Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan


bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru-paru. Tujuan dan target pengendalian TB menjadi salah satu
indikator keberhasilan program MDGs (Millennium Develoment Goals) yang
harus dicapai oleh Indonesia. Walaupun banyak keberhasilan yang dicapai, namun
TB masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Kedepan, dengan mulai
meningkatnya kasus Multi Drug Resistant TB (TB-MDR) atau TB Paru resistan
ganda dan kasus koinfeksi TB-HIV, tantangan TB tidaklah menjadi semakin
ringan.
Berdasarkan laporan Global Resistensi Obat (GRO) TB tahun 2012,
Indonesia adalah negara dengan beban TB-MDR yang tinggi di dunia dengan
perkiraan kasus baru TB-MDR tahun 2011 mencapai 6.620 kasus dan Indonesia
menduduki rangking ke 9 dari 27 negara.
Multidrug-resistance (MDR) adalah tahap atau kondisi di mana
Micobacterium tuberculosis menjadi resisten minimal terhadap pemberian
rifampisin dan juga INH dengan atau tanpa OAT (Obat Anti TB) lainnya.
Rifampisin dan INH merupakan obat yang sangat penting dalam
pengobatan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-
Course). Adapun Extensive Drug-Resistance (XDR) merupakan TB-MDR dengan
kekebalan terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon dan sedikitnya salah
satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin). Untuk
pengelolaan pasien dengan TB resisten obat, digunakan strategi berupa
Programatic Management Drug Resistance Tuberculosis (PMDT), karena untuk
menanggulangi TB resisten obat diperlukan pendekatan yang menyeluruh dalam
pengelolaan pasien TB resisten obat.
UPAYA PENGENDALIAN TB

A. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci
keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan
strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu
pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat
ditanggulangi dengan baik. DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik
Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengawasan dilakukan oleh :


Penderita berobat jalan
1. Langsung di depan dokter
2. Petugas kesehatan
3. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
4. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

Penderita dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah
petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan
berobat jalan.

Tujuan :
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat
4. Mencegah resistensi

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai


harus diingat:
1. Tentukan seorang PMO
Berikan penjelasan kepada penderita bahwa harus ada seorang PMO dan
PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan
tentang DOT
2. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu penderita TB sampai sembuh
selama 6 bulan. PMO dapat berasal dari kader dasawisma, kader PPTI,
PKK, atau anggota keluarga yang disegani penderita
3. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik, memberikan pengawasan
kepada penderita dalam hal minum obat, mengingatkan penderita untuk
pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal, memberitahukan / mengantar
penderita untuk kontrol bila ada efek samping obat, bersedia antar jemput
OAT jika penderita tidak bisa datang ke RS /poliklinik
4. Petugas PPTI atau Petugas Sosial
Untuk pengaturan/penentuan PMO, dilakukan oleh PKMRS (Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit), oleh PERKESMAS (Perawatan
Kesehatan Masyarakat) atau PHN (Public Health Nurse), paramedis atau
petugas social
5. Petugas social
Ialah volunteer yang mau dan mampu bekerja sukarela, mau dilatih DOT.
Penunjukan oleh RS atau dibantu PPTI, jika mungkin diberi penghargaan
atau uang transport Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat
penting, penyuluhan dapat dilakukan secara:
 Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (penderita maupun keluarga)
dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat
dll
 Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok
penderita, kelompok keluarga penderita, masyarakat pengunjung
RS dll

Cara memberikan penyuluhan


a. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
b. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat
penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
c. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
d. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau
perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll).

DOTS PLUS
a. Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS
b. Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2
c. DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan
strategi DOTS
d. Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDRTB

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam


pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS
sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-
effective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi
efisiensi dan efektifitasnya.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB.
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program
dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB
partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang
mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu
menahan laju infeksi baru, mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak
ekonomi akibat TB dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Strategi dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-
komponenya yaitu:
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua
dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi
beresiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan
obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien
(patient-centred support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan
beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan
dan pencegahan TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan
pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan
kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib
lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta
pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk
mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode
intervensi dan strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan
merangsang inovasi-inovasi baru untuk mempercepat pengembangan
program pengendalian TB.
B. RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)
1. Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin
dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya Secara umum resistensi terhadap obat
tuberkulosis dibagi menjadi :
a. Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB
b. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
c. Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada penderita TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian
70%–90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. “WHO Report on
Tuberculosis Epidemic 1995” menyatakan bahwa resitensi ganda kini menyebar
di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh
kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis
khususnya rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat
antituberkulosis yang lainnya. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR.
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,
yaitu :
a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis
b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang
tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal
pengobatan, maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi
yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin
dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah
cukup tinggi
c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian
seterusnya.
d. Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan
dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka
“penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang nya
daftar obat yang resisten.
e. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat.
f. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
g. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan
kebosanan.
h. Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB.
i. Belum menggunakan strategi DOTS.
j. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru.

2. Kategori resistensi OAT


Kategori resistensi terhadap OAT dibagi dalam empat jenis yaitu:
1. Mono resisten: pasien mengalami resistensi terhadap OAT lini pertama.
2. Poli resisten: pasien resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
kecuali kombinasi INH dan Rifampisin.
3. Multi drug resistant (MDR): resisten terhadap sekurang-kurangnya INH dan
Rifampisin.
4. Extensively drug resistant (XDR): TB MDR ditambah resisten terhadap salah
satu obat golongan fluoroquinolon dan sekurangkurangnya salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (Kapreomisin, Kanamisin, dan Amikasin).

3. Suspek TB MDR
Pasien yang dicurigai TB-MDR adalah:
1. Kasus TB paru kronik: dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya dan
riwayat penyakit dahulu.
2. Pasien TB paru yang gagal pada pengobatan kategori 2.
3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti Kuinolon
dan Kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 1.
6. TB paru kasus kambuh.
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/pada pengobatan kategori 1 dan atau
kategori 2.
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB MDR
(Soepandi, 2010).

4. Diagnosis TB Resisten Obat


Pasien TB dengan resisten obat didiagnosis berdasarkan sebagai berikut:
1. TB resisten obat didiagnosis berdasarkan uji kepekaan M. tuberculosis, baik
secara metode konvensional dengan media padat atau cair maupun metode
cepat (rapid test).
2. Suspek TB resisten obat diambil dahaknya dua kali salah satunya dahak pagi
hari untuk keperluan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis
(Kemenkes, 2013).

5. Pengobatan TB MDR
1. Standar Pengobatan Berdasarkan standar 12 dari Internasional Standar for
Tuberculosis Care (ISTC) menyatakan :
a) Pasien TB atau kemungkinan menderita TB yang disebabkan oleh
resistensi obat (khususnya MDR/XDR) diobati dengan obat
antituberkulosis lini kedua.
b) Standarisasi panduan obat yang terpilih sesuai pola sensitivitas obat
berdasarkan dugaan atau yang sudah terbukti.
c) Dilakukan observasi pengobatan untuk memastikan kepatuhan
penggunaan obat.
d) Dilakukan konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB
(Uyainah, 2012).

6. OAT pada Pengobatan TB MDR


a) Golongan 1 merupakan jenis obat lini pertama yaitu Isoniazid, Rifampisin,
Etambutol, Pirazinamid dan Streptomisin.
b) Golongan 2 merupakan jenis obat suntik lini kedua yaitu Kanamisin,
Amikasin dan Kapreomisin.
c) Golongan 3 merupakan obat golongan Fluorokuinolon yaitu
Levofloksasin, Moksifloksasin dan Ofloksasin.
d) Golongan 4 merupakan jenis obat bakteriostatik lini kedua yaitu terdiri
dari Etionamid, Protionamid, Sikloserin, Terizidon dan Para amino
salisilat.
e) Golongan 5 merupakan jenis obat yang efikasinya belum terbukti dan
tidak direkomendasikan oleh WHO. Yang termasuk dalam golongan obat
ini adalah Clofazimin, Linezolid, Amoksisilin/Asam klavulanat,
Clarithromicin, dan Imipenem (Kemenkes, 2013).
f) Panduan Obat antituberkulosis pada pasien TB MDR di Indonesia
Panduan standar pada pengobatan TB MDR adalah (Km-Eto-Lfx-Cs-Z-
E/Eto-Lfx-Cs-Z-E). Panduan yang diberikan yaitu Km (Kanamisin), Eto
(Etionamid), Lfx (Levofloksasin), Cs (Sikloserin), Z (Pirazinamid) dan E
(Etambutol). Panduan tersebut diberikan sesuai dengan tahap-tahap
sebagai berikut: Panduan pengobatan ini diberikan pada pasien yang
secara laboratorium sudah terkonfirmasi TB MDR.
 Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua fase yaitu fase awal dan
fase lanjutan. Fase awal merupakan fase dimana pasien diberikan
suntikan selama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan. Jika hasil konversi biakan belum terjadi pada bulan
ke-8 maka pengobatan ini dinyatakan gagal. Sedangkan fase lanjutan
adalah tahap pemberian OAT tanpa suntikan setelah pengobatan pada
fase awal.
 Etambutol tidak diberikan pada pasien yang telah terbukti resisten atau
kemungkinan besar pada riwayat penggunaan sebelumnya terjadi
resistensi terhadap Etambutol. Panduan OAT akan disesuaikan dengan
panduan atau dosis pada:
 Panduan OAT akan disesuaikan pada pasien TB MDR yang
didiagnosis menggunakan Rapid test, setelah dikonfirmasi dengan
cara konvensional.
 Jika ada riwayat penggunaan salah satu obat yang dicurigai telah
terjadi resisten.
 Timbul efek samping yang berat pada penggunaan salah satu obat
yang sudah diketahui penyebabnya.
 Keadaan klinis yang semakin memburuk seperti batuk, produksi
dahak, demam, dan terjadi penurunan berat badan.
h) Jika telah terbukti terjadi resistensi terhadap Kanamisin maka panduan
standar berubah menjadi (Cm- Lfx –Eto-Cs -Z - E/ Lfx –Eto- Cs - Z-E),
dimana Km (Kanamisin) diganti dengan Cm (Kapreomisin)
i) Jika terjadi resisten terhadap Kuinolon, maka panduan standar disesuaikan
sebagai berikut (Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-E-/ Mfx-Eto-Cs- PAS-Z-E), Lfx
(Levofloksasin) diganti dengan Mfx (Moksifloksasin) atau jika
Moksifloksasin tidak tersedia dapat digunakan Levofloksasin dalam dosis
tinggi.
j) Perlu dilakukan penatalaksanaan khusus jika pasien terbukti resistensi
terhadap Kanamisin dan Kuinolon (TB XDR) atau pada pasien TB
MDR/HIV.
7. Pemberian Obat Antituberkulosis pada Pasien TB MDR
a) Pada tahap awal: obat diberikan secara peroral setiap hari, obat yang
diberikan dengan cara disuntikkan secara intra muskular pada pasien
diberikan selama lima hari selama 6 bulan.
b) Tahap lanjutan obat diberikan secara peroral selama enam hari dalam
seminggu selama 18 bulan.
c) Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan.
d) Obat yang diberikan secara peroral selama periode pengobatan tahap awal
dan lanjutan dilakukan dengan prinsip DOTS dengan PMO dianjurkan
adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan terlatih.
e) Penambahan Piridoksin (vitamin B6) dilakukan pada pasien yang
mendapatkan obat Sikloserin, untuk setiap 250 mg Sikloserin ditambahkan
Vitamin B6 sebanyak 50 mg.
f) Pirazinamid, Etambutol, dan Fluorokuinolon diberikan dalam dosis
g) tunggal berdasarkan pada sifat farmakokinetiknya, untuk mengurangi efek
samping Sikloserin, Etionamid, dan PAS diberikan dalam dosis terbagi.

8. Dosis OAT
a) Dosis OAT ditetapkan berdasarkan berat badan dan ditentukan oleh TAK.
b) Obat TB MDR disediakan oleh petugas farmasi fansyakes Rujukan TB
MDR diberikan dalam bentuk paket untuk satu bulan dimulai dari awal
pengobatan hingga akhir pengobatan sesuai dengan dosis yang ditentukan
oleh TAK.
c) Pasien yang melanjutkan pengobatan di fasyankes sub rujukan/satelit TB
MDR maka obat akan diambil oleh petugas setiap 3 bulan sesuai ketentuan
yang berlaku. Obat tidak diizinkan disimpan oleh pasien.
Berikut ini merupakan tabel tentang panduan dosis OAT berdasarkan berat
badan:

Tabel 1. Perhitungan dosis OAT pada pengobatan TB MDR


OAT Berat Badan (BB)
<33 kg 33-50 kg 51-71kg >70 kg
Pirazinamid 20-30 mg/kg/hari 750-1500 mg 1500-1750 mg 1750-2000 mg
Etambutol 20-30 mg/kg/hari 800-1200 mg 1200-1600 mg 1600-2000 mg
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Kapreomisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Levofloksasin 7,5-10 mg/kg/hari 750 mg 750 mg 750-1000 mg
Moksifloksasin 7,5-10 mg/kg/hari 400 mg 400 mg 400 mg
Sikloserin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
Etionamid 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
PAS 150 mg 8g 8g 8g
(Kemenkes, 2013).

9. Pengobatan TB MDR pada Keadaan Khusus


1) Pengobatan TB MDR pada Ibu Hamil
a) Pada pengobatan TB MDR kehamilan bukan merupakan
kontraindikasi, namun sampai sekarang belum diketahui keamanan
OAT lini kedua pada ibu hamil.
b) Obat yang diberikan secara injeksi pada ibu hamil tahap pertama
dihentikan sedangkan obat oral tetap dilanjutkan.
c) Jika terjadi morning sickness, maka obat diberikan pada siang hari.
2) Pengobatan TB MDR dengan Diabetes Mellitus
a) Efek samping OAT dapat diperkuat dengan adanya penyakit DM,
terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer.
b) Pengobatan TB MDR dengan penggunaan obat antidiabetes (OAD)
tidak kontraindikasi, namun memerlukan dosis obat antidiabetes yang
lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus. Jika pasien minum
etionamid maka kadar insulin dalam darah lebih sulit dikontrol, untuk
itu perlu konsultasi dengan ahli penyakit dalam.
c) Selama bulan pertama kadar kalium dan serum kreatinin harus di
pantau setiap minggu, dan dilanjutkan minimal satu bulan sekali
selama tahap awal.

3) Pengobatan TB MDR dengan Gangguan Ginjal


a) Pemberian OAT pada pasien TB MDR dengan gangguan ginjal harus
dilakukan dengan hati-hati, Pirazinamid dan Etambutol sebaiknya
tidak diberikan.
b) Selama bulan pertama kadar kalium dan serum kreatinin harus
dipantau setiap minggu, dan dilanjutkan minimal satu bulan sekali
selama tahap awal.

4) Pengobatan TB MDR dengan Gangguan Hati


a) OAT lini kedua ketoksikannya lebih rendah pada penderita gangguan
hati dibanding OAT lini pertama.
b) Pada penyakit hati kronis pengobatan TB MDR tidak boleh diberikan.
c) Pasien dengan riwayat gangguan hati lebih sering terjadi reaksi
hepatotoksik, sehingga perlu diawasi.
d) Pasien dengan penyakit hati kronis tidak boleh diberikan Pirazinamid
(Kemenkes, 2013).

10. Alur Pengadaan Obat MDR-TB

Program Dunia

Kemenkes Dinkes Propinsi Dinkes Kabupaten RS dan Puskesmas


11. Pengelolaan Obat
Obat di kelola oleh pemegang pengelola program MDR-TB di fasilitas
kesehatan baik Rumah Sakit maupun Puskesmas dan pengadaan juga tidak
digabungkan dengan pengadaan obat lain. Pemesanan obat MDR-TB melalui
online ke kemenkes RI berdasarkan metode konsumsi. Pendanaan melalui
program dunia Global Fund (GF)

12. Pelaporan
Pelaporan dilakukan setiap bulan melalui program secara online yang
terhubung langsung ke kemenkes RI.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014.


Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

Permenkes RI. 2016. Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Menteri Kesehatan


Republik IndonesiaPermenkes RI. 2016. Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia

WHO. 2017. Guidelines for treatment of drug-susceptible tuberculosis and patient


care. Ganeva: WHO Press.

Anda mungkin juga menyukai