Preskas Infeksi Tropik (Difteri) Mustika
Preskas Infeksi Tropik (Difteri) Mustika
“DIFTERI”
Oleh:
Mustika Anggiane Putri
Pembimbing:
Dr. Lola Purnama, SpA
Definisi
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan
atau mukosa1.
Etiologi
Corynebacterium diphteriae merupakan kuman gram-positif, tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spoa, mati pada pemanasan 600C, tahan dalam
keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade,
bentul L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh
secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung
K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,
sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa dan sukrosa.2
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphteriae yaitu tipe gravis, intermedius dan
mitis, namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan
mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphteriae . ciri
khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in
vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.2
Epidemiologi
Difteria tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata setelah
perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat penurunan
mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Di ruang perawatan penyakit menular bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus
difteria setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke tahun
tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus dengan angka
kematian 3,08%. Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah usia 15 tahun, meskipun
demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umurtergantung status
imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang
jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.
Angka kesakitan dan kematan tahun 1992-1996 di rumah sakit proinsi Jakarta, Semarang,
Bandung, Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi, seperti tertera pada
Tabel 1. 3
Tabel 1. Jumlah Kasus Difteria dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit Propinsi di
Indonesia
RSCM RSHS RSWS RSK RSU PMH
Tahun
Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%
1991 22 50,0 28 10,7 0 0 70 8,6 32 21,9
1992 25 32,0 26 7,7 12 0 34 5,9 19 26,3
1993 19 26,3 018 0 7 0 12 0 16 62,5
1994 16 18,8 12 0 10 10 8 0 13 46,2
1995 12 25,0 6 0 4 0 9 11,1 7 14,3
1996 7 28,6 3 0 1 0 11 0 14 42,9
Keterangan : RSCM = RS.Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta, *m = meninggal. RSHS=
RS.Dr.Hasan Sadikin, Bandung, RSWS = RS.Dr.Wahidin Sudiro Husodo, Ujung Pandang,
RSK = RS.Dr.Kariadi, Semarang, RSU PMH = RS.Dr.Muh.Husein, Palembang
Penularan
Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet
ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa merupakan wahana penularan.
Selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.1
Difteria Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir
atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi
toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.1,3,4
Diagnosis
Diagnosa difteria harus ditegakan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Secara klinik diagnosa dapat
ditegakkan dengan melihat adanya membran yang tipis berwarna keabu-abuan, mirip seperti
sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat (psudomembran). Cara yang akurat
adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan
seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C.diphteriae dengan pembiakan pada media
Loeffler dilanjutkan dengan tes toksigenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes
Elek).1,3,4
Diagnosis Banding
Difteria Hidung
Penyakit yang menyerupai difteria hidung adalah rhinorrhea (common cold,
sinusitis, adenoitis), benda asing dalam hidung.3
Difteria Faring
Harus dibedakan dengan tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh
Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis
folikularis atau lakunaris.3
Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tidak
terlihat terlampau lemah, faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih
kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil
saja.3
Pada infeksi tenggorok oleh mononukleosis infeksiosa terdapat kelainan ulkus
membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum.
Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.3
Difteria Laring
Dapat menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain
yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam
laring. 3
Difteria Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus.3
Pencegahan1,3,4
1. Pencegahan secara umum menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak
2. Isolasi penderita
Penderita difteria harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C.diphteriae 2 kali berturut-
turut.
3. Imunisasi
4. Pencarian dan kemudian menobati karier difteria. Dilakukan dengan uji schick,
yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat
imunisasi), maka harus dilakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan
C.diphteriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
Pengobatan1,3,4
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C.diphteriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.
Khusus
1) Antitoksin : Anti Diphteriae Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini
bisa meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 mL ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata
yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS
diberikan dengan caradesensitisasi (Bedreska). Bila uji hipersensitifitas tersebut
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 4.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%
dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitifitas lambat (serum sickness).
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-
100.000 IU/KgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitifitas penisilin
diberikan eritromisin 40 mg/KgBB/hari.
3) Kortikosteroid
Pada penggunaan kortikosteroid, belum terdapat persamaan pendapat
mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada
kasus difteria yang disertai gejala :
- Obstruksi saluran nafas bagian atas ( dapat disertai atau tidak bullneck )
- Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk
mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Prednison 2mg/KgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.
Pengobatan Komplikasi
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
komplikasi yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeosomi.
Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap
hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan pemeriksaan harian.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100mg/KgBB/hari oral atau suntikan.
Eritromisin 40 mg/KgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi atau adenoidektomi.
b) Dampak toksin, dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis
yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada
pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya penyulit
miokarditis ini terdai pada minggu ke-2, tetapi dapat terjadi lebih dini pada minggu
pertama atau lebih lambat pada minggu ke 6. Manifestasi miokarditis dapat berupa
takikardi, suara jantung redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Biasa juga
terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa segmen
ST elevasi, perpanjangan interval PR, dan heart block.
Komplikasi pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama
mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum
molle pada minggu ke 3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran
menelan. Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke 5, meskipun dapat
terjadi pada minggu ke 5 dan ke 7. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu
ke-4. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, angota gerak dan yang paling
berbahaya bila mengenai otot pernafasan.
c) Infeksi sekunder bakteri, setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini
sudah sangat jarang terjadi.
Imunitas
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Sedangkan
imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria.5
Prognosis1,3,4
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Di Indonesia pada daerah
yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1)obstruksi jalan nafas mendadak akibat oleh terlepasnya membran difteria, (2) adanya
miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus
nefrikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria,
pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
BAB II
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : An. AA
Umur : 2 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kebayoran lama, jakarta Selatan
Pendidikan : belum sekolah
Masuk IGD : 4 Desember 2009
Masuk Rawat inap : 5 Desember 2009
III. Anamnesis
Keluhan utama : sesak yg semakin memberat sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Empat hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), pasien batuk pilek. Pilek
keluar ingus encer, warna bening. Batuk berdahak, warna kekuningan, namun jarang
bisa dikeluarkan. Tidak ada darah yang keluar dari hidung maupun saat batuk.
Batuk pilek disertai demam yang menurut orang tua tidak terlalu tinggi (orang
tua tidak mengukur suhu tubuhnya), demam tidak berbeda antara siang atau malam.
Pasien juga muntah ± 1-2 x/hr karena batuk. Keringat pada malam hari disangkal.
Penurunan berat badan disangkal. Pasien juga merasakan nyeri saat menelan, mulai
saat itu pasien diberikan bubur, dan masih mau makan sedikit-sedikit. Tidak ada diare.
Buang air kecil normal, warna jernih.
Satu hari SMRS, pasien mengeluh sesak yang semakin lama memberat. Sesak
tidak dipengaruhi aktivitas ataupun perubahan posisi tubuh. Terdengar bunyi ngik –
ngik saat menarik napas. Tiba-tiba suara menjadi serak dan menghilang dan pasien
tidak mau makan.
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Teman sepermainan pasien yang
tinggal 1 rumah meninggal 3 hari yang lalu karena penyakit serupa (batuk pilek, suara
serak dan kemudian meninggal).
Riwayat Persalinan :
Pasien lahir spontan tunggal, disebuah klinik, ditolong oleh bidan dengan
masa gestasi 9 bulan 10 hari. Berat lahir 3100 gram dan panjang lahir 49 cm. Keadaan
bayi langsung menangis dan tidak ada kebiruan.
Riwayat Imunisasi :
- BCG : 1x ( ibu tidak ingat waktu pemberian)
- DPT : (+), ibu tidak ingat berapa kali pemberian & waktunya.
- Polio : (+), ibu tidak ingat berapa kali pemberian & waktunya.
- Campak : belum diberikan
- Hepatitis B : (+), ibu tidak ingat berapa kali pemberian & waktunya.
Riwayat Perkembangan
– Duduk : Umur 6 bulan
– Berdiri : Umur 12 bulan
– Berjalan : Umur 13 bulan
Kesimpulan riwayat perkembangan : Baik tidak ada keterlambatan psikomotor.
Riwayat Makanan
– ASI : hingga 2 tahun
– 2 minggu setelah lahir diberikan pisang
– Susu formula : usia 6 bulan hingga saat ini
– Sebelum sakit Makan : sayur, telur, daging, tempe, ikan dan susu.
– Setelah sakit bubur
Kuantitas : kurang
Kualitas : baik
THT
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+), sekret +/+, warna putih
keabuan, darah (-)
Telinga : liang telinga lapang, sekret minimal
Tenggorokan : T2/T2, hiperemis, arkus faring hiperemis, membran
putih menutupi tonsil sampai dengan uvula & arkus
faring dan mudah berdarah saat diangkat.
Laring sulit dinilai ( pasien tidak kooperatif)
Leher : tidak ada pembesaran KGB, bull neck (-)
Thorak :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga ke 4 pada garis
midklavikula kiri.
Perkusi : tidak dapat dilakukan karena anak menangis
Auskultasi : BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris saat dinamis
Retraksi suprasternal (+), retraksi epigastrium (+),
retraksi intercostae (-)
Palpasi : Ekspansi dada simetris saat dinamis
Vokal fremitus tidak dapat dilakukan karena anak
tidak kooperatif.
Perkusi : tidak dapat dilakukan karena anak menangis
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
stridor inspirasi(+)
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, lemas, nyeri tekan (-), Bising Usus (+) Normal,
Hepar dan Limpa tidak teraba membesar.
Perkusi : timpani (+)
Extr : akral hangat di keempat ekstremitas, edema tidak ada
di keempat ekstremitas, CRT<3”
V. Pemeriksaan Penunjang
- Darah Lengkap
- Analisis Gas darah
- Cek BT, CT, PT, APTT persiapan trakeostomi
- Pewarnaan Gram
- Kultur C.diphteriae
VI. Diagnosis
- Tonsilofaringitis e.c susp. Difteri
- Laringitis e.c susp. Difteri
- Obstruksi jalan nafas gr.II
Diagnosis Banding
- Tonsilitis Folikularis
- Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa
VII. Penatalaksanaan
- ADS 40.000 unit (i.v) dalam 200 mL NaCl per infus (habis dalam waktu 1jam)
skin test terlebih dahulu.
- PP 1 juta unit/hari (i.m) selama 10 hari
- Dexametason 3x2 mg (i.v)
- Pertimbangkan Trakeostomi
- Konsul Spesialis THT dan Spesialis Anak
- Rawat ruang isolasi
- Istirahat total
- Makanan lunak 1200 kalori + ekstra susu
Anjuran Pemeriksaan :
- EKG 2x/minggu
- Periksa CK, CK-MB, SGOT, SGPT
VIII. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanasionam : bonam
Ad fungsionam : bonam
HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.8 – 15.6 g/dl 11.2 g/dl 11.1
HITUNG JENIS
Basofil 0-1% - 0%
Eosinofil 1-3% - 0%
Monosit 2-8% 2% 2%
Gula darah 60 – 100 mg/dl 138 mg/dl -
sewaktu
FUNGSI GINJAL
Ureum 20 – 40 mg / dl 20 mg/dl -
Creatinin 0.6 – 1.5 mg/dl 0.3 mg/dl -
ELEKTROLIT
Na 135 – 147 mmol/l 133 mmol/l -
K 3.10 – 5.10 mmol/l 3.89 mmol/l -
Cl 95 – 108 mmol/l 105mmol/l -
ANALISA GAS DARAH
PH 7.370 – 7.440 7.423 -
PCO2 35.0 – 45.0 19.9 -
PO2 83.0 – 108.0 142.1 -
BP - 754.0 -
HCO3 21.0 – 28.0 12.7 -
O2 sat 95.0 – 99.0 98.9 -
BE -2.5 – 2.5 -9.0 -
Total CO2 19.0 – 24.0 13.3 -
HEMOSTASIS
APTT 33.6 – 43.8 - 33.4
Kontrol APTT - - 32.5
PT 12.1 – 14.5 - 14.7
Kontrol PT - - 12.4
Dari ilustrasi kasus diatas, merumuskan dari keterangan anamnesis dan hasil
pemeriksaan fisik yang didapatkan serta disesuaikan dengan teori yang ada, maka mengarah
pada suatu diagnosis yaitu tonsilofaringitis e.c susp. Difteri dan laringitis e.c susp. Difteri
namun tidak melupakan adanya diagnosis banding yang mungkin pada kasus ini. Lalu
kemudian direncanakan pemeriksaan penunjang untuk memastikan dan kemudian dilakukan
penatalaksanaan yang tepat.
Dari anamneis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan hal – hal yang mendukung ke arah
diagnosis tonsilofaringitis e.c difteri dan laringitis e.c susp. Difteri adalah :
1. Anamnesis
- Pasien datang dengan keluhan utama sesak yg semakin memberat sejak 1 hari SMRS
- 4 hari yang lalu pasien batuk pilek. Pilek keluar ingus encer, warna bening. Batuk
berdahak, warna kekuningan, namun jarang bisa dikeluarkan. Tidak ada darah yang
keluar dari hidung maupun saat batuk.
- Demam tidak terlalu tinggi, demam tidak berbeda antara siang atau malam.
- Nyeri saat menelan
- Satu hari SMRS, pasien mengeluh sesak yang semakin lama memberat. Sesak tidak
dipengaruhi aktivitas ataupun perubahan posisi tubuh. Terdengar bunyi ngik –ngik
saat menarik napas.
- suara menjadi serak dan menghilang dan pasien tidak mau makan.
- Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk.
- Teman sepermainan pasien yang tinggal 1 rumah meninggal 3 hari yang lalu karena
penyakit serupa (batuk pilek, suara serak dan kemudian meninggal).
- Riwayat Imunisasi DPT masih diragukan
2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat,
keadaran pasien compos mentis. Dari tanda vital dapat dilihat frekuensi pernafasan
pasien meningkat, yaitu 53 x/menit dimana normalnya pada usia 1 tahun sampai 2
tahun adalah 25-50x per menit 6. Frekuensi nadi 120 x/menit, reguler, isi cukup dan
suhu subfebris yaitu 370 C.
Dari pemeriksaan THT didapatkan :
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+), sekret +/+, warna putih
keabuan, darah (-)
Telinga : liang telinga lapang, sekret minimal
Tenggorokan : T2/T2, hiperemis, arkus faring hiperemis, membran
putih menutupi tonsil sampai dengan uvula & arkus
faring dan mudah berdarah saat diangkat.
Laring sulit dinilai ( pasien tidak kooperatif)
Leher : tidak ada pembesaran KGB, bull neck (-)
Dari pemeriksan dada didapatkan :
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga ke 4 pada garis
midklavikula kiri.
Perkusi : tidak dapat dilakukan karena anak menangis
Auskultasi : BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris saat dinamis
Retraksi suprasternal (+), retraksi epigastrium (+),
retraksi intercostae (-)
Palpasi : Ekspansi dada simetris saat dinamis
Vokal fremitus tidak dapat dilakukan karena anak
tidak kooperatif.
Perkusi : tidak dapat dilakukan karena anak menangis
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
stridor inspirasi(+)
Seperti pada teori yang sudah dijelaskan diatas bahwa tanda khas dari difteria
adalah adanya pseudomembran ( selaput putih keabuan yang menutupi) dimana
mudah berdarah bila diangkat. Pada pemeriksaan fisik pun didapatkan tanda-tanda
sesak yaitu frekuensi nafas meningkat, adanya nafas cuping hidung dan retraksi pada
suprasternal dan epigastrium. Pada pasien ini terjadi obstruksi jalan nafas gr.II dimana
terlihat adanya retraksi suprasternal dan epigastrium dan adanya stridor inspirasi.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas diagnosis banding yang mungkin
adalah Tonsilitis Folikularis dan Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa
dimana dari gejala keduanya pun dapat menyebabkan gejala – gejala seperti
diatas.
Pada tonsilitis folikularis biasanya disertai panas yang tinggi dan anak tampak
tidak terlampau lemah, sedangkan pada difteria panas tidak terlalu tinggi namun
anak tampak sangat lemah. Pada tonsilitis folikularis tampak faring dan tonsil
hiperemis dengan menbran putih kekuningan, rapuh dan lembek,tidak mudah
berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja. Sedangkan pada infeksi tenggorok
oleh mononukleosus infeksiosa terdapat kelaianan ulkus membranosa yang juga
tidak mudah berdarahdan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas dalam
penyakit ini terdapat peningkatan dalam darah tepi.
Untuk memastikan diagnosis maka dibutuhkan pemeriksaan penunjang, pada
kasus ini pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan darah
lengkap, pewarnaan gram dan kultur C.diphteriae. Sedangkan analisis gas darah,
untuk mengevaluasi keadaan sesak pasien dan pemeriksaan BT, CT, PT, APTT
untuk persiapan trakeostomi jika obstruksi jalan nafas semakin memberat.
Diagnosis difteri dibuat dengan ditemukannya C.diphteriae pada preparat
langsung atau biakan. Namun untuk pengobatan tidaklah dibenarkan menunggu
hasil pemeriksaan preparat langsung atau pun biakan, tetapi bila secara klinis
terdapat persangkaan yang kuat adanya difteri, maka penderita harus diobati
sebagai penderita difteri.
Maka pada kasus ini penatalaksanaan nya adalah :
- ADS 40.000 unit (i.v) dalam 200 mL NaCl per infus (dalam waktu 1-
2jam), namun sebelumnya dilakukan skin test terlebih dahulu.
- PP 1 juta unit/hari (i.m) selama 10 hari
- Dexametason 3x2 mg (i.v)
- Pertimbangkan trakeostomi
- Konsul Spesialis THT dan Spesialis Anak
- Rawat ruang isolasi
- Istirahat total
- Makanan lunak 1200 kalori + ekstra susu
Pada kasus difteri perlu dilakukan pemeriksaan anjuran EKG dan pemeriksaan CK,
CK-MB, SGOT, SGPT untuk menilai apakah adanya komplikasi kearah miokarditis.
DAFTAR PUSTAKA