Tugas Politik Perkotaan
Tugas Politik Perkotaan
Bab I Pendahuluan
Bab IV Penutupan
Kesimpulan .................................................................................................10
Saran .............................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sektor pariwisata di era otonomi daerah merupakan salah satu sektor yang
mampu menjadi sektor andalan sebuah kota. Pariwisata dewasa ini telah menajdi
kebutuhan terutama di kalangan masyarakat kota dengan kesibukan rutinitas bekerja
masing-masing orang. Pariwisata dijadikan rujukan masyarakat kota untuk memenuhi
kebutuhan batin yang telah penat bekerja dan beraktivitas lainnya. Kebutuhan
pariwisata yang semakin tinggi mengharuskan pemerintah mampu mengelola
pariwisata guna menunjang potensi daerah yang dimiliki. Potensi daerah yang
mampu dihasilkan melalui sektor pariwisata berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang menjadi salah satu sumber pendapatan daerah selain pajak. Namun seiring
berkembangnya pelaksanaan otonomi daerah geliat pengelolaan pariwisata di masing-
masing daerah menunjukkan kompetisi diantara daerah-daerah di dalam negeri
maupun kota-kota di luar negeri. Meskipun tidak semua pengelolaan pariwisata di
daerah terutama di perkotaan berhasil digalakkan sebagai icon kota yang menjadi
sumber pendapatan daerah namun beberapa kota di Indonesia telah menunjukkan
pariwisata sebagai sektor yang dikembangkan di daerah tersebut, salah satu kota
tersebut adalah Kota Surakarta. Surakarta telah menjadi kiblat wisata budaya dan
kuliner di Jawa Tengah dengan tempat wisata budaya khusus yakni Kasunana
Surakarta serta banyak wisata kuliner yang khas dari kota ini salah satunya timlo
Solo. Sebanyak 4,2 juta wisatawan berkunjung ke Kota Surakarta pada tahun 2015
melampaui target 4,1 juta wisatawan. Jumlah tersebut akan terus meningkat di tahun
2016 hingga mencapai 4,5 juta wisatawan mengingat Kota Surakarta sebagai
destinasi pariwisata di Jawa Tengah (www.solopos.com).
2
Jumlah wisatawan Kota Surakarta yang terus meningkat setiap tahunnya juga
mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan rill nasional. Sektor pariwisata
akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan yang menjanjikan sebagai sektor
penyumbang pendapatan daerah terhadap nasional. Secara riil, tahun 2011 perolehan
devisa dari pariwisata mencapai USD 8,5 Milliar, naik 11,8% dibandingkan tahun
2010. Presentase ini melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di
kisaran 6,5% dan pertumbuhan pariwisata dunia yang hanya berkisar 4,5%.
Pertumbuhan pariwisata yang terus meningkat setiap tahunnya membutuhkan tata
kelola yang baik dari pemerintah daerah masing-masing agar mendapatkan hasil yang
maksimal. Pengelolaan pariwisata dapat dilakukan melalui pembentukan city
branding sebagai identitas kota Surakarta agar mampu bersaing dengan kota-kota lain
di dalam negeri maupun di luar negeri. Era globalisasi menuntut kota tidak hanya
mampu bersaing dengan kota di dalama negeri namun juga harus mampu bersaing
dengan kota lintas batas negara. Dengan globalisasi yang semakin semarak, orientasi
peengelolaan pariwisata tidak lagi local-oriented namun telah bergeser menjadi
global-cosmopolit oriented. Hal ini lah yang terus dikembangkan Pemerintah Kota
Surakarta agar mampu menggenjot sektor pariwisata sebagai identitas yang dikenal
baik secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu pentingnya dibangun citra
diri Kota Surakarta sebagai identitas yang khusus, citra ini yang kemudian akan
membawa pandangan positif atau negatif mengenai Kota Surakarta. Salah satu
elemen keberhasilan suatu daerah- dan juga negara -ini adalah kemampuannya untuk
memberikan merek atau image pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu yang
berbeda dan memisahkannya dari persaingan (Ohmae,2005). Mempertahankan citra
sebagai identitas suatu daerah memang harus dikembangkan guna menciptakan
presepsi yang baik terhadap iklim investasi dan bisnis di daerah tersebut. Daerah yang
tidak mampu membuat citra yang positif terhadap investor akan sangat sulit
mendatangkan investasi di daerah tersebut termasuk investasi di sektor pariwisata
seperti yang dikatakan oleh Al Ries dan Trout “perception is better than reality”.
3
City Branding banyak digunakan oleh negara-negara di dunia dalam upaya
meningkatkan atau merubah citra suatu tempat/daerah, dengan menonjolkan
kelebihan dan keunikan daerah tersebut ( Fitri Murfianti, 2010). Hal tersebut
didukung oleh semangat otonomi daerah yang sedang hangat di Indonesia
mengharuskan setiap daerah otonom, baik kota maupun kabupaten harus mampu
bersaing dengan kota lainnya agar mampu bertahan dengan mengandalkan potensi
daerah yang ada. City branding yang diluncurkan Pemerintah Kota Surakarta yakni
“Solo the Spirit of Java” merupakan salah satu usaha Pemerintah Kota Surakarta
untuk mewujudkan kota yang siap berkompetisi dengan kota lain. Merk yang
diluncurkan mulai Februari 2007 mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi
utamanya dari sektor pariwisata. Branding merk yang diluncurkan Pemerintah Kota
Surakarta tersebut seakan-akan menggambarkan bahwa Kota Surakarta menjadi pusat
kekuatan di Jawa terutama dalam bidang budaya dan pariwisata.
4
Dengan modal potensi budaya yang dimiliki Kota Surakarta yang masih
terjaga hingga kini, diperlukan dukungan dalam bentuk non-materi pengelolaan
pariwisata di Kota Surakarta sebagai langkah awal pengembangan sektor pariwisata.
Pembentukan city branding tersebut diharapkan mampu bersinergi secara kontruktif
mendorong kemajuan di sektor pariwisata Kota Surakarta. Melalui city branding juga
dapat memperkuat jati diri Kota Surakarta sebagai daerah otonom yang
berkepribadian. Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan trend merek “Solo
The Spirit of Java” sebagai merek yang mampu mengembangkan Kota Surakarta
sebagai kota pariwisata di Jawa.
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan
5
4. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Dalam disiplin ilmu politik dan pemerintahan, manajemen perkotaan
dipandang sebagai sub-disiplin ilmu yang perlu dikaji lebih mendalam untuk
mendapatkan ramuan konsep yang tepat guna mengatasi permasalahan di
perkotaan. Selain itu, konsep city branding sebagai salah satu mekanisme
pengelolaan kota diharapkan mampu berkembang secara ilmiah melalui
makalah ini.
2. Manfaat praktis
Pariwisata sebagai sektor yang menjanjikan di perkotaan menjadi perhatian
yang menarik, oleh karena itu makalah ini berusaha memberikan gambaran
city branding yang baik untuk diterapkan di sektor pariwisata terutama di
Kota Surakarta serta memberikan saran terhadap kebijakan pengelolaan
perkotaan di Kota Surakarta.
6
BAB II
LANDASAN TEORI
7
di dalam benak target pasar mereka seperti layaknya positioning sebuah produk atau
jasa sehingga negara dan daerah tersebut dapat dikenal secara luas diseluruh dunia
(dalam Harahap, 2008).
Menurut Kotler dan Keller (2004) Seiring dengan perkembangan teori dan
praktik pemasran, konsep dan teori branding juga diaplikasikan secara luas. Domain
pemasaran diperluas tidak saja mencakupi produk fisik dan produk komersial, tetapi
juga diaplikasikan untuk jasa, pengalaman, kejadian, orang, tempat, kepemilikan,
organisasi, informasi, dan ide. Bertolak dari perspektif inilah maka branding juga
diterapkan pada lokasi geografis dan terutama untuk destinasi wisata, karena secara
komersial pemasaran destinasi wisata lebih mudah didefinisikan ( Ike Janita, 2009:
117). Definisi produk telah diperluas ke lokasi geografis, dan terutama adalah
destinasi wisata. Profil demografis dan psikografis wisatawan potensial juga berperan
besar dalam mendorong destinasi wisata untuk mempunyai strategi branding yang
jelas, unik, dan berkelanjutan untuk dapat bersaing dalam pariwisata internasional.
Pada saat yang sama, telah muncul ancaman paritas produk, di mana secara kualitas
produk-produk wisata menjadi sulit dibedakan satu dengan yang lainnya ( Anholt
dalam Ika Janita, 2009: 118-119).
8
(brand infrastructure relationships), dan relasi dengan media (media relationships),
yang semuanya menciptakan dan meningkatkan realitas brand (brand reality) dan
pengalaman brand (brand experience). Brand experience merupakan konsep yang
penting dalam konteks branding destinasi wisata sehingga perlu mendapatkan
penekanan yang lebih disbanding konsep branding generik. Dalam bisnis perjalanan
wisata, wisatawan berada didstinasi tersebut sehingga sebuah brand destinasi harus
mampu menggambarkan dan menjanjikan pengalaman yang unik, menyenangkan,
dan mengesankan (Blain, Levy, and Ritchie dalam Ike Janita Dewi, Ph.D, 123.)
Selain brand experience, dua hal lain yang perlu diperhatikan dalam
pengemangan definisi branding destinasi wisata adalah fungsinya untuk
mempermudah proses pengambilan keputusan (calon) wisatawan. Brand destinasi
harus bisa mengurangi biaya pencarian dan juga persepsi resiko pemilihan suatu
destinasi wisata. Berkaitan dengan dua hal ini maka suatu brand juga merupakan
kontrak kualitas atau menjadi jaminan kualitas suatu perjalanan wisata. Setelah
mempertimbangkan karakteristik industry perjalanan dan sifat perjalanan wisata,
Blain, Levy, dan Ricthie (2005) mengajukan definisi branding untuk destinasi wisata
sebagai berikut:
“destination branding is the set of marketing activities that (1) support the creation of
a name, symbol, logo, word mark, or other graphic that readily identifies and
differentiates a destination; that (2) consistently conveythe expectation of a
memorable travel experience that is uniquely associated with the destination; that (3)
serve to consolidate and reinforce the emotional connection between the visitor and
the destination; and that (4) reduce consumer search costs and perceived risk.
Collectively, these activities serve to create a destination image that positively
influences consumer destination choice.”
9
Elemen pertama terkait dengan image yang seringkali merupakan citra yang dibentuk
dan dipunyai oleh wisatawan sendiri atas suatu tempat. Titik tolak dari pembentukan
citra berarti seringkali adalah citra sesuai yang telah dipersepsikan oleh wisatawan.
Akan tetapi, proses branding juga memberikan ruang bagi pengembang strategi untuk
menciptakan citra tertentu yang memang ingin diciptakan untuk suatu destinasi, dan
setelah citra ini berhasil didefinisikan, akhirnya harus benar-benar bisa dirasakan oleh
wisatawan.
b. Mengenalkan (recognition)
Syarat mendasar dari suatu brand yang kuat adalah bahwa dia harus dikenal oleh
konsumennya yang merupakan langkah pertama dalam proses pengambilan
keputusan. Oleh karena itu, recognition (pengenalan), awareness (kesadaran), the
ability to be memorable (mudah diingat)
merupakan elemen-elemen yang harus dimiliki oleh suatu brand.
c. Membedakan (differentiation)
Ditengah persaingan yag semakin ketat dalam memperebutkan wisatawan, maka
suatu destinasi harus mempunyai keunikan yang membedakannya dengan destinasi-
destinasi lainnya untuk kemudian menjadi motivasi bagi wisatawan untuk
mengunjungi destinasi tersebut. Suatu unique selling
proposition perlu diciptakan dalam branding suatu destinasi wisata.
d. Menyampaikan pesan (brand messages)
Setelah citra diciptakan, maka tantangan selanjutnya adalah untuk menyampaikan
pesan yang merefleksikan citra destinasi kepada (calon) wisatawan. Penyampaian
pesan akan efektif jika jalur komunikasi antara destinasi dan (calon) pengunjung
selalu terbuka.
e. Konsisten (consistency)
Upaya untuk membuat destinasi masuk ke dalam evoked set ata peta pilihan (calonO
wisatwan adalah dengan mengkomunikasikannya secara konsisten. Konsistensi dalam
menyampaikan citra, pesan, dan pengalaman yang akan didapati wisatawan dalam
10
kunjungan ke suatu destinasi akan sangat membantu pembentukan awareness dan
jaminan akan kualias (sekaligus berarti engurangi risiko yang dirasakan oleh calon
wisatawan).
f. Membangkitkan respon emosional (emotional response)
Strategi branding perlu berupaya untuk membangkitkan respons emosional dari
(calon) wisatawan, terutama karena kunjungan wisata lebih merupakan pengalaman
holistic daripada sekedar pembelian tunggal. Wisatawan cenderung mengeluarkan
cukup banyak uang dan menghabiskan waktu yang cukup panjang dalam suatu
pengalaman perjalanan. Jika reaksi mereka tidak positif secara emosional, maka
sebuah destinasi sulit untuk mendapatkan wisatawan yang loyal, yang diukur dengan
kunjungan ulang maupun rekomendasi (word of mouth) positif yang diberikan ke
calon wisatawan lain.
g. Membangkitkan harapan (creating expectations)
Seiring dengan intensitas persaingan dalam industry pariwisata global, branding
suatu destinasi wisata, selain membentuk citra, juga harus menyampaikan janji akan
memberikan pengalaman yang berkualitas dan mengesankan pada calon wisatawan.
Branding berarti harus membentuk ekspektasi calon wisatawan akan pengalaman
perjalanan yang akan didapat. Hal ini akan mempengaruhi proses pengambilan
keputusan destinasi kunjungan.
11
kota. Identitas lebih banyak berkaitan dengan apa yang dipikirkan seseorang terhadap
orang lain, apa yang dipercayai, dan apa yang seseorang lakukan. Namun, identitas
bukanlah sesuatu hal yang sifatnya given atau taken for granted. Identitas dalam hal
ini adalah sebuah konstruksi, sebuah konsekuensi dari sebuah proses interaksi antar
manusia, institusi, dan praksis dalam kehidupan sosial ( Julia Winfield, 2005:14).
Identitas tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa, aksi, dan konsekuensi masa lalu,
tetapi juga dipengaruhi bagaimana sebuah peristiwa atau aksi diinterpretasikan secara
retroaktif.
12
mengembangkan industri pariwisata. Sebagai bangsa yang memiliki tingkat
segregasi, baik alam, sosial, dan budaya yang tinggi,Indonesia berpotensi menjadi
primadona sektor pariwisata. Setidaknya dengan penduduk yang tersebar di sekitar 17
ribu pulau, 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat, dan tidak kurang dari 300
bahasa, serta ragam –warisan- budaya yang tinggi merupakan aset utama yang dapat
dikemas sebagai produk wisata. Atas realitas dan prospek yang dimiliki, maka secara
khusus Indonesia sejak tahun 2009 memilik Undang-Undang No. 10 Tahun 2009
Tentang Kepariwisataan.
13
pariwisata membutuhkan dukungan marketing yang komprehensif dimana di
dalamnya mencakup informasi akan potensi dan keunggulan yang dimiliki. Sehingga
dalam praksisnya, keduanya dapat berjalan sinergis sesuai dengan visi dan tujuan
yang dicanangkan oleh pemerintah daerah.
14
konteks Indonesia saat ini, keterbatasan platform serta strategi dalam memasarkan
sebuah daerah menjadikan pembangunan dan pertumbuhan menjadi sedikit
terhambat. Hal ini disebabkan para pemasar daerah masih belum mempunyai sebuah
tool memadai yang dapat mereka gunakan untuk membangun daya saing dan
memasarkan daerah kepada target pasar yang dibidik.
15
memungut pajak dan retribusi demi pemasukan daerah. Motifnya peningkatan PAD
tanpa mau bekerja keras dan mengembangkan daya kreasi daerah yang
berkesinambungan. Kondisi semacam ini pada akhirnya justru menciptkan deprivasi
antara kemampuan Pemerintah Daerah dalam menciptakan sumber pajak (tax policy)
dengan potensi yang dimiliki. Terlebih dengan terbatasnya cakupan PAD sebagai
pendapatan yang spesifik membuat faktor inovasi dan kehati-hatian mutlak
diperlukan.
16
ini TTI – TDO – terhadap potensi investasi dan pengembangan sebuah daerah. Oleh
Kartajaya (2005), model pemasaran daerah (city branding) dapat ditempuh melalui
tiga langkah strategis. Pertama, yakni menjadi tuan rumah yang baik (be a good host)
bagi pelanggan daerah. Kedua, memperlakukan mereka secara baik (treat your guest
properly). Dan terakhir, membangun sebuah ‘rumah’ yang nyaman
bagi mereka (buliding a home sweet home).
17
BAB III
PEMBAHASAN
1. Brand “Solo The Spirit of Java” dari Perspektif Pelaku Bisnis Pariwisata
‘Solo, The Spirit of Java’ berbeda dengan ‘Solo Berseri’. Dimana ‘Solo, The
Spirit of Java’ adalah sebuah brand yang memiliki orientasi market. Sedangkan ‘Solo
Berseri’ adalah semboyan yang bertujuan memunculkan semangat pada jiwa
masyarakat Kota Solo dan tidak berorientasi bisnis. Kedua adalah dampak terhadap
kebudayaan dan perekonomian. Di satu sisi, pembuatan brand serta pengangkatan
potensi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah Kota Solo dirasa sesuai dan
memiliki efek yang bagus terhadap keberlangsungan usaha bisnis pariwisata, namun
di sisi lain muncul kekhawatiran terhadap terkikisnya budaya akibat perkembangan
wilayah menuju modernitas. Aspek politik dinilai menjadi salah satu faktor yang
mengarahkan perkembangan Kota Surakarta menjadi metropolis dan mengancam
kebudayaan asli. Berdasarkan hasil survei mendukung, yaitu sebesar 70%, sikap
netral sebesar 26%, dan sikap menolak sebesar 4%. Dengan adanya branding tersebut
ternyata mampu menumbuhkan presepsi yang baik diantara pelaku bisnis pariwisata
sehingga peluang investasi yang besar mampu diraih Pemerintah Kota Surakarta
melalui strategi City Branding tersebut. Tujuan utama dalam pembuatan branding
yaitu untuk memberikan merek pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu yang
berbeda pada dirinya sendiri, serta menawarkan sesuatu yang berbeda (unik) dan
memisahkannya dari persaingan ( Ohmae, 2005). Pelaku bisnis pariwisata tidak segan
menanamkan investasi di Kota Surakarta karena kepercayaan bisnis telah mampu
didapatkan melalui city branding tersebut dengan keunikan yang dimiliki Kota
Surakarta.
18
Persepsi yang baik seharusnya diikuti dengan harapan yang dari pelaku bisnis
pariwisata yang akan menanamkan modal di Kota Surakarta. Walaupun persepsi dari
hasil survey yang dilakukan Zakia dan Bauquni di tahun 2009 menunjukkan bahwa
selain adanya peluang investasi pariwiwsata yang tinggi namun juga ada tantangan
pengelolaan kota oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk membenahi pembangunan
kota yang berdasarkan pada kebudayaan asli. Persepsi dari pelaku bisnis pariwisata di
Kota Surakarta yang baik tersebut menginginkan bahwa city branding “Solo The
Spirit of Java” tetap mempertahankan kebudayaan asli Kota Surakarata di tengah
arus moderenitas baik infrastruktur fisik maupun infrastruktur politik.
16%
52%
32%
19
bisnis pariwisata akan semakin baik. Pelaku bisnis akan semakin tertarik
menanamkan investasi di Kota Surakarta melalui strategi pemerintah memasarkan
potensi Kota Surakarta menggunakan konsep city branding.
20
2. Strategi Pemerintah untuk Memasaran Pariwisata Melalui City Branding di
Kota Surakarta
21
“Solo the spirit of Java”. Kemudian terdapat beberapa subbranding yang turut
meramaikan city branding di Kota Surakarta sejak 2007 hingga kini seperti solo kota
batik, solo kota MICE, solo kota festival, solo creative city, solo future is solo past.
Dari beragam subbranding tersebut jika ditelaah lebih dalam adalah sebuah
penjabaran dari komponen-komponen dari city brand solo the spirit of java. Hal ini
disebut dengan strategi perluasan merk (Leveraging the brand) seperti yang
diungkapkan oleh David A. Aaker (1996, h.16) Sebuah merk biasanya adalah asset
yang paling penting yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam konteks Kota Surakarta
yang mencoba untuk memperluas city brand tersebut tampaknya masuk dalam
strategi brand extensions Brand extension terjadi ketika sebuah perusahaan
menggunakan brand yang sudah ada untuk memperkenalkan produk baru. Terdapat
beberapa istilah yang digunakan dalam brand extension, yaitu:
a. Sub-brand, adalah brand baru yang dikombinasikan dengan brand yang sudah
ada.
b. Parent brand / core brand, adalah brand lama yang menciptakan sebuah
brand extension / sub-brand baru.
Dengan fakta di lapangan bahwa sub-brand yang ditampilkan oleh pemerintah daerah
Kota Surakarta merupakan kombinasi dari city brand yang telah ada. Kekuatan
konsep brand yang telah diluncurkan sejak 2007 berada pada spirit of java atau
diartika dengan jiwa & semangat budaya jawa. Dengan demikian positioning yang
ingin ditampilkan kepada pasar adalah Kota Surakarta sebagai suatu kota yang
menjadi jiwa dan semangat kebudayaan jawa. Merujuk pada konsep sub-brand maka
harus terdapat benang merah dengan brand yang telah ditanamkan Maka dari itu inti
dari city brand yang telah diluncurkan pada 2005 berada pada konteks jiwa budaya
jawa atau semangat dari kebudayaan jawa. Dari kebudayaan jawa yang terdapat di
Kota Surakarta setidaknya terdapat berbagai variabel yang turut mendukung menjadi
sebuah kebudayaan jawa yang utuh. Dimulai dari Kraton Surakarta, tradisi,Ritual,
keris, gamelan, batik, bahasa jawa, aksara jawa, corak bangunan, karakter masyarakat
22
jawa yang ramah dan sopan, keroncong hingga seni tari. Sehingga sub branding yang
harusnya menjadi kombinasi penguat harus berada dalam konten -konten variabel
penyusun budaya jawa. Terdapat indikator baru dalam sektor pariwisata di Kota
Surakarta yang tidak semata pada jumlah kunjungan wisatawan akan tetapi
penempatan Kota Surakarta sebagai daerah tujuan wisata. Tentunya dengan berbagai
tantangan yang ada seperti diversifikasi produk wisata, serta strategi pemasaran
pariwisata Kota Surakarta yang tepat dapat menjadi suatu kunci sukses dalam
mecapai visi Kota Surakarta sebagai daerah tujuan wisata. Melalui city branding
dapat dikatakan Kota Surakarta telah berhasil dalam menaikan jumlah kunjungan
wisatawan pada periode 2005-2012. Lalu dengan target baru yang ingin menjadikan
Surakarta sebagai daerah tujuan wisata harusnya dapat berhasil jika proses dalam
pembentukan city branding benar -benar dilakukan dengan tepat melalui 3 tahapan
proses yakni brand personality, brand positioning dan brand identifiers.
.
23
BAB IV
Penutup
Kesimpulan
Kesimpulanya adalah kota solo menggunakan model cultural touristme atau wisata
budaya, kota solo sangat mengedepankan kebudayaan jawa di daerahnya mengingat
kota solo adalah bekas kerajaan surakarta pada saat itu yang di pimpin oleh
Pakubuwono. Dengan city branding“spirit of java” Kota Solo telah berhasil
meningkatkan jumlah kunjungan wisatanya baik lokal maupun internasional, dengan
demikian dapat mempengaruhi PAD (pendapatan Asli Daerah) melalui devisa wisata
yang telah di tetapkan.
Saran
Sebaiknya kemajuan di setiap daerah di imbangi dengan kebijakan daerah yang masih
menjaga kearifan lokal, dengan tidak mengubah kebudayaan yang sudah seperti Kota
Solo yang menggunakan kebudayaanya untuk city branding kotanya.
DAFTAR PUSTAKA
24
Paulus Hariyono. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta : Bumi Aksara, hal.
89Mohammad Riduansyah.Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah
Daerah Kota Bogor). Jurnal Sosio Humaniora, Vol. 7, No. 2, Desember 2003. Hal,
50Julia Winfield Pfefferkom.2005.The Branding of Cities:Exploring City Branding
and The Importance of Brand Image.Syracuse University. Hal, 8
Profil Daerah Kota Surakarta 2011, (Surakarta: BAPPEDA Kota Surakarta, 2011), h.
8.
Fitri Murfianti. Membangun City Branding Melalui Solo Batik Carnival dalam Jurnal
Bisnis dan
Kewirausahaan, Vol.2, No. 1, Juni 2010.
Riyadi.’Fenomena City Branding Pada Era Otonomi Daerah’ dalam Jurnal Bisnis
dan Kewirausahaan, Vol. 5, No.1, Maret 2009. Hal. 2
Hermawan Kartajaya & Yuswohady.2005. Attracting Tourist, Traders, and Investors
: Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, hal,3
Soebagyo. Strategi Pengembangan Pariwisata Di Indonesia dalam Jurnal Liquidity
Vol. 1, No. 2, Juli-Desember, hal. 154
Bintarto, R (1991). Geografi Konsep dan Pemikiran.Yogyakarta : Fakultas Geografi
UGM.
Yoeti, Oka A., Drs.,H.,MBA(1996). Pemasaran Pariwisata.Bandung : Penerbit
Angkasa.
25
Dewi, Ike Janita (2009). Creating& Sustaining Brand Equity.Yogyakarta : Amara
Books
26