Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Kudis adalah serangan pada kulit oleh tungau S. scabiei. Penularannya

melalui kontak langsung kulit ke kulit atau secara tidak langsung melalui

fomites. Gejala biasanya muncul 3 hingga 6 minggu setelah infestasi. 1 Hanya

20 menit kontak dekat (mis. Berpegangan tangan atau kontak seksual)

diperlukan untuk transmisi yang berhasil.2 Gatal-gatal hebat terjadi sekitar dua

minggu kemudian, selama waktu itu mungkin terjadi kolonisasi yang luas.

Infestasi didapat hanya dengan kontak dekat dengan orang yang terinfeksi.3

Kudis mudah salah didiagnosis dengan masalah kulit lain yang umum di

antara anak-anak sekolah, seperti urtikaria papula, dermatitis atopik, dan

kontak eksim. Riwayat epidemiologis, riwayat keluarga, kejadian gatal, yang

paling parah pada malam hari, dan distribusi lesi merupakan dasar diagnosis.

Penyakit kulit menular dan infestasi seperti pedikulosis dan kudis adalah

masalah umum pada anak sekolah karena kontak dekat antara teman

sekelas.4

Skabies merupakan penyakit kulit yang terabaikan, dianggap biasa saja

dan lumrah terjadi pada masyarakat di Indonesia, bahkan di dunia. Padahal

tingkat prevalensi skabies ditinjau dari wilayah, usia maupun jenis kelamin

relatif ada hampir di seluruh di dunia dengan tingkat yang bervariasi. Penelitian

untuk mengobati penyakit scabies telah banyak dilakukan oleh peneliti, namun

masih menyisakan masalah resistensi dan efek samping obat. Selain itu

1
adanya infeksi sekunder setelah infestasi scabies menimbulkan masalah yang

lebih parah pada kulit bahkan menyebabkan kematian. Pencegahan penyakit

scabies dipandang lebih efektif dalam mengendalikan tingkat prelevansi

skabies yang bersifat sporadik, endemik dan epidemik.5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Defenisi

Skabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi kulit

oleh tungau Sarcoptes cabiei dan produknya. Penyakit ini berhubungan erat

dengan hygiene yang buruk. Prevalensi scabies tinggi pada populasi yang

padat. Dari hasil penelitian di Brazil, prevalensi scabies dua kali lebih tinggi di

daerah kumuh perkotaan yang padat penduduk daripada di masyarakat

nelayan dimana mereka tinggal di tempat yang lebih luas.6

2. Epidemiologi

Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemic scabies. Banyak

factor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain social ekonomi

yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual bersifat promiskuitas,

kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik serta ekologik. Penyakit

ini dapat dimasukkan dalam I.M.S (Infeksi Menular Seksual).7

Penularan dapat terjadi karena :

1. Kontak langsung kulit dengan kulit penderita scabies, seperti menjabat

tangan, hubungan seksual, atau tidur bersama

2. Kontak tidak langsung ( melalui benda ), seperti penggunaan perlengkapan

tidur bersama dan saling meminjam pakaian, handuk dan alat-alat pribadi

lainnya, tidak memiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga harus berbagi

dengan temannya.6

3
Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau

kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal juga Sarcoptes scabiei var. animalis

yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada mereka yang

banyak memelihara binatang peliharaan, misalnya anjing.7

3. Etiologi dan pathogenesis

Kudis adalah serangan kutu yang sangat spesifik-host, Sarcoptes scabiei

var. homini, keluarga Sarcoptidae, kelas Arachnida. Tungau ini seperti mutiara,

tembus cahaya, putih, tanpa mata, dan berbentuk oval dengan empat pasang

kaki pendek pendek. Tungau betina dewasa berukuran 0,4 × 0,3 mm dengan

jantan sedikit lebih kecil — terlalu kecil untuk dilihat oleh mata telanjang.

Tungau scabies dapat hidup selama 3 hari dari inang dalam tabung reaksi

steril, dan selama 7 hari jika ditempatkan dalam tunggangan minyak mineral.

Tungau tidak dapat terbang atau melompat. Siklus hidup tungau sepenuhnya

diselesaikan pada kulit manusia. Tungau betina dengan mampu menggali

lubang miring di stratum korneum ke batas stratum granulosum. Sepanjang

jalur ini, yang bisa sepanjang 1 cm, ia meletakkan dua hingga tiga telur sehari

selama rentang hidupnya 30 hari. Telur menetas dalam 10 hari dan larva

meninggalkan lubang untuk matang pada permukaan kulit. Tungau jantan

hidup di permukaan kulit dan memasuki liang untuk berkembang biak.8

4
Gambar 1. Sarcoptes scabiei 8

Siklus hidup tungau ini sebagai berikut: setelah kopulasi (perkawinan) yang

terjadi diatas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup

beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau

betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum

dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari sambil meletakkan telurnya 2 hingga

50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan

menetas biasanya dalam waktu 3 sampai 10 hari dan menjadi larva yang

mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi

juga dapat keluar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai

2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidup mulai

dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari.7

5
Gaambar 2. Siklus Hidup Sarcoptes scabiei9

Aktivitas S.scabiei didalam kulit menyebabkan rasa gatal dan

menimbulkan respons imunitas selular dan humoral serta mampu

meningkatkan igE baik di serum maupun di kulit. Masa inkubasi berlangsung

lama 4-6 minggu. Skabies sangat menular, transmisi melalui kontak langsung

dari kulit ke kulit, dan tidak langsung melalui berbagai benda yang

terkontaminasi (sprei, sarung bantal, handuk, dsb). Tungau scabies dapat

hidup diluar tubuh manusia selama 24-36 jam. Tungau dapat ditransmisi

melalui kontak seksual, walaupun menggunakan kondom, karena kontak

melalui kulit di luar kondom.7

Kelainan kulit dapat tidak hanya disebabkan oleh tungau scabies, tetapi

juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi di sebabkan oleh

sensitisasi terhadap sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kira-

kira sebulan setelah investasi. Pada saat itu, kelainan kulit menyerupai

6
dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika, dan lain-lain. Dengan

garukan dapat timbul erofsi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.7

Faktor Risiko yang dapat menyebabkan timbulnya scabies adalah :

1. Masyarakat yang hidup dalam kelompok yang padat seperti tinggal di

asrama atau pesantren

2. Hygiene yang buruk

3. Social ekonomi rendah seperti di panti asuhan, dan sebagainya

4. Hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas.6

4. Gambaran Klinis

Manifestasi spesifik termasuk gatal yang intens dan papula inflamasi yang

disebarluaskan. Manifestasi non-spesifik yang mungkin juga terjadi adalah

ekskoriasi kulit, ekzemisasi sekunder, dan impetiginisasi.10

1. Scabies klasik 9

 Terjadi pada pasien dengan respons imun normal;

 Pruritus intens yang lebih buruk di malam hari;

 Papula eritematosa disebarluaskan pada area periumbilikalis,

pinggang, genitalia, payudara, bokong, lipatan aksila, jari-jari

(termasuk ruang interdigital), pergelangan tangan dan aspek

ekstensor anggota gerak. Kepala, telapak tangan dan telapak

kaki biasanya disimpan pada orang dewasa;

7
 Papula kecil, sering dikecam dengan kerak hemoragik di

atasnya;

 Liang/ Trowongan (tanda patognomonik) muncul sebagai garis

tipis, coklat keabu-abuan 0,5-1 cm tetapi jarang diamati karena

ekskoriasi atau infeksi bakteri sekunder;

 Lesi lain: vesikel (biasanya pada awal liang), nodul (diameter 0,5

cm, biasanya pada genitalia pria, selangkangan, bokong)

 Kondisi higienis yang buruk dapat menyebabkan infeksi bakteri

sekunder;

 Eksim kontak iritan atau alergi dapat diinduksi setelah perawatan

topikal.

2. Skabies berkrusta (istilah 'kudis Norwegia' tidak boleh lagi digunakan)10

 Terjadi pada pasien dengan defisiensi imun yang parah akibat

penyakit (misalnya AIDS, infeksi HTLV1, keganasan, dan kusta)

atau terapi (misalnya obat imunosupresan dan bahan biologis),

penyakit neurologis yang menyebabkan berkurangnya sensasi,

imobilitas dengan berkurangnya kemampuan untuk menggaruk

atau dalam pasien yang rentan secara genetis;

 Pruritus ringan atau tidak ada;

 Lesi kulit terdiri dari plak generalisata, dengan batas yang tidak

jelas, eritematosa, yang tertutup oleh sisik dan kerak. Pada

8
tonjolan tulang (mis. Artikulasi jari, siku, dan lambang iliaka), plak

memiliki aspek kuning-ke-cokelat, tebal, beraneka ragam;

 Scabies non-crustus difus dengan keterlibatan punggung juga

dapat terjadi;

 Infeksi sekunder bakteri dapat menyebabkan lesi kulit berbau

busuk.

Gambar 3. Gambaran klinis Skabies2,8

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis skabies adalah

pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit untuk menemukan tungau.

Beberapa cara untuk menemukan trowongan yaitu : 11

1. Burrow ink tes

2. Uji tetrasiklin

9
3. Dermoskopi

Gambar 4. Burrow ink tes11

5. Diagnosis

Diagnosis skabies ditandai dengan adanya pruritus terkait dengan distribusi

karakteristik lesi dan riwayat epidemiologis. Pruritus biasanya muncul 4-6

minggu setelah infestasi awal; dengan investasi ulang berikutnya, gejala timbul

dalam 2 hari. Mirip dengan respons manusia terhadap serangga lain seperti

kutu, dan nyamuk, ada berbagai respons klinis terhadap serangan kudis dan

beberapa individu tetap asimtomatik meskipun telah terinfeksi. Orang-orang ini

dianggap "pembawa." Pada pemeriksaan fisik, pasien menunjukkan eksoriasi

dan dermatitis eksema yang mendukung jaringan interdigital, sisi jari, aspek

volar pergelangan tangan dan telapak tangan lateral, siku, aksila, skrotum,

penis, labia, dan areola pada wanita. Kepala dan leher biasanya dihindarkan

pada orang dewasa yang sehat, tetapi pada bayi, orang tua, dan sistem

kekebalan tubuh yang terganggu, semua permukaan kulit rentan. Nodul yang

keruh dan tidak keriput dapat dilihat pada anak-anak di daerah yang

intertriginosa. Pada skabies berkrusta, plak hiperkeratotik berkembang secara

10
difus pada daerah palmar dan plantar, dengan penebalan dan distrofi kuku jari

kaki dan kuku.8

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Terdapat 4 tanda cardinal untuk diagnosis scabies, yaitu:6

1. Pruritus nokturna.

2. Penyakit menyerang manusia secara berkelompok

3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang

berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok-

kelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul/

vesikel

4. Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan mikroskopis.

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda tersebut

6. Penatalaksanaan

Sepuluh uji klinis baru pada pengobatan skabies telah diterbitkan sejak

pedoman sebelumnya pada tahun 2010. Data terbaru difokuskan pada

pengobatan populasi massal, biasanya dengan ivermectin. Perawatan topikal

harus diterapkan ke semua daerah kulit termasuk kulit kepala, pangkal paha,

pusar, genitalia eksternal, jari dan jari-jari kaki ruang dan kulit di bawah ujung

kuku di malam hari dan dibiarkan di tempat selama 8-12 jam. Kulit harus sejuk

dan kering. Aplikasi kedua direkomendasikan setelah 7-14 hari. Setelah

menerapkan perawatan, pasien harus berganti pakaian bersih. Semua kontak

pribadi dekat pasien harus dirawat secara bersamaan untuk menghindari

11
infestasi ulang. Pakaian, selimut, handuk, dan barang-barang lainnya harus

dicuci dengan mesin (pada suhu 50 ° C atau lebih tinggi), dicuci kering, atau

disegel dan disimpan dalam kantong plastik selama 1 minggu. Pasien harus

diberikan penjelasan terperinci tentang serangan mereka bersama dengan

informasi tertulis yang jelas. Infestasi dianggap sembuh jika 1 minggu setelah

akhir pengobatan tidak ada manifestasi skabies aktif (tidak ada lesi aktif, tidak

ada pruritus nokturnal). Gatal pasca perawatan dapat bertahan hingga 2-4

minggu.10

1. Pengobatan yang disarankan10

 Permethrin 5% krim dioleskan dari ujung kepala sampai ujung kaki

dan dicuci setelah 8-12 jam. Perawatan harus diulang setelah 7-14

hari. Permethrin aman dalam kehamilan dan laktasi dilisensikan

untuk digunakan pada anak-anak sejak usia 2 bulan ke depan

 Ivermectin oral (diminum bersama makanan) 200 mikrogram / kg

sebagai dua dosis 1 minggu terpisah. Ivermectin tidak boleh

digunakan selama kehamilan atau pada anak-anak dengan berat

kurang dari 15 kg.

 Losion benil benzoat 10–25% diterapkan sekali sehari pada malam

hari pada 2 hari berturut-turut dengan aplikasi ulang pada 7 hari.

Benzil benzoat dianggap aman dalam kehamilan

12
2. Pengobatan alternative 10

 Malathion 0,5% lotion berair. Malathion tidak diteliti pada wanita

hamil. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa tidak ada risiko.

Namun, studi reproduksi hewan tidak selalu memprediksi tanggapan

manusia. Penggunaan malathion tingkat pertanian yang tidak tepat

untuk mengobati infestasi manusia dapat menyebabkan toksisitas

akut

 Ivermectin 1% lotion dilaporkan sama efektifnya dengan krim

permethrin 5%

 Belerang 6-33% sebagai krim, salep atau lotion adalah antiscabietik

tertua yang digunakan. Ini efektif dan membutuhkan aplikasi pada

tiga hari berturut-turut. Sulfur/ belerang dianggap aman dalam

kehamilan

 Piretrin sinergis tersedia sebagai sediaan busa di beberapa negara

dan seefektif krim permethrin 5%

 Lindane tidak lagi direkomendasikan karena potensinya untuk

menyebabkan neurotoksisitas.

3. Pengobatan scabies berkrusta 10

 Skabisida topikal (permethrin 5% krim atau benzyl benzoate lotion

25%) diulang setiap hari selama 7 hari kemudian 2x seminggu

sampai sembuh

13
 Ivermectin oral 200 mikrogram / kg pada hari 1, 2 dan 8. Untuk kasus

yang parah, berdasarkan pada tungau hidup yang persisten pada

kerokan kulit pada kunjungan tindak lanjut, perawatan ivermectin

tambahan mungkin diperlukan pada hari 9 dan 15 atau pada hari 9,

15, 22 dan 29

4. Gatal pasca perawatan10

Gatal pasca perawatan harus diobati dengan aplikasi emolien

berulang. Antihistamin oral dan kortikosteroid topikal ringan juga

bermanfaat.

5. Manajemen kontak dekat10

Pasien harus disarankan untuk menghindari kontak dekat sampai

mereka dan pasangan seksual mereka menyelesaikan perawatan. Infestasi

pada anak-anak karena pelecehan seksual jarang terjadi dan lebih sering

dikaitkan dengan kontak non-seksual yang dekat. Penilaian dan perawatan

epidemiologis direkomendasikan untuk pasangan seksual selama 2 bulan

terakhir

7. Diagnosis Banding

Praktisi harus mempertimbangkan diagnosis banding lain yang mungkin

meniru kudis klasik, termasuk gigitan serangga, infeksi lain, dan kondisi

dermatologis yang dimediasi oleh peradangan atau imun (Tabel 1). Diagnosis

14
banding yang mungkin untuk skabies berkrusta meliputi kondisi lain yang

muncul dengan skala luas, seperti psoriasis dan dermatitis seboroik.2

Diagnosis Banding8

1. dermatitis atopi

2. dishidrotic eczema

3. pioderma

4. dermatitis kontak

5. reaksi gigitan serangga

Table 2. Diagnosis Banding

8. Komplikasi

Infeksi kulit sekunder terutama oleh S. aureus sering terjadi, terutama pada

anak. Komplikasi scabies dapat menurunkan kualitas hidup dan prestasi

belajar. Lesi kudis sering terinfeksi sekunder dengan Streptococcus pyogenes

(Grup A Streptococcus) dan / atau Staphylococcus aureus. Organisme ini

berpotensi menyebabkan infeksi jaringan lunak lokal seperti impetigo, selulitis

dan abses, dan juga dapat menyebabkan aliran darah yang berpotensi fatal

dan infeksi situs steril lainnya. Infeksi kulit dengan Grup A Streprococcus juga

dapat menyebabkan sekuele pasca infeksi, termasuk glomerulonefritis pasca

streptokokus.2

10. Prognosis

Prognosis sangat baik bila dilakukan tata laksana dengan tepat. Pruritus

dapat bertahan beberapa minggu setelah pengobatan akibat reaksi

15
hipersensitif terhadap antigen tungau. Scabies nodular dapat bertahan

beberapa bulan setelah pengobatan. Scabies krustosa relative sulit diobati.11

Quo ad vitam : bonam

Quo ad funtionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : bonam

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Khalil S, Abbas O, Kibbi AG, Kurban M. 2017. Scabies in the age of increasing

drug resistance. PloS Negl Trop Dis 11(11): e0005920.

https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0005920

2. Hardy M, Engelman D, Steer A. 2017. Scabies: A clinical update. The Royal Australian

College of General Practitioners. Hal 264

3. Buxton P. 2013. E-book ABC of Dermatology edisi keempat. India: ISBN

4. Hegab SD, Kato MA, Kabbash AI, Dabish MG. 2015. Scabies among primary

schoolchildren in egypt: sociomedical environmental study in Kafr El-Sheikh

administrative are. Department of Dermatology and Venerology, Faculty of Medicine,

Tanta University Hospitals. 105-106.

5. Setyaningrum YI. 2015. SKABIES PENYAKIT KULIT YANG TERABAIKAN:

PREVALENSI, TANTANGAN DAN PENDIDIKAN SEBAGAI SOLUSI

PENCEGAHAN

6. IDI. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Tingkat Pertama. Jakarta: ISBN

7. Djuanda A, Hamzah M., dan Aisah S. Ed., 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi

7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

8. Craig N. Burkhart, Scabies, Other Mites and Pediculosis. Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine, 8th. USA : McGraw Hill; 2012. 2569

9. Scabies. 2013. CDC. diakses di http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Scabies.htm

10. Salavastru CM, Chosidow O, Janier M, Tiplica GS, 2017. European guideline for the

management of scabies. European Academy of Dermatology and Venerology. Hal-2:

10.1111/jdv.14351

17
11. PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di

Indonesia. Jakarta: ISBN

18

Anda mungkin juga menyukai