Sempro Ojan
Sempro Ojan
Tahun 2017
Seminar Proposal
Penyusun
NIM :14010114120016
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
1.1 Latar Belakang Masalah
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang
dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui pilkada, rakyat
legitimasi kepada siapa yang berhak dan mampu untuk memerintah. Melalui
pilkada perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Pilkada dengan kata lain
merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan
Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi
dan inisiatif masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika
1 Pangi Sarwi, Titik Balik Demokrasi, Pustaka Intelegensia, Jakarta, 2012, hlm 64.
agenda desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan
bangsa, maka pilkada semestinya memberikan kontribusi yang besar terhadap hal
itu.
untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-
kepala daerah. Kedua, pilkada diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan
dan/atau daerah. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan desentralisasi dan
dengan tegas merumuskan bahwa setiap kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyat, karena sebelum tahun 2005, kepala daerah di
langsung yang termaktub dalam undang - undang nomor 32 tahun 2004 adalah
nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi
undang - undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih
demokratis lagi. Selanjutnya, pemilihan langsung kepala daerah dimasukkan
Umum, sehingga secara resmi dinamakan Pemilihan Umum Kepala Daerah atau
disingkat Pemilukada.
kehidupan masyarakat.
Dasar hukum lain yang terlibat dalam pelaksanaan pilkada yaitu Undang-
Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik. Dalam Undang-Undang tersebut, partai politik dijelaskan sebagai
organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk
Tahun 1945.2 Partai politik sebagai sebuah aktualisasi dari negara demokrasi
wadah penyaluran aspirasi politik rakyat baik secara langsung maupun tindak
langsung, selain itu partai politik memiliki fungsi yang sangat penting dalam
Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan
tanggung jawab setiap warga negara dalam berkehidupan bangsa dan Negara3.
Indonesia yang sangat luas dan memiliki keberagaman suku, etnis, dan
atau intoleransi. Hal itu menguat karena adanya politik identitas yang dilakukan
merasa tersingkir oleh dominasi kelompok lainnya di dalam sebuah bangsa atau
2 R.I., Undang-Undang Republik Indonesia no 2 tahun 2011, tetang Partai Politik, Bab I, pasal 1
ayat 1
3 Ibid.
negara.4 Contohnya seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di mana praktik
Begitupun era orde baru ketika Soeharto lebih memilih merangkul golongan
Pemilu 1999 pemilu pertama era reformasi, 141 partai mendaftarkan diri secara
maupun etnis.
Etnis dan agama yang beragam menjadi peluang dalam konstelasi politik
cakupan yang lebih kecil yaitu Pilkada. Politik identitas ini cenderung mengarah
keberagaman ras, suku, adat, dan agama yang sejak dulu menjadi identitas bangsa
4 Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Democracy Project,
Jakarta, 2012.
Indonesia menjadi terancam. Keadaan ini menguat sejak kontestasi Pilkada DKI
Jakarta 2017 hingga berlanjut pada peristiwa demontrasi saat Wakil Ketua DPR
Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan Ke-15 di Aceh. Penolakan terhadap Wakil
Ketua DPR Fahri Hamzah terjadi akibat masyarakat pendemo menilai bahwa
adanya kontestasi politik. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) M. Imdadun Rahmat mengatakan bahwa dewasa ini ada peningkatan yang
2016. Sementara itu pada tahun 2017, aksi intoleran semakin meningkat terutama
semenjak masa kampanye pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung. Aksi intoleransi
kekuasaan politik dalam kepentingan politik praktis dan hal itu berpengaruh besar
agama dan etnis, pun menjadi taksasi kemenangan politik yang kadaung ditakar
Klimaksanya, dikotomi Islam non Islam atau pribumi non pribumi, menjadi titik
sumbu gesekan yang begitu kuat menggahar publik untuk melihat kandidat
khususnya Ahok yang acap dikanalisasi sebagai etnis Tionghoa dan non muslim.
Proses pilkada DKI mulai dari masa kampanye sampai dengan rekapitulasi
suara putaran satu memang dipenuhi oleh dinamika. Timbulnya isu suku, agama,
ras, dan antar golongan (SARA) menjadi salah satu dinamika pilkada DKI 2017
ini. Para calon pemilih dihasut agar tidak memilih pasangan dengan suku dan
agama tertentu. Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-
forum internet, banner-banner di jalanan, dan pesan berantai lewat telepon seluler.
Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih calon yang non-muslim, apalagi
sampai ada rumah ibadah yang secara terang-terangan menolak mengurus jenazah
para pemilih yang memilih calon non-muslim.5 Tidak hanya sampai disitu,
memilih paslon yang berasal dari non-muslim.6 Selain itu juga banyak bersebaran
5 https://news.detik.com/berita/3431691/viral-masjid-ini-tolak-salatkan-jenazah-pembela-penista-
agama diakses pada 15 Maret 2017 pukul 11:21
6 http://www.bintang.com/lifestyle/read/2886359/kronologi-ditelantarkannya-jenazah-nenek-
hindun diakses pada 15 Maret 2017 pukul 11:30
Selain itu, aksi-aksi untuk menolak isu sara pun banyak dilakukan di
berbagai daerah di DKI Jakarta. Segenap masyarakat yang kontra terhadap isu
sara yang sudah menjerumus jauh masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan pun
akhirnya berani melawan isu-isu SARA yang beredar di DKI Jakarta. Pro-kontra
terhadap masalah ini juga yang nantinya dapat mempengaruhi perilaku pemilih
Gambar 1.3
konstelasi politik nasional. Berkembangnya isu SARA pada pilkada DKI 2017 ini
banyak diprediksi akan berbuntut hingga pilpres 2019 karena politisi-politisi yang
terjun langsung dalam pilkada DKI 2017 ini adalah politisi-politisi skala nasional.
DKI Jakarta bukan tidak mungkin dijadikan batu loncatan untuk masing-masing
kubu menyusun strategi yang akan digunakan pada 2019 nanti. Dengan demikian
untuk dielaborasi dalam suatu permasalahan yang dapat diteliti. Penulis tertarik
untuk mengetahui dan membedah tentang bagaimana Perilaku Pemilih DKI
cakupan masyarakat DKI Jakarta dalam memilih calon gubernur dan wakil
gubernur pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Agar pembahasan ini lebih fokus,
1. Bagaimana perilaku pemilih DKI Jakarta dalam memilih calon Gubernur dan
memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017?
memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017
memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017
Jakarta 2017 dan mengembangkan teori-teori politik yang dalam hal ini berkaitan
pemilukada.
sendiri.7 Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah dan
mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara disini berhak untuk
yang ada dengan ikut serta pada kegiatan politik seperti memberikan hak suara
dengan cara bergabung dengan partai politik. Asumsi yang mendasari demokrasi
7 Mubyarto. Ekonomi dan Keadilan Sosial. Jakarta. Aditya Media. 1995. Hlm 34
(dan partisipasi) adalah orang yang paling tahu apa yang baik bagi dirinya adalah
politik warga negaranya karena partisipasi politik dianggap sebagai hak warga
berbeda dari satu negara dengan negara yang lain. Terdapat keadaan dimana
dalam suatu negara, partisipasi politik masyarakatnya tiggi dan ada juga negara
menjadi pengurus partai dan ikut kampanye, (2) kegiatan transisi meliputi
kegiatan pemberian dukungan kepada kandidat atau parpol, (3) kegiatan monoton
meliputi kegiatan yang sekedar memakai atribut kandidat atau parpol seperti
memakai kaos, topi dan memasang stiker dimobil atau didinding rumah dan (4)
bersikap apatis atau masa bodoh. Dengan demikian, “voting behavior” merupakan
bentuk partisipasi politik aktif yang paling kecil dari masyarakat karena hanya
menuntut suatu keterlibatan minimal yang akan berhenti jika pemberian suara
telah terlaksana.
partisipasi politik aktif dan partisipasi politik pasif. 10 Yang termasuk partisipasi
dibuat pemerintah, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, bahwa partisipasi aktif
merupakan kegiatan yang berorientasi pada input dan output politik. Sedangkan
dengan Pemilu, partisipasi politik aktif bisa berupa tindakan ikut serta dalam
proses rekruitmen politik hingga pemenangan suatu partai atau calon, sedangkan
pasif hanya berorientasi pada apa yang sudah ada, contohnya memilih calon.
politik dan ada juga yang tidak? Faktor-faktor yang dipercaya mempengaruhi
adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini
10 Agustino Leo, Perihal Ilmu PolitikSebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta :
Graha Ilmu 2007 hal 61
individu dengan penguasa ataupun individu dengan lembaga politik yang ada. Hal
yaitu perilaku yang berkaitan dengan proses pembuatan keputusan atau kebijakan
politik.
masyarakat dalam pemilu, perilaku memilih adalah keikut sertaan warga negara
Harold d. Lasswell yang dikutip oleh S.P. Varma, memberikan catatan penting
pada nilai atau berusaha mencapai tujuan. Nilai dan tujuan dibentuk dalam proses
12 Ibid.
memiliki dimensi orientasi, dimensi nilai, dan dimensi waktu. Dimensi orientasi
dimensi nilai lebih menunjukkan suatu hal, baik abstrak maupun konkret yang
perilaku politik yang akan berkembang pada masa akan datang. Dari ketiga
dimensi tersebut, dimensi orientasi dan nilai lebih baik menunjukkan bahwa
seseorang memilih suatu calon atau kandidat terdapat beberapa pendekatan yang
pendekatan rasional/ekonomi.15
sosial setiap individu seperti agama, ras, golongan, dan karakteristik sosial
lainnya.
kajian utama perilaku pemilih yaitu ikatan emosional pada suatu partai
14 Ibid.
15 Muhammad Asfar. Pemilu dan Perilaku Memilih. Pustaka Eureka. Jakarta. 2012. Hlm 137-144
- Pendekatan Rasional adalah pendeketana politik terhadap pemilih lewat hal-
solving” yang terpenting bagi mereka adalah sampai sejauh mana kandidat
mampu menawarkan program kerja atau solusi bagi suatu permasalahan yang ada.
Pemilih akan cenderung secara objektif memilih partai politik atau kandidat yang
program kerja partai politik atau kandidat pemilu yang arah kebijakannya tidak
2) Orientasi Ideology
kandidat, akan mementingkan ikatan “ideologi” suatu partai atau kandidat, akan
emosi, dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai atau kandidat pemilu,
pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai atau kandidat
tersebut.
1. Pemilih Rasiona1
tersebut melalui kinerja partai atau kandidat di masa lampau, dan tawaran
program kerja yang ditawarkan oleh kandidat atau partai politik dalam
Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan
ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau kandidat yang mencalonkan diri.
Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa (dan yang telah)
2. Pemilih Kritis
Proses untuk menuju jenis pemilih ini bisa terjadi melalui 2 hal yaitu
pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk
menentukan kepada partai atau kandidat pemilu mana mereka akan berpihak dan
selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah
dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dulu
dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/ kontestan baru kemudian
sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka
akan selalu menganalisis kaitannya antar sistem partai ideologi dengan kebijakan
yang dibuat.
3. Pemilih Tradisional
Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan suatu partai politik atau seorang kandidat sebagai
sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat
sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik dan kandidat pemilu.
pendidikan, dan lain-lain, dianggap sebagai prioritas kedua. Pemilih jenis ini lebih
cenderung mudah untuk dimobilisasi pada masa kampanye, pemilih jenis ini
memilik loyalitas yang sangat tinggi. Mereka menganggap apa saja yang
dikatakan oleh kandidat pemilu atau partai politik merupaka sebuah kebenaran
4. Pemilih Skepsis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi
kepada partai politik maupun kandidat peserta pemilu, pemilih ini juga tidak
berpartisipasi dalam pemilu, biasanya mereka secara acak atau random, hasilnya
sama saja, tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terbagi bagi kondisi
Daerah/ Negara.
nanti harus bisa memahami segala jenis pemilih dan berusaha merebut suara
semakin kuat. Mereka harus mampu mencari suara dari tiap jenis pemilih yang
ada. Untuk itu mereka pada umumnya membutuhkan dukungan dari tokoh-tokoh
ataupun hal-hal yang membuat setiap jenis pemilih diatas mau mendukung
Pada hakekatnya pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil demi terewujudnya demokrasi
umum juga merupakan suatu sarana bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi
dalam memberikan suaranya guna memilih wakil rakyat, serta merupakan bukti
Pemilihan umum juga disebut dengan arena “political market” yang berarti bahwa
mekanisme politik untuk mengkonversi suara rakyat (votes) menjadi wakil rakyat
16 Ali Moertopo. Strategi Politik Nasional. Jakarta. Yayasan Proklamasi. 1974. Hlm 30
17 Ibnu Tricahyono. Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Malang.
In-Trans Publishing. 2009.
(seats). Pemilu merupakan suatu arena kompetisi. Menang atau kalahnya suatu
warga Negara. Sebagai instrument yang sangat penting dalam rangka untuk
memilih dan ikut menentukan para wakil sekaligus pemimpin rakyat yang akan
juga digunakan sebagai parameter penting dari proses transisi menuju konsolidasi
demokrasi.
masalah, maka diperlukan sebuah konsep. Konsep yang digunakan ini bersumber
pada pikiran atau teori yang masih universal. Konsep itu sendiri dapat dikatakan
sebagai suatu definisi singkat dari fenomena atau fakta. Adapun konsep-konsep
sesuai dengan kesadaran diri sendiri maupun atas dorongan pihak lain yang
sistem politik. Partisipasi politik dipengaruhi oleh budaya politik yang telah
pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok melalui pendekatan-
penilaian seseorang terhadap suatu objek politik yaitu partai politik dan caleg.
DKI Jakarta dalam Pilkada DKI 2017 dengan mengelompokan jenis pemilih
Skeptis.
memilih dan partisipasi politik yang dijabarkan dari definisi konsep tentang
agar dapat dioperasionalkan. Pada tabel dibawah ini akan dijelaskan definisi
Indikator Variabel
Partisipasi Politik Ikut memilih pada Pilkada DKI 2017
Alasan ikut memilih pada Pilkada DKI
2017
Pasangan kandidat yang dipilih pada
Pilkada DKI 2017
Alasan memilih pasangan kandidat
tersebut pada Pilkada DKI 2017
Faktor kedaerahan dalam memilih
pasangan kandidat
Jenis atau tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, jika dilihat
survey.18 Hal ini karena penelitian ini bertujuan menghasilkan deskripsi beberapa
aspek dari populasi yang dipelajari dan memerlukan informasi dari subjek yang
18Purwanto. Erwan Agus, Dyah Ratih S, Metode Penelitian Kuantitatif, Yogyakarta : Gava Media
2007 hal 31-32
dipelajari dan mengumpulkan informasi tentang variabel dari sekelompok objek
analisis oleh peneliti berdasarkan hasil pengamatan langsung dari lapangan yang
bersumber dari pihak – pihak yang terkait yang ada hubungannya dalam perilaku
1.9.3. Populasi
Populasi adalah suatu kelompok yang memiliki karakteristik serupa, atau
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek atau subyek yang
metode kuantitatif ini adalah seluruh masyarakat yang terdaftar dalam Daftar
Pemilih Tetap Pilkada Provinsi DKI Jakarta 2017 Sebesar 7.218.280 Jiwa.
1.9.4. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih mengikuti prosedur tertentu
sehingga dapat mewakili populasinya.21 Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu
mengenai “Perilaku Pemilih DKI Jakarta Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
2017” maka penulis mengambil sampel secara umum. Tekhnik yang digunakan
dalam pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Purposive sampling sesuai
19 Ibid.Purwanto. Erwan Agus, Dyah Ratih S, Metode Penelitian Kuantitatif hlm 31-32
20Harrison Lisa, Metode Penelitian Politik Jakarta : Kencana, 2009 hlm 22-23
21 Ibid.
dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang
atau sesuatu tersebut diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa
seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi suatu
penelitian.
Adapun Rumus yang digunakan dalam menentukan ukuran atau besaran
N
n =
1 + Ne2
Dimana:
n= ukuran sampel
N= ukuran populasi
e= tingkat kesalahan
7.218.280
n =
1 + (7.218.280 x 0,10 x 0,10)
7.218.280
n =
72.183
n = 99,9
calon tersebut karena daerah tersebut dinilai rawan konflik mengingat adanya
basis massa yang kuat dari kandidat calon. Dari 4 kelurahan tersebut disebarkan
kuesioner sebanyak 100 lembar bagi 100 responden, maka setiap kelurahan dibagi
untuk dipilih sebagai sampel. Teknik yang digunakan pada penelitian ini
anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata
kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau bilangan. Sesuai dengan
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya atau responden,
b. Data Sekunder
yaitu data yang diperoleh dari laporan-laporan, internet, surat kabar, dokumen-
a. Kuesioner
Jakarta.
b. Dokumentasi
Yaitu pengumpulan data yang berasal dari sumber-sumber data yang berupa
catatan literatur, buku-buku, berita, media, dan hal lain yang berhubungan dengan
penelitian.
responden akan memilih salah satu dari jawaban yang telah disepakati oleh
peneliti.
Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif kuantitatif. Data
yang telah terkumpul dilakukan editing (penyuntingan), hal ini untuk menghindari
terjadinya kesalahan. Setelah itu dilakukan koding (penandaan) serta entry data
Penyajian data dalam bentuk teks atau narasi, table dan tabulasi silang atau bagan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asfar, Muhammad. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004 .Pustaka
Eureka. Halaman 137.
Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Halaman
102.
Marijan, Kacung. 2011. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca
Orde Baru, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Halaman 71.
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Politik.Jakarta: Gramedia Halaman 175.
Syarwi, Pangi. 2012. Titik Balik Demokrasi. Jakarta: Pustaka Intelegensia,
halaman 64.
Maarif, Ahmad Syafii. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan
PluralismeKita,Democracy.Project, Jakarta, 2012
Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia No 2 Tahun 2011,tetang Partai Politik, Bab I,
pasal 1 ayat 1
Website
http://kpujakarta.go.id/produk_hukum/ diakses pada 14 Maret 2017 pukul 20:31
http://kpujakarta.go.id/produk_hukum/ diakses pada 14 Maret 2017 pukul 21:22
https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/2/t1/dki_jakarta diakses pada 27 April 2017
pukul 20:55
https://news.detik.com/berita/3431691/viral-masjid-ini-tolak-salatkan-jenazah-
pembela-penista-agama diakses pada 15 Maret 2017 pukul 11:21
http://www.bintang.com/lifestyle/read/2886359/kronologi-ditelantarkannya-
jenazah-nenek-hindun diakses pada 15 Maret 2017 pukul 11:30
Pangi Sarwi, Titik Balik Demokrasi, Pustaka Intelegensia, Jakarta, 2012, hlm 64.
Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Democracy Project,
Jakarta, 2012.
Mubyarto. Ekonomi dan Keadilan Sosial. Jakarta. Aditya Media. 1995. Hlm 34
Muhammad Asfar. Pemilu dan Perilaku Memilih. Pustaka Eureka. Jakarta. 2012. Hlm 137-144
Ali Moertopo. Strategi Politik Nasional. Jakarta. Yayasan Proklamasi. 1974. Hlm 30
Ibnu Tricahyono. Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Malang. In-
Trans Publishing. 2009.