Anda di halaman 1dari 18

A.

Anatomi Fisiologi Tulang


a. Anatomi

Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan, dan
otot menyusun kurang lebih 50%. Fungsi system musculoskeletal sangat
tergantung pada sistem tubuh yang lain. Struktur tulang- tulang memberi
perlindungan terhadap organ vital termasuk otak, jantung dan paru.
Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk meyangga struktur
tubuh, otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak metrik. Tulang
meyimpam kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Tulang dalam tubuh manusia yang
terbagi dalam empat kategori: tulang panjang (misal femur) tulang pendek (misal
tulang tarsalia), tulang pipih (sternum) dan tulang tak teratur (vertebra).
Tulang tersusun oleh jaringan tulang kanselus (trabekular atau spongius).
Tulang tersusun atas sel, matrik protein, deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas
tiga jenis dasar osteoblas, osteosit dan osteocklas. Osteoblas berfungi dalam
pembetukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matrik merupakan
kerangka dimana garam - garam mineral anorganik di timbun. Ostiosit adalah sel
dewasa yang terlibat dalam pemeliharahan fungsi tulang dan tarletak ostion.
Ostioklas adalah sel multi nukliar yang berperan dalam panghancuran,resorpsi dan
remodeling tulang. Tulang diselimuti oleh membran fibrus padat di namakan
periosteum mengandung saraf, pembulu darah dan limfatik. Endosteum adalah
membrane faskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan
rongga – rongga dalam tulang kanselus (Ethel, 2012).
Sumsum tulang merupakan jaringan faskuler dalam rongga sumsum tulang
panjang dan dalam pipih.Sumsum tulang merah yang terletak di sternum, ilium,
vertebra dan rusuk pada orang dewasa, bertanggung jawab pada produksi sel
darah merah dan putih.pembentukan tulang .Tulang mulai tarbentuk lama sebelum
kelahiran (Mansjoer, 2000).
b. Fisiologi
Fungsi tulang adalah sebagai berikut (Sherwood, 2012) :
1) Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2) Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paruparu) dan jaringan
lunak.
3) Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
4) Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis).
5) Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

B. Definisi
Fraktur adalah putusnya hubungan suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari, 1989 : 144). Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam
buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah
rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur merupakan salah satu masalah musculoskeletal (tulang dan otot)
yangsering terjadi pada manusia lanjut usia, dan fraktur yang berhubungan
denganosteoporosis dianggap yang paling menyebabkan morbiditas dan disalbilitas
padalanjut usia. Jenis fraktur berdasarkan lokasinya yang sering terjadi pada lansia
yaitu fraktur kompresi vertebra, fraktur panggul, dan fraktur pinggul.
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bias terjadi
akibat trauma langsung (kecelakaan dll) dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki
laki dewasa. Patah pada daerah ini menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
menyebabkan penderitaan (FKUI, 1995)

C. Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat, yaitu :
a) Grade 1 : sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit.
- Luka < 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
- Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan
- Kontaminasi minimal
b) Grade II : Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit.
- Laserasi < 1cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse.
- Fraktur kominutif sedang
- Kontaminasi sedang
c) Grade III : Banyak sekali jejas kerusakan kulit, otot jaringan saraf dan
pembuluh darah serta luka sebesar 6-8 cm (Sjamsuhidayat, 2010 dalam
wijaya & putri, 2013).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.


1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan Klasifikasi Radiologis
1) Lokalisasi : diafisal, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan dislokasi.
2) Konfigurasi : F. Transversal, F.Oblik, F. Spinal, F. Segmental, F. Komunitif
(lebih dari dua fragmen), F. Avulse, F. Depresi, F. Epifisis.
3) Menurut Ekstensi : F. Total, F. Tidak Total, F. Buckle atau torus, F. Garis
rambut, F. greenstick.
4) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya : tidak bergeser,
bergeser (bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, over riding, impaksi)
(Kusuma, 2015).
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
i. Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1) Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan
Melalui kepala femur (capital fraktur)
a) Hanya di bawah kepala femur
b) Melalui leher dari femur
2) Fraktur Ekstrakapsuler;
a) Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
b) Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di
bawah trokhanter kecil.

D. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.

E. Patofisiologi
a. Patofisiologi
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada
tulang dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas
tulang atau pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen
tulang menyebabkan perubahan pada jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi
kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut, perlukaan jaringan kulit ini
memunculkan masalah keperawatan berupa kerusakan integritas kulit. Perlukaan
kulit oleh fragmen tulang dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena
dan arteri di area fraktur sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada
vena dan arteri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama
dapat menimbulkan penurunan volume darah serta cairan yang mengalir pada
pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika
perdarahan tidak segera dihentikan. Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen
tulang dapat menimbulkan deformitas pada area fraktur karena pergerakan dari
fragmen tulang itu sendiri (Price, 2005)
Deformitas pada area ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain
menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan untuk beraktivitas akibat
perubahan dan gangguan fungsi pada area deformitas tersebut sehingga muncul
masalah keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran fragmen tulang
sendiri memunculkan masalah keperawatan berupa nyeri. Beberapa waktu setelah
fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan melakukan mekanisme
perlindungan pada area fraktur dengan melakukan spasme otot. Spasme otot
merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran fragmen tulang ke tingkat
yang lebih parah. Spasme otot menyebabkan peningkatan tekanan pembuluh darah
kapiler dan merangsang tubuh untuk melepaskan histamin yang mampu
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga muncul perpindahan cairan
intravaskuler ke interstitial. Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial turut
membawa protein plasma. Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial yang
berlangsung dalam beberapa waktu akan menimbulkan edema pada jaringan
sekitar atau interstitial oleh karena penumpukan cairan sehingga menimbulkan
kompresi atau penekanan pada pembuluh darah sekitar dan perfusi sekitar jaringan
tersebut mengalami penurunan (Smeltzer, S.C., 2002).
Penurunan perfusi jaringan akibat edema memunculkan masalah keperawatan
berupa gangguan perfusi jaringan. Masalah gangguan perfusi jaringan juga bisa
disebabkan oleh kerusakan fragmen tulang itu sendiri. Diskontinuitas tulang yang
merupakan kerusakan fragmen tulang meningkatkan tekanan sistem tulang yang
melebihi tekanan kapiler dan tubuh melepaskan katekolamin sebagai mekanisme
kompensasi stress. Katekolamin berperan dalam memobilisasi asam lemak dalam
pembuluh darah sehingga asam-asam lemak tersebut bergabung dengan trombosit
dan membentuk emboli dalam pembuluh darah sehingga menyumbat pembuluh
darah dan mengganggu perfusi jaringan (Sherwood, 2012).
b. Pathway
(Lampiran 1)

F. Proses Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
 Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
 Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
 Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
 Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
 Hematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah
baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
 Terjadi 6 – 10 hari setelah injuri
 Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
 Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
 Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam
kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
 Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan
oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).

G. Manifestasi Klinis
Beberapa tanda dan gejala terjadinya fraktur (Brunner & Suddarth, 2002) adalah
sebagai berikut :
1) Nyeri disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur didaerah yang berdekatan
2) Deformitas akibat daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a) Rotasi pemendekan tulang.
b) Penekanan tulang.
3) Bengkak : Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
4) Echimosis dari perdarahan Subculaneous.
5) Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
6) Tenderness / keempukan
7) Kehilangan sensasi ( mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf/perdarahan ).
8) Pergerakan abnormal.
9) Dari hilangnya darah.
10) Krepitasi
Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan normal serta
fragmen distal dalam posisi eksorotasi dan aduksi karena empat penyebab:
1) Tanpa stabilitas longitudinal femur, otot yang melekat pada fragmen atas dan
bawah berkontraksi dan paha memendek, yang menyebabkan bagian paha yang
patah membengkak.
2) Aduktor melekat pada fragmen distal dan abduktor pada fragmen atas. Fraktur
memisahkan dua kelompok otot tersebut, yang selanjutnya bekerja tanpa ada aksi
antagonis.
3) Beban berat kaki memutarkan fragmen distal ke rotasi eksterna.
4) Femur dikelilingi oleh otot yang mengalami laserasi oleh ujung tulang fraktur yang
tajam dan paha terisi dengan darah, sehingga terjadi pembengkakan. Selain itu,
adapun tanda dan gejalanya adalah :
a. Nyeri hebat di tempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c. Rotasi luar dari kaki lebih pendek
d. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak,
kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

H. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a) Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan
vertebra. Pada fraktur femur dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah
besar sebagai akibat trauma. Penangannnya meliputi memeprtahankan volume
darah, mengurangi nyeri yang di derita pasien, memasang pembebatan yang
memadai, dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut (Brunner & Suddarth,
2002).
b) Sindrom emboli lemak, setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur
multiple, atau cedera remuk, dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada
dewasa muda (20 sampai 30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula
lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi
dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya
globula lemak dalam alira darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil yang memasok otak, paru, ginjal, dan organ lain.
c) Sindrom Kompertemen
d) Infeksi
e) Koagulopati Intravaskuler Diseminata (KID)
f) Emboli Paru
g) Gagal Ginjal
2) Komplikasi Lanjut
a) Terjadi Non-Union
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran
darah yang kurang.
b) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang
c) Mal-Union
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
d) Pertumbuhan Terhambat
e) Arthritis
f) Distrofi Simpatik (reflex) pasca trauma (R. Borley, 2007).

I. Penatalaksanaan
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6- 8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka dan penghentian perdarahan
2) Exici jaringan rusak
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Reduksi/Manipulasi/Reposisi Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis
(brunner, 2001).
a) Reduksi tertutup.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, bidai dan alat
lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.
b) Traksi.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Ketika tulang
sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah
kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
c) Reduksi Terbuka.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi.
d) OREF ( Open Reduction External Fixation)
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara
reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation = OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur
sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.
Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik
untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai,
yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara
anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan
sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam
melakukan gerakan).
e) ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction
and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila
dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai
dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler, pada fraktur
terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan
fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi
eksterna (OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada
fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan
perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau debridemen ulang.
Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw,
Steinman pin, Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan
batang untuk fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu
monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial
Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi
fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan
irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu,
memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status
neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur.
Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur
saat melepas fiksator, dan kurang baik dari segi estetik. Penanganan
pascaoperatif meliputi perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk
mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap,
serta rehabilitasi. Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk
mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang
dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk menunjang proses
penyembuhan. Rawat luka dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk
membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada
kasus ini selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak
dan tampak nekrosis pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen
ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya dilakukan
pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan
imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak.
Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6
bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur.
Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin.
c. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
d. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Latihan isometrik dan setting otot
diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.

J. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian & Pemeriksaan Fisik
dalam (Muttaqin Arif, 2012) :
a) Anamnesa
1) Identitas pasien : meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama,
bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah
sakit (MRS), dan diagnosis medis.
2) Keluhan utama, pada umumnya pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri pasien,
perawat dapat menggunakan PQRST :
- Provokating incident : hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri
adalah trauma pada bagian paha.
- Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien, apakah
seperti terbakar, berdenyut/menusuk.
- Region, Radiation, Relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
- Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
pasien, bisa berdasarkan skala nyeri/pasien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
- Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari
3) Riwayat penyakit sekarang, pada pasien fraktur/patah tulang dapat
disebabkan oleh trauma/kecelakaan degenerative dan patologis yang
didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang
mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/perubhan warna kulit dan
kesemutan.
4) Riwayat penyakit dahulu, apakah pasien pernah mengalami penyakit ini
(fraktur femur) atau pernah punya penyakit yang menular/menurun
sebelumnya.
5) Riwayat penyakit keluarga, pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita
osteoporosis, arthritis, dan tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya
menurun dan menular.
6) Riwayat psikososial spiritual, kaji respons emosi pasien terhadap penyakit
yang dideritanya, peran pasien dalam keluarga dan masyarakat, serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari aik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
7) Pola fungsi kesehatan, dalam tahap pengkajian perawat juga perlu
mengetahui pola-pola fungsi kesehatan dalam proses keperwatan pasien
fraktur femur.
8) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat, pasien fraktur akan merasa
takut terjadi kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu pengkajian
juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolism kalsium, pengonsumsian alcohol yang
dapat mengganggu keseimbangan pasien dan apakah pasien melakukan
olahraga atau tidak.
9) Pola nutrisi dan metabolisme, pada fraktur tidak akan mengalami
penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah misalnya makan
dirumah gizi tetap sama sedangkan ketika di RS disesuaikan dengan
penyakit dan diet pasien.
10) Pola eliminasi, kebiasaan miksi/defkasi sehari-hari, kesulitan waktu
defekasi dikarenakan imobilisasi.
11) Pola aktivitas dan latihan, aktivitas dan latihan mengalami
perubahan/gangguan akibat dari fraktur femur sehingga kebutuhan pasien
perlu dibantu oleh perwat/keluarga.
12) Pola persepsi dan konsep diri, dampak yang timbul pada pasien fraktur
adalah timbul ketakutan akan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah atau gangguan citra
diri.
13) Pola sensori dan kognitif, daya raba pasien fraktur berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak
mengalami gangguan, selain itu timbul nyeri akibat fraktur.
14) Pola penanggulangan stress, pada pasien fraktur timbul rasa cemas akan
keadaan dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh pasien dapat tidak efektif.
15) Pola tata nilai dan keyakinan, pasien fraktur tidak dapat melaksanakan
ibadah dengan baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah.
Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak pasien. Adanya
kecemasan dan stress sebagai pertahanan dan pasien meminta
perlindungan/mendekatkan diri dengan Tuhan YME
b) Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Keadaan baik dan buruknya pasien tanda-tanda yang perlu dicatat adalah
kesadaran pasien (compos mentis, somnolen, apatis, spoor dan koma yang
bergantung pada keadaan pasien, ringan, sedang dan berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut) tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
lokal baik fungsi maupun bentuk (Stanley, 2011).
 B1 (Breathing)
 B2 (Blood)
 B3 (Brain)
 B4 (Bladder)
 B5 (Bowel)
 B6 (Bone)
2) Pada pemeriksaan fisik regional fraktur terbuka, umumnya di dapatkan
hal-hal berikut ini.
a) Look
Terlihat adanya luka terbuka dengan deformitas yang jelas. Kaji
berapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah pada
luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar dan apakah terdapat
adanya kerusakan pada arteri yang beresiko akan meningkatkan
respons syok hipovolemik. Pada fase awal trauma sering didapatkan
adanya serpihan di dalam luka terutama pada trauma kecelakaan lalu
lintas darat yang mempunyai indikasi pada resiko tinggi infeksi.
b) Feel
Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi.

c) Move
Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh dilakukan karena
akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak disekitar ujung
fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu melakukan
pergerakkan pada sisi yang patah (Helmi, 2014).
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
c. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
d. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
3. Intervensi & Implementasi
(Lampiran 2)
4. Evaluasi
 Nyeri berkurang atau hilang
 Gangguan mobilitas fisik dapat teratasi dengan bertahap
 Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
 Infeksi tidak terjadi
 Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami
DAFTAR PUSTAKA

Appley, A. G and Solomon, L., 1995. Buku Ajar Orthopedi & Fraktur Sistem Aplley. Edisi 7,
Widya Medika. Jakarta

Arief Mansjoer. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi : 4. Jakarta : Media Aesculapius

A Geace Pierce, R Borley Neil, 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta :
Erlangga

Brunner & Suddarth, 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta EGC

Carpenito, L. J. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinik, Edisi 9. Jakarta:
EGC

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A., C, 2014. Rencana Asuhan Keperawatan
pedoman untuk Perencanaan Keperawatan Pasien. Edisi : 3. Jakarta : EGC

Helmi, Noor Zairin. 2013. Trigger Finger. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika

Muttaqin, Arif. 2012. Buku Saku Gangguan Muskuluskeletal Aplikasi pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Price, A. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi 4. Jakarta : EGC

Sherwood L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 2. Jakarta : EGC

Stanley, Hoppenfeld. 2011. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai