Anda di halaman 1dari 9

TUGAS REVIEV

EKONOMI SUMBER DAYA ALAM

Disusun Oleh :

MUHAMMAD LATIF FITRIYANTO

152130048

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PENDIDIKAN EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAN PURWOREJO
2016/2017

Sulit untuk diingkari bahwa Indonesia memiliki aneka ragam sumber daya energi dalam jumlah
energi dalam jumlah memadai namun tersebar tidak merata. Permintaan atau konsumsi energi
pun tumbuh pesat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Lebih dari 60% beban konsumsi
berada di Jawa, wilayah yang membutuhkan banyak energi, namun yang tidak memiliki
sumberdayanya sendiri dalam jumlah memadai. Sebaliknya, banyak sumber energi terdapat di
tempat berpenduduk sedikit, seperti Kalimantan dan Sumatra, yang kegiatan ekonominya belum
berkembang serta berjarak cukup jauh dari Jawa.

Sementara itu, di tengah kekayaan sumberdaya energi yang dimiliki, konsumsi energi Indonesia
masih sangat tergantung pada minyak bumi (Tabel 1). Yaitu jenis sumber energi mahal bila
dibandingkan dengan gas bumi maupun batubara. Sehingga tidaklah mengherankan bila potensi
sumber energi di Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. cadangan energi primer yang besar dan sangat beragam dan ekspor sumber daya energinya
berperan vital terhadap ekonomi nasional,
b. keterkaitan dengan ekonomi domestik sangat sensitif terhadap fluktuasi harga energi di pasar
dunia, dan
c. permintaan terhadap energi final pun di dalam negeri tumbuh dengan pesat

Ranking Negara Minyak Bumi Gas Alam Batubara Energi Nuklir Hydro Electric Total %
1 Amerika Serikat 937.6 582.0 564.3 187.9 59.8 2331.6 22.80%
2 China 308.6 35.1 956.9 11.3 74.2 1386.2 13.60%
3 Federal Rusia 128.5 361.8 105.9 32.4 40.0 668.6 6.50%
4 Jepang 241.5 64.9 120.8 64.8 22.6 514.6 5%
5 India 119.3 28.9 204.8 3.8 19.0 375.8 3.70%
6 Jerman 123.6 77.3 85.7 37.8 6.1 330.4 3.20%
7 Kanada 99.6 80.5 30.5 20.5 76.4 307.5 3%
8 Perancis 94.0 40.2 12.5 101.4 14.8 262.9 2.60%
9 Inggris 80.8 88.2 38.1 18.1 1.7 226.9 2.20%
10 Korea Selatan 104.8 28.4 53.1 29.6 1.3 217.2 2.10%
20 Indonesia 54.7 30.3 22.2 – 2.5 109.6 1.10%
Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2005

Oleh karena itu dibutuhkan komposisi pemanfaatan energi yang ideal bagi Indonesia untuk
mengoptimumkan sumber-sumber daya energi yang dimilikinya dan memadukannya dengan
aneka ragam kebutuhan energi yang terdapat dalam tempat-tempat yang berbeda.

Energy mix (bauran sumber energi) merupakan suatu konsep/strategi yang dapat dipergunakan
sebagai alat (tools) untuk mencapai pembangunan energi dan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan bauran energi (energy mix) menekankan bahwa pemanfaatan energi perlu
mengoptimumkan sumber energi yang ada. Indonesia tidak boleh tergantung pada sumber
energi tak terbarukan berbasis fosil (minyak, batubara, dan gas), namun harus juga
mengembangkan penggunaan energi terbarukan seperti air, panas bumi, tenaga surya, dan
seterusnya. Kebijakan bauran energi di Indonesia perlu dikembangkan dengan memperjelas
strategi, sasaran penggunaan, jumlah pemanfaatan, dan pengelolaan energi nasional, dengan
mempertimbangkan potensi energi, permintaan energi, infrastruktur energi serta faktor lainnya
seperti harga energi, teknologi, pajak, investasi, dan sebagainya.

Beberapa data berikut ini sekiranya dapat menjadi pertimbangan penting dalam menganalisis
strategi pengelolaan sumber energi yang dimiliki Indonesia:
1. Cadangan minyak bumi terbukti saat ini diperkirakan sebesar 9 milyar barel, dengan tingkat
produksi rata-rata 0,5 milyar barrel per tahun, maka cadangan tersebut dapat habis dalam waktu
sekitar 18 tahun.
2. Cadangan yang diperkirakan untuk gas 170 TSCF (trilion standart cubic feed) sedangkan
kapasitas produksi mencapai 8,35 BSCF (billion standart cubic feed) yang dibagi untuk ekspor
4,88 BSCF dan untuk domestik 3,47 BSCF.
3. Cadangan batubara di Indonesia diperkirakan ada 57 miliar ton dan merupakan cadangan
yang sudah dieksplorasi sebesar 19,3 miliar ton, dengan kapasitas produksi sebesar 131,72 juta
ton per tahun. Sehingga jika tidak ada penambahan eksplorasi, cadangan batubara tersebut
akan dapat bertahan selama 147 tahun (Lemhanas 2006).
Bila dilihat dari segi cadangan, Indonesia masih mempunyai persediaan cukup besar, tetapi
permasalahan utama yang kerap kali terjadi di Indonesia adalah kebijaksanaan yang belum
dapat memberikan ketahanan energi secara nasional, yaitu:
1. Masih banyak yang belum mendapatkan pasokan energi seperti listrik,
2. Produksi minyak yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga perlu impor,
3. Harga minyak yang disubsidi memberatkan keuangan pemerintah, dan jika dilakukan
penyesuaian dengan harga internasional terjadi gejolak dimasyarakat karena daya beli yang
masih rendah dll.

Saat ini ketersediaan listrik di Indonesia baru mencapai 21,6 GW atau 108 watt per orang, hal itu
hampir sama dengan di India, yang hanya seperenamnya Malaysia (609 watt/orang) dan jauh
lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 1.874 watt/orang. Padahal potensi
sumber energi non fosil bagi ketersediaan energi listrik di Indonesia sangat besar, yaitu:
Sumber Daya
Panas Bumi 27 GW
Tenaga Air 75 GW
Biomassa 49 GW
Tenaga Matahari (Surya) 48 KWH/m2/hari
Tenaga Angin 9 GW
Uranium 32 GW
Total 230 GW
Sumber: Data ESDM (2003)
Dan baru dimanfaatkan untuk listrik sebesar 10%. Ketersediaan energi yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,467 toe/kapita, dibanding dengan
Jepang yang mencapai 4,14 toe/kapita, tetapi dilain pihak terjadi pemborosan yang sangat
besar, yaitu 470 toe/juta US dolar, sedangkan Jepang hanya 92,3 toe/juta US dólar (Lemhanas,
2006).

Untuk mengatasi permasalahan di bidang energi, telah dibuat berbagai kebijaksanaan seperti
Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) sejak tahun 1981 dan telah dilakukan perbaikan pada
tahun 1987, 1991 dan 1998. Kemudian Kebijakan Energi Nasional (KEN) dibuat pada tahun
2003. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Energi Hijau) yang
dikeluarkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 22 Desember 2003.
Kebijaksanaan yang ada tersebut belum dapat menjawab permasalahan secara menyeluruh,
sehingga untuk operasional kebijaksanaan tersebut kemudian dibuat Blueprint Pengelolaan
Energi Nasional 2005-2025 yang mencanangkan pemakaian energy mix untuk minyak menjadi
26,2%, gas bumi 30,6%, batubara 32,7%, PLTA 2,4%, panas bumi 3,8% dan yang lainnya
sebesar 4,4% merupakan energi: biofuel, tenaga surya, tenaga angin, fuelcell, biomasa, tenaga
nuklir dll

B. Analisis Trend (Global):

Pemakaian energi dunia untuk waktu mendatang seperti diperkirakan Energy Information
Administration (EIA) hingga tahun 2025 masih didominasi oleh bahan bakar dari fosil: minyak,
gas alam dan batubara, sementara untuk energi terbarukan masih relatif sedikit. Dilihat dari segi
pemakaian, sumber energi minyak secara global didominasi untuk transportasi, dan ini sampai
2025 diperkirakan masih terus berlanjut meningkat, sedangkan untuk daerah komersial dan
tempat tinggal dapat dikatakan tidak banyak perubahan.
Kebutuhan listrik dunia diproyeksikan akan meningkat dari 14.275 milyar watt pada tahun 2002
melonjak menjadi 26.018 milyar watt di tahun 2025, dan untuk mendapatkan energi listrik
tersebut sebagian besar adalah dari batubara, yaitu hampir 40%, diikuti dengan gas yang
semakin meningkat.
Sementara di Asia diproyeksikan kebutuhan energi akan meningkat dari 110 quadrilliun Btu
(Qbtu) pada tahun 2002 menjadi 221 QBtu di tahun 2025 atau meningkat dua kali lipat dalam
jangka waktu 23 tahun. Dari peningkatan yang demikian tinggi tersebut, China merupakan
negara yang peningkatannya sangat tinggi yaitu dari 43 Qbtu pada tahun 2002 menjadi 109 Qbtu
di tahun 2025 (EIA Outlook, 2005).
Dan bila kembali mengamati Tabel 1, sepuluh negara konsumen energi terbesar yang masih
didominasi oleh negara-negara industri maju yang tergabung dalam G8, seperti juga
kecenderungan yang terjadi di dunia, hampir semuanya menjadikan minyak, batubara dan gas
alam sebagai penopang utama kebutuhan energinya, meskipun dengan komposisi yang
berbeda-beda. Dari sepuluh negara konsumen energi terbesar tersebut, yang jumlah
kesemuanya menempati proporsi 64,76% dari total energi dunia, sebagian besarnya tetap
menjadikan minyak sebagai pasokan utama energinya.

Kelima negara yang menjadikan minyak sebagai sumber utama pemenuhan energinya yaitu
Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada dan Korea Selatan. Federasi Rusia dan Inggris
menjadikan gas alam sebagai pemasok terbesar kebutuhan energi dalam negerinya, sementara
Cina dan India menggunakan batu bara sebagia penopang utama pemenuhan kebutuhan
energinya.

B. 1. Strategi Pengelolaan Energi yang Ditempuh Negara-negara Maju

Tiga negara maju, yaitu Amerika Serikat bersama dengan Jepang dan Korea Selatan tergolong
negara-negara yang masih sangat tergantung pada minyak mengingat konsumsi yang sangat
tinggi yaitu lebih dari 40% kebutuhan energinya dipasok oleh minyak. Amerika Serikat di lain sisi
sudah mengembangkan berbagai sumber energi lainnya baik dari gas alam dan batu bara
maupun energi nuklir. Bahkan konsumsi energi nuklir Amerika Serikat merupakan yang terbesar
di dunia pada tahun 2004 yaitu setara dengan 187,9 juta ton minyak. Namun demikian, besarnya
kebutuhan energi karena industri dan jumlah penduduk yang besar, membuat Amerika Serikat
masih menggunakan minyak sebagai sumber utama kebutuhan energinya.

Jika kita mencermati pertumbuhan energi-energi non fosil di Amerika Serikat, tampak negara ini
masih tetap akan mengandalkan sumber sumber energi dari fosil sebagai pemasok utama
kebutuhan energinya. Hal ini dapat dilihat dari tidak terlalu tingginya tingkat pertumbuhan energi
non fosil tahun 2004 seperti nuklir yang hanya tumbuh 3,2%, jauh lebih lambat dibandingkan
dengan Jepang yang tumbuh 24,3%, Kanada sebesar 21,3% atau Cina 14,1% (BP Statistic,
2005).

Sementara Cina dengan pertumbuhan industri baru yang sangat pesat mampu mengembangkan
batu bara sebagai sumber energi alternatif dengan tujuan ketergantungan pada minyak tidak
terlalu besar. Disamping itu dengan harga batubara yang lebih murah mampu membuat industri
Cina dapat bersaing. Meskipun cadangan batu bara Cina tidak sebesar Amerika Serikat
(cadangan Amerika mencapai 27,1% dari seluruh cadangan batu bara di dunia sedangkan Cina
memiliki 12,6%), murahnya harga energi batu bara membuat Cina begitu gencar
mengintensifkan penggunaan batu bara untuk kebutuhan energinya (EIA Outlook, 2005).

Pendekatan yang menarik dari kebijakan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya
juga bisa dilihat pada kasus Rusia atau Prancis. Dengan cadangan gas alam terbesar di dunia
(Rusia menguasai 26,7% cadangan gas alam di dunia) Rusia menjadikan gas alam sebagai
sumber utama pemenuhan energi dalam negerinya yang mencapai setara 361,8 juta ton minyak
atau 54,1% dari total energi yang dikonsumsi negara tersebut. Produksi gas alam yang
melimpah yang dilakukan oleh Rusia yang mencapai setara 530,2 juta ton minyak (setara
dengan 21,9% dari total produksi gas alam di seluruh dunia yang merupakan produksi gas alam
terbesar di dunia), membuat negara ini cukup stabil dalam pemenuhan kebutuhan energinya.

Sementara itu Prancis memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Berbeda
dengan Amerika, Cina atau Rusia yang cukup memiliki kekuatan menguasai sumber sumber
energi fosil seperti minyak, batu bara ataupun gas alam, Prancis memiliki keterbatasan terhadap
sumber sumber energi fosil tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan energinya yang besar, selain
mengembangkan perusahaan-perusahaan minyaknya menjadi perusahaan berskala besar untuk
menjamin suplai minyak dalam negerinya, Prancis secara serius menggarap sumber energi
nuklirnya hingga mampu memproduksi setara 101,4 juta ton minyak (jumlah ini merupakan
16,2% dari total energi nuklir di dunia yang merupakan kedua terbesar setelah Amerika). Di
Perancis nuklir menjadi sumber energi utama dibandingkan dengan minyak, gas ataupun
batubara.

Cara yang sama ditempuh oleh Kanada dengan memperbesar konsumsi gas alam dan sumber
energi airnya sehingga jumlah keduanya mencapai 51%, jauh diatas konsumsi minyaknya yaitu
32,4% (Kanada merupakan negara yang memproduksi energi hydro terbesar di dunia yang
mencapai 12% dari seluruh energi hydro di seluruh dunia).

Bila kita amati kebijakan energi pada negara-negara konsumen energi terbesar tersebut, terlihat
bahwa setiap negara akan mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk diproduksinya
sendiri seperti yang dengan jelas terlihat pada kasus Cina, Rusia, dan Perancis.

Industri energi yang besar dari negara-negara tersebut dan kedekatan dengan negara-negara
produsen energi, seperti halnya industri industri minyak dunia yang dimiliki negara-negara
konsumen terbesar energi, juga perlu dikelola dengan baik untuk menjamin ketersediaan
pasokannya, seperti yang dilakukan oleh Amerika melalui pendekatan politik dan militer pada
negara-negara timur tengah. Selain itu membuat perbandingan yang relatif berimbang terhadap
sumber sumber energi yang ada membuat ketergantungan sebuah negara terhadap satu
sumber energi bisa berkurang.

Strategi Transformasi:

Pada kasus di Indonesia, sebenarnya produksi yang ada dari tiap-tiap sumber utama energi
yaitu minyak, gas alam, dan batubara, telah melebihi dari konsumsi dalam negerinya. Produksi
minyak Indonesia yang sebenarnya melebihi konsumsi dalam negeri (produksi sepanjang 2004
berjumlah 55,1 juta ton lebih tinggi dibandingkan konsumsi yang 54,7 juta ton) terpaksa
sebagiannya harus lari ke pihak perusahaan pengelola yang nota bene dimiliki oleh perusahaan
asing (kontraktor Bagi Hasil/ KBH).

Data yang sedikit berbeda yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM dalam Blueprint
Pengelolaan Energi Nasional menunjukkan bahwa dengan kondisi produksi minyak saat ini dan
perjanjian bagi hasil yang sedang berlaku, Indonesia harus mengimpor minyak mentah sebesar
487 ribu barel per hari dan produk olahan minyak sebesar 212 ribu barel per hari (total 699 ribu
barel per hari), melebihi besar ekspor minyak mentahnya sebesar 514 ribu barel perhari.

Kondisi besarnya impor minyak inilah yang membuat kenaikan harga minyak mentah dunia yang
sempat menyentuh level 70 US$ per barel menjadi sangat memberatkan APBN di tahun 2005
lalu. Melihat ketergantungan yang sangat tinggi dari minyak, sudah saatnya Indonesia mengikuti
pola kebijakan energi seperti yang dilakukan oleh Cina, Rusia ataupun Perancis yang sumber
utama energi didapat dari sumber yang pasokannya stabil baik ketersediaan di dalam negeri
maupun harganya.

Optimalisasi penggunaan batubara dan gas alam dalam waktu yang tidak terlalu lama sebagai
bagian dari kebijakan energy mix sesungguhnya segera bisa direalisasikan untuk membuat
ketahanan energi di Indonesia bisa lebih stabil. Untuk jangka panjang, memfokuskan sumber
energi non-fosil untuk dikembangkan secara besar-besaran agaknya perlu dimulai sejak saat ini
sebagaimana Jepang yang sangat serius mengembangkan nuklir dan sel suryanya, atau Kanada
yang mengembangkan energi hidro secara besar-besaran.

Merujuk pada strategi dan program yang disusun dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional
2005 – 2025 (baik program utama dan pendukung), maka beberapa hal perlu dilakukan untuk
mengoptimalkan pengelolaan energi nasional:
1. Segera dibuatnya undang undang energi sebagai payung utama dalam hal energi, kemudian
penyesuaian undang-undang yang terkait dengan undang-undang energi, seperti undang-
undang ketenaga nukliran, kelistrikan, panas bumi, migas dll. Undang-undang tersebut perlu
diikuti dengan instrumen-instrumen untuk memudahkan pelaksanaan baik dipusat maupun di
daerah. Juga perlu ditetapkan program yang jelas, seperti yang tertera dalam blueprint energi
yang perlu dilakukan sinkronisasi dengan kebijaksanaan perumahan, transportasi, industri
maupun daerah komersial. Hasil blueprint tersebut perlu diformalkan untuk menjadi acuan
nasional, sehingga semua kebutuhan yang berkaitan dengan energi harus disesuaikan dengan
blueprint tersebut
2. Perlu adanya perbaikan kebijaksanaan dalam harga, selain untuk menekan subsidi juga untuk
menekan terjadinya penyelundupan BBM keluar negeri, pencampuran berbagai jenis minyak dll.
Dalam hal ini koordinasi secara nasional diperlukan, terutama dengan penegak hukum baik
Polisi maupun TNI serta perangkat hukum lainnya. Kebijaksanaan didaerah yang saat ini
kebanyakan menunggu kebijaksanaan dari pusat, dengan adanya undang-undang energi dan
programnya yang jelas dapat menentukan arah pembangunan energi yang ada didaerahnya
sesuai dengan potensi yang ada.
3. Pengembangan instrumen kebijaksanaan dibidang fiskal yang berkaitan dengan energi,
seperti diperlukan adanya berbagai insentif secara adil dan konsisten. Insentif yang diperlukan,
diantaranya adalah:
a. pemberian insentif pajak berupa penangguhan, keringanan dan pembebasan pajak
pertambahan nilai, serta pembebasan pajak bea masuk kepada perusahaan yang bergerak
dibidang energi terbarukan dan konservasi energi;
b. penghargaan kepada pelaku usaha yang berprestasi dalam menerapkan prinsip konservasi
energi dan pemanfaatan energi terbarukan;
c. penghapusan pajak barang mewah terhadap peralatan energi terbarukan dan konservasi
energi;
d. memberikan dana pinjaman bebas bunga untuk bagian rekayasa teknik pada investasi
pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi.
4. Penelitian dan pengembangan di bidang energi alternatif dan konservasi energi perlu
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan nasional di bidang penguasaan Iptek. Khususnya
dalam rangka pengembangan industri yang berkaitan dengan jasa dan teknologi energi
terbarukan dan konservasi energi yang dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga atau
industri penelitian dan pengembangan unggulan. Selain programnya juga perlu dianggarkan
dengan baik beaya untuk penelitian dan pengembangan yang diambil dari pengurangan subsidi,
maupun anggaran khusus yang dapat mengurangi kerugian social ekonomi karena
permasalahan pemborosan pemakaian energi. Anggaran pemerintah untuk energi alternatif di
usulkan 2,5% dari angaran subsidi, baik subsidi untuk minyak maupun subsidi untuk listrik dan
dari tahun ketahun diberikan prioritas kenaikan untuk mempercepat penyelesaian permasalahan
energi.
5. Instrumen kebijaksanaan pendidikan perlu ditujukan untuk membuka inisiatif masyarakat
dalam mengimplementasikan energi alternatif dan konservasi energi. Selain itu diperlukan
regulasi keteknikan untuk menjamin penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif dan
konservasi energi yang berkualitas tinggi, aman, andal, akrab lingkungan.
6. Juga pemberlakukan standar untuk memberikan jaminan akan kualitas produk, baik produk
energi maupun produk peralatan/sistem energi yang diproduksi di dalam negeri ataupun di luar
negeri, yang berhubungan dengan energi terbarukan dan konservasi energi.
7. Jika di Malaysia ada SCORE (Special Committee on Renewable Energy) dan Thailand
membentuk EPPO (Energy Policy and Planning Office), di Indonesia selain organisasi di
Departemen ESDM, telah dibentuk BP Migas. Untuk mengelola khusus energi terbarukan dan
konservasi energi, sebaiknya dibentuk badan energi terbarukan dan konservasi energi diluar
departemen yang ada.

Referensi:
• EIA, World Energy Outlook, 2005
• Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025, ESDM, 2003
• Kristojo, Hari dan Hanan Nugroho, Menuju Pemanfaatan Energi yang Optimum di Indonesia:
Pengembangan Model Ekonomi-Energi dan Identifikasi Kebutuhan Infrastruktur Energi,
Bappenas, 2003.
• Sugiyono, Agus, Perubahan Paradigman Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang
Berkelanjutan, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pascasarjana FE UI dan ISEI, 2004.

Anda mungkin juga menyukai