
ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf
kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari
oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf
hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
b. Epidemiologi
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia,
seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948)
melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien
yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York.
Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada
Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa
lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
Walaupun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada
nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher.
Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-
laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya,
bagaimanapun bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan
Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.
c. Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat
29
bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral
atap rongga hidung. Faktor hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya.
Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon,
seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron
(RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor
seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive
immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan
reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan
penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA,
RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining,
menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan
negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama
adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi
proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1
(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang
disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan
kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi
fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi
pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
d. Penyebaran
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan
merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas kedalam :
a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan
hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua
dapat diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk
30
melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga
masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.
Tanda-tanda :
1. Massa di cavum nasi.
2. Massa di Orbita.
3. Proptosis.
4. Tanda lainnya mungkin termasuk otitis serosa pada blokade tuba eustakhius.
Pembengkakan zigomatikus dan trismus menandakan penyebaran dari tumor ke
fossa infratemporal. Penuruan penglihatan mengenai nervus optik jarang
dilaporkan.
31
f. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada
keadaan ini.
Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan
untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis
yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor
atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk
biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai
angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
Pemeriksaan Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam
nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada
foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini
dikenal sebagai “tanda antral” dan terdiri dari tulang anterior dari dinding
posterior dari antrum maksillaris. Tanda ini sering sulit untuk dikenali.
CT SCAN
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang
besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya
terlihat.
MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor,
terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada
Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri
maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan
32
adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan
sebelumnya gagal.
g. Stadium
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada
daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya.
Different Staging System mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler
dan kawan-kawan merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan
sistem untuk kanker nasofaring oleh AJC :
Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio
parasellar menyisakan lateral ke sinus kavernosus.
33
Klasifikasi menurut Sessions :
- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.
- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan
melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.
- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.
- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau
tanpa erosi superior dari tulang orbita.
- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid);
perluasan minimal intrakranial.
- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan
ke sinus kavernosus.
h. Pengobatan
Embolisasi
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi
jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan
memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.
Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat
diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.
Operasi
Digunakan untuk tumor yang kecil (Fisch stadium I atau II).
-Pendekatan fossa infratemporal digunakan bila tumor meluas ke lateral.
-Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa LeFort osteotomy,
memanfaatkan jalan masuk posterior ke tumor.
-Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision
dan perluasan koronal untuk frontotemporal craniotomy dengan midface
osteotomies untuk jalan masuk.
-Operasi intranasal endoscopic disiapkan untuk tumor yang terbatas pada cavum
nasi dan sinus-sinus paranasali.
34
Radioterapi
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi
radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi
membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus.
Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi
ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan
radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
Hormonal
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor
stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan
ini tidak digunakan secara rutin.
4. TUMOR LARING
• Suara serak
• Sesak nafas dan stridor
• Rasa nyeri di tenggorok
• Disfagia
• Batuk dan haemoptisis
• Pembengkakan pada leher
b. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnese
2. Pemeriksaan THT rutin
3. Laringoskopi direk
4. Radiologi foto polos leher dan dada
35
5. Pemeriksaan radiologi khusus : politomografi, CT-Scan, MRI
6. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti
c. Diagnosis Banding
Tumor ganas faring dapat dibanding dengan :
1. TBC laring
2. Sifilis laring
3. Tumor jinak laring.
4. Penyakit kronis laring
d.Pengobatan
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu
pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi daripadanya.
Pembedahan
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari:
* Laringeatomi
1. Laringektomi parsial
2. Laringektomi total
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas
(epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.
36
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2) karena
kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan
tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali
mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan
tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat
metastase jauh.
*Radioterapi
*Kemoterapi
*Rehabilitasi
37
Social
Rehabilitation”.
e. Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
38