Anda di halaman 1dari 31

Perilaku Pemilih DKI Jakarta Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta

Tahun 2017

Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan

Seminar Proposal

Penyusun

Nama : Rian Fathoni

NIM :14010114120016

DEPARTEMEN ILMU POLITIK DAN PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2017
1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung

(Pemilukada). Semangat dilaksanakannya pemilukada adalah koreksi terhadap

sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala

daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang

berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pemilukada, masyarakat

sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai

kehendak hati nuraninya, tanpa perantar, dalam memilih kepala daerah.1

Pilkada merupakan salah satu intrumen untuk memenuhi desentralisasi

politik dimana dimungkinkan terjadinya transfer lokus kekuasaan dari pusat ke

daerah. Pilkada sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk memilih

dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui pilkada, rakyat

secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus memberikan

legitimasi kepada siapa yang berhak dan mampu untuk memerintah. Melalui

pilkada perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Pilkada dengan kata lain

merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan

masa depan pemerintahan yang absah (legitimate).

Keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah langkah strategis

dalam rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi.

Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi

dan inisiatif masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika

1 Pangi Sarwi, Titik Balik Demokrasi, Pustaka Intelegensia, Jakarta, 2012, hlm 64.
agenda desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan

bangsa, maka pilkada semestinya memberikan kontribusi yang besar terhadap hal

itu.

Selain keputusan tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang

memperkuat pentingnya pilkada langsung adalah: Pertama, pilkada diperlukan

untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-

kepala daerah. Kedua, pilkada diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan

efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, pilkada akan memperkuat dan

meningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka

peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah

dan/atau daerah. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan desentralisasi dan

otonomi daerah yaitu dalam rangka pelatihan dan kepemimpinan nasional.

Di Indonesia, pilkada sudah diatur sejak tahun 2004, pemerintah telah

menetapkan sebuah landasan hukum yang mengatur jalannya pilkada, yaitu

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang

dengan tegas merumuskan bahwa setiap kepala daerah dan wakil kepala daerah

dipilih langsung oleh rakyat, karena sebelum tahun 2005, kepala daerah di

masing-masing daerah ditunjuk langsung oleh DPRD. Pemilihan kepala daerah

langsung yang termaktub dalam undang - undang nomor 32 tahun 2004 adalah

sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan demokrasi selanjutnya

melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang - undang

nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi

undang - undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih
demokratis lagi. Selanjutnya, pemilihan langsung kepala daerah dimasukkan

dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan

Umum, sehingga secara resmi dinamakan Pemilihan Umum Kepala Daerah atau

disingkat Pemilukada.

Landasan hukum atas Pemilukada pun terus berkembang. Dalam kurun

waktu 3 Tahun terakhir, PERPPU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota disahkan menjadi Undang-Undang No 1 tahun 2015 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang selanjutnya dilakukan perubahan

atas undang-undang tersebut yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 2015 Perubahan atas Undang-Undang No 1 tahun 2015 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota. Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota pun kembali mendapatkan perubahan

dan diganti menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam undang-undang No 10 tahun 2016 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ini diharapkan dapat mewujudkan

pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara lebih demokratis.

Sebab penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota itu sendiri

bertujuan untuk memilih pemimpin di daerah yang memperoleh dukungan kuat

dari rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan daerah

dalam rangka tercapainya tujuan untuk memajukan dan mensejahterakan

kehidupan masyarakat.

Dasar hukum lain yang terlibat dalam pelaksanaan pilkada yaitu Undang-

Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik. Dalam Undang-Undang tersebut, partai politik dijelaskan sebagai

organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara

Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk

memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa

dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.2 Partai politik sebagai sebuah aktualisasi dari negara demokrasi

memiliki posisi yang strategis dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan

dalam sebuah pemerintahan daerah maupun pusat. Partai politik merupakan

wadah penyaluran aspirasi politik rakyat baik secara langsung maupun tindak

langsung, selain itu partai politik memiliki fungsi yang sangat penting dalam

membangun partisipasi politik rakyat dengan melakukan pendidikan politik

kepada masyarkat. Berdasarkan Undang-Undang no 2 tahun 2011 Pendidikan

Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan

tanggung jawab setiap warga negara dalam berkehidupan bangsa dan Negara3.

Indonesia yang sangat luas dan memiliki keberagaman suku, etnis, dan

agama dalam keberjalanan demokrasinya mendapatkan banyak dinamika,

demokrasi di Indonesia dewasa ini semakin diwarnai oleh isu-isu keberagaman

atau intoleransi. Hal itu menguat karena adanya politik identitas yang dilakukan

oleh praktis-praktisi politik Indonesia. Menurut Kauffman, politik identitas

bermula dari adanya kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang

merasa tersingkir oleh dominasi kelompok lainnya di dalam sebuah bangsa atau

2 R.I., Undang-Undang Republik Indonesia no 2 tahun 2011, tetang Partai Politik, Bab I, pasal 1
ayat 1
3 Ibid.
negara.4 Contohnya seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di mana praktik

pembedaan kelompok masyarakat telah membangun kesadaran golongan yang

merasa terpinggirkan seperti masyarakat kulit hitam, dan etnis-etnis lainnya

melawan golongan masyarakat kulit putih.

Politik identitas bukanlah hal yang baru di Indonesia. Dalam konsetlasi

politik nasional, era orde lama kepemimpinan Soekarno pernah menggunakan

politik identitas saat masa kepemimpinannya salah satunya dengan cara

mengakomodir tokoh-tokoh cendikiawan muslim untuk mendirikan partai Islam.

Begitupun era orde baru ketika Soeharto lebih memilih merangkul golongan

kejawen-abangan dibanding ormas-ormas islam lainnya. Masuk pada era

reformasi, keran kebebasan berekspersi yang lama hilang menjadikan gerbang

besar naiknya politik identitas. Adanya peluang tersebut yang mendorong

masyarakat mendirikan partai politik atas dasar identitas masing-masing. Di era

ini, pertumbuhan partai-partai politik ibarat jamur di musim hujan. Menyongsong

Pemilu 1999 pemilu pertama era reformasi, 141 partai mendaftarkan diri secara

resmi dan banyak di antaranya membawa identitasnya masing-masing baik agama

maupun etnis.

Etnis dan agama yang beragam menjadi peluang dalam konstelasi politik

cakupan yang lebih kecil yaitu Pilkada. Politik identitas ini cenderung mengarah

kepada banyaknya isu SARA yang muncul di daerah-daerah. Perbedaan yang

tadinya saling melengkapi menjadi saling berhadapan. Kebinekaan dan

keberagaman ras, suku, adat, dan agama yang sejak dulu menjadi identitas bangsa

4 Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Democracy Project,
Jakarta, 2012.
Indonesia menjadi terancam. Keadaan ini menguat sejak kontestasi Pilkada DKI

Jakarta 2017 hingga berlanjut pada peristiwa demontrasi saat Wakil Ketua DPR

Fahri Hamzah melakukan kunjungan kerja ke Manado, Sulawesi Utara maupun

penolakan terhadap Gubernur Kalimantan Barat Cornelis saat mengikuti Pekan

Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan Ke-15 di Aceh. Penolakan terhadap Wakil

Ketua DPR Fahri Hamzah terjadi akibat masyarakat pendemo menilai bahwa

beliau adalah sosok anti toleransi, sementara penolakan terhadap Gubernur

Cornelis seolah merupakan tindakan balasan karena sehari sebelumnya pemimpin

Front Pembela Islam (FPI) ditolak kehadirannya di Pontianak, Kalimantan Barat.

Di Indonesia, konsep politik identitas semakin menguat terutama saat

adanya kontestasi politik. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas

HAM) M. Imdadun Rahmat mengatakan bahwa dewasa ini ada peningkatan yang

signifikan terkait kasus intoleransi akibat pelanggaran hak kebebasan beragama

dan berkeyakinan. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2015 Komnas HAM

menerima sejumlah 87 laporan dan meningkat menjadi 97 laporan pada tahun

2016. Sementara itu pada tahun 2017, aksi intoleran semakin meningkat terutama

semenjak masa kampanye pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung. Aksi intoleransi

yang cenderung meningkat saat berlangsungnya Pemilu maupun Pilkada terjadi

karena politik identitas yang membeda-bedakan keanggotaan masyarakat juga

cenderung menguat. Pemilih akhirnya rentan menjadi sarana dalam perebutan

kekuasaan politik dalam kepentingan politik praktis dan hal itu berpengaruh besar

terhadap perilaku memilih masyarakat pada saat pesta demokrasi.


Pilgub DKI 2017 seakan menjadi titik balik politik identitas di Indonesia.

Isu-isu sectarian yang mewakili identitas primordial kandidat tertentu, begitu

menyeruak ke permukaan publik. Pemetaan kelompok identitas berdasarkan suku,

agama dan etnis, pun menjadi taksasi kemenangan politik yang kadaung ditakar

berbagai kalangan, dari pengamat hingga diskusi masyarakat di warung kopi.

Klimaksanya, dikotomi Islam non Islam atau pribumi non pribumi, menjadi titik

sumbu gesekan yang begitu kuat menggahar publik untuk melihat kandidat

Gubernur DKI tertentu berdasarkan identitas priomordialnya. Dalam soal ini,

hantaman politik dikotomi begitu kuat menyasar ke figure Ahok-Djarot;

khususnya Ahok yang acap dikanalisasi sebagai etnis Tionghoa dan non muslim.

Proses pilkada DKI mulai dari masa kampanye sampai dengan rekapitulasi

suara putaran satu memang dipenuhi oleh dinamika. Timbulnya isu suku, agama,

ras, dan antar golongan (SARA) menjadi salah satu dinamika pilkada DKI 2017

ini. Para calon pemilih dihasut agar tidak memilih pasangan dengan suku dan

agama tertentu. Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-

forum internet, banner-banner di jalanan, dan pesan berantai lewat telepon seluler.

Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih calon yang non-muslim, apalagi

berasal dari etnis tertentu. Tetapi, masing-masing calon membantah telah

melakukan kampanye yang berbau SARA.

Gambar 1. 1 Spanduk Tudingan Penistaan Agama


Masalah kampanye SARA ini seakan menjadi faktor yang dapat

mempengaruhi pemilih. Karena sudah sangat masifnya permasalahan SARA ini

sampai ada rumah ibadah yang secara terang-terangan menolak mengurus jenazah

para pemilih yang memilih calon non-muslim.5 Tidak hanya sampai disitu,

seorang pemilih salah satu paslon sempat ditelantarkan jenazahnya lantaran

memilih paslon yang berasal dari non-muslim.6 Selain itu juga banyak bersebaran

spanduk-spanduk bernada provokatif dari masing-masing tim sukses paslon yang

ditakutkan dapat memecah belah toleransi.

5 https://news.detik.com/berita/3431691/viral-masjid-ini-tolak-salatkan-jenazah-pembela-penista-
agama diakses pada 15 Maret 2017 pukul 11:21

6 http://www.bintang.com/lifestyle/read/2886359/kronologi-ditelantarkannya-jenazah-nenek-
hindun diakses pada 15 Maret 2017 pukul 11:30
Selain itu, aksi-aksi untuk menolak isu sara pun banyak dilakukan di

berbagai daerah di DKI Jakarta. Segenap masyarakat yang kontra terhadap isu

sara yang sudah menjerumus jauh masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan pun

akhirnya berani melawan isu-isu SARA yang beredar di DKI Jakarta. Pro-kontra

terhadap masalah ini juga yang nantinya dapat mempengaruhi perilaku pemilih

saat menentukan pilihan calon gubernur/wakil gubernur.

Gambar 1.3

Status DKI Jakarta sebagai ibukota yang nantinya akan banyak

mempengaruhi konstelasi-konstelasi daerah lainnya bahkan akan mempengaruhi

konstelasi politik nasional. Berkembangnya isu SARA pada pilkada DKI 2017 ini

banyak diprediksi akan berbuntut hingga pilpres 2019 karena politisi-politisi yang

terjun langsung dalam pilkada DKI 2017 ini adalah politisi-politisi skala nasional.

DKI Jakarta bukan tidak mungkin dijadikan batu loncatan untuk masing-masing

kubu menyusun strategi yang akan digunakan pada 2019 nanti. Dengan demikian

bahwa perilaku pemilih di DKI Jakarta dengan seluruh dinamikanya menarik

untuk dielaborasi dalam suatu permasalahan yang dapat diteliti. Penulis tertarik
untuk mengetahui dan membedah tentang bagaimana Perilaku Pemilih DKI

Jakarta pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis hanya membatasi pada

cakupan masyarakat DKI Jakarta dalam memilih calon gubernur dan wakil

gubernur pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Agar pembahasan ini lebih fokus,

penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perilaku pemilih DKI Jakarta dalam memilih calon Gubernur dan

Wakil Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017?

2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi pemilih DKI Jakarta dalam

memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis perilaku pemeilih DKI Jakarta dalam

memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilih dalam

memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017

1.3 Kegunaan Penelitian

1.3.1. Kegunaan Teoritis


Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis Pilkada DKI

Jakarta 2017 dan mengembangkan teori-teori politik yang dalam hal ini berkaitan

dengan perilaku pemilih dan partisipasi politik dalam kaitannya menjatuhkan

pilihan terhadap pasangan calon gubernur/wakil gubernur yang maju dalam

pemilukada.

1.3.2. Kegunaan Praktis

Diharapkan juga penelitian ini dapat menjadi bahan untuk menjelaskan

kepada masyarakat tentang gambaran perilaku memilih mereka dalam

menentukan pilihan pada pilkada DKI Jakarta 2017.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. partisipasi

politik sebagai kesediaan untuk membantu keberhasilan setiap program sesuai

dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri

sendiri.7 Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah dan

mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara disini berhak untuk

ikut serta dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan

yang ada dengan ikut serta pada kegiatan politik seperti memberikan hak suara

dalam memilih pemimpin maupun menyampaikan aspirasi kepada pemerintah

dengan cara bergabung dengan partai politik. Asumsi yang mendasari demokrasi

7 Mubyarto. Ekonomi dan Keadilan Sosial. Jakarta. Aditya Media. 1995. Hlm 34
(dan partisipasi) adalah orang yang paling tahu apa yang baik bagi dirinya adalah

orang itu sendiri . 8


Negara dengan sistem demokrasi membuka ruang bagi partisipasi

politik warga negaranya karena partisipasi politik dianggap sebagai hak warga

negara, tetapi dalam kenyataannya, presentase warga negara yang berpartisipasi

berbeda dari satu negara dengan negara yang lain. Terdapat keadaan dimana

dalam suatu negara, partisipasi politik masyarakatnya tiggi dan ada juga negara

dengan tingkat partisipasi politik masyarakatnya rendah.


Pada perkembangannya partisipasi politik masyarakat terbagi dalam

tingkatan-tingkatan. Mirbath and Goel membagi suatu bentuk keterlibatan politik

warganegara menjadi empat golongan,9 yaitu (1) kegiatan gladiator meliputi;

menjadi kandidat, menghimpun dana politik, mengikuti rapat-rapat politik,

menjadi pengurus partai dan ikut kampanye, (2) kegiatan transisi meliputi

kegiatan pemberian dukungan kepada kandidat atau parpol, (3) kegiatan monoton

meliputi kegiatan yang sekedar memakai atribut kandidat atau parpol seperti

memakai kaos, topi dan memasang stiker dimobil atau didinding rumah dan (4)

bersikap apatis atau masa bodoh. Dengan demikian, “voting behavior” merupakan

bentuk partisipasi politik aktif yang paling kecil dari masyarakat karena hanya

menuntut suatu keterlibatan minimal yang akan berhenti jika pemberian suara

telah terlaksana.

8 Ramlan Surbakti. Memahami Politik. Jakarta. Gramedia. 1999. Hlm 175

9Ibid. Leo Agustino buku : Perihal Ilmu Politik halaman 61-62


Jika dilihat dari kegiatannya partisipasi politik dapat dibedakan menjadi

partisipasi politik aktif dan partisipasi politik pasif. 10 Yang termasuk partisipasi

aktif, diantaranya adalah : kegiatan mengajukan usul mengenai suatu kebijakan,

mengajukan alternatif kebiakan umum yang berlainan dengan kebiakan yang

dibuat pemerintah, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, bahwa partisipasi aktif

merupakan kegiatan yang berorientasi pada input dan output politik. Sedangkan

partisipasi politik pasif dapat berupa : kegiatan yang menaati pemerintah,

menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintahan, dan partisipasi

pasif merupakan kegiatan yang berorientasi pada output.11 Dalam kaitannya

dengan Pemilu, partisipasi politik aktif bisa berupa tindakan ikut serta dalam

proses rekruitmen politik hingga pemenangan suatu partai atau calon, sedangkan

pasif hanya berorientasi pada apa yang sudah ada, contohnya memilih calon.

Lantas mengapa ada masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan

politik dan ada juga yang tidak? Faktor-faktor yang dipercaya mempengaruhi

tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang adalah kesadaran politik dan

kepercayaan kepada pemerintahan. Yang dimaksud dengan kesadaran politik

adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini

menyangkut pengetahuan seseorang mengenai lingkungan masyarakat dan politik

serta menyangkut bagaimana masyarakat menyikapi dan menaruh perhatian

terhadap aktivitas politik di lingkungan tempat ia hidup. Sedangkan yang

dimaksud dengan kepercayaan kepada pemerintahan adalah peniliain seseorang

10 Agustino Leo, Perihal Ilmu PolitikSebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta :
Graha Ilmu 2007 hal 61

11Ibid. Leo Agustino buku : Perihal Ilmu Politik halaman 61


terhadap pemerintah, penilaian mengenai apakah pemerintah yang ada telah

melaksanakan tugas dalam menjadikan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik

ataupun mengenai bagaimana seseorang menilai apakah suatu pemerintahan dapat

dipengaruhi atau tidak.

1.5.2 Perilaku Pemilih

Dalam sistem politik terdapat interaksi antara individu dengan individu,

individu dengan penguasa ataupun individu dengan lembaga politik yang ada. Hal

tersebut meperlihatkan adanya perilaku, salah satu diantaranya perilaku politik,

yaitu perilaku yang berkaitan dengan proses pembuatan keputusan atau kebijakan

politik.

Salah satu implikasi menganai perilaku politik adalah perilaku memilih

masyarakat dalam pemilu, perilaku memilih adalah keikut sertaan warga negara

dalam pemilu yang merupakan serangkaian tindakan membuat keputusan apakah

memilih atau tidak memilih. 12

Harold d. Lasswell yang dikutip oleh S.P. Varma, memberikan catatan penting

mengenai perilaku politik yaitu:13 Pertama, perilaku politik selalu berorientasi

pada nilai atau berusaha mencapai tujuan. Nilai dan tujuan dibentuk dalam proses

perilaku politik, yang sesungguhnya merupakan satu bagian. Kedua, perilaku

politik bertujuan menjangkau masa depan, bersifat mengantisipasi, berhubungan

dengan masa lampau, dan senantiasa memperhatikan kejadian masa lalu.

12 Ibid.

13 Muslim Mufti. Teori-Teori Politik. Bandung. Pustaka Setia. 2012. hlm 87


Dari dua catatan perilaku politik tersebut, jelas bahwa perilaku politik

memiliki dimensi orientasi, dimensi nilai, dan dimensi waktu. Dimensi orientasi

menunjukkan harapan-harapan individu atau kelompok yang hendak dicapai;

dimensi nilai lebih menunjukkan suatu hal, baik abstrak maupun konkret yang

diperbuat, dirumuskan, dilaksanakan, dan diperebutkan; sedangkan dimensi waktu

menunjukkan adanya keterkaitan langsung antara perilaku politik sekarang, latar

belakang perilaku politik sebelumnya, serta berhubungan langsung dengan

perilaku politik yang akan berkembang pada masa akan datang. Dari ketiga

dimensi tersebut, dimensi orientasi dan nilai lebih baik menunjukkan bahwa

perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses

pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.14

Pemahaman dalam perkembangannya, voting behaviour atau perilaku

memilih yang digunakan unutk menjawab pertanyaan mengenai alasan mengapa

seseorang memilih suatu calon atau kandidat terdapat beberapa pendekatan yang

sering digunakan yaitu: pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan

pendekatan rasional/ekonomi.15

- Pendekatan Sosiologis adalah pendeketan yang berakar pada karakteristik

sosial setiap individu seperti agama, ras, golongan, dan karakteristik sosial

lainnya.

- Pendekatan Psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai

kajian utama perilaku pemilih yaitu ikatan emosional pada suatu partai

politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat.

14 Ibid.

15 Muhammad Asfar. Pemilu dan Perilaku Memilih. Pustaka Eureka. Jakarta. 2012. Hlm 137-144
- Pendekatan Rasional adalah pendeketana politik terhadap pemilih lewat hal-

hal yang dapat menguntungkan pemilih. Biasanya pemilih akan menimbang

untung dan rugi calon tersebut pada si pemilih tersebut.

1.5.2.1 Orientasi Pemilih

1) Orientasi Policy – Problem Solving

Ketika pemilih menilai seorang kandidat dari kacamata “policy-problem-

solving” yang terpenting bagi mereka adalah sampai sejauh mana kandidat

mampu menawarkan program kerja atau solusi bagi suatu permasalahan yang ada.

Pemilih akan cenderung secara objektif memilih partai politik atau kandidat yang

memiliki kepekaan terhadap permasalahan sosial (daerah) dan kejelasan-kejelasan

program kerja partai politik atau kandidat pemilu yang arah kebijakannya tidak

jelas, maka akan cenderung untuk tidak dipilih oleh masyarakat.

2) Orientasi Ideology

Pemilih yang cenderung mementingkan ideologi suatu partai atau

kandidat, akan mementingkan ikatan “ideologi” suatu partai atau kandidat, akan

menekankan aspek-aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya, norma,

emosi, dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai atau kandidat pemilu,

pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai atau kandidat

tersebut.

1.5.2.2 Jenis-Jenis Pemilih

1. Pemilih Rasiona1

Pemilih ini lebih mengutamakan kepada orientasi yang tinggi terhadap

policy-problem-solving dan berorientasi rendah terhadap faktor ideologi. Pemilih


dalam tipe ini lebih melihat daripada kemampuan partai politik atau calon

kandidat pemilu berdasarkan program kerjanya, mereka melihat program kerja

tersebut melalui kinerja partai atau kandidat di masa lampau, dan tawaran

program kerja yang ditawarkan oleh kandidat atau partai politik dalam

menyelesaiakn permasalahan yang tengah berkembang.

Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan

ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau kandidat yang mencalonkan diri.

Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa (dan yang telah)

dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kandidat peserta pemilu.

2. Pemilih Kritis

Proses untuk menuju jenis pemilih ini bisa terjadi melalui 2 hal yaitu

pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk

menentukan kepada partai atau kandidat pemilu mana mereka akan berpihak dan

selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah

dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dulu

dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/ kontestan baru kemudian

mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan

sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka

akan selalu menganalisis kaitannya antar sistem partai ideologi dengan kebijakan

yang dibuat.

3. Pemilih Tradisional

Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak

terlalu melihat kebijakan suatu partai politik atau seorang kandidat sebagai
sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat

mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama

sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik dan kandidat pemilu.

Kebijakan seperti yang berhubungan dengan permasalah ekonomi, kesejahteraan,

pendidikan, dan lain-lain, dianggap sebagai prioritas kedua. Pemilih jenis ini lebih

cenderung mudah untuk dimobilisasi pada masa kampanye, pemilih jenis ini

memilik loyalitas yang sangat tinggi. Mereka menganggap apa saja yang

dikatakan oleh kandidat pemilu atau partai politik merupaka sebuah kebenaran

yang sudah tidak bisa ditawar lagi.

4. Pemilih Skepsis

Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi

kepada partai politik maupun kandidat peserta pemilu, pemilih ini juga tidak

menjadikan sebuah kebijakan sebagai hal yang penting. Kalaupun mereka

berpartisipasi dalam pemilu, biasanya mereka secara acak atau random, hasilnya

sama saja, tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terbagi bagi kondisi

Daerah/ Negara.

Setelah melihat beberapa jenis pemilih, para kandidat kandidat pemilu

nanti harus bisa memahami segala jenis pemilih dan berusaha merebut suara

pemilih tersebut, yaitu melalui kampanye. Karena dengan memahami jenis

pemilih yang ada, kemungkinan untuk memenangkan pemilu akan menjadi

semakin kuat. Mereka harus mampu mencari suara dari tiap jenis pemilih yang

ada. Untuk itu mereka pada umumnya membutuhkan dukungan dari tokoh-tokoh
ataupun hal-hal yang membuat setiap jenis pemilih diatas mau mendukung

mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah nanti.

1.5.3. Pemilihan Umum

Pada hakekatnya pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk

menjalankan kedaulatannya sesuai dengan asas yang mendasar dalam pembukaan

UUD 1945.16 Pemilihan umum merupakan instrument untuk mewujudkan

kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah, serta

sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Sebagai sarana untuk

mewujudkan kedaulatan rakyat, maka pemilihan umum dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil demi terewujudnya demokrasi

yang menjunjung tinggi kebebasan dan persamaan di depan hukum.17 Pemilihan

umum juga merupakan suatu sarana bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi

dalam memberikan suaranya guna memilih wakil rakyat, serta merupakan bukti

adanya upaya untuk mewujudkan demokrasi. Pemilihan umum dapat diartikan

sebagai suatu lembaga sekaligus praktek politik yang memungkinkan untuk

terbentuknya suatu pemerintahan perwakilan (representative goverment).

Pemilihan umum juga disebut dengan arena “political market” yang berarti bahwa

pemilu menjadi tempat dan individu/masyarakat untuk berinteraksi dan

melakukan kontrak social dengan para peserta pemilu. pemilu merupakan

mekanisme politik untuk mengkonversi suara rakyat (votes) menjadi wakil rakyat

16 Ali Moertopo. Strategi Politik Nasional. Jakarta. Yayasan Proklamasi. 1974. Hlm 30

17 Ibnu Tricahyono. Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Malang.
In-Trans Publishing. 2009.
(seats). Pemilu merupakan suatu arena kompetisi. Menang atau kalahnya suatu

kandidat akan ditentukan oleh rakyat dengan menggunakan mekanisme

pemungutan suara. Menentukan pilihan dalam pemilu merupakan hak setiap

warga Negara. Sebagai instrument yang sangat penting dalam rangka untuk

memilih dan ikut menentukan para wakil sekaligus pemimpin rakyat yang akan

duduk dalam pemerintahan, pemilu memberikan kesempatan bagi warga Negara

untuk memilih pejabatpejabat pemerintah yang benar-benar dianggap mampu

untuk mengaspirasikan kehendak mereka. Wakil rakyat yang dihasilkan dari

pemilu diharapkan mampu untuk merepresentasikan suara rakyat. Selain untuk

menghasilkan pemerintahan yang representative dan bertanggung jawab, pemilu

juga digunakan sebagai parameter penting dari proses transisi menuju konsolidasi

demokrasi.

1.7 Definisi Konsep

Untuk menyatukan pandangan di dalam melihat serta memahami suatu

masalah, maka diperlukan sebuah konsep. Konsep yang digunakan ini bersumber

pada pikiran atau teori yang masih universal. Konsep itu sendiri dapat dikatakan

sebagai suatu definisi singkat dari fenomena atau fakta. Adapun konsep-konsep

yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:


1.7.1 Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah suatu kegiatan warganegara secara sukarela dan

sesuai dengan kesadaran diri sendiri maupun atas dorongan pihak lain yang

bertujuan untuk mempengaruhi suatu keputusan atau kebijakan politik dalam

sistem politik. Partisipasi politik dipengaruhi oleh budaya politik yang telah

tertanam dalam suatu lingkungan masyarakat.


1.7.2 Perilaku Pemilih
Perilaku Memilih, merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan

pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok melalui pendekatan-

pendekatan yang tertanam pada masing-masing orang bisa secara sosiologis,

psikologis atau rasional tergantung bagaimana budaya politik masyarakat dan

penilaian seseorang terhadap suatu objek politik yaitu partai politik dan caleg.

1.7.3. Jenis-Jenis Pemilih

Jenis-jenis pemilih adalah pengelompokan orientasi memilih masyarakat

DKI Jakarta dalam Pilkada DKI 2017 dengan mengelompokan jenis pemilih

menjadi Pemilih Rasional, Pemilih Kritis, Pemilih Tradisional, atau Pemilih

Skeptis.

1.8 Definisi Operasional

Definisi operasional pada penelitian ini menfokuskan pada teori perilaku

memilih dan partisipasi politik yang dijabarkan dari definisi konsep tentang

perilaku memilih, partisipasi politik, dan jenis-jenis pemilih. Berdasarkan

penjelasan definisi konseptual terhadap variabel yang ada, maka definisi-definisi

tersebut harus dijabarkan dalam satuan-satuan pengukuran yang disebut indikator

agar dapat dioperasionalkan. Pada tabel dibawah ini akan dijelaskan definisi

operasional beserta indikator-indikator yang digunakan:

Indikator Variabel
Partisipasi Politik Ikut memilih pada Pilkada DKI 2017
Alasan ikut memilih pada Pilkada DKI
2017
Pasangan kandidat yang dipilih pada
Pilkada DKI 2017
Alasan memilih pasangan kandidat
tersebut pada Pilkada DKI 2017
Faktor kedaerahan dalam memilih
pasangan kandidat

Faktor kesamaan atau perbedaan etnis


dalam memilih pasangan kandidat
Faktor kesamaan atau perbedaan agama
dalam memilih pasangan kandidat
Perilaku Pemilih
Daya tarik dari partai pengusung pasangan
kandidat
Integritas (Jujur, amanah, bertanggung
jawab)
Daya tarik fisik
Popularitas
Orientasi terhadap program kerja dari
pasangan kandidat

Orientasi terhadap keselarasan antara


ideologi yang dianut dengan pembuatan
kebijakan dari pasangan kandidat
Jenis-jenis pemilih
Orientasi terhadap sosial-budaya, nilai-
nilai, asal-usul, paham, dan agama yang
dianut

Orientasi acak atau tidak berdasarkan


faktor apapun dari pasangan kandidat

1.9 Metode Penelitian

1.9.1. Jenis Penelitian

Jenis atau tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, jika dilihat

berdasar   atas   tujuannya   termasuk   jenis   penelitian   kuantitatif  dengan   metode

survey.18  Hal ini karena penelitian ini bertujuan menghasilkan deskripsi beberapa

aspek dari populasi yang dipelajari dan memerlukan informasi dari subjek yang

18Purwanto. Erwan Agus, Dyah Ratih S, Metode Penelitian Kuantitatif, Yogyakarta : Gava Media
2007 hal 31-32
dipelajari dan mengumpulkan informasi tentang variabel dari sekelompok objek

atau populasi,19  Dimana semua data yang dikumpulkan, dan kemudian di lakukan

analisis oleh peneliti berdasarkan hasil pengamatan langsung dari lapangan yang

bersumber dari pihak – pihak yang terkait yang ada hubungannya dalam perilaku

pemilih dalam pemilihan gubernur DKI 2017.

1.9.2. Tipe Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tipe dekriptif kuantitatif analis yang bertujuan

untuk menggambarkan dan menjelaskan secara sistematik mengenai Perilaku

Pemilih DKI Jakarta Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.

1.9.3. Populasi

Populasi adalah suatu kelompok yang memiliki karakteristik serupa, atau

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek atau subyek yang

mempunyai kualitas dan karakterisitik tertentu.20  Populasi dalam penelitian untuk

metode kuantitatif ini adalah seluruh masyarakat yang terdaftar dalam Daftar

Pemilih Tetap Pilkada Provinsi DKI Jakarta 2017 Sebesar 7.218.280 Jiwa.

1.9.4. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih mengikuti prosedur tertentu

sehingga dapat mewakili populasinya.21 Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu

mengenai “Perilaku Pemilih DKI Jakarta Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta

2017” maka penulis mengambil sampel secara umum. Tekhnik yang digunakan

dalam pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Purposive sampling sesuai
19 Ibid.Purwanto. Erwan Agus, Dyah Ratih S, Metode Penelitian Kuantitatif hlm 31-32

20Harrison Lisa, Metode Penelitian Politik Jakarta : Kencana, 2009 hlm 22-23

21 Ibid.
dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang

atau sesuatu tersebut diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa

seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi suatu

penelitian.
Adapun Rumus yang digunakan dalam menentukan ukuran atau besaran

sampel dari populasi adalah rumus slovin yaitu:

N
n =
1 + Ne2

Dimana:
n= ukuran sampel
N= ukuran populasi
e= tingkat kesalahan

7.218.280
n =
1 + (7.218.280 x 0,10 x 0,10)

7.218.280
n =
72.183

n = 99,9

Dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh hasil dengan

jumlah responden sebanyak 99,9 dan dibulatkan menjadi 100 responden.

Sedangkan kuesioner dibagikan ke 4 kelurahan tempat tinggal kandidat calon


putaran kedua, yaitu: Kelurahan Pluit domisili Ahok; Kelurahan Kuningan Timur

domisili Djarot; Kelurahan Cilandak Barat domisili Anies; Kelurahan Selong

domisili Sandiaga Uno. Kuisioner dibagikan ke kelurahan tempat tinggal kandidat

calon tersebut karena daerah tersebut dinilai rawan konflik mengingat adanya

basis massa yang kuat dari kandidat calon. Dari 4 kelurahan tersebut disebarkan

kuesioner sebanyak 100 lembar bagi 100 responden, maka setiap kelurahan dibagi

25 orang sebagai responden.

1.9.5. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan sampel

probabilita (probability sampling). Metode sampel probabilita adalah metode yang

menjelaskan bahwa setiap anggota populasi mendapat kesempatan yang sama

untuk dipilih sebagai sampel. Teknik yang digunakan pada penelitian ini

menggunakan simple random sampling. Dikatakan simple karena pengambilan

anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata

yang ada dalam populasi tersebut.

1.9.6. Jenis dan Sumber Data

1.9.6.1. Jenis Data

Jenis data pada penelitian ini menggunakan Data kuantitatif. Data

kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau bilangan. Sesuai dengan

bentuknya, data kuantitatif dapat diolah atau dianalisis menggunakan teknik

perhitungan matematika atau statistika

1.9.6.2. Sumber Data


Sumber data yang diperoleh untuk penelitian ini berupa:

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya atau responden,

yang diperoleh melalui pembagian dan pengisian kuesioner kepada narasumber

dan responden atau sampel yang berhubungan dengan penelitian ini.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya,

yaitu data yang diperoleh dari laporan-laporan, internet, surat kabar, dokumen-

dokumen, jurnal-jurnal, dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.9.6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memahami, mengungkap dan mengumpulkan informasi dari

fenomena yang menjadi perhatian penelitian. Pengumpulan data dilakukan

melalui teknik sebagai berikut:

a. Kuesioner

Yaitu pengumpulan data dengan memberikan kuesioner kepada masyarakat DKI

Jakarta.

b. Dokumentasi

Yaitu pengumpulan data yang berasal dari sumber-sumber data yang berupa

catatan literatur, buku-buku, berita, media, dan hal lain yang berhubungan dengan

penelitian.

1.9.7. Instrumen Penelitian


Instrument metode penelitian kuantitatif yaitu kuesioner tertutup. Dimana

responden akan memilih salah satu dari jawaban yang telah disepakati oleh

peneliti.

1.9.8. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif kuantitatif. Data

yang telah terkumpul dilakukan editing (penyuntingan), hal ini untuk menghindari

terjadinya kesalahan. Setelah itu dilakukan koding (penandaan) serta entry data

sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga mempermudah untuk

analisis. Data dianalisis dengan bantuan perangkat computer program SPSS.

Penyajian data dalam bentuk teks atau narasi, table dan tabulasi silang atau bagan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asfar, Muhammad. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004 .Pustaka
Eureka. Halaman 137.
Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Halaman
102.
Marijan, Kacung. 2011. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca
Orde Baru, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Halaman 71.
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Politik.Jakarta: Gramedia Halaman 175.
Syarwi, Pangi. 2012. Titik Balik Demokrasi. Jakarta: Pustaka Intelegensia,
halaman 64.
Maarif, Ahmad Syafii. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan
PluralismeKita,Democracy.Project, Jakarta, 2012

Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia No 2 Tahun 2011,tetang Partai Politik, Bab I,
pasal 1 ayat 1

Website
http://kpujakarta.go.id/produk_hukum/ diakses pada 14 Maret 2017 pukul 20:31
http://kpujakarta.go.id/produk_hukum/ diakses pada 14 Maret 2017 pukul 21:22
https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/2/t1/dki_jakarta diakses pada 27 April 2017
pukul 20:55
https://news.detik.com/berita/3431691/viral-masjid-ini-tolak-salatkan-jenazah-
pembela-penista-agama diakses pada 15 Maret 2017 pukul 11:21
http://www.bintang.com/lifestyle/read/2886359/kronologi-ditelantarkannya-
jenazah-nenek-hindun diakses pada 15 Maret 2017 pukul 11:30
Pangi Sarwi, Titik Balik Demokrasi, Pustaka Intelegensia, Jakarta, 2012, hlm 64.

Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Democracy Project,
Jakarta, 2012.

Mubyarto. Ekonomi dan Keadilan Sosial. Jakarta. Aditya Media. 1995. Hlm 34

Ramlan Surbakti. Memahami Politik. Jakarta. Gramedia. 1999. Hlm 175


Agustino Leo, Perihal Ilmu PolitikSebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta : Graha
Ilmu 2007 hal 61

Muslim Mufti. Teori-Teori Politik. Bandung. Pustaka Setia. 2012. hlm 87

Muhammad Asfar. Pemilu dan Perilaku Memilih. Pustaka Eureka. Jakarta. 2012. Hlm 137-144

Ali Moertopo. Strategi Politik Nasional. Jakarta. Yayasan Proklamasi. 1974. Hlm 30

Ibnu Tricahyono. Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Malang. In-
Trans Publishing. 2009.

Anda mungkin juga menyukai