Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRESENTASI KASUS

“DIFTERI”

Oleh:
Mustika Anggiane Putri

Pembimbing:
Dr. Lola Purnama, SpA

MODUL KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan
atau mukosa1.

Etiologi
Corynebacterium diphteriae merupakan kuman gram-positif, tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spoa, mati pada pemanasan 600C, tahan dalam
keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade,
bentul L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh
secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung
K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,
sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa dan sukrosa.2
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphteriae yaitu tipe gravis, intermedius dan
mitis, namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan
mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphteriae . ciri
khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in
vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.2

Epidemiologi
Difteria tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata setelah
perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat penurunan
mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Di ruang perawatan penyakit menular bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus
difteria setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke tahun
tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus dengan angka
kematian 3,08%. Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah usia 15 tahun, meskipun
demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umurtergantung status
imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang
jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.
Angka kesakitan dan kematan tahun 1992-1996 di rumah sakit proinsi Jakarta, Semarang,
Bandung, Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi, seperti tertera pada
Tabel 1. 3

Tabel 1. Jumlah Kasus Difteria dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit Propinsi di
Indonesia
RSCM RSHS RSWS RSK RSU PMH
Tahun
Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%
1991 22 50,0 28 10,7 0 0 70 8,6 32 21,9
1992 25 32,0 26 7,7 12 0 34 5,9 19 26,3
1993 19 26,3 018 0 7 0 12 0 16 62,5
1994 16 18,8 12 0 10 10 8 0 13 46,2
1995 12 25,0 6 0 4 0 9 11,1 7 14,3
1996 7 28,6 3 0 1 0 11 0 14 42,9
Keterangan : RSCM = RS.Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta, *m = meninggal. RSHS=
RS.Dr.Hasan Sadikin, Bandung, RSWS = RS.Dr.Wahidin Sudiro Husodo, Ujung Pandang,
RSK = RS.Dr.Kariadi, Semarang, RSU PMH = RS.Dr.Muh.Husein, Palembang

Penularan
Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet
ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa merupakan wahana penularan.
Selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.1

Patogenesis dan Patofisiologi


Kuman C.diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk
polipedtida sesuai cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA A + dipeptida dari kedudukan A ke
kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation factor-2)
yang aktif. 1,3
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui
proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-
ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak
jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama
dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran jga terdiri dari sel radang, eritrosit dan
epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran
akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.1,3
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan edematous dapat menyumbat jalan nafas.
Gangguan pernafasan bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang
trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh dapat mengakibatkan kerusakan pada
setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisir apabila toksin telah
melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten
yang bervariasi sebelum timbul manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14
hari, manifestasi saraf umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang
mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan
jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan
sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis intertisial.
Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati
bisa disertai gejala hipoglikemi, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis
tubular akut pada ginjal. 1,3
Manifestasi Klinis
Tergantung dari berbagai faktor maka manifestasi penyakit ini dapat bervariasi dari
tanpa gejala sampai keadaan atau penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer
adalah imunitas pejamuterhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.diphteriae
(kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah
ada sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya datang
untuk berobat setelah beberapa hari menderita kelhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9oC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.

 Difteria Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir
atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi
toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.1,3,4

 Difteria Tonsil Faring


Gejala difteria tonsil faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membaran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum
molle atau kebawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan
menyebabkan perdarahan. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular,
bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,
timbul bull neck. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas
membran. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat
terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan
dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian dapat terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari
dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.1,3,4
 Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan dari difteria faring. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya
serap toksin yang rendah dibandingkan di faring sehingga gejala obstruksi saluran
nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring nafas berbunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikula. Bila terjadi penlepasan membran
yang menutupi jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,
membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi
sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran
gejala obstruksi dan toksemia. Pada pemeriksan, laring tampak kemerahan, sembab,
banyak sekret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran.1,3,4

 Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga


Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteria konjungtiva dan difteria telinga
merupakan tipe difteria yang tidak lazim. Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas
dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada
mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau.1,3,4

Diagnosis
Diagnosa difteria harus ditegakan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Secara klinik diagnosa dapat
ditegakkan dengan melihat adanya membran yang tipis berwarna keabu-abuan, mirip seperti
sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat (psudomembran). Cara yang akurat
adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan
seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C.diphteriae dengan pembiakan pada media
Loeffler dilanjutkan dengan tes toksigenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes
Elek).1,3,4
Diagnosis Banding
 Difteria Hidung
Penyakit yang menyerupai difteria hidung adalah rhinorrhea (common cold,
sinusitis, adenoitis), benda asing dalam hidung.3
 Difteria Faring
Harus dibedakan dengan tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh
Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis
folikularis atau lakunaris.3
Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tidak
terlihat terlampau lemah, faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih
kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil
saja.3
Pada infeksi tenggorok oleh mononukleosis infeksiosa terdapat kelainan ulkus
membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum.
Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.3

 Difteria Laring
Dapat menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain
yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam
laring. 3

 Difteria Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus.3

Pencegahan1,3,4
1. Pencegahan secara umum menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak
2. Isolasi penderita
Penderita difteria harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C.diphteriae 2 kali berturut-
turut.
3. Imunisasi
4. Pencarian dan kemudian menobati karier difteria. Dilakukan dengan uji schick,
yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat
imunisasi), maka harus dilakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan
C.diphteriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.

Pengobatan1,3,4
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C.diphteriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.
 Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.
 Khusus
1) Antitoksin : Anti Diphteriae Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini
bisa meningkat sampai 30%.

Tabel 2. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit


Tipe difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian
Difteria hidung 20.000
Intramuskular
Difteria tonsil 40.000
Intramuskular atau intravena
Difteria faring 40.000
Intramuskular atau intravena
Difteria laring 40.000
Intramuskular atau intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000
Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000 – 120.000
Intravena
Terlambat berobat (>72jam), 80.000 – 120.000
Intravena
lokasi dimana saja
Sumber : Krugman, 2004 dengan modifikasi

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 mL ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata
yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS
diberikan dengan caradesensitisasi (Bedreska). Bila uji hipersensitifitas tersebut
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 4.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%
dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitifitas lambat (serum sickness).

2) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-
100.000 IU/KgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitifitas penisilin
diberikan eritromisin 40 mg/KgBB/hari.

3) Kortikosteroid
Pada penggunaan kortikosteroid, belum terdapat persamaan pendapat
mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada
kasus difteria yang disertai gejala :
- Obstruksi saluran nafas bagian atas ( dapat disertai atau tidak bullneck )
- Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk
mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Prednison 2mg/KgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.
 Pengobatan Komplikasi
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
komplikasi yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeosomi.

 Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap
hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan pemeriksaan harian.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

 Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100mg/KgBB/hari oral atau suntikan.
Eritromisin 40 mg/KgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi atau adenoidektomi.

Tabel 3. Pengobatan Terhadap Kontak Difteria


Biakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah dapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : penisilin 100mg/KgBB/hari oral
atau suntikan. Eritromisin 40 mg/KgBB/hari selama
1 minggu.
(+) (+) penisilin 100mg/KgBB/hari oral atau suntikan.
Eritromisin 40 mg/KgBB/hari + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuai dengan
status imunisasi
Komplikasi1,3,4
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin, maka komplikasi dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan nafas, dampak
eksotoksin, terutama ke otot jantung, saraf dan ginjal, saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder
oleh bakteri lain.
a) Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibula dan servikal.

b) Dampak toksin, dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis
yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada
pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya penyulit
miokarditis ini terdai pada minggu ke-2, tetapi dapat terjadi lebih dini pada minggu
pertama atau lebih lambat pada minggu ke 6. Manifestasi miokarditis dapat berupa
takikardi, suara jantung redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Biasa juga
terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa segmen
ST elevasi, perpanjangan interval PR, dan heart block.
Komplikasi pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama
mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum
molle pada minggu ke 3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran
menelan. Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke 5, meskipun dapat
terjadi pada minggu ke 5 dan ke 7. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu
ke-4. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, angota gerak dan yang paling
berbahaya bila mengenai otot pernafasan.

c) Infeksi sekunder bakteri, setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini
sudah sangat jarang terjadi.

Tabel 4. Komplikasi pada difteria


RSCM RSHS RSK RSU PMH
Penyulit
Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%
Obstruksi 32 46,9 47 2,1 28 17,9 79 31,6
laring
Miokarditis 29 51,7 28 14,2 5 80 29 31,0
Paralisis 1 0 0 0 0 0 9 11,1
Keterangan : RSCM = RS.Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta, *m = meninggal.
RSHS= RS.Dr.Hasan Sadikin, Bandung, RSK = RS.Dr.Kariadi, Semarang, RSU
PMH = RS.Dr.Muh.Husein, Palembang, Data tahun 1991-1996

Imunitas
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Sedangkan
imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria.5

Prognosis1,3,4
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Di Indonesia pada daerah
yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1)obstruksi jalan nafas mendadak akibat oleh terlepasnya membran difteria, (2) adanya
miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus
nefrikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria,
pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
BAB II
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : An. AA
Umur : 2 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kebayoran lama, jakarta Selatan
Pendidikan : belum sekolah
Masuk IGD : 4 Desember 2009
Masuk Rawat inap : 5 Desember 2009

II. Identitas Orang Tua


AYAH IBU
Nama Bp. A Ny. H
Perkawinan ke 1 1
Umur 42 tahun 40 tahun
Pendidikan STM SMA
Agama Islam Islam
Pekerjaan Kuli bangunan Tukang cuci gosok

Alamat Kebayoran lama, Kebayoran lama,


Jakarta Selatan Jakarta Selatan
Penyakit - -

III. Anamnesis
 Keluhan utama : sesak yg semakin memberat sejak 1 hari SMRS
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Empat hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), pasien batuk pilek. Pilek
keluar ingus encer, warna bening. Batuk berdahak, warna kekuningan, namun jarang
bisa dikeluarkan. Tidak ada darah yang keluar dari hidung maupun saat batuk.
Batuk pilek disertai demam yang menurut orang tua tidak terlalu tinggi (orang
tua tidak mengukur suhu tubuhnya), demam tidak berbeda antara siang atau malam.
Pasien juga muntah ± 1-2 x/hr karena batuk. Keringat pada malam hari disangkal.
Penurunan berat badan disangkal. Pasien juga merasakan nyeri saat menelan, mulai
saat itu pasien diberikan bubur, dan masih mau makan sedikit-sedikit. Tidak ada diare.
Buang air kecil normal, warna jernih.
Satu hari SMRS, pasien mengeluh sesak yang semakin lama memberat. Sesak
tidak dipengaruhi aktivitas ataupun perubahan posisi tubuh. Terdengar bunyi ngik –
ngik saat menarik napas. Tiba-tiba suara menjadi serak dan menghilang dan pasien
tidak mau makan.
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Teman sepermainan pasien yang
tinggal 1 rumah meninggal 3 hari yang lalu karena penyakit serupa (batuk pilek, suara
serak dan kemudian meninggal).

 Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit asma tidak ada, alergi ( obat, makanan, debu, udara) tidak
ada, penyakit TB tidak ada.

 Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat penyakit asma tidak ada, alergi ( obat, makanan, debu, udara) tidak
ada, penyakit TB tidak ada. Teman sepermainan pasien yang tinggal 1 rumah
meninggal 3 hari yang lalu karena penyakit serupa (batuk pilek, suara serak dan
kemudian meninggal).

 Riwayat Kehamilan Ibu :


Sat mengandung ibu pasien rajin memeriksakan kehamilannya ke bidan.

 Riwayat Persalinan :
Pasien lahir spontan tunggal, disebuah klinik, ditolong oleh bidan dengan
masa gestasi 9 bulan 10 hari. Berat lahir 3100 gram dan panjang lahir 49 cm. Keadaan
bayi langsung menangis dan tidak ada kebiruan.

 Riwayat Imunisasi :
- BCG : 1x ( ibu tidak ingat waktu pemberian)
- DPT : (+), ibu tidak ingat berapa kali pemberian & waktunya.
- Polio : (+), ibu tidak ingat berapa kali pemberian & waktunya.
- Campak : belum diberikan
- Hepatitis B : (+), ibu tidak ingat berapa kali pemberian & waktunya.
 Riwayat Perkembangan
– Duduk : Umur 6 bulan
– Berdiri : Umur 12 bulan
– Berjalan : Umur 13 bulan
Kesimpulan riwayat perkembangan : Baik tidak ada keterlambatan psikomotor.

 Riwayat Makanan
– ASI : hingga 2 tahun
– 2 minggu setelah lahir  diberikan pisang
– Susu formula : usia 6 bulan hingga saat ini
– Sebelum sakit  Makan : sayur, telur, daging, tempe, ikan dan susu.
– Setelah sakit  bubur
Kuantitas : kurang
Kualitas : baik

IV. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan Umum : Tampak sakit berat
 Kesadaran : Compos Mentis
 Data Antropometri
Berat Badan : 12 kg
Tinggi Badan : 82 cm
BB/U : 12/12 x 100% = 100%
TB/U : 82/85 x 100% = 96,5%
BB/TB : 12/12 x 100% = 100%
Kesan status gizi : Gizi baik, perawakan normal.
 Tanda Vital
Pernafasan : 55 x/menit
Nadi : 120 x/menit, reguler, isi cukup
Suhu : 370 C
 Kepala : normocephal, deformitas (-)
 Mata : Conjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-,

 THT
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+), sekret +/+, warna putih
keabuan, darah (-)
Telinga : liang telinga lapang, sekret minimal
Tenggorokan : T2/T2, hiperemis, arkus faring hiperemis, membran
putih menutupi tonsil sampai dengan uvula & arkus
faring dan mudah berdarah saat diangkat.
Laring sulit dinilai ( pasien tidak kooperatif)
 Leher : tidak ada pembesaran KGB, bull neck (-)
 Thorak :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga ke 4 pada garis
midklavikula kiri.
Perkusi : tidak dapat dilakukan karena anak menangis
Auskultasi : BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris saat dinamis
Retraksi suprasternal (+), retraksi epigastrium (+),
retraksi intercostae (-)
Palpasi : Ekspansi dada simetris saat dinamis
Vokal fremitus tidak dapat dilakukan karena anak
tidak kooperatif.
Perkusi : tidak dapat dilakukan karena anak menangis
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
stridor inspirasi(+)
 Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, lemas, nyeri tekan (-), Bising Usus (+) Normal,
Hepar dan Limpa tidak teraba membesar.
Perkusi : timpani (+)
 Extr : akral hangat di keempat ekstremitas, edema tidak ada
di keempat ekstremitas, CRT<3”

V. Pemeriksaan Penunjang
- Darah Lengkap
- Analisis Gas darah
- Cek BT, CT, PT, APTT  persiapan trakeostomi
- Pewarnaan Gram
- Kultur C.diphteriae

VI. Diagnosis
- Tonsilofaringitis e.c susp. Difteri
- Laringitis e.c susp. Difteri
- Obstruksi jalan nafas gr.II
Diagnosis Banding
- Tonsilitis Folikularis
- Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa

VII. Penatalaksanaan
- ADS 40.000 unit (i.v) dalam 200 mL NaCl per infus (habis dalam waktu 1jam) 
skin test terlebih dahulu.
- PP 1 juta unit/hari (i.m)  selama 10 hari
- Dexametason 3x2 mg (i.v)
- Pertimbangkan Trakeostomi
- Konsul Spesialis THT dan Spesialis Anak
- Rawat ruang isolasi
- Istirahat total
- Makanan lunak 1200 kalori + ekstra susu
Anjuran Pemeriksaan :
- EKG 2x/minggu
- Periksa CK, CK-MB, SGOT, SGPT

VIII. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanasionam : bonam
Ad fungsionam : bonam
HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil (4-12-2009) Hasil (5-12-2009)

HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.8 – 15.6 g/dl 11.2 g/dl 11.1

Hematokrit 35-43% 35% 37


Leukosit 6.0-17.0 ribu/ul 18.1 ribu/ul 11.1

Trombosit 150-440 ribu/ul 474 ribu/ul 355

Eritrosit 3.60-5.20 juta/ul 4.80 juta/ul 4.85


LED 25.0
Masa perdarahan 1.0 – 3.0 - 2.0 menit
Masa pembekuan 2.0 – 6.0 - 4.3 menit
VER/HER/KHER/RDW
VER 73.0-101.0 fl 73.3 fl 75.9

HER 23.0-31.0 pg 23.3 pg 22.9

KHER 28.0-32.0 g/dl 31.8 g/dl 30.2


RDW 11.5-14.5% 14.5 % 14.1

HITUNG JENIS
Basofil 0-1% - 0%

Eosinofil 1-3% - 0%

Netrofil 50-70% 85% 80%


Limfosit 20-40% 13% 18%

Monosit 2-8% 2% 2%
Gula darah 60 – 100 mg/dl 138 mg/dl -
sewaktu
FUNGSI GINJAL
Ureum 20 – 40 mg / dl 20 mg/dl -
Creatinin 0.6 – 1.5 mg/dl 0.3 mg/dl -
ELEKTROLIT
Na 135 – 147 mmol/l 133 mmol/l -
K 3.10 – 5.10 mmol/l 3.89 mmol/l -
Cl 95 – 108 mmol/l 105mmol/l -
ANALISA GAS DARAH
PH 7.370 – 7.440 7.423 -
PCO2 35.0 – 45.0 19.9 -
PO2 83.0 – 108.0 142.1 -
BP - 754.0 -
HCO3 21.0 – 28.0 12.7 -
O2 sat 95.0 – 99.0 98.9 -
BE -2.5 – 2.5 -9.0 -
Total CO2 19.0 – 24.0 13.3 -
HEMOSTASIS
APTT 33.6 – 43.8 - 33.4
Kontrol APTT - - 32.5
PT 12.1 – 14.5 - 14.7
Kontrol PT - - 12.4

Tanggal 7 – 12- 2009

Pemeriksaan EKG 1 EKG 2


Irama Sinus Sinus
Laju QRS 120x/menit 120x/menit
Regularitas Regular Regular
Aksis Normal Normal
Interval PR 0.16 detik 0,12 detik
Gelombang
Normal Normal
P
Interval Interval
Kompleks
QRS 0,06 s, QRS 0,04 s,
QRS
Gel. Q (-) Gel. Q (-)
ST elevasi - -
ST depresi - -
T inverted - -
Kesan EKG : normal
Tanggal 8 – 12 – 2009

CK : 44 U/l ( ≤ 140 U/l)

CK-MB : 41 U/l (7-25 U/l)

Hasil Pewarnaan gram  bahan : swab tenggorok


Hasil : Ditemukan kuman gram (-) batang
Ditemukan kuman gram (+) coccus
Tanggal 10 – 12- 2009

Hasil kultur  sediaan : swab tenggorok

Pembiakan : Serratia marcescens


BAB III
ANILISIS KASUS dan PEMBAHASAN

Dari ilustrasi kasus diatas, merumuskan dari keterangan anamnesis dan hasil
pemeriksaan fisik yang didapatkan serta disesuaikan dengan teori yang ada, maka mengarah
pada suatu diagnosis yaitu tonsilofaringitis e.c susp. Difteri dan laringitis e.c susp. Difteri
namun tidak melupakan adanya diagnosis banding yang mungkin pada kasus ini. Lalu
kemudian direncanakan pemeriksaan penunjang untuk memastikan dan kemudian dilakukan
penatalaksanaan yang tepat.
Dari anamneis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan hal – hal yang mendukung ke arah
diagnosis tonsilofaringitis e.c difteri dan laringitis e.c susp. Difteri adalah :
1. Anamnesis
- Pasien datang dengan keluhan utama sesak yg semakin memberat sejak 1 hari SMRS
- 4 hari yang lalu pasien batuk pilek. Pilek keluar ingus encer, warna bening. Batuk
berdahak, warna kekuningan, namun jarang bisa dikeluarkan. Tidak ada darah yang
keluar dari hidung maupun saat batuk.
- Demam tidak terlalu tinggi, demam tidak berbeda antara siang atau malam.
- Nyeri saat menelan
- Satu hari SMRS, pasien mengeluh sesak yang semakin lama memberat. Sesak tidak
dipengaruhi aktivitas ataupun perubahan posisi tubuh. Terdengar bunyi ngik –ngik
saat menarik napas.
- suara menjadi serak dan menghilang dan pasien tidak mau makan.
- Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk.
- Teman sepermainan pasien yang tinggal 1 rumah meninggal 3 hari yang lalu karena
penyakit serupa (batuk pilek, suara serak dan kemudian meninggal).
- Riwayat Imunisasi DPT masih diragukan

2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat,
keadaran pasien compos mentis. Dari tanda vital dapat dilihat frekuensi pernafasan
pasien meningkat, yaitu 53 x/menit dimana normalnya pada usia 1 tahun sampai 2
tahun adalah 25-50x per menit 6. Frekuensi nadi 120 x/menit, reguler, isi cukup dan
suhu subfebris yaitu 370 C.
Dari pemeriksaan THT didapatkan :
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+), sekret +/+, warna putih
keabuan, darah (-)
Telinga : liang telinga lapang, sekret minimal
Tenggorokan : T2/T2, hiperemis, arkus faring hiperemis, membran
putih menutupi tonsil sampai dengan uvula & arkus
faring dan mudah berdarah saat diangkat.
Laring sulit dinilai ( pasien tidak kooperatif)
Leher : tidak ada pembesaran KGB, bull neck (-)
Dari pemeriksan dada didapatkan :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga ke 4 pada garis
midklavikula kiri.
Perkusi : tidak dapat dilakukan karena anak menangis
Auskultasi : BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris saat dinamis
Retraksi suprasternal (+), retraksi epigastrium (+),
retraksi intercostae (-)
Palpasi : Ekspansi dada simetris saat dinamis
Vokal fremitus tidak dapat dilakukan karena anak
tidak kooperatif.
Perkusi : tidak dapat dilakukan karena anak menangis
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
stridor inspirasi(+)

Seperti pada teori yang sudah dijelaskan diatas bahwa tanda khas dari difteria
adalah adanya pseudomembran ( selaput putih keabuan yang menutupi) dimana
mudah berdarah bila diangkat. Pada pemeriksaan fisik pun didapatkan tanda-tanda
sesak yaitu frekuensi nafas meningkat, adanya nafas cuping hidung dan retraksi pada
suprasternal dan epigastrium. Pada pasien ini terjadi obstruksi jalan nafas gr.II dimana
terlihat adanya retraksi suprasternal dan epigastrium dan adanya stridor inspirasi.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas diagnosis banding yang mungkin
adalah Tonsilitis Folikularis dan Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa
dimana dari gejala keduanya pun dapat menyebabkan gejala – gejala seperti
diatas.
Pada tonsilitis folikularis biasanya disertai panas yang tinggi dan anak tampak
tidak terlampau lemah, sedangkan pada difteria panas tidak terlalu tinggi namun
anak tampak sangat lemah. Pada tonsilitis folikularis tampak faring dan tonsil
hiperemis dengan menbran putih kekuningan, rapuh dan lembek,tidak mudah
berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja. Sedangkan pada infeksi tenggorok
oleh mononukleosus infeksiosa terdapat kelaianan ulkus membranosa yang juga
tidak mudah berdarahdan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas dalam
penyakit ini terdapat peningkatan dalam darah tepi.
Untuk memastikan diagnosis maka dibutuhkan pemeriksaan penunjang, pada
kasus ini pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan darah
lengkap, pewarnaan gram dan kultur C.diphteriae. Sedangkan analisis gas darah,
untuk mengevaluasi keadaan sesak pasien dan pemeriksaan BT, CT, PT, APTT
untuk persiapan trakeostomi jika obstruksi jalan nafas semakin memberat.
Diagnosis difteri dibuat dengan ditemukannya C.diphteriae pada preparat
langsung atau biakan. Namun untuk pengobatan tidaklah dibenarkan menunggu
hasil pemeriksaan preparat langsung atau pun biakan, tetapi bila secara klinis
terdapat persangkaan yang kuat adanya difteri, maka penderita harus diobati
sebagai penderita difteri.
Maka pada kasus ini penatalaksanaan nya adalah :
- ADS 40.000 unit (i.v) dalam 200 mL NaCl per infus (dalam waktu 1-
2jam), namun sebelumnya dilakukan skin test terlebih dahulu.
- PP 1 juta unit/hari (i.m)  selama 10 hari
- Dexametason 3x2 mg (i.v)
- Pertimbangkan trakeostomi
- Konsul Spesialis THT dan Spesialis Anak
- Rawat ruang isolasi
- Istirahat total
- Makanan lunak 1200 kalori + ekstra susu
Pada kasus difteri perlu dilakukan pemeriksaan anjuran EKG dan pemeriksaan CK,
CK-MB, SGOT, SGPT untuk menilai apakah adanya komplikasi kearah miokarditis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition. Vol 2.


Saunders. 2004.
2. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Difteria. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.Jakarta. 2008. hal 312-21.
3. Matondang, CS. Wahidiyat, I. Sastroasmoro, S.Diagnosis Fisis Pada Anak.Edisi ke-
2.CV Sagung Seto. Jakarta. 2003.
4. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Difteri.
Jakarta. Agustus 2007.
5. Ranuh,IGN. Suyitno,H. Hadinegoro,SRS. Kartasasmita,CB. Ismoedijanto.
Soedjatmiko. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-3. Satgas Imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008.hal 143-56.
6. Matondang, CS. Wahidiyat, I. Sastroasmoro, S.Diagnosis Fisis Pada Anak.Edisi ke-
2.CV Sagung Seto. Jakarta. 2003.

Anda mungkin juga menyukai