ABSTRAK
Tulisan ini membahas hasil penelitian analisis hidrograf sebagai indikator dalam
menilai kualitas daerah aliran sungai. Pemilihan lokasi ini didasarkan oleh karena banjir
di DAS Kaligarang merupakan persoalan krusial yang frekuensi dan intensitasnya
cenderung meningkat antara lain akibat : curah hujan yang tinggi dengan waktu yang
singkat, daya tampung air aktual DAS yang cenderung menurun akibat meningkatnya
luas permukaan kedap. Dengan lereng rata-rata yang sangat terjal (15-40 %) dan jarak
tempu yang pendek (32,8 km) dan luas permukaan kedap bertambah, maka kecepatan
aliran permukaannya cenderung meningkat dan akumulasi air disungai akan melebihi
daya tampungnya. Hal itu ditandai dengan peningkatan debit puncak (Qmaks) dan waktu
respon (tr) yang singkat, serta periode ulang yang semakin singkat.
Untuk menghitung besarnya volume aliran eprmukaan dari suatu DAS,
dilakukan analisis permisahan hidrograf (hydrograf separation). Pemisahan hidrograf
merupakan salah satu metode klasik yang dapat digunakan untuk mengitung besarnya
komposisi aliran penyusun debit sungai, berdasarkan analisis grafis kurva debit yang
terdiri dari curah hujan yang jatuh di atas permukaan sungai, aliran bawah permukaan
(base flow), dan aliran air bawah tanah.
Sehubungan dengan indikator kualitas DAS saat ini lebih banyak ditentukan
berdasarkan kriteria kualitatif, maka analisis hidrograf merupakan salah satu alternatif
untuk menilai kualitas DAS secara kuantitatif. Dengan indikator tersebut, maka evaluasi
kualitas DAS dapat dinilai secara fair.
PENDAHULUAN
Indonesia yang beriklim tropis mempunyai curah hujan yang sangat beragam
dan fluktuatif. Pada musim hujan tidak jarang terjadi bencana alam banjir, sebaliknya
pada musim kemarau sering terjadi kekeringan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam skala global dan kumulatif, jumlah air
di alam adalah tetap dan demikian juga dengan curah hujan kumulatif juga relatif sama.
Yang berubah dan berfluktuasi hanya sebarannya secara spasial dan periodik. Selanjutnya
berdasarkan studi oleh Perhimpunan Metereologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI),
keragaman sumberdaya air secara kumulatif (curah hujan) di Indonesia pada masing-
masing wilayah masih mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan air untuk pertanian
dan domestik. Namun dengan adanya koefisien limpasan pada beberapa wilayah,
terutama di Jawa, maka ekstrimitas air dalam bentuk kekeringan dan kebanjiran akan
selalu mengancam. Untuk itu perlu dicermati dan diantisipasi, antara lain melalui
identifikasi dan penataan air (hidrologi) masing – masing wilayah.
Selain itu bencana banjir tidak saja menimbulkan korban harta, tetapi juga
korban jiwa serta terganggunya aktifitas perekonomian. Karakteristik banjir cenderung
makin besar yang ditandai dengan peningkatan debit puncak serta waktu responnya,
dengan periode ulangnya semakin singkat akibat tekanan demografi (laju pertumbuhan
penduduk).
Dan juga adanya perubahan penggunaan lahan dari zone pertanian ke zone non
pertanian yang cenderung impermeabel (kedap air) akan menyebabkan penurunan laju
infiltrasi, sehingga sebagian air akan ditransfer menjadi aliran permukaan. Pengaruh
langsung yang terlihat dari perubahan karakteristik permukaan lahan tersebut adalah
meningkatnya koefisien aliran permukaan dan debit puncak serta waktu respon secara
signifikan.
Lebih lanjut tingginya aliran permukaan pada musim hujan akan menyebabkan
cadangan air tanah pad amusim kemarau menurun yang ditandai dengan terjadinya
kekeringan. Terhadap pengembangan tanaman tahunan, aliran permukaan sangat besar
dampaknya pada tingkat keberhasilan penghijauan, karena kecepatan aliran permukaan
yang tinggi akan menyapu tanaman tahunan yang masih muda. Sebaliknya menurunnya
cadangan air pada musim kemarau akan sangat mempercepat penurunan kualitas DAS,
karena pada awal musim hujan akan terjadi peningkatan volume aliran permukaan karena
DAS dalam kondisi bervegetasi minimum. Kondisi demikian menyebabkan kecepatan
aliran permukaan meningkat dengan waktu respon yang singkat, sehingga akan
berdampak terhadap waktu evakuasi apabila terjadi banjir.
Untuk menghitung besarnya volume aliran permukaan dari suatu DAS,
dilakukan analisis pemisahan hidrograf (hidrograf separation). Pemisahan hidrograf
merupakan satu-satunya metode klasik yang sering digunakan untuk menghitung
besarnya komposisi aliran penyusun debit sungai, berdasarkan analisis grafis kurva debit.
Menurut Viessman Et Al, hidrograf debit sungai terdiri dari curah hujan yang jatuh diatas
permukaan sungai, aliran bawah permukaan, dan aliran air bawah tanah. Dalam analisis
hidrograf, sumbangan air hujan yang jatuh langsung diatas permukaan sungai diabaikan.
Menurut Llamas, terdapat 2 tehnik pemisahan hidrograf, yaitu : metode
sederhana dan metode empirik. Metode sederhana hanya memisahkan debit menjadi
aliran dasar (base flow) dan aliran permukaan (runoff). Sedangkan metode empirik dapat
memisahkan komponen aliran sungai menjadi tiga : aliran permukaan, aliran bawah
permukaan (subsurface ronoff) dan aliran air bawah tanah (groundwater flow). Dalam
penelitian ini, pemisahan hidrograf dilakukan dengan menggunakan metode sederhana
seperti terlihat pada Gambar 1.
D
e
b
i Volume aliran Titik Deplesi
t permukaan
Waktu
Pemisahan dengan menggunakan isotop seperti yang disarankan oleh (Mikio
Hino and M. Hasabe, 1986) belum dapat dilakukan karena keterbatasan sarana.
Daerah aliran sungai Kaligaran merupakan salah satu DAS prioritas yang perlu
segera ditangani, karena hampir setiap tahn terjadi masalah banjir dan kekeringan. Bagian
hulu DAS ini merupakan pemasok utama sumber air bersih (kota Semarang yang
berpenduduk + 2 juta jiwa. DAS ini terdiri atas tiga sub DAS utaman yaitu Sub DAS
Kaligarang hulu Sub DAS Sikopek, dan Sub DAS Kripik.
Sehubungan indikator kualitas DAS saat ini lebih banyak ditentukan
berdasarkan kriteria kualitatif, maka analisis hidrograf merupakan salah satu alternatif
untuk menilai kualitas DAS secara kuantitatif.
Tempat Penelitian
Secara geografis DAS Kaligarang terletak antara 06o53’30” sampai 07o07’30”
LS dan 110o15’sampai 110o30’ BT. DAS ini terletak di Semarang Jateng, yang meliputi
tiga wilayah, yaitu Kodya Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal. Total
luas DAS Kaligarang adalah 220 km2, terdiri dari tiga sub DAS yaitu Sub DAS
Kaligarang Hulu (bagian timur) merupakan sub DAS terluas yaitu 79,4 km2 dengan
panjang rata-rata 4,78 m, dab sub DAS Sikopek (barat) mempunyai luas 15,35 km2
dengan panjang rata-rata 5,32 m. Sedangkan panjang sungai utama DAS Kaligarang
kurang lebih 23,5 km, mengalir dari hulu sungai di Pegunungan Ungaran, Kabupaten
Semarang dan bermuara di Laut Jawa mengalir melewati wilayah Kodya Semarang.
Kaligarang mempunyai anak sungai yang cukup banyak yang berbentuk seperti ranting
pohon yang disebut pola dendritik.
Bahan Penelitian
Data yang dikumpulkan adalah data curah hujan, tinggi muka air dan debit
sungai periode 1997-1998 dari pengamatan data pada stasiun pengukur iklim otomatis
(AWS) dan stasiun pengukur duga muka air otomatis (AWLR) yang dipasang di
Banyumanik, kripik dan sikopek milik Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.
Metode Penelitian
a. Penilaian Kualitas DAS dari Analisis Hidrograf
Penilaian curah hujan dan data debit tiap enam menit diperoleh dari hasil
pengukuran stasin pengukur iklim otomatis (AWS) dan stasiun pengukur duga muka
air otomatis (AWLR). Alat tersebut mampu merekam data yang disimpan dalam
media kaset. Kaset tersebut kemudian langsung dapat dibaca dan ditransfer menjadi
data iklim dan hidrologi dalam format Excell. Selanjutnya dilakukan analisis
hidrograf untuk ketiga sub DAS pada episode banjir yang sama, kemudian di plot
dalam grafik hubungan antara hujan dan debit. Dari analisis ini diketahui komponen-
komponen penyusun aliran permukaan kemudian dbandingkan untuk ketiga sub DAS.
KESIMPULAN
1. Semakin rusak DAS, maka untuk intensitas hujan yang sama akan memberikan debit
puncak yang lebih besar dibandingkan DAS yang kualitasnya masih baik.
2. Qmaks/luas untuk Sb DAS Kaligarang Hulu tertinggi dibandingkan Sub DAS Kripik
dan Sikopek, hal ini menunjukkan bahwa sumbangan setiap luas permukaan DAS
terhadap debit di hilir juga tinggi sehingga kualitas DAS dapat dikatakan relatif
rendah.
3. Kecepatan aliran permukaan di Sub DAS Kaligarang Hulu tertinggi dibandingkan
kedua Sub DAS yang lain, hal ini menunjukkan bahwa kualitas DAS Kaligarang
Hulu relatif lebih rendah sehingga air hujan yang jatuh akan dipercepat waktu
tempuhnya menuju outlet.
4. Koefisien aliran permukaan di Sub DAS Kaligarang Hulu terendah dibandingkan
kedua Sub DAS yang lain, hal ini menunjukkan bahwa kualitas DAS Kaligarang
Hulu relatif lebih rendah.
5. Diperlukan upaya untuk menurunkan debit puncak di DAS Kaligarang Hulu, antara
lain dengan panen hujan dan aliran permukaan. Panen hujan hujan dan aliran
permukaan dilakukan dengan membangun embung permanen atau semi permanen,
embung sawah, dan rorak. Tidak kalah pentingnya perlunya untuk mengatur alih
fungsi lahan dan kompensasinya agar dampak hidrologis dan ketersediaan air yang
ditimbulkan dapat diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pengairan Tingkat I Jawa Tengah. 1990 – 1994. Tinjauan Hidrologi Tentang
Keadaan Hujan di DAS Kaligarang, Semarang.
Irianto, G. 1995. Analyse des averses et des crues exceptionnelles mise au point d`un
systeme d`alerte. (le cas de l`annonce de crues a Java.) Memoire de fin d`estude.
ENSA Rennes. 74p.
Irianto, D dan T. Prasetyo. 1998. Panen Hujan dan aliran permukaan pada lahan berlereng
di Sub DAS Kaligarang Hulu dan pemanfaatannya untuk pengembangan
komoditas unggulan. Prosiding Seminar Teknologi spesifik lokasi dalam
menunjang pertanian wilayah. BPTP Ungaran.
Kang, I.S. J.I. Park and V.P. Singh, 1998. Efect of urbanisation on runoff characteristics
of the on-cheon stream watershed in Pusan, Korea Hydrological Processes. 12,
351 – 363.
Karama, A.S., dan Irsal Las. 1996. Pedekatan dan Program Penelitian dalam
Mengantisipasi bencana banjir dan Kekeringan, Mimeograf dalam seminar
dengan Bappeda Propinsi Jawa Tengah, Semarang, 7 Oktober 1996.
Llamas, J., 1993. Hydrologie Generale – Principes et Application. Gaetan Morin Editeur.
Boucherville. Quebec. Canada. 527p.
Mikio Hino and M. Hasabe., 1986. Separation of a strorm hydrograph into runoff
component by both filter-separation AR method and environmental isotope
tracers. Journal of hydrology, 85 (251 – 264).
Tim Puslittanak. 1998. Laporan Penelitian Karakterisasi dan Analisis Biofisik DAS untuk
mengendalkan Banjir dan Kekeringan DAS Kaligarang. Tim Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
I. PENDAHULUAN
Pembangunan melaju dengan cepat dalam dekade terakhir ini, dan dalam prosesnya
peranan pengelolaan air dan lahan khususnya di abad ke – 21 akan menjadi semain
penting. Akan terjadi kompetisi penggunaan sumberdaya alam disaat mana
pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan akan menjadi penentu disamping hal
– hal teknik dan operasional dalam mengambil suatu keputusan. Isu kebijakan perlu
diidentifikasi dan didiskusikan untuk menyusun strategi pemecahan masalah
kompleks dalam pengelolaan air dan lahan.
Permasalahan pengelolaan air dan lahan meliputi areal berfisiografi rawa lebak dan
pasang surut, dataran rendah, lahan kering tadah hujan atau beririgasi, daerah
berbukit dan bergelombang serta daerah dataran tinggi dan pegunungan. Tpe tipe
firiografi ini merupakan suatu paparan dari timut pantai Sumatera sampai ke Bukit
Barisan di sebelah barat dan merupakan perwakilan bentang lahan yang umum
dijumpai di Indonesia.
Wilayah Sumatera Selatan khususnya dan Indonesia umumnya, dengan sumberdaya
lahan dan airnya, merupakan aset yang masih perlu dikaji dan dikelola dengan baik.
Pemecahan masalah hendaknya tidak hanya dilihat dari sudut yeknik saja tetapi
juga dari segi sosial dan ekonomi. Dalam manajemen daerah rawa dan pesisir
dirasakan ada beberapa kendala penyediaan data secara cepat, tepat, dan
murah.lebih – lebih kalau kita kaitkan dengan pembangunan yang semakin cepat di
era globalisasi dan otonomi daerah.diharapkan adanya pengembangan suatu system
informasi sumebrdaya air dan lahan khususnya lahan rawa dan kawasan pesisir,
system ini akan membantu tersedianya informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi
sumberdaya air dan lahan guna meningkatkan kualitas dan produktifitas
masyarakat Indonesia dalam menghadapi era globalisasi pada tahun 2020.
Ringkasan
Indonesia pernah mengalami swasembada beras pada tahun 1980 tetapi hanya menikmati
selama setahun sesudah itu terpuruk dan kembali menjadi pengimpor beras terbesar di
zaman kolonial tidak pernah kedengaran kekurangan pangan yang menyolok, itupun
karena Belanda melaksanakan tanam paksa seperti tebu dan nial untuk ekspor. Tehnologi
pembagian air secara proporsional digunakan baik pada jaringan irigasi yang dikelola
petani maupun yang dkelola Pemerintah Kolonial.
Akhir-akhir ini kita, sama dengan berbagai wilayah dunia mengalami krisis air, tetapi
bukan karena kekurangan air, tetapi krisis pengelolaan termasuk krisis pengelolaan
irigasimulai dari perencanaan sampai pada operasi dan pemeliharaan. Pemerintah
melaksanakannya tanpa melibatkan petani, petani tidak ikut membiayai sehingga rasa
kepemilikan tidak tercipta, tidak ikut menetapkan operasi sehingga kedatangan air irigasi
tidak sesuai dengan yang diinginkan. Pembangunan irigasi tidak adil, karena yang
mendapat air irigasi dengan cuma-cuma menjual hasil panennya sama dengan yang tidak
mendapat air irigasi.
Konsultan asing membawa teknologi yang tidak sesuai dengan yang biasa dipakai petani,
malahan teknologi yang ada ditinggalkan dan membawa teknologi yang tidak pernah
dievaluas kesesuaiannya dengan kebiasaan dan perilaku sosial petugas dan petani.
Teknologi yang tidak sesuai, pemeliharaan dan operasi yang masih ditangani pemerintah,
tidak ada rasa kepemilikan dari petani, jumlah petugas yang minim, pemakaian air yang
boros, cara giliran ditinggakan, biaya OP yang tidak mencukupi, penanganan yang
terpisah dengan pengelola pertanian, kesemua ini menyebabkan krisis pengelolaan irigasi
yang menyumbang terhadap produksi yang rendah.
Untuk menanggulangi krisis pemerintah, petani dan semua yang terkait harus duduk
menetapkan visi kemudian menjalankan langkah konkrit untuk menanggulangi krisis
tersebut, agar penduduk yang makin bertambah tidak tergantung lagi pada bahan pangan
impor. Pembangunan irigasi meskipun tetap harus mendapat subsidi, petani harus mulai
ikut membiayai sejak pelaksanaan konstruksi, dan harus membiayai seluruh biaya
Operasi dan Pemeliharaan (OP), kecuali pada bagian jaringan yang melayani dua
kabupaten yang ditangani oleh emerintah Propinsi dan biaya rehabilitasi dan upgrading
yang tetap harus ditangani pemerintah mengingat ketidakmampuan petani.
Pemeliharaan Irigasi
Pada jaringan irigasi yang dikelola masyarakat pemeliharaan jaringan dilaksanaan
melalui sistem gotong – royong, yang terdapat di berbagai daerah dengan nama sendiri,
seperti jeumba di Aceh, julo – julo di Sumbar atau kerja bhakti di Jawa Tengah. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa makin sulit tantangan ekologis yang dihadapi makin kuat
formal pemeliharaannya, misalnya medan yang sulit mendorong petani di Balu untuk
mencari jalan keluar dengan membangun terowongan air (aungan), dan membuat
anggaran dasar / anggaran rumah tangga mengenai pembagian air serta sangsi – sangsi
pelanggaran peraturan dan membagi air secara seksama melalui bangunan proporsional.
Khusus di tempat-tempat yang sulit dipelihara, petani membayar iuran untuk membiayai
tenaga untuk merawat saluran sepanjang musim tanam. Untuk memperbaiki kerusakan
besar seperti saluran yang longsor, bendung yang hanyut petani mengadakan pekerjaan
gotong – roong yang dihadiri seluruh petani yang mendapat air irigasi.
Lain halnya pemeliharaan di jaringan yang dikelola oleh Dinas Pengairan pemeliharaan
cenderung menunggu anggaran yang tidak menentu besarnya. Ada kalanya anggaran
yang dimaksudkan untuk pemeliharaan habis digunakan untuk membayar gaji pegawai.
Kalau toh mendapat anggaran yang cukup besar pekerjaan yang lazim dilakukan ialah
menglining saluran.
Karena petani di musim kemarau hampir tidak mendapat jaminan akan mendapat air
ditambah kepercayaan bahwa jaringan irigasi adalah milih Pemerintah maka menurut
mereka Pemerintah lah yang harus memelihara dan membiayai perbaikannya.
Operasi Jaringan
Operasi jaringan yang dikelola petani karena menggunakan bangunan – bangunan
proporsional praktis tidak menggunakan petugas. Petani tidak akan mengambil air
melebihi jatah atau bagiannya yang proporsional kecuali melakukan pelanggaran yang
sangsinya cukup berat disertai sangsi sosial. Di bali, apabila salah seorang anggota subak
melakukan pelanggaran, dia akan mendapat sangsi sosial, misalnya tidak didatangi waktu
pesta potong gigi atau ngaben (pembakaran mayat) dua perayaan yang sangat sakral pada
keluarga Bali. Di Sumatra Barat apabila di sepanjang sungai terdapat dua tiga bendung
yang dibangun petani atau keompok petani, terdapat tradisi apabila bendung yang dihilir
kekeringan maka petani yang mendapat elayanan akan minta air dari petani di hulu yang
mendapat air dari bendung di hulu nya dengan istilah minta air sebatu, maksudnya salah
satu batu yang membentuk bendung diangkat untuk mengalirkan air ke hilir. Bentuk –
bentuk operasi semacam ini menghilang setelah Pemerintah membangun bendung
permanen dari pasangan batu atau beton dan penguasaan jaringan irigasi pindah ke Dinas
Pengairan.
Perkembangan Teknologi
Meskipun tehnologi irigasi sudah lama berkembang baru pada tahun 1940 dikenal dua
buah konsep hidrolika dalam pemilihan bangunan irigasi. Yang pertama ialah konsep
Sensivitas S pada bangunan dan Fleksibilitas F pada pertemuan dua saluran.
Sensivitas ialah perubahan proporsional debit air apanila terjadi perubahan tinggi muka
air di hulu di bangunan :
Q u h Q
S
Q
, karena Q = c.hu. dapat juga ditulis S atau h u . Q
h
sedangkan pada bangunan yang menggunakan pintu sorong atau aliran bawah
(underflow) nilau u = 0,5 dan pada bangunan peninggi muka air yang menggunakan sekat
balok atau aliran atas (overflow) u = 1,5 atau apabila terjadi perubahan debit Q ,
sedangkan Q dan h sama besarnya maka perubahan h pada pintu sorong 3 kali lebih
besar dibanding pada sekat balok.
Fleksibilitas ialah perbandingan tingkat perubahan debit pada saluran penyadap Q s
dengan perubahan debit di saluran yang disadap Qd s.
Ss u h
F dapat diurai F s. d .s , dengan pengertian,
S ds u ds .h s
Fleksibilitas penting diketahui untuk melihat perubahan debit di jaringan irigasi, terutama
pada perpotongan dua saluran dengan kombinasi bangunan bagi yang terdiri bangunan
sadap dan bangunan peninggi muka air. Pada jaringan yang menggunakan pintu romijn
(aliran atar) pada saluran penyadap dan bangunan peninggi muka air yang menggunakan
sekat balok (aliran atas) F = I, debit akan terbagi proporsional pada saluran penyadap dan
saluran yang akan disadap, pada kombinasi pintu osorong pada saluran pada saluran
penyadap dengan sekat balok sebagai bangunan peninggi muka air F < 1, perubahan debit
yang besar akan terjadi di bagian hilir jaringan dan pada kombinasi pintu romijn dengan
pinu sorong F > 1, perubahan besar akan terjadi di bagian hulu jaringan.
Kombinasi bangunan pad ajaringan tradisional yang banyak dijumpai pada irigasi desa
menghasilkan aliran proporsional sehingga tidak banyak menggunakan petugas, karena
apabila terjadi perubahan debit di jaringan, maka seluruh perubahan akan merata di
seluruh bagian jaringan.
Teknologi tradisional yang canggih ini dikembangkan pada jaringan irigasi yang dbangun
di zaman Kolonial karena pembagian rigasi tidak lagi ditujukan agar petani mendapat air
sesuai kebutuhan dan haknya. Jaringan irigasi ditujukan untuk mengairi tanaman tebu
yang merupakan komoditi perdagangan waktu itu. Petani diberi jatah sesuai yang
dikehendaki atau ditetapkan oleh pengelola jairngan. Istilah pemberian air jam – jaman
atau siang malam yang diterapkan membutuhkan pintu air yang dapat diatur dan dikunci.
Bangunan peninggi muka air dari sekat balik dan pintu sadap dengan pintu sorong disusul
oleh alat ukur Cipoletti atau Thomson diperkenalkan. Kombinasi ini menghasilkan F < 1
yang mengakibatkan perubahan besar pada debit di ujung jaringan. Pada tahun 1930 an
pintu sorong sebagai pintu sadap diganti dengan pintu Romijn. Pengaliran over flow
melalui pintu Romijn dan sekat balok menghasilkan aliran proporsinal yang tidak
memerlukan lebih sering buk atutup pintu apabila terjadi perubahan debit. Fleksibilitas F
= 1 pada akhirnya diketahui pad akombinasi ini. Sampai sebelum Pelita I hampir semua
jaringan irigasi menggunakan kombinasi tersebut, hanya saja keadaan negara yang masih
kacau sejak Kemerdekaan menyebabkan OPP (Operasi, Pemeliharaan dan Pengelolaan)
tidak mendapat perhatian sehingga jaringan irigasi yang ada bahkan yang baru dibangun
mengalami penurunan fungsi.
KRISIS PENGELOLAAN IRIGASI
ABSTRAK
Fakta menunjukkan bahwa di masa mendatang upaya peningkatan produksi pangan dan
pendapatan petani akan sangat ditentukan oleh keberhasilan peningkatan areal panen
karena peningkatan produktivitas per luas tanam telah menunjukkan gejala kejenuhan.
Untuk itu, oleh karena dana pembangunan yang tersedia untuk pencetakan lahan sawah
sangat terbatas, maka perluasan areal panen melalui peningkatan intensitas tanam sangat
dirasakan urgensinya. Ini dapat ditempuh melalui alokasi air irigasi secara optimal
melalui perancangan pola tanam yang tepat. Selama ini, perancangan pola tanam yang
paling banyak dilakukan terlampaui agregatif dan cenderung mengasumsikan bahwa
tujuan petani dalam berusahatani semata – mata hanyalah memaksimumkan keuntungan
usaha tani. Pendekatan demikian itu, selain terlampau menyederhanakan persoalahn juga
menghasilkan model rancangan yang seringkali justru sangat restriktif sehingga
penerapannya di lapangan mengalami banyak hambatan. Penelitian ini ditujukan untuk
memperbaiki pendekatan tersebut. Sebagaimana sering dijumpai di lapang, tujuan petani
dalam berusahatani bersifat jamak (multi objective) dan kecenderungan petani untuk
menanam lebih awal atau justru lebih lambat dari yang lainnya dimungkinkan. Hal ini
dapat didekati melalui penerapan Goal Programing dimana tiap musim tanam
didisagresikan lebih lanjut sesuai dengan kondisi umum di lapangan.
I. PENDAHULUAN
Mengacu hasil – hasil penelitian empris, dapat disimpulkan bahwa upaya
mempertahankan swasembada beras pada saat ini sangat berat dan dimana
mendatang akan semakin berat. Sudaryanto et al (1995) memperkirakan bahwa
sekalipun kondisi iklim normal, dengan pertumbuhan produksi dan konsumsi
seperti yang etrjadi selama PJP I maka pada tahun 2010 akan terjadi defisit 1.026
juta ton. Sementara itu, Hardjoamidjojo (1994) menyatakan bahwa mengacu pada
pertumbuhan produksi dalam tiga dasawarsa terakhir maka untuk mempertahankan
swasembada beras dibutuhkan perluasan areal irigasi baru 108 – 114 ribu hektar per
tahun, itupun belum memperhitungkan lahan sawah yang beralih fungsi ke lahan
non sawah yang dampak negatifnya terhadap kemampuan mempertahankan
swasembada beras ternyata tidak hanya terjadi melalui berkurangnya lahan sawah
tetapi juga tercabutnya kelembagaan pendukung pengembangan produksi serta
ekskalasi kerusakan ekosistem sawah di lingkungan yang lebih luas Sumaryanto
dan Nursuhaeti (1997).
Lazimnya, memacu pertumbuhan produksi pangan daapt ditempuh melalui strategi
ekstensifikasi, intensifikasi maupun kombinasi dari keduanya. Dalam konteks ini,
kebijakan – kebijakan di bidang harga, kelembagaan, dan pengembangan /
pembangunan prasarana harus dilakukan secara terintegrasi dan simultan dan harus
diimplementasikan secara konsisten.
Menyimak laju pertumbuhan dan angka produktivitas usaha tani tanaman pangan
selama ini, tampak terjadi gejala “leveling off”. Maka upaya perluasan areal tanam
sangat dirasakan urgensinya. Akan tetapi mengingat dana pembangunan yang
tersedia sangat terbatas maka pengembangan lahan – lahan pertanian baru dari
konversi hutan, rawa dan pasang surut hanya dapat dilakukan pada areal yang relatif
sempit karena biaya pembangunan lahan sawah baru sangat mahal (Pasandaran,
1991; Nippon Koe Co. Ltd, 1993).
Tampaknya pilihan paling layak untuk meningkatkan produksi pangan khususnya
padi, kedele, jagung adalah dengan memanfaatkan secara optimal sumberdaya air di
lahan – lahan sawah yang telah ada. Sudah barang tentu, dalam konteks ini pilihan
yang dapat diambil harus didasarkan pada teknologi berproduksi yang telah
dikuasai petani dan atau teknologi yang lebih maju yang dengan cepat dapat di
serap dan diterapkan petani.
Upaya peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan petani harus bertumpu pada
persoalan nyata yang dihadapi petani, karena petani merupakan aktor utama
pembangunan pertanian. Dengan kata lain tujuan – tujuan yang ingin dicapai petani,
kendala yang dihadapi dalam mencapai tujuan itu dan alternatif pilih yang secara
teknis, ekonomi dan sisial layak (feasible) harus dipahami dan diinkorporasikan
sebagai bagian integral dari rumusan kebijakan sektor pertanian.
Tak dapat disangkal bahwa beberapa kajian serupa juga telah dilakukan di
Indonesia. Akan tetapi, kajian – kajian terkini yang relevan dengan status dan
kondisi sumeberdaya yang ada pada saat ini belum tersedia. Rekomendasi pola
tanam di lahan sawah menurut tipe ketersediaan air irigasi yang secara terintegrasi
didasarkan pada tujuan – tujuan ganda (multi objective) yang ingin dicapai petani
belum ada. Akibatnya, perumus kebijakan dihadapkan pada gugus informasi yang
sifatnya parsial dan pada akhirnya operasionalisasinya menghadapi banyak kendala
di lapangan. Atas dasar pertimbangan demikian itu, penelitian ini penting untuk
dilaksanakan.
3.2.3. Model
r m
a
j 1
ij x j d i d i bi
Koordinasi antar P3A dalam menjemput air (menyongsong giliran air irigasi)
tampak nyata, terutama pada awal MT I dan akhir MT II. Koordinasi yang
ditujukan untuk membentuk suatu jaringan kelembagaan yang secara
komprehensifmampu mengelola distribusi air secara baik belum berjalan.
Konflik – konflik antar P3A ataupun antar petani anggota P3A pada umumnya
jarang terjadi dan masih dalam batas – batas wajar dalam arti dapat
diselesaikan secara kekeluargaan di tingkat lokal (P3A, Desa, Kecamatan,
Kejuron). Dalam konteks ini, didga bahwa diversifikasi kesempatan kerja dan
usaha di pedesaan mempunyai peranan yang penting.
Tingkat kecukupan air irigasi di lahan – lahan sawah di lokasi penelitian
cenderung semakin menurun. Penyebabnya :
a. Debit air yang sampai berkurang;
b. Saluran – saluran kurang terpelihara;
c. Petani – petani di hulu cenderung boros memanfaatkan air irigasi.