Anda di halaman 1dari 2

Thinking Aloud

Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan kolega saya Lies Amin via milis jurusan kami, Bahasa dan Sastra
Inggris Unesa. Dari sekedar kangen-kangenan akhirnya berujung ke cerita saya tentang Adzra, putri saya yang
duduk di Prep Year di Moreland Primary School, Brunswick, Victoria, Australia. Seperti biasa, saya getol berkisah
tentang proses literasinya di sekolah dan di rumah.

Adzra punya writing project. Writing more and more each day, katanya. Beberapa hari yang lalu di saat baca cerita
sebelum tidur, dia malah buat cerita sendiri. Setelah bolak-balik tanya "how do you write this, how do you write
that...", ini hasil coretannya:

Once upon a time, a cat in a hat was moving to a new school. A cat in a hat was crying, because she was shy. The
end.

Di kertas lain, dia nulis kata-kata sambil ngomong sendiri: "I want to find words that rhyme with CAT." (Bergaya
mikir). Terus nulis HAT. BAT. RAT. MAT. Saya sempat amazed juga, di usia sekolah 5-6 tahun gitu sudah bisa
bicara tentang rhymes. Sementara saya baru tahu istilah itu semasa kuliah.

Adzra memang suka ngomong sendiri saat main sendirian atau coret-coret. Tentang 'making mistakes' misalnya,
sambil nulis-nulis dia omong. "Mommy, if I get it wrong, Ben said I just go on (Ben itu nama gurunya). It's okay. I
can fix it later." Kali lain, dia bilang, 'I learn from mistakes, mommy.' (Kayak omongan orang gede aja tuh)

Sekarang lagi belajar nulis lebih rapi, dengan huruf yang nempel di garis. Gitu ya sempat-sempatnya nulis sambil
bilang, 'mommy, are they touching the line?'

Prof. Lies Amin, yang pakar pembelajaran bahasa Inggris, memberi komentar bahwa yang dilakukan Adzra
adalah thinking aloud. Kalau ketemu Bu Raras, PhD, kolega kami di jurusan, bisa-bisa akan dijadikan subjek
penelitian untuk thinking aloud project. Bu Lies juga menambahkan bahwa di tahuan 2000an, thinking aloud jadi
trend metode penelitian.

Mikir sambil ngomong, melakukan sesuatu sambil mengucapkan apa yang sedang dilakukan. Itu kira-kira
gambaran thinking aloud. Istilah ini memang bukan pertama kalinya saya dengar. Tapi bahwa pernah menjadi
trend penelitian, saya baru tahu sekarang.

Selama ini, yang saya pahami tentang kebiasaan thinking aloud adalah bedanya peserta Who Wants to be a
Millionaire versi Indonesia dan Barat. Para peserta yang duduk di kursi panas di hadapan Tantowi Yahya biasanya
langsung menyebutkan pilihan jawabannya. Bila perlu waktu untuk mikir, maka layar TV akan nampak peserta
yang lagi mengerutkan dahi, manggut-manggut, atau mungkin kemudian minta opsi 'ask the audience.'

Sebaliknya, di versi Australia, saya lebih sering melihat bagaimana para peserta memverbalkan proses berpikirnya
ketika memilih opsi jawaban. Misalnya saja, untuk pertanyaan Who was the lead singer of the legendary rock band
Queen, A. Freddy Mercury, B. Mick Jagger C. Jack Nicholson D. Elton John, sang peserta bisa
mengatakan "Ehmm, I'm not really in to rock music. But I know that Mick Jagger is from The Rolling Stones, I
don't think Elton John is a rock singer, and Jack Nicholson is definitely not a singer. I'm a movie goer, by the way.
So, I'm gonna lock in A. Freddy Mercury."

Dari beberapa referensi yang saya temukan, Thinking aloud methodpada awalnya dipakai untuk penelitian yang
terkait dengan problem solving. Contoh kuis Who Wants to be a Millionaire di atas adalah contoh ringan
bagaimana proses pemecahan masalah lebih mudah dilakukan dengan thinking aloud. Dengan mengenali pola
seseorang memecahkan masalah dari thinking aloud itu, kita bisa mengajarkan cara yang lebih cepat untuk
memecahkan masalah kepada kelompok lebih besar (siswa misalnya). Bandingkan dengan bila proses berpikir
dibiarkan berputar-putar di otak a la kebatinan. Tidak bisa diprediksi tentunya.

Thinking aloud method ternyata dinilai efektif dalam pengembangan literasi, dan termasuk dalam salah satu
metode protokol. Dalam reading comprehension misalnya, siswa diamati saat membaca sebuah teks, dan berhenti
di tengah-tengah untuk memverbalkan pikirannya dan menunjukkan strategi yang digunakan untuk
mengkonstruksi makna. Thinking aloud juga bisa dipakai untuk menilai apakah seorang pembaca mengambil risiko
dalam memperolah informasi dari teks, memproses teks secara akurat, menggabungkan informasi untuk
mengkonstruksi makna, atau gagal membuat prediksi berdasarkan informasi baru. Dari sinilah perbaikan metode
pembelajaran reading bisa dilakukan.

Sama halnya dengan membaca, thinking aloud juga efektif membantu proses menulis. Ketika kita mendampingi
anak menulis dengan cara bertanya untuk memancing ide, itu sebenarnya bagian dari thinking aloud juga. Thinking
aloud method saat proses menulis sedang berlangsung juga menunjukkan bahwa sebuah tulisan yang bagus tidak
langsung jadi, namun melalui proses yang mungkin tidak beraturan di otak. Di situlah proses revisi memang
diperlukan.

Thinking aloud mungkin bisa dilatihkan pada orang-orang yang masih kesulitan menulis. Yang masih beralasan
tidak tahu apa yang harus ditulis. Saya tidak tahu orang-orang yang suka menulis juga menggunakan metode ini.
Saya sendiri tidak, terutama untuk tulisan bebas. Tapi saya jadi tertarik menggunakannya untuk memperlancar
proses menulis tesis. Setidaknya, thinking aloud sering tidak sadar saya lakukan, ketika saya ngomong sendiri
tentang garapan tesis pada saat memasak atau setrika. Sampai kadang Ganta menyadarkan saya, 'Ibu ngomong apa
e?".

Saya punya premis bahwa thinking aloud juga erat kaitannya dengan budaya. Pola asuh kebanyakan orang-tua di
Indonesia mungkin tidak terbiasa dengan celotehan anak ketika melakukan sesuatu. Bisa saja ketika seorang anak
dengan mengoceh saat membaca atau menulis atau bermain, orang-tuanya malah menyuruh dia untuk diam. Saya
pernah punya tetangga yang membentak anaknya, 'wis aja kakehan omong' ketika banyak tanya saat bermain di
rumah.

Akan halnya Adzra, nampaknya dia semakin terbiasa dengan model ini. Entah karena dilatih di sekolah, atau
karena saya sendiri banyak tanya saat dia baca dan nulis, atau karena lihat acara anak-anak di TV seperti Mister
Maker, atau gabungan dari semuanya. Acara ini menayangkan bagaimana Mister Maker bisa membuat berbagai
kerajinan tangan dari barang-barang bekas di rumah. Sambil tangan menggunting, melipat, dan menempel, Mister
Maker bicara terus, memverbalkan langkah-langkahnya dengan jenaka. Adzra akhirnya suka meniru, dan ingin
menjadi Miss Maker. Karena ketertarikan saya dengan thinking aloud method ini, maka saya rekamlah cara Adzra
memproses informasi di otaknya saat berlatih menjadi Miss Maker.

Anda mungkin juga menyukai