PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri adalah mekanisme penting proteksi tubuh yang muncul apabila jaringan sedang
rusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri tersebut untuk
Berdasarkan International Association for the study of Pain (IASP) nyeri didefinisikan
sebagai sensasi yang tidak menyenangkan, mengganggu dan menimbulkan pengalaman emosi
akibat adanya kerusakan jaringan atau yang berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau
Intensitas nyeri mengacu kepada kehebatan nyeri itu sendiri. Pengukuran nyeri bersifat
subjektif dan diukur dengan menggunakan skala FACES yang dimulai dari nilai ‘0’ (tidak
dirasakan nyeri pada pasien) hingga ‘5’ (nyeri terburuk yang pernah dirasakan pasien).2
Klasifikasi nyeri secara umum terdiri dari nyeri akut dan nyeri kronik. Banyak data yanbg
menunjukan bahwa pada nyeri akut keluhan berhubungan langsung dengan trauma jaringan,
berbeda dengan nyeri kronik yang sulit memperlihatka bukti adanya kerusakan jaringan sebagai
Penanganan nyeri bergantung dari jenis dan derjat rasa nyeri, serta tanggapan pada obat
analgesik. Pemberian dan penggantian obat analgesik dilakukan secara bertahap. Tahapan
digambarkan dengan Jenjang Analgesik dengan tiga tahap. Langkah pertama mencakup
analgesik non narkotik, misalnya aspirin atau parasetamol. Langkah kedua mnemberi narkotik
lemah, misalnya kodein. Sedangkah pada langkah ketiga diberikan narkotik kuat, misalnya
morfin.4
Praktek pengelolaan nyeri tidak hanya terbatas pada seorang ahli anestesi tetapi juga
meliputi dokter lain seperti dokter praktek dan selain dokter (psikolog , ahli urut , akupuntur ,
hipnosis , dll). Secara jelas, pendekatan yang paling efektif adalah secara multidisiplin. Untuk
dapat memberikan terapi yang tepat maka perlu pemahaman mengeni patofisiologi nyeri dan
langkah-langkah pemberian terapi berdasarkan jenis nyeri.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 DEFINISI
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International Association for Study of
Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan. Suatu keadaan dikatakan nyeri kronik jika nyeri menetap lebih dari
6 bulan.3,4
Nyeri kronis tidak mempunyai tanda-tanda dan gejala klinis yang jelas, sehingga patofisiologi
yang mendasarinya biasanya tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik atau radiologis. Nyeri
kronis dapat muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau penyebab-penyebab neurologis,
dan biasanya dibedakan menjadi nyeri maligna (kanker atau keganasan) dan nyeri non-maligna
(jinak). 2,3,5
2.2 KLASIFIKASI
2. Nyeri Kronik
Merupakan nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan. Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh
kelakuan , kebiasaan dan lain-lainnya. Bentuk paling umum dari nyeri kronik termasuk di
dalamnya berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal , gangguan viseral krinik , lesi pada
saraf perifer , lesi pada radiks saraf , lesi pada ganglion dorsalis (termasuk neuropati diabetikum
, phantom limbs dan neuralgia post herpetica).1,4,5
Berdasarkan penyebabnya nyeri kronik dapat dibagi menjadi 2 yaitu nyeri neuropatik dan
nyeri psikogenik.1
Psikologis
Durasi < 3 Bulan > 3 Bulan
Fisiologi Nyeri :
1. Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius àaktivitas elektrik reseptor terkait.
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi stimulus yang intens
apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang ,
stimulus panas diatas 420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein
transducer spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi
stimulus noksious menjadi aliran yang menembus membran, membuat depolarisasi
membran dan mengaktifkan terminal perifer. Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau
produksi prostaglandin oleh siklo-oksigenase.1,3,6
2. Transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang
meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan
impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan
thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex. Ada dua jenis
transmisi saraf :
a) Ionotropik dimana mediator bekerja langsung pada pintu ion ke dalam sel. Ciri jenis
transmisi itu adalah (i) proses berlangsung cepat dan (ii) masa proses singkat.
b) Metabotropik dimana mediator bekerja lewat perubahan biokimia pada
membrane post-sinaps. Ciri transmisi cara ini adalah (i) lambat dan (ii) berlangsung
lama. Prostaglandin E 2 termasuk dalam golongan metabotropik; Hiperalgesia karena
prostaglandin E 2 terjadi lambat tapi berlangsung lama. Morfin dan obat-opiat lainnya
juga masuk golongan metabotropik, tetapi obat-obat ini menghambat hiperalgesia —
bekerjanya juga lambat dan berlangsung lama. Trauma mekanik rupa-rupanya
langsung merusak integritas membran dan tergolong ionotropik , bersama bradykinin.
Rasa nyeri timbul cepat dan berlangsung singkat, kecuali bila kerusakan yang
ditimbulkannya hebat tentu rasa nyeri dapat berlangsung lama.
3. Modulasi yaitu aktivitas saraf utk mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah
diteruskan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di
medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat analgetika seperti morfin
(Dewanto). Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari
transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu
berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk koneksi
antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar
dan menuju ke medulla spinalis.2,4,5
4. Fase ini merupakan titik kesdaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi
sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi yang kompleksi. Persepsi
ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudia individu ini dapat
bereaksi.11 Fase ini dimulai saat sinyal dari formatio reticularis dan thalamus dilanjutkan
ke area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang bisa mengatur emosi ini. Area ini akan
memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat
sehingga suatu stimulus nyeri dapat dihindari.9.12
Untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam memilih nomer antara 0 sampai 10,
bisa digunakan skema yang sama dengan menggunakan penggaris, mungkin ini akan lebih
mudah karena pasien dapat menunjuk nomer di sepanjang garis. Alternatif yang lain,
beberapa pasien merasa lebih mudah untuk menunjukkan tingkat nyeri dengan
menggunakan kata ringan, moderat atau parah. Untuk yang lainnya, Visual Analog Scale
(VAS) lebih berguna. Dengan VAS pasien mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan
nyeri yang dirasakan disepanjang garis mulai dari tidak nyeri sampai nyeri yang paling
parah. Skala nyeri terakhir yang biasa dipakai adalah Wong Baker FACES Scales. Skala
ini menunjukkan 6 mimik muka yang menggambarkan tingkat penderitaan yang
diakibatkan nyeri.
Gambar 4
Gambar 5