Latar Belakang
Ditengah hiruk pikuknya budaya global dan hampanya nilai-nilai budi pekerti serta nilai-nilai
spiritual, muncul sebuah perspektif pemikiran baru untuk mencari kemungkinan sistem, strategi
baru sebagai alternatif pola pikir manusia pendidikan yang dirasakan semakin lama semakin
kering makna.
Sebagaian pemikir telah mencari konsep-konsep yang menurut penilaiannya bisa dimasukkan
pada struktur dan paradigma peradapan modern, sebagaian yang lain mencoba dan berusaha
untuk merekonstruksikan ajaran-ajaran tradisional peninggalan nenek moyang sebagai warisan
leluhur untuk dihidupkan kembali sebagai alternatif kesadaran dan sebagai pandangan hidup
yang diharapkan mampu mencerminkan jati diri kehidupan bangsa.
Fenomena bangkitnya pemikiran di atas adalah merupakan suatu respon nyata dari keadaan
dewasa ini, dimana kemajuan iptek dan budaya global yang didambakan dapat memecahkan
persoalan-persoalan ternyata malah berubah menjadi sumber berbagai persoalan dan petaka !
artinya Bangunan modernisasi dan kebebasan yang diharapkan mampu mengatasi persoalan
hidup bermasyarakat berbangsa , malah merendahkan derajat manusia dan kemanusiaan, dan
ternyata menawarkan pemecahan semu mulai dari dekadensi moral mulai dari anak-anak sampai
manusia menjadi pengemban amanat rakyat "suara rakyat suara Tuhan ".
Perlu diketahui bahwa, hakekatnya manusia itu mempunyai kecenderungan untuk senantiasa
berada dalam perjalanan menuju keutamaan moralitas ataubudi pekerti menuju pada ketuhanan.
Oleh karena itu, kiranya keutamaan moraldan budi pekerti haruslah dianggap paling penting dan
sentral dalam kehidupanmanusia di masa depan
PEMBAHASAN
Di Depdiknas, misalnya, sekarang pendidikan imtak menempel pada proyek pendidikan budi
pekerti, sedangkan di masa sebelumnya merupakan bagian dari proyek PPKn. Begitulah, ibarat
hingar-bingar panggung politik sekarang yang enak dipandang tapi menyesakkan, kurikulum
pendidikan mengikuti ke mana orientasi bangsa ini condong. Benar bila dikatakan bahwa pada
dasarnya pendidikan tidak bisa dilepaskan dari politik (Beeby, 1980), dan bahwa dalam setiap
kebijakan pendidikan selalu termuat kepentingan-kepentingan politik (Fiske, 1996).Tentu tidak perlu
disebutkan secara detail di sini tentang bagaimana bangsa ini ibarat kebakaran janggut ketika dalam
waktu yang singkat harus merevisi kurikulum pendidikan Sejarah pada awal Era Reformasi dengan
membuang bagian-bagian yang dianggap “tidak objektif” tentang Serangan Umum 1 Maret yang
menempatkan peran Overste Soeharto begitu rupa kuatnya, kemudian mendudukkan kembali peran
Sultan Yogya sebagai inisiator dan inspirator serangan fajar itu. Atau juga revisi terhadap muatan
PPKn melalui puluhan butir-butirnya karena dianggap terlalu berlebihan menurut kacamata
sekarang, padahal di masa lalu menjadi acuan yang tidak bisa ditawar-tawar, bahkan menurut
sebagian orang, cenderung “diberhalakan”.