Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS HIDROGRAF SEBAGAI INDIKATOR

DALAM MENILAI KUALITAS DAS


(Studi kasus di DAS Kaligarang, Semarang)

Popi R dan Gatot I


Pusat Penelitian Tanah Agroklimat, Bogor

ABSTRAK
Tulisan ini membahas hasil penelitian analisis hidrograf sebagai indikator dalam
menilai kualitas daerah aliran sungai. Pemilihan lokasi ini didasarkan oleh karena banjir
di DAS Kaligarang merupakan persoalan krusial yang frekuensi dan intensitasnya
cenderung meningkat antara lain akibat : curah hujan yang tinggi dengan waktu yang
singkat, daya tampung air aktual DAS yang cenderung menurun akibat meningkatnya
luas permukaan kedap. Dengan lereng rata-rata yang sangat terjal (15-40 %) dan jarak
tempu yang pendek (32,8 km) dan luas permukaan kedap bertambah, maka kecepatan
aliran permukaannya cenderung meningkat dan akumulasi air disungai akan melebihi
daya tampungnya. Hal itu ditandai dengan peningkatan debit puncak (Qmaks) dan waktu
respon (tr) yang singkat, serta periode ulang yang semakin singkat.
Untuk menghitung besarnya volume aliran eprmukaan dari suatu DAS,
dilakukan analisis permisahan hidrograf (hydrograf separation). Pemisahan hidrograf
merupakan salah satu metode klasik yang dapat digunakan untuk mengitung besarnya
komposisi aliran penyusun debit sungai, berdasarkan analisis grafis kurva debit yang
terdiri dari curah hujan yang jatuh di atas permukaan sungai, aliran bawah permukaan
(base flow), dan aliran air bawah tanah.
Sehubungan dengan indikator kualitas DAS saat ini lebih banyak ditentukan
berdasarkan kriteria kualitatif, maka analisis hidrograf merupakan salah satu alternatif
untuk menilai kualitas DAS secara kuantitatif. Dengan indikator tersebut, maka evaluasi
kualitas DAS dapat dinilai secara fair.
PENDAHULUAN

Indonesia yang beriklim tropis mempunyai curah hujan yang sangat beragam
dan fluktuatif. Pada musim hujan tidak jarang terjadi bencana alam banjir, sebaliknya
pada musim kemarau sering terjadi kekeringan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam skala global dan kumulatif, jumlah air
di alam adalah tetap dan demikian juga dengan curah hujan kumulatif juga relatif sama.
Yang berubah dan berfluktuasi hanya sebarannya secara spasial dan periodik. Selanjutnya
berdasarkan studi oleh Perhimpunan Metereologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI),
keragaman sumberdaya air secara kumulatif (curah hujan) di Indonesia pada masing-
masing wilayah masih mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan air untuk pertanian
dan domestik. Namun dengan adanya koefisien limpasan pada beberapa wilayah,
terutama di Jawa, maka ekstrimitas air dalam bentuk kekeringan dan kebanjiran akan
selalu mengancam. Untuk itu perlu dicermati dan diantisipasi, antara lain melalui
identifikasi dan penataan air (hidrologi) masing – masing wilayah.
Selain itu bencana banjir tidak saja menimbulkan korban harta, tetapi juga
korban jiwa serta terganggunya aktifitas perekonomian. Karakteristik banjir cenderung
makin besar yang ditandai dengan peningkatan debit puncak serta waktu responnya,
dengan periode ulangnya semakin singkat akibat tekanan demografi (laju pertumbuhan
penduduk).
Dan juga adanya perubahan penggunaan lahan dari zone pertanian ke zone non
pertanian yang cenderung impermeabel (kedap air) akan menyebabkan penurunan laju
infiltrasi, sehingga sebagian air akan ditransfer menjadi aliran permukaan. Pengaruh
langsung yang terlihat dari perubahan karakteristik permukaan lahan tersebut adalah
meningkatnya koefisien aliran permukaan dan debit puncak serta waktu respon secara
signifikan.
Lebih lanjut tingginya aliran permukaan pada musim hujan akan menyebabkan
cadangan air tanah pad amusim kemarau menurun yang ditandai dengan terjadinya
kekeringan. Terhadap pengembangan tanaman tahunan, aliran permukaan sangat besar
dampaknya pada tingkat keberhasilan penghijauan, karena kecepatan aliran permukaan
yang tinggi akan menyapu tanaman tahunan yang masih muda. Sebaliknya menurunnya
cadangan air pada musim kemarau akan sangat mempercepat penurunan kualitas DAS,
karena pada awal musim hujan akan terjadi peningkatan volume aliran permukaan karena
DAS dalam kondisi bervegetasi minimum. Kondisi demikian menyebabkan kecepatan
aliran permukaan meningkat dengan waktu respon yang singkat, sehingga akan
berdampak terhadap waktu evakuasi apabila terjadi banjir.
Untuk menghitung besarnya volume aliran permukaan dari suatu DAS,
dilakukan analisis pemisahan hidrograf (hidrograf separation). Pemisahan hidrograf
merupakan satu-satunya metode klasik yang sering digunakan untuk menghitung
besarnya komposisi aliran penyusun debit sungai, berdasarkan analisis grafis kurva debit.
Menurut Viessman Et Al, hidrograf debit sungai terdiri dari curah hujan yang jatuh diatas
permukaan sungai, aliran bawah permukaan, dan aliran air bawah tanah. Dalam analisis
hidrograf, sumbangan air hujan yang jatuh langsung diatas permukaan sungai diabaikan.
Menurut Llamas, terdapat 2 tehnik pemisahan hidrograf, yaitu : metode
sederhana dan metode empirik. Metode sederhana hanya memisahkan debit menjadi
aliran dasar (base flow) dan aliran permukaan (runoff). Sedangkan metode empirik dapat
memisahkan komponen aliran sungai menjadi tiga : aliran permukaan, aliran bawah
permukaan (subsurface ronoff) dan aliran air bawah tanah (groundwater flow). Dalam
penelitian ini, pemisahan hidrograf dilakukan dengan menggunakan metode sederhana
seperti terlihat pada Gambar 1.

D
e
b
i Volume aliran Titik Deplesi
t permukaan

Volume aliran dasar

Waktu
Pemisahan dengan menggunakan isotop seperti yang disarankan oleh (Mikio
Hino and M. Hasabe, 1986) belum dapat dilakukan karena keterbatasan sarana.
Daerah aliran sungai Kaligaran merupakan salah satu DAS prioritas yang perlu
segera ditangani, karena hampir setiap tahn terjadi masalah banjir dan kekeringan. Bagian
hulu DAS ini merupakan pemasok utama sumber air bersih (kota Semarang yang
berpenduduk + 2 juta jiwa. DAS ini terdiri atas tiga sub DAS utaman yaitu Sub DAS
Kaligarang hulu Sub DAS Sikopek, dan Sub DAS Kripik.
Sehubungan indikator kualitas DAS saat ini lebih banyak ditentukan
berdasarkan kriteria kualitatif, maka analisis hidrograf merupakan salah satu alternatif
untuk menilai kualitas DAS secara kuantitatif.

BAHAN DAN METODE

Tempat Penelitian
Secara geografis DAS Kaligarang terletak antara 06o53’30” sampai 07o07’30”
LS dan 110o15’sampai 110o30’ BT. DAS ini terletak di Semarang Jateng, yang meliputi
tiga wilayah, yaitu Kodya Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal. Total
luas DAS Kaligarang adalah 220 km2, terdiri dari tiga sub DAS yaitu Sub DAS
Kaligarang Hulu (bagian timur) merupakan sub DAS terluas yaitu 79,4 km2 dengan
panjang rata-rata 4,78 m, dab sub DAS Sikopek (barat) mempunyai luas 15,35 km2
dengan panjang rata-rata 5,32 m. Sedangkan panjang sungai utama DAS Kaligarang
kurang lebih 23,5 km, mengalir dari hulu sungai di Pegunungan Ungaran, Kabupaten
Semarang dan bermuara di Laut Jawa mengalir melewati wilayah Kodya Semarang.
Kaligarang mempunyai anak sungai yang cukup banyak yang berbentuk seperti ranting
pohon yang disebut pola dendritik.

Bahan Penelitian
Data yang dikumpulkan adalah data curah hujan, tinggi muka air dan debit
sungai periode 1997-1998 dari pengamatan data pada stasiun pengukur iklim otomatis
(AWS) dan stasiun pengukur duga muka air otomatis (AWLR) yang dipasang di
Banyumanik, kripik dan sikopek milik Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.

Metode Penelitian
a. Penilaian Kualitas DAS dari Analisis Hidrograf
Penilaian curah hujan dan data debit tiap enam menit diperoleh dari hasil
pengukuran stasin pengukur iklim otomatis (AWS) dan stasiun pengukur duga muka
air otomatis (AWLR). Alat tersebut mampu merekam data yang disimpan dalam
media kaset. Kaset tersebut kemudian langsung dapat dibaca dan ditransfer menjadi
data iklim dan hidrologi dalam format Excell. Selanjutnya dilakukan analisis
hidrograf untuk ketiga sub DAS pada episode banjir yang sama, kemudian di plot
dalam grafik hubungan antara hujan dan debit. Dari analisis ini diketahui komponen-
komponen penyusun aliran permukaan kemudian dbandingkan untuk ketiga sub DAS.

b. Penilaian Kualitas DAS dari Debit Puncak


Debit puncak untuk ketiga sub DAS ditentukan pada episode banjir yang
sama, kemudian di plot dalam grafik hubungan antara debit puncak dengan intensitas
hujan maksimum. Qmaks/luas digunakan untk mengekspresikan besarnya intensitas
hujan maksimum sesuai persamaan sebagai berikut :
Q = C.i.A
Dengan : Q = debit (m3/dt)
i = intensitas hujan (mm/jam)
A = luas DAS (m2)
C = konstanta DAS
Selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan asumsi bahwa jika C sama, rasio
antara debit puncak dan luas DAS (Qmaks/luas) untuk ketiga Sub DAS dihitung,
demikian juga jika nilai i nya homogen nilai Qmaks/luas juga dihitung. Hasilnya di
plot dalam grafik antara Qmaks/luas dengan waktu, selanjutnya dibandingkan untuk
ketiganya.

c. Penilaian Kualitas DAS dari Waktu Respon


Sejalan dengan analisis terdahulu, pada episode yang sama ditentukan waktu
responnya dan dihitung rasio antara panjang rata-rata dan waktu respon dengan sub
DAS (/trespon). Kemudian setelah didapatkan nilai rasio untuk masing-masing sub
DAS dibandingkan. Perhitungan rasio tersebut adalah untuk menentukan kecepatan
aliran permukaan berdasarkan rumus sebagai berikut :
L
V 
t respon

Dengan : V = kecepatan aliran permukaan


L =panjang DAS rata – rata
t respon =
waktu respon

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Penilaian Kualitas DAS dari Analisis Hidrograf


Pada Tabel I disajikan rata-rata nilai intensitas hujan, debit puncak, waktu
respon, volume aliran permukaan, volume aliran dasar, dan koefisien aliran
permukaan pada episode banjir 22 Maret, 27 Maret, 28 Maret 1998 di Sub DAS Kali
Metro I, episode 27 Maret, 28 Maret, 27 April 1998 di Sub DAS Kali Metro II, dan
episode 22 Pebruari, 28 Pebruari, 28 Maret, dan 28 Maret 1998 di Sub DAS Kali
Metro III.
Tabel 1 Rata – rata intensitas hujan, debit puncak, luas DAS, waktu respon, volume
aliran permukaan, aliran dasar (baseflow) dan koefisien aliran permukaan.

Volume aliran Volume aliran


Intensitas Hujan Qmaks Luas DAS Waktu
Sub DAS permukaan dasar Koefisien RO
(mm/jam) (m3/dt) (m2) Respon
(m3) (m3)
Molek I 16.515 43.635 79,4 1.467 305.448,6 122785 0086
Molek II 16.298 9.110 16,59 1.250 57394,2 32856,2 0,151
Molek III 12.361 7.283 15,35 0.875 51969,4 30330 0,488

Pada gambar 3 disajikan analisis hidrograf 6 menitan dari debit pengukuran


di stasiun Banyumanik, Kaligarang. Gambar 3 disajikan analisis hidrograf 6 menitan
dari debit pengukuran dan simulasi di stasiun Kali Kripik dan gambar 4.2. disajikan
analisis hidrograf 6 menitan dari debit pengukuran dan simulasi di stasiun Kali
Sikopek.
Dari gambar 3 terlihat bahwa curah hujan sebesar 61,9 mm terjadi selama
1,7 jam (15.54` - 17.36`). Kejadian hujan ini menyebabkan debit mulai menaik pada
jam 16.12 dan mencapai puncak pada jam 18.18 WIB dengan debit puncaksebesar
46,04 m3/dt. Debit sungai kemudian menurun drastis selama 4 jam 24 menit sampai
mencapai debit 14,8 m3/dt pada jam 22.42 WIB, lalu secara perlahan terus menurun
mengikuti laju penurunan kurva resesi Kaligarang. Berdasarkan hasil perhitungan
diketahui bahwa intensitas hujan pada episode tersebut sebesar 0,61 mm/menit, waktu
respon DAS sebesar 1,5 jam, sedangkan time lag adalah 2,3 jam. Sedankan volume
debit banjir yang terjadi selama 4 jam 24 menit dimulai dari kurva debit menaik
hingga titik deplesi adalah sebesar 623202,9 m3 dengan komposisi volume aliran
permukaan sebesar 427386,2 m3 dan aliran dasar (baseflow) sebesar 195816,7 m3.
Dengan volume volume aliran permukaan 427386,2 m3, curah hujan sesaat yang
terjadi sebesar 61,9 mm serta luas DAS Kaligarang sebesar 79,4 km 2, maka koefisien
aliran permukaan sebesar 0,086.
Sedangkan pada ambar 4 terlihat bahwa curah hujan sebesar 48,6 mm terjadi
selama 1,9 jam (13.18` - 15.12`). Kejadian hujan ini menyebabkan debit mulai
menaik pada jam 13.30` dan mencapai puncak pada jam 15.24 WIB dengan debit
puncak sebesar 15,45 m3/dt. Debit sungai kemudian menurun drastis selama 4 jam 45
menit sampai mencapai debit 3,4 m3/dt pada jam 20.18 WIB, lalu secara perlahan
terus menurun mengikuti laju penurunan kurva resei Kali Kripik. Waktu respon DAS
sebesar 1,2 jam, sedangkan time lag adalah 2,1 jam. Sedangkan volume debit banjir
yang terjadi selama 4 jam 54 menit dimulai dari kurva debit menaik hingga titik
deplesi adalah sebesar 174521,1 m3 dengan komposisi volume aliran permukaan
sebesar 121961,9 m3 dan aliran dasar (baseflow) sebesar 52559,2 m3. Dengan volume
aliran permukaan 121961,9 m3, curah hujan sesaat yang terjadi sebesar 48,6 mm serta
luas DAS Kali Kripik sebesar 16,59, curah hujan sesaat yang terjadi sebesar 48,6 mm
serta luas DAS Kali Kripik sebesar 16,59 km2, maka koefisien aliran permukaan
sebesar 0,151.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa curah hujan sebesar 6,93 mm terjadi selama 1
jam (13.48` - 14.48`). Kejadian hujan ini menyebabkan debit mulai menaik pada jam
13.54` dan mencapai puncak pada jam 15.06` WIB dengan debit puncak sebesar 8,33
m3/dt. Debit sungai kemudian menurun drastis selama 7 jam 12 menit sampai
mencapai debit 1,8 m3/dt pada jam 22.18 WIB, lalu secara perlahan terus menurun
mengikui laju penurunan kurva resesi Kali Sikopek.
Waktu respon sebesar 36 menit, sedangkan time lag adalah 1,3 jam.
Sedangkan volume debit banjir yang terjadi selama 7 jam 12 menit dmulai dari kurva
debit menaik hingga titik deplesi adalah sebesar 82299,4 m3 dengan komposisi
volume aliran permukaan sebesar 51969,4 m3 dan aliran dasar (baseflow) sebesar
30330 m3. dengan volume aliran permukaan 51969,4 m3, curah hujan sesaat yang
terjadi sebesar 6,93 mm serta luas DAS Kali Sikopek sebesar 15,35 km2, maka
koefisien aliran permukaan sebesar 0,489.
Hasil analisis hidrograf dari ketiga sub DAS menunjukkan bahwa sub DAS
Kaligarang Hulu mempunyai koefisien aliran permukaan lebih rendah dibanding
kedua sub DAS lainnya, hal ini menunjukkan bahwa sub DAS Kaligarang ulu
mempunyai kualitas yang lebih rendah dibanding yang lainnya.

b. Penilaian Kualitas DAS dari Debit


Pada Gambar 6 disajikan grafik hubungan antara intensitas hujan dengan debit
puncak (debit maksimum). Gambar 6 menunjukkan bahwa intensitas hujan cenderung
konstan, sehingga debit maksimum yang terjadi merupakan respon dari kondisi /
kualitas DAS. Semakin rusak DAS, maka untuk intensitas hujan yang sama akan
memberikan debit maksimum yang lebih besar.
Apabila nilai C (konstanta) dianggap sama untuk ketiga Sub DAS, maka terlihat
bahwa Sub DAS Metro Hulu memiliki rasio tertinggi yaitu sebesar 0,550 diantara
ketiga Sub DAS yang dibandingkan (episode 22 Maret, 27 Maret dan 28 Maret 1998).
Sedangkan Sub DAS Kripik menempati urutan kedua dengan Qmaks/luas sebesar
0,549 untuk episode 27 Maret, 28 Maret, 2 April dan 27 April 1998.
Sub DAS Metro mempunyai Qmaks/luas sebesar 0,474 untuk episode 22 Pebruari, 28
Pebruari, 28 Maret, dan 2 April 1998. Lebih jauh lagi apabila nilai i (intensitas hujan
maksimum) dianggap “homogen” maka nilai Qmaks/luas menggambarkan kontribusi
setiap satuan luas DAS terhadap debit di hilir. Nilai Qmaks/luas yang tinggi
menggambarkan bahwa sumbangan setiap luas permukaan DAS terhadap debit
maksimum juga tinggi. Pada Gambar 7 disajikan grafik Qmaks/luas pada beberap
episode untuk ketiga Sub DAS.
Hasil perhitungan Qmaks/luas tersebut sejalan dengan kondisi dilapangan di Sub
DAS Kali Metro Hulur peningkatan luas permukaan kedapnya lebih tinggi
dibandingkan dengan dua Sub DAS lainnya. Akibatnya sebagian besar curah hujan
akan ditransfer menjadi debit dan sebagian kecil saja yang disimpan dalam tanah. Di
Sub DAS Krpik impermeabilisasi sudah mulai terjadi karena jarak tempuh ke kota
tidak terlalu jauh dibandingkan dengan Sub DAS Metro. Hasil penelitian inti sejalan
dengan yang didapatkan Tommy et al di Singapuran dan Kang et al. (1998) di Korea
Selatan. Dikemukakan bahwa dengan adanya urbanisasi, maka debit maksmum (debit
puncak cenderung meningkat karena infiltrasi menurun dan kecepatan aliran
permkaan meningkat.
c. Penilaian Kualitas DAS dari Waktu Respon
Analisis ini ditujukan untuk meliat kecepatan aliran permukaan dari sumber air ke
outlet di hilir. Informasi ini juga menggambarkan peranan DAS dalam hal ini
(vegetasi, tanah, usaha konversi, dan penggunaan tanah lainnya) dalam menekan
kecepatan aliran permukaan. Pada Gambar 8 disajikan grafik rasio panjang rata-rata
DAS dengan waktu respon. Gambar 8 menunjukkan bahwa kecepatan aliran
permukaan di Sub DAS Kali Metro Hulu tertinggi dibandingkan dengan dua Sub
DAS lainnya (Sub DAS Kripik dan Sikopek). Informasi ini menunjukkan bahwa
kualitas Sub DAS Kaligarang Hulu relatif lebih rendah dibandingkan dengan dua Sub
DAS lainnya. Kecepatan aliran permukaan rata-rata tertinggi menunjukkan bahwa air
hujan yang jatuh akan dipercepat waktu responnya menuju outlet karena kualitas
DAS sudah rusak.

KESIMPULAN

1. Semakin rusak DAS, maka untuk intensitas hujan yang sama akan memberikan debit
puncak yang lebih besar dibandingkan DAS yang kualitasnya masih baik.
2. Qmaks/luas untuk Sb DAS Kaligarang Hulu tertinggi dibandingkan Sub DAS Kripik
dan Sikopek, hal ini menunjukkan bahwa sumbangan setiap luas permukaan DAS
terhadap debit di hilir juga tinggi sehingga kualitas DAS dapat dikatakan relatif
rendah.
3. Kecepatan aliran permukaan di Sub DAS Kaligarang Hulu tertinggi dibandingkan
kedua Sub DAS yang lain, hal ini menunjukkan bahwa kualitas DAS Kaligarang
Hulu relatif lebih rendah sehingga air hujan yang jatuh akan dipercepat waktu
tempuhnya menuju outlet.
4. Koefisien aliran permukaan di Sub DAS Kaligarang Hulu terendah dibandingkan
kedua Sub DAS yang lain, hal ini menunjukkan bahwa kualitas DAS Kaligarang
Hulu relatif lebih rendah.
5. Diperlukan upaya untuk menurunkan debit puncak di DAS Kaligarang Hulu, antara
lain dengan panen hujan dan aliran permukaan. Panen hujan hujan dan aliran
permukaan dilakukan dengan membangun embung permanen atau semi permanen,
embung sawah, dan rorak. Tidak kalah pentingnya perlunya untuk mengatur alih
fungsi lahan dan kompensasinya agar dampak hidrologis dan ketersediaan air yang
ditimbulkan dapat diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pengairan Tingkat I Jawa Tengah. 1990 – 1994. Tinjauan Hidrologi Tentang
Keadaan Hujan di DAS Kaligarang, Semarang.
Irianto, G. 1995. Analyse des averses et des crues exceptionnelles mise au point d`un
systeme d`alerte. (le cas de l`annonce de crues a Java.) Memoire de fin d`estude.
ENSA Rennes. 74p.
Irianto, D dan T. Prasetyo. 1998. Panen Hujan dan aliran permukaan pada lahan berlereng
di Sub DAS Kaligarang Hulu dan pemanfaatannya untuk pengembangan
komoditas unggulan. Prosiding Seminar Teknologi spesifik lokasi dalam
menunjang pertanian wilayah. BPTP Ungaran.
Kang, I.S. J.I. Park and V.P. Singh, 1998. Efect of urbanisation on runoff characteristics
of the on-cheon stream watershed in Pusan, Korea Hydrological Processes. 12,
351 – 363.
Karama, A.S., dan Irsal Las. 1996. Pedekatan dan Program Penelitian dalam
Mengantisipasi bencana banjir dan Kekeringan, Mimeograf dalam seminar
dengan Bappeda Propinsi Jawa Tengah, Semarang, 7 Oktober 1996.
Llamas, J., 1993. Hydrologie Generale – Principes et Application. Gaetan Morin Editeur.
Boucherville. Quebec. Canada. 527p.
Mikio Hino and M. Hasabe., 1986. Separation of a strorm hydrograph into runoff
component by both filter-separation AR method and environmental isotope
tracers. Journal of hydrology, 85 (251 – 264).
Tim Puslittanak. 1998. Laporan Penelitian Karakterisasi dan Analisis Biofisik DAS untuk
mengendalkan Banjir dan Kekeringan DAS Kaligarang. Tim Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bogor.

MEREALISIR DIVERSIFIKASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DALAM


MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN : INOVASI TIADA HENTI
1. Pendahuluan
Diversifikasi penggunaan air irigasi sebenarnya bukanlah hal baru muncul
kepermukaan. Sebelum berbagai pendapat mencuat tentang pentingnya divesifikasi
penggunaan air, petani sendiri sudah melakukannya. Tidak ada catatan kapan petani
mulai pertama kali mendiversifikasikan penggunaan air irigasi. Walaupun ditemui
bahwa pada abad ke – 19 di zaman kolonial Belanda diversifikasi penggunaan air
irigasi telah dilakukan petani dengan penanaman berbagai jenis komoditi seperti tebu,
rosela, dan tembakau pada lahan beririgasi yang dipergilirkan dengan tanaman padi.
Namun demikian tetap diyakini bahwa sebelum masa itu (abad ke – 19) diversifikasi
penggunaan air irigasi sudah terjadi dalam bentuk yang sederhana sebagai sampingan
dari usaha tani padi sawah seperti pemeliharaan dan penanaman sayur – sayuran pada
lahan beririgasi. Jelihatannya diversifikasi penggunaan air irigasi seiring
keberadaannya dengan irigasi itu sendiri.
Pendiversifikasian penggunaan air irigasi walaupun sudah lama dilakukan petani
(telah mengalami evolusi) pola usaha tani yang sangat tergantung kepada orientasi
dan lingkungan untuk mendiversifikasikannya. Penggunaan air irigasi utama dtujukan
untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertanaman monokultur pad sawah dan lainnya
merupakan usaha sampingan.
Dalam perkembangannya, pendiversifikasian penggunaan air irigasi oleh petani
sangatlah beragam sejalan dengan beragamnya rasionalitas petani dan dukungan dari
lingkungan seperti karakteristik fisik irigasi, faktor sosial dan ekonomi. Pada taraf
awal diversifikasidapat dilihat sebagai usaha memproduksi komoditi pada lahan
beririgasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Pada taraf
berkutnya diversifikasi penggunaan irigasi (taraf lanjut) ditujukan untuk memperoleh
tambahan pendapatan dari berbagai usaha penggunaan air irigasi.
Tujuan utama penyediaan air irigasi selama ini adalah untuk emmenuhi kebutuhan air
bagi pertanaman padi sawah pada lahan beririgasi, telah menunjukkan kesuksesan
yang gemilang, dengan tercapainya swa sembada beras pada tahun 1984 Indonesia
kembali menjadi pengimpor beras bahkan menyandang gelar sebagai pengimpor
beras kelas kakap dunia. Namun demikian air irigasi lebih diidentikkan dengan usaha
monokultur padi yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan (swasembada) pangan
pokok yakni beras.
Dalam kekentalan citra air irigasi (hanya) untuk pertanaman padi sawah, pemerintah
mengeluarkan deregulasi UU No. 12/1992 tentang budidaya tanaman yang
memberikan kebebasan kepada petani dalam memilih jenis tanaman yang akan
diusahakan termasuk jenis tanaman dan cara membudidayakannya. Aturan ini
melindungi petani untuk memilih jenis tanaman yang akan diusahakan termasuk jenis
tanaman di lahan beririgasi. Pusposutarjo (1996) mengulas bahwa walaupn ada
peraturan yang melindungi petani dalam memilih jenis tanaman dan cara
pembudidayaannya, dalam hal pemanfaatan air irigasi yang yang merupakan sarana
utama keberhasilan usahatani (terutama padi), masih terikat pada aturan dan
pembinaan pemerintah yang berlaku sekarang. Kebebasan memilih jenis dan cara
membudidayakan tanaman pada lahan beririgasi masih diselimuti kekentalan citra
bahwa penggunaan air irigasi utama adalah untuk padi sawah.
Walaupun pemanfaatan air irigasi masih terikat dengan peraturan pemerintah,
kreatifitas petani dalam mendiversifikasikan air irigasi selain padi sawa tetap ada.
Peluang diversifiaksi yang ditangkap petani merupakan usaha untuk meningkatkan
dan menciptakan komoditi lain dan komoditi padi itu sendiri perolehan kesempatan
untuk meningkatkan pendapatan. Dalam hal ini, diversifkasi dapat dipandang sebagai
usaha menciptakan insentif ekonomi yang lebih besar dari penggunaan air irigasi
diluar usaha tani padi sawah. Helmi (1995) menyatakan untuk meningkatkan insentif
ekonomi dari penggunaan air irigasi perlu perubahan dari monokultur padi ke
diversifikasi tanaman dan selanjutnya diversifikasi usaha berbasiskan air dengan tidak
mematikan usaha tani padi sawah.
Perubahan orientasi ini dapat dilihat sebagai dkungan terhadap ketahanan pangan,
dalam bentuk kesempatan untuk menghasilkan beras yang optimal (sebagai sumber
karbo hidrat) dan usaha lain diluar padi sawah sebagai sumebr protein. Diversifikasi
penggunaan air irigasi yang tidak mematikan atau mensubstitusi padi sawah, akan
tetapi memberikan kesempatan kepada petani untuk meningkatkan pendapatannya
dengan memproduksi (padi) beras itu sendiri dan usaha diversifikasi lainnya
merupakan pilihan yang relevan dalam mendukung ketahanan pangan.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mengkreasi diversifikasi air irigasi dapat
mendukung ketahanan pangan, dan bagaimana mendiversifikasikan penggunaan air
irigasi tidak merupakan usaha / gerakan sesaat (sporadis), melainkan merupakan
usaha – usaha yang berkelanjutan sustainable) serta pertanyaan ikutan lainnya dari
dua pertanyaan sbelumnya.
Makalah ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana diversifikasi penggunaan air
irigasi dapat mendukung ketahanan pangan. Dan langkah – langkah apa yang
diperlukan sehingga diversifikasi bukanlah kegiatan yang sifatnya sporadis,
melainkan terus berlanjut dan didukung oleh semua pihak (stakeholders).

2. Diversifikasi Penggunaan Air Irigasi dan Ketahanan Pangan


Diversifikasi dalam bentuk pengusahaan multi tanaman dan usaha bisnis berbasiskan
air irigasi (selanjutnya disebut diversifikasi saja), akan memberikan manfaat yang
lebih dari pada tanaman tunggal (misalnya hanya padi sawah), karena multi tanaman
dan usaha bisnis berbasiskan air akan meningkatkan; 1. Efisiensi pemanfaatan air
irigasi; 2. Intensitas tanam dan; 3. pendapatan petani Pasandaran dkk, (1998).
Disamping itu diversifikasi penggunaan air irigasi dapat dijadikan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomy dan sekaligus instrumen dalam mentransformasikan sektor
pertanian yang lebih tangguh dan struktur perekonomian pedesaan yang lebih
berimbang.
Diversifikasi penggunaan air irigasi dapat berbentuk diversifikasi yang bertutjuan
untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya sendiri (subsisten) dan tidak
berorientasi pasar, kondisi ini dapat dikategorikan sebagai diversifikasi taraf awal.
Diversifikasi dalam tahap ini merupakan diversifikasi serta – merta atau kelumrahan
diversifikasi. Difersifikasi sebagai usaha untuk meningkatkan kapasitas (potensi) air
irigasi yang ada, beserta peluang – peluang (insentif) ekonominya dapat
dikategorikan sebagai diversifikasi tingkat lanjut, dengan tujuan memperoleh
tambahan pedapatan dari usaha diversifikasi.

2.1. Pola dan Jenis Diversifikasi enggunaan Air Irigasi


Secara umum bentuk atau pola diversifikasi menurut jenis komoditinya ada dua
yakni diversifikasi pertanian dan diversifikasi usaha berbasiskan air non
pertanian. Pola diversifikasi pertanian merupakan kegiatan untuk emmproduksi
berbagai jenis komoditi dari penggunaan air irigasi antar alain ; multi tanaman
(padi – sauran/palawija, tebu, dll), perikanan, pemelharaan itik, dan ternak.
Diversifikasi usaha berbasiskan air non pertanian meliputi usaha – usaha diluar
sektor pertanian seperti air minum, mandi, mencuci dan jamban keluarga,
pencucian kendaraan, pembangkit listrik tenaga air mini (microhidro), kincir
penggilingan (milling) padi dan tepung, kebutuhan pencucian bahan tambang
seperti pencucian batubata dan batu bintang (obsidan), dan jasa lainnya seperti
kolam pancing ikan. Penyediaan sarana produksi (nput usahatani), alat dan
mesin pertanian, serta input non pertanian lainnya yang terkait dengan
penggunaan air irigasi termasuk kedalam rangkaian usaha diversifikasi.
Berbagai kemungkinan lokasi untuk melaukan diversifikasi pada sistem irigasi
adalah pada lahan sawah beririgasi tetapi juga pad abangunan irigasi seperti di
bendungan irigasi, di saluran pembawa dan saluran pembuang (drainase).
Pola dan jenis diversifikasi penggunaan air irigasi sangat beragam dilihat dari
ketersediaan air pada sistem irigasi lihat Tabel I. Kedua bentuk pola
diversifikasi penggunaan air irigasi selalu ada pada berbagai tingkat
ketersediaan air. Ketersediaan air yang semakin memadai pada sistem irigasi
diikuti dengan semakin beragamnya komoditi dan usaha-usaha diversifikasi.
Pada bendungan irigasi tercipta pola diversifikasi pertanian pada ketersediaan
air kurang dan cukup dan pada kondisi ketersediaan air berlebih muncul
diversifikasi pola pertanian. Pada saluran pembawa diversifikasi yang terjadi
adalah pola pertanian dan non pertanian, dan pada saat ketersediaan air cukup
dan berlebih pola diversifikasi non pertanian, dan pada saat air cukup dan
berlebih cenderung hadir pola diversifikasi non pertanian. Pilihan jenis komoditi
pada pola diversifikasi dengan kondisi ketersediaan air kurang pilihan jenis
komoditi adalah kalau tidak padi, tentu palawija / sayuran, yang sifatnya bukan
substitusi, melainkan mana yang mungkin.
Pola diversifikasi pertanian cenderung bersifat komplemen terhadap usaha tani
padi sawah. Pola diversifikasi non pertanian lebih bersifat mensubstitusi
(mengancam/mematikan) usaha tani padi sawah. Diversifikasi penggunaan air
tidak saja terdapat pada lingkungan irigasi kecil juga terdapat pada irigasi besar
(lihat Martius, 1996 dan Mawardi, 1996).

2.2. Diversifikasi dan Ketahanan Pangan


Sejalan dengan diversifikasi penggunaan air irigasi, ketahanan pangan bertujuan
meningkatkan ketersediaan pangan pokok dalam jumlah yang cukup, kualitas
yang memadai. Sasarannya adalah : 1. meningkatkan produksi beras secra
berkelanjutan ; 2. meningkatkan produksi pangan sumber karbohidrat ; 3.
meningkatkan produksi pangan protein untuk memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat dan ; 4. keanekaragaman konsumsi pangan.
Melalui diversifikasi penggunaan ir irigasi terutama diversifikasi pola pertanian
berpeluang untuk meningkatkan ketahanan pangan melalui produksi beras untuk
pemenuhan kebutuhan karbohidrat dan produksi hewani seperti ikan dan itik
untuk pemenuhan kebutuhan protein. Diversifikasi yang mendukung ketahanan
pangan ini adalah diversifikasi komplementer dan bukan yang ebrsifat substitusi
terhadap usaha padi sawah.
Diversifikasi serta-merta dan bersifat sampingan dapat mendukung ketahanan
pangan pada level mikro (tingkat rumah tangga petani) yang melaukannya.
Kegiatan ini, kalau melibatkan banyak petani akan berpengaruh secara makro
(wilayah) dan bila sebaliknya akan tidak nyata dampaknya bahkan tidak ada
untuk tingkat wilayah. Diversifikasi berorientasi pasar, cenderung memberi
manfaat kepada pemenuhan kebutuhan pangan wilayah sekaligus kebutuhan
pangan dan meningkatkan pendapatan petani itu sendiri (baik sebagai produsen
maupun konsumen). Diversifikasi penggunaan air irigasi dalam hal ini dapat
dikatakan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan menciptakan dampak
pengganda (multiple efek) baik terhadap pendapatan maupun tenaga kerja.
Pendekatan yang digunakan dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui
diversifikasi penggunaan air irigasi adalah pertanian yang berwawasan
agribisnis, yang ebrtujuan mendorong berkembangnya usaha-usaha pertanian
yang dapat memberikan nilai tambah, peningkatan pendapatan, tenaga kerja
pertanian, pengembangan ekonomi wilaah dan mendukung pertumbuhan
pendapatan nasional (Deptan RI ?).
Helmy (1996) menyatakan dalam diversifikasi penggunaan air petani harus
diarahkan melakukan aktifitas untuk memperoleh intensif ekonomi yang lebih
besar daripenggunaan air irigasi dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Hal
ini dilakukan melalui pengembangan kelembagaan usahatani, pengembangan
dan pemanfaatan sumberdaya lokal dan kemampuan petani setempat, serta
pendekatan agribisnis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani.
Dengan demikian diversifikasi penggunaan air irigasi, merupakan pilihan
strategis dalam mendukung ketahanan pangan. Akan tetapi usaha diversifikasi
penggunaan air irigasi cenderung bersifat sporadis dan bahkan banyak yang
menemui kegagalan.

3. Diversifikasi Sporadis dan Kegagalan Berulang


Diversifikasi penggunaan air irigasi pada tahap lanjut seperti dijelaskan diatas,
Diversifikasi penggunaan air irigasi dan usaha – usaha bisnis berbasiskan air sering
sesaat (sporadis), dan pada waktunya muncul lagi dalam bentuk diversifikasi yang
sama ataupun dalam bentuk komoditi yang ebrbeda, dan tidak merupakan kegiatan
yang berkesinambungan (susnaible), diversifikasi hanya berjalan sesaat, pada waktu
ada energi yang menopang baik dalam bentuk program – program pemerintah
maupun kebijakan yang mendukung.
Ada banyak faktor yang menyebabkan diversifikasi sporadis dan kegagalan berulang
dalam pemanfaatan ekonomi air irigasi, antara lain ; (1). karakteristik air irigasi dan
bangunan irigasi ; (2). institusi (kelembagaan) petani pengguna air yang belum
mendukung ; (3). kurangnya kemampuan petani mengakses pasar dan ;
(4). Kurangnya modal untuk diversifikasikan dan bisnis berbasiskan air.

3.1. Karakteristik Sistem irigasi


Rancang bangun irigasi selama ini memang secara jelas ditujukan hanya untuk
pola pertanaman padi (monokultur), bukan untuk diversifikasi penggunaan air
irigasi. Arif (1996) menyatakan ketidaksesuaian rancang bangun maupun tata
letak. Dimana sistem irigasi di Indonesia yang dibangun pemerintah hampir
sebagian besar dirancang atas dasar pemenuhan kebutuhan tanaman
padi.dimana pad ajaringan pemberi dipakai kriteria rancang bangun kebutuhan
air maksimum tanaman padi yang dicapai pada saat pengolahan.
Ketidaksesuaian rancang bangun irigasi untuk diversifikasi penggunaan air
selain padi, mesti bukanlan penghalang untuk mendiversifikasikan penggunaan
air. Yang lebih penting dari itu adalah kondisi – kondisi ketersediaan atau
kekurangan air pada sistem irigasi. Diversifikasi penggunaan air irigasi bermain
padakondisi ketersediaan air yang ada. Penyesuaian diversifikasi oleh petani
pada kondisi sumberdaya air, adanya kearifan ketani menyesuaikan pola
diversifikasi sejalan dengan ketersediaan air. Akan tetapi persoalan pada saat air
perlu dalam jumlah cukup, tidak bisa disuplai oleh sistem irigasi walaupun
awalnya air dianggap tersedia dalam jumlah cukup. Untuk itu perlu layanan
pertanian yang memungkinkan usaha berbasiskan air dan diversifikasi tidak
terancam. Gumay (1993) cit Hayatuddin, (1996) bahwa petani (masyarakat)
kesulitan dalam mengembangkan usaha berbasiskan air disebabkan karena
petani kesulitan dalam memilih tanaman yang kompratif dan akrab dengan
ketersediaan air.
Peran Pemerintah : Pemerintah harus masuk memberikan layanan informasi
ketersediaan air kepada petani untuk memilih dan melaksanakan diversifikasi.
Keterbatasan layanan pemerintah menyebabkan kegagalan petani dalam
diversifikasi. Camey (198), mengisyaratkan bahwa dalam kondisi ini
pemerintah harus masuk ke dalam situasi yang sebenarnya tidak lagi mampu
ditangani petani. Pertanyaannya adalah apakah dengan situasi seperti ini
rancang bangun sistem irigasi harus dirubah atau disesuaikan. Jawabannya bisa
ia bisa tidak. Kalau bangunan irigasi yang telah ada akan disesuaikan dengan
kebutuhan petani mendiversifikasikan air dan kegiatan usaha berbasiskan air
akan menimbulkan biaya yang besar, kalau tidak disesuaikan diversifikasi
penggunaan air cenderung terancam.
Disamping layanan informasi ketersediaan air, pemerintah perlu memberi
lancasan berpijak bagi petani dalam pendiversifikasian penggunaan air iriagsi
Petani dan institusinya akan mengadaptasi layanan dan kebijakan pemerintah
tentang diversifkasi. Rasionalitas petani akan memilih tanaman (komoditas) dan
bentuk – bentuk usaha berbasiskan air yang cocok menurut mereka, apakah
berorientasi pasa atau hanya sekedar pemenuhan kebutuhan rumah tangganya.
Intensitas layanan pemerintah akan mendukung rasionalitas petani serta perilaku
pola tanam mono kultur padi dan diversifikasi. Upaya pengarahan pemilihan
(layanan) komoditi pertanian yang dihantarkan kepetani dalam pengembangan
diversifikasi yang tidak menimbulkan akkibat sampingan yang merugikan
petani dan kelangsungan sarana irigasi itu sendiri.
3.2. Institusi (kelembagaan) petani.
Kurangnya kemampuan institusi (kelembagaan) petani pada saat sekarang
dalam menangkap peluang diversifikasi penggunaan air irigasi dapat dilihat
sebagai kelumrahan. Institusi yang hanya mengelola tanaman monokultur padi
saja belum banyak yang berhasil.
Pengelolaan usaha diversifikasi penggunaan air merupakan beban tambahan
bagi institusi petani. Tambahan beban baru dan beban lama (mengelola irigasi
untuk usaha monokultur padi) belum terpikul, menyebabkan institusi petani
menjadi bungkuk untuk berperan. Akan tetapi pertanyaanya adalah apakah
institusi yang belum memainkan perannya disebabkan ketidakmampuan ? atau
memang belm bekerja keras karena lingkungan yang tidak kondusif ? keduanya
dapat melekat kepada organisasi petani diatas kertas itu.
Penyesuaian institusi petani dari monkultur padi ke diversifikasi dan usaha
berbasiskan air adalah penting. Pengautan kelembagaan petani dengan
mengadopsi pengelolaan monokultur padi yang mentradisi dapat dijadikan
pilihan. Sekaligus disesuaikan dengan kebutuhan manajemen irigasi terhadap
pola diversifkasi.

3.3. Kemampuan akses pasar petani


Sejalan dengan dua faktor diatas, kemampuan petani mengakses pasar tetap
menjadi persoalan rumit. Kerumitannya sama dengan produk – produk pertania
lainnya. Ketertarikan petani untuk diversifikasi lebih dirangsang dengan
informasi harga pada saat mereka merencanakan pola diversifikasi. Kegagalan
mereka hadapi adalah pada saat mereka telah menghasilkan dan harga turun.
Bahkan sulit untuk dipasarkan. Disamping kegagalan dalam memasarkan hasil,
petani juga dihadapi dengan kegagalan dalam berproduksi yang disebabkan
karena harga faktor produksi ditingkat lokal tinggi dan sulit diperoleh.
Kegagalan pasar dalam diversifikasi bagi petani tentulah merugikan, akan tetapi
kelihatannya ada keselektifan petani dalam mengusahakan komoditi.
Keselektifan ini terbentuk karena pengalaman yang berulang mereka hadapi.
Sehingga kegagalan disatu komoditi, komoditi lain mungkin akan memperoleh
keuntungan. Kalau tidak cabe, bawang pun jadi, kalau tak ikan itik pun boleh,
diversifikasi suatu komoditi mungkin gagal pada suatu ketika, dilain waktu
diversifikasi dengan komoditi yang lain akan memberikan keuntungan.
Penyesuaian kegagalan pasar yang dilakukan petani, akan menyulitkan
perkembangan diversifikasi yang dapat mendkung ketahanan pangan.
Diversifikasi masih tetap berlangsung akan tetapi dalam irama yang lambat dan
dalam diversifikasi untung – untungan. Hal ini mencerminkan kembali pola
diversifikasi serta merta yang sporadis.
Peran pemerintah dan swasta. Dalam mengantisipasi kegagalan pasar
pemerintah dan swasta sudah sepatutnya masuk memberi layanan kepada
petani. Layanan pemerintah semesti bukan informasi harga, akan tetapi adalah
informasi pasar “informasi pasar berbeda dengan informasi harga”. Yang
ditangkap oleh oleh petani termasuk juga pemerintah selama ini cenderung
informasi tingkat harga sesaat. Ini tidak etrlalu penting, yang lebih penting
adalah informasi yang menyatakan harga pada masa datang. Untuk memberi
layanan informasi, dibutuhkan data akurat tentang pembentukan harga yakni
permintaan (deman) dan suply (penawaran) suatu komoditi. Informasi harga
yang diperoleh dari kesetimbangan deman dan suply akan mengantisipasi
kegagalan pemasaran produk diversifikasi yang diusahakan petani.

3.4.Modal dan layanan kredit untuk usaha diversifikasi


Faktor lain kegagalan usaha yang menyebabkan diversifikasi sporadis adalah
keterbatasan dana dan duungan permodalan oleh pihak luar. Bantuan pemerintah
lebih banyak bersifat tentative program, dan tidak berkesinambungan. Petani
dengan kondisi ini sulit untuk berkembang karena tidak didukung oleh
ketersediaan dana yang cukup secara kontinyu. Kemampuan pemerintah dalam
memberikan layanan pendanaan yang dijadikan tumpuan, pada masa sekarang
dan masa datang terus menyusut, sejalan dengan kemampuan dana pemerintah
yang terus berkurang. Perhatian sekarang tertuju kepada lembaga keuangan
seperti Bank, dan Dana Ventura atau perbankan Syariah. Persoalannya adalah
kebanyakan petani tidak mempunyai akses kepada lembaga keuangan yang ada,
termasuk ke koperasi dan lembaga keuangan lokal seperti Lumbung Pitih
Nagari (LPN)1 yang telah mereka ketahui. Akses kelembaga keuangan lebih
banyak dimiliki oleh sebagian kecil petani saja.
Persoalan lain dari ketidak aksesan mereka lebih disebabkan karena mereka
tidak memiliki agunan yang diakui oleh pihak lembaga keuangan, karena
mereka adalah petani gurem yang
Mengandalkan tenaga kerja mereka (meluarga) penyambung hidup. Kalaupun
punya aset yang dapat dijadikan agunan, akan tetapi sangat terikat dengan
aturan lokal (adat) dan aturan lingkungan kekerabatan mereka.
Kebutuhan dana bagi petani dalam diversifikasi bukanlah pada seluruh rantai
kagiatan produksi, akan cenderung pada satu / dua kegiatan saja seperti
ketiadaan dana untuk pemupukan atau untuk membeli pakan. Kegagalan satu
rantai saja berarti kegagalan usaha diversifikasi.
Persoalannya adalah bagaimana petani dalam mendiversifikasikan usahanya
didukung oleh ketersediaan dana dari petani dan dukungan dari pihak luar.
Tanpa dukungan dana diversifikasi akan berjalan sporadis dan akan mengalami
kegagalan berulang.
Kepada siapa dan bagian mana dari kegiatan diversifikasi diberikan pinjaman
(kredit) ? kredit yang diberikan adalah kredit yang dapat menjangkau (diakses)
petani secara keseluruhan. Bentuk pelayanan kredit adalah pinjaman yang
sifatnya selektif terhadap rantai kegiatan diversifikasi yakni bagian rantai
kegiatan yang terganggu akibat ketiadaan dana serta selektif terhadap petani
penerima kredit. Pihak luar baik pemerintah atau lembaga keuangan tidak
masuk ke bagian rantai kegiatan diversifikasi yang dapat ditanggulangi
pendanaannya oleh petani. Tanjung (1997) memberikan contoh keberhasilan
kredit selektif kepada kegiatan usaha pertanian melalui BSP. Keberhasilan BSP
lebih dikarenakan atas kontrol dari semua anggota dan selektif pinjaman yang
diberikan (hanya untuk bagian tertentu saja dari kegiatan usaha pertanian).
Agunan tidak menjadi persyaratan, kepercayaan semua anggota akan penerima
pinjaman adalah mutlak. Kegagalan usaha yang dijalankan yang tidak dapat
dikontrol, bukanlah kesalahan peminjam. Kegagaln itu sepenuhnya diketahui
oleh anggota yang lain, dan tidak merupakan kewajiban untuk mengembalikan
pinjamannya.
Bruns (2000) menegaskan bahwa petan dan kelompoknya adalah layak untuk
menerima kredit. Pengetahuan lokal dan kontrol sosial mereka akan mengontrol
investasi dan pengembalian kredit. Kelayakan kredit sesungguhnya datang dari
kepercayaan i pemberi pinjaman terhadap kemampuan peminjam untuk
membayar pinjaman. Agunan seharusnya bukanlah keharusan, akan tetapi
agunan difungsikan sebagai ancaman untuk mengembalikan pinjaman.
4. Merealisir Diversifikasi Penggunaan Air Irigasi Dan Usaha Bisnis Berbasiskan
Air : Sebuah Proses Inovasi Tiada Henti
Dinamika diversifikasi penggunaan air irigasi dan usaha bisnis berbasiskan air terus
berjalan, seirama dengan dukungan yang dialami petani merupakan wujud dari
dampak dari dukungan / energi yang diberikan. Persoalan pokok yang telah
diungkapkan diatas perlu terus diatasi secara kompromis antara pihak luar (swasta
dan pemerintah) dengan petani sebagai pelaku diversifikasi. Faktor – faktor berikut
itu adalah relevan untuk merealisir diversifikasi dalam mendukung ketahanan pangan.
4.1. Otonomi Pengelolaan irigasi
Perwujudan otonomi pengelolaan irigasi telah dimulai dengan kebijakan
pemerintah melalui Program Penyerahan Irigasi Kecil (PIK) yakni penyerahan
pengelolaan irigasi kecil (dibawah 500 Ha) dan selanjutnya diikuti dengan
Program Penyerahan irigasi (PPI) pada daerah irigasi di atas 500 Ha sebagai
Implementasi Inpres No. 3/1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan
Pengelolaan Irigasi. Penyerahan ini didorong oleh semakin berkurangnya
kemampuan kemampuan pemerintah dalam membiayai OP Irigasi. Untuk itu
petani melalui institusinya digiring masuk keruangan untuk memikul beban
yang tidak lai ditanggung pemerintah. Berkurangnya kemampuan pemerintah
mendanai irigasi, disisi lain jumlah daerah irigasi yang cukup besar, persoalan
keberlanjutan sistem irigasi adalah penting karena menyangkut hidup orang
banyak.
Kegiatan penyerahan pengelolaan irigasi itu, tidak terlepas dari upaya – upaya
pemberdayaan masyarakat (petani) untuk mampu mengelola air dan bangunan
irigasi dan menggali sumber pendapatan yang dapat meningkatkan
kesejahteraannya. Penciptaan insentif ekonomi melalui diversifikasi adalah
penting sebagai sumber energi bagi petani dalam memikul beban OP,
meningkatkan pendapatan sekaligus mendukung ketahanan pangan dan
keberlanjutan sistem irigasi.
Otonomi pengelolaan irigasi akan memberikan kesempatan bagi petani untuk
berkreasi dalam menciptakan insentif ekonomi irigasi yang lebih besar,
sekaligus memberikan landasan yang kuat terhadap implementasi dari
kebebasan memilih jenis tanaman dan cara – cara pembudidayaannya menurut
UU No. 12 / 1992 tentang budidaya tanaman.
Penyesuaian kelembagaan petani yang adaptif termasuk rancang bangun irigasi,
dan kearifan petani dalam diversifikasi penggunaan air irigasi secara gradual
meningkatkan energinya dalam mendukung OP Irigasi dan keberlanjutan irigasi
dalam mendukung ketahanan pangan yang berlangsung dalam suatu proses yang
berkelanjutan.

4.2. Layanan Informasi Pasar dan Keakurasian Data


Faktor harga merupakan salah satu rangsangan bagi petani untuk memilih jenis
komoditi dan pelaksanaan diversifikasi usaha berbasiskan air. Persoalan yang
timbul, adalah kegagalan pemasaran komoditi yang telah dihasilkan petani
sebagai akibat harga yang jatuh pada saat usaha diversifikasi telah
menghasilkan. Petani cenderung serentak melakukan diversifikasi, paling tidak
serentak (seragam) dalam memilih jenis komoditi yang akan diusahakan pada
saat keputusan diversifikasi dilakukan. Persoalan utama sebenarnya bukanlah
harga itu sendiri, karena harga terjadi melalui mekanisme pasar. Kegagalan yang
terjadi adalah kegagalan dalam mengagihkan informasi, informas yang
dibutuhkan petani seharusnya adalah informasi pasar bukan informasi harga
yang sifatnya sesaat.
Untuk menyajikan informasi pasar yag akan menghasilkan informasi harga pada
suatu waktu tertentu diperlukan data yang akurat yang membentuk harga yakni
informasi / data tentang deman dan supply dari suatu komoditi. Menghindari
kegagalan tersebut pemerintah dalam hal ini seharusnya tidak lagi memberikan
informasi harga (sifatnya sesaat) akan tetapi informasi harga dari pengolahan
data suplly dan deman yang akurat.
Namun demikian informasi harga tidaklah sepenuhnya menjadi beban
pemerintah, akan tetapi dapat ,elibatkan perguruan tinggi dan lembaga swadaya
masyarakat serta pihak swasta yang mampu untuk menyajikan informasi pasar
yang akurat. Keakurasian informasi pasar yang sebenar (bukan informasi harga
sesaat) dapat mendukung kehandalan diversifikasi penggunaan air irigasi dalam
mendukung ketahanan pangan.

4.3. Kredit Mikro Pedesaan dan Selektif Kredit.


Untuk menjamin keberhasilan petani dalam diversifikasi penggunaan air irigasi
yang mendukung ketahanan pangan diperlukan energi berupa dukungan
pendanaan kepada petani. Keterbatasan pendataan petani dalam diversifikasi
selama ini karena mereka tidak mempunyai atau kesulitan mengakses lembaga
keuangan yang ada. Kesulitan ini disebabkan karena ketiadaan agunan yang
menjadi persyaratan dan kepercayaan si pemberi pinjaman terhadap
kemampuan peminjam untuk membayar kembali injamannya.jumlah petani
yang banyak yang tidak terjangkau oleh tenaga si pemberi pinjaman termasuk
factor yang mempengaruhi ketidak aksesan petani, disamping factor
kepercayaan petani terhadap lembaga pendaan itu sendiri.
Kebutuhan dana bagi petani dalam melakukan diversifikas tidaklah pada seluruh
rantai kegiatan. Pada bagian kegiatan diversifikasi, kebutuhan dana dapat
dipenuhi sendiri oleh petani dalam bentuk substitusi dengan tenaga kerja
keluarga, peralatan yang dimilki, bahan dan tabungan dalam bentuk natura.
Pada bagian tertentu dari rantai keiatan diversifikasi yang dapat dipenuhi secara
local dan sumberdaya / kemampan petani, bantuan (kredit) tidak harus masuk
kedalam kegiatan diversifikasi. Pinjaman kredit dari pihak luar masuk ke bagian
– bagian yag tidak dapat lagi di tanggulangin oleh petani yang akan mengancam
diversifikasi penggunaan air irigasi.
Kredit usaha tani yang selama ini diberkan, belum sepenuhnya dilakukan
penilaian terhadap kebutuhan dana bagi petani dalam berusaha tani termasuk
dalam kegiatan diversifikasi. Kredit pertanian yang diberikan kepada petani,
belum mempertimbangkan atau menilai kebutuhan mana dari rantai kegiatan
usaha pertanian yang memerlkan kredit. Sehingga kredit yang diterima petani
mencakup bagian – bagian tertentu dari kegiatan usaha tani yang mampu
ditanggulangi petani, yang seharusnya tidak mesti ditanggulangi melalui
pemberian kredit. Hal ini dikategorikan sebagai pemberian kredit tidak
mencapai sasaran (bocor) dilihat dari sisi rantai usaha yang membutuhkan
kredit. Pemberian kredit tidak tepat sasaran usaha, menyebabkan petani tidak
kreatif dalam menggali sumberdaya potensial mereka yang dapat diandalkan.
Kredit yang diterima, akan tetapi tidak dimanfaatkan karena petani dapat
melakukannya sendiri tanpa perlu bantuan dari pihak luar, akan menyebabkan
kredit digunakan untuk tujuan lain seperti untuk kebutuhan konsumsi tidak
untuk tujuan investasi. Penyimpangan penggunaan kredit seperti ini merupakan
beban bagi petani untuk mengembalikan pinjamannya, sekaligus berpotensi
hilangnya kepercayaan si pemberi pinjaman.
Kredit mikro pedesaan dan selektif kredit, merupakan program relevan dalam
mengatasi pendanaan bagi petani dalam usaha diversifikasi penggunaan air
irigasi. Kredit mikro pedesaan yang dimaksudkan disini adalah bentuk lembaga
pembiayaan usaha pertanian yang ditujukan kepada petani dan kelompoknya
ditingkat local seperti pada level daerah irigasi (DI), areal sehamparan,
kelompok masyarakat seketurunan (clan) atau tingkat desa. Sedangkan selektif
kredit dalam hal ini adalah selektif dalam pemberian kredit terhadap petani yang
menerima kredit.
Operasional kredit mikro pedesaan ini sepenuhnya diketahui oleh petani dan
sekaligus milik petani (masyarakat) pada level dimaksud. Agunan utama yang
digunakan bukanlah asset petani, melainkan kepercayaan lembaga ini terhadap
kemampuan si peminjam untuk mengembalikan pinjamannya. Kontrol
penggunaan kredit terhadap pelaksanaan diversifikasi usaha dilakukan oleh
anggota kelompok itu sendiri. Sistem badan Simpan Pinjam (BSP) yang
dijelaskan diatas dapat diadopsi untuk merealisir lembaga kredit mikro pedesaan
dan selektif kredit.Meralisir irigasi diversifikasi penggunaan air irigasi dalam
mendukung ketahanan pangan memerlukan Proses, dan proses itu sendiri harus
memberikan energi untuk keberlanjutan ketahanan pangan. Otonomi
pengelolaan irigasi, layanan informasi pasar dan keakurasian data serta
perwujudan kredit mikro pedesaan yang selektif yang ditawarkan diatas
merupakan proses, suatu proses tiada henti.
PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA AIR DAN LAHAN :
PUSAT DATA INFORMASI DAERAH RAWA DAN PESISIR
(PUSAT INFOR RAWA)

I. PENDAHULUAN
Pembangunan melaju dengan cepat dalam dekade terakhir ini, dan dalam prosesnya
peranan pengelolaan air dan lahan khususnya di abad ke – 21 akan menjadi semain
penting. Akan terjadi kompetisi penggunaan sumberdaya alam disaat mana
pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan akan menjadi penentu disamping hal
– hal teknik dan operasional dalam mengambil suatu keputusan. Isu kebijakan perlu
diidentifikasi dan didiskusikan untuk menyusun strategi pemecahan masalah
kompleks dalam pengelolaan air dan lahan.
Permasalahan pengelolaan air dan lahan meliputi areal berfisiografi rawa lebak dan
pasang surut, dataran rendah, lahan kering tadah hujan atau beririgasi, daerah
berbukit dan bergelombang serta daerah dataran tinggi dan pegunungan. Tpe tipe
firiografi ini merupakan suatu paparan dari timut pantai Sumatera sampai ke Bukit
Barisan di sebelah barat dan merupakan perwakilan bentang lahan yang umum
dijumpai di Indonesia.
Wilayah Sumatera Selatan khususnya dan Indonesia umumnya, dengan sumberdaya
lahan dan airnya, merupakan aset yang masih perlu dikaji dan dikelola dengan baik.
Pemecahan masalah hendaknya tidak hanya dilihat dari sudut yeknik saja tetapi
juga dari segi sosial dan ekonomi. Dalam manajemen daerah rawa dan pesisir
dirasakan ada beberapa kendala penyediaan data secara cepat, tepat, dan
murah.lebih – lebih kalau kita kaitkan dengan pembangunan yang semakin cepat di
era globalisasi dan otonomi daerah.diharapkan adanya pengembangan suatu system
informasi sumebrdaya air dan lahan khususnya lahan rawa dan kawasan pesisir,
system ini akan membantu tersedianya informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi
sumberdaya air dan lahan guna meningkatkan kualitas dan produktifitas
masyarakat Indonesia dalam menghadapi era globalisasi pada tahun 2020.

II. TUJUAN PENULISAN MAKALAH


II.1. Memberikan gambaran tentang potensi, kendala, tantangan dan peluang daerah
rawa dala pembangunan;
II.2. Mensosialisasikan “Pusat Data dan Informasi Daerah Rawa” (Lowland –
Wetland Data and Information Center) sebagai salah satu simpul keberhasilan
manajemen daerah rawa;
II.3. Mensosialisasikan Laboratorium Lapang Terpadu Daerah Rawa (Model Area)
yang dapat digunakan untuk kegiatan pendidikan pengajaran, penelitian,
pengembangan ilmu dan kegiatan pengabdian kepada masyarakat;
II.4. Menyusun Rencana Aksi dan Tindak Lanjut.

III. SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA AIR DAN LAHAN


Informasi Sumberdaya Air dan Lahan Rawa dapat berupa data – data hasil
pengukuran lapang, analisis laboratorium, peta – peta, foto foto, laporan – laporan
kegiatan penelitian, monografi desa, data pertanian demografi, sosial dan ekonomi,
saran dan rekomendasi serta teknologi tepat guna.
Informasi yang ada saat ini masih bersifat setempat, tidak kontinyu, berdiri sendiri,
tidak terdata dan didokumentasikan dengan baik serta sangat sulit untuk diperoleh.
Mengingat ketersediaan data dan informasi rawa yang tepat, mudah, cepat, dan
murah sangat lah diperlukan, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah di era
globalisasi ini, maka sistem informasi yang sudah ada sangatlah perlu untuk
dikembangkan dan dijaga kesinambungannya.
Diharapkan data dan informasi daerah rawa khususnya di Sumatera Selatan, dapat
tersedia dengan mudah, cepat, tepat dalam bentuk hard-copy, image file, data file,
dipusat data yang berupa ruang ataupun dalam bentuk Laboratorium Lapang
Terpadu (Model Area) yang termonitor dengan baik dan setiap saat dapat
dikunjungi. Model area adalah entry point dalam pemberdayaan masyarakat di
daerah rawa dan pesisir.

IV. PUSAT DATA DAN INFORMASI DAERAH RAWA (Pusdatainfo Rawa)


IV.1. pusdatainfo Rawa adalah wahana untuk menyatukan dan saling menukar data,
informasi serta pengalaman tentang daerah rawa serta masyarakatnya
sehingga pengelolaannya dapat menjadi lebih komprehensif dan
berkelanjutan.
IV.2. Pusdata Info mempunyai nilai untuk :
o Merangkum, mendokumentasikan dan menyebarkan informasi potensi
sumberdaya rawa melalui teknologi informasi mutakhir,
o Membenarkan potensi masyarakat dalam pengembangan dan
pengelolaan sumberdaya rawa ntu memperkuat basis ekonomi dan
kesejahteraan daerah dalam pembangunan nasional;
o Melakukan pengkajian potensi sumberdaya rawa secara komprehensif
dan integratif;
o Menciptakan pusat unggulan untuk pengembangan sumberdaya rawa
yang dkenal secara regional, nasional maupun internasional.
IV.3. Metode Pendekatan dan Tahapan Pembangunan

Pengembangan Inventarisasi Pengembangan Pendekatan


Sumber Daya Data dan Laboratorium Kelembagaan
Manusia Informasi yang Lapang Terpadu dan Institusi
ada (Model Area)

o Seminar, Lokakarya, Konferensi


o Penelitian dan Pengembangan

DATA DAN INFORMASI AKTUAL

Pendidikan dan Publikasi dan Pelayanan Sistem Informasi


Latihan dokumentasi Masyarakat dan Manajemen

o Pemahaman tentang daerah rawa


serta masyarakatnya yang komprehensif
o Pembangunan yang berkelanjutan
o Kesejahteraan masyarakat di daerah
rawa

IV.4. Hasil – hasil yang telah dicapai


Pengembangan Pusdatainfo Rawa sebetulnya sudah dimulai beberapa tahun
yang lalu. Namun sosialisasi keberadaannya secara nasional baru dapat
dilakukan bersamaan dengan kegiatan Hari Air Sedunia tahun 2000 pada
bulan Maret ini.
Sejauh ini, hasil – hasil yang telah dicapai dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
o Sarana – prasarana yang ebrupa : Gedung pusdataingo Rawa, Gudang
Arsip, Laboratorium terpadu, basecamps, sarana transportasi air dan
peralatan kantor;
o Penelitian dan Pengembangan Ilmu;
o Pengabdian pada masyarakat;
o Seminar, lokakarya, konferensi (Regional, Nasioanl, Internasional);
o Pendidikan Pelatihan, Kursus, dan Ecotourism;
o Sumberdaya Manusia.

IV.5. Aspek Institusi dan Kelembagaan


Saat ini kegiatan – kegiatan Pusdatainfo Rawa dikelola oleh Dinas PU
Pengairan Sumatera Selatan, Proyek Pengembangan Daerah Rawa (P2DR)
Sumsel, Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan (PPMAL) Universitas
Sriwijaya, KNI-ICID, HATHI, Crescent Smsel, Dinas Pertanian Tanaman
Pangan, Dinas Perkebunan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Kekutsertaan pihak – pihak lain dalam pengelolaan Pusdatainfo Rawa akan
sangat membantu pengelolaan dan pengembangan kegiatan – kegiatan yang
akan datang.

V. Rencana Aksi dan Tindak Lanjut


Sambil melakukan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pada
waktu – waktu yang lalu, konsolidasi dan upaya pengembangan sistem informasi ini
perlu terus dilakukan. Hal ini mengingat persaingan untuk tetap berada pad aposisi
yang diperhitungkan di tahun – tahun mendatang akan semakin sulit. Staf pengajar,
peneliti, pimpinan unit kerja badan litbang, instansi terkait, Badan Perencana
Pembangunan, pengelola laboratorium pendukung, hendaknya saling menyamakan
visi dan misi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air dan lahan khususnya
di daerah Rawa dan Kawasan Pesisir guna mendapatkan hasil dan momentum yang
sinergis.
PENGELOLAAN IRIGASI DI INDONESIA
KRISIS DAN PENANGGULANGANNYA

Ringkasan
Indonesia pernah mengalami swasembada beras pada tahun 1980 tetapi hanya menikmati
selama setahun sesudah itu terpuruk dan kembali menjadi pengimpor beras terbesar di
zaman kolonial tidak pernah kedengaran kekurangan pangan yang menyolok, itupun
karena Belanda melaksanakan tanam paksa seperti tebu dan nial untuk ekspor. Tehnologi
pembagian air secara proporsional digunakan baik pada jaringan irigasi yang dikelola
petani maupun yang dkelola Pemerintah Kolonial.
Akhir-akhir ini kita, sama dengan berbagai wilayah dunia mengalami krisis air, tetapi
bukan karena kekurangan air, tetapi krisis pengelolaan termasuk krisis pengelolaan
irigasimulai dari perencanaan sampai pada operasi dan pemeliharaan. Pemerintah
melaksanakannya tanpa melibatkan petani, petani tidak ikut membiayai sehingga rasa
kepemilikan tidak tercipta, tidak ikut menetapkan operasi sehingga kedatangan air irigasi
tidak sesuai dengan yang diinginkan. Pembangunan irigasi tidak adil, karena yang
mendapat air irigasi dengan cuma-cuma menjual hasil panennya sama dengan yang tidak
mendapat air irigasi.
Konsultan asing membawa teknologi yang tidak sesuai dengan yang biasa dipakai petani,
malahan teknologi yang ada ditinggalkan dan membawa teknologi yang tidak pernah
dievaluas kesesuaiannya dengan kebiasaan dan perilaku sosial petugas dan petani.
Teknologi yang tidak sesuai, pemeliharaan dan operasi yang masih ditangani pemerintah,
tidak ada rasa kepemilikan dari petani, jumlah petugas yang minim, pemakaian air yang
boros, cara giliran ditinggakan, biaya OP yang tidak mencukupi, penanganan yang
terpisah dengan pengelola pertanian, kesemua ini menyebabkan krisis pengelolaan irigasi
yang menyumbang terhadap produksi yang rendah.
Untuk menanggulangi krisis pemerintah, petani dan semua yang terkait harus duduk
menetapkan visi kemudian menjalankan langkah konkrit untuk menanggulangi krisis
tersebut, agar penduduk yang makin bertambah tidak tergantung lagi pada bahan pangan
impor. Pembangunan irigasi meskipun tetap harus mendapat subsidi, petani harus mulai
ikut membiayai sejak pelaksanaan konstruksi, dan harus membiayai seluruh biaya
Operasi dan Pemeliharaan (OP), kecuali pada bagian jaringan yang melayani dua
kabupaten yang ditangani oleh emerintah Propinsi dan biaya rehabilitasi dan upgrading
yang tetap harus ditangani pemerintah mengingat ketidakmampuan petani.

Sejarah Irigasi di Indonesia


Kedatangan bangsa India beberapa abad sesudah Mashi diyakini membawa peradaban
baru termasuk di bidang pertanian yang juga memperkenalkan teori irigasi. Bangunann
air pertama diketahui melalui parasasti Harinjing yang ditemukan di Pare, lembah Kali
Brantas, yang menunjukkan bahwa seorang yang bernama Bhogawanta Bori telah berjasa
di Jakarta Utara di desa Tugu, Cilincing, diketemukan juga parasast yang menunjukkan
bahwa pada abad ke V telah dibangun saluran air. Dari sini kemudian berkembang irigasi
kecil yang dibuat oleh petani sampai kedatangan Belanda di sekitar tahun ke 1600 an.
Pemerintah Kolonial Belanda berusaha menanam tanaman untuk keperluan
perdagangannya seperti tebu dan nila. Mereka memulai melakukan tanaman paksa di
delta Sampean di Jawa Timur dan membangun bendung dari kerangka kayu jati yang
diisi batu kali.
Sampai tahun 1930 lebih kurang 550.000 Ha sawah mendapat air dari jaringan irigasi
yang dibangun Pemerintah Kolonial yang pada mumnya terletak di pulau jawa. Pada
waktu itu sedang disiapkan proyek irigasi di di Sumatera yaitu Way Seputih dan
Simalungan serta Sadang di Sulawesi Selatan.
Alat ukur debit yang digunakan ialah drip (dirffak), Cipoletti, Venturi dan Crump de
Gruyter. Institusi yang berkembang pad ajaringan irigasi yang dikelola petani berupa
pengakuan bahwa air irigasi garus ditujukan jepada pengguna air yang berada dalam
layanan jaringan. Untuk itu bangunan pembagi air untuk memenuhi tujuan tersebut telah
dikenal di berbagai daerah di Indonesia, sebagaimana halnya di berbagai wilayah di Asia,
yaitu bangunan yang sederhana bentuknya tetapi canggih fungsinya. Setiap petani
menerima porsi air irigasi sesuai dengan haknya telah dianggap sebagai hak pribadi.
Fluktuasi air yang masuk ke saluran induk yang mengikuti fluktuasi debit sungai tidak
merubah proporsi air yang melalui bangunan bagi tersebut – proporsi air yang diterima
petani tidak berubah meskipun volume mungkin berubah. Di Indonesia teknologi ini
terkenal diBali dengan nama tembuku atau pemaron, di Sumatera Barat – paraku atau
takuak, di Tapanuli Selatan. Penggunaan dan pembangunan bangunan seperti ini masih
berlanjut pada jaringan irigasi yang dibangun oleh masyarakat petani sebelum
diintervensi oleh Proyek Irigasi Desa pada tahun 1995. untuk mengelola jaringan
irigasinya, petani telah mempunyai organisasi yang mungkin sederhana akan tetapi
efisien. Setelah kemerdekaan, jaringan irigasi yang dibangun pemerintah dikelol aoleh
Dinas Pengairan. Kelemahan yang kemudian timbul di jaringan yang dikelola Pemerintah
tidak atau jarang diketemukan unit organisasi yang khusus mengelola satu jaringan,
padahal setiap jaringan mempunyai keunikan sendiri-sendiri.

Pemeliharaan Irigasi
Pada jaringan irigasi yang dikelola masyarakat pemeliharaan jaringan dilaksanaan
melalui sistem gotong – royong, yang terdapat di berbagai daerah dengan nama sendiri,
seperti jeumba di Aceh, julo – julo di Sumbar atau kerja bhakti di Jawa Tengah. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa makin sulit tantangan ekologis yang dihadapi makin kuat
formal pemeliharaannya, misalnya medan yang sulit mendorong petani di Balu untuk
mencari jalan keluar dengan membangun terowongan air (aungan), dan membuat
anggaran dasar / anggaran rumah tangga mengenai pembagian air serta sangsi – sangsi
pelanggaran peraturan dan membagi air secara seksama melalui bangunan proporsional.
Khusus di tempat-tempat yang sulit dipelihara, petani membayar iuran untuk membiayai
tenaga untuk merawat saluran sepanjang musim tanam. Untuk memperbaiki kerusakan
besar seperti saluran yang longsor, bendung yang hanyut petani mengadakan pekerjaan
gotong – roong yang dihadiri seluruh petani yang mendapat air irigasi.
Lain halnya pemeliharaan di jaringan yang dikelola oleh Dinas Pengairan pemeliharaan
cenderung menunggu anggaran yang tidak menentu besarnya. Ada kalanya anggaran
yang dimaksudkan untuk pemeliharaan habis digunakan untuk membayar gaji pegawai.
Kalau toh mendapat anggaran yang cukup besar pekerjaan yang lazim dilakukan ialah
menglining saluran.
Karena petani di musim kemarau hampir tidak mendapat jaminan akan mendapat air
ditambah kepercayaan bahwa jaringan irigasi adalah milih Pemerintah maka menurut
mereka Pemerintah lah yang harus memelihara dan membiayai perbaikannya.

Operasi Jaringan
Operasi jaringan yang dikelola petani karena menggunakan bangunan – bangunan
proporsional praktis tidak menggunakan petugas. Petani tidak akan mengambil air
melebihi jatah atau bagiannya yang proporsional kecuali melakukan pelanggaran yang
sangsinya cukup berat disertai sangsi sosial. Di bali, apabila salah seorang anggota subak
melakukan pelanggaran, dia akan mendapat sangsi sosial, misalnya tidak didatangi waktu
pesta potong gigi atau ngaben (pembakaran mayat) dua perayaan yang sangat sakral pada
keluarga Bali. Di Sumatra Barat apabila di sepanjang sungai terdapat dua tiga bendung
yang dibangun petani atau keompok petani, terdapat tradisi apabila bendung yang dihilir
kekeringan maka petani yang mendapat elayanan akan minta air dari petani di hulu yang
mendapat air dari bendung di hulu nya dengan istilah minta air sebatu, maksudnya salah
satu batu yang membentuk bendung diangkat untuk mengalirkan air ke hilir. Bentuk –
bentuk operasi semacam ini menghilang setelah Pemerintah membangun bendung
permanen dari pasangan batu atau beton dan penguasaan jaringan irigasi pindah ke Dinas
Pengairan.
Perkembangan Teknologi
Meskipun tehnologi irigasi sudah lama berkembang baru pada tahun 1940 dikenal dua
buah konsep hidrolika dalam pemilihan bangunan irigasi. Yang pertama ialah konsep
Sensivitas S pada bangunan dan Fleksibilitas F pada pertemuan dua saluran.
Sensivitas ialah perubahan proporsional debit air apanila terjadi perubahan tinggi muka
air di hulu di bangunan :
 Q u h Q
S
Q
, karena Q = c.hu. dapat juga ditulis S  atau h  u . Q
h
sedangkan pada bangunan yang menggunakan pintu sorong atau aliran bawah
(underflow) nilau u = 0,5 dan pada bangunan peninggi muka air yang menggunakan sekat
balok atau aliran atas (overflow) u = 1,5 atau apabila terjadi perubahan debit Q ,
sedangkan Q dan h sama besarnya maka perubahan h pada pintu sorong 3 kali lebih
besar dibanding pada sekat balok.
Fleksibilitas ialah perbandingan tingkat perubahan debit pada saluran penyadap Q s
dengan perubahan debit di saluran yang disadap Qd s.

Ss u h
F dapat diurai F   s. d .s , dengan pengertian,
S ds u ds .h s

u = pangkat u pada rumus Q = c.hu


h = perbedaan tinggi muka air
s = saluran penyadap
ds = saluran yang disadap.

Fleksibilitas penting diketahui untuk melihat perubahan debit di jaringan irigasi, terutama
pada perpotongan dua saluran dengan kombinasi bangunan bagi yang terdiri bangunan
sadap dan bangunan peninggi muka air. Pada jaringan yang menggunakan pintu romijn
(aliran atar) pada saluran penyadap dan bangunan peninggi muka air yang menggunakan
sekat balok (aliran atas) F = I, debit akan terbagi proporsional pada saluran penyadap dan
saluran yang akan disadap, pada kombinasi pintu osorong pada saluran pada saluran
penyadap dengan sekat balok sebagai bangunan peninggi muka air F < 1, perubahan debit
yang besar akan terjadi di bagian hilir jaringan dan pada kombinasi pintu romijn dengan
pinu sorong F > 1, perubahan besar akan terjadi di bagian hulu jaringan.
Kombinasi bangunan pad ajaringan tradisional yang banyak dijumpai pada irigasi desa
menghasilkan aliran proporsional sehingga tidak banyak menggunakan petugas, karena
apabila terjadi perubahan debit di jaringan, maka seluruh perubahan akan merata di
seluruh bagian jaringan.
Teknologi tradisional yang canggih ini dikembangkan pada jaringan irigasi yang dbangun
di zaman Kolonial karena pembagian rigasi tidak lagi ditujukan agar petani mendapat air
sesuai kebutuhan dan haknya. Jaringan irigasi ditujukan untuk mengairi tanaman tebu
yang merupakan komoditi perdagangan waktu itu. Petani diberi jatah sesuai yang
dikehendaki atau ditetapkan oleh pengelola jairngan. Istilah pemberian air jam – jaman
atau siang malam yang diterapkan membutuhkan pintu air yang dapat diatur dan dikunci.
Bangunan peninggi muka air dari sekat balik dan pintu sadap dengan pintu sorong disusul
oleh alat ukur Cipoletti atau Thomson diperkenalkan. Kombinasi ini menghasilkan F < 1
yang mengakibatkan perubahan besar pada debit di ujung jaringan. Pada tahun 1930 an
pintu sorong sebagai pintu sadap diganti dengan pintu Romijn. Pengaliran over flow
melalui pintu Romijn dan sekat balok menghasilkan aliran proporsinal yang tidak
memerlukan lebih sering buk atutup pintu apabila terjadi perubahan debit. Fleksibilitas F
= 1 pada akhirnya diketahui pad akombinasi ini. Sampai sebelum Pelita I hampir semua
jaringan irigasi menggunakan kombinasi tersebut, hanya saja keadaan negara yang masih
kacau sejak Kemerdekaan menyebabkan OPP (Operasi, Pemeliharaan dan Pengelolaan)
tidak mendapat perhatian sehingga jaringan irigasi yang ada bahkan yang baru dibangun
mengalami penurunan fungsi.
KRISIS PENGELOLAAN IRIGASI

Jumlah seluruh lahan beririgasi di Indonesia menurut mantan Direktorat Jenderal


Pengairan 7,15 juta Ha terdri dari irigasi tehnis 3,4 Ha, semi tehnis 1,1 juta Ha, irigasi
sederhana dan desa 2,6 Ha serta lahan rawa 1,2 Ha. Terminologi tehnis, semi tehnis dan
sederhana sebenarnya istilah manajemen intern untuk membedakan klasifikasi
kelengkapan jaringan yaitu tehnis – dilengkapi bangunan, aliran air, dapat diatur dan
diukur, semi tehnis – hanya dilengkapi bangunan dan aliran air dapat diatur, sedangkan
sederhana hanya dilengkapi bangunan sederhana, aliran air tidak dapat diatur.
Berdasarkan angka – agka diatas kadangkala dilaporkan perkiraan produksi beras, yang
sagat optimistis dan menyenagkan bagi yang percaya, dengan membedakan prediksi
untuk tiap – tiap klasifikasi kelengkapan jaringan. Pada hal produksi beras meskipun
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air baik air hujan maupun air irigasi masih banyak
faktor lain yang mempengaruhi, mulai dari jenis bitbit, tata cara bercocok tanam,
pemupukan dan pemberantasan hama dan lain sebagainya. Kebenarang angka – angka
diatas juga perlu dipertanyakan, yang pertama jumlah lahan irigasi tehnis biasanya
diperkirakan dari jumlah rencana luas areal yang akan diairi yang bisa saja setelah
pembangunan sarana irigasi selesai areal yang semula direncanakan masih berupa hutan
dan lahan perkebunan yang belum dikonversi menjadi sawah ditambah pengurangan
lahan akibat konversi ke lahan industri dan permukiman yang tetap masuk daftar areal
irigasi. Demikian juga jumlah lahan irigasi desa yang tiba – tiba membengkak ketika
pemerintah menjalankan kebijaksanaan rehabilitasi irigasi desa yang jumlahnya dipatok
dari pusat sebesar 1,5 juta Ha dan kepada tiap propinsi dijatah berdasarkan perkiraan, dan
Proyek berlomba – lomba menciptakan jumlah jaringan irigasi desa di lokasinya untuk
menyesuaikan jatah bahkan membesar – besarkannya untuk mendapat jatah anggaran
yang juga dipatok sebesar Rp. 500 juta per Ha.
Jumlah air yang tersedia pada suatu jaringan irigasi sangat tergantung dari persediaan air
disungai. Bagi jaringan yang airnya disadap dari sungai alamiah, dimusim kemarau hanya
sekitar 20 % yang dapat diairi, pada hal masih sebagian besar dari lahan beririgasi di atas,
air irigasinya berasal dari sungai alamiah, dengan pengecualian ada beberapa jaringan
irigasi yang paok airnya mencukupi untuk dua musim tanam, dan ada juga dari waduk
tetapi jumlah keduanya menurut perkiraan penulis tidak sampai satu juta Ha. Oleh karena
itu penulis menganggap jumlah lahan beririgasi mestinya duginakan hanya pada saat
perencanaan saja bukan digunakan sebagai data pengelolaan jaringan apalagi dijadikan
patokan untuk menghitung produksi beras, sebab yang tepat sebagai data pengelolaan
ialah jumlah air yang dapat disadap pada setiap bendung / jaringan baik pada musim
tanam. Jumlah inipun tidak tepat untuk menunjukkan berapa luas lahan yang dapat diairi
karena luasannya terbentur pada efisiensi pengelolaan jaringan.
Sesungguhnya sebelum Pelita di Indonesia hampir semua jaringan irigasi menggunakan
pintu Romijn untuk pintu sadap dan sekat balok untuk bangunan peninggi airnya.
Kombinasi kedua tipe overflow menghasilkan aliran proporsional yang tidak perlu
merubah kedudukan pintu apabila terjadi perubahan debit, sehingga tidak perlu petugas
yang lebih banyak, karena tugas Operasi mereka hanya buka tutup pintu saja. Gambar 1
memperlihatkan perbedaan muka air pada peninggi muka air tipe aliran bawah dan aliran
atas, apabila debit berubah sebanyak  Q perubahan muka air pada aliran bawah  h, 3x
lebih besar dibanding pada aliran atas. Akan tetapi pada permulaan Pelita terjadi
perubahan. Pemerintah yang sedang melaksanakan rehabilitasi besar – besaran terpaksa
merekrut tenaga muda yang tidak berpengalaman dan tidak pernah mendengar konsep
Sensivitas dan Fleksibilitas, yang kemudian memutuskan penggantian sekat balok
sebagai peninggi muka air dengan pintu sorong sambil mempertahankan pintu Romijn
pada bangunan sadap. Alasannya antara lain terjadi pengendapan di saluran dan sekat
balok mudah dicuri, alasan yang dicari – cari karena endapan yang didesain masuk adalah
endapan melayang dan tidak ada pencurian seperti yang dimaksud. Kombinasi bangunan
ini menciptakan aliran over flow pada pintu sadap atau pintu Romin dan under flow pada
pintu peninggi air atau pintu sekat balok menyebabkan perlu tambahan tenaga untuk
mengatur pembagian air mengikuti perubahan debit pada jaringan. Pada kombinasi
seperti ini dikenal mempunyai F>1 karena perubahan debit di saluran yang disadap akan
menyebabkan perubahan muka air pada saluran yang disadap tiga kali lebih besar
dibanding pada saluran yang menyadap. Apabila terjadi penurunan debit di saluran yang
disadap terjadi perubahan drastis yang akan menyebabkan muka air di depan pintu
Romijn akan turun melewati daun meja pintu dan tidak ada air yang melewati pintu.
Akibatnya areal yang terletak di hulu mendapat suplai air lebih sedikit atau tidak sama
sekali ketika terjadi penurunan debit di jaringan. Petani yang terkena dampak, mendapat
air sedikit atai tidak sama sekali ketik aterjadi penurunan debit di jaringan. Petani yang
terkan dampak, mendpaat air sedikit atai tidak sama sekali merusak pintu Romijn. Tanpa
dievaluasi dari sudut Fleksibilitas pintu Romijn yang telah dipakai sejak tahun 1930 an
dianggap biang kerok dan akhirnya diganti dengan pintu sorong. Pintu yang kemudian
dianggap cocok sebagai pintu penyadap ialah pintu Crump de Gruyter (Proyek Irigasi
Bila) yang dikombinasikan dengan pintu sorong sebagai peninggi muka iar. Penggunaan
kombinasi ini memerlukan banyak sekali petugas operasi karena bukaan pintu air harus
diatur setiap kali ada perubahan debit.
Kedatangan konsultan pada tahun 1970 an dari berbagai negara seperti Amerika Serikat,
Jepang, Inggris, Korea, Taiwan, Italia, Perancis, Belanda, Australia dan lain – lain yang
membawa tehnologi dari negara masing – masing yang tidak dikenal oleh petugas irigasi
dan petani atau mereka hanya melanjutkan apa yang terlanjut tidak benar. Bahkan dalam
satu jaringan bercampur berbagai tehnologi dari negara berlainan karena konsultan
bergantian mendapat pekerjaan pada jjaringan yang bersangkutan. Pada tahun 1986
Direktorat Jenderal Pengairan menerbitkan buku Kriteria Perencanaan tetapi bukan
standar yang telah dikaji dan sesuai dengan kebiasaan petugas irigasi dan petani
setempat. Bahkan ditemui didalam buku tersebut pernyataan yang ambivalen mengenai
pemakaian pintu sorong sebagai peninggi muka air. Disebutkan bahwa pintu ini
mempunyai kekurangan karena muka air sangat mudah berubah apabil aterjadi perubahan
debit akan tetapi dianjurkan untuk digunakan dan dikombinasikan dengan pintu Romijn
karena mudah dioperasikan. Kombinasi seperti ini oleh World Bank disebut sebagai
kombinasi terburuk pada bangunan bagi. Pemakaian pintu air yang banyak di jaringan
membutuhkan petugas OP yang banyak yang tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah
ditambah pengetahuan petugas yang sangat rendah. Di jaringan besar petugas tingkat atas
hampir tidak mempunyai komunikasi dengan petugas terendah baik karena peralatan
tidak tersedia maupun karena luasnya daerah irigasi. Akibatnya keputusan mengenai
pelaksanaan Operasi dilakukan berdasarkan kehendak petugas terendah tanpa
mengindahkan putusan dari atas. Pemberian air ke pintu tersier yang harusnya
berdasarkan unit ukuran l/detik, diberikan dengan persepsi yang ada yaitu ukuran cukup,
terlalu sedikit atau terlalu banyak, yang didasari dengan kebiasaan, negoisasi, tawar
menawar atau kekuasaan petugas atau petani. Keputusan dari atas atau Panitia Irigasi
hanya diatas kertas saja, karena keputusan dibuat tanpa merujuk pada data hidrologi dan
kebutuhan air tanaman. Di Kabupaten misalnya jadwal tanam ditetapkan perwilayah
bukan berdasarkan air yang tersedia dari mana air irigasi bersumber.
Akibat prinsip Zero Growth di jaringan lama tenaga yang sudah pensiun tidak mendapat
pengganti dan di jaringan baru diangkat petugas seadanya terutama di tingkat bawah
diangkat pegawai yang berasal dari tenaga dministrasi dan sopir proyek untuk menjadi
petugas operasi jaringan, atau kalau ada pengangkatan pegawai negeri tidak dipilih dari
likasi jaringan dan keterampilan yang sesuai tetapi karena ada hubungan kerabat dengan
pejabat, berdasarkan tehnologi yang digunakan di jaringan memerlukan dua sampai dua
setengah lebih banyak tenaga operasi agar jaringan dapat difungsikan dengan baik.
Sejak Pemerintah melaksanakan rehabilitasi jaringan tersier terjadi banyak perubahan
negatif terhadpa institusi yang selama ini berlaku yaitu pembagian air dilakukan melalui
bangunan sederhana tanpa pintu, yang oleh pemerintah diganti dengan box tersier yang
membutuhkan tenaga operasi, tetapi tidak tersedia, untuk membuka tutup pintu box.
Karena tidak di OP petani membongkar kembali box ini dan kembali ke system lama,
pemborosan dana yang tidak sedikit.
Campur tangan pemerintah dalam rehabilitasi irigasi desa juga telah merusak tatanan
tehnik dan social petani. Dari semua irigasi desa tidak satupun yang menggunakan pintu
air, seperti halnya di Bali jaringan irigasi tidak menggunakan pintu tetapi bangunan
proporsional yang otomatis akan membagi air merata ke petak tersier sesuai dengan
haknya dan sesuai air yang tersedia. Kemudian pemerintah memperkenalkan bangunan
pintu sorong yang memerlukan tenaga dan tidak ada pada jaringan sebelumnya.
Bangunan – bangunan yang dibangun oleh pemerintah menurut pemikiran petani menjadi
tanggung jawab pemerintah, siapa yang membangun dia yang memelihara dan
mengoperasikannya.
Pembangunan irigasi yang mulai dari perencanaan sampai ke OP dilaksanakan
Pemerintah tanpa partisipasi petani mengakibatkan kepincangand alam pembangunan.
Petani tidak merasa memiliki prasarana yang dibangun akibatnya mereka enggan untuk
turut memikul beban pemeliharaan dan biaya pengoperasian. Hanya petani yang
kebetulan elevasi lahannya dapat dilayani irigasi mendapat air dengan Cuma – Cuma
sedangkan yang lebih tinggi elevasinya tidak mendpaat air atau harus memakai pompa
atas biaya sendiri dan bahkan dituduh mencuri air dari jaringan irigasi yang katanya
bukan haknya. Di samping itu karena dalam perencanaan petani atau pemilik lahan tidak
diikutsertakan banyak lahan yang sesungguhnya sudah dapat idairi tetapi tidak digarap
karena petaninya enggan bersawah atau kekurangan tenaga.
Subsidi yang kelihatannya menolong petani sebenarnya sangat tidak adil hanya petani
yang memiliki lahan yang memungkinkan mendapat air irigasi akan mendapat fasilitas
Cuma – Cuma berupa fasilitas jaringan tanpa mengeluarkan biaya. Bukan hanya itu biaya
OP pun masih tetap disubsidi oleh Pemerintah. Di permukaan, petani kelihatan tertolong,
akan tetapi kebijaksanaan tersebut menjadikan petani sebagai kucing. Dalam penentuan
harga gabah tanpa membedakan asalnya, apakah dari lahan tadah hujan, dari sawah
irigasi desa atau sawah irigasi yang dikelola Pemerintah, ditetapkan harga yang sama,
dengan demikian bagi petani yang mendapat air dari jaringan irigasi yang dikelola
Pemerintah mengeluarkan ongkos produksi lebih sedikit yang berasal dari biaya
pembangunan dan OP jaringan yang selama ini dibiayai Pemerintah. Pada kasus wadk
Kedong Ombo dan waduk Nipah, demi pembangunan petani harus melepas lahan sawah,
kebun, perumahan ntuk digenangi air waduk yang akan dimanfaatkan oleh petani di hilir
yang akan mendapat air irigasi Cuma-Cuma tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun,
bahkan kalau diperlukan pembesan tanah untuk pembangunan jaringan, lahan mereka
dihargai tinggi sebagai lahan produktif karena akan mendapat air irigasi. Sebaliknya
lahan yang yang akan digunakan membangun bendung / bendungan dan digenangi waduk
dianggap lahan tidak produktif dan jauh dari kota harga pembebasannya dipatoksangat
rendah. Petani yang tidak bersedia pindah jauh dari lokasi dan memilih membeli lahan
bari di sekitar waduk akan menemui hukum pasar makin banyak peminat makin tinggi
harga yang ditawarkan. Harga satuan yang ditawarkan lebih besar harga satuan
pembebasan, sehingga petani yang terpaksa pindah akan mendapat lahan yang lebih kecil
dari luas lahan mereka semula. Tidak heran kalau masih banyak petani yang belum mau
menerima biaya pembahasannya.
Karena Dinas Pengairan tidak mempunyai tenaga setidak-tidaknya tenaga trampil,
operasi jaringa irigasi tidak sebagaimana mestinya. Hampir semua jaringan mendapat air
dari bendung yang dibangun di sungai alamiah, yang menyediakan air hanya 20 – 30 %
pada musim kemarau, artinya petak yang diairi hanya 20 –30 % dari aral rencana yang
harus digilir tiap tahun, yang terjadi hanya petak yang dekat dengan bendung yang tiap
tahun ditanami dua kali. Akibatnya petani enggan membayar ISF karena mereka
menganggap hanya mendapat air di musim hujan pada saat mereka tidak membutuhkan
air irigasi.
Pada tahun 1986 Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan antara lain penyerahan
pengelolaan jaringan irigasi kecil kepaaada petani, yang dimulai dengan jaringan yang
lebih kecil dari 500 Ha, tetapi dalam kurun waktu hampir 15 tahun belum ada 30 % yang
diserahkan karena harus melalui birokrasi yang berbelit – belit berarti untuk penyerahan
seluruh jaringan irigasi yang melayani di bawah 500 Ha dibutuhkan 40 tahun.

Keluar Dari Krisis


Dari uraian diatas dapat disimpulkan agar keluar dari krisis disamping memperbaiki
penyebab lainnya ialah menyerahkan pengelolaan jaringan irigasi kepada petani, karena
merekalah yang menikmati dengan demikian mereka pula yang memiliki, dan
bertanggung jawab terhadap OP, hanya saja penyerahan ini dapat saja perlahan, moderat
atau secepatnya. Masing – masing tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Indonesia yang belum mengambil keputusan yang konkrit dapat mengambil manfaat dari
pengalaman negara lain. Sat hal yang selalu dipertentangkan ialah petani Indonesia
sangat miskin dan luas kepemilikannya sangat kecil. Tetapi perlu pula diperhatikan
bahwa luas lahan kecil justru dapat lebih intinsif diolah oleh satu keluarga dibanding
kalau mereka memiliki lahan luas. Dengan demikian kenaikan pendapatannya lebih
tinggi per unit volume air yang digunakannya. Sedangkan pengelluaran yang diperlukan
untuk OP Irigasi adalah sebagian dari selisih pendapatan tanpa atau dengan irigasi.
Kebijaksanaan yang harus ditempuh yaitu dalam hal pembiayaan pembangunan. Pada
prinsipnya siapa yang diuntungkan oleh pembangunan dialah yang harus membiayai,
Petanilah yang pertama diuntungkan oleh suatu jaringan irigasi menyusul Pemda Tingkat
II yang akan menerima pajak lebih besar, Pemda Tingkat I dan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Pusat yang akan mengurangi dana untuk mengimport beras. Mereka – mereka
inilah yang harus membiayai pembangunan jaringan irigasi. Berapa besar porsi masing –
masing dapat ditetapkan atau dirundingkan. Di Jepang petani dibebani biaya
pembangunan sebesar 12 % dari total biaya. Biaya ini ditanggulangi melalui pinjaman
dari Bank atas jaminan P3A yang mereka bentuk yang mereka bentuk. Pembangunan
jaringan irigasi oleh Departemen Pertanian hanya dilakukan atas permintaan P3A ini
yang kelak harus mengumpulkan cicilan biaya pembangunan posi peani dan biaya OP
dan melaksanakan OP jaringan. Pemerintah tetap berkewajiban untuk memperbaiki
apabila terjadi kerusakan besar termasuk apabila terjadi bencana alam dan apabila
diperlukan peningkatan fasilitas jaringan. Air irigasi yang menjadi hak petani dapat
dialihkan untuk penggunaan lain misalnya untuk air industri atau rumah tangga dan
petani yang mempunyai hak guna air itu mendapat kompensasi biaya.
Sebaiknya Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan lain, seperti halnya di Jepang pada
tahun 1947, yaitu langsung menetapkan bahwa seluruh jaringan irigasi yang sebelumnya
dikelola oleh Pemerintah diserahkan kepada petani dengan pengecualian bagian jaringan
yang melayani dua kabupaten tetap ditangani oleh Pemerintah melalui Dinas Pertanian.
Kepada petani bukan hanya diberikan kewajiban untuk meng OP kan jaringan tetapi juga
hak penguasaan jaringan dan air yang merupakan jatah mereka. Atau mencontoh negara
lainnya yang sejak tahun 1980 an telah dilakukan penyerahan pengelolaan kepada
organisasi petani, baik dengan cara super cepat atau big – bang, cara cepat atau
greyhound dan cara lambat atau turtle. Di india misalnya, tepatnya di negara bagian
Andhra Pradesh dalam waktu tiga tahun telah diserahkan jaringan yang melayani kurang
lebih 5 juta Ha kepada organisasi petani. Tahun pertama dilakukan penyuluhan –
penyuluhan, tahun kedua pembuatan undang – undang dan tahun ketiga yaitu tahun 1998
dilakukan penyerahan serempak, setelah dibentuk lebih dari 10.000 P3A dan ratusan
Komisi Irigasi. Wilayah Administrasi jaringan ditata kembali agar wilayah baru dibatasi
oleh batas hidrologi. P3A bertanggung jawab penuh terhadap operasi dan pemeliharaan
jaringan. Penyerahan ini akan meningkatkan rasa kepemilikan terhadap jaringan sehingga
mereka akan sadar untuk memeliharanya. Selain itu karena mereka harus mengumpulkan
biaya untuk OP maka dengan sendirinya mereka terpaksa untuk berorganisasi, bukan
organisasi yang dibentuk pemerintah, yaitu suatu organisasi P3A yang akan mengelola
OP jaringan, Organisasi ini dapat berkembang menjadi semacam koperasi yang akan
mengururs sarana produksi sampai pada pemasaran hasil panen. Dengan keuntungan atau
peningkatan produksi akibat biaya pembangunannya. Dengan demikian pemerintah dapat
mengurangi / menghilangkan subsidi biaya OP yang sangat besar.
Setelah petani meng OP kan jaringannya mereka harus mendapat kepastian jumlah air
yang diterimanya. Itulah seabbnya diperlukan Pengelola Sungai yang dapat mengatur hak
guna air untuk masing – masing pengguna sebab yang membutuhkan air bukan hanya
petani tetapi juga industri, rumah tangga, bahkan, bahkan untuk biota air yang berhabitat
di sungai.
Kiranya kebijaksanaan baru berupa reformasi pengelolaan air sungai – sungai dan
pengelolaan jaringan irigasi yaitu pengelolaan jaringan irigasi yaiu pengelolaan air sungai
/ sungai berupa penanggulangan banjir dan pengaturan penggunaan air sungai pad
amusim kemarau ditangani oleh suatu instansi tersendiri sebagai penguasa sungai atai
pengelola sungai sedangkan pengelolaan jaringan iriagsi sebagai pemanfaat sebagian air
sungai, yang sebagaimana PDAM dan PAM, dikelola oleh dan dibina oleh instansi yang
sangat erat kaitannya dengan pertanian dan produksi pangan yaitu Departemen Pertanian.
Untuk mendukung kebijaksanaan ini, UU No. 11 tentang Pengairan tahun 1974 dan PP
No. 23 Tahun 1982 Tentang Irigasi perlu disusun kembali sesuai kebijaksanaan baru
diatas. Reformasi ini sejalan dengan tiga kleompok dalam rangka Water Resources Sektor
Ajustment Loan (WATSAL) yaitu Loan dari Bank Dunia untuk menata :
1. Formulasi kebijaksanaan pengairan berupa Undang – undang baru
2. Kelembagaan dalam atau bentuk lain sebagai pengelola air sungai – sungai
3. meningkatkan peran petani dalam pengelolaan jaringan irigasi, berupa membiayai
sebagian biaya pembangunan jaringan oleh petani, penyerahan OP jaringan
kepada petani. Hanya saja dalam pelaksanaan reformasi tersebut jangan lagi ada
kebijaksanaan setengah – tengah dengan memulai dengan percontohan dan
pentahapan yang tak kunjung selesai karena kebijaksanaan seperti ini berujung
apda ketidaktercapaian sasaran yang dikehendaki, kebijaksanaan tahun 1986
harus diteruskan dengan super cepat atau big ban jangan seperti sekarang dengan
kecepatan bim – bang.
OPTIMALISASI ALOKASI AIR IRIGASI MELALUI
PERANCANGAN POLA TANAM DALAM RANGKA PENINKATAN
PRODUKSI PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

ABSTRAK
Fakta menunjukkan bahwa di masa mendatang upaya peningkatan produksi pangan dan
pendapatan petani akan sangat ditentukan oleh keberhasilan peningkatan areal panen
karena peningkatan produktivitas per luas tanam telah menunjukkan gejala kejenuhan.
Untuk itu, oleh karena dana pembangunan yang tersedia untuk pencetakan lahan sawah
sangat terbatas, maka perluasan areal panen melalui peningkatan intensitas tanam sangat
dirasakan urgensinya. Ini dapat ditempuh melalui alokasi air irigasi secara optimal
melalui perancangan pola tanam yang tepat. Selama ini, perancangan pola tanam yang
paling banyak dilakukan terlampaui agregatif dan cenderung mengasumsikan bahwa
tujuan petani dalam berusahatani semata – mata hanyalah memaksimumkan keuntungan
usaha tani. Pendekatan demikian itu, selain terlampau menyederhanakan persoalahn juga
menghasilkan model rancangan yang seringkali justru sangat restriktif sehingga
penerapannya di lapangan mengalami banyak hambatan. Penelitian ini ditujukan untuk
memperbaiki pendekatan tersebut. Sebagaimana sering dijumpai di lapang, tujuan petani
dalam berusahatani bersifat jamak (multi objective) dan kecenderungan petani untuk
menanam lebih awal atau justru lebih lambat dari yang lainnya dimungkinkan. Hal ini
dapat didekati melalui penerapan Goal Programing dimana tiap musim tanam
didisagresikan lebih lanjut sesuai dengan kondisi umum di lapangan.

I. PENDAHULUAN
Mengacu hasil – hasil penelitian empris, dapat disimpulkan bahwa upaya
mempertahankan swasembada beras pada saat ini sangat berat dan dimana
mendatang akan semakin berat. Sudaryanto et al (1995) memperkirakan bahwa
sekalipun kondisi iklim normal, dengan pertumbuhan produksi dan konsumsi
seperti yang etrjadi selama PJP I maka pada tahun 2010 akan terjadi defisit 1.026
juta ton. Sementara itu, Hardjoamidjojo (1994) menyatakan bahwa mengacu pada
pertumbuhan produksi dalam tiga dasawarsa terakhir maka untuk mempertahankan
swasembada beras dibutuhkan perluasan areal irigasi baru 108 – 114 ribu hektar per
tahun, itupun belum memperhitungkan lahan sawah yang beralih fungsi ke lahan
non sawah yang dampak negatifnya terhadap kemampuan mempertahankan
swasembada beras ternyata tidak hanya terjadi melalui berkurangnya lahan sawah
tetapi juga tercabutnya kelembagaan pendukung pengembangan produksi serta
ekskalasi kerusakan ekosistem sawah di lingkungan yang lebih luas Sumaryanto
dan Nursuhaeti (1997).
Lazimnya, memacu pertumbuhan produksi pangan daapt ditempuh melalui strategi
ekstensifikasi, intensifikasi maupun kombinasi dari keduanya. Dalam konteks ini,
kebijakan – kebijakan di bidang harga, kelembagaan, dan pengembangan /
pembangunan prasarana harus dilakukan secara terintegrasi dan simultan dan harus
diimplementasikan secara konsisten.
Menyimak laju pertumbuhan dan angka produktivitas usaha tani tanaman pangan
selama ini, tampak terjadi gejala “leveling off”. Maka upaya perluasan areal tanam
sangat dirasakan urgensinya. Akan tetapi mengingat dana pembangunan yang
tersedia sangat terbatas maka pengembangan lahan – lahan pertanian baru dari
konversi hutan, rawa dan pasang surut hanya dapat dilakukan pada areal yang relatif
sempit karena biaya pembangunan lahan sawah baru sangat mahal (Pasandaran,
1991; Nippon Koe Co. Ltd, 1993).
Tampaknya pilihan paling layak untuk meningkatkan produksi pangan khususnya
padi, kedele, jagung adalah dengan memanfaatkan secara optimal sumberdaya air di
lahan – lahan sawah yang telah ada. Sudah barang tentu, dalam konteks ini pilihan
yang dapat diambil harus didasarkan pada teknologi berproduksi yang telah
dikuasai petani dan atau teknologi yang lebih maju yang dengan cepat dapat di
serap dan diterapkan petani.
Upaya peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan petani harus bertumpu pada
persoalan nyata yang dihadapi petani, karena petani merupakan aktor utama
pembangunan pertanian. Dengan kata lain tujuan – tujuan yang ingin dicapai petani,
kendala yang dihadapi dalam mencapai tujuan itu dan alternatif pilih yang secara
teknis, ekonomi dan sisial layak (feasible) harus dipahami dan diinkorporasikan
sebagai bagian integral dari rumusan kebijakan sektor pertanian.
Tak dapat disangkal bahwa beberapa kajian serupa juga telah dilakukan di
Indonesia. Akan tetapi, kajian – kajian terkini yang relevan dengan status dan
kondisi sumeberdaya yang ada pada saat ini belum tersedia. Rekomendasi pola
tanam di lahan sawah menurut tipe ketersediaan air irigasi yang secara terintegrasi
didasarkan pada tujuan – tujuan ganda (multi objective) yang ingin dicapai petani
belum ada. Akibatnya, perumus kebijakan dihadapkan pada gugus informasi yang
sifatnya parsial dan pada akhirnya operasionalisasinya menghadapi banyak kendala
di lapangan. Atas dasar pertimbangan demikian itu, penelitian ini penting untuk
dilaksanakan.

II. Tujuan Penelitian


 Menghasilkan rekomendasi pola tanam optimal untuk komoditas pangan
dilahan sawah dalam rangka mencapai tujuan petani yang sifatnya ganda sesuai
skala prioritas yang diinginkan petani dan sejalan dengan tujuan pembangunan
pertanian.
 Menghasilkan model perencanaan pola tanam menurut beberapa tipe
agroekosistem sawah.
 Menghasilkan rekomendasi kebijakan yang kondusif bagi pembangunan
pertanian khususnya dalam rangka peningkatan produksi pangan dan pendapatn
petani.

III. Metode Penelitian


3.1. Cakupan Penelitian
Optimalisasi alokasi air irigasi membutuhkan dua pendekatan secara simultan
yaitu dari dimensi spasial dan dimensi waktu. Selama ini, instansi yang
berwenang (Direktorat Irigasi) telah melakukan banyak sekali kajian yang
ditujukan untuk melakukannya, tetapi lebih banyak terfokus pada bagaimana
melakukan sistem penggiliran antar lokasi. Sementara itu, optimalisasi
pemanfaatan di petak – petak tersier masih belum banyak disentuh. Akibatnya
meskipun secara agregat volume pasokan air mencukupi, pada kenyataannya
sering terjadi pertanaman yang diusahakan petani mengalami kondisi
kekeringan atau kebanjiran. Berpijak dari kondisi empiris seperti itu,
penelitian in difokuskan untuk menjawab pertanyaan bagaimana
mengoptimalkan pemanfaatan air irigasi di petak – petak tersier agar produksi
pangan meningkat, dan di sisi lain pendapatan petani juga membaik.
Terdapat dua unsur pokok yang harus diperhitungkan dalam cakupan
penelitian ini. Pertama, dari aspek substansi adalah : bagaimana
mengoptimalkan distribusi air irigasi yang tersedia. Kedua, bagaimana
merancang pola tanam yang “optimal”, yakni pola tanam yang sesuai dengan
sasaran yang ingin dicapai oleh aktor utama pelaku pertanian yakni petani.
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, kegiatan penelitian akan difokuskan
pada daerah – daerah sentra produksi pangan berbasis agroekosistem sawah.
Dalam konteks ini, pasokan air irigasi pompa sebagai suplesi diperhitungkan
sebagai variabel yang penting.
3.2. Pendekatan, Unit Analisi dan Spesifiaksi Model
3.2.1. Pendekatan
Sebagai “manager” gugus alternatif yang dihadapi petani mencakup
aspek – aspek (a). Tujuan – tujuan yang ingin dicapai, (b). Pilihan
output yang akan diproduksi, dan (c). Alokasi sumberdaya untuk
menghasilkan output tersebut (Debertin, 1986). Disisi lain, dalam
berusahatani, petani bukan hanya bertujuan memaksimumkan
pendapatan, tetapi juga bertujuan agar pendapatannya ralatif stabil,
kebutuhan pangan rumah angga terpenuhi, dan sebagainya. Motif
memaksimumkan keuntungan ekonomi semata, hanya berlaku jika
komersialisasi usaha tani telah mencapai tingkat yang sangat tinggi;
sehingga asumsi seperti ini kurang relevan untuk petani – petani di
negara sedang ebrkembang. Dengan kata lain, petani menghadapi
persoalan alokasi sumberdaya dalam rangka mencapai tujuan yang
sifatnya ganda (multi objectives).
Telah banyak dikenal bahwa salah satu metode yang dipandang handal
untuk perencangan optimalisasi alokasi sumberdaya adalah linear
programming (LP). LP sesuai untuk perencangan optimalisasi
sumberdaya dimana tujuan yang akan dicapai bersifat tunggal dan satu
dimensi atau satu kriteria. Untuk perancangan optimalisasi
sumberdaya dimana tujuannya tidak tunggal, diperlukan pendekatan
Multi Objectives Programming (MOP).
Dalam MOP terdapat dua metode yang dikenal mempunyai
kemampuan penerapan yang baik yakni Step Method (SM) dan Goal
Programming (GP). Metode yang disebut pertama membutuhkan
proses iterasi yang sangat panjang, waktu yang lama dan biaya yang
besar. Oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih metode yang kedua.
Metode GP telah banyak diterakan, terutama sebagai alat bantu dalam
perancangan penatagunaan lahan dan alokasi sumberdaya air.

3.2.2. Unit Analisis


Unit analisis yang dipergunakan adalah unit pengelolaan irigasi pad
alevel P3A, bukan di tingkat petani. Benar bahwa tatacara pemberian
air bagi tanaman, pemilihan komoditi, pengaturan jadwal tanam dan
sebagainya berada di tanagn petani, akan tetapi pengambilan
keputusan mengenai tatacara pengaliran dan penentuan volume air
irigasi antar petani dilakukan oleh P3A.

3.2.3. Model
r m

Minimumkan Z   Pk  ( wik d i  wik d ik )


k 1

a. Kendala tujuan : ada 7 tuuan yang ingin dicapai, jadi :


n

a
j 1
ij x j  d i  d i  bi

Rumus diatas meliputi point 1 sampai 7, tuuuan masing masing


adalah
1. maksimisasi pendapatan setahun
2. produksi padi
3. produksi jagung
4. produksi kedele
5. minimisasi pinjaman untuj modal usaha tani
6. senjang pendapatan antara MT I dan MT II
7. senjang pendapatan MT II dan MT III
b. Kendala fungsional
i. ketersediaan lahan
ii. ketersediaan air
iii. ketersediaan traktor / musim
iv. ketersediaan modal

3.3. Pengumpulan data


Berdasarkan data sekunder mengenai sebaran lahan sawah menurut jenis
irigasi, ditentukan lokasi Daerah Irigasi sampel. Selanjutnya di masing –
masing Daerah Irigasi dilakukan pemilihan Cabang irigasi, kejuron dan
akhirnya lokasi petak tersiersampel.
Pemilihan rumah tangga sampel di petak tersier mengacu pada kriteria lokasi
sawah garapan di petak tersier tersebut agar mewakili kondisi hulu – tengah –
hilir. Dalma hal ini populasinya adalah petani pengarap di petak tersier
contoh, terlepas dari statusnya apakah petani pemilik atau bukan pemilik
(penyewa, penyakap dan lain – lain). Jumlah rumah tangga sampel untuk
seluruh lokasi penelitian adalah 390 rumah tangga. Contoh tersebut
diupayakan dari beberapa P3A yang kualifikasi teknis irigasinya berbeda,
yakni a. Irigasi teknis/semi teknis; b. Irigasi sederhana/irigasi pedesaan;
c. Sawah tadah hujan.
Koefisien – koefisien teknis mengenai kebutuhan air per jenis tanaman per
masa kegiatabn menurut waktu memanfaatkan hasil – hasil penelitian dari
instansi terkait maupun dari sumebr – sumebr lain. Sedangkan besaran-
besaran dari ketersediaan sumberdaya, merupakan campuran antara
penggalian data primer dan data sekunder.
Data primer mencakup penerapan teknologi berproduksi di tingkat petani, data
agronomi untuk komoditas pangan khususnya padi, jagung dan kedele. Dalam
konteksini, praktek – praktek pengelolaan air irigasi di tingkat petani dan di
tingkat P3A maupun suprastrukturnya digali secara mendalam. Sebagaimana
lazimnya, data – data yang dibutuhkan dalam struktur ongkos usaha tani digali
secara lengkap. Selain itu, identifikasi tentang tujuan petani dalam
berusahatani menurut skala prioritas sesuai aspirasi petani, dan kendala –
kendala teknis, ekonomi dan social yang dihadapi petani dalam berusaha tani
juga dikumpulkan.

IV. Hasil Penelitian


4.1 Keragaan Umum Kelembagaan Pengelolaan Air Irigasi Di Tingkat Tersier
Jika kelengkapan pengurus dapat dipakai sebagai indikasi dari eksistensi
kelembagaan P3A, maka berdasarkan hasil penelitian terdapat indikasi kuat
bahwa eksistensi kelembagaan P3A di Jawa Barat masih sangat beragam.
Berdasarkan aturannya, pendekatan kelembagaan P3A adalah pendekatan
hamparan (petak tersier), dan secara umum hal ini berlaku di sebagian besar
lokasi penelitian.
Terdapat kecenderungan fusi organisasi P3A. Hal ini dilatar belakangi oleh
motif memperbesar “skala usaha” dari sistem pengelolaan air irigasi yang
secara bersamaan didorong pula oleh sinyalemen mengenai rencana
pemerintah untuk memberikan hak dan tanggungjawab P3A dalam
pengelolaan irigasi (termasuk kemungkinan untuk dapat memanfaatkan
kredit). Lazimnya fusi terjadi apabila sebelumnya kinerja organisasi P3A –
P3A di wilayah yang berdampingan kurang baik (menginduk dan melakukan
“merger” dengan P3A yang lebih kuat).
Banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa pola pengelolaan air irigasi
oleh pengurus P3A tidak sama dengan desain semula. Kecenderungan umum
pengurus bertindak sebagai suatu unit usaha distribusi air kepada para
anggotanya. Dalam konteks ini, sumber penerimaan pengurus P3A berasal
dari : a. Sebagian dari IPAIR; b. Dari iuran irigasi yang sejak sebelum IPAIR
diintroduksikan telah melembaga; c. Tip dari anggota.
Hubungan antara kinerja organisasi dengan derajat kelangkaan air tidak linier.
P3A biasanya eksis ti petak – petak tersier yang ketesdiaan pasokan air
irigasinya “cukupan” semakin langka cenderung semakin kuat, tetapi jika
sangat langka, kelembagaan P3A cenderung tidak berfungsi. Hal yang sama
juga terjadi jika ketersediaan air sangat memadai sehingga eksistensi P3A
seakan – akan tidak lagi diperlukan oleh petani.
Pada umumnya, pengurus P3A belum berhasil mendorong petani anggota
untuk melakukan penghematan penggunaan air irigasi. Kesulitan yang muncul
adalah :
a. Topografi lahan sawah antar petani tidak seragam;
b. Adanya persepsi bahwa produksi tanaman padi akan turun jika pemberian
airnya mendekati ambang batas kebutuhan fisiologis tanaman (macak –
macak);
c. Kekhawatiran kekurangan air (terutama MT II); dan
d. Membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak untuk memberantas gulma.

Koordinasi antar P3A dalam menjemput air (menyongsong giliran air irigasi)
tampak nyata, terutama pada awal MT I dan akhir MT II. Koordinasi yang
ditujukan untuk membentuk suatu jaringan kelembagaan yang secara
komprehensifmampu mengelola distribusi air secara baik belum berjalan.
Konflik – konflik antar P3A ataupun antar petani anggota P3A pada umumnya
jarang terjadi dan masih dalam batas – batas wajar dalam arti dapat
diselesaikan secara kekeluargaan di tingkat lokal (P3A, Desa, Kecamatan,
Kejuron). Dalam konteks ini, didga bahwa diversifikasi kesempatan kerja dan
usaha di pedesaan mempunyai peranan yang penting.
Tingkat kecukupan air irigasi di lahan – lahan sawah di lokasi penelitian
cenderung semakin menurun. Penyebabnya :
a. Debit air yang sampai berkurang;
b. Saluran – saluran kurang terpelihara;
c. Petani – petani di hulu cenderung boros memanfaatkan air irigasi.

4.2 Sistem pengelolaan dan pembagian air irigasi.


Di wilayah Panturan Jawa Barat, sebagian besar dari lahan sawah yang ada
merupakan sistem irigasi yang tercakup dalam otoritas pengelolaan Perum
Otorita Jatiluhur (POJ). Secara keseluruhan luas layanan irigasi POJ
mencakup luasan areal 320 ribu hektar. Berdasarkan studi yang dilakukannya,
sejak 1987 distribusi optimal antar wilayah layanan dapat dicapai dengan
membagi wilayah layanan menajdi 9 golongan irigasi. Tenggang waktu antar
golongan adalah dua minggu, dan golongan 1 berarto air mulai masuk di
hamparan petak tersier wilayah itu pada awal bulan Oktober, Golongan II
pertengahan Bulan Oktober, dan seterusnya.
Secara teoritis, petani di hamparan sawah golongan 1 dapat mulai menggarap
sawahnya sejak awal Oktober. Kenyataannya, hal itu tidak selalu dapat
dipraktekkan. Curah hujan pada tahun – tahun kering yang terjadi pad atahun
sebelmnya bukan saja mengurangi volume air waduk, tetapi juga kehilangan
air di saluran. Akibatnya petani baru mulai menggarap lahan sawah menjelang
minggu kedua Bulan Oktober.
Sebagian besar kelembagaan P3A dan kelompok tani menyatakan bahwa
jadwal pembagian air, lamanya pembagian air dan volume pembagian air
adalah sesuai dengan keinginan mereka untuk MT I dan MT II, sedangkan
untuk MT III sebagian besar P3A dan kelompok kelompok menyatakan tidak
sesuai. Sebagian P3A dan kelompok tani ada yang menyatakan bahwa jadwal
pembagian air, lamanya pembagian air dan volume pembagian air adalah tidak
sesuai dengan keinginan mereka, mereka ni adalah P3A atau kelompok tani
yang berada di hilir. Sehingga sering mengalami keterlambatan atau
kekurangan air saat dibutuhkan dan kelebihan air saat musim penghujan.
Di petak tersier cara pemberian air dalam usahatani padi masih menerapkan
pola aliran (flow). Air mengalir dari petak satu ke petak lainnya berdasarkan
tipografinya. Kelebihan pola pemberian air irigasi seperti ini adalah biayanya
yang murah. Kelemahannya, sistem distribusi air yang adil dan merata sulit
diwujudkan. Lahan – lahan sawah di hilir seringkali menjadi korban
kekeringan ketika pasokan dari saluran sekunder kuran, dan menjadi korban
kebanjiran ketika pasokan air secara total berlebih.
Modifikasi yang dilakukan adalah sistem berkala. Dengan pola ini jadwal dan
lama pengaliran air antar petak – petak tersier dilakukan. Namun dalam
praktek seringkali belum mencapai sasaran yang diinginkan karena praktek –
praktek pemberian air yang dilakukan oleh petani masih terbiasa dengan cara
– cara ketika air cukup. Maka salah satu teknik yang diduga efektif untuk
mengatasi hal itu adalah melalui modifikasi pola tanam.

4.3 Pola Tanam Optimal Dan Pencapaian Target


Seperti dijelaskan dimuka, fokus dari optimasi alokasi air irigasi adalah antar
waktu dan unit analisisnya adalah hamparan P3A. Pendekatan seperti ini
termasuk dalam kategori “demand management”. Prinsipnya adalah
menentukan pilihan jenis dan waktu dari pengusahaan komoditas. Jelas bahwa
variabel – variabel yang harus dipertimbangkan adalah :
a. produktivitas;
b. Keuntungan usaha tani (harga masukan dan keluaran antara waktu
berbeda);
c. Ketersediaan air menurut waktu (debit air irigasi gravitasi, efisiensi
penyaluran, irigasi pompa – jika tersedia, perkolasi, dan pasokan air dari
curah hujan);
d. Kebutuhan air masing – masing jenis tanaman (kebutuhan untuk
pengolahan tanah, persemaian, evapotranspirasi) menurut waktu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengoptimalkan alokasi air
irigasi, yang dapat meningkatkan pendapatan usaha tani dan produksi pangan,
maka pola tanam yanga da selama ini perlu dimodifikasi. Pola tanam antar
wilayah (Golongan rigasi harus tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh
ketersediaan air dalam satu tahun berbeda, baik pola distribusinya menurut
waktu (dua minguan), produktivitas usaha tani, maupun harga – harga
masukan dan keluaran.
Diwilayah irigasi Golongan I, kondisi “optimal” (memuaskan) dapat dicapai
jika pengusahaan komoditas dilakukan sebagai berikut (tabel 1).
 Masa pengolahan tanah dalam usaha tani padi harus dipersingkat. Sebagai
ilustrasi, masa pengolahan tanah selma sebulan harus di bawah 36 % dari
total luas hamparan wilayah Golongan I, itupun hanya dapat dilakukan
pada MT I, sedangkan untuk MT II seluruhnya harus diupayakan agar
masa pengolahan tanah dapat diselesaikan dalam setengah bulan.
 Pada MT I seluruh areal dapat ditanami padi, sedangkan pada MT II
sebaiknya kurang dari 95 % dan sisanya (6 %) ditanami sayuran bernilai
ekonomi tinggi (misalnya cabai). Pada MT III hanya dua pertiga (67 %)
areal yang dapat diusahakan dan disarankan komoditi jagung. Perlu dicatat
bahwa dalam konteks ini, tanaman palawija atau sayuran lain yang
mempunyai tingkat keuntungan dan kebutuhan air yang sebanding dengan
tersebut komoditi –komoditi tersebut layak diusahakan.
 Secara keseluruhan, dengan pola seperti itu maka intensitas tanam dapat
ditingkatkan dari rata – rata di wilayah itu pada saat ini yang hanya
mencapai 2.15 menjadi 2.67.
 Pencapaian target adalah seperti tertera pada Tabel 4.

Berbeda dengan pola optimal untuk wilayah Golongan I, untuk Golongan II


pola pengusahaan tanaman padi pada MT I dengan masa pengolahan tanah
selama sebulan justru dimungkinkan untuk diterapkan pada areal dua pertiga
(66 %) dari luas hamparan. Hal ini kelihatan antagonis. Tetapi mengingat
bahwa akhir dari masapelayanan air irigasi pada MT II di wilayah ini lebih
belakangan dan kondisi harga – harga setempat dari komoditas tersebut
berbeda dari yang diterima petani dari Golongan I, maka solusi optimal adalah
seperti tertera pada Tabel 2 tersebut.
Secara keseluruhan indeks pertanaman wilayah irigasi Golongan II lebih
rendah dari Glongan I, yakni hanya mencapai 2.4. Namun angka ini masih
sekitar 16 % lebih tinggi dari kondisi yang ada pada saat ini.
Untuk Golongan V, indeks pertamanan yang dicapai adalah sekitar 2.2, atau
sekitar 23 % lebih tinggi dari kondisi di lapangan pada saat ini. Pola tanam
yang harus dilakukan adalah seperti pada Tabel 3. Pada MT I seluruh areal
ditanami padi, pada MT II hanya 65 % yang mampu untuk ditanami padi.
Target pencapaian tujuan untuk wilayah Golongan I, II dan V tertera pada
Tabel 4. Tampak bahwa pencapaian target pendapatan tertinggi justru dicapai
oleh wilayah Golongan II. Hal ini disebabkan tingkat keuntungan usahatani
per hektar, sekalipun untuk jenis komoditi yang sama (jenis komoditi tidak
sama dengan aktivitas) adalah lebih tinggi di wilayah Golongan II dari pada di
wilayah Golongan I. akan tetapi, dari sudut pencapaian target peningkatan
produksi pangan, pencapaian target tertinggi terjadi di wilayah Golongan I,
sedangkan yang terendah di wilayah Golongan V.
Salah satu temuan yang dicermati lebih lanjut adalah bahwa berdasarkan data
yang dikumpulkan di lokasi penelitian, produktivitas usaha tani dari
komoditas – komoditas yang ditelaah memang cenderung lebih rendah dari
kondisi normal. Selain itu, ternyata harga jual produk yang dihasilkan petani
pada saat itu juga cenderung lebih rendah dari harga yang diterima pada tahun
tahun sebelumnya. Namun juga perlu digaris bawahi bahwa dalam analisis ini,
keuntungan usaha tani yang dibahas adalah keuntungan bersih, yakn biaya
tenaga kerja dalam keluarga telah diperhitungkan (imputed).
Yang menarik adalah bahwa bedasarkan solusi etrsebut, tampak bahwa upaya
peningkatan produksi jadung dan kedelai kurang prospektif. Terutama kedelai,
ternyata tidak dapat diharapkan untuk diusahaan di sembarang wilayah.
Sebagai ilustrasi, ternyata tidak mendatangkan keuntungan optimal untuk
diusahakan di wilayah irigasi Golongan I. penyebab utamanya adalah
keuntungan usaha tani per unit luasan ternyata sangat bervariasi antar lokasi.
Hal ini berkaitan dengan ketidakmantapan produktivitas usaha tani kedelai.
Dibandingkan dengan usaha tani jagung atapun padi, tingkat pencapaian
produktivitas (dibandingkan produktivitas potensial) usaha tani kedelai adalah
lebih rendah.
Menyimak lebih lanjut dari hasil penelitian tersebut, tampak bahwa sosialisasi
tepat waktu dalam awal pengusahaan harus terus dilakukan. Kecenderungan
menunda penggarapan tanah dengan “menunggu pasokan air yang aman”
harus diubah. Sudah barang tentu hal ini dapat diwujudkan apabila aturan
tentang pelayanan penggiliran air menurut Golongan Irigasi sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh POJ juga direalisasikan secara konsekuen.
Bagaimanapun, petani belajar dari pengalaman.
Titik krisis dari upaya optimalisasi alokasi air irigasi dalam rangka
peningkatan produksi pangan ternyata adalah bagaimana mempersingkat
waktu pengolahan tanah. Hal ini tampak dari solusi tersebut diatas. Ini berarti
bahwa kebiasaan menerapkan masa pengolahan tanah selama sebulan harus
diubah. Untuk itu harus ditempuh secara simultan beberapa hal berikut :
a. meningkatkan ketersediaan tenaga kerja pengolahan tanah yang berarti
harus dilakukan penambahan populasi traktor dan atau ternah kerja dari yang
ada pada saat ini; b. mengubah image bahwa masa pengolahan tanah yang
pendek menyebabkan produktivitas usaha tani rendah karena tanah tidak
matang.
Meskipun unit analisis dalam penelitian ini adalah hamparan petak tersier,
penerapannya di lapangan dapat dimodifikasi. Sebagai contoh, pembagian
pangsa areal menurut aktivitas tidak harus dilakukan di tiap petak tersier.
Asalkan golongan irigasinya sama, maka di beberapa petak tersier dapat
diusahakan komoditas – komoditas sejenis pada mas ayang sama dengan pola
pengolahan tanah serupa, sementara di petak – petak tersier lainnya
mengusahakan yang lainnya sesuai dengan solusi tersebut, yang terpenting
perbandingannya untuk keseluruhan wilayah dengan karakteristik irigasi yang
sama dapat dipertahankan seperti itu.
Apabila modifikasi seperti itu dapat diterapkan, keunggulan yang dapat
dicapai bukan saja mempermudah pengelolaan air irigasi di lingkup jaringan
sekunder tetapi secara berurutan berdampak positif terhadap eliminasi
kesulitan – kesulitan dalam pengelolaan irigasi di tingkat jaringan primer.
Persoalannya adalah bagaimana dukungan kelembagaan harus diwujudkan,
karena pengaturan pola tanam (menyankut dimensi waktu dan pilihan
komoditas) bukan masalah yang sederhanauntuk dipecahkan. Adalah tidak
mudah mengkonsolidasikan pengelolaan usaha tani seperti itu, dan karenanya
suatu penelitian partisipatif yang ditujukan untuk menindaklanuti hasil
penelitian ini perlu dilakukan agar rekayasa optimalisasi sebagaimana
dimaksudkan diatas dapat diimplementasikan.

V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijaksanaan


Beberapa kesimpulan dan rekomendasi penting yang dapat ditarik dari penelitian ini
adalah :
1. Peluang peningkatan produksi pangan (terutama padi) dan pendapatan petani
melalui optimalisasi alikasi air irigasi di lahan – lahan sawah yang selama ini
telah dijadikan sentra produksi masih terbuka dan prospektif.
2. Dalam upaya optimalisasi alokas air irigasi tersebut, pendekatan melalui
pengelolaan permintaan yang ditempuh dengan cara mengatur pola tanam
dapat dilakukan dan kondusif untuk mendukung peningkatan produksi pangan
dan pendapatan petani.
3. dengan kondisi harga – harga keluaran, harga masukan (sarana produksi),
tingkatupah, dan produktivitas usaha tani seperti ini maka optimalisasi alikasi
irigasi mampu mendukung upaya peningkatan produksi padi, tetapi kurang
kondusif untuk mendukung peningkatan produksi padi, tetapi kurang kondusif
untuk mendukung peningkatan produksi jagung dan terlebih kedelai.
4. Dalam upaya alokasi air irigasi optimal seperti dimaksudkan diatas, upaya
mempersingkat masa pengolahan tanah sangat penting. Dalam kaitan ini maka
peningkatan penyediaan tenaga kerja pengolahan tanah harus ditingkatkan,
misalnya dengan menambah populasi traktor ataupun populasi ternak kerja.
5. Optimalisasi alokasi air irigasi sinergis dengan upaya diversifikasi pertanian
tanaman pangan. Diversifikasi pengusahaan komoditas disarankan dilakukan
pada MT II. Pol atanam padi 3 kali setahun hanya dapat dilakukan pada areal
yang relatif sempit.
6. Penerapan hasil penelitian ini dilapangan dapat dimodifikasi. Pembagian proporsi
areal seperti etrtera dalam hasil penelitian tidak harus dilakukan di masing –
masing petak tersier. Dimungkinkan menerapkannya pada level agregasi yang
lebih tinggi pada golongan / tipe irigasi yang sama, yang terpenting adalah
proporsinya.
7. Kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk mendukung terwujudkannya rancangan
tersebut adalah : a. Mendorong terciptanya kemudahan P3A dalam
memperoleh tenaga pengolahan tanah secara tepat waktu, tepat jumlah dan
tepat lokasi, b. Meningkatkan akses P3A terhada informasi pasar sarana
produksi dan hasil pertanian, c. Mengembangkan mekanisme distribusi air
irigasi secara tepat waktu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan
yang telah disepakati, d. Mendorong berkembangnya sistem jaringan
informasi antar Gabungan P3A yang efektif untuk menerapkan sistem
pembagian air secara adil dan efisien.
VI.

Anda mungkin juga menyukai