Anda di halaman 1dari 46

CASE REPORT

SEORANG PENDERITA DENGAN ATELEKTASIS PARU DEXTRA

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum

Stase Paru Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono Ponorogo

Pembimbing :

dr. Krisbiyanto, Sp.P

Oleh :

Femina Putri Meetaliasari, S.Ked J510185108

Ardian Hendra Rezi P, S.Ked J510185091

Lintang Ayu Rosifah, S.Ked J510185097

Diyah Arum Setiasih, S.Ked J510185114

KEPANITERAAN KLINIK PARU


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
CASE REPORT

SEORANG LAKI-LAKI USIA 70 TAHUN DENGAN ATELEKTASIS PARU


DEXTRA

Pembimbing :
dr. Krisbiyanto, Sp.P

Disusun Oleh :

Femina Putri Meetaliasari, S.Ked J510185108


Ardian Hendra Rezi P, S.Ked J510185091
Lintang Ayu Rosifah, S.Ked J510185097
Diyah Arum Setiasih, S.Ked J510185114

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing

dr. H. Krisbiyanto, Sp.P (…………………….)

Dipresentasikan dihadapan

dr. H. Krisbiyanto, Sp.P (…………………….)

Disahkan Ketua Program Profesi

dr. Flora Ramona S. P., Sp. KK, M.Kes (…………………….)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


RSUD DR. HARJONO KABUPATEN PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
CASE REPORT

I. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. S
Usia : 70 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta/Buruh
Alamat : Duri Slahung
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Tanggal Masuk RS : 10 Agustus 2018
Tanggal Pemeriksaan : 14 Agustus 2018
No. Rekam Medis : 413367

II. Anamnesis
A. Keluan Utama
Sesak nafas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan sesak
napas, sejak 4 bulan yang lalu dan memburuk satu hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan saat beraktivitas maupun saat beristirahat.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih sejak 4 bulan
yang lalu yang kadang disertai bercak darah, benjolan keras pada lehernya
yang terasa nyeri dan sudah ada sejak 10 tahun yang lalu, serta nyeri dada.
Pasien sudah pernah mengalami sesak 4 bulan yang lalu dan di rawat di RS.
Muhammadiyah selama 1 minggu dengan keluhan yang sama dan di
berikan pengobatan OAT yang sudah berjalan 3 bulan. Terdapat riwayat
merokok (+) sejak muda sebanyak 1 bungkus/hari. Penurunan berat badan
(+) sejak munculnya sesak dan batuk tersebut sampai saat ini. Pasien
mengeluhkan mual, suara serak, serta kesulitan saat menelan. Terdapat
bengkak pada lengan bawah kanan.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit DM : disangkal
Riwayat Penyakit TBC : diakui
Riwayat Pengobatan OAT : diakui
Riwayat Batuk lama : diakui
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Penyakit asma : disangkal
Riwayat Opname : diakui
Riwayat Operasi : disangkal

D. Riwayat Pribadi
Riwayat Merokok : diakui
Minum-minuman Alkohol : disangkal
Minum Jamu : diakui

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Gejala serupa : disangkal
Riwayat Penyakit DM : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Penyakit TB : disangkal
Riwayat Pengobatan OAT : disangkal
Riwayat Penyakit Asma : disangkal
Riwayat Batuk lama : disangkal
Riwayat Menderita Kanker : disangkal
F. Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : demam (+), penurunan kesadaran (+), pusing
(-)
Sistem kardiovaskular : nyeri dada (-), berdebar (-)
Sistem respirasi : sesak (+), batuk (+)
Sistem urinarius : BAK lancar (+)
Sistem gastrointestinal : diare (-), sembelit (-), mual (+), muntah nafsu
makan menurun (+)
Sistem muskuloskeletal : bengkak ada tangan (+/-), bengkak pada
kaki(-/-), kaku lengan (-/-), pegal (+/+)
Sistem integumentum : pucat (+), hematom (-), sianosis (-)

III. Pemeriksaan Fisik


A. Vital Signs
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Denyut Nadi : 106x/menit
Kecepatan Nafas : 24x/menit
Suhu : 36,70 C
Saturasi Oksigen : 99

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status generalis : keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis
2. Status Lokalis
a. Kepala : Normocephal, conjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), Nafas cuping hidung (-)
b. Leher : Retraksi suprasternal (-), deviasi trakea (+) ke
kanan, massa (+) dengan ukuran ±7x4 cm terfiksir dengan
konsistensi padat, Pembesaran kelenjar getah bening (-),
Peningkatan JVP (-), pembesaran saraf (-)
c. Thorax :
 Paru
 Inspeksi : dada kanan-kiri simetris (+), ketinggalan
gerak (-), luka (-), sikatrik (-), retraksi intercostae (-),
inspirasi dan ekspirasi (ekspirasi memanjang)
 Palpasi :
Ketinggalan gerak
Depan Belakang
- - - -
- - - -
- - - -

Fremitus raba
Depan Belakang
N N
N N N N
N N N N

 Perkusi
Depan Belakang
Redup Sonor Redup Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor

 Auskultasi
Depan Belakang
N N
N N N N
N N N N

Fremitus Vokal
Depan Belakang
N N
N N N N
N N N N

Suara tambahan wheezing (+ / + ), ronkhi ( -/ - ), Stridor (+)


 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tampak (-)
Palpasi : ictus cordis kuat angkat (-)
Perkusi : batas atas jantung pada SIC IV linea parasternalis
sinistra, batas bawah jantung SIC VI linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II (reg) , bising (-), gallop(-)
d. Abdomen :
Inspeksi : perut datar, kulit normal, sikatrik (-), luka (-)
Auskultasi : suara peristaltik (+), suara tambahan (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), lien tidak teraba, ginjal tidak
teraba
Perkusi : suara timpani (+), pekak beralih (-), batas atas hepar
pada SIC V dan batas bawah hepar satu jari dibawah
arcus costae
e. Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), pucat (+/+)
f. Urogenital : BAK : Dalam batas normal
BAB : Dalam batas normal
Genitalia : Dalam batas normal
IV. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi : tanggal 10 Agustustus 2018
Analisis Flag Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin L 9.8 g/dL 14.0 - 18.0
Eritrosit L 3.76 juta/uL 4.40 - 5.90
Hematokrit L 31.7 % 40.0 - 48.0
Lekosit 8800 /mm3 4000 - 10000
Trombosit 206000 /mm3 150000 - 450000
MCV 84.2 fl 75.0 - 100.0
MCH 26.1 Pg 26.0 - 34.0
MCHC L 31.0 g/dL 32.0 -36.0
RDW-CV 14.2 % 11.0 - 16.0
RDW-SD 48.3 fL 35.0 - 56.0
MPV L 7.7 fL 8.0 - 11.0
PDW 15.2 fL 0.1 - 99.9
PCT 1.6 mL/L 1.08 - 2.82
P-LCC 40 103/uL 30 - 90
P-LCR 19.3 % 11.0 - 45.0
Lymph# L 0.5 103/uL 0.8 - 4.0
Mid# 0.4 103/uL 0.1 - 1.5
Gran# H 7.9 103/uL 2.0 - 7.0
Lymph L 6.0 % 25.0 - 40.0
Mid% 4.3 % 2.0 - 8.0
Gran% H 89.7 % 50.0 - 70.0

2. Kimia klinik
Analisis Flag Hasil Satuan Nilai Rujukan
Glukosa sewaktu 133 mg/dL 30 - 180
Ureum 35.50 mg/dL 10 - 50
Creatinin 0.63 mg/dL 0.6 - 1.3
Asam Urat H 7.6 mg/dL 2.5 - 7.0
SGOT 27 U/L 1 - 37
SGPT 5 U/L 1 - 40
Gamma GT H 114 U/L 0 - 30
Alkali Fosfatase H 150 U/L 30 - 120
Protein Total 7.0 g/dL 6.2 - 8.5
Albumin L 3.4 g/dL 3.5 - 5.3
Globulin H 3.8 g/dL 1.5 - 3.0
Bilirubin Total 0.90 mg/dL 0.2 - 1.2
Bilirubin Direk H 0.78 mg/dL 0 - 0.5

3. EKG
HR : 89 bpm
Irama : normal sinus rithme

4. Rongent Thorax
a. Tanggal : 7 April 2018

Bacaan :
- Foto polos proyeksi PA
- Simetris kanan dan kiri
- Terdapat perselubungan pada lobus superior dextra
- Ukuran jantung dalam batas normal
- Sudut costophrenicus kanan dan kiri tajam

b. Tanggal : 8 Agustus 2018


Bacaan :
- Foto polos proyeksi PA
- Simetris kanan dan kiri
- Terdapat perselubungan pada lobus superior dextra berbatas tegas
berbentuk segitiga apex ke hillus
- Ukuran jantung dalam batas normal
- Sudut costophrenicus kanan dan kiri tajam

5. Mikrobiologi
Cek sputum BTA : MTB not detected

V. Daftar Masalah
A. Anamnesis
1. Sesak napas
2. Usia >35 tahun
3. Batuk berdahak dan berdarah
4. Nyeri dada

B. Pemeriksaan Fisik
1. Deviasi trakea ke kanan
2. Wheezing
3. Stridor
4. Penurunan nafsu makan
5. Penurunan berat badan
6. Penurunan kesadaran
7. Perokok aktif
8. Benjolan di leher kanan
9. Nyeri leher
10. Kesulitan menelan
11. Suara parau
12. Mual
13. Edema lengan bawah kanan

VI. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan sesak
napas, sejak 4 bulan yang lalu dan memburuk kemarin sebelum masuk rumah sakit.
Sesak dirasakan saat beraktivitas maupun saat beristirahat. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih sejak 4 bulan yang lalu yang kadang
disertai bercak darah, benjolan keras pada lehernya yang terasa nyeri dan sudah ada
sejak 10 tahun yang lalu, serta nyeri dada. Pasien sudah pernah mengalami sesak 4
bulan yang lalu dan di rawat di RS. Muhammadiyah selama 1 minggu dengan
keluhan yang sama dan di berikan pengobatan OAT yang sudah berjalan 3 bulan,
lalu dokter memberhentikan OAT. Terdapat riwayat merokok (+) sejak muda
sebanyak 1 bungkus/ hari. Penurunan berat badan (+) sejak munculnya sesak dan
batuk tersebut sampai saat ini. Pasien mengeluhkan mual, suara serak serta
kesulitan saat menelan.
Dari hasil pemeriksaan vital sign, didapatkan Tekanan Darah 140/80 mmHg,
denyut nadi 106x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 36,70 C, saturasi oksigen
99%. Pada pemeriksaan fisik inspeksi, bentuk dada simetris, ketertinggalan gerak
(-), inspirasi dan ekspirasi memanjang, benjolan dileher kanan, terdapat vena cava
superior syndrome berupa venektasi pada dinding dada sebelah kanan. Terdapat
edema pada lengan bawah kanan. Palpasi didapatkan deviasi trakea kekanan,
ketertinggalan gerak (-) fremitus raba simetris, teraba benjolan keras dileher kanan,
pada perkusi didapatkan redup pada dada sebelah kanan. Pada auskultasi terdapat
suara tambahan wheezing (+) dan stridor (+).
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap, Hb 9,8 g/dL, leukosit
8.800/mm3. Hasil pembacaan foto thorax didapatkan perselubungan pada lobus
superior dextra berbatas tegas berbentuk segitiga apex ke hillus.

VII. ASSESMENT
- Atelektasis Paru (D)
- Ca Paru
- TB Paru
- PPOK
VIII. PENATALAKSANAAN

Assesment Planning Planning Terapi Planing


Diagnosis Monitoring

Atelektasis - Xray thorax PA - O2 Canul 2 lpm - Xray Thorax


Dextra - Darah Lengkap - Infuse PZ 16 - Darah Lengkap
- Sitologi Sputum - Gejala Klinis
tpm
- Sputum BTA
- Drip
- Bronkoskopi
- CT Scan Aminophilin 1
⅟2 Ampul 16
tpm
- Injeksi
Dexamethasone
3x1 Ampul
- OBH syrup
(3x1)
Ca Paru Dextra - Xray Thorax PA - O2 Canul 2 lpm - Xray Thorax
- Darah Lengkap - Infuse Pz - Darah Lengkap
- Sitologi Sputum - Drip - Klinis
- FNAB - CT Scan
aminophilin 1
- CT Scan
- Morfin Sulfat
(3x1)
TB Paru - Sputum BTA - Infuse PZ 16 - Sputum BTA
- Xray Thorax PA - Xray Thorax
tpm
- Darah Lengkap
- Drip PA
- Darah Lengkap
Aminophilin 1
- Gejala Klinis
⅟2 Ampul 16
tpm
- OAT
- Levofloxacin
(1x1)
- Injeksi
Dexamethasone
3x1 Ampul
- OBH syrup
(3x1)
Ca Intrakranial - Konsul Sp. Saraf - O2 Canul 2 lpm - CT-Scan
- CT-Scan - Infuse PZ 16 - MRI
- MRI - Klinis
tpm
- Morfin Sulfat
(3x1)
BAB II
ANALISIS KASUS

Pemeriksaa
Anamnesis Pemeriksaan
n Penunjang

1. Pasien laki-laki Vital Sign :


2. Usia 70 tahun DL
3. Sesak nafas sejak 4 bulan yang - Tekanan Darah :140/80 Kimia Darah
lalu dengan mengi, terus mmHg X-ray Thorax
menerus. - Denyut Nadi : 106x/menit
4. Batuk sejak 4 bulan yang lalu - Kecepatan Nafas : 24x/menit
disertai dengan dahak putih dan - Suhu : 36,70 C
kadang bercampur darah - Saturasi Oksigen : 99%
berwarna merah segar
5. Nyeri dada sejak 4 bulan yang Pemeriksaan Fisik Thorax :
lalu terus menerus dan
diperberat saat batuk -Inspeksi  bentuk dada simetris,
6. Mual ketertinggalan gerak (-), inspirasi
7. Benjolan di leher sebelah kanan dan ekspirasi memanjang, benjolan
sejak 10 tahun yang lalu, dari dileher kanan, terdapat vena cava
setahun lalu bertambah besar superior syndrome berupa venektasi
dan nyeri bila ditekan pada dinding dada sebelah kanan.
8. Merokok aktif dari remaja Terdapat edema pada lengan bawah
9. Suara serak kanan.
10. Penurunan berat badan -Palpasi  deviasi trakea ke kanan,
11. Penurunan nafsu makan ketertinggalan gerak (-), fremitus
12. Nyeri telan raba simetris, teraba benjolan keras
13. Nyeri pada benjolan di leher dileher kanan, pada perkusi
14. Bengkak pada tangan kanan didapatkan redup pada dada sebelah
15. Penurunan kesadaran kanan.
16. Kejang 2 hari sebelum -Auskultasi  terdapat suara
meninggal tambahan wheezing (+) dan stridor
(+).

Planning :
Diagnosis Banding :
1. Xray thorax PA Diagnosis
1. Atelektasis (D) 2. Darah Lengkap
2. Ca Paru Dextra 3. Sitologi Sputum Pasti ?
3. TB Paru 4. Sputum BTA
4. Ca Intrakranial 5. Bronkoskopi
5. Ca Nasofaring 6. CT Scan
6. Limfadenopati 7. FNAB
8. MRI
Follow Up
No Tanggal Subjective Objective Assesment Rencana Terapi

(S) (O) (A)

1. 10 Sesak nafas (+), TD: 160/97mmhg -Atelektasis O2 Canul 2 lpm


Agustus batuk (+), dahak (+)
HR : 93x -PPOK Inf PZ (2 fl)
2018 warna putih,
hemoptoe (+), nyeri RR : 24X -Keganasan Aminofilin (3 amp)
dada (+), serak (+),
SPO2 : 99 -TB Levofloxacin (1 fl)
benjolan di leher (+),
nafsu makan turun I : gerak dada Dexametason
simetris, retraksi (3amp)
(-), E/I tdk
Ranitidine (2 amp)
memanjang, v.
cava sup syndrom

P : Deviasi
trachea dextra,
Fremitus
melemah,
ketertinggalan
gerak (-)

P : Redup di dada
kanan atas

A : vesikuler
lemah di dada
kanan, Stridor
(+), wheezing (+)

11 Sesak nafas TD: 130/80mmhg - O2 Canul 2 lpm


Agustus berkurang, batuk (+), Atelektasis
HR : 98x Inf PZ (2 fl)
2018 dahak (+) warna
putih, hemoptoe (+), RR : 24X - PPOK Aminofilin (3 amp)
nyeri dada (+), mual
SPO2 : 99 - Levofloxacin (1 fl)
(+), serak (+),
Keganasan
benjolan di leher (+), I : gerak dada Dexametason
nafsu makan simetris, retraksi - TB (3amp)
membaik (-), E/I tdk
Ranitidine (2 amp)
memanjang, v.
cava sup syndrom

P : Deviasi
trachea dextra,
Plan diagnosis :
Fremitus
melemah, FNAB
ketertinggalan
gerak (-)

P : Redup di dada
kanan atas

A : vesikuler
lemah di dada
kanan, Stridor
(+), wheezing (+)

13 Sesak nafas TD: 130/80mmhg - O2 Canul 2 lpm


Agustus berkurang, batuk (+), Atelektasis
HR : 92x Inf PZ (2 fl)
dahak (+) warna
- PPOK
putih, nyeri dada (+), RR : 22X Aminofilin (3 amp)
mual (+), serak (+), -
SPO2 : 99 Levofloxacin (1 fl)
benjolan di leher (+), Keganasan
nafsu makan I : gerak dada Ranitidine (2 amp)
- TB
membaik simetris, retraksi
Ondasetron (2 amp)
(-), E/I tdk
memanjang, v.
cava sup syndrom

P : Deviasi
trachea dextra,
Plan diagnosis :
Fremitus
melemah, FNAB
ketertinggalan
gerak (-)

P : Redup di dada
kanan atas

A : vesikuler
lemah di dada
kanan, Stridor
(+), wheezing (+)

14 Sesak nafas TD: 140/80mmhg - O2 Canul 2 lpm


Agustus berkurang, batuk (+), Atelektasis
HR : 96x Inf PZ (2 fl)
dahak (+) warna
- PPOK
putih, hemoptoe (+), RR : 24X Aminofilin (3 amp)
nyeri dada (+), mual -
SPO2 : 98 Levofloxacin (1 fl)
(+), serak (+), Keganasan
benjolan di leher (+), I : gerak dada Ranitidine (2 amp)
- TB
nafsu makan simetris, retraksi
Ondasetron (2 amp)
membaik, bengkak di (-), E/I tdk
tangan kanan memanjang, v. Kalnex (3 amp)
cava sup syndrom

P : Deviasi
trachea dextra,
Fremitus Plan diagnosis :
melemah,
FNAB
ketertinggalan
gerak (-) Sitologi sputum

P : Redup di dada
kanan atas

A : vesikuler
lemah di dada
kanan , Stridor
(+), wheezing (+)

5 15 Delirium, kejang (+), TD: 57/30mmhg - O2 mask 9L


Agustus Sesak nafas Atelektasis
HR : 130x Inf PZ (2 fl)
bertambah parah,
- PPOK
pupil midriasis, RR : 34X Aminofilin (3 amp)
-
SPO2 : 51 Levofloxacin (1 fl)
Keganasan
I : gerak dada Ranitidine (2 amp)
- TB
simetris, retraksi
Ondasetron (2 amp)
(-), E/I tdk
memanjang, Kalnex (3 amp)
Fremitus
melemah, v. cava
sup syndrom

P : Deviasi Plan diagnosis :


trachea dextra,
FNAB
ketertinggalan
gerak (-) Sitologi sputum

P : Redup di dada
kanan atas

A : vesikuler
lemah di dada
kanan, Stridor
(+), wheezing (+)
BAB III
PEMBAHASAN

A. KANKER PARU
1. Definisi
Kanker paru merupakan kanker yang onsetnya dimulai dari paru-paru
dimana terjadi pertumbuhan sel abnormal yang sangat cepat dan tidak
terkendali. Pertumbuhan sel yang tidak normal tersebut dipicu oleh kerusakan
DNA diantaranya adanya delesi pada bagian DNA, inaktivasi gen supresor
tumor, aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen, tidak terjadinya apoptosis dan
aktivitas dari enzim telomerase
2. Etiologi
Secara umum penyebab kanker paru belum diketahui secara pasti, tetapi
beberapa kepustakaan menyebutkan etiologi kanker paru sangat berhubungan
dengan frekuensi kebiasaan merokok. Asap rokok mengandung sekitar 60 jenis
karsinogen dapat menyebabkan terjadinya mutasi DNA.
Etiologi kanker paru dapat dibedakan dua jenis, yaitu : faktor resiko yang
dapat dimodifikasi anatra lain polusi udara, asap rokok lingkungan, makanan,
karsinogen
di lingkungan pekerjaan dan beberapa jenis penyakit paru juga sangat
berpengaruh terhadap dengan meningkatnya risiko berkembangnya kanker
paru. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetika,
jenis kelamin.
3. Gambaran klinis
Tanda dan gejala yang menunjukkan adanya kanker paru:
 Batuk pada pasien kanker paru-paru sekitar 65%-75%
 Hemoptisis pada pasien kanker paru-paru sekitar 6%-35%, dan sekitar 20-
30% pada pasien akan mengembangkan hemoptisis, dengan 3%
mengalami hemoptisis yang fatal
 Sesak nafas pada pasien kanker paru-paru sekitar 65%. Penyebab sesak
napas pada kanker paru-paru termasuk paru-paru parenkim utama, efusi
pleura, pneumonia, dan komplikasi dari kemoterapi atau terapi radiasi,
seperti pneumonitis
 Nyeri dinding dada pada pasien kanker paru-paru sekitar 50%. Nyeri dada
dapat terjadi karena penyebaran langsung dari tumor ke permukaan pleura
 Suara serak pada pasien kanker paru-paru sekitar 18%
 Kehilangan berat badan, nyeri tulang, sakit kepala, kelelahan, anoreksia

a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap merupakan salah satu kunci utuk diagnosis
kanker paru yang tepat. Sasaran untuk deteksi dini terutama pada subyek
dengan risiko tinggi yaitu .
 Laki-laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok .
 Paparan industri tertentu
Selain itu dapat muncul salah satu atau lebih gejala berupa batuk darah,
batuk kronik, sesak nafas, nyeri dada dan berat badan menurun. Golongan
lain yang perlu diwaspadai adalah perempuan perokok pasif dengan salah
satu gejala diatas dan seseorang dengan gejala klinis berupa batuk berdarah,
batuk kronik dan sakit dada, penurunan berat badan tanpa penyakit yang
jelas. Riwayat tentang anggota keluarga dekat yang menderita kanker paru
juga menjadi factor pertimbangan (PDPI, 2003).

Pasien merupakan seorang laki-laki berusia lebih dari 40 tahun, perokok


aktif. Melalui anamnesis pasien memiliki lebih dari satu gejala yang
mengarah pada kanker paru yaitu nyeri dada, sesak nafas, batuk berdarah,
suara serak.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan
berupa perubahan bentuk dinding dada dan trakea, pembesaran kelenjar
getah bening dan tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan
cairan pleura. Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan
teliti. Hasil yang didapatkan sangat bergantung pada kelainan saat
pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil yang terletak di perifer
dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan
ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat dari kompresi
bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan hasil
yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk
penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor di luar paru.
Metastasis organ lain juga dapat dideteksi dengan perubahan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrkranial
dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang (Jusuf, 2005).
Pemeriksaan fisik pada thoraks harus dilakukan dengan teliti, sesuai
urutan dan tepat dalam setiap menilai penemuan. Pada inspeksi dapat
ditemukan kelianan abnormal seperti adanya benjolan pada dinding dada
ataupun perbedaan bentuk pada kedua bidang dada. Perbedaan pada
gerakan nafas dada kanan dan kiri juga penting untuk dinilai karena secara
noma an atau kiri saat bernafas dan terjadi tidak ada perbedaan gerakan
dada kan bersamaan . Saat dilakukan palpasi pada dinding dada sangat
penting dilakukan pada dada kanan dan kiri serta depan dan belakang.
Palpasi yang dilakukan secara tepat dapat mempertajam setiap temuan
abnormal pada inspeksi dan mungkin didapatkan abnormalitas yang belum
ditemukan saat inspeksi. Pada pemeriksaan perkusi secara normal adalah
suara sonor kecuali pada batas jantung dan juga tulang. Apabila ditemukan
suara selain sonor saat dilakukan perkusi, hal tersebut menunjukkan adanya
kelainan baik suara hipersonor ataupun suara redup selain bats jantung.
Auskultasi merupakan pendengaran suara pada dinding dada depan ataupun
belakang dengan menggunakan bantuan stetoskop. Suara paru normal tanpa
disertai suara tambahan baik mengi atau ronki. Apabila terdapat kelainan-
kelainan pada setiap pemeriksaan tersebut maka dicurigai terdapat masa
berupa benda padat, cair ataupun gas (Alsegaff, 2005).

Pada pasien kasus ini ditemukan beberapa kelainan pada pemeriksaan


fisik. Saat inspeksi terdapat benjolan keras di leher kanan. Pada inspeksi
thoraks tidak didapatkan adanya massa, bentuk dada normal, tinggal gerak
(-), E/I memanjang. Saat palpasi ketinggalan gerak (-), fremitus raba yang
menurun pada dada kanan atas. Saat dilakukan perkusi terdapat
abnormalitas berupa perkusi redup pada dinding dada kanan atas. Saat
dilakukan auskultasi ditemukan suara dasar vesikuler menurun pada dada
kanan, adanya suara tambahan berupa wheezing di seluruh lapang paru.
Dari kelainan tersebut dicurigai terdapat massa.

c. Pemeriksaan Penunjang
Hasil dari pemeriksaan penunjang terutama pemeriksaan radiologis
adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dilakukan untuk
menentukan dan metastasis, serta menentukan stadium penyakit
berdasarkan sistem TNM (Tumor, Nodul, Metastasis). Pemeriksaan
radiologis paru yaitu foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan thoraks.
Selain pemeriksaan radiologi, perlu juga dilakukan pemeriksaan sitologi
sputum, salah satu pemeriksaan penunjang lokasi tumor primer biopsi,
endoskopi maupun tumor marker (PDPI, 2003).
Pasien pada kasus ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
foto thoraks. Hasil foto rontgen thoraks pasien menunjukkan adanya
perselubungan pada lobus atas paru kanan batas tegas berbentuk segitiga
apex ke hilus. Dan selanjutnya akan dijadwalkan untuk pemeriksaan FNAB
dan sitologi sputum.
B. ATELEKTASIS
1. Definisi
Atelektasis paru adalah ekspansi tak lengkap atau kolapsnya semua atau
sebagian paru. Keadaan ini sering disebabkan oleh obstruksi bronkus dan
kompresi pada jaringan paru
2. Etiopatogenesis
Terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan atau memberikan
kontribusi terjadinya atelektasis, diantaranya adalah: Obstruksi saluran
pernapasan, kompresi jaringan parenkim paru pada bagian ekstratoraks,
intratoraks, maupun proses pada dinding dada , penyerapan udara dalam alveoli,
dan gangguan fungsi dan defisiensi surfaktan. Ketiga penyebab ini dapat
menjelaskan dasar fisiologis penyebab atelektasis.1
1) Atelektasis Resorpsi
Apabila aliran masuk udara ke dalam alveolus dihambat, udara yang
sedang berada di dalam alveolus akhirnya berdifusi keluar dan alveolus
akan kolaps.2

Gambar 7. Atelektasis Resorpsi. Terjadi akibat obstruksi total pada


saluran napas. Keadaan ini bersifat reversible jika obstruksi dihilangkan.3
2) Atelektasis Kompresi
Terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan
eksudat, darah, tumor,atau udara. Kondisi ini ditemukan pada
pneumotoraks, efusi pleura, atau tumor dalam toraks. Keadaan ini terjadi
ketika sumber dari luar alveolus menimpakan gaya yang cukup besar pada
alveolus sehingga alveolus menjadi kolaps.
Gambar 8. Atelektasis Kompresi. Terjadi ketika rongga pleura
mengembang karena cairan, atau karena udara. Keadaan ini bersifat
reversible jika udara dan cairan dihilangkan.3
3) Atelektasis Kontraksi
Terjadi akibat perubahan perubahan fibrotik jaringan parenkim paru
lokal atau menyeluruh, atau pada pleura yang menghambat ekspansi paru
secara sempura. Atelektasis kontraksi bersifat irreversible.3

Gambar 9. Atelektasis Kontraksi (sikatrisasi) terjadi ketika terdapat


fibrosis umum atau lokal yang menghambat ekspansi paru atau pleura dan
meningkatkan elastisitas recoil selama ekspirasi.3,6
4) Mikroatelektasis
Mikroatelektasis (atelektasis adhesive) adalah berkurangnya
ekspansi paru-paru yang disebabkan oleh rangkaian peristiwa kompleks
yang paling penting yaitu hilangnya surfaktan.
Gambar 10. Mikroatelektasis terjadi akibat gangguan pada fungsi dan
produksi surfaktan.
3. Manifestasi klinis
Gejala yang paling umum didapatkan pada atelektasis adalah sesak napas,
pengembangan dada yang tidak normal selama inspirasi, dan batuk. Gejala
gejala lainnya adalah demam, takikardi, adanya ronki, berkurangnya bunyi
pernapasan, pernapasan bronkial, dan sianosis. Jika kolaps paru terjadi secara
tiba-tiba, maka gejala yang paling penting didapatkan pada atelektasis adalah
sianosis. Jika obstruksi melibatkan bronkus utama, mengi dapat didengar, dapat
terjadi sianosis dan asfiksia, dapat terjadi penurunan mendadak pada tekanan
darah yang mengakibatkan syok. Jika terdapat sekret yang meningkat pada
alveolus dan disertai infeksi, maka gejala atelektasis yang didapatkan berupa
demam dan denyut nadi yang meningkat (takikardi). Pada pemeriksaan klinis
didapatkan tanda atelektasis pada inspeksi didapatkan berkurangnya gerakan
pada sisi yang sakit, bunyi nafas yang berkurang, pada palpasi ditemukan vokal
fremitus berkurang, trakea bergeser ke arah sisi yang sakit, pada perkusi
didapatkan redup dan auskustasi didapatkan penurunan suara pernapasan pada
satu sisi.1,2,3,4
Pada pasien ditemukan sesak napas, batuk, dan mengi. Pada pemeriksaan
palpasi ditemukan deviasi trakea ke arah kanan, perkusi didapatkan suara
redup pada dada kanan atas.
4. Diagnosis
Diagnosis atelektasis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang
didapatkan, serta pemeriksaan radiografi. Foto radiografi dada digunakan untuk
konfirmasi diagnosis. CT scan digunakan untuk memperlihatkan lokasi
obstruksi. Foto radiografi dada dilakukan dengan menggunakan proyeksi
anterior-posterior dan lateral untuk mengetahui lokasi dan distribusi atelektasis.
Sebagai dasar gambaran radiologi pada atelektasis adalah pengurangan volume
paru baik lobaris,segmental, atau seluruh paru, yang akibat berkurangnya aerasi
sehingga memberi bayangan yang lebih suram (densitas tinggi) dan pergeseran
fissura interlobaris. Tanda-tanda tidak langsung dari atelektasis adalah sebagian
besar dari upaya kompensasi pengurangan volume paru, yaitu : penarikan trakea
kearah atelektasis, elevasi hemidiafragma, sela iga menyempit, pergeseran hilus.
Adanya "Siluet" merupakan tanda memungkinkan adanya lobus atau segmen
dari paru-paru yang terlibat. 1,
Pada pasien didapatkan penarikan trakea kearah lesi yaitu ke kanan.
Gambaran radiologi juga menunjukkan pengurangan volume paru kanan atas.

C. TUBERKULOSIS PARU
1. Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi
kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang
efektif (Daniel, 1999).
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang
kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan
tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis
ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru
misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-
lain (Depkes RI, 2006).

2. Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan
di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu
lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian
tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes
RI, 2006).

3. Risiko penularan
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).

4. Patogenesis tuberkulosis
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke
alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil
berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan
radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di
sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon
daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman
persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari
seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan
(Depkes RI, 2006).

5. Diagnosis tuberkulosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologis.

Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau


tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah
batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan
yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada,
badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang
lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).

Pada pasien didapatkan batuk berdahak putih bercampur darah. Selain


itu pasien mengeluhkan sesak nafas terus menerus yang tidak dipengaruhi
perubahan posisi. Namun tidak didapatkan adanya trias TB, hanya penurunan
berat badan yang diakui oleh pasien.

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan


konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik
pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus
dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut
dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga
paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering
asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan
radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif
(Bahar, 2007).

b. Pemeriksaan radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang


praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini
lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB
milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi
TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi
masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa
bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila
lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat


dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun
pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-
bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam
bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas
maupun atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).

Pada pemeriksaan radiologis pasien didapatkan gambaran


atelektasis pada paru kanan atas. Pada apex paru kiri tidak didapatkan
adanya perselubungan.

D. PPOK
1. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2009).

2. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor
risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan
pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga
dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan
dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan
fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko
mendapatkan PPOK (Helmersen, 2002)

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi


tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada
perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita
PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok
pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada
perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada
orang muda yang bukan perokok.2 Hubungan antara rokok dengan PPOK
menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang
dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko
penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut
dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari
dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus
tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan
menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu
jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat
iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara
merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor
polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingka n asap rokok. Polusi
dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa
yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya.
Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK,
kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat
tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi
(Helmersen, 2002).

3. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan
pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat
penyakit.

a. Anamnesis

1) Ada faktor risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan),


dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara,
maupun polus i tempat kerja.

Pasien adalah seorang laki-laki berumur 70 tahun. Pasien juga


memiliki riwayat merokok sejak remaja.

2) Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan
respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap
sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik
adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan
pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya
berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, sesak napas
merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat
melakukan aktivitas.

Pasien memiliki keluhan sesak nafas yang sudah lama dirasakan


serta berlangsung terus-menerus.

b. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk


dada seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing
(seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu
napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan
adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus
melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi
memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003).

Pada inspeksi tidak didapatkan bentuk dada tong (Barrel chest) namun
terdapat ekspirasi yang memanjang. Pada pasien juga terdapat mengi saat
sesak nafas.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)


Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2009)
2) Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemuk an kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan
bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal
melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih
normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi
juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau
menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien (Global Initiative
for Chronic Obstructive Lung Disease, 2009.
Pemeriksaan radiologis pada pasien menunjukkan adanya
gambaran radiolusen pada lapang dada serta diafragma letak rendah.
3) Laboratorium darah rutin
4) Analisa gas darah
PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O 2 < 90% dengan atau tanpa
PaCO2 > 6,7 kPa (50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan,
mengindikasikan adanya gagal nafas.
PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30,
member kesan episode ang mengancam jiwa dan perlu monitor ketat
serta penanganan intensif (Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease, 2009).
5) Mikrobiologi sputum (PDPI. 2003).
E. TUMOR INTRACRANIAL
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu
makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan ganda,
strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak, dsb),
perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi kognitif.

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan mencakup pemeriksaan status


generalis dan lokalis, serta pemeriksaan neurooftalmologi. Kanker otak
melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras pengllihatan dan gerakan
bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa
kanker otak dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti
tumor regio sella, tumor regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis
kranii. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama
untuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak.
Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengevaluasi pre dan post tindakan
(operasi, radioterapi dan kemoterapi) pada tumor-tumor tersebut.

2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium terutama dilakukan untuk melihat keadaan
umum pasien dan kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi,
ataupun kemoterapi). Pemeriksaan yang perlu dilakukan, yaitu: darah lengkap,
hemostasis, LDH, fungsi hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C,
dan elektrolit lengkap.

Pemeriksaan radiologis yang perlu dilakukan antara lain CT scan dengan


kontras; MRI dengan kontras, MRS, dan DWI; serta PET CT (atas indikasi).
Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI dengan kontras. CT
scanberguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakkan
diagnosis dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada
tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih
jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial, namun mempunyai
keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan fungsional MRI seperti
MRS sangat baik untuk menentukan daerah nekrosis dengan tumor yang masih
viabel sehingga baik digunakan sebagai penuntun biopsi serta untuk
menyingkirkan diagnosis banding, demikian juga pemeriksaan DWI.
Pemeriksaan positron emission tomography (PET) dapat berguna pascaterapi
untuk membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat
radiasi.
Pasien mengalami mual akan tetapi tidak muntah, kejang dan penurunan
kesadaran namun tidak di lakukan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis.
F. CA NASOFARING
1. Pengertian
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul
pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung),
yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan
atau ultrastruktur.

2. Epidemiologi
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker
payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan GLOBOCAN 2012
87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus
baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan). 51.000
kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan)
KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria
dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60
tahun. Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara
yakni sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk.
Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara
dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk.

3. Faktor Risiko
1. Jenis Kelamin Wanita

2. Ras Asia dan Afrika Utara

3. Umur 30 – 50 tahun

4. Makanan yang diawetkan

5. Infeksi Virus Epstein-Barr

6. Riwayat keluarga.
7. Faktor Gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan Genetik

8. Merokok

9. Minum Alkohol

Pasien merupakan seorang laki-laki ras asia yang memiliki riwayat merokok
sejak muda. Walaupun demikian di keluarga pasien tidak ada yang memiliki
riwayat menderita kanker.

4. Diagnosis
1. Anamnesis

Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus,


otalgia, hidung tersumbat. Pada stadium lanjut dapat ditemukan benjolan
pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopia, dan neuralgia trigeminal (saraf
III, IV, V, VI).

Pada pasien ditemukan benjolan dileher sebelah kanan. Walaupun begitu tidak
ditemukan gejala lain seperti telinga terasa penuh, otalgia, hidung tersumbat,
dan diplopia

2. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.

Pemeriksaan nasofaring

o Rinoskopi posterior

o Nasofaringoskop ( fiber / rigid )

o Laringoskopi

Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)


digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker
nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-kasus dengan
dugaan residu dan residif.

3. Pemeriksaan Radiologik

a. CT Scan

Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus


frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital,
tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector 1-
2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk melihat tumor primer
dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah
bening regional.

b. USG abdomen

Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan


pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen
dengan kontras.

c. Foto Thoraks

Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya


kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.

4. Pemeriksaan Patologi Anatomik

H. LIMFADENOPATI
1. Definisi
Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan
ukuran lebih besar dari 1 cm. Kepustakaan lain mendefinisikan limfadenopati
sebagai abnormalitas ukuran atau karakter kelenjar getah bening. Terabanya
kelenjar getah
bening supraklavikula, iliak, atau poplitea dengan ukuran berapa pun dan
terabanya
kelenjar epitroklear dengan ukuran lebih besar dari 5 mm merupakan keadaan
abnormal.
Pada pasien terdapat massa didaerah coli dengan ukuran lebih besar dari 1 cm.

2. Diagnosis
Anamnesis
 Umur penderita dan lamanya limfadenopati
Kemungkinan penyebab keganasan sangat rendah pada anak dan meningkat
seiring
bertambahnya usia. Kelenjar getah bening teraba pada periode neonatal dan
sebagian besar anak sehat mempunyai kelenjar getah bening servikal, inguinal,
dan aksila yang teraba.
Pasien merupakan usia lanjut yang memiliki risiko keganasan yang tinggi.
 Pajanan
Anamnesis pajanan penting untuk menentukan penyebab limfadenopati. Pajanan
binatang dan gigitan serangga, penggunaan obat, kontak penderita infeksi dan
riwayat infeksi rekuren penting dalam evaluasi limfadenopati persisten.
 Gejala yang menyertai
Gejala konstitusi, seperti fatigue, malaise, dan demam, sering menyertai
limfadenopati servikal dan limfositosis atipikal pada sindrom mononukleosis.
Demam, keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10% dapat
merupakan gejala limfoma B symptom.

3. Pemeriksaan Fisik
• Karakter dan ukuran kelenjar getah
bening
Kelenjar getah bening yang keras dan tidak nyeri meningkatkan kemungkinan
penyebab keganasan atau penyakit granulomatosa. Limfoma Hodgkin tipe
sklerosa nodular mempunyai karakteristik terfiksasi dan terlokalisasi dengan
konsistensi kenyal. Limfadenopati karena virus mempunyai karakteristik
bilateral, dapat digerakkan, tidak nyeri, dan berbatas tegas. Limfadenopati
dengan konsistensi lunak dan nyeri biasanya disebabkan oleh inflamasi karena
infeksi.

Pada pasien teraba massa yang terfiksasi, terlokalisasi dengan konsistensi


kenyal serta nyeri.

G. Diagnosis Banding
No Gejala Atelekta Ca Ca TB PPOK Pasien
Klinis sis Paru Intrakranial Paru
1 Laki-laki + + + + + +
2 Usia > 35 + + + + + +
tahun
3 Merokok - + + - + +
4 Batuk + + - + - +
Berdahak
5 Batuk - + - - - +
berdarah
6 Sesak napas + + - + + +
7 Mengi - - - - + +
8 Ekspirasi - - - - + +
memanjang
7 Nyeri Dada - + - - - +
8 Suara parau - + - - - +
9 Penurunan - + + - - +
nafsu makan
10 Penurunan - + + + - +
berat badan
11 Mual - + + - - +
12 Nyeri leher - - - - - +
13 Nyeri telan - - - - - +
14 Kejang - - - - - +
15 Massa di - - - + - +
leher
16 Vena cava - + - - - +
superior
syndrome
17 Deviasi - + - + - +
trakea
18 Wheezing + - - - + +
19 Stridor + - - - - +
20 Radio - - - - - +
luscent
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien adalah seorang laki-laki usia 70 tahun dating ke RSUD Dr. Harjono
Ponorogo dengan keluhan sesak napas, sejak 4 bulan yang lalu dan memburuk 1
minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan saat beraktivitas
maupun saat beristirahat. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih
sejak 4 bulan yang lalu yang kadang disertai bercak darah, benjolan keras pada
lehernya yang terasa nyeri dan sudah ada sejak 10 tahun yang lalu, serta nyeri dada.
Pasien sudah pernah mengalami sesak 4 bulan yang lalu dan di rawat di RS.
Muhammadiyah selama 1 minggu dengan keluhan yang sama dan di berikan
pengobatan OAT yang sudah berjalan 3 bulan. Terdapat riwayat merokok (+) sejak
muda sebanyak 1 bungkus/ hari. Penurunan berat badan (+) sejak munculnya sesak
dan batuk tersebut sampai saat ini. Pasien mengeluhkan mual, suara serak serta
kesulitan saat. Terdapat edema pada lengan bawah kanan.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kelainan yang berupa:
1. Inspeksi : terdapat vena cava sup syndrome, pada leher kanan terdapat massa
2. Palpasi : Deviasi trachea dextra, Fremitus melemah pada dada kanan atas
3. Perkusi : Redup pada dada kanan atas
4. Auskultasi : vesikuler lemah di dada kanan, Stridor (+), wheezing (+)
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap, Hb 9,8 g/dL,
leukosit 8.800/mm3. Hasil dari kimia klinik Asam Urat 7.6 mg/dL, Gamma GT 114
U/L, Alkali Fosfatase 150 U/L. Hasil pembacaan foto thorax didapatkan
perselubungan pada lobus superior dextra berbatas tegas berbentuk segitiga apex ke
hillus.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa pasien menderita atelectasis pada apex pulmo
dextra et causa Ca paru dengan PPOK stabil.
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
Penunjang

1. Pasien laki-laki Vital Sign :


2. Usia 70 tahun DL : Tidak
3. Sesak nafas sejak 4 bulan - Tekanan Darah :140/80
Leukositosis
yang lalu dengan mengi, mmHg
terus menerus. - Denyut Nadi :
4. Batuk sejak 4 bulan yang 106x/menit
lalu disertai dengan dahak - Kecepatan Nafas : 24x/menit
putih dan kadang bercampur - Suhu : 36,70 C
darah berwarna merah segar - Saturasi Oksigen : 99
5. Nyeri dada sejak 4 bulan
yang lalu terus menerus dan Pemeriksaan Fisik Thorax :
diperberat saat batuk
6. Mual -Inspeksi  bentuk dada simetris,
7. Benjolan di leher sebelah ketertinggalan gerak (-), inspirasi
kanan sejak 10 tahun yang dan ekspirasi memanjang, benjolan
lalu, dari setahun lalu dileher kanan, terdapat vena cava
bertambah besar dan nyeri superior syndrome berupa venektasi
bila ditekan pada dinding dada sebelah kanan.
8. Merokok aktif dari remaja Terdapat edema pada lengan bawah
9. Suara serak kanan.
10. Penurunan berat badan -Palpasi  deviasi trakea ke kanan,
11. Penurunan nafsu makan ketertinggalan gerak (-), fremitus
12. Nyeri telan raba simetris, teraba benjolan keras
13. Nyeri pada benjolan di leher dileher kanan, pada perkusi
14. Bengkak pada tangan kanan didapatkan redup pada dada sebelah
15. Penurunan kesadaran kanan.
16. Kejang 2 hari sebelum -Auskultasi  terdapat suara
tambahan wheezing (+) dan stridor
meninggal
(+).

Planning :
Diagnosis Banding : 1. Xray thorax PA : Atelektasis Atelektasis ec
2. Darah Lengkap: Leukosit Ca Paru
1. Atelektasis (D) normal dengan
2. Ca Paru Dextra 3. Sputum BTA : negative PPOK stabil
3. TB Paru 4. Sitologi Sputum: -
4. Ca Intrakranial 5. Bronkoskopi: -
5. Ca Nasofaring 6. CT Scan : -
6. Limfadenopati 7. FNAB: -
8. MRI : -
DAFTAR PUSTAKA

Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam


and in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –7.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum
An International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 :
243 – 47.
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick & Adelbergh’s:
Mikrobiologi Kedokterans”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian
Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.
Buletin Jendela Menteri Kesehatan. 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut. http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/FINAL
%20DESIGN%20PEDOMAN%20PENGENDALIAN%20ISPA.pdf.
Diunduh pada 1 April 2017.
Chojnowski, D., 2003. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The
Nurse Practitioner. EBSCO Publishing 28 (5): 26-36.
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13
Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium
Tuberkulosis. Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
Fauci, et al,. 2009. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th Edition. By The Mc
Graw-Hill Companies In North America.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources.
Available from: http://www.goldcopd.org
Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2002. Risk Factors.
In: Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. London: BC Decker Inc, 33-44
Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan
Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
Laporan tahunan bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta tahun 2002.
PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
PDPI. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis
JAMA 1995 ; 273 : 220-26.
Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi
2. Jakarta: EGC, 410-460.
Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Available from :
http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263
World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for
National programmes. Geneva : 3-15
WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses
pada 1 April 2017 <http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-
indonesia/article/55/000100150017/2>

Anda mungkin juga menyukai