SINDROM KETERGANTUNGAN
Beberapa istilah
Perlu di definisikan beberapa istilah yang dipakai dengan ketergantungan obat,
yaitu:
a. Penyalah-manfaatan (“misuse”) obat ialah pemakaian obat yang berlebihan
oleh dokter untuk pasiennya atau pun oleh orang lain untuk mengobati diri
sendiri.
b. Penyalah-gunaan (“abuse”) obat ialah pemakaian obat oleh seseorang yang
dipilihnya sendiri bukan untuk tujuan kedokteran.
c. Ketergantungan psikologis berarti terdapat kebutuhan untuk memakai suatu
zat berulang-ulang, tanpa mempedulikan akibatnya.
d. Kepembiasaan (“Habituation”) berarti tergantung pada suatu zat tanpa timbul
gejala- gejala fisik bila zat itu dihentikan.
e. Ketagihan atau adiksi berarti tergantung pada suatu obat dengan gejala-gejala
seperti dalam definisi WHO diatas ini.
f. Ketergantungan fisik menunjuk hanya pada keadaan lepas obat dengan
gejala-gejala fisik
g. Sindroma lepas zat (Absistinensi) ialah gejala-gejala psikologis atau fisik,
yang timbul bila zat yang telah terjadi ketergantungan padanya, dihentikan.
Gejala-gejala itu dinamakan gejala lepas-zat (abstinesi)
SEBAB
Faktor kepribadian seseorang cenderung mempengaruhi apakah ia akan tergantung
pada suatu obat atau tidak. Orang yang merasa tidak mantap serta mempunyai sifat
tergantung dan pasif lebih cenderung pada ketergantungan obat. Faktor sosialbudaya
juga tidak kalah penting dan saling mempengaruhi kepribadian. Faktor fisik dan
badania seseorang menentukan efek fisik obat itu seperti: hilangnya rasa nyeri dan
ketidakenakan badaniah yang lain, berkurangnya dorongan sexual, rasa lapar dan
mengantuk atau justru berkurangnya hambatan terhadap dorongan-dorongan.
Ketergantungan obat merupakan hasil saling pengaruh memengaruhi yang komplex.
Tanda dan Gajala
Obat yang dipakai Gejal fisik Carilah Bahaya
Menghirup lem Tindakan Tube lem, lumuran Keruskan paru-paru,
kekerasan,kelihatan lem, kantong kertas otak, hati mati karena
mabuk, roman muka besar atau sapu kekurangan napas,
kosong atau kelihatan tangan. tercekik, anemia.
mimpi
Halusinogen (LSD, Halusinasi hebat rasa Gula kubus dengan Cenderung bunuh
DMT) terpencil, inkoherensi tengahnya bewarna diri, perilaku yang
kaki tangan dingin, sudah lain, bau badan tidak dapat
muntah, tertawa dan yang keras, tube diperkirakan,
menangis cairan yang kecil pemakaian lama
menyebabkan
krusakan otak
Stimulat : amfetamin Perilaku agresif, Pil atau kapsul dari Mati karena dosis
terkikih-kikih, tolol, berbagai warna, berlebihan,
bicara cepat, pikiran merokok berturut halusinasi, psikosa
bingung, nafsu turut
makan tidak ada,
kelelahan yang
sangat, mulut kering,
gemetar, insomnia
Sedative : barbiturat Mengantuk, stupor, Pil atau kapsul dari Mati atau tidak sadar
menjemukan, berbagai warna karena dosis yang
berbicara tidak jelas berlebihan, adiksi,
dengan lida yang konvulsi bila
berat, kelihatan dihentikan
mabuk, muntah
Opioid
Yang terkenal ialah opium, morfin, heroin, kodein, dan petidin. Efek satu dosis
tunggal morfin atau opoiod yang lain ternyata tergantung pada pengalaman individu
dengan obat tersebut sebelumnya, pada kebribadiannya, adanya atau tidak adanya rasa
nyeri serta tergantung pula pada keadaan dan suasana pemakaian. Jika seseorang baru
pertama kali memakainya dan tidak ada rasa nyeri, maka morfin sering
mengakibatkan disforio karena rasa mual, mabuk, dan pikiran berkabut. Jika ada rasa
nyeri, maka terjadi “efori negatif” karena rasa nyeri itu hilang.
Semua ini merupakan gejala-gejala intoxikasi akut. Jika seseorang pernah
memakai morfin, maka satu dosis dapat menimbulkan efori posistif padanya (rasa
senang luar biasa). ada yang melaporkan perasaan mirip orgasme, tetapi bertempat di
perut. Keinginan seksual tidak bertambah, walaupun potensi dapat bertambah karena
orgasme tertunda.
Efek lain morfin dosis tunggal, bagaimana pun cara pemberiannya, ialah moisis
pupil, pernapasan, dan denyutan jantung menjadi pelan, suhu badan menurun sedikit
dan spasme sfinkter-sfinkter otot polos. Pada umumnya efek satu dosisi tunggal
morfin mencapai puncak kira-kira 20 menit sesudah suntikan intravena dan 1 jam
sesudah suntikan subkutan serta berlangsung terus dengan efek makin lama makin
kurang selama 4-6 jam. Sesudahnya dapat timbul perasaan kecewa.
Dosis letal minimal morfin buat manusia belum diketahui, walaupun pernah
dilaporkan kematian dengan 60 mg, tetapi orang yang ketagihan rata-rata memakai
600 sampai 1200 mg sehari.
Dengan morfin terjadi toleransi sampai pada dosis yang tinggi. Pada intoxikasi
menahun penderita biasanya dalam keadaan disforik, ia cemas dan penuh rasa salah.
Gejala lepas-obat pada adiksi morfin ialah rinorea, sering menguap, bulu roma
berdiri, dan kegelisahan, yang dimulai 12-16 jam sesudah dosis terakhir. Kemudian
timbul rasa nyeri dan tarikan otot, sakit perut, muntah-muntah, diare, hipertensi,
insomnia, anorexia, agitasi, dan banyak sekali keringat.
Sindrom ini bersama dengan perubahan perilaku yang beraneka ragam, mencapai
puncak pada hari ke-2 atau ke-3 sesudah dosis morfin terakhir. Kemudian gejala-
gejala cepat berkurang dalam minggu berikutnya, tetapi suatu keadaan yang stabil
mungkin baru dicapai sesudah 6 bulan atau lebih lama.
Sindrom abstinensi dapat dicetuskan dengan suntikan N-alilnor-morfin
(“Nalline”), suatu antagonis morfin, sesudah suntikan 3 mg, gejala-gejala lepas-obat
mulai timbul dalam watu 20 menit pada penderita yang memakai 60 mg atau lebih
sehari.
Untuk diagnosis perlu dicari bekas-bekas suntikan, cacat yang kebiru-biruan pada
vena. Miosis dan mengantuk menunjukkan bahwa penderita masih di bawah pengaruh
opioid. Dalam waktu 24 jam setelah pemakaiannya, opiod dalam urine dengan tes
kimia atau kromatografis.
Detoksifikasi dapat dilakukan dengan mengurangi dosis morfin secara perlahan-
lahan atau dengan substansi metadon, bila perlu diberi neroleptika untuk meringankan
gejala-gejala lepas-obat.
Non-Opioid (Non-Narkotika)
Bermacam- macam obat non-narkotika dapat menimbulkan ketergantungan obat
dan seperti pada opioid,tergantung juga pada interaksi factor-faktor
kepribadian,sosiobudaya,fisik serta efek obat ,mudah sukarnya obat itu diperoleh dan
kesempatan pemakainya. Yang sering dipakai adalah barbiturate,bromide,paraldehid,
tranquilaizer (memprobamate,klordiazepoxid), obat tidur (hipnotica), ganja
(marihuana, hasish),kokain,obat halusinogenik atau psikedelik (LDS= “lysergic acid
diethylamide”,meskalin,psilobin) dan amfetamin.
Terdapat juga intoxikasi akut dan menahun. Sindrom lepas- obat berbeda-beda
jenis kerasnya. Penanganan ketergantungan obat tergantung pada jenis obat dan
tingkat intoxikasi serta juga pada factor-faktor lain yang mempengaruhi timbulnya
ketergantungan itu.
PENGOBATAN
Keadaan intoxikasi dapat dilakukan dengan klordiazepoxid 3 – 4 x 10 – 25 mg
sehari atau dengan diazepam 3 – 4 x 10 – 40 mg sehari selama 1 – 3 hari secara
ambulant. Bila intoxikasi itu berat (sangat gelisah atau kesadaran menurun),maka
penderita perlu masuk rumah sakit , juga bila terdapat psikosis alkoholik lain.
Dengan psikoterapi, terapi perilaku, dan terapi antagonism serta dengan
bimbingan dan penyuluhan, kita dapat menolong penderita mengatasi keadaannya.
PROGNOSIS
Prognosis ketergantungan obat pada umumnya dipengaruhi oleh besar-kecilnya
predisposisi (pengaruh faktor kepribadian,sosiobudaya dan fisik), mudah-sukarnya
mendapatkan obat itu dan sering-jarangnya kesempatan memakai obat tersebut serta
lamanya ketergantungan. Makin mudah faktor-faktor ini dapat ditangani,makin baik
prognosis.
Bila anak-anak muda yang menderita ketergantungan obat menjadi lebih tua,
maka rupanya sebagian besar lebih dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat,
biarpun mungkin hanya secara sederhana, sekedar tidak begitu mengganggu diri
sendiri dan lingkungannya. Sebagian kecil tetap naik-turun keadaannya, mereka
merupakan redivis dan sebagian meninggal dunia karena dosis yang berlebihan
kecelakaan dibawah pengaruh obat itu atau karena infeksi sekunder.
Pencegahan dapat dilakukan melalui penerangan kepada para muda-mudi di
daerah-daerah yang dianggap perlu. Para orang tua dan guru perlu juga diberi
penerangan agar mereka dapat lebih memperhatikan pendidikan yang berhubungan
dengan ketergantungan obat dan juga dapat lebih lekas mengenal gejala-gejalanya.
Daftar Pustaka
Maramis, W.F. & Maramis, A.A. (2009). Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2. Surabaya.
Penerbit Airlangga University Press.