Anda di halaman 1dari 5

https://historia.

id/politik/articles/papua-dan-ambisi-presiden-pertama-P3q1X

Papua dan Ambisi Presiden


Pertama
Bagi Sukarno, Indonesia tanpa Papua sama seperti tubuh tanpa ujung jemari.
Martin Sitompul

22 Juli 2018

Hanya selebar daun kelor. Begitulah Bung Karno memandang


wilayah Papua bila dibandingkan dengan kepulauan Indonesia yang
lain. Meski demikian, presiden pertama RI itu tetap berkeyakinan
bahwa setengah dari kepulauan ujung timur Nusantara tersebut
adalah bagian dari negeri Indonesia. Saat itu, di kalangan Indonesia,
Papua masih bernama Irian Barat. Di Belanda disebut Nederland
Nieuw Guinea.

“Akan tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami,” kata
Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam otobiografi Sukarno:
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Apakah seseorang akan
membiarkan salah satu anggota tubuhnya dipotong begitu saja tanpa
membalas sedikitpun? Apakah orang tidak akan berteriak kesakitan,
apabila dipotong ujung jarinya sekalipun hanya sedikit?”

Klaim Sukarno bukannya tanpa dasar. Sejak zaman kolonial, Papua


merupakan bagian dari Hindia Belanda yang dalam pengakuan
kedaulatan akan menjadi bagian Republik Indonesia Serikat. Tapi
Belanda bersikap bengal. Dalam perundingan Konferensi Meja
Bundar (KMB) akhir 1949, Pemerintah Belanda menolak
menyerahkan wilayah itu. Alasannya, secara etnis dan kebudayaan,
rakyat Irian Barat berbeda dari Indonesia. Sehingga tak ada alasan
bagi Indonesia mengklaim Papua. (Baca juga: Demi Pengakuan
Kedaulatan dan Silang Pendapat tentang Irian Barat)

“Mengapa tidak?” tanya Sukarno. “Apakah mereka (rakyat Papua)


lebih mirip dengan orang Belanda yang berpipi merah, berambut
jagung dan dengan muka berbintik-bintik itu?”

Pusat Sengketa

Dalam amatan Sukarno, Papua adalah daerah yang sangat


terbelakang. Alamnya berupa hutan lebat dengan gunung-gunung
pencakar langit dan rawa yang luas. Menurut Sukarno, Papua tak
banyak faedahnya bagi Belanda.

Keuntungan yang diperoleh Belanda dari tambang minyak bumi


belum sebanding dengan biaya untuk mengolahnya. Pengeluaran
khusus juga harus dialokasikan untuk membangun kesejahteraan
rakyat Papua. Belanda menginginkan Papua hanya karena alasan
psikologis sebagai salah satu negara imperialis yang masih ingin
berkuasa. “Di samping itu orang Belanda kepala batu,” kata Sukarno.

Belanda ternyata tak senaif seperti yang dikatakan Sukarno. Dari


sudut keuntungan, Belanda telah bermain hitung-hitungan. Sejak
masa kolonial, selain minyak bumi - Belanda telah menyadari
kandungan mineral berupa yang cukup besar tersimpan di bumi
Papua. Telaah atas kekayaan alam Papua ini tercatat dalam laporan
kepala residen Jan van Echoud berjudul ‘Nota inzake de
economische toekomst van Nieuw-Guinea’ (nota mengenai masa
depan ekonomi Nieuw-Guinea). (Baca juga: Duri dalam Daging
Bernama Irian Barat)

“Perembukan mengenai menambang mineral hampir seluruhnya


melalui Den Haag (Pemerintah Belanda di negeri induk), sedangkan
diskusi-diskusi tentang pengambilan kayu dan perikanan pada
umumnya mengikutsertakan juga gubernemen di Hollandia (pusat
pemerintahan Belanda di Papua),” ungkap sejawan cum arsiparis
Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang
Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

Pemerintah Belanda menurut Drooglever, memang bertekad


memperkuat basis ekonominya di Papua. Pada saat yang sama,
Indonesia memperjuangkan wilayah itu terintegrasi dalam kekuasaan
Republik. Selama tiga belas tahun lamanya Papua menjadi pusat
sengketa antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.

Ibarat Pisau Belati

Sukarno sendiri tak pernah beranjak dari seruan “Sabang sampai


Merauke” sebagai wujud keutuhan kedaulatan Indonesia. Maka soal
Papua adalah harga mati. Seberapa besar arti Papua di mata
Sukarno? Sukarno menguraikannya saat berpidato di Lapangan
Banteng pada 18 November 1957.

Dalam pidatonya berjudul “Djangan Ragu-ragu Lagi!”, Sukarno


mengatakan dalam Undang-Undang Dasar tertulis wilayah Republik
Indonesia adalah Indonesia. “Nah, Indonesia itu apa? Indonesia ialah
segenap kepulauan antara Sabang dan Merauke,” ujar Sukarno. Ini
merupakan dasar legal tuntutan Indonesia atas Papua. Legal
berlandaskan hukum melalui perundingan dan perjanjian antara
Indonesia dengan Belanda.

Lantas, apakah Sukarno benar-benar tak mengetahui betapa kayanya


sumber daya alam Papua? “Lha kalau betul-betul Irian Barat
itu ndak ada apa-apa, lha kok sampeyan (Belanda) itu nongkrong di
Irian Barat itu buat apa?” ujar Sukarno.

Nyatanya, Sukarno sangat menyadari potensi Papua secara ekonomi.


Menyitir laporan tim geologinya, Sukarno mengatakan Irian Barat
kaya akan minyak bumi. Penyelidikan mutakhir saat itu bahkan
menyebutkan adanya kandungan uranium.

“Demikian pula menurut keterangan-keterangan yang terakhir, di Irian


Barat ini kaya dengan uranium. Uranium yang sekarang berharga
tinggi di abad atom,” kata Sukarno. “Jadi saudara-saudara, sudah
nyata sekali pihak Belanda di Irian Barat ialah untuk mengambil
kekayaan kita. Dan kita pun mempunyai alasan-alasan ekonomis
untuk menuntut kembalinya Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan
Republik.”

Selain itu Sukarno menyebutkan dua alasan lain, yaitu keamanan dan
prinsip antikolonialisme. Dari segi keamanan, keberadaan Belanda di
Papua ibarat pisau belati yang mengarah kepada Indonesia.
Keberadaan Belanda disana juga melambangkan kekuasaan kolonial
yang masih gentayangan. Kata Sukarno, “Jikalau imperialisme
Belanda masih nongkrong disitu, kita merasa seperti ada pisau
dibelakang kita ini. Ada pisau belati dibelakang kita ini, saudara-
saudara.”
Itulah sebabnya, ketika konflik Irian Barat kian memuncak, Sukarno
bertekad untuk membebaskan Papua dengan jalan apapun. Seruan
itu dinyatakan Sukarno saat berpidato di Palembang, 10 April 1962.

“Tidak perduli PBB bahkan meskipun meminjam tangannya setan,


aku tidak perduli. Ya, meskipun tangannya setan. I do not care. I do
not mind, asal Irian Barat pada tahun '62 ini juga kembali kepada kita,
kepada Indonesia,” kata Sukarno dalam pidatonya yang berjudul
“Seluruh Rakyat dari Sabang sampai Merauke Bertekad
Membebaskan Irian Barat dalam Tahun ini juga”.

Menurut Asvi Warman Adam sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan


Indonesia (LIPI), dengan atau tanpa daya pikat kekayaan alamnya,
Sukarno tetap akan memperjuangkan Papua. Pasalnya, wilayah itu
berada dalam lingkup kedaulatan nasional.

“Sukarno memperjuangkan Irian Barat dengan atau tanpa mengetahui


kekayaan SDA (sumber daya alam) nya,” kata Asvi kepada Historia.
“Sejak KMB ditandatangani akhir Desember 1949 Bung Karno
merasa bahwa kemerdekaan RI itu belum utuh secara teritorial. Itulah
yang diperjuangkannya sampai tahun 1963.”

Anda mungkin juga menyukai