Anda di halaman 1dari 98

KAJIAN PROSES DEGUMMING

CPO (CRUDE PALM OIL) DENGAN


MENGGUNAKAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI

DENY SUMARNA

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Proses Degumming CPO
(Crude Palm Oil) Dengan Menggunakan Membran Ultrafiltrasi adalah karya saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

Deny Sumarna
NIM : F351020041
ABSTRAK

DENY SUMARNA. Kajian Proses Degumming CPO (Crude Palm Oil) dengan
Menggunakan Membran Ultrafiltrasi. Dibimbing oleh SEMANGET KETAREN,
SUPRIHATIN dan KASENO.
Penggunaan minyak ke dalam berbagai macam makanan dari minyak sawit
kasar (CPO) harus dimurnikan terlebih dahulu sehingga memenuhi syarat sebagai
minyak makan. Perlakuan pendahuluan yang umum dilakukan terhadap minyak yang
akan dimurnikan dikenal dengan proses pemisahan gum (degumming). Teknologi
membran yang menggunakan prinsip pemisahan komponen berdasarkan ukuran dan
berat molekul merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk proses
degumming, selain cara konvensional diantaranya wet degumming dengan
penambahan asam ( H3PO4).
Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh perlakuan tekanan dan konsentrasi
pada membran ultrafiltrasi. Pengaruh perlakuan tekanan dan konsentrasi tersebut diuji
dengan uji Beda Nyata Jujur dan untuk mencari kondisi yang optimal digunakan
Metode Respon Permukaan (RSM). Hasil yang diperoleh juga dibandingkan dengan
pengolahan secara konvensional berdasarkan analisa fisikokimia minyak meliputi
bilangan asam, kadar air, bilangan iod, fraksi tak tersabunkan, kekentalan, bilangan
penyabunan, bilangan peroksida, kejernihan, konsentrasi Phospor dan kandungan β
karoten.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh tekanan dan konsentrasi pada
proses membran ultrafiltrasi tidak berbeda nyata terhadap rejeksi phospohilipid yang
dinyatakan dengan Phospor yaitu antara 60,43 – 81,61%. namun menghasilkan
perbedaan yang nyata terhadap pengolahan konvensional. Proses membran
ultrafiltrasi dapat menurunkan bilangan asam menjadi 10,61% sedangkan proses
konvensional sebanyak 15,95%. Penurunan kandungan β karoten terjadi pada kedua
proses baik proses membran ultrafiltrasi maupun dengan cara konvensional, namun
penurunan terbesar terjadi pada proses konvensional sebanyak 26,20 % sedangkan
proses ultrafiltrasi hanya 14,56%. Perlakuan konsentrasi 44% (v/v) dan tekanan 8 bar
pada membran ultrafiltasi merupakan hasil yang optimal dengan nilai fluks 428
l/m2.jam.
ABSTRACT

DENY SUMARNA. Study on Degumming Process of CPO ( Crude Palm Oil) by Using
Ultrafiltration Membrane. Under the supervision of SEMANGET KETAREN,
SUPRIHATIN, and KASENO.
Crude Palm Oil must be previously purified before applied to various kinds of
food to meet the requirements as edible oil. Common pre treatment for this process is
known as gum separation process or degumming. Membrane technology which uses
component separation principles based on molecular size and weight, is known as an
alternative to be applied in degumming, beside other conventional method such as wet
degumming by acid (H3PO4) addition.
The research studied the effect of pressure and concentration on the peerfomance
ultrafiltration membrane. The effect of pressure and concentration was tested by Honestly
Significant Different test. To find out the optimum condition for the process, a Surface
Respond Method (RSM) was applied. The result obtained was also compared with
compentional processing based on physicochemical analysis of oil such as acid number,
moisture content, iod number, unsaponified fraction, viscosity, saponification number,
peroxide number, clarity, phosphor concentration and β carotene content.
This result of this research showed that the effect of pressure and concentration on
ultrafiltration membrane prosess was not significantly different with respect of
phospolipid rejection that was betwen 60.43 to 81.61%. However, this result showed a
significant difference with conventional processing. Ultrafiltration membrane process can
reduce acid number to 10.61%, which is lower than results of conventional processing of
15.95%. The reduction of β carotene content was occurred in both processing, namely
26.2% for conventional process and 14.56% for ultrafiltration. Concentration treatment
44% (v/v) and pressure 8 bar on ultrafiltration membrane was the optimum result with
flux of 428 l/m2.jam.
© Hak cipta milik Deny Sumarna, tahun 2005
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.
KAJIAN PROSES DEGUMMING
CPO (CRUDE PALM OIL) DENGAN
MENGGUNAKAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI

DENY SUMARNA

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Sains
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
Judul Tesis : Kajian Proses Degumming CPO (Crude Palm Oil) dengan
Menggunakan Membran Ultrafiltrasi
Nama Mahasiswa : Deny Sumarna
NIM : F351020041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Semanget Ketaren, MS


Ketua

Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing Dr. Ir. Kaseno, M.Eng


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir.Irawadi Jamaran Prof.Dr. Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc

Tanggal Ujian : 17 Maret 2006 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Karunia-Nya
sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober
2004 sampai dengan bulan Maret 2005 dengan judul Kajian Proses Degumming CPO
(Crude Palm Oil) dengan Menggunakan Membran Ultrafiltrasi.
Terimakasih penulis sampaikan kepada :
1. Ir. Semanget Ketaren, MS, Dr. Suprihatin, Dipl.Ing dan Dr. Ir. Kaseno. M.Eng
selaku dosen pembimbing dalam kajian ini dan bantuannya dalam penyusunan
tesis ini.
2. Seluruh staf pengajar pada program studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas ilmu yang diberikan.
3. Ir. Ahmad Wibisana, MT, teman-teman dan semua pihak yang membantu dalam
penyelesaian penelitian ini.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan,
serta semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Penulis,

Bogor, Maret 2006


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 24 Oktober 1974 dari ayah Jumhana
dan ibu Arpiah. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara.
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Samarinda. Pada tahun yang sama
penulis diterima di Program Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian, UNMUL dan menamatkannya pada tahun 1997. Tahun 2000 penulis
bekerja sebagai Dosen di Fakultas Pertanian UNMUL.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi
Teknologi Industri Pertanian IPB diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Tinggi.
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iii


DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. v
PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Masalah ............................................................................................................... 3
Tujuan ................................................................................................................. 3
Ruang Lingkup.................................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................. 5
Tanaman Sawit.................................................................................................... 5
Trigliserida.......................................................................................................... 6
Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil) ................................................................. 11
Fosfatida.............................................................................................................. 12
Komponen Minor Minyak Sawit ........................................................................ 14
Degumming......................................................................................................... 17
Pelarut Organik ................................................................................................... 19
Filtrasi Membran................................................................................................. 21

BAHAN DAN METODE........................................................................................... 26


Kerangka Pemikiran............................................................................................ 26
Tempat dan Waktu.............................................................................................. 26
Bahan dan Alat.................................................................................................... 26
Metode Penelitian ............................................................................................... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 35


Karakterisasi Sampel CPO.................................................................................. 35
Fluks Minyak-IPA .............................................................................................. 35
Respon Permukaan (RSM) tekanan Operasi dan Konsentrasi pada membran
Ultrafiltrasi.......................................................................................................... 40
Pencucian Membran............................................................................................ 41
Bilangan Asam.................................................................................................... 44
Bilangan Peroksida (PV)..................................................................................... 45
Bilangan Iod........................................................................................................ 47
Fraksi Tak Tersabunkan (FTT)........................................................................... 48
Bilangan Penyabunan.......................................................................................... 49
Kadar Air ........................................................................................................... 50
Kekentalan (Viscositas) ...................................................................................... 51
Fosfolipid ............................................................................................................ 52
Beta Karoten ....................................................................................................... 53

SIMPULAN DAN SARAN........................................................................................ 55


DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 57
LAMPIRAN................................................................................................................. 60
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi trigliserol pada minyak sawit (%)................................................. 7


2. Komposisi asam lemak dalam trigiserida minyak sawit, inti sawit dan
minyak kelapa .................................................................................................. 8
3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit....................... 10
4. Komponene minor dalam minyak sawit mentah (CPO) .................................. 15
5. Tingkat relatif dari fosfatida ............................................................................ 18
6. Indeks polaritas dan kelarutan dalam air beberapa pelarut organik................. 20
7. Tingkat toksik beberapa pelarut organik.......................................................... 21
8. Karakteristik membran berdasarkan ukuran pori dan perbedaaan tekanan
dan berat molekul............................................................................................. 23

9. Spesifikasi membran keramik Ultrafiltrasi ...................................................... 27


10. Hasil karakterisasi minyak sampel (CPO) ....................................................... 35
11. Pemulihan kinerja membran ultrafiltrasi dengan pencucian menggunakan
NaOH 0,1N dan 0,2N....................................................................................... 43
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pohon Industri Kelapa Sawit ........................................................................ 6


2. Reaksi esterifikasi gliserol dan asam lemak membentuk trigliserida ........... 9
3. Struktur dasar (a) gliserofosfolipid dan (b) spingolipid................................ 13
4 Struktur dasar karotenoid.............................................................................. 15
5 Beta karoten .................................................................................................. 16
6. Diagram alir penelitian ................................................................................. 30
7. Rancangan proses Cross flow membran ultrafiltrasi .................................... 31
8. Diagram alir metode wet degumming-netralisasi (konvensional) dan metode
membran ....................................................................................................... 34
9. Kurva hubungan fluks minyak-IPA terhadap waktu filtrasi pada membran
ultrafiltrasi..................................................................................................... 36
10 Kurva konsentrasi Minyak-IPA vs fluks permeat pada membran ultrafiltrasi 37
11. Kurva tekanan vs fluks Minyak-IPA pada membran ultrafiltrasi ................. 38
12. Respon permukaan dari peubah tekanan dan konsentrasi terhadap fluks..... 41
13. Analisa kontur respon permukaan dari peubah tekanan dan konsentrasi terhadap
fluks............................................................................................................... 41
14. Kurva pencucian membran menggunakan larutan NaOH 0,1N dan 0,2N pada
membran ulttrafiltrasi.................................................................................... 42
15. Histogram bilangan asam proses degumming dan netralisasi ..................... 45
16. Histogram bilangan peroksida proses degumming dan netralisasi ............... 46
17. Histogram bilangan iod (Wijs) proses degumming dan netralisasi .............. 48
18. Histogram fraksi tak tersabunkan proses degumming dan netralisasi .......... 49
19. Histogram bilangan penyabunan proses degumming dan netralisasi ........... 50
20. Histogram kadar air proses degumming dan netralisasi .............................. 51
21. Histogram kekentalan proses degumming dan netralisasi ............................ 51
22. Histogram kadar Phospor proses degumming dan netralisasi ...................... 52
23. Histogram kadar beta karoten proses degumming dan metralisasi............... 53
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Rekapitulasi rata-rata parameter pengamatan ...................................... 61
2. Sidik ragam dan uji lanjut BNJ percobaan........................................... 63
3. Uji kesejajaran dua garis regresi proses pencucian dengan uji -t......... 68
4 Perhitungan model RSM ...................................................................... 69
5. Rata-rata nilai warna minyak, sisa pelarut dan
komposisi lemak .................................................................................. 70
6. Analisis Uji .......................................................................................... 71
7. Analisis GC .......................................................................................... 81
8 Foto-foto hasil penelitian ..................................................................... 83
PENDAHULUAN

Latar belakang

Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan


yang peranannya sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan
tenaga kerja serta pengembangan perekonomian rakyat. Perkebunan kelapa sawit
Indonesia menunjukkan laju perluasan lahan yang meningkat setiap tahun. Pada
tahun 1994, total luas penanaman kelapa sawit mencapai 1,5 juta hektar dengan
tanaman yang menghasilkan seluas 940 000 hektar, pengembangan penanaman
kelapa sawit akan terus berlanjut dengan pertambahan antara 150 000 sampai
200 000 hektar per tahun (Loebis dkk 1994). Tahun 1985 produksi minyak sawit
kasar (CPO) sebesar 1 243 430 ton, tahun 1990 produksi tersebut meningkat
menjadi 2 412 612 ton, tahun 1995 meningkat lagi menjadi 4 479 670 ton, tahun
2000 sebesar 6 350 000 ton dan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai
17 137 000 ton (BPS 2001). Sampai saat ini minyak sawit Indonesia sebagian
besar masih diekspor dalam bentuk CPO, sedangkan di dalam negeri, sekitar 80%
minyak sawit diolah menjadi produk pangan terutama minyak goreng
(IOPRI 2003).
Berdasarkan peranan dan kegunaan minyak sawit, maka mutunya harus
diperhatikan sebab sangat menentukan harga dan nilai komoditas ini. Di dalam
perdagangan kelapa sawit, istilah mutu dapat dibedakan menjadi dua arti. Yang
pertama adalah mutu minyak sawit dalam arti benar-benar murni dan tidak
tercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak sawit dalam arti pertama
dapat ditentukan dengan menilai sifat fisiko-kimianya, antara lain titik cair,
bilangan penyabunan dan bilangan iod. Sedangkan yang kedua yaitu mutu
minyak sawit dalam arti penilaian menurut ukuran. Dalam hal ini syarat mutunya
diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional, yang meliputi kadar
asam lemak bebas (Free Fatty Acid ), air, kotoran, logam besi, logam tembaga,
peroksida dan warna.
Kemajuan bidang produksi pada tingkat perkebunan sawit dan teknologi
pada tingkat industri, perlu didukung dengan kemajuan dalam bidang pengolahan
dan pemasaran, agar memungkinkan diversifikasi pengolahan minyak sawit untuk
2

menghasilkan komoditi sawit yang beraneka ragam. Minyak sawit yang


dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit masih disebut minyak sawit kasar (Crude
oil) karena minyak tersebut merupakan hasil ekstraksi daging buah sawit dan
mengandung kotoran yang tidak larut dalam minyak, berbentuk suspensi koloid
dalam minyak dan kotoran yang terlarut dalam minyak. Untuk penggunaan ke
dalam berbagai macam makanan, minyak sawit harus dimurnikan terlebih dahulu
sehingga memenuhi syarat sebagai minyak makan. Perlakuan pendahuluan yang
umum dilakukan terhadap minyak yang akan dimurnikan dikenal dengan proses
pemisahan gum (de-gumming).
Adanya gum dalam minyak akan mengurangi keefektifan adsorben
untuk menyerap warna, pada proses netralisasi akan mengurangi rendemen
trigliserida karena gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak. Dengan
semakin baik perlakuan pada proses degumming diharapkan dapat meningkatkan
kualitas minyak yang dihasilkan dan dapat menekan kerusakan minyak lebih
lanjut, terutama komponen nutrisi yang berharga dari minyak yaitu beta karoten
yang merupakan sumber provitamin A.
Keunikan miniyak sawit dibandingkan dengan minyak lain adalah
kandungan karotennya yang sangat tinggi, setara dengan 60 000 IU aktifitas
vitamin A (yang berarti 30 kali lebih tinggi dari margarin yang selama ini
dianggap sebagai sumber vitamin A). Selama ini pada proses pengolahan, warna
merah dalam minyak sawit selalu dihilangkan, karena diinginkan minyak makan
yang tidak berwarna.
Sesungguhnya penyebab warna merah tersebut adalah pigmen
karotenoid yang sebagian besar terdiri dari beta karoten yang sanagat diperlukan
oleh tubuh sebagai prekursor vitamin A. Denga pertimbangan nilai nutrisi beta
karoten yang potensisal, maka perlu dipelajari beberapa upaya untuk dapat
mempertahankan dan memanfaatkannya sebanyak-banyaknya.
Teknologi membran yang menggunakan prinsip pemisahan komponen
berdasarkan ukuran dan berat molekul merupakan salah satu alternatif yang dapat
digunakan untuk proses degumming CPO, selain cara konvensional yang selama
ini dilakukan oleh pabrik pengolahan minyak sawit. Pengkajian yang lebih dalam
terhadap faktor-faktor yang menyebabkan penurunan fluks dan perubahan
3

selektifitas perlu dilakukan sehingga dapat diperoleh kondisi optimum rendemen


minyak.
Beberapa penelitian tentang pemurnian minyak menggunakan membran
telah dilakukan antara lain : (1) pemurnian minyak goreng bekas dengan pelarut
heksan menggunakan membran ukuran pori 0,05µm (Andreas 2004), (2) proses
pemurnian Sunflower Oil menggunakan teknologi membran (Ika et.al 2002),
(3) proses pemurnian rice bran oil menggunakan membran (B.K.De et.al 1998),
(4) Pemisahan unsur-unsur minyak dengan pelarut organik menggunakan
membran polymer (S. Koike et.al 2002).

Masalah

1. Proses pengolahan CPO secara konvensional selalu diawali dengan


pemanasan dan dalam proses penjernihan diusahakan agar penampakan
minyak terlihat jernih tanpa warna, padahal warna yang terkandung pada
minyak yang belum dijernihkan terdiri dari pigmen beta karoten yang
merupakan pro vitamin A, suatu nutrisi yang diperlukan tubuh.
2. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan pelarut
heksan dilaporkan bahwa heksan dapat merusak (melarutkan) komponen-
komponen pada modul membran yang terbuat dari bahan non polar (seal
pompa, seal membran) dan dapat mengurangi bahkan merusak kinerja
membran yang terbuat dari bahan polimer. Untuk itu perlu dikaji pelarut
organik isopropanol yang tidak merusak membran dan mempunyai
toksisitas rendah.

Tujuan

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji proses pemisahan gum
dari minyak kelapa sawit dengan menggunakan proses membran. Secara khusus
penelitian ini bertujuan :
4

1. Membandingkan proses degumming cara konvensional (wet degumming)


dengan cara filtrasi membran Ultrafiltasi menggunakan pelarut
isopropanol.
2. Mendapatkan komposisi (nisbah pelarut) dan kondisi (tekanan) optimum
proses degumming CPO pada metode filtrasi membran .
3. Membandingkan konsentrasi NaOH untuk pencucian membran.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah:


1. Karakterisasi minyak sawit sebelum dan sesudah perlakuan, meliputi:
bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan,
kadar Phosfor, viskositas, kecerahan, fraksi tak tersabunkan dan β-
karoten.

2. Proses degumming menggunakan membran ultrafiltrasi dengan pelarut


isopropanol dan degumming (wet degumming) menggunakan asam
phospat.

3. Pencucian membran menggunakan NaOH.

4. Proses Netralisasi mengggunakan NaOH


TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Sawit

Buah sawit berasal dari tanaman sawit (Elaeis guineensis, Jacq) terdiri dari
bagian-bagian eksokarp, mesokarp, endokarp dan inti. Bagian mesokarp buah
mengandung minyak yang disebut dengan minyak sawit, sedangkan dari bagian
intinya dapat di peroleh minyak inti sawit.
Tanaman sawit adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam
famili Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau
minyak, sedangkan nama guineesis berasal dari kata Guines, yaitu nama tempat
dimana seorang bernama Jaquin menemukan tanaman sawit pertama kali di pantai
Guines di Afrika Selatan (Hartley 1970; PORIM 1998).
Selain sebagai bahan pangan, minyak sawit juga digunakan sebagai bahan
baku industri kimia. Industri pengolahan minyak nabati belum dapat digolongkan
pada industri teknologi tinggi. Dasar pengolahan seperti ekstraksi, rafinasi,
deodorasi, hidrogenasi, fraksionasi dan destilasi masih merupakan teknologi
konvensional, terutama yang digunakan di negara maju dengan modifikasi yang
relatif kecil untuk bahan olah produk sawit (Loebis 1988; Naibaho dan Tobing
1991).
Berbagai ragam penggunaan produk sawit untuk tujuan bahan pangan atau
bahan non pangan dapat dilihat pada gambar 1 (Pohon Industri Sawit). Dengan
pertimbangan teknologis dan ekonomis, produksi sawit dapat dimodifikasi untuk
digunakan sebagai produk pangan
6

Gambar 1. Pohon Industri Sawit (Dit. Jen. Bun 1987)

Trigliserida

Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94%),


juga mengandung asam lemak (3 – 5%) dan komponen yang jumlahnya sangat
kecil (1%), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, triterpen alkohol,
fosfolipida, glikolipida dan berbagai komponen trace element (Hamilton dan
Bhatti 1984; Muhilal 1991), dijelaskan lagi oleh Hilditch dan William (1964) serta
Rousell (1985), bahwa minyak sawit juga mengandung sterol (0,03%), fosfatida
(0,1%) dan tokoferol (0,03%) serta karotenoid (sekitar 0,6%) yang terdiri dari
alfa, beta, gamma, delta karoten, likopen dan lutein
Minyak dan lemak terdiri dari trigliserida campuran, yang merupakan ester
dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat berwujud padat
7

atau cair, tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Lemak dan
minyak sawit berwujud setengah padat pada suhu kamar, berwarna kuning jingga
karena mengandung pigmen karoten (Naibaho 1983; Budiman 1987), sebaliknya
minyak inti sawit bersifat cair pada suhu kamar. Perbedaan sifat ini disebabkan
oleh perbedaan jenis asam lemak yang membentuk trigliserida dalam kedua
minyak tersebut (Budiman 1987). Perbandingan komposisi asam lemak minyak
sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan
komposisi trigliserida pada minyak sawit disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Trigliserida pada minyak sawit (%)


Jumlah Ikatan Jenis Trigliserida Kandungan (%) Total (%)
Rangkap
Jenuh PPP 6,1
PPS 0,9
Lain 1,5 8,5
1 buah POP 25,8
POS 3,1
PPO 6,0
Lain 2,7 37,7
2 buah POO 18,9
SOO 2,6
PLP 6,8
PLS 1,9
Lain 4,8 35,0
3 buah OOO 3,2
POL 2,6
PLO 4,3
Lain 1,6 11,7
4 buah - 6,9 6,9
Keterangan : P=palmitat, O= olein, S= stearat, L=linoleat
Sumber : Berger 1989
8

Tabel 2. Komposisi asam lemak dalam trigliserida minyak sawit, minyak inti
sawit dan minyak kelapa *)

Asam Lemak Atom Jumlah Minyak (%)


C ikatan CPO Inti Kelapa
tidak jenuh Sawit
dalam
asam lemak
Asam lemak jenuh
Butirat 4 0 - Sedikit Sedikit
Kaproat 6 0 - 0,3 0,3
Kaprilat 8 0 - 2–4 8
Kaprat 10 0 - 3–7 7
Laurat 12 0 1 41 – 55 48
Miristat 14 0 1-2 14 – 19 17
Palmitat 16 0 32 – 47 6 – 10 9
Stearat 18 0 4 – 10 1–4 2
Asam lemak tidak
jenuh tunggal
(Mono Unsaturated
Fatty Acid/MUFA)
Palmitoleat 16 1 - - -
Oleat 18 1 38 – 50 10 – 20 6
Asam lemak tidak
jenuh ganda
(Poly Unsaturated
Fatty Acid/PUFA)
Linoleat 18 2 5 – 14 1–5 3
Linolenat 18 3 1 1–5 -
*) Goh et.al. (1987)., **) PORIM (1988)

Hilditch dan William (1964), menemukan 95% asam lemak yang tersusun
didalam molekul trigliserida, sehingga sifat kimia dan fisika minyak atau
lemaknya sebagin besar ditentukan oleh sifat-sifat asam lemaknya. Gliserida yang
umum terdapat dalam minyak sawit adalah oleodipaltimin dan palmitodiolein
(Rousell et.al 1985).
Minyak sawit dapat dibedakan berdasarkan kandungan gliserida-
gliseridanya, yang terdapat dalam jumlah yang seimbang. Kadar asam palmitat
yang tinggi, tercermin dari komposisi asam lemak dalam trigliserida pada posisi
kedua. Asam palmitat dalam minyak sawit terdapat dalam jumlah yang lebih
banyak daripada minyak nabati lainnya (Rousell 1985; PORIM 1988)
9

Ukuran molekul trigliserida adalah 1,5 – 2,0 nm (Patterson 1992). Reaksi


esterifikasi antara gliserida dengan asam lemak membentuk molekul trigliserida
dapat dilihat pada Gambar 2.
H2COH H2COOCR1

HCOH + 3RCOOH HCOOCR2 + 3 H2O

H2COH H2COOCR3

Gambar 2. Reaksi Esterifikasi Gliserol dan Asam Lemak membentuk


Trigliserida (Ketaren, 1986)

Asam-asam lemak merupakan asam-asam monokarboksilat dengan rantai


yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom karbon genap. Asam-asam
lemak yang ditemukan di alam terbagi menjadi dua golongan yaitu asam lemak
jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam
jumlah dan posisi ikatan rangkapnya dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam
bentuk molekul keseluruhannya (Winarno 1997).
Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam minyak
sawit, dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel ini ternyata stearin sawit mempunyai
titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks refraksi tidak banyak berbeda,
bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada olein dan bilangan penyabunan
tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak C6 dan C8 hanya ada pada minyak
inti sawit (PORIM 1988).
10

Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit *)


Sifat Jenis
M. Olein Stearin M. Inti
Sawit Sawit
(CPO) (PKO)
Titi cair, (0C) 34,2 21,6 44,5 27,3
Bobot Jenis (500C/air 250C) 0,892 0,902 0,882 0,902
Indeks Bias (nD, 50 0C) 1,455 1,459 1,477 1,451
Bil. Iod (wijs) 53,3 58,0 21,6 17,8
Bil. Penyabunan 195,7 198,0 193,0 245,0
Fraksi tak tersabunkan (%) 0,5 0,5 0,2 0,3
Asam lemak, (%) :
C6 0,3
C8 4,4
C10 3,7
C12 0,2 0,2 0,3 38,3
C14 1,1 1,0 1,5 15,6
C16 44,0 39,8 65,0 7,8
C16=1 0,1 0,2 0,2
C18 4,5 4,4 5,0 2,0
C18=1 39,2 42,5 21,3 15,1
C18=2 10,1 11,2 6,5 2,7
C18=3 0,4 0,4 0,4
C20 0,4 0,4 0,4

*) PORIM (1988)

Dari Tabel 2, komposisi asam lemak minyak sawit terdiri dari asam lemak
jenuh ± 50%, MUFA ± 40%, serta asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) yang
relatif sedikit (± 10%). Dari komposisi asam lemak yang demikian, minyak sawit
dapat diklasifikasikan sebagai lemak tidak jenuh (unsaturated fat), tidak seperti
lemak hewan, minyak kelapa atau PKO (PORIM 2003).
Dengan kandungan asam oleat yang tinggi dan kandungan PUFA yang
rendah, minyak sawit cocok digunakan untuk medium penggoreng. Minyak kaya
asam oleat juga diketahui relatif stabil terhadap suhu penggorengan yang tinggi
serta relatif tahan terhadap kerusakan oksidatif penyebab ketengikan minyak
selama penyimpanan.
11

Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil)

Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang masih berwarna merah.
Muchtadi (1992), menyatakan bahwa sesungguhnya penyebab warna merah
tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari beta karoten.
Menurut Naibaho (1990), minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600 –
1000 ppm. Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit merah terdiri dari alpha
karoten lebih kurang 36,2%, beta karoten lebih kurang 54,4%, gamma karoten
lebih kurang 3,3%, lipoken lebih kurang 3,8% dan santofil lebih kurang 2,2%.
Pada masa perkembangan dimana masyarakat dengan kecerdasan dan
seleranya menghendaki tampilan produk-produk yang lebih baik, maka
berkembang pula teknologi proses untuk membuat minyak goreng yang tidak
berwarna, tidak berbau dan tidak berasa, sehingga pada proses pembuatan minyak
goreng, warna merah yang mengandung zat gizi mikro penangkal penyakit kronik
degeneratif yang terdapat pada minyak sawit justru sengaja dibuang dan sebagain
lagi terbuang dengan tidak sengaja (Muchtadi 1998; Muhillal 1998)
Selain itu, untuk mendapatkan produk-produk akhir minyak sawit
diperlukan adanya bahan kimia dan perlakuan fisik yang secara tidak langsung
dapat merusak komponen-komponen aktif yang terdapat didalamnya terutama
komponen karotenoid.
Dalam proses pengolahan buah sawit menjadi CPO yang selanjutnya
menjadi minyak goreng, selalu diawali dengan pemanasan yang kemudian
dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengadukan dan pengempaan,
penyaringan dan pemurnian. Mengingat sifat karotenoid yang sensitif terhadap
panas, cahaya maupun udara dan juga proses oksidasi, maka dalam proses
pengolahannya perlu diperhatikan dan dikendalikan parameter-parameter proses
yang dapat merusak komponen tersebut.
Proses pemucatan (bleaching) adalah salah satu tingkat pengolahan
minyak atau lemak yang bertujuan untuk memisahkan zat warna dalam minyak
atau lemak. Menurut Naibaho (1979), proses pemucatan biasanya dilakukan
dalam tangki hampa udara, adsorben ditambahkan sebanyak 0,5 – 5,0% dari berat
minyak. Suhu diatur sekitar 250 0F atau 121 0C, setelah itu suhu minyak
12

diturunkan sekitar 71 – 80 0C kemudian minyak dipompakan melalui saringan


untuk memisahkan adsorben.
Untuk mendapatkan minyak sawit yang masih memiliki warna merah
dikendalikan beberapa prose terutama penggunaan suhu tinggi, sehingga saat
pemurnian masih diperoleh minyak sawit yang berwarna merah. Proses ekstraksi
minyak menggunakan pelarut-pelarut lemak seperti heksan, petroleum eter dan
sebagainya telah lama dilakukan. Dengan cara ini akan diperoleh minyak yang
lebih murni dengan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan cara konvensional.
Selain itu kadar beta karoten dalam minyak dapat diperoleh dalam jumlah yang
banyak karena beta karoten juga mempunyai sifat larut dalam lemak sehingga
akan terbawa bersama-sama fase minyak dan pelarut, kemudian pelarutnya
diuapkan kembali untuk memperoleh minyak sawit merah (Muchtadi 1992).

Fosfatida

Minyak dan lemak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya


mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida yaitu fosfolipid atau
fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut dalam lemak dan
hidrokarbon (Ketaren 1986). Kompleks ester yang mengandung fosfor, basa
nitrogen, gula-gula dan rantai panjang asam lemak disebut fosfolipid. Fosfolipid
dalam minyak banyak mengandung sejumlah fosfatida yaitu lesitin dan cepalin.
Fosfatida-fosfatida dalam minyak merupakan ester asam lemak dengan lemak,
dimana pada saat yang sama juga membentuk ester dengan asam fosfor. Asam
fosfor juga membentuk ikatan dengan basa nitrogen atau gula dan kation-kation
seperti magnesium, kalsium dan sodium (Patterson 1992)
Menurut Macrae et al., (1991) fosfolipid merupakan senyawa yang
mengandung gliserol, sphingosin, satu atau dua rantai hidrokarbon dan fosfor.
Bila yang bertindak sebagai dasar adalah gliserol maka disebut gliserofosfolipid,
sedangkan bila sphingosin disebut sphingolipid.
13

O
R1 – C – O – CH2
R2 – C – O – C – H O
H2C – O – P – O - alkohol
O

(a)

H H H
H3C – (CH2)12 – C = C – C - OH
H–N–C–H O
O=C CH2 - O – P - kolin
R1 O

(b)
Gambar 3. Struktur dasar (a) gliserofosfolipid dan (b) sphingolipid
(Macrae et.al. 1991)

Jenis fosfatida tergantung dari sumber fosfatida tersebut. Fosfatida dalam


minyak yang berasal dari tanaman terdiri dari lesitin dan sefalin seperti yang
ditunjukkan pada gambar 3. Beberapa fosfatida utama adalah phosphatidylcholine
(PC) atau yang sering disebut lesitin, phosphatidyletholamine (PE) dengan nama
umum sefalin, Nacylphosphatidyethanoamine (NAPE), phosphatidyl serine (PS),
phospha tidylinositol (PI), phosphatidic acid (PA), phosphatidyl glycerol (PG),
plas mologen (PM), diphosphatidyl glycerol (DPG), lyso-phosphatidylcholine
(LPC), lyso-phosphatidylethanolamine (LPE) (Marcrae, et. al. 1991)
Lesitin mempunyai bagian yang larut dalam minyak dan bagian yang
mengandung PO43+ (polar) yang larut dalam air (Winarno 1988). Lesitin
merupakan substansi yang tidak berwarna, jernih seperti parafin. Apabila ada
panas atau cahaya maka lesitin cepat berubah menjadi orange atau coklat gelap
(Djatmiko dan Widjaja 1984). Lesitin banyak digunakan dalam produk pangan,
farmasi, kosmetik dan pada produk industri lainnya (Peterson dan Johnson 1978).
Sefalin merupakan padatan yang tidak berwarna, tetapi seperti halnya lesitin akan
cepat berubah menjadi gelap sampai merah kecoklatan bila terkena panas atau
cahaya (Djatmiko dan Widjaja 1984).
14

Menurut Torrey (1983), fosfatida terdiri dari dua golongan yaitu fosfatida
hydratable dan fosfatida non hydratable. Komponen terbesar dari fosfatida
hydratable adalah lesitin sedangkan fosfatida non hydratable terdiri dari sefalin,
garam kalsium dan magnesium dari phosphatidic acid.
Fosfatida hydratable dapat dengan mudah dihilangkan dari minyak dengan
menggunakan air atau uap. Pemisahan fosfatida non hydratable biasanya lebih
sulit, membutuhkan perlakuan dengan asam untuk mengubahnya menjadi bentuk
yang hydratable. Fosfatida hydratable berbentuk lendir dengan berat jenis yang
lebih besar dari minyak dan berwujud seperti jonjot (Brekke 1976).

Komponen Minor Minyak Sawit

Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit biasanya dikenal


juga dengan sebutan komponen minor, karena apabila dihitung secara proposional
kuantitatif jumlahnya sangat sedikit sehingga satuan yang digunkan adalah ppm
(part per million) atau bagian per sejuta, tetapi apabila dihitung secara kualitatif,
peranannya sangat penting bagi kesehatan tubuh meskipun dalam jumlah kecil
terutama untuk mencegah penyakit degeneratif, peningkatan imunitas tubuh
taupun untuk digunakan sebagai oleokimia atau produk-produk farmasi
(Muchtadi 1998).
Disebutkan oleh May dkk. (1996) bahwa komponen minor yang
dikandung dalam minyak sawit lebih kurang 1%. Tabel berikut menunjukkan
komponen minor yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO).
15

Tabel 4. Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO)


Komponen Jumlah (ppm)
Karotenoid 500 – 700
Tokoferol dan Tokotrienol 600 – 1000
Sterol 326 – 527
Fospolipid 5 – 130
Triterpen alkohol 40 – 80 (est)
Metil sterol 40 – 80 (est)
Sequalen 200 – 500
Alkohol Alifatik 100 – 200
Hidrokarbon Alifatik 50
Sumber : Ong dkk. (1989)

Komponen intrinsik yang sangat berperan dalam minyak sawit adalah


karotenoid. Karotenoid adalah suatu pigmen alami yang dapat ditemui pada
tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme. Pigmen ini berwarna
kuning sampai merah, mempunyai ciri tertentu, yang dapat menunjukkan sifat-
sifatnya yang mendasar (Rousell 1985). Warna merah kuning yang disebabkan
oleh karoten minyak sawit merupakan pro vitamin A, namun kurang disenangi
oleh konsumen karena mempengaruhi nilai estetika makanan.
Karrer dan Jucker (1950) mendefenisikan karotenoid sebagai suatu zat
warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang
pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil
yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus
metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C – 5, serta diantaranya terdapat ikatan
ganda terkonyugasi. Struktur dasarnya dapat dilihat pada Gambar 3. Adanya
ikatan ganda yang terkonyugasi didalam molekul karotenoid menandakan adanya
gugus khromofor, yaitu lokasi di dalam sel tempat terdapatnya karotenoid. Makin
banyak ikatan ganda terkonyugasi akan semakin pekat warna karotenoid tersebut,
artinya semakin mengarah ke warna merah (Wirahadikusumah 1985;
Hassan 1987).
- C = CH- CH = CH- C = CH =============CH – CH = C-CH=CH-CH= C –

CH3 CH3 CH3 CH3


1 5 molekul pusat 1 5
1 6
Gambar 4. Struktur dasar karotenoid (Lehninger 1990)
16

Karotenoid termasuk senyawa yang terdapat lipida yang tidak dapat


disabunkan, larut dengan baik dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon
disulfida, bensena, khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter,
tetapi tidak larut dalam air (Goodwin 1976 dan Hassan 1987)
Golongan karotenoid yang paling penting adalah jenis alfa dan beta
karoten, yang diperlukan bagi tubuh, karena selain pro vitamin A, juga dapat
mencegah penyakit jantung koroner. Karotenoid golongan ini terdapat dalam
jumlah banyak dalam minyak sawit. Karotenoid umum yang dikenal sebagai
sumber vitamin A adalah beta karoten, alfa karoten dan gamma karoten. Beta
karoten yang merupakan sumber utama vitamin A mempunyai struktur kimia
seperti gambar 5 dibawah ini.
CH3 CH3 CH3 CH3

C CH3 CH3 CH3 CH3 C

H2C C CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C CH2

H2C C CH2 H2C C CH2

CH2 CH2

Gambar 5. Beta karoten (Erdman 1989)

Beta karoten sebagai salah satu zat gizi mikro didalam minyak sawit
mempunyai beberapa aktifitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, yang
disampaikan oleh Tan (1987), Klurfield (1989) dan Muhilal (1991), antara lain
untuk penanggulangan kebutaan karena xeroftalmia, mengurangi peluang
terjadinya penyakit kanker, mencegah proses menua yang terlalu dini,
meningkatkan imunisasi tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif.
Minyak sawit merupakan salah satu minyak nabati yang sulit dipucatkan
karena mengandung karoten dalam jumah besar (500 – 600 ppm) yang
menyebabkan minyak berwarna kuning. Karoten diketahui mempunyai sifat tidak
stabil terhadap panas, cahaya dan oksigen; sehingga dalam proses pemurnian
minyak sawit (CPO) banyak terjadi kerusakan komponen-komponen nutrisi yang
berharga seperti beta karoten yang merupakan sumber pro vitamin A.
17

Degumming

Degumming (pemisahan gum) merupakan suatu proses pemisahan getah


atau lendir yang terdiri dari fosfolipid, protein, residu, karbohidrat, air dan resin.
Biasanya proses ini dilakukan dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain agar
supaya bahan tersebut lebih mudah terpisah dari minyak, kemudian disusul
dengan proses pemusingan (sentrifusi) (Ketaren 1986). Komponen-komponen
fosfatida membentuk lendir (gum) pada CPO dan tidak dikehendaki karena
trigliserida yang akan terhidrasi sehingga menimbulkan emulsi pada saat
pengolahannya, mempersulit adsorbsi tanah pemucat. Fosfatida yang terlarut
dalam minyak dapat dipisahkan dengan menyalurkan uap air panas ke dalam
minyak sehingga terpisah dari minyak, sedangkan fosfatida yang tidak larut air
dapat dipisahkan dengan penambahan Asam Phospat (H3PO4).
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk proses pemisahan gum antara
lain adalah pemisahan gum dengan cara pemanasan, dengan penambahan asam
(H3PO4, H2SO4 dan HCl), pemisahan gum dengan NaOH, pemisahan gum dengan
cara hidrasi dan pemisahan gum dengan pereaksi khusus seperti asam fosfat,
natrium chlorida (NaCl) dan Natrium Phospat (Na3PO4). Proses degumming
dengan menggunakan asam an organik adalah proses lazim dilakukan, pengaruh
yang ditimbulkan oleh asam adalah terbentuknya gumpalan sehingga
mempermudah pengendapan kotoran. Pemberian Asam fosfat sebagai degumming
agent karena dapat menurunkan bilangan peroksida minyak yang telah dipucatkan
dan dapat meningkatkan kestabilan warna, akan tetapi semakin tinggi kadar asam
fosfat yang digunakan maka bilangan peroksida dari minyak yang telah
dipucatkan akan semakin meningkat. Proses degumming menggunakan NaOH,
maka partikel yang terbentuk akan menyerap lendir dan sebagian pigmen.
Kelemahan proses ini adalah terbentukknya emulsi sabun sehingga kehilangan
minyak netral akan bertambah besar.
Minyak sawit kasar mengandung berbagai jenis fosfatida seperti
phosphatidyl choline (PC), Phosphatidyl inositol (PI), phosphatidyl ethanolamine
(PE), phosphatidic acid (PA) dan phytosphingolipids. Tingkat hidrasi dari
fosfatida ini bervariasi pada suhu 800C seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.
18

Tabel 5. Tingkat relatif hidrasi dari fosfatida *)


Jenis Fosfolipid Tingkat Hidrasi (%)
PC 100
PI 44
Garam Kalsium dari PI 24
PE 16
Garam kalsium dari PE 0,9
PA 8,5
Garam kalsium dari PA 0,6
Phytosphingolipid 8,5
*) Seger dan Sande (1989)

Netralisasi

Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari
minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau
pereaksi lainnya sehinga membentuk sabun (soap stock). Netralisasi dengan
kaustik soda (NaOH) banyak dilakukan dalam skala industri karena lebih efisien
dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu
penggunaan NaOH membantu mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa
getah dan lendir dalam minyak.
Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran
seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi
yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi.

Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH adalah sebagai berikut :

O O

RC + NaOH RC + H2O

OH ONa

Asam Lemak basa sabun air


bebas

Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun secara
mekanis, maka netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat
menghilangkan fosfatida, protein, resin dan suspensi dalam minyak yang tidak
19

dapat dihilangkan dengan proses pemisahan gum. Komponen minor (minor


component) dalam minyak berupa sterol, klorophil, vitamen E dan karotenoid
hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi. Netralisasi
menggunakan kaustik soda akan menyabunkan sejumlah kecil trigliserida.
Molekul mono dan digliserida lebih mudah bereaksi dengan persenyawaan alkali.
Pemakaian larutan NaOH dengan konsentrasi yang terlalu tinggi akan
bereaksi sebagaian dengan trigliserida sehingga mengurangi rendemen minyak
dan menambah jumlah sabun yang terbentuk. Oleh karena itu harus dipilih
konsentrasi dan jumlah NaOH yang tepat untuk menyabunkan asam lemak bebas
dalam minyak. Dengan demikian penyabunan trigliserida dan terbentuknya emulsi
dalam minyak dapat dikurangi, sehingga dihasilkan minyak netral dengan
rendemen yang lebih besar dan mutu minyak yang lebih baik.

Pelarut Organik

Kemampuan pelarut baik polar maupun non polar dalam melarutkan bahan
dan perbandingan antar pelarut yang menghasilkan rendemen terbaik dalam suatu
proses belum banyak diketahui. Menurut Ketaren (1985) masing-masing pelarut
mempunyai efisiensi yang berbeda-beda. Pemilihan pelarut harus didasarkan pada
sifat polaritas, stabilitas dan harga. Adapun untuk bahan pangan harus
memperhatikan sifat keamanan terhadap bahan yang dilarutkan.
Konsep like disolves like merupakan konsep yang menjelaskan adanya
fenomena dlam proses ekstraksi, nilai kepolaran pelarut harus sedekat mungkin
dengan kepolaran sampel. Konsep ini sangat berguna jika komponen yang akan
diekstrak sudah diketahui kepolarannya. Untuk bahan yang bersifat polar
sebaiknya menggunakan pelarut yang polar, sedangkan untuk bahan yang non
polar digunakan pula pelarut yang bersifat non polar (Winarno et.al 1973).
Kemampuan pelarut untuk melarutkan suatu bahan akan meningkat dengan
meningkatnya suhu pelarut (Brieger 1969).
Kepolaran pelarut ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (alkohol)
dan karbonil (keton). Interaksi ion dipol, ikatan hidrogen, pembentukan kompleks
dan dipol-dipol mempengaruhi kelarutan bahan dalam pelarut (Brieger 1969).
Indeks polaritas beberapa pelarut organik dapat dilihat pada Tabel 6.
20

Tabel 6. Indeks polaritas dan kelarutan dalam air beberapa pelarut organik *)
Pelarut Indeks polaritas Kelarutan dalam air (% w/w)

Pentana 0,0 0,004


Heksana 0,0 0,001
Heptana 0,0 0,0003
Sikloheksana 0,2 0,01
CCl4 1,6 0,08
Benzena 2,7 0,18
Dietil eter 2,8 6,89
Dikloro metana 3,1 1,60
Isopropanol 3,1 100
Tetrahidrofuran 4,0 100
Kloroform 4,1 0,82
Etil asetat 4,4 -
Aseton 5,1 100
Metanol 5,1 100
Etanol 5,2 100
Asetonitril 5,8 100
Air 9,0 -
Keterangan : *) Brieger (1969)

Winarno et al (1973), menambahkan bahwa ada dua syarat pelarut agar


dapat digunakan untuk ekstraksi, yaitu mudah dipisahkan setelah proses ekstraksi
dan merupakan pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi. Pertimbangan
lain dalam pemilihan pelarut, terutama untuk keperluan industri harus
memperhatikan kadar toksisitas, viskositas dan harga. Kemudian pemakaian
pelarut juga harus mempertimbangkan sifat inner, dalam arti pelarut tidak
bereaksi dengan bahan yang dipisahkan.
21

Tabel 7. Tingkat toksik beberapa pelarut organik


Pelarut Tingkat Toksik

Etanol Sangat rendah


Aseton Rendah
Dietel eter Rendah
Diklorometana Rendah
Dimetil sulfoksida Rendah
Etil asetat Rendah
Heksana Rendah
Isopropanol Rendah
Metanol Rendah
Pentana Rendah
Petroleum eter Rendah
Asetonitril Tinggi
Karbon disulfida Tinggi
Tetrahidrofuran Tinggi
Toluen Tinggi
Benzen Tinggi (karsinogenik)
Karbon tetraklorida Akut dan kronik (karsinogenik)
Kloroform Karsinogenik
Dimetil formamida Karsinogenik, iritasi
Pasto et.al (1992)

Menurut Snape dan Nakajima (1996), pada umumnya pelarut heksan lebih
dapat merusak membran kemudian diikuti dengan metanol, etanol dan
isopropanol yang mempunyai kemungkinan merusak lebih kecil. Ditambahkan
lagi oleh Andreas (2004), bahwa dengan menggunakan heksan sebagai pelarut
pada minyak goreng bekas dapat merusak seal-seal pada sambungan pipa dan
pompa pada modul membran keramik.

Filtrasi membran

Kaseno (1999) menyatakan bahwa bahan yang dapat memisahkan dua


komponen dengan cara spesifik yaitu menahan atau melewatkan salah satu
komponen lebih cepat dari pada komponen yang lain disebut dengan membran.
Menurut Osada dan Nakagawa (1992), membran merupakan lapisan tipis semi
permeabel yang tipis dan dapat digunakan untuk memisahkan komponen dengan
cara menahan dan melewatkan komponen tertentu melalui pori-pori.
Dalam penggunaan energi, pemisahan dengan membran memiliki
keunggulan, tidak seperti evaporasi dan destilasi, pemisahan dengan membran
22

tidak melibatkan perubahan fase dalam prosesnya, sehingga tidak membutuhkan


kalor laten. Membran berdasarkan bahan pembuatan dibagi menjadi dua golongan
yaitu (1) bahan organik, dimana membran ini dibagi lagi menjadi dua bagian
antara lain (a) membran alamiah, contohnya membran yang terbuat dari selulosa
dan turunannya seperti selulosa nitrat dan asetat dan (b) membran sintesis,
contohnya polisulfon, poliamida dan polimer sintesis yang lainnya dan (2) bahan
anorganik (Mallevialle et.al 1996).
Materi anorganik memiliki stabilitas kimia dan stabilitas termal lebih baik
dibandingkan dengan bahan polimer. Ada empat tipe membran anorganik yang
sering digunakan, yaitu membran keramik, membran gelas, membran metal
(termasuk karbon) dan membran zeolit. Membran keramik dibentuk dari
kombinasi metal (seperti aluminium, titanium dan zirkonium) dengan non metal
dalam bentuk oksida, nitrida atau karbida.
Material anorganik memiliki stabilitas terhadap bahan kimia yang lebih
baik dibandingkan dengan membran organik. Secara umum membran ini dapat
digunakan pada beberapa pH dan pada beberapa pelarut organik. Stabilitas
material anorganik ini, material keramik, karena hasil pemadatan struktur kristal,
ikatan kimia dan asosiasi antara partikel yang relatif kuat dan muatan kation yang
tinggi pada keramik, sehingga material anorganik dapat digunakan pada kondisi
lingkungan yang kurang menguntungkan. Faktor lain yang penting dari
penggunaan bahan anorganik adalah semua bahan pembersih dapat digunakan,
termasuk penggunaan asam dan basa kuat. Khususnya pada aplikasi dengan
fouling yang tinggi, yang menembus membran dengan cepat sehingga pembersih
secara periodik dibutuhkan (Wenten 1999)
Filtrasi membran memiliki arti sebagai pemisahan material dengan
mengalirkan umpan melalui suatu membran dan molekul dengan ukuran besar
yang tertahan pada permukaan membran (Gutman 1987). Filtrasi dengan
menggunakan membran dapat dibedakan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi dan
dialisis. Mikrofiltrasi adalah jenis filtrasi yang bertujuan untuk memisahkan
partikel. Sebaliknya ultrafiltrasi bertujuan untuk memisahkan molekul. Dialisis
digunakan untuk pemisahan partikel yang lebih kecil dari molekul dan bermuatan,
23

sedangkan osmosa balik (Reverse osmosis) adalah dialisis yang dilakukan secara
berlawanan arah (Brock 1983).

Tabel 8. Karakteristik Membran berdasarkan ukuran pori dan perbedaan tekanan


dan berat molekul
Jenis Membran Ukuran Pori Perbedaan Berat Molekul
(nm)a Tekanan (Dalton)b
a
(bar)
Mikrofiltrasi (MF) 50 – 10.000 0,1 – 2,0 -
Ultrafiltrasi (UF) 1 – 20 1,0 – 5,0 1000 – 100000
Nanofiltrasi (NF) 2–5 5,0 – 20 1000 – 200
Reverse Osmosis (RO) < 2 10 – 100 < 200
a) Mulder (1996)
b) Yuksel et.al (1996)

Prinsip operasi pemisahan dengan menggunakan membran adalah


memisahkan bagian tertentu dari umpan (feed) menjadi retentat (retentate) dan
permeat (permeate). Umpan adalah larutan yang berisi satu atau lebih campuran
molekul atau partikel yang akan dipisahkan. Permeat adalah bagian yang dapat
melewati pori membran, sedangkan retentat adalah bagian yang tidak dapat
melewati pori membran (Mellevialle et. al. 1996).
Ketika larutan yang mengandung partikel didorong atau ditarik melalui
sebuah filter, terjadi sebuah sistem aliran kompleks dimana sebagian kecil larutan
berpindah dari fasa terbesar larutan tersebut, masuk ke dalam pori-pori filter dan
keluar dari sisi yang lain. Aliran dari larutan akan lebih mudah melewati pori-pori
yang lebih besar, oleh karena itu ukuran pori-pori sangat berpengaruh dalam
proses filtrasi. Partikel yang tersuspensi akan terbawa dalam aliran larutan
tersebut karena adanya kelembaman. Jika ukuran partikel cukup kecil untuk lolos
melalui pori-pori, maka partikel tersebut akan keluar menjadi filtrat, atau
sebaliknya bila ukurannya lebih besar dari pori-porinya maka partikel tersebut
akan mengenai permukaan filter atau terperangkap diantara celah matrix filter.
Untuk partikel yang memiliki lebih besar dibandingkan ukuran pori-pori
jelas akan terperangkap atau tertahan oleh filter, tetapi ada juga sebagian partikel
yang lebih kecil dari pada ukuran pori-pori akan terperangkap juga. Hal ini
mungkin terjadi, jika ukuran partikel hanya lebih sedikit kecil dibandingkan pori-
porinya, ketika partikel lewat mendekati pori-pori ada kemungkinan sebagian
partikel akan bersentuhan dengan matrik filter, jika gaya adhesif cukup besar,
24

maka partikel tersebut akan terperangkap, Sedangkan untuk partikel yang


memiliki ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pori-porinya,
kemungkinan terperangkapnya hanya akan terjadi bila ada suatu gaya elektrostatis
dari permukaan filter yang akan menarik partikel (Brock 1983).
Proses filtrasi membran dengan terknik cross-flow sangat sederhana
hanya memerlukan pemompaan umpan tegak lurus terhadap membran, sejajar
dengan permukaan membran. Membran membagi aliran umpan menjadi dua; satu
aliran sebagai permeat, yang terdiri dari komponen berukuran besar yang tertahan
oleh membran. Retentat biasanya disirkulasikan kembali melalui modul membran
karena komponen berukuran kecil tidak melewati pori-pori membran secara
bersamaan dalam satu kali pengairan. Kecepatan aliran cross-flow merupakan
kecepatan rata-rata ketika umpan dialirkan sejajar dengan permukaan membran.
Kecepatan aliran memiliki pengaruh yang besar tehadap fluks permeat. Permeat
fluks juga dipengaruhi membran tersebut. Penggunaan tekanan diatas batas
tersebut berdasarkan hasil penelitian ternyata tekanan yang tinggi tidak
berpengaruh terhadap fluks permeat, bahkan penggunaan tekanan yang terlalu
tinggi menyebabkan terjadinya fouling pada membran Masalah yang sering
timbul dalam proses membran adalah fouling. Fouling timbul karena tertahannya
partikel pada permukaan membran saat umpan dilewatkan sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan fluks dan perubahan selektifitas
(Henry 1988). Menurut Wenten (1999), fouling dapat diminimalkan dengan
mengendalikan faktor temperatur, tekanan dan kecepatan crossflow.
Salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan penggunaan membran
berpori adalah fouling pada membran yakni perubahan yang bersifat irreversible
yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi antara membran dan
partikel yang terdapat dalam proses pemisahan. Membran fouling diidentikkan
dengan penurunan fluks permeat dan perubahan selektifitas pada membaran.
Perubahan ini dapat berlangsung selama proses dan membutuhkan penanganan
yang serius dan mahal termasuk penggantian membran.
Filtrasi dengan menggunakan membran berdasarkan ukuran molekul
solute yang tertahan dikelompokkan kedalam tiga kelas yaitu mikrofiltrasi,
ultrafiltrasi, nanofiltrasi dan reverse osmosis. Membran ultrafiltrasi (UF) dan
25

mikrofiltrasi (MF) merupakan membran porous dimana rejeksi zat terlarut sangat
dipengaruhi oleh ukuran dan berat zat terlarut terhadap ukuran pori membran.
Membran UF memiliki struktur yang asimetrik dengan lapisan atas yang lebih
dense (ukuran pori lebih kecil dan porositas permukaan rendah) sehingga tahanan
hidrodinamiknya akan lebih besar. Membran UF digunakan untuk memisahkan
bahan, sampai berupa molekul dari larutan. Karakteristik membran umumnya
dinyatkan dalam Molecular Weight Cut Off (MWCO), atau berat molekul yang
ditolak (90%-nya) oleh membran.
BAHAN DAN METODE

Kerangka Pemikiran

Proses degumming merupakan proses awal dari serangkaian proses


pemurnian minyak sawit kasar (CPO). Pada proses degumming dilakukan
pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein dan karbohidrat.
Secara konvensional proses degumming biasanya menggunakan suhu yang
0
tinggi (60 – 80 C) dan bahan kimia (asam fosfat) untuk mengubah fosfatida non
hydratable menjadi hydratable. Perlakuan dengan menggunakan suhu yang tinggi
tersebut dapat merusak komponen – komponen penting lain yaitu karotenoid yang
mengandung beta karoten dalam kisaran jumlah ± 1000 ppm, yang merupakan
provitamin A, suatu nutrisi yang diperlukan tubuh.
Teknologi membran yang menggunakan prinsip pemisahan komponen
berdasarkan ukuran molekul merupakan salah satu alternatif yang dapat
digunakan untuk proses degumming CPO, selain teknologi konvensional yang
selama ini banyak dilakukan oleh pabrik pengolahan minyak sawit. Menurut
Patterson (1992), fosfatida daalam bentuk missel mempunyai berat molekul
20 kDa sedangkan trigliserida 0,8 kDa, maka teknologi membran yang dapat
digunakan adalah membran ultrafiltrasi dengan MWCO 10 kDa.

Tempat Dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengawasan Mutu Jurusan


Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai
Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong. Penelitian berlangsung selama enam
bulan, dari bulan Oktober – Maret 2005

Bahan Dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah CPO (PTP VII Lampung),


Isopropanol, asam fosfat 80%, NaOH. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis
antara lain : KOH, indikator phenoftalein, khloroform, KI, Na2S2O3, Heksan,
27

Petroleum eter, Metanol, Asetonitril, Diklorometan, H2SO4, HCL, kertas saring


dan Aquades.
Alat yang digunakan adalah membran keramik UF (ultrafiltrasi) dengan
MWCO (Molecular Weight Cut Off) 10 kDa berdiameter pori 0,001µm, modul
filtrasi skala pilot plan. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisa
meliputi: alat distilasi, penangas air, hot plate, corong pemisah, magnetic stirrer
dan alat-alat gelas.
Membran UF yang digunakan merupakan membran keramik berbentuk
tubular. Bentuk tubular ditandai dengan adanya beberapa channel dalam
membran. Adapun spesifikasi lebih lengkap mengenai membran keramik UF
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Spesifikasi membran keramik Ultrafiltrasi
Spesifikasi Keterangan
Ukuran pori 0,001µm
Material bahan Keramik (anorganik)
Luas permukaan 0,05 m2
Panjang 25 cm
Bentuk penampang Bulat
Diameter luar 3 cm
Jumlah channel 9
Diameter channel 2 mm

Metode Penelitian

Penelitian pendahuluan

Minyak Sawit Kasar (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku dalam
penelitian ini dikarakterisasi untuk mengetahui sifat fisiko-kimianya meliputi
analisa : bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan,
kadar Phospor, kadar air, β-karoten, warna, viskositas dan fraksi tak tersabunkan.
Prosedur analisis karakterisasi bahan baku dapat dilihat pada lampiran 5.

Penelitian utama

Rancangan Percobaan Filtrasi membran

CPO yang sudah dikarakterisasi pada penelitian pendahuluan kemudian


dilakukan proses degumming menggunakan membran ultrafiltrasi. Perlakuan yang
28

digunakan pada proses ultrafiltrasi meliputi tekanan operasi membran (T) dan
nisbah antara pelarut isopropanol dengan minyak sawit (M). Rentang tekanan
operasi pada proses ultrafiltrasi adalah 2 sampai 10 bar. Nisbah antara isopropanol
dengan minyak sawit digunakan adalah 75% sampai 25%.
Parameter yang diukur pada proses ultrafiltrasi yaitu fluks Permeat
(L/jam.m-2), rejeksi membran dan kualitas permeat yang meliputi bilangan asam,
bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar Phospor, kadar air,
β- karoten, warna, viskositas dan fraksi tak tersabunkan. Prosedur analisis dapat
dilihat pada Lampiran 15. Optimasi dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan
faktor-faktor yang berpengaruh dan taraf masing-masing faktor tersebut. Tekanan
Operasi (T) yang digunakan adalah :
T1= 2 bar; T2= 3 bar;T3 = 6 bar
T4 = 9 bar;T5 = 10 bar
Nisbah antara minyak sawit dan isopropanol (M) digunakan adalah :
M1 = 25% ( 3 bagian pelarut : 1 bagian minyak),
M2 = 50% (1 bagian pelarut : 1 bagian minyak);
M3 = 75% (1 bagian pelarut : 3 bagian minyak);
masing-masing perlakuan diulang dua kali menggunakan percobaan faktorial
dalam RAL (Rancangan Acak Lengkap). Untuk mencari persamaan regresi yang
responnya berupa bidang lengkung, pengolahan data hasil percobaan dilakukan
dengan menggunakan RSM (Response Surface Metod) dengan kombinasi peubah
bebas berupa perlakuan faktorial lengkap
Model persamaan multiple regresi dari respon yang diamati dapat
dinyatakan sebagai berikut :
Model regeresi linear dengan jumlah faktor 2 adalah :

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β12X1X2 + ε

Model regresi ordo kedua dengan jumlah faktor 2 adalah

Y = β0 + β1X1 + β11X21 + β2X2 + β22X22 + β12X1X2 + ε

Dimana Y adalah respon, β0 adalah intersep, β1, β2, adalah koefisien


linear, β12, adalah koefisien interaksi, β11, β22, adalah koefisisen kuadratik dan X1,
X2 adalah variabel bebas.
29

Model regresi yang diperoleh dianalisis sensitifitasnya dan ditentukan nilai


optimum untuk setiap respon yang diamati. Hasil optimum yang diperoleh dari
perhitungan divalidasi dengan hasil percobaan laboratorium.

Pencucian Membran

Pada setiap akhir percobaan (running), membran Ultrafiltrasi dicuci


dengan menggunakan NaOH. NaOH pada konsentrasi 0,1N dan 0,2 N dengan
asumsi setiap percobaan proses degumming dengan menggunakan membran
adalah sama pada setiap kombinasi perlakuan. Fluks diukur pada kondisi tetap
(tunak) pada tekanan 3, 4, 6, 8 dan 10 bar dan waktu pembersihan 30 menit.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Model
matematika rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + Mi + εij

Dimana :

Yij = Variabel respon hasil observasi ke- j (1,2,3) yang terjadi


karena pengaruh faktor M pada taraf ke – i (1,2,3)
µ = Rata-rata yang sebenarnya
Mi = Pengaruh faktor M (konsentrasi) pada taraf ke-i (1,2,3)
εij = Error

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga bagian meliputi karakterisasi bahan


baku, proses degumming dengan membran Ultrafiltrasi, pencucian membran dan
proses degumming konvensional (wet degumming). Diagram alir tahapan
penelitian dan output yang diharapkan pada masing-masing tahap dapat dilihat
pada gambar berikut:
30

Gambar 6. Diagram alir penelitian

Adapun prosedur penelitian pada tiap bagian adalah :

Filtrasi Membran

Proses ultrafiltrasi dimulai dengan memasukkan CPO dan dipanaskan


sampai suhu 400C dan isopropanol (IPA) kedalam tangki umpan sebanyak 20
liter, dengan perbandingan sesuai dengan perlakuan. Larutan dari tangki umpan
kemudian dipompakan ke dalam modul membran ultrafiltrasi. Tekanan operasi
diatur dengan memutar klep pengaman sehingga didapatkan tekanan yang
diinginkan.
Retentat yang diperoleh dikembalikan ke dalam tangki umpan, sedangkan
permeat ditampung dalam wadah. Rancangan proses filtrasi dengan membran
disajikan pada Gambar 7. Selama proses berlangsung dilakukan pengukuran
parameter-parameter yang menunjukkan kinerja membran. Parameter kinerja
31

membran yang dievaluasi adalah fluk permeat dan nilai rejeksi membran.
Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pemisahan minyak dengan pelarut (isopopanol), permeat yang dihasilkan
dilakukan dengan proses distilasi. Setelah proses distilasi dilakukan analisis kimia
meliputi : bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan,
kadar Fosfor, kadar abu, β- karoten, viskositas dan fraksi tak tersabunkan.
Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 5. Minyak yang telah selesai
di degumming dilakukan proses netralisasi menggunakan NaOH. Minyak hasil
degumming dan netralisasi dilakukan karakterisasi.

Gambar 7. Rancangan proses Cross flow membran ultrafiltrasi

Keterangan :

E-1 : Pompa
V-1,2,3,4 : Klep
UF : Modul membran Ultrafiltrasi
P1,P2 : Presure gauge

Wet degumming

Proses wet degumming yang digunakan berdasarkan hasil penelitian


Nanci (1998) dengan menggunakan asam fosfat 85% dengan jumlah asam fosfat
0,09 %(v/w). Prosedur yang digunakan adalah 200 gram CPO dipanaskan pada
32

suhu 80 – 90 0C sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirer, kemudian


ditambahkan larutan asam fosfat 85 persen sebanyak 0,09 persen (v/w) dan
dibiarkan selama 15 menit. Kemudian campuran minyak tersebut dimasukkan ke
dalam corong pemisah, ditambahkan air hangat kemudian didiamkan kembali
sampai gum dan air terpisah dari minyak. Gum yang terdapat pada bagian bawah
corong dipisahkan dengan membuka klep pada bagian bawah dan dicek apakah air
pencucian sudah netral atau belum (dengan menggunakan kertas lakmus). Jika air
pencucian pada saat pemisahan gum belum netral maka air ditambahkan lagi
sampai air pencucian netral.
Minyak yang diperoleh dilakukan karakterisasi meliputi bilangan asam,
bilangan penyabunan, bilangan peroksida, bilangan iod, kadar air, kadar abu,
kandungan β karoten dan kadar Fosfor. Prosedur analisis dapat dilihat pada
Lampiran 5.

Netralisasi

Sebelum dinetralisasi, dilakukan analisa kadar FFA minyak hasil


degumming terlebih dahulu, agar diketahui kebutuhan larutan NaOH yang
ditambahkan dalam proses netralisasi. Ekses yang digunakan sebesar 0,10 % dari
berat minyak.
Perhitungan dapat dilakukan sebagai berikut. Misalkan NaOH 120Be
mengandung 10 gram NaOH dalam 100 ml larutan, sedangkan kandungan FFA
minyak awal sebesar 4,6 % (sebagai asam palmitat). Satu kilogram asam lemak
bebas (sebagai asam oleat) dapat dinetralkan dengan 0,142 kg NaOH. Satu
kilogram asam lemak bebas (sebagai asam palmitat) membutuhkan 0,142 x (282/
256) kg NaOH, dimana 282 dalam berat molekul asam oleat, sedangkan 256 berat
molekul asam palmitat. Jadi NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan 100 gram
minyak :
0,142 (282/256) x 0,046 x 100 = 0,72 gr
Ekses 0,1 % : 100 x 0,001 = 0,10 gr
Jumlah = 0,82 gr
33

NaOH tersebut setara dengan larutan NaOH sebanyak 0,82/10 x 100 ml =


8,2 ml
Minyak hasil degumming dimasukkan ke dalam tangki netralisasi dan
dipanaskan hingga suhu minyak tersebut mencapai 600C. Setelah suhu tersebut
tercapai dimasukkan larutan NaOH sambil diaduk dengan cepat selama 15 menit.
Setelah reaksi berjalan, campuran larutan minyak dan NaOH didiamkan untuk
mengendapkan soap stock selama 30 menit. Soap stock yang telah mengendap
kemudian di keluarkan. Pencucian minyak selanjutnya dilakukan dengan cara
menyemprotkan air panas sampai air pencuci netral.

Pencucian membran

Proses pencucian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : NaOH


dilarutkan kedalam air di dalam tangki umpan, kemudian larutan tersebut
dialirkan dalam modul filtrasi selama 30 menit. Untuk menghilangkan busa yang
masih tertinggal dalam membran, dilakukan pembersihan dengan mengalirkan air
bersih pada membran pada tekanan 3 bar. Aliran air akan dihentikan apabila tidak
terdapat busa dalam air pembuangan dan pH 7 (saluran permeat dan retentat).
Kemudian dihitung permeabilitas membran dengan cara menghitung fluks air
yang dihasilkan dibandingkan dengan sebelum dilakukan perlakuan.
34

Gambar 8. Diagram alir metode Wet Degumming-Netralisasi


(konvensional) dan metode membran .
35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sampel CPO

Pada penelitian pendahuluan dilakukan karakterisasi sampel pada CPO


dengan tujuan mengetahui sifat fisiko-kimia minyak dibandingkan dengan
spesifikasi persyaratan mutu CPO. Hasil karakterisasi minyak awal dapat dilihat
pada Tabel 10..
Tabel 10 Hasil karakterisasi minyak sampel (CPO)
Parameter Nilai Nilai
SNI 01-2901-1992
FFA sebagai asam palmitat (%) 1,1 Max 5
Kadar Air (%) 0,035 0,45
Bilangan Iod (wijs) 25,555 -
Bilangan Peroksida (mg O/100 g) 0,625 -
Bilangan Penyabunan 225 -
Fraksi Tak tersabunkan (%) 0,455 -
Phospor (%) 0,14 -
Beta Karoten (ppm) 93,25 -
Besi (Fe) Tidak terdeteksi

Berdasarkan hasil karakterisasi sampel CPO menunjukkan bahwa minyak


yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai mutu yang bagus karena telah
memenuhi standar mutu minyak menurut SNI 01-291-1992. Hal ini dapat dilihat
dari nilai parameter asam lemak bebas (FFA) yang dihitung sebagai persen asam
palmitat yang merupakan asam lemak dominan. Hasil pengukuran kadar FFA dari
sampel adalah 1,1 persen yang berarti sudah memenuhi persyaratan yang
diizinkan yaitu maksimal 5 persen. Demikian juga dengan nilai parameter kadar
air. Dua parameter ini sangat penting untuk menentukan mutu dari sampel
dikarenakan FFA merupakan asam lemak yang tidak terikat dalam lemak
menyebabkan ketengikan dan rendemen minyak akan menurun dan kadar air yang
tinggi akan menyebabkan proses hidrolisa pada minyak dimana proses hidrolisa
ini akan membentuk FFA ..

Fluks Minyak-IPA

Penentuan fluks minyak-IPA membran ultrafiltrasi dilakukan dengan cara


melihat pengaruh lama filtrasi pada berbagai operasi tekanan dengan konsentrasi
36

yang berbeda. Perlakuan lima operasi tekanan pada membran ultrafiltrasi adalah
2 bar (T1), 3 bar (T2), 6 bar (T3), 9 bar (T4) dan 10 bar (T5) dengan konsentrasi
25 % (M1), 50% (M2) dan 75% (M3).
Kurva hubungan antara fluks minyak-IPA terhadap lama filtrasi pada
kondisi tekanan dan konsentrasi yang diberikan dapat dilihat pada Gambar 9

600

500
Fluks (l/m2.jam)

400

300

200

100

0
1 5 10 15 20 25
Waktu (menit)

M3T1 M3T2 M3T3 M3T4 M33T5


M2T1 M2T2 M2T3 M2T4 M2T5
M1T1 M1T2 M1T3 M1T4 M1T5

Gambar 9. Kurva hubungan Fluks minyak-IPA terhadap waktu filtrasi pada


membran Ultrafiltrasi.

Fluks minyak – IPA pada membran ultrafiltrasi pada tiap tekanan


mencapai keadaan tunak pada menit ke-15. Penurunan fluks lebih nyata pada awal
waktu filtrasi dibandingkan pada akhir waktu filtrasi cenderung disebabkan oleh
lapisan gel (Cheryan, 1996; Pagliero et at. 2001) dan karena adanya fenomena
polarisasi konsentrasi lebih berperan yang merupakan proses terbentuknya gradien
konsentrasi pada lapisan pembatas permukaan membran akibat akumulasi zat-zat
terlarut yang tertahan oleh membran. Lapisan gel sendiri merupakan bagian dari
lapisan polarisasi konsentrasi yang diduga berasal dari makromolekul (fosfolipid)
dan terjadi pada saat kelarutan kritis tercapai (Toyomota and Higuchi 1992). Pada
tekanan tinggi lapisan gel-polarisasi yang terbentuk dari makromolekul yang
terejeksi menumpuk pada permukaan membran menyebabkan aliran proses
menjadi sangat tergantung pada konsolidasi lapisan tersebut.
Dari gambar diatas menujukkan hubungan antara waktu dan fluk larutan
minyak–IPA dengan konsentrasi yang berbeda. Fenomena yang diberikan oleh
37

masing-masing kurva hampir sama, dimana fluks permeat menghasilkan


penurunan yang sangat kecil seiring dengan bertambahnya waktu operasi.
Penurunan harga fluks yang sangat kecil ini dan kelihatan konstan
mengindikasikan bahwa interaksi pertikel terlarut pada membran ultrafiltrasi
keramik cukup stabil.

Konsentrasi Umpan
Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi sangat
berpengaruh terhadap besarnya harga fluks permeat (Lampiran 2 ). Setelah diuji
lanjut dengan uji BNJ 5% diperoleh bahwa rata-rata perlakuan konsentrasi
berbeda nyata. Peningkatan konsentrasi cenderung menurunkan fluks permeat Hal
ini dikarenakan semakin rendah konsentrasinya berarti semakin renggang jarak
antara molekul minyak

500
Fluks (l/m .jam)

400 2 bar
300 3 bar
2

6 bar
200
9 bar
100 10 bar

0
25% 50% 75%
Konsentrasi

Gambar 10. Kurva Konsentrasi Minyak – IPA vs Fluks permeat pada


Membran Ultrafiltrasi.

Dari gambar kurva diatas, kemungkinan terjadinya fouling menjadi lebih


tinggi pada perlakuan M1 dikarenakan konsentrasinya lebih tinggi. Semakin
tinggi konsentrasi umpan, maka peluang terjadinya konsentrasi polarisasi
dipermukaan membran lebih besar. Untuk konsentrasi yang lebih rendah (M1)
perbedaan nilai fluks permeat tersebut lebih besar dibandingkan dengan
konsentrasi yang lebih tinggi (M3), hal ini menunjukkan lapisan fouling/polarisasi
konsentrasi lebih dominan menentukan harga fluks tersebut.
38

Tekanan Operasi

Berdasarkan sidik ragam (Lampiran 2), menunjukkan bahwa tekanan


operasi sangat berpengaruh terhadap besarnya harga fluks permeat. Setelah diuji
lanjut dengan uji BNJ 5% diperoleh bahwa tekanan 9 bar (T4) dan 10 bar (T5)
memberikan nilai fluks permeat yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Hal ini
menunjukkan bahwa nilai fluks permeat yang dihasilkan dimulai pada tekanan 6
bar (T3) sudah tidak meningkat secara tajam namun cenderung konstan.

500
Fluks (l/jam .jam)

400
25%
2

300
50%
200 75%
100

0
2 3 6 9 10
Tekanan (bar)

Gambar 11. Kurva tekanan vs Fluks Minyak-IPA pada Membran


Ultrafiltrasi

Secara umum fluks meningkat dengan meningkatnya tekanan, tetapi


peningkatan tekanan tidak selamanya dapat meningkatkan fluks. Diatas tekanan 6
bar (T3), fluks mulai konstan dengan meningkatnya tekanan. Mulder (1996)
mengemukakan bahwa dalam padatan yang terlarut, ketika tekanan dinaikkan
sampai batas tertentu akan menaikkan fluks tetapi setelah mencapai tekanan
tertentu fluks tidak akan meningkat. Peristiwa meningkatnya tekanan yang tidak
disertai kenaikan fluks ini sering dijelaskan dengan teori gel. Teori gel tersebut
mengatakan bahwa kenaikan tekanan akan meningkatkan konsolidasi partikel –
partikel yang membentuk lapisan fouling sehingga tahanan perpindahan juga
meningkat akibat meningkatnya konsentrasi lapisan fouling (Wenten, 1999)
39

Rejeksi Fosfolipid
Mulder (1996) mengemukakan bahwa pada air murni semakin tinggi
tekanan yang diberikan maka fluks air murni juga akan meningkat. Lain halnya
dalam padatan terlarut, ketika tekanan dinaikkan sampai batas tertentu akan
menaikkan fluks tetapi setelah mencapai tekanan tertentu fluks tidak akan
meningkat. Ditambahkan pula bahwa rejeksi dapat tinggi pada proses pemisahan
dengan menggunakan larutan campuran makromolekul dimana polarisasi
konsentrasi sangat berpengaruh tehadap selektivitas. Molekul dengan berat
molekul yang lebih tinggi akan tertahan seluruhnya dan menimbulkan lapisan
dinamis seperti membran yang dapat menahan partikel padatan dengan berat
molekul rendah.
Fosfolipid termasuk salah satu senyawa yang jika terdispersi didalam air
membentuk misel. Jika misel tersebut berada didalam lingkungan pelarut non
polar termasuk IPA cenderung membentuk reverse miscelle dengan rata-rata berat
molekul 20 000 dalton (18 – 200 nm) (Patterson 1992; Paliegro et.al 2001).
Adanya perbedaan berat molekul dengan trigliserida (800 dalton) memungkinkan
fosfolipid sebagai retentat dalam proses degumming dengan ultrafiltrasi 10 000
dalton.
Peningkatan kondisi operasi tekanan yang diberikan terjadi peningkatan
nilai fluks CPO-IPA. Peningkatan ini tidak akan terus terjadi jika kondisi operasi
terus dinaikkan. Mulder (1996) mengemukakan bahwa dalam padatan yang
terlarut, ketika tekanan dinaikkan sampai batas tertentu akan menaikkan fluks
tetapi setelah mencapai tekanan tertentu fluks tidak akan meningkat. Selama
proses filtrasi berlangsung pada membran ultrafiltrasi dapat dilihat bahwa terjadi
penurunan permeat fluks pada awal filtrasi dibanding pada akhir filtrasi
disebabkan oleh lapisan gel. Hal ini diduga karena dengan semakin tinggi tekanan
yang diberikan fenomena polarisasi lebih berperan sedangkan fluks menjadi tidak
sensitif lagi dengan tekanan yang diberikan. Fenomena polarisasi adalah proses
terbentuknya gradien konsentrasi pada lapisan pembatas permukaan membran
akibat akumulasi zat-zat terlarut yang tertahan oleh membran. Lapisan gel sendiri
merupakan bagian dari lapisan polarisasi konsentrasi yang diduga berasal dari
makromolekul (fosfolipid) dan terjadi pada saat kelarutan kritis tercapai
40

(Toyomota dan Higuchi 1992). Pada tekanan tinggi lapisan gel polarisasi yang
terbentuk dari molekul yang terejeksi menumpuk pada permukaan membran
menyebabkan aliran proses menjadi sangat tergantung pada konsolidasi lapisan
tersebut (Cheryan 1996; Pagliero et al 2001)
Kadar fosfolipid (yang dapat diukur dengan kadar P) berdasarkan sidik
ragam (Lampiran 2 Tabel 11), menunjukkan hasil yang tidak berbeda terhadap
rata-rata nilai rejeksi Phospor. Rata-rata 60,43% - 81,16% phospor dapat direjeksi
oleh membran. Fenomena tidak berpengaruhnya parameter operasi ini lebih
banyak dipengaruhi oleh ukuran pori membran Ultrafiltrasi. Menurut Chiang dan
Cheryan (1986), nilai koefisien rejeksi ultrafiltrasi dikendalikan terutama oleh
ukuran pori dan distribusinya dan hanya sedikit dipengaruhi oleh parameter
operasi (tekanan transmembran, laju alir umpan dan suhu).

Respon Permukaan (RSM) Tekanan Operasi dan Konsentrasi pada


Membran Ultrafiltrasi

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa sumber


keragaman dari regresi pada persamaan regresi yang diperoleh berbeda nyata.
Berdasarkan uji t menunjukkan koefisien regresi yang berpengaruh adalah x1, x2
dan x3 pada taraf alpha 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa tekanan operasi
dan konsentrasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap harga fluks.
Koefisien x2 yang negatif (yaitu peubah tekanan) menandakan bahwa
pengaruh tekanan berbentuk parabolik, sehingga dapat ditentukan T (tekanan)
maksimumnya. Koefisien x4 yaitu variabel M (konsentrasi) juga parabolik,
sehingga dapat ditentukan konsentrasi maksimumnya. Secara keseluruhan
permukaan respon sudah berbentuk bidang lengkung (ditandai dengan x2, dan x4
yang negatif) seperti pada Gambar 12.
41

Gambar 12. Respon Permukaan dari peubah Tekanan (T) dan Konsentrasi (M)
terhadap fluks (Z).

Gambar 13. Analisa Kontur Respon Permukaan dari peubah Tekanan dan
Konsentrasi terhadap fluks .

Dari model diatas (Z= -9,26552 + 92,8529T – 5.9126T2 + 1,5047M –


0,0301M2 + 0,0143 MT) dengan nilai koefisien determinan (R2 = 0,955)
didapatkan nilai maksimum tekanan operasi adalah 8 bar pada konsentrasi 44 %
dengan nilai fluks 428 l/m2.jam .

Pencucian Membran
Berdasarkan hasil filtrasi CPO dengan proses membran ultrafiltrasi
diketahui bahwa fenomena polarisasi konsentrasi terjadi pada membran. Kejadian
42

tersebut menyebabkan kinerja membran menurun ditandai dengan penurunan


fluks. Pencucian dengan bahan kimia, dalam penelitian ini yaitu NaOH didasarkan
pada pertimbangan bahwa minyak sawit mengandung sejumlah asam lemak yang
dapat bereaksi dengan alkali melalui reaksi saponifikasi. Asam lemak (R-COOH)
tidak larut pada media asam tetapi larut pada pH alkali. Reaksi safonifikasi
(hidrolisis aster) berlangsung sebagai berikut :
C3H5(RCOO)3 + 3 NaOH Æ C3H5(OH)3 + 3 RCOONa
Sabun yang dihasilkan pada reaksi safonifikasi ini membentuk agregat
yang hidrofilik (COO- Na+) dapat menggerus asam lemak yang hidrofobik. Sabun
ini tidak larut pada kondisi asam. NaOH yang merupakan bahan alkali merupakan
bahan yang efektif sebagai bahan penyabun dan juga dapat menetralisasi minyak,
namun beberapa kelemahan NaOH adalah kemampuan sebagai penyangga yang
terbatas.
Untuk mengetahui fouling pada membran UF dilakukan pengukuran fluks
air sebelum (LPO) dan setelah filtrasi (LPL), untuk mendapatkan nilai
permeabilitas membran. Permeabilitas membran merupakan parameter
karakteristik membran yang sangat penting untuk diketahui. Permeabilitas
membran menunjukkan kemampuan membran dalam melewatkan air destilasi.
Nilai permeabilitas diperoleh dengan menghitung gradien (slope) grafik hubungan
antara tekanan transmembran dengan fluks. Permeabilitas membran ultrafiltrasi
dengan variasi tekanan dapat dilihat pada Gambar 14.

1200

1000
y = 93.914x + 112.95
Fluks (l/m2.jam)

800 R2 = 0.9984

600
y = 77.823x + 120.7
400 R2 = 0.9755
y = 74.405x + 81.387
200 R2 = 0.9912
0
0 2 4 6 8 10 12
Tekanan (bar)
Membran ssebelum penelitian Dicuci dengan NaOH 0,1N
Dicuci dengan NaOH 0,2N

Gambar 14. Kurva Perncucian Membran menggunakan larutan NaOH 0,1N dan
0,2 N pada Membran Ultrafiltrasi
43

Pada gambar diatas terlihat bahwa, nilai fluks meningkat secara linear
dengan semakin meningkatnya tekanan. Pola perilaku fluks permeat tersebut
sesuai dengan hukum Darcy yang menyatakan bahwa, fluks permeat pada proses
membran kenaikannya sebanding dengan tekanan transmembran yang digunakan
(fluks ≈ ∆PT).
Permeabilitas membran mengalami penurunan walaupun telah dilakukan
pencucian dengan NaOH yaitu dari 93,914 l/m2.jam.bar (sebelum penelitian)
menjadi 77,823 l/m2.jam.bar. Berdasarkan uji kesejajaran dua garis regresi
menggunakan uji-t (Lampiran 2) antara pemeabilitas membran sebelum proses
dan pencucian menggunakan NaOH konsentrasi 0,2 N menunjukkan kedua garis
(permeabilitas) tidak berbeda nyata. Demikian juga antara NaOH 0,1N dan
NaOH 0,2 N menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf alpha 1 % Hal ini
menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi masih dibutuhkan untuk menetralisasi
minyak, namun perlu diperhatikan dengan kerusakan membran pada konsentrasi
yang ekstrim. Membran dapat mengalami kerusakan baik pada proses fisik
maupun kimia, seperti tekanan dan temperatur yang tinggi serta pH yang ekstrim
(L.Lin,K.C et.al 1998).

Tabel 11. Pemulihan Kinerja Membran UF Dengan Pencucian Menggunakan


NaOH 0,1 N dan 0,2 N
Fluks
(l/m2.jam.bar) Pemulihan (%)*)
Tekanan 0,1 N 0,2 N
(bar) LPO LPL LPL 0,1 N 0,2 N
3 394 304 354 77,17 89,73
4 488 379 431 77,57 88,41
6 676 527 587 78,03 86,87
8 864 676 743 78,29 86,00
10 1052 825 898 78,46 85,44
* (LPL/LPO)x100
Berdasarkan tabel diatas, pemulihan kinerja membran berkisar antara
77,17 – 78,46 % untuk 0,1 N dan 85,44 – 89,73% untuk konsentrasi NaOH 0,2N.
44

Bilangan Asam
Asam lemak dinyatakan sebagai bilangan asam. Bilangan asam suatu
minyak didefinisikan sebagai jumlah miligram NaOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan FFA dalam 1 gram minyak (Guenther, 1952)
Asam-asam lemak bebas (FFA) yang terkandung di dalam minyak dapat
terbentuk dari proses degradasi ester oleh air. Dalam hal ini asam dapat berfungsi
sebagai katalisator yang mempercepat penguraian ester menjadi asam dan alkohol.
Selain itu asam dapat pula berasal dari hasil oksidasi alkohol primer menjadi
aldehid dan asam karboksilat. Terjadinya proses tersebut dapat dipicu dengan
kondisi penyimpanan yang buruk dan umur simpan yang tinggi (Guenther, 1952)
Adanya FFA dalam minyak akan mudah terhidrolisa menjadi ketonik-
ketonik yang menyebabkan ketengikan yang disebut hydrolitic rancidity yaitu
ketengikan yang terjadi akibat adanya proses hidrolisa. Semakin besar kandungan
FFA dalam minyak, semakin besar jumlah alkali yang dibutuhkan untuk
menetralisasi, berarti semakin besar bilangan asam dari minyak tersebut.
Tingginya nilai bilangan asam merupakan suatu indikasi terjadinya penurunan
mutu.
Adanya gum dalam minyak akan mempercepat terjadinya peristiwa
hidrolisis dan oksidasi pada minyak yang menyebabkan semakin tingginya kadar
asam lemak bebas dalam minyak tersebut. Kandungan air yang terdapat dalam
minyak akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisis dalam minyak yang
menyebabkan semakin tingginya nilai FFA. Pemanasan juga dapat menyebabkan
pengurangan jumlah asam lemak bebas karena asam lemak bebas yang
mempunyai berat molekul atau jumlah atom karbon pada rantainya kurang dari 14
dapat menguap (Winarno, 1997).
45

20
a

Bilangan Asam (%)


15 b
c
10

5 d
e
0
Kontrol Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 15. Histogram Bilangan Asam Proses Degumming dan Netralisasi,


balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan
uji BNJ 5%(BNJ= 0,532)

Dari Gambar 15, menunjukkan bahwa pada proses degumming


menggunakan H3PO4 terjadi peningkatan bilangan asam, hal ini disebabkan gum-
gum masih tertinggal dan juga pada prosesnya menggunakan metode wet
degumming yang melibatkan air yang menyebabkan proses hidrolisis dalam
minyak dan akan menyebabkan FFA meningkat. Sedangkan pada proses
ultrafiltrasi bilangan asam mengalami penurunan, namun FFA tidak dapat ditahan
seluruhnya oleh membran hal ini disebabkan ukuran dan berat molekul FFA jauh
lebih kecil dari ukuran pori membran UF.
Pada proses netralisasi dengan menggunakan NaOH, minyak hasil
membran UF menjadi lebih efektif dalam netralisasinya, hal ini ditunjukkan
dengan turunnya nilai bilangan asam dibandingkan dengan minyak hasil
degumming dengan metode wet degumming. Hal ini disebabkan dengan
membran UF, gum yang terdiri dari fosfatida lebih banyak terbuang dibandingkan
dengan menggunakan H3PO4.

Bilangan Peroksida (PV)


Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan kerusakan
pada produk minyak atau lemak. Menurut Roh dan Blaschke (1994), bilangan
peroksida merupakan ukuran kesegaran atau keadaan terjadinya autooksidasi
lemak/minyak. Penyebab proses autooksidasi pada minyak/lemak adalah adanya
46

prooksidan dalam minyak seperti kandungan asam lemak bebas yang tinggi dan
adanya air yang dapat menghidrolisis minyak menjadi asam lemak bebas.
Hasil sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan adanya perbedaaan yang
nyata pada bilangan peroksida dan berdasarkan uji BNJ 5% menunjukkan
perbedaaan yang nyata antara kontrol dan perlakuan (Lampiran 2). Bilangan
peroksida yang relatif kecil selama proses pengolahan kemungkinan disebabkan
proses yang dilakukan tidak memakan waktu yang lama sehingga pengikatan
oksigen oleh asam lemak tidak jenuh relatif sedikit. Asam lemak tidak jenuh dapat
mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida.
Bilangan peroksida yang merupakan indikator kerusakan pada produk minyak
selama proses relatif stabil. Peningkatan jumlah oksigen yang diikat oleh asam
lemak tidak jenuh pada minyak relatif kecil selama proses pengolahan.

0,7 a
Bilangan Peroksida

0,6
(mg O/100 g)

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1 c bc
c b
0
Kontrol Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 16 . Histogram Bilangan Peroksida Proses Degumming dan


Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda
nyata dengan uji BNJ 5% (BNJ= 0,002)

Djatmiko et.al (1974), menyatakan bahwa minyak cenderung untuk


bereaksi dengan oksigen secara autooksidasi, tidak saja tergantung pada
komposisi asam lemaknya, tetapi juga pada komponen-komponen yang
terkandung didalamnya, seperti adanya bahan yang bersifat antioksidan alami
seperti karotenoid dan tokoferol atau beberapa logam berat tertentu seperti
tembaga dan besi yang dapat juga bertindak sebagai prooksidan.
Dengan demikian, rendahnya nilai bilangan peroksida pada minyak sawit
dapat dihubungkan dengan terkandungnya sejumlah karotenoid dan tokoferol
47

yang dapat berperan juga sebagai antioksidan, sehingga proses oksidasi lemaknya
lebih dapat tercegah.

Bilangan Iod
Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 g
minyak atau lemak. Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan lemak
mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Semakin
kecil jumlah ikatan rangkap dalam minyak menyebabkan semakin rendahnya
bilangan iod dari minyak tersebut (Ketaren, 1986). Turunnya bilangan iod dapat
dijadikan pertanda bahwa sebagian lemak telah mengalami kerusakan terutama
disebabkan oleh proses oksidasi. Fosfolipid yang masih tertinggal dalam minyak
akan menjadi autokatalis pada proses oksidasi. Proses oksidasi ini menyerang
ikatan rangkap dari minyak sehingga menyebabkan jumlah ikatan rangkap minyak
semakin berkurang.
Proses oksidasi akan menyerang ikatan rangkap dari minyak sehingga
menyebabkan jumlah ikatan rangkap dalam minyak semakin berkurang. Semakin
kecil jumlah ikatan rangkap dalam minyak menyebabkan semakin rendahnya
bilangan iod dari minyak tesebut (Ketaren 1986). Rendahnya nilai bilangan iod
minyak dapat disebabkan karena terjadinya proses oksidasi selama penyimpanan.
Proses oksidasi menyerang ikatan tidak jenuh pada rantai asam lemak sehingga
membentuk peroksida dan akhirnya terurai menjadi produk-produk asam lemak
bebas rantai pendek yang jenuh. Sebaliknya jika semakin banyak asam lemak
ikatan rangkap yang menyusun suatu minyak maka nilai bilangan iod akan
meningkat.
48

60 b a a
b
50

Bilangan Iod
40
30 c
20
10
0
Kontrol Degumming Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 17 . Histogram Bilangan Iod (Wijs) Proses Degumming dan


Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda
nyata dengan uji BNJ 5% (BNJ= 1,287)

Dalam proses dengan filtrasi membran peningkatan bilangan iod


disebabkan karena tertahannya gum yang menyebabkan peningkatan konsentrasi
asam lemak ikatan rangkap yang menyusun suatu minyak menyebabkan
peningkatan bilangan iod, demikian juga pada proses wet degumming. Pada
proses netralisasi menghasilkan nilai bilangan iod yang tertinggi dibandingkan
pada proses degumming namun tidak berbeda nyata antara minyak hasil proses
wet degumming dan membrane ultrafiltrasi yaitu antara 55,26 - 55,27. Proses
netralisasi menyebabkan hilangnya asam lemak bebas dengan ikatan jenuh. Dari
analisa Gas Chromatografi didapatkan peningkatan konsentrasi asam lemak
Oleate (C18:1) dan asam lemak Linoleate (C18:2) yang merupakan asam lemak
tidak jenuh.

Fraksi Tak Tersabunkan (FTT)


Fraksi tak tersabunkan adalah senyawa-senyawa yang sering terdapat larut
didalam minyak dan tidak dapat disabunkan dengan soda alkali. Semua jenis
fraksi lipid termasuk fraksi dapat disabunkan (saponifiable fraction) kecuali
persenyawan sterol, hidrokarbon, protein, karbohidrat dan pigmen.
Deskriptif rata-rata hasil pengamatan nilai FTT dapat dilihat pada
Gambar 18. Tampak pada gambar bahwa dengan menggunakan membran UF
49

menghasilkan FTT yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode


konvensional.

a
0,5

Tersabunkan (%)
0,4

Fraksi Tidak
ab ab
0,3

0,2 b b

0,1

0
Kontrol Degumming Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 18 . Histogram Fraksi Tak Tersabunkan Proses Degumming dan


Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda
nyata dengan uji BNJ 5% (BNJ= 0,216)

Penurunan fraksi tidak tersabunkan disebabkan karena fraksi-fraksi tidak


tersabunkan yaitu protein dan karbohidrat sudah ikut terbuang bersama dengan
gum dalam proses filtrasi dan demikian juga pada proses konvensional melalui
proses pencucian selain itu komponen fraksi tak tersabunkan lain yaitu pigmen
(karoten), juga ikut terbuang walaupun dalam jumlah sedikit hal ini dapat dilihat
dari penurunan nilai kandungan beta karoten. Walaupun menunjukkan perbedaan
yang tidak nyata namun penurunan nilai Fraksi Tak Tersabunkan tersebut juga
diikuti pada proses netralisasi yang diduga terjadi pada saat pencucian yang dapat
dilihat dari penurunan nilai a pada pengukuran warna (Lampiran 2).

Bilangan Penyabunan
Nilai bilangan penyabunan minyak hasil pemurnian dengan filtrasi
membran berkisar antara 201-236,5. sedangakan secara konvensional berkisar
antara 194,5 – 227,5. Hasil sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa nilai
ini tidak menunjukkan berbeda nyata, namun nilai tersebut cenderung menurun.
50

250

Bilangan Penyabunan
200

150

100

50

0
Kontrol Degumming Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 19. Histogram Bilangan Penyabunan Proses Degumming dan


Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda
nyata dengan uji BNJ 5%

Penurunan nilai bilangan penyabunan pada minyak hasil filtrasi


disebabkan tertahannya asam lemak yang berukuran besar. Bilangan penyabunan
memiliki korelasi dengan bilangan asam dan kekentalan. Penurunan bilangan
penyabunan berkorelasi dengan penurunan nilai bilangan asam karena jumlah
asam lemak yang terdapat dalam minyak berkurang, juga diikuti penurunan
kekentalan, hal ini menunjukkan bahwa kedua proses tersebut yaitu degumming
dan netralisasi dapat mengurangi sejumlah senyawa produk sekunder oksidasi
seperti aldehid, keton dan asam-asam organik rantai pendek, selain itu proses
netralisasi telah menurunkan asam lemak bebas dengan berat molekul rendah
sehingga mengakibatkan bilangan penyabunan proses degumming dan netralisasi
lebih rendah dari minyak awal.

Kadar Air
Kadar air minyak hasil pemurnian dengan filtrasi membran berkisar antara
0,1 – 0,2% dan konvensional antara 0,02 – 0,08 % (Lampiran 2). Berdasarkan
hasil sidik ragam (lampiran tabel 6) menunjukkan bahwa hasil yang berbeda
antara perlakuan konvensional dengan filtrasi membran terhadap kadar air. Dari
uji lanjut BNJ (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kandungan air pada filtrasi
membran lebih tinggi dibandingkan dengan cara konvensional.
51

0,12 a
0,1 ab

Kadar air (%)


0,08
0,06
b b b
0,04
0,02
0
Kontrol Degumming Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 20. Histogram Kadar Air Proses Degumming dan Netralisasi. balok
dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan uji
BNJ 5% (BNJ = 0,059)

Hal ini dikarenakan dalam proses pemurnian membran menggunakan air


dalam proses pencucian membran, dimana sebagian air ada yang masih tertinggal,
baik pada membran ataupun pada pompa akibatnya kadar air menjadi lebih tinggi.

Kekentalan(Viscositas)
Berdasarkan Sidik ragam (Lampiran 2) perlakuan menggunakan membran
UF maupun konvensional tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun ada
kecenderungan penurunan nilai kekentalan pada proses degumming maupun
netralisasi.

50
Kekentalan (Cp)

40

30

20

10

0
Kontrol Degumming Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 21. Histogram Kekentalan Proses Degumming dan Netralisasi .


52

Penurunan viskositas ini diduga akibat berkurangnya gum dan lendir pada
proses degumming, selain itu diduga hasil pemurnian dengan membran telah
mengalami pengurangan asam lemak berantai panjang. Pada proses secara
konvensional penurunan kekentalan juga terjadi, hal ini disebabkan pengurangan
gum dan selain itu penurunan kekentalan berhubungan dengan penurunan
bilangan peroksida dan kejernihan. Dari analisa Gas Chromatografi peningkatan
jumlah asam lemak tidak jenuh yaitu asam lemak linoleat (C18:2) dan oleat
(C18:1) terjadi pada proses UF sehingga menyebabkan penurunan kekentalan.

Fosfolipid
Berdasarkan sidik ragam (Lampiran 2), proses menggunakan membran UF
dan konvensional menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan
phospor dalam CPO. Dari Uji lanjut BNJ (Lampiran 1), rata-rata nilai kandungan
phospor yang terendah didapatkan dengan proses membran UF.

a
0,07
0,06
Phospor (%)

0,05
0,04
0,03
0,02 b b
0,01 b b
0
Kontrol Degumming Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 22. Histogram Kadar Phospor Proses Degumming dan Netralisasi.


Balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan
uji BNJ 5% (BNJ = 0,0155)

Mulder (1996) mengemukakan bahwa rejeksi dapat tinggi pada proses


pemisahan dengan menggunakan campuran makromolekul dimana polarisasi
konsentrasi sangat berpengaruh terhadap selektifitas. Molekul dengan berat
molekul yang lebih tinggi akan tertahan seluruhnya dan menimbulkan lapisan
dinamis seperti membran yang dapat menahan partikel padatan dengan berat
molekul rendah. Fosfolipid termasuk salah satu senyawa yang jika terdispersi di
dalam air membentuk misel. Jika misel tersebut berada di dalam lingkungan
53

pelarut non polar termasuk Isopropanol cenderung membentuk reverse micelle


dengan rata-rata berat molekul 20 000 dalton (18 – 200 nm) (Patterson 1992;
Pagliero et.al 2001). Adanya perbedaan berat molekul dengan trigliserida (800
dalton) memungkinkan fosfatida sebagai retentat dalam proses degumming
dengan Ultrafiltrasi 10 000 dalton.

Beta Karoten
Pada percobaan menggunakan membran Ultrafiltrasi terjadi penurunan
konsentrasi beta karoten yaitu dari 93,23 ppm menjadi 78,80 ppm, tetapi
penurunannya lebih kecil dibandingkan dengan cara konvensional (68,8 ppm).
Penurunan ini juga terjadi pada proses netralisasi yaitu 75,65 ppm pada proses
membran ultrafiltrasi dan 62,50 ppm pada proses konvensional.

100
Beta Karoten (ppm)

80

60

40

20

0
Kontrol Degumming Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 23. Histogram Kadar Beta Karoten Proses Degumming dan Netralisasi

Hal ini dikarenakan membran ultrafiltrasi yang digunakan dapat dilewati


oleh betakaroten yang larut dalam pelarut isopropil alkohol. Namun ada juga yang
terjebak dalam fosfolipid sebagai retentat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Paliagro et.al. (2001), bahwa pigmen (beta karoten dalam minyak) dan sebagaian
kotoran terjebak dalam fosfolipid sebagai retentat. Sedangkan dengan cara
konvensional penurunan beta karoten karena ikut tercuci pada proses pencucian.
Penurunan ini juga terjadi seiring pada proses netralisasi Menurut Clydesdale dan
Frames (1976), dari sifat oksidasinya, karotenoid mempunyai sifat seperti asam
lemak tidak jenuh, sehingga kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap asam
lemak akan berpengaruh juga pada sebagian komponen karotenoid, ditambahkan
54

oleh Cain (1975) menyatakan bahwa perubahan komposisi karotenoid pada


sayuran dan buah-buahan dipengaruhi oleh waktu dan suhu pengolahan, jumlah
oksigen yang ada selama proses.
55

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Proses deguming menggunakan membran ultrafiltrasi dengan pelarut


isopropanol dapat menurunkan bilangan asam sekitar 10,61% masih lebih
rendah dibandingkan dengan metode wet degumming yaitu 15,95 %.
Kedua metode (wet degumming dan filtrasi membran ultrafiltrasi) dapat
meningkatkan kadar air dalam CPO yaitu dari 0,035 persen menjadi
0,1 persen pada proses membran ultrafiltrasi dan 0,08 persen proses wet
degumming.
2. Berdasarkan model optimasi RSM direkomendasikan menggunakan
tekanan operasi 8 bar dan konsentrasi 44 persen (v/v) pada suhu 30 - 400C.
Pada kondisi ini diperoleh nilai fluks 428 l/m2.jam.
3. Pada proses ultrafiltrasi pemberian parameter operasi yang digunakan
dalam percobaan (tekanan dan konsentrasi) terhadap rejeksi fosfolipid
tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan nilai rejeksi phosphor antara
60,43% - 81,61%. Namun dibandingkan dengan proses konvensional (wet
degumming), menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai kandungan
phosphor yang terendah didapatkan dengan proses membran ultrafiltrasi
yaitu 0,005 ppm sedangkan wet degumming 0,01 ppm dari 0,069 ppm
pada CPO.
4. Pencucian membran menggunakan NaOH 0,1 N dan 0,2 N menghasilkan
nilai permeabiltas yang tidak signifikan yaitu 78 l/m2.jam.bar untuk
pencucian dengan NaOH 0,2 N dan 74 l/m2.jam.bar untuk pencucian
dengan NaOH 0,1N pemulihan permeabilitas membran antara 60-80
persen.
5. Penurunan kandungan beta karoten lebih besar terjadi pada proses wet
degumming sebanyak 26,20 % dan pada proses filtrasi dengan membran
mengalami penurunan sebesar 14,56 %
56

Saran
1. Perlu kajian lebih lanjut mengenai faktor temperatur dalam proses
pemisahan dengan filtrasi membran (30-60 0C) dan faktor laju alir.
2. Penggunaan lebih lanjut minyak hasil proses membran ultrafiltrasi dan wet
degumming.
3. Perlu kajian lebih lanjut tentang pemisahan komponen-komponen bernilai
tinggi dan deasidifikasi menggunakan membran Nanofiltrasi.
4. Pencucian membran yang tidak sempurna dapat menyisakan air pada
modul membran. Untuk penelitian minyak menggunakan membran,
pengeringan modul membran setelah pencucian perlu diperhatikan karena
dapat meningkatkan kandunggan air dalam minyak.
57

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M., Tranggono dan Pitoyo., 1991. Kandungan Tokoferol Minyak Sawit
dan Cara Isolasinya. Prosiding Seminar Nilai tambah Minyak Kelapa
Sawit untuk Peningkatan Derajat Kesehatan. Jakarta.

Andreas., 2004. Kajian Proses Pemurnian Minyak Goreng Bekas dengan Metode
Filtrasi Membran berukuran pori 0,05 µm. Skripsi, Jurusan Teknologi
Industri Pertanian, IPB, Bogor.

Berger. 1989. Palm Oil Products. Why and How to Make Them. J. food
Technology, 40 (9) : 72

BK.De, R. Das., B.K. Dutta., dan D.K. Bhattacharyya. 1998. Membrane


Degumming and Dewaxing of Rice Bran Oil and its Refining.
University Calcuta. India.

BPS. 2001. Statistik Perkebunan Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Brekke, O.L. 1976. Handbook of Soy Oil Processing and Utilization. AOCS
Champaign, Illinois.

Brocks, T.D. 1983. Membran Filtration : A user’s Guide and Reverence Manual.
Science Tech. Inc. Madison.

Budiman, S., 1987. Aneka Ragam Penggunaan Minyak Sawit dan Prospeknya.
Sasaran, No. 1, Thn 1.

C. Pagliero., N. Ochoa., J. Marchese dan M. Mattea. 2001. degumming of


soybean Oil by Uiltrafiltration Using Polymeric Membranes. AOCS
Press.

Cheryan M. 1998. Ultrafiltrasi and Microfiltrasi Handbook. Technomic.


Publishing. New Holland Avenue.

Djatmiko, B dan P. Widjaja.1984. teknologi Minyak dan Lemak, I. Agroindustri


Press, Fateta, IPB

Erdman, J., 1989. The Physiology Chemistry of Carotenes in Man. In : Beta


Carotene in Human Health. Vitamin and Fine Chemicals. Devision
Human Nutrition and Healt. Roche Pharma Industry Univ., 101 – 106 .

Goh S.H., Y.M. Choo dan A.S.H. Ong. 1987. Minor Component in Palm Oil.
Proc. of OP/PO Conf. Tecxhnology, Kuala Lumpur.

Goh, S.H., 1985. Minor Components in Palm Oil. JAOCS. Vol. 62, No. 2, 237 –
240

Goodwin, T.W., 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. II, Second
Edition. Academic Press. London, New York, San Francisco
58

Gutman, R.G. 1987. Membrane Filtration, The Rheological of Pressure Driven


Crossflow Process. IOP Publishing Ltd. England.

Hamilton, R.J., dan A. Bhatti, 1984. Fats and Oil. Chemistry and Technology.
Apl.Sci.Publ. Ltd. London.

Hartley, C. W.S., 1970. Some Environmental Factors Affecting Flowering and


Fruiting in The Oil Palm Physiology of Tree Crops. 269 - 286

Henry, J.D. 1998. Crossflow Filtration. Dalam Recent Development in


Separation Science. CRC Press. Cleveland Ohio.

Hilditch, T. P dan P.N William. 1964. The Chemical Constitution of Natural Fats.
Chapman and Hall. London.

Ika, A, K., Pontalier, P.Y., dan Rigal, L. 2002. Membrane Processing for
Sunflower Oils Purification

IOPRI. 2003. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Jacobs, MB. 1958. Chemical Analysis at Food and Food Product. D Van Nostrand
Co.Inc, New York.

Ketaren, S., 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia (UI-Press).
Jakarta.

Klurfield, D., 1989. Palm and Other Edible Oils : Atherosclerosis: Study in
Rabbit. PORIM Int. Palm Oil Development Conf. Kuala Lumpur

Lin, K.C. Rhee and Koseoglu. 1998. Recent Progress in Membrane Degumming
of Crude Vegetable Oils on a Pilot-Plant Scale. AOCS Press. Illinois.

Loebis,B. 1988. Produksi Sawit Sebagai Bahan Industri. Buletin Perkebunan 19


(1). Medan.

Loebis. B. 1998. Produksi Sawit Sebagai Bahan Industri. Buletin Perkebunan 18


(1). Medan.

Mellevialle, J. Odendaal, P.E dan Wischer, M.R. 1996. Water Treatment


Membran Processes. Mc Graw Hill. New York.

Muchtadi, T.R. 1992. Karakterisasi Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit


(Elaeis guineensis, Jacq.) dalam rangka Optimalisasi Proses Ekstrasi
Minyak dan Pemanfaatan Provitamin A. Disertasi doktoral Program Pasca
Sarjana-IPB. Bogor.

Muhilal. 1991. Minyak Sawit Suatu Produk Nabati Untuk Penanggulangan


Acherosclerosis dan Penundaan Proses Penuaan. Prosiding Seminar
59

Nilai tambah Kelapa Sawit Untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan.


Jakarta.

Naibaho, P.M dan B. Taniputra. 1986. Penanganan Pasca Panen Tandan sebagai
Bahan Olahan Pabrik Kelapa Sawit. Buletin Perkebunan Vol. 17, No. 2, Juni
1986. Medan.

Naibaho, P.M. 1983. Pemisahan Karoten (Provitamin A) Minyak Sawit dengan


Metoda Adsorbsi, Disertasi, FPS, IPB. Bogor

Patterson, H.B.W. 1992. Bleaching and Purifying Fats and Oils. American Oil
Chemist’ Society, USA.

Peterson, H..B.W dan Johnson A.H. 1987. Lecithin. Di dalam Encyclopedia of


Food Science. The AVI Publishing Company, Inc. Connecticut.

Rousell, J.B., B. King dan M.J. Downes. 1985. Composition of Oil. JAOCS, Vol.
62, No. 2, p 221 – 229

S.Koike, R.Subramanian, H. Nabetani and M.Nakajima. 2002. Separation of Oil


Constituents in Organic Solvents Using Polymeric Membranes. JAOCS,
Vol. 79, No. 9

Seger, J.C dan R.L.K.M. van Sande. 1989. Degumming : Theory and Practise.
AOCS, Champaign, Illinois.

Selfiawati, E. 2003. Kajian Proses Degumming dan Netralisasi pada Minyak


Goreng Bekas. Skripsi, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB.
Bogor.

Tan., B. 1987. Novel Aspects of Palm Oil Carotenoid Analytical Biochemistry.


Proc. Of International Palm Oil Conf., PORIM, Kuala Lumpur.

Torrey, S. 1983. Edible Oils and Fats. Noyes Data Corporation, New Jersey.

Wenten, I.G., 1999. Teknologi Membran Industrial. Teknik Kimia, Institut


Teknologi, Bandung

Winarno, F.G., 1986. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rekapitulasi rata-rata Parameter Pengamatan

Tabel 1. Rata-rata hasil fisiko kimia minyak


Wet Netralisasi hasil Degumming Netralisasi
Parameter pengamatan CPO degumming wet degumming membran membran
Bilangan Asam (%) 12,85 15,95 2,40 10,61 0,47
Viscositas (Cp, 25 0C) 40,21 38,69 34,44 34,95 31,39
Phospor (%) 0,07 0,01 0,01 0,00 0,00
Kadar Air (%) 0,04 0,08 0,03 0,10 0,03
Bilangan Iod (Wijs) 25,55 51,92 55,29 51,62 55,30
Bilangan Peroksida (mg O/100 g) 0,63 0,001 0,001 0,001 0,001
Kecerahan
L 22,86 19,78 32,55 30,00 32,30
a 18,85 17,16 26,15 9,99 23,68
b 34,58 17,00 87,04 77,32 55,65
Bilangan Penyabunan 225,00 196,00 194,50 201,50 200,00
Beta karoten (ppm) 93,25 68,80 62,50 78,80 75,65
Sisa Pelarut (%) 0,12 0,14
Fraksi Tak Tersabunkan (%) 0,50 0,31 0,14 0,29 0,14
Tabel 2. Fluks dan Laju alir proses membran ultrafiltrasi

Tekanan Fluks Laju alir


Minyak : IPA (bar) l/m2.jam m/dtk
75% 2 208 0,5
75% 3 240 0,5
75% 6 318 0,5
75% 9 370 0,4
75% 10 371 0,4
50% 2 250 0,4
50% 3 260 0,4
50% 6 419 0,4
50% 9 412 0,3
50% 10 414 0,3
25% 2 271 0,5
25% 3 296 0,5
25% 6 423 0,4
25% 9 422 0,3
25% 10 410 0,2
63

Lampiran 2. Sidik ragam dan uji lanjut BNJ

Tabel 1. Sidik Ragam Konsentrasi dan Tekanan Operasi terhadap Fluks


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
Konsentrasi 2 22088,27 11044,14 1274,45 6,36 3,68
Tekanan 4 145244,18 36311,04 4190,15 4,89 3,06
Interaksi 8 4768,17 596,02 68,78 4,00 2,64
Galat 15 129,99 8,67
Total 29 172230,61

Tabel 1a. Uji lanjut Rata-rata Pengaruh Konsentrasi dan Tekanan Operasi terhadap
Fluks
T1 T2 T3 T4 T5 Rata-rata*)
M1 208,02 h 240,07 g 317,78 c 370,09 b 371,42 b 301,48 c
M2 250,20 fg 261,17 ef 418,93 a 411,81 a 414,14 a 351,25 b
M3 271,46 e 296,23 d 423,17 a 421,94 a 409,75 a 364,51 a
Rata-rata *) 243,23 e 265,82 c 386,63 b 401,28 a 398,44 a
*) Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ Alpha
5% (BNJ(T)=5,25, BNJ(M)=3,42, BNJ(TM)= 14,07 )

Tabel 2. Sidik Ragam Bilangan Asam


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
A 4 361,3977 90,3494 5132,75 11,392 5,192
Galat 5 0,0880 0,0176
Total 9 361,4857

Tabel 2a. Uji Lanjut Rata-rata Bilangan Asam dengan Uji BNJ 5%
Perlakuan rata-rata*)
CPO 12,85 b
Degumming Konvensional 15,95 a
Netralisasi degumming Konvensional 2,39 d
Degumming membran 10,61 c
Netralisasi degumming membran 0,47 e
*) Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada Uji BNJ Alpha 5%, (BNJ(A)= 0,53 )

Tabel 3 Sidik Ragam Bilangan Penyabunan


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
A 4 1231,406 307,8516 1,473 11,392 5,192
Galat 5 1045 209
Total 9 2276,406 40,1651
64

Tabel 4. Sidik Ragam Bilangan Peroksida


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
A 4 0,6223 0,1555 932233,4 11,392 5,192
Galat 5 8,34E-07 1,67E-07
Total 9 0,6223

Tabel 4a. Uji Lanjut Rata-rata Bilangan Peroksida dengan Uji BNJ 5%
Perlakuan rata-rata*)
CPO 0,6250 a
Degumming Konvensional 0,0010 c
Netralisasi degumming Konvensional 0,0005 c
Degumming membran 0,0027 b
Netralisasi degumming membran 0,0012 bc
*) Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada Uji BNJ Alpha 5% (BNJ(A)= 0,002 )

Tabel 5. Sidik Ragam Bilangan Iod (Wijs)


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
A 4 1277,564 319,3911 3097,126 11,392 5,192
Galat 5 0,5156 0,1031
Total 9 1278,08

Tabel 5a. Uji Lanjut Rata-rata Bilangan Iod dengan Uji BNJ 5%.
Perlakuan rata-rata*)
CPO 25,55 c
Degumming Konvensional 51,915 b
Netralisasi degumming Konvensional 55,29 a
Degumming membran 51,6215 b
Netralisasi degumming membran 55,295 a
*) Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada Uji BNJ Alpha 5%, (BNJ(A)= 1,287)

Tabel 6. Sidik Ragam Kadar Air


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
A 4 0,009 0,0023 10,844 11,392 5,192
Galat 5 0,001 0,0002
Total 9 0,0105
65

Tabel 6a. Uji Lanjut Rata-rata Kadar Air dengan Uji BNJ 5%.
Perlakuan rata-rata*)
CPO 0,035 bc
Degumming Konvensional 0,080 ab
Netralisasi degumming Konvensional 0,028 bc
Degumming membran 0,101 a
Netralisasi degumming membran 0,026 bc
*) Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada Uji BNJ Alpha 5%, (BNJ(A)= 0,06 )

Tabel 7. Sidik Ragam Viscositas (Kekentalan)


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
A 4 99,4297 24,8574 2,0695 11,392 5,192
Galat 5 60,0557 12,0111
Total 9 159,4854

Tabel 8. Sidik Ragam Warna (Kecerahan)


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
A 4 2717984 679496 4,870576 11,392 5,192
Galat 5 697552 139510,4
Total 9 3415536

Tabel 9. Sidik Ragam Phospor


SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%
A 4 0,0062 0,0016 103,7801 11,392 5,192
Galat 5 7,5E-05 1,5E-05
Total 9 0,0063

Tabel 9a. Uji Lanjut Rata-rata Phospor dengan Uji BNJ 5%.
Perlakuan rata-rata*)
CPO 0,069 a
Degumming Konvensional 0,013 b
Netralisasi degumming Konvensional 0,011 b
Degumming membran 0,004 b
Netralisasi degumming membran 0,002 b
*) Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada Uji BNJ Alpha 5%, (BNJ(A)= 0.0155 )

Tabel 10. Sidik Ragam Fraksi Tidak Tersabunkan


66

SK db JK KT F-Hit F-1% F-5%


A 4 0,1728 0,0432 14,8288 11,392 5,192
Galat 5 0,0145 0,0029
Total 9 0,1874

Tabel 10a. Uji Lanjut Rata-rata Fraksi Tidak Tersabunkan dengan Uji BNJ 5%.
Perlakuan rata-rata*)
CPO 0,4985 a
Degumming Konvensional 0,3050 ab
Netralisasi degumming Konvensional 0,1445 bc
Degumming membran 0,2925 ab
Netralisasi degumming membran 0,1400 bc
*) Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada Uji BNJ Alpha 5%, (BNJ(A)= 0.216 )

Tabel 11. Sidik Ragam Rejeksi Phospor

SK JK db KT F-hit F 5%
T 0,0012 4 0,0003 0,6781 3,0556
M 0,0011 2 0,0006 1,2848 3,6823
TM 0,0030 8 0,0004 0,8659 2,6408
GALAT 0,0066 15 0,0004

Total 0,0120 29

Tabel 12. Sidik Ragam Regresi Membran Sebelum Proses


Regression Statistics
Multiple R 0,9992
R Square 0,9984
Adjusted R Square 0,9983
Standard Error 10,3825
Observations 15

Sidik Ragam
db JK KT F-hit Significance F
Regression 1 867877,0158 867877,0158 8051,0898 1,5309E-19
Galat 13 1401,3508 107,7962
Total 14 869278,3666

Coefficients Standard Error t Stat P-value


Intercept 112,9511 7,0212 16,0872 5,8057E-10
X Variable 1 93,9142 1,0467 89,7279 1,5309E-19
67

Tabel 13. Sidik Ragam Regresi Pencucian Membran Menggunakan NaOH 0,1N

Regression Statistics
Multiple R 0,9956
R Square 0,9912
Adjusted R Square 0,9905
Standard Error 19.3263
Observations 15

ANOVA
db JK KT F-hit Significance F
Regression 1 544749,742 544749,742 1458,48316 9.739E-15
Residual 13 4855,556 373,504
Total 14 549605,298

Coefficients Standard Error t Stat P-value


Intercept 81,3868 13,0694 6,2273 3,0816E-05
X Variable 1 74,4048 1,9483 38,1901 9,739E-15

Tabel 14. Sidik Ragam Regresi Pencucian Membran Menggunakan NaOH 0,2N

Regression Statistics
Multiple R 0,9877
R Square 0,9754
Adjusted R Square 0,9736
Standard Error 33,9429
Observations 15

ANOVA
db JK KT F-hit Significance F
Regression 1 595946,9797 595946,9797 517,2580 7,4602E-12
Galat 13 14977,65097 1152,1269
Total 14 610924,6307

Coefficients Standard Error t Stat P-value


Intercept 120,7032 22,9540 5,2585 0,0002
68

X Variable 1 77,8227 3,4218 22,7433 7,4603E-12


69

Lampiran 3. Uji kesejajaran dua garis regresi proses pencucian dengan uji-t

Uji Kesejajaran Dua Garis Regresi (pencucian dengan NaOH 0,1N dan Pencucian dengan
NaOH 0,2N) dengan Uji-t.

Hipotesis :
H 0 : β1 = β 2
H 1 : β1 ≠ β 2

b1 − b2 74,41 − 77,82
t hit = = = 0,32
⎛ 1 1 ⎞ ⎛ 1 1 ⎞
S 2 gab ⎜⎜ + ⎟⎟ 5431,62⎜ + ⎟
⎝ A
SS SS B ⎠ ⎝ 98,4 98,4 ⎠

t0,05(13) = 2,16
thit ≤ t0.01 Æ terima H0

Uji Kesejajaran Dua Garis Regresi (pencucian dengan NaOH 0,2N dan sebelum proses)
dengan Uji-t.

Hipotesis :
H 0 : β1 = β 2
H 1 : β1 ≠ β 2

b1 − b2 77,82 − 93,91
t hit = = = 2,538
⎛ 1 1 ⎞ ⎛ 1 1 ⎞
S gab ⎜⎜
2
+ ⎟⎟ 1977,41⎜ + ⎟
⎝ SS A SS B ⎠ ⎝ 98,4 98,4 ⎠

t0.01(13) = 3,01

Thit < t0.01 Æ terima H0


70

Lampiran 4. Perhitungan model RSM

T T2 M M2 TM
Perlakuan Y x1 x2 X3 x4 x5
M1T2 240.0718 -1 1 1 1 -1
M1T3 317.8114 0 0 1 1 0
M1T4 370.0868 1 1 1 1 1
M2T2 260.4095 -1 1 0 0 0
M2T3 418.9335 0 0 0 0 0
M2T4 411.809 1 1 0 0 0
M3T2 296.2278 -1 1 -1 1 1
M3T3 423.1692 0 0 -1 1 0
M3T4 421.943 1 1 -1 1 -1

Regression Statistics
Multiple R 0,9775
R Square 0,9554
Adjusted R
Square 0,8811
Standard Error 25,4324
Observations 9

Sidik Ragam
db JK KT F-hit Significance F
Regression 5 41590,840 8318,168 12,860 0,0307
Galat 3 1940,425 646,808
Total 8 43531,260

Standard
Coefficients Error t Stat P-value
Intercept 399,1929 18,9562 21,0587 0,0002
x1 67,8550 10,3827 6,5353 0,0073
x2 -53,2134 17,9834 -2,9590 0,0596
x3 -35,5617 10,3827 -3,4250 0,0417
x4 -18,8323 17,9834 -1,0472 0,3720
x5 1,0749 12,7162 0,0845 0,9380
71

Lampiran 5. Rata-rata nilai warna minyak, Sisa pelarut dan komposisi asam
lemak

Tabel 15. Rata-rata nilai warna Minyak

L a b
CPO 22,860 18,850 34,580
Wet degummng (konvensional) 19,775 17,160 16,995
Netralisasi (hasil wet degumming) 32,545 26,150 87,040
Degumming membran 30,000 9,985 77,320
Netralisasi membran 32,295 23,680 55,645

Tabel 16. Rata-rata Sisa Pelarut pada Minyak Sawit Merah (%)

Sisa Pelarut
Proses (%)
Degumming membran 0,115
Netralisasi membran 0,135

Tabel 17. Komposisi asam lemak

Wet
Degumming degummng
Asam Lemak CPO membran (konvensional)
Konsentrasi (%)
Methyl Laurat 0,093 0,100 0,134
Methyl Myristate 0,784 0,808 0,981
Pentadecanoate 0,032 0,000 0,000
Methyl Palmitate 32,216 31,472 33,752
Methyl Palmitoleate 0,138 0,151 0,142
Methyl Stearate 3,343 3,246 3,081
Methyl Oleate 30,103 31,211 30,339
Methyl Linoleate 7,612 7,901 7,697
Methyl Linolenate 0,185 0,190 0,184
Methyl Arachidate 0,246 0,228 0,191
Methyl Behenate 0,042 0,036 0,000
72

Lampiran 6. Analisis Uji

1. Bilangan Asam (SNI 01-3555-1998)

Prinsip :
Bilangan asam adalah ukuran dari jumlah asam lemak bebas, serta dihitung
berdasarkan berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan
asam dinyatakan sebagai jumlam miligram NaOH 0,1N yang digunakan untuk
menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak.
Prosedur :
Minyak dihitung sebanyak 2 – 5 gram ke dalam erlenmayer 250 ml ditambahkan
50 ml etanol 95% netral. Larutan ini kemudian ditambahkan 3-5 tetes indikator PP
dan titrasi dengan larutan standar NaOH 0,1 N hingga terbentuk warna merah muda
tetap (tidak berubah selama 15 detik)
Perhitungan
Bilangan asam = (V x T x 56,1) / M

Keterangan :

V : Volume NaOH yang diperlukan dalam titrasi,dinyatakan dalamml


T : Normalitas NaOH yang digunakan
M : Bobot contoh, dinyatakan dalam gram

2. Bilangan Penyabunan (SNI 01-3555-1998)

Minyak disusun oleh asam lemak berantai pendek berarti mempunyai bobot
molekul relatif kecil dan akan mempunyai bilangan penyabunan yang besar.
Sebaliknya minyak dengan BM besar mempunyai bilangan penyabunan relatif
kecil.

Prinsip:

Asam lemak terikat (dalam trigliserida) dan asam lemak bebas (FFA) bereaksi
dengan basa (NaOH/KOH) membentuk garam, gliserol dan air.
Prosedur :
73

Contoh minyak ditimbang sebanyak 2 gram dengan ketelitian 0,0001 gram dan
dimasukkan ke dalam erlenmayer 250 ml. Sebanyak 25 ml KOH beralkohol 0,5 N
ditambahkan kedalam erlenmayer dengan menggunakan pipet. Erlenmeyer
dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan diatas penangas air atau
penangas listrik selama satu jam dengan menggunakan batu didih. Larutan tersebut
kemudian ditambahkan 0,5 – 1 ml indikator PP dan dititrasi dengan menggunakan
HCL 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Dengan cara
yang sama dilakukan penetapan blanko.
Perhitungan :

Bilangan penyabunan =56,1 x T x (V0 – V1) / M

Keterangan :

V0 : Volume HCL 0,5 N yang diperlukan pada titrasi blanko, dinyatakan


dalam ml
V1 : Volume HCL 0,5 N yang diperlukan pada titrasi contoh, dinyatakan
dalam ml
T : Normalitas HCL 0,5 N
M : Bobot contoh, dinyatakan dalam gram

3. Bilangan peroksida (SNI 01-3555-1998)

Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga
membentuk peroksida. Jumlah peroksida yang terdapat didalam minyak ini
ditentukan dengan metode iodometri.
Prinsip :

Bilangan peroksida ditentukan berdasarkan pengukuran sejumlah iod yang


dibebaskan dari KI melalui reaksi oksidasi oleh peroksida pada suhu ruang di dalam
medium asam asetat khloroform

Prosedur :

Sampel minyak ditmbang sebanyak 0,3 – 5 gram ke dalam erlenmayer 300 ml,
kemudian ditambahkan 10 ml khloroform dan larutan contoh dengan cara
menggoyangkan erlenmayer dengan kuat, Larutan ditambahkan 15 ml asam asetat
74

glasial dan 1 ml larutan Kalium Iodida jenuh. Erlenmayer segera ditutup dan
dikocok kira-kira 5 menit di tempat gelap pada suhu 15 – 25 0C . Larutan
ditambahkan 75 ml air suling dan dikocok dengan kuat, kemudian dititrasi dengan
larutan standar Natrium tiosulfat 0,02 N dengan larutan kanji sebagai indikator.
Dengan cara yang sama dilakukan penetapan blanko.
Perhitungan :

Bilangan peroksida dapat dinyatakan dalam :

Miligram oksigen aktif per 100 g = (V1 – V0) x T x 8 x 100/m

Keterangan :

V0 : Volume larutan natrium tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi blanko


dinyatakan dalam ml
V1 : Volume natrium tiosulfat yang diperlukan pada titrasi contoh, dinyatakan
dalam ml
T: Normalitas larutan standar natrium tiosulfat yang digunakan
M: Bobot contoh, dinyatakan dalam gram

4. Bilangan Iod (SNI 01-3555-1998)

Prinsip :

Penambahan larutan iodium monokhlorida dalam campuran asam asetat dan karbon
tetraklorida ke dalam contoh. Setelah melewati waktu tertentu dilakukan penetapan
halogen yang dibebaskan dengan penambahan kalium iodida (KI). Banyaknya Iod
yang dibebaskan dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat dan indikator
kanji

Prosedur :

Sampel minyak sebanyak 25 gram ditimbang ke dalam erlenmayer 300 ml yang


bertutup. Sampel tersebut kemudian dilarutkan dalam 10 ml khloroform dan
ditambahkan 25 ml larutan wijs dengan menggunakan pipet ukur volumetrik.
Campuran ini dibiarkan bereaksi selama 2 jam di tempat gelap sambil dikocok
beberapa kali. Sampel tersebut kemudian ditambahkan 10 ml larutan KI 20% dan
75

100 ml air suling. Sampel tersebut kemudian dikocok dalam erlenmayer tertutup,
lalu dititrasi dengan menggunakan larutan natrium tiofosfat 0,1 N dan larutan kanji
sebagai indikator. Dengan cara yang sama dilakukan penetapan blanko.
Perhitungan :

Bilangan Iod = ((12,69 x T x (V3 - V4))/ M

5. Kadar air (Metode Oven, SNI 01-3555-1998)

Prinsip :

Penguapan air dengan menggunakan energi panas. Kadar air dihitung berdasarkan
kehilangan bobot pada pemanasan suhu 1050C

Prosedur :

Wadah dipanaskan di dalam oven pada suhu 1050C selama 1 jam, kemudian
didinginkan di dalam desikator selama setengah jam dan ditimbang bobotnya.
Minyak ditimbang sebanyak 5 gram pada wadah yang telah diketahui bobot
kosongnya, kemudian di dalam desikator selama setengah jam. Wadah yang berisi
sampel ditimbang dan dipanaskan kembali sampai diperoleh bobot tetap.
Perhitungan :

Kadar air = ((M1 - M2)/ M1) x 100%

Keterangan :

M1 : bobot sampel, dinyatakan dalam gram


M2 : bobot sampel setelah pengeringan, dinyatakan dalam gram

6. Kekentalan/Viskositas 250C (Brookfield Viscosimeter)

Nilai kekentalan minyak akan meningkat dan dapat diukur dengan menggunakan
alat Brookfield Viscosimeter
76

Prinsip :

Kekentalan suatu bahan berbanding terbalik dengan kecepatan perputaran (rotasi)

spindel dan ukuran spindel.

Prosedur :

Sampel yang akan diuji didinginkan sampai mencapai suhu 250C. sampel minyak
yang akan diukur viskositasnya ditempatkan dalam wadah dengan diameter dalam
3,25 inchi atau gelas piala 600 ml. Spindel kemudian dicelupkan ke dalam larutan
hingga batas yang telah ditentukan dan alat dihidupkan selama 3 menit dengan rpm
tertentu. Viskositas dari sampel dapat dibaca dari angka yang ditunjukkan oleh
jarum skala pada alat. Pembacaan pada alat diusahakan berkisar 10 – 100 dengan
cara mengatur spindel dan kecepatan yang digunakan pada alat. Nilai kekentalan
diperoleh dari perkalian antara nilai pembacaan pada alat dengan bilangan tertentu
(faktor) tergantung dari nomor spindel dan rpm yang digunakan.

7. Ion logam (Atomic Absorbtion Spectrophotometer)

Prinsip :

Nilai absorbsi pada suatu medium cair dipengaruhi oleh besarnya cahaya yang
diserap atau diteruskan oleh zat. Semakin banyak energi yang diserap, maka
konsentrasi logam dalam suatu medium lebih besar.

Prosedur :

Sampel ditimbang sebanyak 1 gram di dalam cawan porselin. Cawan dipanaskan


diatas penangas listrik (200 0C) dan diabukan di dalam tanur (550 0C). Hasil
pengabuan didinginkan dan dilarutkan ke dalam labu ukur 100 ml dengan HCl 4 N.
Pengukuran dihitung dengan menggunakan Atomic Absorpsion Spectrophotometer.

8. Kadar β-karoten (AOAC, 1999)


77

Sebanyak 25 mg minyak ditimbang dan ditambahkan 3 ml larutan BHA 1% dalam


metanol dan 2 ml KOH 17% dalam metanol. Campuran tersebut dikocok dan
disaponifikasi dalam penangas air pada suhu 800C selama 30 menit dan selanjutnya
didinginkan dengan air mengalir selama 1-2 menit. Setelah itu ke dalam campuran
ditambahkan 3 ml heksan dilanjutkan dengan pengocokan dan ditambahkan 3 ml air
dan dilakukan pengocokan kembali. Campuran selanjutnya disentrifuse selama 10
menit dan lapisan atas yang terbentuk diambil sebanyak 2,6 ml dan sisanya lapisan
bawah ditambah 2 ml hexan kemudian disentrifuse kembali dan lapisan atas yang
terbentuk diambil dan digabungkan dengan lapisan atas yang pertama.
Campuran fase organik tersebut dicuci dengan asam asetat 5%, kemudian diambil
lapisan atasnya dan dikeringkan dengan gas N2 dan ditambahkan 200µl fase mobil
metanol : asetonitril : diklorometan (500 : 500:128) kemudian dikocok. Selanjutnya
sampel tersebut diambil sebanyak 50 µl untuk diinjeksikan ke alat HPLC.
Perhitungan :

area sampel x konsentrasi standar


Konsentrasi sampel =
area standar

9. Warna (Metode Hunter Hutching, 1999)

Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat Minolta Chromameter CR-310.


Sejumlah tertentu bubuk pewarna diukur nilai L,a,b dan 0Hue. Selain itu juga
dilakukan pengukuran nilai L,a,b dan 0Hue terhadap 0.5% persen bubuk pewarna
yang dilarutkan dalam aquades dengan pH 7.
Notasi L menyatakan parameter kecerahan (light) yang mempunyai nilai 0 (hitam)
sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna
kromatik campuran merah hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai 100 untuk
warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b
menyatakan warna kromatik campuran biru dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70
untuk warna kuning. Daerah warna suatu bahan dapat diketahui berdasarkan kisaran
Munsell dibawah ini :
78

10. Fraksi tak tersabunkan (AOAC, 1995)

Prosedur:

Contoh diaduk dan ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam


erlenmayer atau botol soxhlet. Selanjutnya ditambahkan 30 ml alkohol 95 persen
dan 5 ml larutan KOH 50%, kemudian dididihkan di bawah pendingin tegak selama
1 jam sampai semua lemak tersabunkan secara sempurna. Sabun yang terbentuk
dipindahkan ke dalam labu ekstraksi, kemudian dibilas sampai batas 40 ml,
kemudian dibilas dengan air panas sampai volume seluruhnya 80 ml. Botol
penyabunan dicuci dengan sedikit petroleum eter dan dikembalikan ke dalam labu
ekstraksi. Labu dengan isinya didinginkan sampai suhu 20 – 250C, kemudian
ditambahkan dengan 50 ml petroleum eter. Labu ditutup, kemudian dikocok selama
1 menit, sambil mengeluarkan gas yang terbentuk dua lapisan cairan. Lapisan
petroleum eter dialirkan dan ditampung dalam corong pemisah 500 ml. Ekstraksi
diulang dengan 50 ml petroleum eter sedikitnya sampai 6 kali sambil dikocok pada
tiap kali ekstraksi.
Gabungan ekstraksi dicuci dalam corong pemisah masing-masing dengan 25 ml
alkohol 10% sambil dikocok. Setelah pencucian lapisan alkohol ini dibuang dengan
hati-hati sehingga lapisan petroleum eter tidak ada yang ikut terbuang. Ekstrak eter
dipindahkan ke dalam gelas piala, dan diuapkan sampai kertas kering di atas
penangas air. Pengeringan disempurnakan sampai mencapai bobot konstan dan
sebaiknya dilakukan dalam oven hampa udara pada suhu 75 – 800C. Selanjutnya
didinginkan, residu ini dilarutkan dalam 50 ml alkohol 95 % hangat (500C)
79

kemudian dititrasi dengan NaOH 0,02N dengan indikator phenopthalein sampai


tepat terbentuk warna merah jambu.
Perhitungan

(BR - BA)
Fraksi Tidak Tersabunkan = x 100%
B

Keterangan :

BR : Bobot residu (gram)


BA : Bobot asam lemak (gram)
B : Bobot contoh (gram)
0,056 = BM NaOH/1000

11. Phosfor (AOAC, 1999)

Persiapan pereaksi

Sebanyak 20 gram amonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml aquades hangat


(500C) dan didinginkan. Sebanyak 1 gram amonium vanadat (amonium meta
vanadat) dilarutkan dalam 300 ml aquades mendidih kemudian didinginkan.
Selanjutnya perlahan-lahan ke dalam larutan amonium vanadat ditambahkan 140 ml
asam nitrat pekat sambil diaduk. Larutan molibdat dimasukkan ke dalam larutan
vanadat dan diaduk, kemudian diencerkan sampai volume 1 liter dengan aquades.
Pembuatan larutan fosfat standar dan kurva standar

Sebanyak 3,834 gram KH2PO3 dilarutkan dalam aquades dan diencerkan sampai
volume 1 liter. Kemudian sebanyak 25 ml larutan tersebut dimasukkan dalam labu
takar 250 ml dan diencerkan samapi tanda tera (1 ml = 0,2 mg P2O5).
Masing-masing sebanyak 0, 2,5, 5, 10, 20, 30, 40 dan 50 ml larutan fosfat
standar dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan masing-masing ke dalam labu
takar ditambahkan 25 ml pereaksi vanadat-molibdat. Kemudian masing-masing
labu takar diencerkan sampai volume 100 ml dengan aquades. Larutan didiamkan
selama 10 menit dan diukur absorbansi degan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 400 nm. Masing-masing labu takar mengandung 0, 0.5, 1, 2, 4, 6, 8
80

dan 10 mg P2O5/ 100 ml. dibuat kurva standar antara absorbansi vs


mg P2O5/100 ml
Persiapan sampel

Sampel ditimbang sebanyak 5 gram didalam gelas piala 150 ml. kedalam gelas piala
ditambahkan 20 ml asam nitrat pekat, kemudian didihkan selama 5 menit.
Selanjutnya didinginkan dan ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat. Larutan
dipanaskan dan disempurnakan digestion dengan penambahan HNO3 setetes demi
setetes sampai larutan tidak berwarna, kemudian dilanjutkan dengan pemanasan
hingga timbul asap putih dan didinginkan.
Ke dalam gelas piala ditambahkan 15 ml aquadest dan didihkan lagi selama 10
menit. Setelah dingain, dipindahkan ke dalam labu takar 250 ml. Gelas piala dibilas
sampai bersih dan air bilasan dimasukkan ke dalam labu takar. Selanjutnya larutan
dalam labu takar diencerkan sampai tanda tera dengan aquades.
Penetapan sampel

Sebanyak 10 ml larutan sampel dimasukkan dalam labu takar 100 ml, kemudian ke
dalam labu takar ditambahkan 40 ml aquades dan 25 ml pereaksi vanadat molibdat
dan diencerkan sampai tanda tera. Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian
diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm.
Nilai absorbansi dibandingkan dengan standar fosfor yang telah diketahui
konsentrasinya.
Perhitungan :

C x 2,5
Fosfor dalam sampel (P2O5 )(%) =
W

Keterangan : C = konsentrasi fosfor dalam sampel (mg/100 ml) yang terbaca dari
kurva standar
W = berat sampel yang digunakan

12. Nilai Rejeksi Membran (Mulder, 1996)


81

Nilai yang diperoleh digunakan untuk menentukan tingkat penolakan membran atau
rejeksi membran. Nilai rejeksi membran ditentukan dengan menggunakan
persamaan :
Cr − Cp
σ= x100%
Cr

keterangan :
σ = nilai rejeksi
Cp = Konsentrasi zat pada permeat
Cr = konsentrasi zat pada konsentrat
13. Fluks (Mulder, 1996)

Permeat yang keluar selama satu menit ditampung dalam gelas ukur. Nilai fluks
ditentukan dengan rumus :
permeat (ml / menit ) x 1 liter x 60 menit
Fluks =
1000 ml x jumlah membran yang digunakan x luas membran (m 2 )
82

Lampiran 7. Analisa GC

Gambar 1. Hasil Analisa GC CPO(kontrol)

Gambar 2. Hasil Analisa GC proses membranultrafiltrasi


83

Gambar 3. Hasil Analisa GC proses konvensional


84

Lampiran 8. Foto-foto hasil penelitian

Gambar 4. Minyak sebelum dan sesudah filtrasi dengan membran


ultrafiltrasi. (Dari kiri CPO, permeat dan retentat.)

Gambar 5. Proses pencucian menggunakan corong pemisah.

Gambar 6. Minyak Hasil proses Degumming Membran dan Konvensional.


(Dari kiri CPO, degumming konvensional, netralisasi
konvensional, degumming membran, netralisasi membran)

Anda mungkin juga menyukai