Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK

Oleh :
dr. GINDY AULIA M

Pembimbing :
dr. KHALIDA FETRIYANI N, Sp.A, M.Sc

Pendamping
dr. ANGGY LESTARIE

RSUD PAMBALAH BATUNG


KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA
2019

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
PENGESAHAN ..................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2
1. DEFINISI...................................................................................................... 2
2. EPIDEMIOLOGI.......................................................................................... 3
3. ETIOLOGI.................................................................................................... 4
4. KLASIFIKASI KELAINAN GLOMELURUS PADA SINDROM
NEFROTIK PRIMER................................................................................... 5
5. PATOFISIOLOGI ........................................................................................ 6
6. MANIFESTASI KLINIS .............................................................................. 9
7. PENEGAKAN DIAGNOSIS ..................................................................... 10
8. DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI ........................................ 11
9. PENATALAKSANAAN............................................................................ 11
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 28
BAB IV NALISA KASUS ................................................................................... 44
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 47
BAB VI DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 48

ii
LAPORAN KASUS
SINDROM NEFROTIK
DI RSUD PAMBALAH BATUNG

Yang di susun oleh


Dr. Gindy Aulia Mustikasari

Telah dipresentasikan dan disetujui oleh pembimbing


Pada tanggal 6 Mei 2019

Pembimbing Pendamping

Dr. Khalida Fetriyani Sp.A, Msc dr. Anggy Lestarie

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh


peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang ditandai
dengan edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia,
dan lipiduria (Prodjosudjadi, 2007). Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering
ditemukan pada anak dari pada dewasa (Behrman dkk., 2004; Handayani dkk.,
2007). Menurut Alabar (2006) sindrom nefrotik cenderung terjadi pada anak laki –
laki dibandingkan perempuan, terutama pada anak – anak usia 1 sampai 5 tahun.
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical
practice guideline (2012), 1–3 anak dari 100,000 anak dibawah 16 tahun menderita
sindrom nefrotik. Lima dari 100.000 anak per tahun di Jepang mengalami sindrom
nefrotik idiopatik (Okada dan Takemura, 2009). Prevalensi sindrom nefrotik di
Indonesia yaitu 6 dari 100.000 anak dibawah 14 tahun (Wirya dkk., 2002). Di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik
merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus
Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara
tahun 1995-2000, dimana perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1 (Wirya,
2002).
Angka kejadian sindroma nefrotik ini memang tergolong jarang, namun
penyakit ini perlu diwaspadai terutama pada anak-anak, karena jika tidak segera
diatasi akan mengganggu sistem urinaria dan akan menggangu perkembangan lebih
lanjut anak tersebut. Di samping itu jika tidak segera diterapi secara dini dan benar,
sindrom nefrotik dapat menyebabkan kerusakan glomerulus ginjal sehingga
memperngaruhi kemampuan ginjal memfiltrasi darah. Hal ini menyebabkan gagal
ginjal akut maupun kronik. (Kharisma, 2017). Pada tulisan ini akan dibicarakan
aplikasi klinis sindrom nefrotik pada pasien anak yang dirawat di RSUD Pambalah
Batung pada 26 Januari 2019.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SINDROM NEFROTIK

1. DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m2/ hari pada
anak) hipoalbuminemia (<2,5 g/ dL), edema dan hiperkolesterolemia (Alldredge
dkk., 2012; Behrman dkk., 2004).
Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN (Alatas dkk, 2012)
 Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
 Relaps: proteinuria > 2+ (proteinuria > 40 mg/m2 LPB/jam 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu.
 Relaps jarang: relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengobatan.
 Relaps sering (frequent relaps): relaps terjadi > 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 1 tahun.
 Dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam
14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
 Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh
(full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

2
2. EPIDEMIOLOGI
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi
berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya
lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak
berusia kurang dari 14 tahun.3 Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1. (Alatas dkk, 2012).
Sindrom nefrotik kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah
dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada
masa dewasa. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM ) terjadi pada 85-
90% pasien di bawah umur 6 tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya)
menemukan hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan
sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan International Study of
Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan penelitiannya diantara
521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia
1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.

3
3. ETIOLOGI
a.Kongenital
yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir
atau usia di bawah 1 tahun. Penyebab utama kelainan ini adalah sindrom
nefrotik kongenital finnish type, suatu penyakit yang diturunkan secara
autosomal resesif. Pada sindrom nefrotik kongenital tipe ini telah
ditemukan adanya mutasi gen NPHS1 yang berlokasi pada kromosom
19q13. gen ini mengkode protein nephrin, yaitu komponen protein utama
pada slit diaphragma di lapisan epitel glomerulus yang berpartisipasi
dalam pembentukan anion. Sindrom nefrotik kongenital dapat juga
disebabkan oleh sifilis kongenital, toksoplasmosis dan infeksi
sitomegalovirus. (Alatas dkk, 2005)

b. Primer/idiopatik,
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh
karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak, yaitu meliputi 90% dari seluruh sindrom nefrotik pada
anak. Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya
berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi
sindrom nefrotik didominasi oleh tipe glomerulosklerosis fokal segmental
(GSFS). (Alatas dkk, 2005)

c. Sekunder
Adalah SN yang mengikuti penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah SLE, purpura Henoch Schonlein, diabetes mellitus,
amiloidosis, hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS, tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor
gastrointestinal, logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular. (Alatas dkk, 2005)

4
4. KLASIFIKASI KELAINAN GLOMELURUS PADA SINDROM
NEFROTIK PRIMER
1. Sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Tipe ini paling sering terjadi pada anak-anak sekitar 77-85%
kasus. Biasanya idiopatik dan dengan mikroskop biasanya glomerulus
tampak normal, sedangkan dengan mikroskop elektron tampak foot
processus sel epitel berpadu. Golongan ini lebih banyak terdapat pada
anak dari pada orang dewasa. Prognosisnya lebih baik dari pada
golongan lain.(Watson, 2010)
2. Glumerulosclerosis fokal segmental (GSFS). (Watson,2010)
Terjadi sekitar 10-15% dari kasus sindroma nefrotik. Tipe ini
lebih sering terjadi pada dewasa. Pada mikroskop cahaya akan terlihat
scar atau sklerosis, pada glomerulus sklerosis akan berkembang lebih
luas lagi. Pada biopsi ginjal akan didapatkan gambaran histologis mirip
kelainan minimal yaitu dapat terlihat foot processes pada EM dan pada
kebanyakan kasus negatif. (Watson,2010)
3. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat. Pada mikroskop cahaya akan terlihat
penebalan dari membran basal. Kelainan ini sering ditemukan pada
nefritis yang timbul setelah infeksi dengan streptokokus yang berjalan
progresif. (Watson,2010)
4. Glomerulopati membranosa (GM)
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis nya kurang baik.
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi

5
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan
pada anak-anak.(Sjifullah,2015)
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer
agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan
hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya
mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan
sindrom nefrotik primer yang dibiopsi. (Rauf, 2009)

5. PATOFISIOLOGI
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama
terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum
diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler
glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus
sawar kapiler glomerulus. (Sylvia, 2006)
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang
menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi
ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. (Sylvia, 2006)

Gambar 2b. Proses Filtrasi Ginjal Normal

6
Teori underfill adalah teori klasik mengenai pembentukan edema,
yakni menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan
merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas
glomerulus, albumin akan keluar dan kemudia menimbulkan albuminuria
dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya
tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan
meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Sebagai akibat
dari pergeseran cairan ini, volume plasma total dan volume darah arteri
dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.
(Cohan, 2015)
Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air
ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan
tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial. Berkurangnya volume intravaskuler merangsang
sekresi renin yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-
aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine
menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. (Cohan, 2015)
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma
dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak
semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan
volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron,
sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. (Cohan,2015)
Menurut teori ini meningkatnya volume plasma karena tertekannya
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron. Retensi renal natrium dan air
terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan

7
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema
terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial.
(Cohan,2015)
Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang
meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat
hipervolemia. (Cohan,2015)
Teori Underfill Teori Overfill

Kelainan
Kelainan Glomerolus
Glomerolus

Albuminuria Retensi Na
renal primer

Hipoalbumine
mia Volume
Plasma >>>
Tek.Onkotik
koloid plasma
<<<

Volume Edema
Plasma >>>

Retensi Na
renal sekunder
>>>

Edema

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai


pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum
kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. (Sylvia, 2006)

8
6. MANIFESTASI KLINIS
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema,
yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali
edema timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah
gemuk. Pada fase awal edema sering bersifat intermiten, awalnya tampak
pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah
(misalnya daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka). (Syafirudin dkk, 2009)
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
edema muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan
edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Edema
biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien
GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan
hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM. (Kliegmen, 2007)
Asites umum dijumpai, Anak-anak dengan asites akan mengalami
restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. (Alatas, 2002)
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang
disebabkan edema mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin
yang meningkat.Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat,
dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema
dinding perut atau pembengkakan hati. (Alatas, 2002)
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada
penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik
terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua
pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta
perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia
sosial anak menjadi terganggu.(Sjaifullah dkk, 2015)

9
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan
30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th
persentil umur (Syaifiruddin, 2009).

7. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria SN (Alatas dkk,2012) :
1. Proteinuria masif (>40 mg/m LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau
rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+);
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL;
3. Edema;
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/Dl
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain (Alatas dkk,2012)
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin, pada urinalisis ditemukan
proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, dan LED), dapat ditemukan leukositosis dan LED yang
meningkat
b. Kadar albumin dan kolesterol plasma, didapatkan hipoalbuminemia
(< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan rasio albumin/globulin
terbalik.
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin.
Kadar komplemen C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah
dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA

10
8. DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI
Diagnosis banding SN diantaranya:
1. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, KEP dengan edema,
edema hepatal
2. Glomerulonefritis akut.
3. Lupus sistemik eritematosus.
Komplikasi
1. Syok akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
2. Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
3. Infeksi
4. Hambatan pertumbuhan
5. Gagal ginjal akut atau kronik
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi,
osteoporosis,
gangguan emosi dan perilaku.

9. PENATALAKSANAAN
a. TATALAKSANA UMUM
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan
steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan.
Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid
dimulai.

11
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis
INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan
tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi
berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan
aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak
berat, anak boleh sekolah. (Alatas dkk, 2012)

b. TATALAKSANA SUPORTIF
i. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema. (Bagga, 2005). Asupan
garam dibatasi untuk pencegahan dan pengobatan edema, selain
mengurangi resiko hipertensi selama pengobatan prednison. Diit rendah
garam hanya pada kasus edema berat sedangkan kalori harus adekuat,
karbohidra tnormal, dan relatif rendah lemak. (Tribono, 2008)
ii. Diuretik
Diuretik Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.
Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari,
bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik,
perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik
lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan
natrium darah. (Alatas,2012)

12
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter),
biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1
g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb
selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
(Alatas,2012)
Furosemid merupakan loop diuretic yang bekerja secara
reversibel dengan melekat pada situs pengikat klorida kotransporter
Na+ ClK+ di membran sel luminal pada segmen tebal ansa henle.
Kotransporter ini bertanggung jawab untuk transpor natrium dari
saluran kemih ke dalam sel tubulus melalui perbedaan konsentrasi. Efek
utama penutupan kotransporter ini adalah mengurangi reabsorbsi
sodium sebanyak 20- 30%, sehingga akhirnya terjadi diuresis.
(Buck,2015)
Furosemid juga berperan sebagai penghambat reabsorbsi natrium
pada tubulus proksimal melalui blokade karbonik anhidrase. Awitan
kerja furosemid intravena adalah 5 menit dengan efek puncak dalam
waktu 30 menit dan durasi kerja 2-6 jam. Respons yang lebih lama
tampak pada bayi prematur atau pada bayi setelah operasi jantung
dengan onset 1 jam dan efek puncak dalam waktu 3 jam dan durasi kerja
selama 6 jam. Pemberian furosemide intravena jauh lebih cepat awitan
kerjanya dibanding pemberian secara oral, berkenaan dengan absorpsi
di saluran cerna.(Buck,2015)

13
Algoritma pemberian diuretik (Indianpediatric,2008)

iii. IMUNISASI
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/ kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini
dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan
vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah
penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus
hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan
SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela. (Alabar,2006)

iv. ALBUMIN
Albumin meningkatkan tekanan onkotik dan membantu efek
diuretik furosemid. Hipovolemia, yang timbul dengan cepat akibat
hilangnya protein plasma dan dipicu oleh pemberian diuretik, potensial
menyebabkan syok pada anak dengan SNKM. Manifestasi syok
meliputi nyeri perut,akral dingin, volume nadi kurang, hipotensi, dan

14
hemokonsentrasi. Untuk mencegah renjatan diberikan infus albumin
0.5-1 g/kg/dosis per infus(5mg/kg berat badan albumin 20% atau 25%)
selama 1 - 4 jam bersama dengan pemberian furosemid.
Status hidrasi anak harus monitoring karena pernah dilaporkan
adanya edema paru dan gagal jantung kongestif. Akibatnya pemberian
albumin tidak rutin diberikan pada semua anak dengan SNKM atau
SNKM relaps.
Penelitian lain menyimpulkan bahwa pasien nefrotik memenuhi
kriteria resistensi diuretik, yaitu kegagalan respon terhadap dosis
maksimum diuretik intravena (tunggal) atau kombinasi diuretik,
sehingga penggunaan albumin adalah pilihan pengobatan yang
potensial ( Duffy dkk, 2015). Mekanisme yang dianggap mendasari
hasil penelitian ini adalah peningkatan transport furosemid ke tubulus
renalis akibat pemberian albumin dan bukan karena volume ekspansi
intavaskular (Dharmaraj dkk, 2009)
Namun, laporan penelitian Kapur dkk sebelumnya tidak
menunjukkan efek yang menguntungkan dari kombinasi albumin
furosemid dibandingkan hanya dengan pemberian diuretic, sehingga
terapi kombinasi albumin dan furosemid masih kontraversial. (meita
dkk,2017)
v. Penyekat ACE
Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor merupakan
obat antihipertensi yang juga memiliki pengaruh terhadap
hemodinamik ginjal yang dapat mengurangi tekanan hidrolik
glomerulus. ACE inhibitor dapat menurunkan hipertensi glomerular
dan proteinuria dengan memodifikasi tekanan kapiler dan glomerular
permselectivity.(Prodjosudjadi,2006)
ACE inhibitor sudah digunakan untuk terapi proteinuria pada
pasien dengan penyakit ginjal. Efek antiproteinuria ACE inhibitor lebih
besar pada pasien dengan ekskresi protein urin yang besar. ACE

15
inhibitor bermanfaat untuk mengurangi ekskresi protein urin pada
penyakit ginjal non-diabetik. ( Jafar dkk, 2001)
Pemberian ACE inhibitor dapat mengurangi proteinuria pada
pasien sindrom nefrotik. Hal tersebut menggambarkan bahwa ACE
inhibitor dapat digunakan pada semua usia mulai dari anak hingga
dewasa dengan efek penurunan ekskresi protein urin yang signifikan
(Oryza dkk, 2015)
Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor antara lain :
 kaptopril (dosis 0,3-0,5 mg/kgbb/dosis diberikan 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum 6 mg/kgbb/hari)
 enalapril (0,1-1,0 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, dosis 0,6
mg/kgbb/dosis atau maksimum 40 mg/hari)
 ramipril (dosis 0,05-2,0 mg/kgbb/hari sekali sehari dengan dosis
maksimum 10 mg)
 lisinopril (dosis 0,07 mg/kgbb/dosis hingga 5 mg/dosis, dosis
maksimal 40 mg/hari)
Target penurunan tekanan darah ialah hingga persentil 75-90
berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tinggi badan. Proteinuria
diturunkan hingga minimal kurang dari proteinuria nefrotik, misalnya
<2g/1,73 m2/hari atau rasio protein/kreatinin < 0,2 g/mmol dan
meningkatkan albumin darah > 3,0 g/dL. (Aragon,2015)

vi. Hiperkolesterolemia
Hiperlipidemia terjadi karena meningkatnya aktivitas hepatic-
3hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reductase dan
acyl-coenzyme-A-cholesterol acyltransferase atau penurunan aktivitas
lipoprotein lipase. Pada sindrom nefrotik sentitif steroid, hiper-
lipidemia bersifat sementara dan akan menurun seiring dengan remisi,
biasanya tidak menyebabkan komplikasi dan tidak memerlukan obat
penurun lemak, cukup dengan diit rendah lemak. (Lennon, 2016)

16
Pada sindrom nefrotik resisten steroid, sering terjadi
hiperlipidemia dengan berbagai risiko, sehingga selain diit rendah
lemak jenuh, dapat dipertimbangkan pemberian obat penurun lemak
seperti inhibitor HMG-coA reduktase (statin: simvastatin, atorvastatin,
lovastatin)(Valentini dkk,2007) dan probucol. (Lee dkk, 2005).
American Academic of Pediatrics merekomendasikan diit rendah
lemak pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik.( Gipson dkk, 2009)

c. TATALAKSANAS SPESIFIK
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal,
kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah
prednison atau prednisolon.
i. TERAPI INISIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/
hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan
4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. (Alatas dkk,2012)

17
ii. TERAPI SN RELAPS
Pengobatan relaps prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa
edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya,
biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan
antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan. (Alatas dkk,2006)

iii. TERAPI SN RELAPS SERING / DEPENDEN STEROID


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini

18
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil
yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
(Alatas,2012)
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan
prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1
mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi pada dosis prednison
antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi
dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap
hari sampai terjadi remisi. (Alatas,2012)
Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb
diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb
setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis
prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang
terakhir. (Alatas,2012)
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis,
dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.

19
2. Pemberian levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari,
selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah,
hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.

3. Pengobatan dengan sitostatik


Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid
dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam dosis
tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan
dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7
dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah
6 bulan).
Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang,
alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit 5.000/uL, hemoglobin >8
g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan
keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300
mg/kgbb.
Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180
mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.14 Klorambusil diberikan
dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan
klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.

20
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3
mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan
dengan 0,5 mg/ kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5
mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat

21
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
ng/mL.
Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid
dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya
akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN
resisten steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 –
1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan
dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri
abdomen, diare, leukopenia.

22
iv. PENGOBATAN SN KONTRAINDIKASI DENGAN STEROID
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin,
infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan 2-3 mg/kg bb/hari dosis
tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang
dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

v. PENGOBATAN SN RESISTENSI STEROID

23
24
vi. EFEK SAMPING PEMBERIAN STEROID
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping
yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada
pasien dan orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan
napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku,
peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
demineralisasi tulang. (Alatas,2012)
Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap
gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran
berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi
timbulnya katarak setiap tahun sekali.(Alatas, 2012)

d. INDIKASI BIOPSI GINJAL


Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:
1. Pada presentasi awal
a) Awitan sindrom nefrotik pada usia < 1 tahun atau lebih dari 16 tahun

25
b) Terdapat hematuria nyata, hematuri mikroskopis persisten, atau kadar
komplem C3 serum rendah.
c) Hipertensi persisten
d) Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
e) Tersangka sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial
a) SN resistensi steroid
b) Sebelum memulai terapi siklosporin

e. INDIKASI MELAKUKAN RUJUKAN KEPADA AHLI


NEFROLOGI ANAK
Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli
nefrologi anak:
a) Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit
sindrom nefrotik di dalam keluarga
b) Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten,
penurunan fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis,
serositis, atau lesi di kulit
c) Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis,
infeksi berat, toksik steroid
d) Sindrom nefrotik resisten steroid
e) Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid

26
f. PROGNOSIS
Prognosis SN tergantung dari kelainan histopatologiknya. Umumnya SN
dengan kelainan minimal (SNKM) yang sensitif dengan kortikosteroid
mempunyai prognosis yang baik. Kecuali jika megalami hal-hal berikut:
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder. (Trihono,2008)

27
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MR
Umur : 5 Tahun 9 Bulan
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Agama : Islam
Alamat : Ds. Keramat RT 01 Kec. Haur Gading Kab. HSU

Nama Ayah : Tn. S


Umur : 30 th
Pekerjaan : Karyawan swasta
Pendidikan : SMA

Nama Ibu : Ny. L


Umur : 28 th
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA

Bangsal : Asoka
Penjamin : BPJS PBI
No. RM : 15.28.07
Masuk RS : 25 Januari 2019
B. DATA DASAR
1. ANAMNESIS( Alloanamnesis )
Alloanamnesis dengan ayah pasien dilakukan pada tanggal pukul 26
Januari 2019 11.30 WITA di ruang Asoka dan didukung dengan catatan
medis.

28
a. Keluhan Utama : Bengkak pada kedua mata terutama mata kiri, perut
dan kemaluan
b. Keluhan tambahan :BAK berkurang(+) demam (+), nyeri pada perut
(+), tidak bisa duduk (+)
c. Riwayat Penyakit Sekarang
2 minggu sebelum masuk RS

Pasien muncul bengkak pada kedua kelopak mata tanpa


disertai rasa sakit atau gangguan berkemih. Keesokan harinya
bengkak bertambah besar dan perut tampak buncit, seluruh tubuh
tampak bengkak dan pasien mengeluh nyeri . Mual (-), muntah (-),
BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien sempat demam dan batuk
kemudian pasien dibawa ke igd RSPB dan dirawat selama 2 hari lalu
di rujuk ke RS ulin. Di RS ulin dengan gangguan pada ginjal pasien
dirawat selama ±7hari (14 januari – 21 januari 2019) dan membaik,
2 hari sebelum masuk RS ( 23 januari 2019)
Kelopak mata pasien bengkak kembali terutama pada mata kiri
keesokan harinya perut membuncit dan nyeri terutama untuk
bergerak. BAK berkurang, BAK darah (-), Demam (-) , mual (+)
muntah (-).
1 Hari sebelum masuk RS ( 24 Januari 2019)
Bengkak dirasa semakin bertambah, pasien kesakitan tidak
bisa bergerak hanya berbaring. BAK semakin berkurang dan pekat
darah (-). Demam (+) terus menerus. pasien tidak mau makan dan
mual, muntah sebanyak 4x. Pasien tidak bisa BAB Sejak 2 hari.
Kemudian esoknya pasien dibawa ke IGD RSPB.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat bengkak sebelumnya (-)
 Riwayat sakit infeksi dan demam lama (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat penggunaan obat – obatan (-)

29
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
 Riwayat bengkak pada keluarga (-)
 Riwayat sakit ginjal (-)
 Riwayat darah tinggi, gula (-)
f. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara , tinggal
bersama kedua orangtua dan saudaranya. Ayah pasien bekerja
sebagai karyawan swasta, sedangkan ibu pasien sebagai ibu rumah
tangga yang saat ini sedang bersalin di RS di banjarmasin.
Pengobatan ditanggung BPJS PBI.
Kesan ekonomi : cukup
g. Riwayat Persalinan dan Kehamilan :
Saat hamil, ibu pasien sering melakukan pemeriksaan
kehamilannya ke bidan. Pasien merupakan anak laki - laki yang lahir
dari ibu G2P1A0, hamil cukuo bulan, lahir spontan di Bidan, langsung
menangis, berat badan lahir tidak diingat, panjang badan,lingkar
kepala dan lingkar dada juga tidak ingat, tidak ada kelainan bawaan.
Kesan : neonatus aterm, lahir spontan per vaginam, vigorous baby
h. Riwayat Pemeliharaan Prenatal :
Ibu memeriksakan kandungannya ke puskesmas terdekat
secara rutin. Ayah pasien mengatakan, Ibu pasien tidak pernah
menderita penyakit sebelum dan selama kehamilan (seperti darah
tinggi, anemia/ kurang darah, gula, infeksi saluran kencing),
Riwayat perdarahan dan trauma saat hamil disangkal. Riwayat
minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu disangkal.
Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal baik
i. Riwayat Pemeliharaan Postnatal :
Pemeliharaan postnatal dilakukan di Puskesmas dan anak
dalam keadaan sehat.
Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal baik
j. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak :

30
Pasien sudah bisa mulai berjalan dan berbicara sejak usia ±1 tahun
Kesan : pertumbuhan baik dan perkembangan baik
k. . Riwayat Makan dan Minum Anak :
Pasien diberikan ASI ekslusif hanya sampai usia 3 bulan
setelah itu ditambahkan susu formula. Mulai Makanan tambahan
ayah pasien tidak mengetahuinya.
Kesan : kualitas kurang
l. Riwayat Imunisasi dasar : Lengkap
Kesan : Imunisasi dasar lengkap berdasarkan aloanamnesa dengan
orang tua pasien.

1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 26 Januari 2019 pukul 12.00 WITA
a. Status Present
Jenis Kelamin : Laki – laki
Berat Badan : 19,4 kg
Berat badan tanggal 21 – 01 -2019 : 17,3kg
Panjang Badan : 108 cm
LP : 58 cm
KU : Sedang, anak tenang
Kesadaran : GCS 15 E3M6V5 composmentis
b. Tanda Vital
Nadi :122 x/menit, irama regular, tegangan kuat
Suhu : 37,8ºC (aksilla)
Pernapasan : 26 x / menit, regular
TD : 100/70
Tabel Tekanan darah anak laki-laki berdasarkan persentil umur dan tinggi badan
Systolic BP [mmHg) Diastolic BP (mmHg]
Percentile of height Percentile of height
Age BP th th th
(year) percentile Sth 10 25th 50th 75 90th 95th 5th 10th 25 50th 75th 90th 95th
5 50th 89 90 91 93 94 95 9G 52 53 53 54 55 55 56
90th
103 103 105 106 107 109 109 66 67 67 68 69 69 70
95th 107 107 108 110 111 112 113 70 71 71 72 73 73 74

31
Systolic BP [mmHg) Diastolic BP (mmHg]
Percentile of height Percentile of height
Age BP th th th
(year) percentile Sth 10 25th 50th 75 90th 95th 5th 10th 25 50th 75th 90th 95th
99th 114 114 11G 117 113 120 120 78 78 79 79 80 31 81

c.Status gizi
 Usia : 5 tahun 9 bulan
 BB : 19,4 kg
 TB Sekarang : 108 cm
 BMI = BB (kg) / TB (m2)
= 19,4 / (1,08)2
= 16,72

Kesan : Gizi baik

32
HAZ : -2> Z<-1
Kesan : normal

WAZ:-1>Z <0
Kesan : Gizi cukup
c. Status Generalis
 Kepala : Normocephali
 Wajah : Edema (+)
 Mata : Edema palpebra + /+++, konjungtiva pucat -/-, sklera
ikterik -/-
 Hidung : Sekret -/-, konka edema -/-, hiperemis -/-
 Telinga : Normotia, liang telinga lapang, serumen minimal AD/AS
 Mulut : Edema labium oris (-), caries dentis (+)
 Tenggorok: faring hiperemis (-), tonsil T2-T2 hiperemis (-)
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB
 Jantung : BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-)
 Paru : Perkusi sonor, Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-
 Abdomen : Tampak buncit, distensi, Bising usus (+) normal, shifting
dullness
(+)undulasi (+) nyeri tekan (+), hepatosplenomegali (-)

33
 Ekstremitas : Akral hangat di keempat ekstremitas, pitting edema
+/+, CRT<2”
 Genital : Edema skrotum dan penis (-)

2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang
tanggal 12 Januari 2019 jam 16.20 di Sari Mulia
HEMATOLOGI
Hasil Nilai Normal Satuan
Hemoglobin 15 14,0 – 18,0 g/dl
Leukosit 6,8 4,0 – 10,5 Ribu/ul
Eritrosit 5,52 4,10 – 6,00 Juta/ul
Hematokrit 38,7 42,0 – 52,0 %
Trombosit 438 150 – 450 Ribu/ul
MCV 70 75,0 – 96,0 Fl
MCH 27,2 28,0 – 32,0 Pg
MCHC 33,8 33,0 – 37,0 %
Hitung Jenis
Basofil 0,00 <1.00 Ribu/ul
Eosinofil 2 <3,00 Ribu/ul
Neutrofil stab 3 2-6 %
Neutrofil 61 50-70 %
segmen
Limfosit 21 20 – 40 %
Monosit 13 2 -8 %
KIMIA DARAH
Albumin 1,9 3,8 – 5,4 g/dl

URINALISA

34
Makroskopis HASIL NILAI SATUAN
NORMAL
Warna Kuning Kuning -
Kejernihan Jernih Jernih -
Kimia Urin
Eritrosit Negatif Negatif /ul
Leukosit Negatif Negatif /ul
Urobilinogen Normal Normal Mg/dl
Bilirubin Negatif Negatif Mg/dl
Keton Negatif Negatif Mg/dl
Protein Positif (+) Negatif Mg/dl
Glukosa Negatif Negatif Mg/dl
PH 5,0 4,8 – 7,5 -
BJ 1,015 1 – 1,03 -
Nitrit Negatif Negatif -
Sedimen
Eritrosit 0–1 /HPF <1
Leukosit 2–3 /HPF <5
Epitel Positif (+) /LPF POSITIF +
Kristal Negatif /LPF NEGATIF
Silinder Negatif /LPF NEGATIF
Bakteri Negatif NEGATIF

Pemeriksaan Penunjang (saat pasien berobat di RS Ulin)


Tgl 14-01-2019 pukul 21.50
HEMATOLOGI
Hasil Nilai Normal Satuan
Hemoglobin 12,1 14,0 – 18,0 g/dl
Leukosit 4,8 4,0 – 10,5 Ribu/ul
Eritrosit 5,10 4,10 – 6,00 Juta/ul

35
Hematokrit 36,0 42,0 – 52,0 %
Trombosit 558 150 – 450 Ribu/ul
RDW-CV 15,2 12,1 – 14,0 %
MCV 70,6 75,0 – 96,0 Fl
MCH 23,7 28,0 – 32,0 Pg
MCHC 33,6 33,0 – 37,0 %
Hitung Jenis
Basofil 0,00 <1.00 Ribu/ul
Eosinofil 0,00 <3,00 Ribu/ul
Neutrofil stab - - -
Neutrofil - - -
segmen
Limfosit 0,99 1,25 – 4,00 Ribu/ul
Monosit 0,16 0,30 – 1,00 Ribu/ul
KIMIA DARAH
GDS 141 <200 Mg/dl
Kolesterol total 523 0-200 Mg/dl
Albumin 1,7 3,8 – 5,4 g/dl
SGOT 28 5 – 34 u/l
SGPT 19 0 – 55 u/l
Ureum 33 0 – 50 Mg/dl
Creatinin 0,44 0,72 – 1,25 Mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 129 136 – 145 Meq/L
Kalium 3,7 3.5 – 5.1 Meq/L
Klorida 101 98 – 107 Meq/L
Albumin tanggal 18- 01-2019 : 1,7
Pemeriksaan Urinalisa (saat pasien berobat di RS Ulin)
Tgl 16-01-2019 pukul 07.20
URINALISA

36
Makroskopis HASIL NILAI SATUAN
NORMAL
Warna Kuning Kuning -
Kejernihan Keruh Jernih -
Kimia Urin
Leukosit Negatif Negatif /ul
Urobilinogen 0,2 0,1 – 1,0 Mg/dl
Bilirubin Negatif Negatif Mg/dl
Keton Negatif Negatif Mg/dl
Protein Positif (4+) Negatif Mg/dl
Glukosa Negatif Negatif Mg/dl
PH 7,5 5,0 – 6,5 -
BJ 1,015 1 – 1,03 -
Nitrit Negatif Negatif -
Sedimen
Eritrosit 0-2 /HPF <1
Leukosit 1– 2 /HPF <5
Epitel Positif (+) /LPF POSITIF +
Kristal Negatif /LPF NEGATIF
Silinder Negatif /LPF NEGATIF
Bakteri Negatif NEGATIF

Pemeriksaan Penunjang Tgl 25-01-2019 pukul 17.03


Di IGD RSPB
HEMATOLOGI
Hasil Nilai Normal Satuan
Hemoglobin 12,7 14,0 – 18,0 g/dl
Leukosit 25.300 4,0 – 10,5 Ribu/ul
Eritrosit 5,52 4,10 – 6,00 Juta/ul

37
Hematokrit 37,3 42,0 – 52,0 %
Trombosit 512000 150 – 450 Ribu/ul
MCV 67,6 75,0 – 96,0 Fl
MCH 23,1 28,0 – 32,0 Pg
KIMIA DARAH
GDS 76 <200 Mg/dl
Kolesterol total 578 0-200 Mg/dl
Albumin 1,2 3,8 – 5,4 g/dl
Ureum 19,8 0 – 50 Mg/dl
Creatinin 0,7 0,72 – 1,25 Mg/dl

URINALISA
Makroskopis HASIL NILAI SATUAN
NORMAL
Warna Kuning muda Kuning -
Kejernihan Agak keruh Jernih -
Kimia Urin
Eritrosit Negatif Negatif /ul
Leukosit Negatif Negatif /ul
Urobilinogen Negatif Negatif Mg/dl
Bilirubin Negatif Negatif Mg/dl
Keton Negatif Negatif Mg/dl
Protein Positif (3+) Negatif Mg/dl
Glukosa Negatif Negatif Mg/dl
PH 6,0 4,8 – 7,5 -
BJ 1,030 1 – 1,03 -
Nitrit Negatif Negatif -
Sedimen
Eritrosit 0–5 /HPF <1
Leukosit 0– 2 /HPF <5

38
Epitel Positif (+) /LPF POSITIF +
Kristal Negatif /LPF NEGATIF
Silinder Negatif /LPF NEGATIF
Bakteri Positif (+) NEGATIF

3. DIAGNOSIS
 Sindrom Nefrotik
4. TATALAKSANA
 Non medikamentosa
o Balance cairan
o Diet rendah garam
o Diet rendah kolesterol
o Diet tinggi putih telur
o Monitoring BB dan LP
 Medikamentosa
o Inj furosemid 20mg/12 jam
o Inj ampisilin 500mg/ 6 jam
o Prednisolon 3 – 3 – 2 po (1 tab 5 mg)
o Ibuprofen sirup 3 x 1cth po
o Pralax sirup 3 x1 cth po
o Lisinopril 2mg/ 24 jam po
o Kalk 1x 1 tab po

5. PROGNOSIS
 Ad vitam : Bonam
 Ad sanasionam : Dubia ad malam
 Ad fungsionam : Dubia ad bonam
6. FOLLOW UP
Tanggal 26-1-19 Tanggal 27-1-19 Tanggal 28-1-17 Tanggal 29-1-19 Tanggal 30-

39
Sembab pada mata Sembab mata dan Sembab berkurang, Sembab berkurang Sembab –
terutama kiri, urin perut, demam , nyeri BAK + Nyeri << Nyeri –
berkurang, perut perut BAK << BAB (-) Nyeri << sudah bisa Bak + lancar banyak BAK + banyak
membesar nyeri 3 hari, tidak bisa duduk berjalan
HD stabil Ku : lemah Edema (+) ↓, Edema (+) ↓, Edema (-)
KU lemah Edema (+), Asites (+) minimal Asites (+) minimal Asites (-)
Edema + Asites (+) LP 54cm Urin 1500cc Urin 1200cc
Asites + Suhu : 38 3 TD 90/60 Diuresis 3,6cc Diuresis 2,9
Urin 400 cc/24 jam Urin 1200cc/24 jam Urin 600cc TD 110/70 LP :48cm
Diuresis BB – tidak bisa jalan BB 18,6kg BB : 17,8kg BB :17,3kg
0,85cc/kgbb/jam Diuresis Diuresis
BB : 19,4 1,4cc/kgBB/jam 1,35cc/kgBB/jam
LP 58cm
TD 100/70

Sindrom nefrotik Sindrom Nefrotik Sindrom Nefrotik Sindrom Nefrotik Sindrom Nefrot

Prednison (3-3-2) Prednison (3-3-2) Terapi lanjut Ibuprofen stop BLPL Kontrol
Furosemid 2x20 mg IV Ibuprofen syr 3 x 1cth Ditambah Pralax stop
Ampisilin 4x500mg IV Pralax syr 3 x1 cth Kalk 1x1 tab Lain lain lanjut
Albumin 20% 100 Inj. Furosemid 2x20mg Tambah
cc
Lisinopril 2mg/24 jam

Albumin: 1,2
Leukosit : 25.300
Kolesterol tota 578
Protein urin +3

Foto tanggal 26 /1/19

40
41
Foto tanggal 28/ 1/19

Foto tanggal 30/1/2019

42
43
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien anak laki-laki, umur 5 tahun 9 bulan, dibawa dengan keluhan sembab
pada mata dan kemaluan sejak 2 hari SMRS disertai perut yang membuncit.
Manifestasi utama pada pasien ini adalah edema, hal ini terjadi pada 95% kasus
anak dengan sindrom nefrotik. Dimana pada fase awal edema terjadi secara
intemiten yang nampak pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan rendah
seperti periorbita dan pretibia.
Pasien juga mengeluh nyeri perut, tidak bisa duduk, mual (+) muntah (+),
diare (-).Sesak (-), Frekuensi BAK berkurang 2 hari SMRS, tidak bisa BAB Sejak
2 hari. 2 minggu yang lalu pasien dirawat di RS ULIN dengan keluhan yang sama.
Gangguan gastrointestinal ini sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik dimana hal ini disebabkan karena edema masif dinding perut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, BB/TB 16,72 gizi baik (dengan edema), status
hemodinamik stabil, hipertensi (-), status generalis didapatkan THT dalam batas
normal, cor/pulmo dalam batas normal, edema dan asites.
Hasil pemeriksaan penunjang yang diperoleh proteinuria 3+, leukositosis
25.300, hematuri (-), hipoalbuminemia 1,2 gr/dL, hiperkolesterolemia 578 mg/dL.
Terjadinnya proteinuria pada pasien akibat hilangnya muatan negatif yang terjadi
disepanjang endotel kaplier glomerulus dan membran basalis. Hal ini menyebabkan
tertariknya albumin yang bermuatan negatif keluar menemus sawar kapiler
glomerulus sehingga terjadi penurunan kadar albumin di dalam darah
(hipoalbuminemia). Akibatnya tekanan onkotik menurun, terjadilah edema.
Penurunan tekanan onkotik juga menyebabkan penurunana aktivasi degradasi
lemak karena kehilangan α-glikoprotein sebagai perangsang lipase.
Dari anamnesis pasien ini didiagnosis kemungkinan menderita sindrom
nefrotik relaps, bukan sindrom nefrotik kasus baru ataupun sindrom nefrotik
resisten steroid. Dikarenakan yang dimaksud relaps adalah keadaan proteinuria
≥2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu

44
setelah pemberian terapi steroid, namun pada pasien ini hanya diperiksa satu kali
saja. sedangkan yang dimaksud dengan resisten adalah tidak terjadi remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
Pada kasus ini, orang tua pasien mengaku sebelumnya dirawat di ulin dengan
keluhan yang sama.
Penyebab utama terjadinya SN pada anak ini merupakan tipe primer sesuai
teori karena tidak dapatkan ada riwayat infeksi atau penyakit sistemik sebelumnya
tidak timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Pada pasien diberikan diet tinggi protein (putih telur). Pemberian diit
tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban
glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan
menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi
malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak.
Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily
allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema.
Kebutuhan cairan pada pasien ini juga sebaiknya dibatasi. Pada pasien
ini tidak dipasang infus.
Untuk pengobatan pada pasien ini diberikan steroid full dose sesuai
dengan International Study on Kidney Diseases in Children (ISKDC)
diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80
mg/hari dalam dosis terbagi untuk menginduksi remisi). Untuk pemberian dosis
prednison sesuai berat badan ideal (BB terhadap TB). Berdasarkan WHO Growth
Chart Standart, pada pasien ini BB ideal nya di umur 5 tahun dengan TB 108 cm
adalah 19,4 kg (edema), sehingga dosis prednison yang diberikan adalah 19,4
kg x 2 mg/kgBB/hari = 38,8 mg/hari, dibulatkan menjadi 40 mg/hari
dikarenakan:
1. Satu tablet prednison mengandung 5 mg sehingga
mempermudah dalam penentuan jumlah tablet yang akan
diberikan dan mempermudah dalam pengkonsumsian obat;

45
2. Dosis pembulatan menjadi 40 mg masih dalam dosis aman
prednison yaitu maksimal 80 mg/hari. Sehingga pasien ini
menggunakan prednison sebanyak 8 tablet sehari dengan dosis
terbagi 3-3-2.
Pada kasus ini pasien diberikan diuretic dikarenakan pasien tidak bisa
mengeluarkan urin dalam jumlah yang banyak dan edema. Furosemid merupakan
loop diuretic yang bekerja secara reversibel dengan melekat pada situs pengikat
klorida kotransporter Na+ Cl K+ di membran sel luminal pada segmen tebal ansa
henle. Efek utama penutupan kotransporter ini adalah mengurangi reabsorbsi
sodium sebanyak 20- 30%, sehingga akhirnya terjadi diuresis. (Buck,2015). Dosis
awal furosemid 1-3mg/kgBB/hari. Pasien diberi 2mg x 19.4 dibulatkan menjadi
40 mg yang dibagi menjadi 2 dosis yaitu 2x20mg IV.
Pada pasien ini diberikan terapi albumin 20% 100cc, kadar albumin pada
pasien 1,2 g/dl. Pemberian albumin dan furosemid bukan merupakan prosedur
rutin pada setiap pasien, namun penelitian Ghafari dan Dharmaraj berhasil
menunjukkan adanya perbaikan natriuresis dan diuresis pada pemberian
kombinasi albumin dan furosemid dibanding pemberian furosemid saja.
Pasien ini juga diberikan lisinopril dengan dosis 2mg/24 jam peroral.
Dimana pemberian ACE inhibitor dapat mengurangi proteinuria pada pasien
sindrom nefrotik. Hal tersebut menggambarkan bahwa ACE inhibitor dapat
digunakan pada semua usia mulai dari anak hingga dewasa dengan efek
penurunan ekskresi protein urin yang signifikan (Oryza dkk, 2015). Dosis
lisinopril untuk anak pada sindrom nefrotik 0,07 mg/kgbb/dosis hingga 5
mg/dosis, dosis maksimal 40 mg/hari. (Arogan, 2015) Dosis yang digunakan
sesuai dengan literatur.
Pada kasus ini prognosisnya dubia ad bonam dikarenakan pasien
didiagnosis Sindrom Nefrotik yang dalam perjalanan penyakitnya masih sensitif
terhadap pengobatan steroid ditandai dengan kondisi pasien sampai pulang.

46
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus An.MR usia 5 tahun 9 bulan dengan


diagnosis Sindrom Nefrotik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan yang diberikan
adalah terapi berupa Injeksi furosemid 20mg/8 jam, injeksi ampisilin 500mg/ 6
jam, prednisolon 3 – 3 – 2 po (1 tab 5 mg), ibuprofen sirup 3 x 1cth po, pralax
sirup 3 x1 cth po, lisinopril 2mg/ 24 jam po.
Pasien dirawat sejak tanggal 25 Januari 2019 sampai dengan tanggal 30
Jamuari 2019. Setelah dirawat selama 6 hari, kondisi pasien membaik. Saat ini
pasien telah dipulangkan dan diminta untuk kontrol kembali ke poliklinik untuk
menentukan terapi selanjutnya.

47
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

A Report of the ISKDC. The primary nephrotic syndrome in children.


Indentification of patients with minimal change nephrotic syndrome from
initial response

A. Price Sylvia, M. Wilson Lorraine. Patofisiologi konsep klinis proses penyakit.


Edisi 6. EGC: Jakarta. 2006.h.931.

Albar.Husen, tatalaksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal Pada Anak. Sari


Pediatri, Vol. 8, No. 1,Makassar 2006

bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: Initial management. Dalam:


Chiu MC, Yap HK, penyunting. Practical Paediatric Nephrology. Edisi
pertama. Hong Kong: Medcom Limited;2005.h.109-15.

Behrman. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. EGC. 2000

Buck ML. Furosemid: a review of ots use in infants and children. [disitasi tanggal
7 februari 2019]. Diunduh dari: http://
www.medscape.com/viewarticle/712273

Cohen EP. Nephrotic syndrome. Emedicine, medscape August25,2009 available at


http://www.medscape.com diunduh 2 Februari 2019

Dharmaraj R, Hari P, Bagga A. Randomized cross-over trial comparing albumin


and frusemide infusions in nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol
2009;24:775–82

Duffy M, Jain S, Harrell N, Kothari N, Reddi AS. Albumin and furosemid


combination for management of edema in nephrotic syndrom

Ghafari A, Mehdizadeh A, Alavi-Darazam I. Co-administration of albumin-


furosemid in patients with the nephrotic syndrome. Saudi J Kidney Dis.
Transplant 2011;22:471

48
Gipson DS, Massengill SF, Yao L, Nagaraj S, Smoyer WE, Mahan DJ, dkk.
Management of childhood onset nephrotic syndrome. Pediatrics
2009;124:747-57

Gipson DS, Massengill SF, Yao L, Nagaraj S, Smoyer WE, Mahan DJ, dkk.
Management of childhood onset nephrotic syndrome. Pediatrics
2009;124:747-57

Jafar TH, Stark PC, Schmid CH, Landa M, Maschio G, Marcantoni C, et al.
Proteinuria as a modifiable risk factor for the progression of non-diabetic
renal disease. Kidney Int. 2001;60:1131-40.

Kapur G, Valentini RP, Imam AA, Mattoo TK. Treatment of severe edema in
children with nephrotic syndrome with diuretics alone — a prospective
study. Clin J Am Soc Nephrol 2009;4:907–13

Kliegman. Nephrotic Syndrome. Dalam: Nelson Textbook of Pediatric 18ed.


Saunders 2007 an imprint of Elsevier; chapter 527

Lee EKW, Chan WKY, Lai WM, Chiu MC. Nephrotic syndrome: Long term
management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, penyunting. Practical Paediatric
Nephrology. Edisi pertama. Hong Kong: Medcom Limited;2005.h.116-29.

McCarey J, Lennon R, Webb NJA. e non-immuno-suppressive management of


childhood nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2016;31:1383-402.

Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso. Sindrom Nefrotik. [Online]. [Cited


On 2019]. Available from URL:
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori
=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-ebtq258.htm

Oryza Gryagus , Hamzah Shatri et al. Penggunaan ACE-Inhibitor untuk


Mengurangi Proteinuria pada Sindrom Nefrotik. Jakarta, Vol 3 no 2;2015

49
Prodjosudjadi W. Sindrom nefrotik. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-
4. Jakarta: Interna Publishing; 2006

Staf Pengajar IKA FK UH. Standar Pelayanan Medik BIKA FKUH. Edited by Dr.
Syarifudin Rauf,dkk. BIKA FKUH. Makassar.2009

Staf Pengajar IKA FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Vol.2. Edited
by Dr.Rusepno Hasan dan Dr.Husein Alatas. Infomedika. Jakarta. 2007.

suhono PP, Alatas H, Tambunan T. Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom
nefrotik idiopatik pada anak. UKK

Syarifuddin Rauf, Dr.,dr.,Sp.A,. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. BIKA FK UH.


Makassar. 2009

Trihono Sudung O. Pardede: Tata laksana non imunosupresan sindrom nefrotik


Nefrologi IDAI, Edisi kedua, Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.h.1-22

Valentini RP, Smoyer WE. Nephrotic syndrome. Dalam: Kher KK, Schnaper HW,
Makker SP. Clinical pediatric nephrology, Edisi kedua. London: Informa
Healthcare;2007.h.155-94. 9.

Wila Wirya IGN. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom
nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 1992

Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu ID, Ng KH, penyunting, Pediatric Nephrology: On
the go. Edisi ke-2, Singapore: Children’s Kidney Centre;2015.h.213-27

50

Anda mungkin juga menyukai