Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ANESTESIOLOGI

REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
APRIL 2019
MUHAMMADIYAH MAKASSAR

NYERI AKUT DAN KRONIK

PEMBIMBING:

dr. Zulfikar Djafar, Sp. An

OLEH :

Khalidinah Iriansyah

105505419817

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Khalidinah Iriansyah

NIM : 105505419817

Judul Referat : Nyeri Akut Dan Kronik

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Anestesiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, April 2019

Pembimbing,

(dr. Zulfikar Djafar, Sp.An)


KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat diselesaikan. Shalawat serta

salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus berjudul “Nyeri Akut Dan Kronik” ini dapat terselesaikan dengan baik dan

tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik di

Bagian Anestesiologi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang

mendalam kepada dr. Zulfikar Djafar, Sp.An. Selaku pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi

selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna. Akhir kata,

penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, April 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri adalah mekanisme penting proteksi tubuh yang muncul apabila jaringan sedang

rusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri tersebut untuk

menghindari kerusakan lebih jauh.1

Berdasarkan International Association for the study of Pain (IASP) nyeri didefinisikan

sebagai sensasi yang tidak menyenangkan, mengganggu dan menimbulkan pengalaman emosi

akibat adanya kerusakan jaringan atau yang berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau

sesuatu yang berarti kerusakan.1

Intensitas nyeri mengacu kepada kehebatan nyeri itu sendiri. Pengukuran nyeri bersifat

subjektif dan diukur dengan menggunakan skala FACES yang dimulai dari nilai ‘0’ (tidak

dirasakan nyeri pada pasien) hingga ‘5’ (nyeri terburuk yang pernah dirasakan pasien).2

Klasifikasi nyeri secara umum terdiri dari nyeri akut dan nyeri kronik. Banyak data yanbg

menunjukan bahwa pada nyeri akut keluhan berhubungan langsung dengan trauma jaringan,

berbeda dengan nyeri kronik yang sulit memperlihatka bukti adanya kerusakan jaringan sebagai

sumber dari rasa nyeri.3

Penanganan nyeri bergantung dari jenis dan derjat rasa nyeri, serta tanggapan pada obat
analgesik. Pemberian dan penggantian obat analgesik dilakukan secara bertahap. Tahapan
digambarkan dengan Jenjang Analgesik dengan tiga tahap. Langkah pertama mencakup
analgesik non narkotik, misalnya aspirin atau parasetamol. Langkah kedua mnemberi narkotik
lemah, misalnya kodein. Sedangkah pada langkah ketiga diberikan narkotik kuat, misalnya
morfin.4
Praktek pengelolaan nyeri tidak hanya terbatas pada seorang ahli anestesi tetapi juga
meliputi dokter lain seperti dokter praktek dan selain dokter (psikolog , ahli urut , akupuntur ,
hipnosis , dll). Secara jelas, pendekatan yang paling efektif adalah secara multidisiplin. Untuk
dapat memberikan terapi yang tepat maka perlu pemahaman mengeni patofisiologi nyeri dan
langkah-langkah pemberian terapi berdasarkan jenis nyeri.
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 DEFINISI

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International Association for Study of
Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan. Suatu keadaan dikatakan nyeri kronik jika nyeri menetap lebih dari
6 bulan.3,4

Nyeri kronis tidak mempunyai tanda-tanda dan gejala klinis yang jelas, sehingga patofisiologi
yang mendasarinya biasanya tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik atau radiologis. Nyeri
kronis dapat muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau penyebab-penyebab neurologis,
dan biasanya dibedakan menjadi nyeri maligna (kanker atau keganasan) dan nyeri non-maligna
(jinak). 2,3,5

2.2 KLASIFIKASI

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kategori yaitu


1. Menurut Penyebabnya : nyeri nosiseptik, nyeri non nosiseptik.
2. Menurut Timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Menurut Derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.

Menurut Timbulnya Nyeri


1. Nyeri akut
Merupakan nyeri yang dialami dibawah 3 bulan. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai
nyeri yang disebabkan oleh rangsangan noksius karena kerusakan jaringan , proses penyakit atau
fungsi abnormal dari otot atau organ visera.1 Berdasarkan penyebabnya nyeri akut dapat dibagi
menjadi :
1.1 Nyeri Somatik Luar
Nyeri tajam di kutis , subkutis , mukosa yang berdurasi pendek , lokalisasi terpusat ,
tidak menjalar , biasa disebabkan oleh cidera , laserasi dan suhu panas atau dingin.

1.2 Nyeri Somatik Dalam


Nyeri tumpul di otot , tulang , sendi , jaringan ikat yang lokalisasi terpust , tidak
menyebar , tidak menjalar , biasa disebabkan oleh cedera , iskemia , pergeseran.

1.3 Nyeri Viseral


Nyeri karena penyakit atau disfungsi organ dalam. Lokalisasi menyebar , menjalar ,
biasa disebabkan oleh distensi , iskemia , spasme.

1.4 Nyeri Alih (reffered pain)


Nyeri khusus yang timbul akibat nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga
nyeri dirasakan pada beberapa lokasi.

2. Nyeri Kronik
Merupakan nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan. Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh
kelakuan , kebiasaan dan lain-lainnya. Bentuk paling umum dari nyeri kronik termasuk di
dalamnya berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal , gangguan viseral krinik , lesi pada
saraf perifer , lesi pada radiks saraf , lesi pada ganglion dorsalis (termasuk neuropati diabetikum
, phantom limbs dan neuralgia post herpetica).1,4,5

Berdasarkan penyebabnya nyeri kronik dapat dibagi menjadi 2 yaitu nyeri neuropatik dan
nyeri psikogenik.1

Nyeri Akut Nyeri Somatik Somatik Superfisial


Somatik Dalam
Nyeri Viseral
Nyeri Kronik Nyeri Neuropatik
Nyeri Psikogenik
Tabel 1. Klasifikasi nyeri akut dan kronik. (dikutip dari daftar pustaka no.1)
Nyeri Akut Nyeri Kronik
Penyebab Reaksi inflamasi terhadap Lesi pada saraf perifer , radiks atau
kerusakan jaringan ganglion dorsalis

Psikologis
Durasi < 3 Bulan > 3 Bulan

Nyeri berkurang setelah luka Nyeri bertambah meskipun luka


membaik membaik
Respon Respon minimal hingga tidak ada
terhadap Berespon baik dengan pengobatan respon dengan pengobatan
Pengobatan
Kualitas Tidak berpengaruh terhadap Berpengaruh terhadap kualitas hidup
Hidup kualitas hidup secara jangka secara jangka panjang
panjang
Tabel 2. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik. (dikutip dari daftar pustaka no.13)

2.3 FISIOLOGI NYERI


Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon
hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga
yang tidak bermielin dari syaraf perifer.2,3,5,6

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh


yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena
letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
a. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini
biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi
dalam tiga komponen yaitu :
1. Reseptor A Beta, merupakan serabut komponen paling cepat yang memungkinkan tidak
mentrasmisi nyeri tetapi kepada sentuhan ringan, tekanan dan pergerakan rambut tajam.
2. Reseptor A delta, merupakan serabut komponen cepat yang memungkinkan timbulnya
nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
3. Serabut C, merupakan serabut komponen lambat yang terdapat pada daerah yang lebih
dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
b. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,
pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya
komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
c. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral
seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi.1,3,4

Fisiologi Nyeri :

1. Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius àaktivitas elektrik reseptor terkait.
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi stimulus yang intens
apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang ,
stimulus panas diatas 420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein
transducer spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi
stimulus noksious menjadi aliran yang menembus membran, membuat depolarisasi
membran dan mengaktifkan terminal perifer. Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau
produksi prostaglandin oleh siklo-oksigenase.1,3,6
2. Transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang
meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan
impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan
thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex. Ada dua jenis
transmisi saraf :
a) Ionotropik dimana mediator bekerja langsung pada pintu ion ke dalam sel. Ciri jenis
transmisi itu adalah (i) proses berlangsung cepat dan (ii) masa proses singkat.
b) Metabotropik dimana mediator bekerja lewat perubahan biokimia pada
membrane post-sinaps. Ciri transmisi cara ini adalah (i) lambat dan (ii) berlangsung
lama. Prostaglandin E 2 termasuk dalam golongan metabotropik; Hiperalgesia karena
prostaglandin E 2 terjadi lambat tapi berlangsung lama. Morfin dan obat-opiat lainnya
juga masuk golongan metabotropik, tetapi obat-obat ini menghambat hiperalgesia —
bekerjanya juga lambat dan berlangsung lama. Trauma mekanik rupa-rupanya
langsung merusak integritas membran dan tergolong ionotropik , bersama bradykinin.
Rasa nyeri timbul cepat dan berlangsung singkat, kecuali bila kerusakan yang
ditimbulkannya hebat tentu rasa nyeri dapat berlangsung lama.
3. Modulasi yaitu aktivitas saraf utk mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah
diteruskan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di
medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat analgetika seperti morfin
(Dewanto). Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari
transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu
berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk koneksi
antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar
dan menuju ke medulla spinalis.2,4,5
4. Fase ini merupakan titik kesdaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi
sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi yang kompleksi. Persepsi
ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudia individu ini dapat
bereaksi.11 Fase ini dimulai saat sinyal dari formatio reticularis dan thalamus dilanjutkan
ke area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang bisa mengatur emosi ini. Area ini akan
memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat
sehingga suatu stimulus nyeri dapat dihindari.9.12

2.4 PENILAIAN NYERI


Tingkat keparahan dan intensitas dari nyeri dapat dinilai menggunakan derajat
nyeri. Skala yang paling sering digunakan adalah Numeric Pain Intensity Scale (0-10).
Pada skala ini, 0 mewakili tidak ada nyeri dan 10 mewakili nyeri yang paling parah.

Untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam memilih nomer antara 0 sampai 10,
bisa digunakan skema yang sama dengan menggunakan penggaris, mungkin ini akan lebih
mudah karena pasien dapat menunjuk nomer di sepanjang garis. Alternatif yang lain,
beberapa pasien merasa lebih mudah untuk menunjukkan tingkat nyeri dengan
menggunakan kata ringan, moderat atau parah. Untuk yang lainnya, Visual Analog Scale
(VAS) lebih berguna. Dengan VAS pasien mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan
nyeri yang dirasakan disepanjang garis mulai dari tidak nyeri sampai nyeri yang paling
parah. Skala nyeri terakhir yang biasa dipakai adalah Wong Baker FACES Scales. Skala
ini menunjukkan 6 mimik muka yang menggambarkan tingkat penderitaan yang
diakibatkan nyeri.

Skala assessment nyeri

 Visual Analog Scale (VAS)


Skala analong visual (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk
menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat
nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai
garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter (Gambar
2). Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan
deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang
lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat
vertical atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/
reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat
utama VAS adalah penggunaan sangat mudah dan sederhana. Namun untuk
periode pascabedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan
koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi.
Gambar 2

 Verbal Rating Scale (VRS)


Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai10 untuk menggambarkan
tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan pada skalaini, sama seperti
pada VAS atau skala reda nyeri (Gambar 3). Skala numerik verbal inilebih
bermanfaat pada periode ascabedah,
karena secara alami verbal/kata-kata tidak terlalu mengandalkan koordinasi
visual danmotorik. Skala verbal menggunakan katakatadan bukan garis atau
angka untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala yangdigunakan dapat
berupa tidak ada nyeri,sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan
sebagai sama sekali tidak hilang,sedikit berkurang, cukup berkurang,
baik/nyeri hilang sama sekali. Karena skala inimembatasi pilihan kata pasien,
skala ini tidakdapat membedakan berbagai tipe nyeri.
Gambar 3

 Numeric Rating Scale (NRS)


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti,sensitif terhadap dosis, jenis
kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS terutama untuk
menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan pilihankata
untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk
membedakantingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak
yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesik. (Gambar 4)

Gambar 4
 Wong Baker Pain Rating Scale
Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka (Gambar 5).

Gambar 5

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Karakterisitk Nyeri akut Nyeri kronik

Awitan dan durasi Awitan mendadak, durasi Awitan bertahap, menetap,


singkat kurang dari 6 bulan lebih dari 6 bulan

Intensitas Sedang sdampai parah Sedang sampai parah

Kausa Spesifik, dapat diidentifikasi Kausa mungkin jelas


secara biologis mungkin tidak

Respon fisiologi Hiperaktifitas outonom yang Aktifitas autonom normal


dapat diperkirakan :
meningktanya tekanan darah,
nadi, dan nafas, dilatasi pupil,
pucat, mual muntah
Respon emosi/prilaku Cemas, tidak mampu Depresi dan kelelahan,
berkonsentrasi, gelisag, immobilisasi atau inaktifas
mengalami distress tetapi fisik, menarik diri dari
optimis nyeri akan hilang lingkungan social, tidak
melihat adanya harapan
akan kesembuhan,
memperkirakan nyeri akan
lama

Respon terhadap Meredakan nyeri secara efektif Sering kurang dapat


analgesik meredakan nyeri

Tabel . Karakterisitik Nyeri Akut Kronik

2.6 TATALAKSANA

a.iiTerapiiiFisik

Terapi fisik (Physical Therapy), dalam hubungannya dengan terapi okupasi (Occupational
therapy), memiliki peran penting dalam restorasi fungsional untuk pasien dengan sindrom nyeri
kronis. Tujuan dari program PT adalah untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas secara
bertahap dimulai dengan latihan meluncur lembut . Pasien biasanya enggan untuk berpartisipasi
di PT karena nyeri intens.

Seorang diri diarahkan atau terapis - program yang diarahkan PT adalah penting dan harus
individual untuk kebutuhan setiap pasien dan tujuan. Teknik PT mencakup aplikasi panas atau
dingin, posisi, latihan peregangan, traksi, pijat, terapi ultrasound, stimulasi saraf transkutan
listrik (TENS), dan manipulasi. Panas, pijat, dan peregangan dapat digunakan untuk mengurangi
kontraksi otot berlebih dan nyeri. Intervensi lainnya harus ditawarkan untuk memungkinkan
lebih percaya diri dan kenyamanan ketika pasien tidak kemajuan dalam jumlah waktu yang
wajar. Pengobatan dengan memberi pekerjaan tertentu.2,6,7

PT sangat penting untuk memulai pengukuran aktif lembut dan teknik desensitisasi awal
dengan pasien yang memiliki sakit kronis, sindrom nyeri terutama daerah kronis. Terapi rekreasi
dapat membantu pasien dengan nyeri kronis ambil bagian dalam kegiatan menyenangkan yang
membantu mengurangi nyeri. Pasien menemukan kenikmatan dan sosialisasi dalam kegiatan
rekreasi yang sebelumnya hilang atau baru. Biasanya, pasien dengan nyeri kronis adalah depresi
karena rasa sakit. Rekreasi terapis mungkin memainkan peran penting dalam proses pengobatan
karena mereka membantu memungkinkan pasien untuk menjadi aktif.2,3,6

b.iiFarmakoterapi

Farmakoterapi terdiri dari terapi simtomatik gagal (untuk menghentikan atau mengurangi
keparahan eksaserbasi akut) dan terapi jangka panjang untuk nyeri kronis. Awalnya, nyeri dapat
merespon OTC analgesik sederhana, seperti parasetamol, ibuprofen, aspirin, atau naproxen. Jika
pengobatan tidak memuaskan, penambahan modalitas lain atau penggunaan obat resep
dianjurkan. Jika mungkin, hindari agonis opiat barbiturat atau. Juga, mencegah penggunaan
jangka panjang dan berlebihan dari semua analgesik gejala karena risiko ketergantungan dan
penyalahgunaan.

Tizanidine dapat meningkatkan fungsi penghambatan pada SSP dan dapat memberikan
bantuan terhadap nyeri. Amitriptyline (Elavil) dan nortriptyline (Pamelor) adalah antidepresan
trisiklik (TCA) yang paling sering digunakan untuk mengobati nyeri kronis. Selective serotonin
reuptake inhibitor (SSRI) fluoxetine (Prozac), paroxetine (Paxil), dan sertraline (Zoloft)
umumnya diresepkan oleh banyak dokter. Antidepresan lain, seperti doksepin, desipramin
protriptyline, dan buspirone, juga dapat digunakan.

Sebuah studi Perancis menemukan bukti bahwa botulinum tipe toksin A (BoNT-A) memiliki
efek analgesik langsung ketika diberikan kepada pasien dengan nyeri neuropatik kronis
(melakukan tindakan yang independen efek pada otot). Akibatnya., Penulis studi tersebut
menyarankan bahwa BoNT-mungkin memiliki "indikasi baru" dalamiianalgesia.3,7

Kroenke dkk mempelajari kombinasi intervensi farmakologis dan perilaku untuk


meningkatkan depresi dan rasa sakit. Pasien (n = 250) dengan punggung rendah, pinggul, atau
sakit lutut selama 3 bulan atau lebih yang juga memiliki depresi moderat secara acak ditugaskan
untuk kombinasi terapi atau perawatan biasa. Terapi kombinasi terdiri dari terapi antidepresan
dioptimalkan (12 minggu), diikuti oleh intervensi untuk nyeri dalam fase pengelolaan diri (12
minggu), dan fase lanjutan (6 bulan). Depresi ditingkatkan dalam 37,4% dari kelompok terapi
kombinasi (yaitu, 50% atau penurunan lebih besar dalam depresi) dibandingkan dengan
kelompok dengan perawatan biasa (16,5%). Keparahan nyeri berkurang 30% atau lebih pada
kelompok kombinasi (41,5%) dibandingkan dengan kelompok dengan perawatan biasa (17,3%).

Sebuah studi oleh Gianni dkk memandang sistem pengiriman transdermal buprenorfin
(BTDS) untuk efeknya pada kronis, nyeri noncancer. Sementara tujuan khusus dari penelitian ini
adalah untuk menguji nilai kognitif dan fungsional pada populasi lanjut usia yang dirawat
dengan BTDS, sebuah temuan sekunder terkait dengan penggunaannya adalah aktivitas
analgesik yang efektif dan keselamatan BTDS pada pasien usia lanjut. Ada perbaikan dalam
suasana hati dan kembalinya sebagian kegiatan, tanpa berpengaruh pada kemampuan kognitif
dan perilaku.3,7

1. Analgesik Nonopioid/Perifer (NON-OPIOID ANALGESICS)

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah
prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan
prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian
mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan
COX-2 inhibitors.

Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya
disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.3,7
Gambar 2.1 : Origin and effects of prostaglandins

a. Salicylates

Aspirin mempunyai kemampuan menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat


enzim siklooksigenase secara ireversibel, pada dosis yang tepat,obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya
adalah gangguan lambung( intoleransi ). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang
cocok ( minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).2,3,7
b. p-Aminophenol Derivatives

Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari fenasetin. Obat ini menghambat


prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti-inflamasi yang
bermakna.Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala,mialgia,nyeri
pasca persalinan dan keadaan lain.efek samping kadang-kadang timbul peningkatan ringan
enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan pusing, mudah terangsang, dan disorientasi.

c. Indoles and Related Compounds

Obat ini lebih efektif daripada aspirin, merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat.
Efek samping menimbulkan efek terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen,diare, pendarahan
saluran cerna,dan pankreatitis.serta menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan
hati.2,3,7

d. Fenamates

Merupakan turunan asam fenamat ,mempunyai waktu paruh pendek,efek samping yang
serupa dengan obat-obat AINS baru yang lain dan tak ada keuntungan lain yang melebihinya.
obat ini meningkatkan efek antikoagulan oral. Dikontraindikasikan pada kehamilan.

e. Arylpropionic Acid Derivatives

Tersedia bebas dalam dosis rendah dengan berbagai nama dagang.obat ini
dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip hidung ,angioedema, dan reaktivitas
bronkospastik terhadap aspirin. Efek samping, gejala saluran cerna.

f. Pyrazolone Derivatives

Untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. obat ini mempunyai
efek anti-inflamasi yang kuat. tetapi memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis,
anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal.2,3,7
G. Oxicam derivatives

Merupakan AINS dengan struktur baru.waktu paruhnya panjang untuk pengobatan artristis
rmatoid,dan berbagai kelainan otot rangka.efek sampingnya meliputi tinitus ,nyeri kepala,dan
rash.

h. Acetic Acid Derivatives

obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi, analgetik, dan
antipiretik. waktu parunya pendek, dianjurkan untuk pengobatan artristis rmatoid, danberbagai
kelainan otot rangka.efek sampingnya distres saluran cerna, perdarahan saluran cerna, dan tukak
lambung.

i. Miscellaneous Agents

Obat ini mempunyai waktu paruh yang panjang.obat ini memiliki beberapa keuntungan dan
resiko yang berkaitan dengan obat AINS lain.2,3,7

2. Analgetik opioid

Analgetik opiad merupakan golongan obat yang memiliki sifat seperti opium/morfin. Sifat
dari analgesik opiad yaitu menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh karena
itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal:

1. Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin


2. Tanpa bahaya adiksi

Analgetik opiad mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang
terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran
dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri
yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama
dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri.
Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada
kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian.
Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa
senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan
dinorfin.2,3,7

Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi
hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan
toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi
sinyal dari permukaan tubuk ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon
tubuh terhadap rangsang eksternal.

Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan
analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.

Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid
μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-
receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan e-receptor, namum belum jelas
fungsinya).

Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari
opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.2,3,7

Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik
dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan
dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan
sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan reseptor κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan
dinorfin, sedangkan reseptor μ selektif untuk opioid analgesic.
Mekanisme umumnya :

Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam
sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke
dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan
terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan
mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.2,3

Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:

 Analgesik
 medullary effect
 Miosis
 immune function and Histamine
 Antitussive effect
 Hypothalamic effect
 GI effect

Efek samping yang dapat terjadi:

 Toleransi dan ketergantungan


 Depresi pernafasan
 Hipotensi
 dll

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi menjadi:

1. Agonis opioid menyerupai morfin (pd reseptor μ, κ). Contoh: Morfin, fentanil
2. Antagonis opioid. Contoh: Nalokson
3. Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya tinggi
4. Opioid dengan kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin, buprenorfin, malbufin,
butorfanol.3,6
1. Agonis Kuat

a. Fenantren

Morfin, Hidromorfin ,dan oksimorfon merupakan agonis kuat yang bermanfaat dalam
pengobatan nyeri hebat. Heroin adalah agonis yang kuat dan bekerja cepat .

b. Fenilheptilamin

Metadon mempunyai profil sama dengan morfin tetapi masa kerjanya sedikit lebih panjang.
Dalam keadaan nyeri akut,potensi analgesik dan efikasinya paling tidak sebanding dengan
morfin.

Levometadil asetat merupakan Turunan Metadon yang mempunyai waktu paruh lebih
panjang daripada metadon

c. Fenilpiperidin

Meperidin dan Fentanil adalah yang paling luas digunakan diantara opioid sintetik yang ada
,mempunyai efek antimuskarinik.subgrup fentanil yang sekarang terdiri dari sufentanil dan
alventanil.

d. Morfinan

Levorfanol adalah preparat analgesik opioid sintetik yang kerjanya mirip dengan morfin
namun manfaatnya tidak menguntungkan dari morfin.3,6

2. Agonis Ringan sampai sedang

a. Fenantren

Kodein,Oksikodoa,dihidrokodein, dan hidrokodon,semuanya mempunyai efikasi yang


kurang dibanding morfin,atau efek sampingnya membatasi dosis maksimum yang dapat
diberikan untuk memperoleh efek analgesik yang sebanding dengan morfin,penggunaan dengan
kombinasi dalam formulasi-formulasi yang mengandung aspirin atau asetaminofen dan obat-obat
lain.

b. Fenilheptilamin

Propoksifen aktivitas analgesiknya rendah,misalnya 120 mg propoksifen = 60 mg kodein

c. Fenilpiperidin

Difenoksilat dan metabolitnya,difenoksin digunakan sebagai obat diare dan tidak untuk
analgesik,digunakan sebagai kombinasi dengan atropin.

Loperamid adalah turunan fenilpiperidin yang digunakan untuk mengontrol diare.Potensi


disalahgunakan rendah karena kemampuannya rendah untuk masuk ke dalam otak.3,6

3. Mixed Opioid Agonist–Antagonists or Partial Agonists

a. Fenantren

Nalbufin adalah agonis kuat reseptor kapa dan antagonis reseptor mu. pada dosis tinggi
terjadi depresi pernafasan.

Buprenorfin adalah turunan fenantren yang kuat dan bekerja lama dan merupakan suatu
agonis parsial reseptor mu.Penggunaan klinik lebih banyak menyerupai
nalbufin,mendetoksifikasi dan mempertahankan penderita penyalahgunaan heroin.3,6

b. Morfinan

Butorfanol efek analgesik ekivalen dengan nalbufin dan buprenorfin, tetapi menghasilkan
efek sedasi pada dosis ekivalen ,merupakan suatu agonis reseptor kapa.
c. Benzomorfan

Pentazosin adalah agonis reseptor kapa dengan sifat-sifat antagonis reseptor mu yang
lemah.Obat ini merupakan preparat campuran agonis-antagonis yang tertua.

Dezosin adalah senyawa yang struktur kimianya berhubungan dengan pentazosin,


mempunyai aktivitas yang kuat terhadap reseptor mu dan kurang bereaksi dengan reseptor
kappa,mempunyai efikasi yang ekivalen dengan morfin.3,6

4. Antagonis Opioid

Nalokson dan Naltrekson merupakan turunan morfin dengan gugusan pengganti pada posisi
N, mempunyai afinitas tinggi untuk berikatan dengan reseptor mu,dan afinitasnya kurang
berikatan dengan reseptor lain. Penggunan utama nalokson adalah untuk pengubatan keracunan
akut opioid,masa kerja nalokson relatif singkat, Sedangkan naltrekson masa kerjanya
panjang,untuk program pengobatan penderita pecandu. individu yang mengalami depresi akut
akibat kelebihan dosis suatu opioid ,antagonis akan efektif menormalkan pernapasan,tingkat
kesadaran, ukuran pupil aktivitas usus,dan lain-lain.

5. Drugs Used Predominantly as Antitussives

Analgesic opioid adalah obat yang paling efektif dari semua analgesic yang ada untuk
menekan batuk.Efek ini dicapai pada dosis dibawah dari dosis yang diperlukan untuk
menghasilkan efek analgesik. Contoh obatnya adalah Dekstrometrofan, Kodein,
Levopropoksifen.3,6

Anda mungkin juga menyukai