Anda di halaman 1dari 26

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

 Latar belakang .......................................................................................2


 Rumusan masalah .......................................................................................5
 Tujuan ...................................................................................................5
 Manfaat ...................................................................................................6

Bab II Landasan Teori

 Definisi City Branding ...........................................................................7


 City Branding Sebagai Strategi
Menggalakkan Pariwisata .........................................................................11
 City Branding Sebagai Strategi Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) .............................................................14

Bab III Pembahasan

 Brand “Solo The Spirit of Java” dari


Perspektif Pelaku Bisnis Pariwisata .............................................................18
 Strategi Pemerintah untuk Memasaran
Pariwisata Melalui City Branding di Kota Surakarta .....................................20

Bab IV Penutupan

 Kesimpulan .................................................................................................10
 Saran .............................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sektor pariwisata di era otonomi daerah merupakan salah satu sektor yang
mampu menjadi sektor andalan sebuah kota. Pariwisata dewasa ini telah menajdi
kebutuhan terutama di kalangan masyarakat kota dengan kesibukan rutinitas bekerja
masing-masing orang. Pariwisata dijadikan rujukan masyarakat kota untuk memenuhi
kebutuhan batin yang telah penat bekerja dan beraktivitas lainnya. Kebutuhan
pariwisata yang semakin tinggi mengharuskan pemerintah mampu mengelola
pariwisata guna menunjang potensi daerah yang dimiliki. Potensi daerah yang
mampu dihasilkan melalui sektor pariwisata berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang menjadi salah satu sumber pendapatan daerah selain pajak. Namun seiring
berkembangnya pelaksanaan otonomi daerah geliat pengelolaan pariwisata di masing-
masing daerah menunjukkan kompetisi diantara daerah-daerah di dalam negeri
maupun kota-kota di luar negeri. Meskipun tidak semua pengelolaan pariwisata di
daerah terutama di perkotaan berhasil digalakkan sebagai icon kota yang menjadi
sumber pendapatan daerah namun beberapa kota di Indonesia telah menunjukkan
pariwisata sebagai sektor yang dikembangkan di daerah tersebut, salah satu kota
tersebut adalah Kota Surakarta. Surakarta telah menjadi kiblat wisata budaya dan
kuliner di Jawa Tengah dengan tempat wisata budaya khusus yakni Kasunana
Surakarta serta banyak wisata kuliner yang khas dari kota ini salah satunya timlo
Solo. Sebanyak 4,2 juta wisatawan berkunjung ke Kota Surakarta pada tahun 2015
melampaui target 4,1 juta wisatawan. Jumlah tersebut akan terus meningkat di tahun
2016 hingga mencapai 4,5 juta wisatawan mengingat Kota Surakarta sebagai
destinasi pariwisata di Jawa Tengah (www.solopos.com).

2
Jumlah wisatawan Kota Surakarta yang terus meningkat setiap tahunnya juga
mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan rill nasional. Sektor pariwisata
akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan yang menjanjikan sebagai sektor
penyumbang pendapatan daerah terhadap nasional. Secara riil, tahun 2011 perolehan
devisa dari pariwisata mencapai USD 8,5 Milliar, naik 11,8% dibandingkan tahun
2010. Presentase ini melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di
kisaran 6,5% dan pertumbuhan pariwisata dunia yang hanya berkisar 4,5%.
Pertumbuhan pariwisata yang terus meningkat setiap tahunnya membutuhkan tata
kelola yang baik dari pemerintah daerah masing-masing agar mendapatkan hasil yang
maksimal. Pengelolaan pariwisata dapat dilakukan melalui pembentukan city
branding sebagai identitas kota Surakarta agar mampu bersaing dengan kota-kota lain
di dalam negeri maupun di luar negeri. Era globalisasi menuntut kota tidak hanya
mampu bersaing dengan kota di dalama negeri namun juga harus mampu bersaing
dengan kota lintas batas negara. Dengan globalisasi yang semakin semarak, orientasi
peengelolaan pariwisata tidak lagi local-oriented namun telah bergeser menjadi
global-cosmopolit oriented. Hal ini lah yang terus dikembangkan Pemerintah Kota
Surakarta agar mampu menggenjot sektor pariwisata sebagai identitas yang dikenal
baik secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu pentingnya dibangun citra
diri Kota Surakarta sebagai identitas yang khusus, citra ini yang kemudian akan
membawa pandangan positif atau negatif mengenai Kota Surakarta. Salah satu
elemen keberhasilan suatu daerah- dan juga negara -ini adalah kemampuannya untuk
memberikan merek atau image pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu yang
berbeda dan memisahkannya dari persaingan (Ohmae,2005). Mempertahankan citra
sebagai identitas suatu daerah memang harus dikembangkan guna menciptakan
presepsi yang baik terhadap iklim investasi dan bisnis di daerah tersebut. Daerah yang
tidak mampu membuat citra yang positif terhadap investor akan sangat sulit
mendatangkan investasi di daerah tersebut termasuk investasi di sektor pariwisata
seperti yang dikatakan oleh Al Ries dan Trout “perception is better than reality”.

3
City Branding banyak digunakan oleh negara-negara di dunia dalam upaya
meningkatkan atau merubah citra suatu tempat/daerah, dengan menonjolkan
kelebihan dan keunikan daerah tersebut ( Fitri Murfianti, 2010). Hal tersebut
didukung oleh semangat otonomi daerah yang sedang hangat di Indonesia
mengharuskan setiap daerah otonom, baik kota maupun kabupaten harus mampu
bersaing dengan kota lainnya agar mampu bertahan dengan mengandalkan potensi
daerah yang ada. City branding yang diluncurkan Pemerintah Kota Surakarta yakni
“Solo the Spirit of Java” merupakan salah satu usaha Pemerintah Kota Surakarta
untuk mewujudkan kota yang siap berkompetisi dengan kota lain. Merk yang
diluncurkan mulai Februari 2007 mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi
utamanya dari sektor pariwisata. Branding merk yang diluncurkan Pemerintah Kota
Surakarta tersebut seakan-akan menggambarkan bahwa Kota Surakarta menjadi pusat
kekuatan di Jawa terutama dalam bidang budaya dan pariwisata.

Branding yang dibawa berdasarkan visi dan misi pembangunan jangka


panjang kurun waktu 2005-2025 Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun
2010 tentang RPJPD Kota Surakarta Tahun 2005-2025 adalah “Surakarta Kota
Budaya, Mandiri, Maju dan Sejahtera.” (Bappeda Kota Surakarta, 2011:8) Visi dan
misi Kota Surakarta tersebut juga menjadi dasar pembentukan visi dan misi Walikota
dan Wakil Walikota Surakarta selama kurun waktu 2010-2015, yaitu Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat dan Memajukan Kota Dilandasi Spirit Solo sebagai Kota
Budaya ( Bappeda Kota Surakarta, 2011: 12). Spirit Solo sebagai Kota Budaya
mempunyai maksud bahwa Kota Surakarta akan dikembangkan sebagai kota yang
berwawasan budaya dalam arti luas. Konsep Solo sebagai Kota Budaya juga
bermakna bahwa Solo Masa Depan yang mempunyai Solo Masa Lalu (Solo’s Future
is Solo’s Past). Pengembangan Kota Surakarta sebagai Kota budaya juga diupayakan
melalui pelestarian budaya dalam arti melestarikan, mempertahankan, dan
mengembangkan seni dan budaya yang telah ada serta melindungi cagar-cagar
budaya (Bappeda Kota Surakarta, 2011:13).

4
Dengan modal potensi budaya yang dimiliki Kota Surakarta yang masih
terjaga hingga kini, diperlukan dukungan dalam bentuk non-materi pengelolaan
pariwisata di Kota Surakarta sebagai langkah awal pengembangan sektor pariwisata.
Pembentukan city branding tersebut diharapkan mampu bersinergi secara kontruktif
mendorong kemajuan di sektor pariwisata Kota Surakarta. Melalui city branding juga
dapat memperkuat jati diri Kota Surakarta sebagai daerah otonom yang
berkepribadian. Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan trend merek “Solo
The Spirit of Java” sebagai merek yang mampu mengembangkan Kota Surakarta
sebagai kota pariwisata di Jawa.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai


berikut: Bagaimana peran Pemerintah membentuk citra Kota Surakarta sebagai Kota
pariwisata melalui city branding “Solo The Spirit of Java” sehingga mampu menarik
wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri?

3. Tujuan

Menjelaskan peran Pemerintah Kota Surakarta membentuk citra Kota


Surakarta sebagai Kota Pariwisata di Jawa melalui konsep city branding yang
diluncurkan oleh Pemeirntah Kota Surakarta “Solo The Spirit of Java”untuk menarik
wisatawan dalama negeri maupun luar negeri. Pembentukan city branding Kota
Surakarta selain ditujukkan untuk membangun persepsi sebagai Kota Pariwisata
namun juga sebagai upaya pemerintah untuk berkompetisi dengan kota-kota lainnya
sehingga menarik investor untuk menanamkan investasi di Kota Surakarta.

5
4. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Dalam disiplin ilmu politik dan pemerintahan, manajemen perkotaan
dipandang sebagai sub-disiplin ilmu yang perlu dikaji lebih mendalam untuk
mendapatkan ramuan konsep yang tepat guna mengatasi permasalahan di
perkotaan. Selain itu, konsep city branding sebagai salah satu mekanisme
pengelolaan kota diharapkan mampu berkembang secara ilmiah melalui
makalah ini.
2. Manfaat praktis
Pariwisata sebagai sektor yang menjanjikan di perkotaan menjadi perhatian
yang menarik, oleh karena itu makalah ini berusaha memberikan gambaran
city branding yang baik untuk diterapkan di sektor pariwisata terutama di
Kota Surakarta serta memberikan saran terhadap kebijakan pengelolaan
perkotaan di Kota Surakarta.

6
BAB II
LANDASAN TEORI

1. Definisi City Branding


Merujuk Sorean Smidt-Jensen (2005) dalam jurnal yang berjudul city
branding maka dapat dikatakan bahwa:
a city brand is more than more slogan or an ad campaign; rather, it represents the
totality of thoughts, feelings, associations and expectations that come to mind when a
prospect or customer is exposed to an entity’s name, logo, products, services, events,
or any design or symbol representing them.
City branding Merek kota lebih dari sebuah slogan belaka atau kampanye iklan,
melainkan merupakan totalitas pikiran, perasaan, asosiasi dan harapan yang muncul
dalam pikiran ketika prospek atau pelanggan terkena nama entitas, logo, produk, jasa,
event, desain atau simbol yang mewakili kota mereka. Identitas kota biasanya
berkembang selama beberapa dekade atau abad,
dibentuk oleh peristiwa sejarah, politik dan ekonomi, event olahraga, bencana,
sumber daya manusia, produk atau kerajinan kota, institusi budaya dan lingkungan
kota. Semua itu memberikan kontribusi terhadap identitas kota.

Menurut Saxone Woon (2008) managing director immortal the designstation


dari Singapura mengatakan brand sebagai apa yang Anda katakana kepada teman-
teman setelah melewati suatu pengalaman. Brand tidak sekedar nama, logo, atau citra
grafis, brand mengkomunikasikan secara jelas tentang suatu produk, jasa, atau
sesuatu hal yang lain sehingga ketika brand dikaitkan dengan kota, maka brand
tersebut harus bisa mengkomunikasikan dengan jelas seperti apa kota tersebut, apa
saja yang dimilikinya, dan mengapa kota tersebut patut mendapatkan perhatian
sehingga siapapun yang bertandang ke kota tersebut atau penduduk kota itu sekalipun
dapat memaparkan secara singkat citra kota tersebut. Maka, city branding dapat
dikatakan sebagai strategi dari suatu Negara atau daerah untuk membuat positioning
yang kuat

7
di dalam benak target pasar mereka seperti layaknya positioning sebuah produk atau
jasa sehingga negara dan daerah tersebut dapat dikenal secara luas diseluruh dunia
(dalam Harahap, 2008).

Menurut Kotler dan Keller (2004) Seiring dengan perkembangan teori dan
praktik pemasran, konsep dan teori branding juga diaplikasikan secara luas. Domain
pemasaran diperluas tidak saja mencakupi produk fisik dan produk komersial, tetapi
juga diaplikasikan untuk jasa, pengalaman, kejadian, orang, tempat, kepemilikan,
organisasi, informasi, dan ide. Bertolak dari perspektif inilah maka branding juga
diterapkan pada lokasi geografis dan terutama untuk destinasi wisata, karena secara
komersial pemasaran destinasi wisata lebih mudah didefinisikan ( Ike Janita, 2009:
117). Definisi produk telah diperluas ke lokasi geografis, dan terutama adalah
destinasi wisata. Profil demografis dan psikografis wisatawan potensial juga berperan
besar dalam mendorong destinasi wisata untuk mempunyai strategi branding yang
jelas, unik, dan berkelanjutan untuk dapat bersaing dalam pariwisata internasional.
Pada saat yang sama, telah muncul ancaman paritas produk, di mana secara kualitas
produk-produk wisata menjadi sulit dibedakan satu dengan yang lainnya ( Anholt
dalam Ika Janita, 2009: 118-119).

Salah satu kriteria utama keberhasilan strategi branding adalah kemampuan


untuk menghasilkan citra atau kepribadian yang unik sehingga mampu
mendiferensiasikan sebuah destinasi wisata dari destinasi-destinasi wisata lainnya.
Model branding yang dikembangkan oleh Hankinson, langsung berkaitan dengan
branding destinasi. Model Hankinson memandang sebuah tempat (destinasi) sebagai
jaringan brand relasional (relational brand network) di mana brand suatu tempat
direpresentasikan oleh sebuah brand inti (core brnad) dan empat kategori relasi
brand. Keempat relasi brand ini adalah relasi dengan konsumen (consumer
relationships), relasi dengan jasa-jasa utama (primary service relationships), relasi
dengan infrastruktur brand

8
(brand infrastructure relationships), dan relasi dengan media (media relationships),
yang semuanya menciptakan dan meningkatkan realitas brand (brand reality) dan
pengalaman brand (brand experience). Brand experience merupakan konsep yang
penting dalam konteks branding destinasi wisata sehingga perlu mendapatkan
penekanan yang lebih disbanding konsep branding generik. Dalam bisnis perjalanan
wisata, wisatawan berada didstinasi tersebut sehingga sebuah brand destinasi harus
mampu menggambarkan dan menjanjikan pengalaman yang unik, menyenangkan,
dan mengesankan (Blain, Levy, and Ritchie dalam Ike Janita Dewi, Ph.D, 123.)

Selain brand experience, dua hal lain yang perlu diperhatikan dalam
pengemangan definisi branding destinasi wisata adalah fungsinya untuk
mempermudah proses pengambilan keputusan (calon) wisatawan. Brand destinasi
harus bisa mengurangi biaya pencarian dan juga persepsi resiko pemilihan suatu
destinasi wisata. Berkaitan dengan dua hal ini maka suatu brand juga merupakan
kontrak kualitas atau menjadi jaminan kualitas suatu perjalanan wisata. Setelah
mempertimbangkan karakteristik industry perjalanan dan sifat perjalanan wisata,
Blain, Levy, dan Ricthie (2005) mengajukan definisi branding untuk destinasi wisata
sebagai berikut:
“destination branding is the set of marketing activities that (1) support the creation of
a name, symbol, logo, word mark, or other graphic that readily identifies and
differentiates a destination; that (2) consistently conveythe expectation of a
memorable travel experience that is uniquely associated with the destination; that (3)
serve to consolidate and reinforce the emotional connection between the visitor and
the destination; and that (4) reduce consumer search costs and perceived risk.
Collectively, these activities serve to create a destination image that positively
influences consumer destination choice.”

Definisi tentang branding destinasi ini mengandung elemen-elemen dalam


branding, yang juga berarti garis besar dalam mengembangkan strategi sekaligus
kerangka evaluasi untuk menilai efektivitas branding suatu destinasi wisata. Elemen-
elemen ini adalah (Ika Janita, 123-126):
a. Citra (image)

9
Elemen pertama terkait dengan image yang seringkali merupakan citra yang dibentuk
dan dipunyai oleh wisatawan sendiri atas suatu tempat. Titik tolak dari pembentukan
citra berarti seringkali adalah citra sesuai yang telah dipersepsikan oleh wisatawan.
Akan tetapi, proses branding juga memberikan ruang bagi pengembang strategi untuk
menciptakan citra tertentu yang memang ingin diciptakan untuk suatu destinasi, dan
setelah citra ini berhasil didefinisikan, akhirnya harus benar-benar bisa dirasakan oleh
wisatawan.
b. Mengenalkan (recognition)
Syarat mendasar dari suatu brand yang kuat adalah bahwa dia harus dikenal oleh
konsumennya yang merupakan langkah pertama dalam proses pengambilan
keputusan. Oleh karena itu, recognition (pengenalan), awareness (kesadaran), the
ability to be memorable (mudah diingat)
merupakan elemen-elemen yang harus dimiliki oleh suatu brand.

c. Membedakan (differentiation)
Ditengah persaingan yag semakin ketat dalam memperebutkan wisatawan, maka
suatu destinasi harus mempunyai keunikan yang membedakannya dengan destinasi-
destinasi lainnya untuk kemudian menjadi motivasi bagi wisatawan untuk
mengunjungi destinasi tersebut. Suatu unique selling
proposition perlu diciptakan dalam branding suatu destinasi wisata.
d. Menyampaikan pesan (brand messages)
Setelah citra diciptakan, maka tantangan selanjutnya adalah untuk menyampaikan
pesan yang merefleksikan citra destinasi kepada (calon) wisatawan. Penyampaian
pesan akan efektif jika jalur komunikasi antara destinasi dan (calon) pengunjung
selalu terbuka.
e. Konsisten (consistency)
Upaya untuk membuat destinasi masuk ke dalam evoked set ata peta pilihan (calonO
wisatwan adalah dengan mengkomunikasikannya secara konsisten. Konsistensi dalam
menyampaikan citra, pesan, dan pengalaman yang akan didapati wisatawan dalam

10
kunjungan ke suatu destinasi akan sangat membantu pembentukan awareness dan
jaminan akan kualias (sekaligus berarti engurangi risiko yang dirasakan oleh calon
wisatawan).
f. Membangkitkan respon emosional (emotional response)
Strategi branding perlu berupaya untuk membangkitkan respons emosional dari
(calon) wisatawan, terutama karena kunjungan wisata lebih merupakan pengalaman
holistic daripada sekedar pembelian tunggal. Wisatawan cenderung mengeluarkan
cukup banyak uang dan menghabiskan waktu yang cukup panjang dalam suatu
pengalaman perjalanan. Jika reaksi mereka tidak positif secara emosional, maka
sebuah destinasi sulit untuk mendapatkan wisatawan yang loyal, yang diukur dengan
kunjungan ulang maupun rekomendasi (word of mouth) positif yang diberikan ke
calon wisatawan lain.
g. Membangkitkan harapan (creating expectations)
Seiring dengan intensitas persaingan dalam industry pariwisata global, branding
suatu destinasi wisata, selain membentuk citra, juga harus menyampaikan janji akan
memberikan pengalaman yang berkualitas dan mengesankan pada calon wisatawan.
Branding berarti harus membentuk ekspektasi calon wisatawan akan pengalaman
perjalanan yang akan didapat. Hal ini akan mempengaruhi proses pengambilan
keputusan destinasi kunjungan.

2. City Branding Sebagai Strategi Menggalakkan Pariwisata


Potensi daerah ibarat sebuah produk atau jasa yang dikemas dan diberi merk
(branding) agar memiliki ciri yang dapat membedakan dengan potensi daerah
lainnya. Hal ini agaknya menjadi dasar yang cukup rasional, karena bersamaan
dengan era otonomi daerah berbagai daerah kemudian berlomba-lomba menonjolkan
identitasnya sehingga bisa merasa berbeda dari daerah lain. Branding yang baik akan
dapat membuat sebuah daerah ‘lebih diinginkan’, sebaliknya semakin buruk branding
sebuah daerah maka hal ini membuatnya semakin ditinggalkan persaingan (Julia
Winfield, 2005:8). City Branding adalah upaya membangun identitas tentang sebuah

11
kota. Identitas lebih banyak berkaitan dengan apa yang dipikirkan seseorang terhadap
orang lain, apa yang dipercayai, dan apa yang seseorang lakukan. Namun, identitas
bukanlah sesuatu hal yang sifatnya given atau taken for granted. Identitas dalam hal
ini adalah sebuah konstruksi, sebuah konsekuensi dari sebuah proses interaksi antar
manusia, institusi, dan praksis dalam kehidupan sosial ( Julia Winfield, 2005:14).
Identitas tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa, aksi, dan konsekuensi masa lalu,
tetapi juga dipengaruhi bagaimana sebuah peristiwa atau aksi diinterpretasikan secara
retroaktif.

Dalam upaya membangun sebuah identitas, penggunaan merk atau branding


bagi sebuah kota merupakan strategi tersendiri. Merk atau brand bukan hanya sebuah
rangkaian kata atau gambar yang ditempel pada produk ataupun jasa tanpa sebuah
makna yang mengikutinya. Brand atau merk, secara tradisional dapat diartikan
sebagai nama, terminologi, logo, simbol atau desain yang dibuat untuk menandai atau
mengidentifikasi produk yang ditawarkan kepada konsumen Sebuah brand atau merk
merupakan identitas yang unik dari sebuah produk atau jasa di dalam benak
konsumennya, yang mencerminkan tingkat perbedaan dari competitor (Tony Yeshin,
2004:15). City Branding dapat dipandang sebagai sebuah pendekatan yang tepat
untuk mempromosikan suatu tempat/wilayah jika melihat dunia sebagai pasar global
dan suatu tempat/wilayah merupakan sebuah produk atau sebuah perusahaan yang
sedang bersaing dengan tempat/wilayah lainnya dalam upaya untuk menjaga atau
mempertahankan posisi mereka di tengah persaingan. Hal ini menjadi relevan di
tengah globalisasi dengan paradigma pembangunannya yang dari orientasi local
orientation ke global-cosmopolit orientation. Fenomena serupa –global cosmopolit
orientation- agaknya berlaku pula dalam memahami perkembangan sektor pariwisata
di era kekinian. Hal ini memang beralasan, mengingat prospek dari sektor ini dimana
pariwisata merupakan industri terbesar dan terkuat dalam pembiayaan ekonomi
global. Sektor pariwisata disebut akan menjadi pendorong utama perekonomian dunia
pada abad ke-21. Oleh karenya banyak negara maupun daerah yang berlomba

12
mengembangkan industri pariwisata. Sebagai bangsa yang memiliki tingkat
segregasi, baik alam, sosial, dan budaya yang tinggi,Indonesia berpotensi menjadi
primadona sektor pariwisata. Setidaknya dengan penduduk yang tersebar di sekitar 17
ribu pulau, 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat, dan tidak kurang dari 300
bahasa, serta ragam –warisan- budaya yang tinggi merupakan aset utama yang dapat
dikemas sebagai produk wisata. Atas realitas dan prospek yang dimiliki, maka secara
khusus Indonesia sejak tahun 2009 memilik Undang-Undang No. 10 Tahun 2009
Tentang Kepariwisataan.

Melalui UU ini kegiatan pariwisata dipahami sebagai keseluruhan kegiatan


yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta mutidisiplin yang
muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi anatara
wisatawan dan masyarakat setempat, sesame wisatawan, pemerintah, pemda, dan
pengusaha.
Dari definisi tersebut setidaknya dapat diambil benang merah bahwa sektor
pariwisata merupakan industri yang multidimensi sekaligus kompleks. Jauh sebelum
itu, hal ini dikemukan oleh Pendit (1990) disebutkan bahwa pariwisata merupakan
sektor yang kompleks, yang juga melibatkan industri-industri klasik, seperti kerajinan
tangan dan cinderamata, serta usaha-usaha penginapan, restoran dan transportasi.
Sekaligus pariwisata itu sendiri mempunyai lingkup yang luas, meliputi wisata bahari
(beach and suntourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata alam
(natural tourism), wisata budaya (cultural tourism), dan perjalanan bisnis (business
travel) ( Nugroho, 2010). Oleh karena itu sektor pariwisata di era kekinian memang
diakui memberikan prospek cerah bagi pengembangan perekonomian, baik di tingkat
nasional maupun daerah. Bahkan secara pragmatis adanya kebijakan terkait
pengelolaan sektor pariwisata di daerah-daerah memang diarahkan dalam rangka
meningkatkan pendapatan daerah. Itulah mengapa adanya City Branding sebagai
strategi pengemasan identitas daerah sekaligus promosi- agaknya selaras dengan
perkembangan sektor pariwisata yang memang menjanjikan. Ibarat sebuah produk,

13
pariwisata membutuhkan dukungan marketing yang komprehensif dimana di
dalamnya mencakup informasi akan potensi dan keunggulan yang dimiliki. Sehingga
dalam praksisnya, keduanya dapat berjalan sinergis sesuai dengan visi dan tujuan
yang dicanangkan oleh pemerintah daerah.

3. City Branding Sebagai Strategi Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah


(PAD)
Dalam rangka menuju persaingan, di Indonesia tren penggunaan City
Branding tengah menjadi primadona di berbagai daerah. Termasuk dalam rangka
persaingan pariwisata di daerah yang tengah menjadi sektor unggulan Terlebih
dengan potensi ekonomi dan pariwisata yang dimiliki di tiap-tiap daerah, city
branding merupakan penonjolan akan sebuah kebanggaan sekaligus identitas yang
membedakan satu daerah dengan daerah lainnya. Tindakan-tindakan komunikasi
yang dilakukan oleh suatu tempat/wilayah pada saat ini atau nanti, termasuk cara
promosinya, pariwisatanya, cara mereka bersikap dalam lingkup domestik maupun
asing, cara mereka merepresentasikan identitas budayanya, serta bagaimana mereka
ditampilkan dalam media dunia memberikan perbedaan yang sangat besar pada
kemampuan suatu wilayah dalam scope internal maupun eksternal. Citra kota
memiliki kekuatan dalam membentuk merk untuk sebuah kota, mempengaruhi
bahkan membentuk kota itu sendiri. Dan merk yang melekat pada kota sangat
bergantung pada identitas kota. Setiap kota akan memiliki identitasnya, kota memiliki
emosinya sendiri-sendiri, sebuah dialektis antara masyarakat dan fisik kotanya
(Murfianti, 2010). Ini seperti halnya sebuah mata uang dengan dua sisinya, bahwa
pembangunan fisik kota sekalipun tidak dapat dilepaskan begitu saja dari masyarakat
dan budaya yang dimiliki. Membangun fisik (city) pada dasarnya adalah membangun
roh dan jiwa masyarakatnya. Kota yang berhasil membangun identitas yang kuat
tidak hanya dari aspek fisik tetapi juga kehidupan sosial masyarakatnya. Kemampuan
kota untuk mempertahankan karakter dan identitasnya dan bahkan mempengaruhi
daerah lainnya disebut dengan Local Genius ( Paulus Hariyono, 2007:89). Untuk

14
konteks Indonesia saat ini, keterbatasan platform serta strategi dalam memasarkan
sebuah daerah menjadikan pembangunan dan pertumbuhan menjadi sedikit
terhambat. Hal ini disebabkan para pemasar daerah masih belum mempunyai sebuah
tool memadai yang dapat mereka gunakan untuk membangun daya saing dan
memasarkan daerah kepada target pasar yang dibidik.

Berbagai pengamatan menunjukkan, di tengah era otonomi daerah ini, banyak


para bupati dan para pejabat daerah yang menjadi bingung karena tak tahu strategi
apa yang harus digunakan untuk memasarkan daerah sehingga mampu berdampak
pada peningkatan pendapatan daerah (PAD). Dalam hal ini, PAD merupakan
konsekuensi dari diterapkannya desentralisasi fiskal dalam semesta otonomi daerah.
Artinya, daerah diberikan kewenangan untuk mengelola anggaran atau keuangan
yang sebelumnya tersentralisasi. Sebagai bagian dari proses ekonomi, city branding
berorientasi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini -
otonomi daerah- city branding berperan strategi yang komprehensif untuk menarik
masuk akumulasi modal. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada pemerintah
daerah untuk melakukan inovasi-inovasi yang dapat mendukung kegiatan
perdagangan dan investasi. Hal ini berarti, city branding sebagai produk inovasi
diarahkan untuk menciptkan iklim yang kondusif bagi usaha daninvestasi dan
selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Seiring dengan semakin
terbukanya keran investasi di daerah, maka hal menjadi peluang bagi

Pemerintah Daerah dalam penetrasi di bidang fiskal. Tentunya dengan


kewengan yang dimiliki, manajemen fiskal yang dilakukan harus pula menyesuaikan
dengan potensi yang dimiliki daerah. Upaya manajemen menjadi sebuah keharusan,
mengingat kecenderungan yang terjadi justru dengan adanya otonomi fiskal kian
menyingkirkan pesona investasi akibat ekonomi biaya tinggi. Hal ini seringkali
disebabkan adanya perspesi yang keliru dari elit daerah (Gubernur/Bupati dan DPRD)
tentang konsep desentralisasi sebagai kebebasan dan kewenangan yang luas untuk

15
memungut pajak dan retribusi demi pemasukan daerah. Motifnya peningkatan PAD
tanpa mau bekerja keras dan mengembangkan daya kreasi daerah yang
berkesinambungan. Kondisi semacam ini pada akhirnya justru menciptkan deprivasi
antara kemampuan Pemerintah Daerah dalam menciptakan sumber pajak (tax policy)
dengan potensi yang dimiliki. Terlebih dengan terbatasnya cakupan PAD sebagai
pendapatan yang spesifik membuat faktor inovasi dan kehati-hatian mutlak
diperlukan.

Ditinjau dari aspek legal-formal, Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan


pernerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan
tertentu kepada penduduk yang mendiami wilayah yuridiksinya ( M. Riduansyah,
2003: 50). Dalam UU No. 32 Tahun 2004 komponen PAD meliputi, hasil pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
memberikan sumbangsih yang tidak sedikit dalam mendukung dan memelihara hasil-
hasil pembangunan yang telah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan pada masa
mendatang (Mamesah, 1995). Hal ini menujukkan betapa dengan otonomi daerah
kejelian dan juga sensitivitas dalam membaca peluang sangat dibutuhkan oleh tiap-
tiap pemerintah daerah. Tentu kejelian dan sensitivitas harus pula dibarengi dengan
kemampuan (strategi) pemasaran yang cukup jitu. Upaya memasarkan daerah berarti
mendesain suatu daerah agar mampu memenuhi dan memuaskan keinginan dan
ekspektasi pelanggan. Pelanggan daerah dalam hal ini yang pertama dan utama, tentu
saja adalah penduduk dan masyarakat daerah tersebut yang membutuhkan layanan
publik yang memadai. Kedua, adalah TTI (Traders, Tourist,Investor) baik dari dalam
maupun luar daerah. Ketiga adalah talent (SDM berkualitas), developer, dan
organizer – disingkat menjadi TDO – dan seluruh pihak yang memiliki sumbangsih
dalam membangun keunggulan bersaing suatu daerah. Melalui city branding
diharapkan akan menanamkan sebuah citra (positif) terhadap segmen pasar yang
dituju. Citra ini akan mempengaruhi sejauh mana orientasi pelanggan-atau dalam hal

16
ini TTI – TDO – terhadap potensi investasi dan pengembangan sebuah daerah. Oleh
Kartajaya (2005), model pemasaran daerah (city branding) dapat ditempuh melalui
tiga langkah strategis. Pertama, yakni menjadi tuan rumah yang baik (be a good host)
bagi pelanggan daerah. Kedua, memperlakukan mereka secara baik (treat your guest
properly). Dan terakhir, membangun sebuah ‘rumah’ yang nyaman
bagi mereka (buliding a home sweet home).

Langkah strategis pertama merupakan upaya untuk menarik dan mengakusisi


pelanggan. Untuk menjadi tuan rumah yang baik maka harus terjadi kolaborasi
kohesif antara masyarakat, kalangan bisnis, dan pemerintah daerah (Kartajaya,
2005). Bentuk kolaborasi semacam ini diperlukan agar aktivitas masyarakat,
operasional bisnis, dan kebijakan pemerintah daerah selaras dan saling menunjang
sehingga terbentuk iklim yang baik yang mampu menarik TTI-TDO. Yang kedua
adalah langkah untuk memuaskan mereka. Memperlakukan TTI-TDO secara
semestinya berati bahwa dibutuhkan kemampuan sebuah daerah untuk
mengidentifikasi keinginan dan ekspektasi mereka, dan secara responsif memenuhi
keinginan tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga keberadaan dan minat
investor agar mereka betah dan menjalankan aktivitasnya secara baik dan
berkelanjutan.

Dalam praksisnya, strategi ini berhubungan dengan kemampuan untuk


memperbaiki kondisi liveability, investability, dan visitability. Sementara langkah
yang terakhir merupakan upaya mempertahankan pelanggan, maka daerah harus
memiliki kemampuan untuk menyediakan wahana penunjang yang memadai bagi
aktivitas TTI-TDO. Wahana penunjang dalam hal ini dapat berupa infrastruktur fisik,
seperti halnya telekomunikasi canggih, akses ke pusat-pusat bisnis, hingga perguruan
tinggi untuk menarik orang-orang berbakat.

17
BAB III
PEMBAHASAN

1. Brand “Solo The Spirit of Java” dari Perspektif Pelaku Bisnis Pariwisata

‘Solo, The Spirit of Java’ berbeda dengan ‘Solo Berseri’. Dimana ‘Solo, The
Spirit of Java’ adalah sebuah brand yang memiliki orientasi market. Sedangkan ‘Solo
Berseri’ adalah semboyan yang bertujuan memunculkan semangat pada jiwa
masyarakat Kota Solo dan tidak berorientasi bisnis. Kedua adalah dampak terhadap
kebudayaan dan perekonomian. Di satu sisi, pembuatan brand serta pengangkatan
potensi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah Kota Solo dirasa sesuai dan
memiliki efek yang bagus terhadap keberlangsungan usaha bisnis pariwisata, namun
di sisi lain muncul kekhawatiran terhadap terkikisnya budaya akibat perkembangan
wilayah menuju modernitas. Aspek politik dinilai menjadi salah satu faktor yang
mengarahkan perkembangan Kota Surakarta menjadi metropolis dan mengancam
kebudayaan asli. Berdasarkan hasil survei mendukung, yaitu sebesar 70%, sikap
netral sebesar 26%, dan sikap menolak sebesar 4%. Dengan adanya branding tersebut
ternyata mampu menumbuhkan presepsi yang baik diantara pelaku bisnis pariwisata
sehingga peluang investasi yang besar mampu diraih Pemerintah Kota Surakarta
melalui strategi City Branding tersebut. Tujuan utama dalam pembuatan branding
yaitu untuk memberikan merek pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu yang
berbeda pada dirinya sendiri, serta menawarkan sesuatu yang berbeda (unik) dan
memisahkannya dari persaingan ( Ohmae, 2005). Pelaku bisnis pariwisata tidak segan
menanamkan investasi di Kota Surakarta karena kepercayaan bisnis telah mampu
didapatkan melalui city branding tersebut dengan keunikan yang dimiliki Kota
Surakarta.

18
Persepsi yang baik seharusnya diikuti dengan harapan yang dari pelaku bisnis
pariwisata yang akan menanamkan modal di Kota Surakarta. Walaupun persepsi dari
hasil survey yang dilakukan Zakia dan Bauquni di tahun 2009 menunjukkan bahwa
selain adanya peluang investasi pariwiwsata yang tinggi namun juga ada tantangan
pengelolaan kota oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk membenahi pembangunan
kota yang berdasarkan pada kebudayaan asli. Persepsi dari pelaku bisnis pariwisata di
Kota Surakarta yang baik tersebut menginginkan bahwa city branding “Solo The
Spirit of Java” tetap mempertahankan kebudayaan asli Kota Surakarata di tengah
arus moderenitas baik infrastruktur fisik maupun infrastruktur politik.

Harapan Pelaku Bisnis


Event budaya pemerintah

16%

52%
32%

Sumber: Hasil Penelitian Zakia dan Baiquni 2009

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa persepsi baik pelaku bisnis


pariwisata di Kota Surakarta karena adanya city branding “Solo The Spirit of Java”
akan efektif manakala didukung dengan diselenggarakan event-event di Kota
Surakarta untuk menunjang dari brand tersebut. Event yang dimaksud terutama
adalah event yang mencerminkan kebudayaan Jawa, dengan semakin banyak event
yang diselenggarakan Pemerintah Kota Surakrta, semakin banyak wisatawan yang
tertarik dengan destinasi pariwisata di Kota Surakarta, sehingga kepercayaan pelaku

19
bisnis pariwisata akan semakin baik. Pelaku bisnis akan semakin tertarik
menanamkan investasi di Kota Surakarta melalui strategi pemerintah memasarkan
potensi Kota Surakarta menggunakan konsep city branding.

Faktor selanjutnya yang menentukan keberhasilan program “Solo The Spirit


of Java” adalah pembangunan kebudayaan asli Kota Surakarta. Makna dari branding
tersebut yang secara tersirat mengukuhkan Kota Surakarata sebagai pusat semangat
kebudayaan Jawa membawa sebuah pemikiran bahwa mempertahankan budaya asli
merupakan salah satu penentu kesusksesan program city branding tersebut. Sejarah
peradaban Jawa kuno lahir di Kota Surakarta menjadi ruh dari budaya Jawa khusunya
di Jawa Tengah sehingga menguatkan city branding dari Kota Surakarta. Namun,
harapan untuk mempertahankan kebudayaan asli dewasa ini mengalami sedikit
pergeseran karena aktor politik yang secara perlahan menggeser pembangunan Kota
Surakarta menjadi kota metropolitan. Faktor peran pemerintah justru menunjukkan
angka yang kecil karena pembangunan infrastruktur dan proses politik di Kota
Surakarta mempengaruhi kebudayaan asli. Proses kampanye pilkada Kota Surakarta
bertentangan dengan budaya asli karena issu money politic ikut berkontribusi
mempengaruhi keaslian budaya lokal Kota Surakarta. Oleh karena itu, program
Pemerintah Kota Surakarta untuk mendukung city branding dengan mengharuskan
aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Kota Surakarta menggunakan pakaian
adat jawa setiap hari jumat. Hal ini dilakukan sebagai manifestasi sebagai aktor
penyelenggara negara di daerah dapat memberikan teladan yang baik kepada
masyarakat untuk “nguri-uri” kebudayaan Jawa. Selain itu, gedung-gedung yang
digunakan oleh Pemerintah Kota Surakarta mulai diadakan renovasi dengan bentuk
bangunan asli kraton kasunanan sebagai wujud penghargaan terhadap budaya asli
Kota Surakarta.

20
2. Strategi Pemerintah untuk Memasaran Pariwisata Melalui City Branding di
Kota Surakarta

Salah satu titik fokus pemerintah daerah Kota Surakarta dalam


mengembangan pariwisata adalah melalui pemasaran pariwisata. Untuk mencapai visi
Kota Surakarta yang ingin menjadi daerah tujuan wisata kemudian dilakukan strategi
pemasaran pariwisata. Pada perkembanganya Kota Surakartayang memang memiliki
potensi di bidang pariwisata mulai menerapkan strategi city branding untuk
mengangkat pariwisata di Kota Surakarta. Berbekal dengan potensi di bidang budaya
akhirnya Kota Surakarta membangun branding kota di tahun 2007 dengan tagline
“Solo the spirit of java”. Dengan menerapkan city brandingdi Kota Surakarta yang
cukup intensif dan dipertajam pada tahun 2007 memberikan dampak yang signifikan.
Salah satu indikatornya adalah jumlah kunjungan wisatawan yang mengalami
kenaikan baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Pada perkembanganya
dalam kurun waktu 2007 sampai pada tahu 2014 ternyata perkembangan city
branding Kota Surakarta mengalami berbagai perubahan. Setidaknya masyarakat
mengenal Kota Surakarta dengan berbagai city brand yang antara lain solo kota
budaya, “solo the spirit of java”, solo kota MICE, solo kota festival, solo creative
city, solo kota layak anak dan yang paling baru adalah “solo future is solo past”.
Lahirnya berbagai subbranding ini pun disadari oleh pihak pemerintah daerah terlebih
lagi dinas kebudayaan & pariwisata Kota Surakarta yang dinilai sebagai sebuah
perkembangan & keberagaman dari suatu city brand terdahulu yakni “solo the spirit
of java”. Dengan melakukan subbranding Kota Surakarta sebagai Kota MICE
dampaknya sangat berpengaruh pada tingkat hunian pada hotel dengan rata -rata
mencapai 50% jumlah okupansi. Dari berbagai kelas hotel dimulai dengan melati tiga
sampai bintang empat setidaknya terdapat di Kota Surakarta. Dinas kebudayaan &
pariwisata Kota Surakarta dalam membangun city brand Kota Surakarta dimulai
dengan menentukan positioning Kota Surakarta kemudian melakukan sayembara
untuk mendapatkan tagline yang sesuai dengan positioning sehingga diperoleh tagline

21
“Solo the spirit of Java”. Kemudian terdapat beberapa subbranding yang turut
meramaikan city branding di Kota Surakarta sejak 2007 hingga kini seperti solo kota
batik, solo kota MICE, solo kota festival, solo creative city, solo future is solo past.
Dari beragam subbranding tersebut jika ditelaah lebih dalam adalah sebuah
penjabaran dari komponen-komponen dari city brand solo the spirit of java. Hal ini
disebut dengan strategi perluasan merk (Leveraging the brand) seperti yang
diungkapkan oleh David A. Aaker (1996, h.16) Sebuah merk biasanya adalah asset
yang paling penting yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam konteks Kota Surakarta
yang mencoba untuk memperluas city brand tersebut tampaknya masuk dalam
strategi brand extensions Brand extension terjadi ketika sebuah perusahaan
menggunakan brand yang sudah ada untuk memperkenalkan produk baru. Terdapat
beberapa istilah yang digunakan dalam brand extension, yaitu:

a. Sub-brand, adalah brand baru yang dikombinasikan dengan brand yang sudah
ada.
b. Parent brand / core brand, adalah brand lama yang menciptakan sebuah
brand extension / sub-brand baru.
Dengan fakta di lapangan bahwa sub-brand yang ditampilkan oleh pemerintah daerah
Kota Surakarta merupakan kombinasi dari city brand yang telah ada. Kekuatan
konsep brand yang telah diluncurkan sejak 2007 berada pada spirit of java atau
diartika dengan jiwa & semangat budaya jawa. Dengan demikian positioning yang
ingin ditampilkan kepada pasar adalah Kota Surakarta sebagai suatu kota yang
menjadi jiwa dan semangat kebudayaan jawa. Merujuk pada konsep sub-brand maka
harus terdapat benang merah dengan brand yang telah ditanamkan Maka dari itu inti
dari city brand yang telah diluncurkan pada 2005 berada pada konteks jiwa budaya
jawa atau semangat dari kebudayaan jawa. Dari kebudayaan jawa yang terdapat di
Kota Surakarta setidaknya terdapat berbagai variabel yang turut mendukung menjadi
sebuah kebudayaan jawa yang utuh. Dimulai dari Kraton Surakarta, tradisi,Ritual,
keris, gamelan, batik, bahasa jawa, aksara jawa, corak bangunan, karakter masyarakat

22
jawa yang ramah dan sopan, keroncong hingga seni tari. Sehingga sub branding yang
harusnya menjadi kombinasi penguat harus berada dalam konten -konten variabel
penyusun budaya jawa. Terdapat indikator baru dalam sektor pariwisata di Kota
Surakarta yang tidak semata pada jumlah kunjungan wisatawan akan tetapi
penempatan Kota Surakarta sebagai daerah tujuan wisata. Tentunya dengan berbagai
tantangan yang ada seperti diversifikasi produk wisata, serta strategi pemasaran
pariwisata Kota Surakarta yang tepat dapat menjadi suatu kunci sukses dalam
mecapai visi Kota Surakarta sebagai daerah tujuan wisata. Melalui city branding
dapat dikatakan Kota Surakarta telah berhasil dalam menaikan jumlah kunjungan
wisatawan pada periode 2005-2012. Lalu dengan target baru yang ingin menjadikan
Surakarta sebagai daerah tujuan wisata harusnya dapat berhasil jika proses dalam
pembentukan city branding benar -benar dilakukan dengan tepat melalui 3 tahapan
proses yakni brand personality, brand positioning dan brand identifiers.
.

23
BAB IV

Penutup

Kesimpulan

Kesimpulanya adalah kota solo menggunakan model cultural touristme atau wisata
budaya, kota solo sangat mengedepankan kebudayaan jawa di daerahnya mengingat
kota solo adalah bekas kerajaan surakarta pada saat itu yang di pimpin oleh
Pakubuwono. Dengan city branding“spirit of java” Kota Solo telah berhasil
meningkatkan jumlah kunjungan wisatanya baik lokal maupun internasional, dengan
demikian dapat mempengaruhi PAD (pendapatan Asli Daerah) melalui devisa wisata
yang telah di tetapkan.

Secara tidak langsung city branding di gunakan untuk mempromosikan daerah-daerah


yang mempunyai potensi wilayah untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Saran

Sebaiknya kemajuan di setiap daerah di imbangi dengan kebijakan daerah yang masih
menjaga kearifan lokal, dengan tidak mengubah kebudayaan yang sudah seperti Kota
Solo yang menggunakan kebudayaanya untuk city branding kotanya.

DAFTAR PUSTAKA

24
Paulus Hariyono. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta : Bumi Aksara, hal.
89Mohammad Riduansyah.Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah
Daerah Kota Bogor). Jurnal Sosio Humaniora, Vol. 7, No. 2, Desember 2003. Hal,
50Julia Winfield Pfefferkom.2005.The Branding of Cities:Exploring City Branding
and The Importance of Brand Image.Syracuse University. Hal, 8

Tony Yeshin.2004.Integrated Marketing Communications,The Holistic Approach.


Oxford :ElseiverButterworth-Heinemann.hal.15

Hermawan Kartajaya & Yuswohady.2005. Attracting Tourist, Traders, and Investors


: Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, hal.3

Profil Daerah Kota Surakarta 2011, (Surakarta: BAPPEDA Kota Surakarta, 2011), h.
8.
Fitri Murfianti. Membangun City Branding Melalui Solo Batik Carnival dalam Jurnal
Bisnis dan
Kewirausahaan, Vol.2, No. 1, Juni 2010.
Riyadi.’Fenomena City Branding Pada Era Otonomi Daerah’ dalam Jurnal Bisnis
dan Kewirausahaan, Vol. 5, No.1, Maret 2009. Hal. 2
Hermawan Kartajaya & Yuswohady.2005. Attracting Tourist, Traders, and Investors
: Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, hal,3
Soebagyo. Strategi Pengembangan Pariwisata Di Indonesia dalam Jurnal Liquidity
Vol. 1, No. 2, Juli-Desember, hal. 154
Bintarto, R (1991). Geografi Konsep dan Pemikiran.Yogyakarta : Fakultas Geografi
UGM.
Yoeti, Oka A., Drs.,H.,MBA(1996). Pemasaran Pariwisata.Bandung : Penerbit
Angkasa.

25
Dewi, Ike Janita (2009). Creating& Sustaining Brand Equity.Yogyakarta : Amara
Books

26

Anda mungkin juga menyukai