Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tidak menular (PTM) terus berlangsung dan menjadi masalah besar
kesehatan masyarakat di dunia yang bertanggung jawab terhadap kematian dan
kesakitan. PTM menjadi kematian dan kecatatan di seluruh penjuru dunia. Perkiraan
di tahun 2020 penyakit ini merujuk kepada kematian dari 7 orang dari setiap 10 orang
di negara berkembang. (Richardo Betteng et al)
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar.
Data dari studi global menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus pada
tahun 2011 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukam,
jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (IDF,
2011). Diabetes mellitus telah menjadi penyebab dari 4,6 juta kematian.(Shara Kurnia
et al.2013). International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan bahwa sebanyak
183 juta orang tidak menyadari bahwa mereka mengidap DM. Sebesar 80% orang
dengan DM tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, (IDF, 2011).
Pada tahun 2006, terdapat lebih dari 50 juta orang yang menderita DM di Asia
Tenggara (IDF, 2009). Jumlah penderita DM terbesar berusia antara 40-59 tahun
(IDF, 2011).
Diabetes Mellitus biasa disebut dengan the silent killer karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Penyakit yang akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak,
penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan
membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan
sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah parah menjalani amputasi
anggota tubuh karena terjadi pembusukan (Depkes,2005).
Melihat bahwa Diabetes Mellitus akan memberikan dampak terhadap kualitas
sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka
sangat diperlukan program pengendalian Diabetes Mellitus. Diabetes Mellitus Tipe 2

1
bisa dicegah, ditunda kedatangannya atau dihilangkan dengan mengendalikan faktor
resiko (Kemenkes, 2010). Oleh karena itu perlu dilakukan adanya skrining terhadap
faktor risiko DM, sehingga penanganan dan pencegahan kasus DM dapat dilakukan
lebih terarah dan disesuaikan dengan kondisi setempat serta dapat mengurangi jumlah
penderita DM. Selain itu, mengetahui faktor-faktor risiko apa saja yang menjadi
determinan kasus DM merupakan hal yang penting. Maka dari itu dalam makalah ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai berbagai faktor resiko, distribusi frekuensi,
penatalaksaan, hingga pencegahan penyakit diabetes mellitus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah penyakit diabetes mellitus itu?
2. Bagaimana distribusi dan frekuensi dari penyakit diabetes mellitus?
3. Apa saja determinan penyakit diabetes mellitus?
4. Bagaimana upaya pencegahan dan penatalaksaan penyakit diabetes mellitus?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui mengenai penyakit diabetess mellitus
2. Memberi gambaran tentang distribusi dan frekuensi penyakit diabetes mellitus
3. Menjelaskan mengenai determinan atau faktor resiko dari penyakit diabetes
mellitus
4. Menjelaskan mengenai upaya pencegahan dan penatalaksanaan penyakit
diabetes melitus

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Diabetes Melitus


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan
terapi medis secara berkelanjutan. Penyakit ini semakin berkembang dalam jumlah
kasus begitu pula dalam hal diagnosis dan terapi. Dikalangan masyarakat luas,
penyakit ini lebih dikenal sebagai penyakit gula atau kencing manis. Dari berbagai
penelitian, terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi DM baik di dunia maupun
di Indonesia (Ida Bagus Wayan Kardika dkk, 2013).
DM dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang serius pada organ
tubuh seperti mata, ginjal, jantung, dan pembuluh darah. Untuk mencegah komplikasi
yang lebih serius adalah dengan diagnosis dini DM agar dapat diberikan intervensi
lebih awal. Oleh karena itu, penulis tertarik menggali lebih dalam lagi bagaimana
cara preanalitik dan interpretasi glukosa darah untuk diagnosis Diabetes Melitus ini.
2.1.1 Pengertian Penyakit Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula
darah disertai dengan gangguan metabolism karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
atau defesiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pancreas, atau
disebab-kan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Haeria, 2009).
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya
(WHO,1999). Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan
kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah (American Diabetes Assiciation, 2004).
Diabetes mellitus (DM) adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang yang disebabkan

3
defisiensi insulin baik absolut dan atau relatif. Defisiensi insulin absolut biasanya
didapatkan pada pasien diabetes mellitus tipe-1. Hal ini disebabkan adanya kerusakan
sel pankreas yang progresif sehingga insulin tidak dapat disintesis oleh kelenjar
pankreas. Defisiensi insulin relatif ditemukan pada pasien DM tipe-2 dikarenakan
kurang efektifnya pemakaian insulin di dalam tubuh (Haryudi Aji C, 2011).
Dari beberapa definisi diatas tentang Diabetes Melitus dapat duambil
kesimpulan bahwa DM adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan
hormonal (dalam hal ini hormon insulin yang dihasilkan oleh pankreas) dan
melibatkan metabolisme karbohidrat dimana seseorang tidak dapat memproduksi
cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi dengan baik,
karena proses autoimmune, dipengaruhi genetik dengan gejala yang pada akhirnya
menuju tahap perusakan imunologi sel-sel yang memproduksi insulin.
2.1.2 Klasifikasi Penyakit Diabetes Melitus
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association (2010) dalam
Suzanna Ndraha (2014), dibagi dalam 4 jenis
yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas akibat reaksi
auntoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak
terdeteksi sama sekali. Kerusakan sel beta tersebut dapat terjadi sejak anak-anak
maupun setelah dewasa. Penderita harus mendapatkan suntikan insulin setiap hari
selama hidupnya sehingga dikenal dengan istilah Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM) atau DM yang tergantung pada insulin untuk mengatur
metabolisme gula dalam darah. Berdasarkan kondisinya, tipe ini merupakan DM
yang paling parah (Koes Irianto, 2014). Manifestasi klinik pertama dari penyakit
ini adalah ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa
membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang

4
merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh
karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas
akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik.
Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas
reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi
komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi
sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 1.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan
ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.
Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang
menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

5
2.1.3 Patofisiologis Penyakit Diabetes Melitus
Diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori utama berdasarkan sekresi insulin
endogen untuk mencegah munculnya ketoasidosis, yaitu (1) Diabetes mellitus
tergantung insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe I, dan (2)
Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM = non-insulin dependent diabetes
mellitus) atau tipe II (Rowland dan Bellush, 1989; Kahn, 1995 dalam Agung Endro
Nugroho (2006) ).
Diabetes mellitus (DM) tipe I diperantarai oleh degenerasi sel β Langerhans
pankreas akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, diabetogenik
(streptozotosin, aloksan), atau secara genetik (wolfram sindrome) yang
mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Hal tersebut
mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan adiposa.
Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan waktu yang
bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak anak-anak atau awal remaja. Penurunan berat
badan merupakan ciri khas dari penderita DM I yang tidak terkontrol. Gejala yang
sering mengiringi DM I yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Peningkatan volume
urin terjadi disebabkan oleh diuresis osmotik (akibat peningkatan kadar glukosa darah
atau hiperglikemik) dan benda-benda keton dalam urin. Lebih lanjut, diuresis
osmotik tersebut akan mengakibatkan kondisi dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala
haus dan lapar merupakan akibat dari kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh

6
menggunakan nutrisi (Lawrence, 1994; Karam et al., 1996 dalam Agung Endro
Nugroho (2006)).
Pada DM I, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi tubuh tidak dapat
memanfaatkannya secara optimal untuk membentuk energi. Oleh karena itu, energi
diperoleh melalui peningkatan katabolisme protein dan lemak. Seiring dengan kondisi
tersebut, terjadi perangsangan lipolisis serta peningkatan kadar asam lemak bebas dan
gliserol darah. Dalam hal ini terjadi peningkatan produksi asetil-KoA oleh hati, yang
pada gilirannya diubah menjadi asam asetoasetat dan pada akhirnya direduksi
menjadi asam β-hidroksibutirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Pada
kondisi normal, konsentrasi benda-benda keton relatif rendah karena insulin dapat
menstimulasi sintesis asam lemak dan menghambat lipolisis. Hanya dibutuhkan kadar
insulin yang kecil untuk menghambat lipolisis (Unger dan Foster, 1992; Lawrence,
1994 dalam Agung Endro Nugroho (2006) ).
Pada kondisi DM II, insulin masih cukup untuk mencegah terjadinya benda-
benda keton sehingga jarang dijumpai ketosis. Namun demikian, koma hiperosmolar
non- ketotik dapat terjadi. DM II tersebut cenderung terjadi pada individu usia lanjut
dan biasanya didahului oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar insulin
tinggi. Pada DM II, kehadiran insulin tidak cukup untuk mencegah glukosuria.
Seiring dengan itu, terjadi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh yang diikuti dengan
dehidrasi berat. Lebih lanjut, terjadi penurunan ekskresi glukosa dan pada akhirnya
menghasilkan peningkatan osmolaritas serum (hiperosmolaritas) dan glukosa darah
(hiperglikemik) (Unger dan Foster, 1992; Lawrence, 1994; Kahn, 1995 dalam Agung
Endro Nugroho (2006) ).
Secara patofisiologi, DM tipe II disebabkan karena dua hal yaitu (1)
penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan
resistensi insulin, dan (2) Penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi
insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar DM tipe II diawali
dengan kegemukan karena kelebihan makan. Sebagai kompensasi, sel β pankreas
merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat
(hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin

7
berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah
reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon
reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di lain
pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi reseptor
insulin pada tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi
glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada permulaan proses
terjadinya DM tipe II. Secara patologis, pada permulaan DM tipe II terjadi
peningkatan kadar glukosa plasma dibanding normal, namun masih diiringi dengan
sekresi insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan
telah terjadi defek pada reseptor maupun postreseptor insulin. Pada resistensi insulin,
terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga
mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemik). Seiring dengan
kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami adaptasi diri sehingga responnya untuk
mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada
defisiensi insulin. Sedangkan pada DM tipe II akhir telah terjadi penurunan kadar
insulin plasma akibat penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi
insulin, dan diiringi dengan peningkatan kadar glukosa plasma dibandingkan normal.
Pada penderita DM II, pemberian obat-obat oral antidiabetes sulfonilurea masih dapat
merangsang kemampuan sel β Langerhans pankreas untuk mensekresi insulin (Unger
dan Foster, 1992; Lawrence, 1994; Kahn, 1995 dalam Agung Endro Nugroho (2006).
2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit Diabetes Melitus
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik
(L. O. Panggabean, 2012)
A. Gejala Akut Penyakit Diabetes melitus
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan,
mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.
1. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli), yaitu:
a. Banyak makan (poliphagia).
b. Banyak minum (polidipsia).

8
c. Banyak kencing (poliuria).
2. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
a. Banyak minum.
b. Banyak kencing.
c. Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5-10
kg dalam waktu 2-4 minggu).
d. Mudah lelah.
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan
jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.
B. Gejala Kronik Diabetes melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes melitus adalah sebagai
berikut:
1. Kesemutan.
2. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
3. Rasa tebal di kulit.
4. Kram.
5. Capai.
6. Mudah mengantuk.
7. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
8. Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
9. Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun,bahkan
impotensi.
10. Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.

2.2 Distribusi Frekuensi Penyakit Diabetes Militus


1. Menurut Orang
Pada negara maju, penyakit DM cenderung diderita oleh penduduk berusia di
atas 64 tahun sedangkan pada negara berkembang, penyakit DM cenderung
diderita oleh penduduk berusia 45-64 tahun. DM tipe 1 umumnya terjadi pada

9
anak-anak dan remaja ataupun usia muda. DM tipe 1 pada umumnya terjadi
sebelum penderita berumur 40 tahun sedangkan DM tipe 2 pada umumnya
terjadi setelah berumur 40 tahun. Penderita DM yang memiliki usia yang sama
dengan yang bukan penderita DM paling sedikit 2 kali lebih sering terkena
serangan jantung dengan mereka yang tidak menderita diabetes.
Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) terdapat 1,9 juta kasus
baru diabetes pada orang berusia 20 tahun dan lebih tua pada tahun 2010.
Berdasarkan penelitian Marpaung (2006) di RSUD Pematang Siantar tahun
2003-2004 menyatakan bahwa proporsi penderita DM yang berusia ≥ 45 tahun
80,8% dan proporsi penderita DM yang berusia < 45 tahun 19,2%.
Berdasarkan penelitian Roza (2008) di RSUP H. Adam Malik Medan tahun
2006, proporsi penderita DM berusia < 40 tahun yaitu yang menderita
komplikasi akut 5,0% dan yang menderita komplikasi kronik 12,6% sedangkan
proporsi penderita DM berusia ≥ 40 tahun yaitu yang menderita komplikasi akut
7,6% dan yang menderita komplikasi kronik yaitu 74,8%. Proporsi laki-laki yang
menderita DM yaitu yang mengalami komplikasi akut 6,9% dan yang mengalami
komplikasi kronik 39,0% sedangkan proporsi perempuan yang menderita DM
yaitu yang mengalami komplikasi akut 5,7% dan yang mengalami komplikasi
kronik yaitu 48,4%.
2. Menurut Tempat
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik tahun 2003 melaporkan bahwa
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 333 juta jiwa dengan
prevalensi DM yaitu 14,7% pada daerah urban dan 7,2% pada daerah rural.
Berdasarkan laporan hasil Riskesdas tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan
menunjukkan prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia di atas 15
tahun yaitu 5,7%.
Menurut laporan PERKENI tahun 2005 dari berbagai penelitian epidemiologi
di Indonesia, menunjukkan bahwa angka prevalensi DM terbanyak terdapat di
kota-kota besar, antara lain Jakarta (12,8%), Surabaya (1,8%), Makassar
(12,5%), dan Manado (6,7%). Sedangkan prevalensi DM terendah terdapat di

10
daerah pedesaan, antara lain Tasikmalaya (1,8%) dan Tanah Toraja (0,9%).
Adanya perbedaan prevalensi DM di perkotaan dengan di pedesaan
menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian DM.
3. Menurut Waktu
Pada tahun 2000 terdapat 2,9 juta kematian akibat penyakit DM di dunia,
dimana 1,4 juta kematian terjadi pada pria dan 1,5 juta kematian pada wanita.
Dari semua jumlah kematian ini, 1 juta kematian terjadi di negara maju dan 1,9
juta kematian terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2003, WHO menyatakan
194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8 miliar penduduk dunia usia 20-79 tahun
menderita Diabetes mellitus dan tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi
7,3%.
2.2.1 Data Statistik
Kenaikan jumlah penduduk yang terkena penyakit diabetes militus atau
kencing manis semakin mengkhawatirkan. Menurut WHO pada tahun 2000
jumlah penduduk dunia yang menderita diabetes militus mencapai 171.230.000
orang dan pada tahun 2030 diperkirakan jumlah penderita diabetes didunia akan
mencapai jumlah 366.210.100 orang atau naik sebesar 114 % dalam ukuran waktu
30 tahun.
Dibawah ini adalah data statistik jumlah penderita diabetes didunia versi
WHO pada tahun 2000 dan proyeksi jumlah pendeita diabetes dunia pada tahun
2030. Indonesia menduduki tempat ke 4 terbesar dengan pertumbuhan sebesar
152 % atau dari 8.426.000 orang pada tahun 2000 mencapai 21.257.000 orang
ditahun 2030.

11
Data Statistik Jumlah Penderita Diabetes di Dunia versi
WHO
No Negara Thn 2000 Thn 2030 Growth
1 India 31.705.000 79.441.000 151 %
2 China 20.757.000 42.321.000 104 %
3 United States of Ameica 17.702.000 30.312.000 71 %
4 Indonesia 8.426.000 21.257.000 152 %
5 Japan 6.765.000 8.914.000 32 %
6 Pakistan 5.217.000 13.853.000 166 %
7 Russian Federation 4.576.000 5.320.000 16 %
8 Brazil 4.576.000 11.305.000 148 %
9 Italy 4.252.000 5.374.000 26 %
10 Bangladesh 3.196.000 11.140.000 249 %
11 Turkey 2.920.000 6.422.000 120 %
12 Philippines 2.770.000 7.798.000 182 %
13 Spain 2.717.000 3.752.000 38 %
14 Germany 2.627.000 3.771.000 44 %
15 Egypt 2.623.000 6.726.000 156 %
16 Mexico 2.179.000 6.130.000 181 %
17 Islamic Republic of iran 2.103.000 6.421.000 205 %
18 Canada 2.006.000 3.543.000 77 %
19 Republic of korea 1.859.000 3.378.000 82 %
20 United kingdom of great 1.765.000 2.668.000 51 %
Britain and northern
Ireland
21 France 1.710.000 2.645.000 55 %

2.3 Determinan Penyakit Diabetes Mellitus

12
Penyakit diabetes mellitus dapat terjadi karena beberapa sebab dan juga adanya
faktor resiko yang mendukung hal tersebut. Terjadinya penyakit diabetes terkait
dengan tiga kelainan yaitu (1) adanya resistensi insulin di jaringan perifer terutama
otot, lemak dan liver, (2) kelainan pada sekresi insulin terutama dalam merespon
rangsangan glukosa, dan (3) meningkatnya produksi glukosa oleh liver ( Djanggan
Sargowo & Sri Andarini. 2011).
Sedangkan determinan atau faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya
penyakit diabetes mellitus secara umum dapat digolongkan menjadi faktor yang dapat
diubah dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah meliputi
usia, jenis kelamin, dan genetis. Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah
diantaranya faktor soioekonomi, faktor perilaku, faktor lingkungan, dan faktor
individunya sendiri yang mencakup penyakit yang diderita maupun kondisi tubuhnya.

Determinan
Tidak Dapat Dapat Diubah
Diubah
sosio- Faktor
Usia Perilaku Lingkungan
ekonomi Individu

Faktor Tingkat Paparan


Pola Makan Obesitas
Genetis Pendidikan Asap Rokok

Jenis Jenis
Aktivitas Fisik Bahan Kimia Penyakit
Pekerjaan
Kelamin

Hipertensi

Stress

Kadar
Kolesterol

Kehamilan
13
2.3.1 Faktor yang tidak dapat diubah
a. Usia
Diabetes Melitus dapat menyerang warga penduduk dari berbagai lapisan,
baik dari segi ekonomi rendah, menengah, atas, ada pula dari segi usia. Tua maupun
muda dapat menjadi penderita DM. Umumnya manusia mengalami perubahan
fisiologi yang secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes
sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan, terutama setelah usia 45 tahun
pada mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi
terhadap insulin. Teori yang ada mengatakan bahwa seseorang ≥45 tahun memiliki
peningkatan resiko terhadap terjadinya DM dan intoleransi glukosa yang di sebabkan
oleh faktor degeneratif yaitu menurunya fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel
β dalam memproduksi insulin. untuk memetabolisme glukosa.(Betteng, Richardo et
al. 2014)
Penelitian Shara Kurnia et al (2013) antara umur dengan kejadian diabetes
mellitus menunjukan adanya hubungan yang signifikan. Kelompok umur < 45 tahun
merupakan kelompok yang kurang berisiko menderita DM Tipe 2. Risiko pada
kelompok ini 72 persen lebih rendah dibanding kelompok umur ≥45 tahun. Penelitian
Iswanto (2004) juga menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur
dengan kejadian diabetes mellitus.
Selain itu, studi yang dilakukan Sunjaya (2009) juga menemukan bahwa
kelompok umur yang paling banyak menderita diabetes mellitus adalah kelompok
umur 45-52 (47,5%). Peningkatan diabetes risiko diabetes seiring dengan umur,
khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai
terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan

14
berkurangnya kemampuan sel β pancreas dalam memproduksi insulin (Sunjaya,
2009). Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas
mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin
b. Faktor Genetis
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab diabetes mellitus orang tua.
Biasanya, seseorang yang menderita diabetes mellitus orang tua. Biasanya, seseorang
yang menderita diabetes mellitus mempunyai anggota keluarga yang juga terkena.
Jika kedua orang tua menderita diabetes, insiden diabetes pada anak-anaknya
meningkat, tergantung pada umur berapa orang tua menderita diabetes. resiko
terbesar bagi anak-anak terserang diabetes terjadi jika satu atau kedua orang tua
mengalami penyakit ini sebelum berumur 40 tahun. Riwayat keluarga pada kakek dan
nenek kurang berpengaruh secara signifikan terhadap cucunya (Wijayakusuma, 2004)
Hasil penelitian Shara Kurnia et al (2013) antara riwayat kesehatan dengan
kejadian penyakit diabetes melitus tipe 2 bahwa ada hubungan yang signifikan
Responden yang memiliki keluarga dengan DM harus waspada. Risiko menderita
DM bila salah satu orang tuanya menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua
orang tua memiliki DM maka risiko untuk menderita DM adalah 75% (Diabates UK,
2010). Risiko untuk mendapatkan DM dari ibu lebih besar 10-30% dari pada ayah
dengan DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih
besar dari ibu. Jika saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita DM
adalah 10% dan 90% jika yang menderita adalah saudara kembar identik (Diabetes
UK, 2010). Bagi masyarakat yang memiliki keluarga yang menderita DM, harus
segera memeriksa kadar gula darahnya karena risiko menderita DM besar.
c. Jenis Kelamin
Berdasarkan analisis antara jenis kelamin dengan kejadian DM Tipe 2,
prevalensi kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita
lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan
(premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh

15
menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita
berisiko menderita diabetes mellitus tipe2 (Irawan, 2010).

2.3.2 Faktor yang dapat diubah


a. Pola Makan
Makan yang berlebihan menyebabkan gula dan lemak dalam tubuh menumpuk
secara berlebihan. Kondisi tersebut menyebabkan kelenjar pancreas terpaksa harus
bekerja keras memproduksi hormon insulin untuk mengolah gula yang masuk. Jika
suatu saat pancreas tidak mampu memenuhi kebutuhan hormone insulin yang terus
bertambah, maka kelebihan gula tidak dapat terolah lagi dan akan masuk ke dalam
darah serta urine (air kencing). (dr Endang Lenywati). Jumlah/kadar insulin oleh sel 
pancreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu,
mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin
dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula darah meningkat dan
menyebabkan diabetes mellitus.(Wijayakusuma, 2004)
b. Aktivitas Fisik.
Pada saat tubuh melakukan aktivitas/gerakan, maka sejumlah gula akan dibakar
untuk dijadikan tenaga gerak. Sehingga jumlah gula dalam tubuh akan berkurang, dan
dengan demikian kebutuhan akan hormone insulin juga berkurang. Pada orang yang
kurang gerak dan jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak
dibakar, tetapi hanya akan ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula, sehingga
memerlukan hormone insulin untuk memecah glukosa. Namun, jika hormone insulin
kurang mencukupi, maka akan timbul gejala penyakit diabetes mellitus (dr. Endang
Lanywati).
d. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit Diabetes Melitus
Tipe 2. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan memiliki banyak

16
pengetahuan tentang kesehatan. Dengan adanya pengetahuan tersebut oarang akan
memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya (Irawan, 2010).
e. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan juga erat kaitannya dengan kejadian DM. Pekerjaan seseorang
mempengaruhi tingkat aktivitas fisiknya. Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah.
Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik
mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan
berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam
tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin
tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM
(Kemenkes,2010).
c. Obesitas
Orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai
kecenderungan yang lebih besar untuk terserang diabetes mellitus dibandingkan
dengan orang yang tidak gemuk (Wijayakusuma, 2004). Data statistic di Amerika
menunjukkan 70% dari total penderita diabetes mellitus, merupakan orang yang
memiliki berat badan berlebihan (obesitas) (dr Endang Lanywati)
f. Penyakit dan infeksi pada pancreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pancreas sehingga
menimbulkan radang pancreas. Hal itu menyebabkan sel B pada pancreas tidak
bekerja optimal dalam mensekresi insulin. Beberapa penyakit tertentu, seperti
kolesterol tinggi dan dyslipidemia dapat meningkatkan risiko terkena diabetes
mellitus. (Wijayakusuma, 2004)
g. Kehamilan
Pada saat hamil, untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janinnya, seorang
ibu secara naluri akan menambah jumlah konsumsi makanannya, sehingga umumnya
berat badan ibu hamil akan naik sekitar 7 kg – 10 kg. Pada saat penambahan jumlah
konsumsi makanan tersebut terjadi, jika ternyata produksi insulin kurang mencukupi,
maka akan timbul gejala penyakit diabetes mellitus.
h. Hipertensi

17
Ada hubungan yang bermakna antara tekanan darah dengan diabetes melitus.
Hasil penelitian Shara Kurnia et al (2013) menunjukan bahwa orang yang terkena
hipertensi berisiko lebih besar untuk menderita diabetes, dengan odds 6,85 kali lebih
besar dibanding orang yang tidak hipertensi. Penelitian menurut Sunjaya (2009)
menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi mempunyai risiko 1,5 kali
lebih besar untuk mengalami diabetes dibanding individu yang tidak hipertensi.
Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh
hipertensi terhadap kejadian diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh
darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal
ini akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi
terganggu (Zieve, 2012).
i. Stress
Berdasarkan analisis hubungan antara stres dengan kejadian DM Tipe 2
didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian DM
Tipe 2. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andi di Rumah Sakit Umum Dr.
Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Orang yang mengalami stres memiliki risiko 1,67
kali untuk menderita DM Tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami
stres (Andi dkk,2008).
Adanya peningkatan risiko diabetes pada kondisi stres disebabkan oleh
produksi hormone kortisol secara berlebihan saat seseorang mengalami stres.
Produksi kortisol yang berlebih ini akan mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan
darah merosot, yang kemudian akan membuat individu tersebut menjadi lemas, dan
nafsu makan berlebih. Oleh karena itu, ahli nutrisi biologis Shawn Talbott
menjelaskan bahwa pada umumnya orang yang mengalami stres panjang juga akan
mempunyai kecenderungan berat badan yang berlebih, yang merupakan salah satu
faktor risiko diabetes melitus (Siagian,2012)
j. Kadar Kolesterol
Kadar kolestrol yang tinggi berisiko terhadap penyakit DM Tipe 2. Kadar
kolestrol tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas sehingga terjadi

18
lipotoksisity. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas yang
akhirnya mengakibatkan DM Tipe 2 (Kemenkes, 2010).
k. Bahan-bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan kimiawi tertentu dapat mengiritasi pancreas. Peradangan pada pancreas
dapat menyebabkan pancreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan
hormone yang diperlukan untuk metabolism dalam tubuh, termasuk hormone insulin
(Wijayakusuma, 2004)
l. Paparan Asap Rokok
Terpapar asap rokok adalah merokok atau sering berada di dekat perokok. Merokok
adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM Tipe 2. Asap rokok dapat
meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok (nikotin) merangsang kelenjar
adrenal dan dapat meningkatkan kadar glukosa (Latu, 1983). Perokok pasif
memungkinkan menghisap racun sama seperti perokok aktif. Penelitian oleh Houston
mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi untuk terserang
DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan (Irawan,2010).

2.4 Penatalaksanaan dan Pencegahan Penyakit Diabetes Mellitus


2.4.1 Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Mellitus
Beberapa penelitian mencatat bahwa 50-80% diabetes memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang kurang dalam mengelola penyakitnya (Norris et all, 2001 dalam
Sutandi, 2012). Minimnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola penyakit
diabetes mellitus dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi kronik yang dapat
terjadi pada diabetes mellitus tipe-2 dan mengenai organ vital yang dapat fatal,
sehingga perlu penatalaksanaan dan terapi agresif untuk mencapai kendali faktor
resiko diabetes mellitus. Dalam Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus tipe-2 di Indonesia tahun 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan diabetes
mellitus dititik beratkan pada empat pilar penatalaksanaan diabetes mellitus, yaitu:
1. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi

19
dilakukan secara komprehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk
memiliki perilaku sehat.
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes
untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya. Salah satu
upaya edukasi dalam penatalaksanaan diabetes mellitus adalah Diabetes Self-
Management Education (DSME). Diabetes Self-Management Education (DSME)
merupakan proses pendidikan kesehatan bagi individu atau keluarga dalam
mengelola penyakit diabetes yang telah dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh
Joslin Diabetes Center (Barlett, 1986 dalam Sutandi, 2012). DSME menggunakan
metode pedoman, konseling, dan intervensi perilaku untuk meningkatkan
pengetahuan mengenai diabetes dan meningkatkan ketrampilan individu dan
keluarga dalam pengelolaan penyakit diabetes mellitus. Pendekatan pendidikan
kesehatan dengan metode DSME tidak sekedar menggunakan metode baik
langsung maupun tidak langsung namun telah berkembang dengan mendorong
partisipasi dan kerjasama diabetesi dan keluarganya. Pendidikan kesehatan yang
diberikan akan lebih efektif bila petugas kesehatan mengenal tingkat pengetahuan,
sikap dan kebiasaan sehari-hari pasien dan keluarga tersebut. Pendidikan
kesehatan yang sesuai kebutuhan pasien dan keluarga, secara langsung atau tidak
langsung dapat meningkatkan kemampuan perawatan secara mandiri sehingga
produktifitas pasien dan keluarganya dapat meningkat juga.
2. Terapi gizi medis
Prinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Penderita
harus mengurangi makanan yang cepat diserap menjadi gula darah yaitu
karbohidrat sederhana, seperti yang terdapat pada gula pasir, gula jawa, sirop,
dodol, selai, permen, cokelat, es krim, dan minuman ringan. Namun sebaliknya,
justru dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat kompleks, yang mengandung
lebih dari satu rantai glukosa sehingga sebelum diserap ke aliran darah akan lebih

20
dulu terurai menjadi satu rangkai glukosa melalui proses pencernaan. Contoh
karbohidrat kompleks yaitu zat-zat tepung, dan roti gandum.
3. Latihan jasmani
Diet dan olahraga harus dilakukan bersamaan sebagai sarana untuk mengontrol
gula darah yang cukup ampuh bagi penderita diabetes mellitus. Latihan jasmani
dianjurkan yang bersifat aerobik, seperti berjalan santai, jogging, bersepeda, dan
berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin. Kegiatan olahraga
yang baik memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Dilakukan secara teratur 3 – 4 kali seminggu dengan teratur. Selang sehari
sebaiknya dipergunakan untuk beristirahat atau pemulihan.
2) Intensitas latihan, sebaiknya dipilih yang sedang, yaitu sekitar 70% dari detak
jantung maksimal. Detak janung maksimal seseorang adalah 220 dikurangi
usia orang yang bersangkutan.
3) Tempo layihan, sebaiknya 30 – 60 menit setiap kali berolahraga.
4) Melakukan pemanasan atau warming up sebelum latihan dan mengakhirinya
dengan cooling down atau pendinginan yang diharapkan dapat mencegah
terjadinya timbunan zat racun akibat gangguan metabolisme tubuh sewaktu
berolahraga.
4. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan, dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
a. Pemicu sekresi insulin:
a) Sulfonilurea
- Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
- Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
- Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan
faal hati dan ginjal serta malnutrisi

21
b) Glinid
- Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
- Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada
sekresi insulin fase pertama
- Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
b. Peningkat sensitivitas insulin
a) Biguanid
- Golongan biguanid yang banyak digunakan adalah metformin
- Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan
menurunkan produksi glukosa hati
- Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes
gemuk, disertai dislipidemia dan resistensi insulin
b) Tiazolidindion
- Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer
- Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan
c. Penghambat glukoneogenesis
a) Biguanid (Metformin)
- Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati
- Metmorfin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan
kreatinin serum >1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien
dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
- Metmorfin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonylurea
- Metmorfin mempunyai efek samping pada saluran cerna namun bisa
diatasi dengan pemberian sesudah makan
d. Penghambat glukosidase alfa

22
a) Acarbose
- Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus
- Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonilurea
- Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu
kembung dan flatulens
- Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) glucagon-like peptide-1
(GLP-1) merupakan suatu hormon peptide yang dihasilkan oleh sel L
di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk.
GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat
glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi etabolit yang
tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat
meningkatkan pelepasan insulin dan menghambat pelepasan
glukagon.
2) Obat Suntikan
Obat suntikan pada penderita diabetes mellitus adalah berupa terapi insulin.
Tujuan terapi ini terutama untuk mempertahankan glukosa darah dalam kadar
normal atau mendekati normal dan menghambat kemungkinan timbulnya
komplikasi kronis pada diabetes. Tugas pokok insulin adalah mengatur
pengangkutan atau masuknya glukosa dari darah ke dalam sel sehingga
glukosa darah bisa turun. Jadi, insulin berperan dalam mengatur kestabilan
glukosa di dalam darah.
Struktur kimia hormon insulin bisa rusak oleh proses pencernaan sehingga
insulin tidak bisa diberikan melalui tablet atau pil. Satu-satunya jalan
pemberian insulin adalah melalui suntikan. Berikut ini macam-macam insulin
berdasarkan kecepatan kerja:
a. Insulin kerja cepat (short-acting insulin)
Insulin jenis ini kerjanya capt, tetapi berakhir dengan cepat pula. Insulin
reguler (regular insulin) akan mulai bekerja setelah disuntikkan 30 menit
sampai 1 jam, puncaknya pada 3 – 4 jam setelah disuntikkan. Efek obat

23
berakhir setelah 6 – 10 jam. Contoh lain yang beredar di pasaran Indonesia
adalah Actrapid dan Humulin R
b. Insulin kerja sangat cepat (quick-acting insulin)
Insulin lispro atau insulin aspart adalah insulin analogues yang bekerjanya
lebih cepat. Hanya dalam 15 menit sudah menunjukkan efeknya. Puncak
efek obat dicapai dalam waktu 1 jam dan pengaruh obat akan berakhir
dalam 3 – 5 jam.
c. Insulin kerja sedang (intermediate-acting insulin)
Dibandingkan dengan insulin kerja cepat, insulin ini kerjanya lebih lambat
dan lebih panjang. Insulin NPH atau Lente bekerja mulai 2 jam setelah
disuntikkan. Efek obat mencapai puncak setelah 8- 12 jam, dan berakhir
setelah 24 jam.
d. Mixed insulin
Insulin campuran adalah campuran dua macam insulin yang short-acting
insulin dan intermediate-acting. Insulin jenis ini mulai bekerja dalam 30
menit atau 1 jam. Efek puncak tercapai dalam dua fase, yaitu 3 jam dan 8 –
12 jam setelah suntik, dan berakhir setelah 24 jam.
e. Insulin kerja panjang (long-acting insulin)
Insulin ini membutuhkan beberapa jam sebelum bekerja. Puncak efek
tercapai lebih lama daripada jenis insulin sebelumnya. Insulin Ultralnete
mulai menunjukkan efek obatsetelah 7 jam penyuntikan. Puncak dari efek
obat timbul lebih dari 22 jam dan pengaruh obat akan belangsung lebih dari
24 jam.
f. Insulin kerja sangat panjang (very long-acting insulin)
Insulin Glargine (Lantus) atau insulin Detemir (Levenir) mulai bekerja
dalam 1 – 2 jam. Puncak efek obat hampir tidak ada atau merata selama 24
jam, dan efek obat akan berakhir sampai lebih dari 24 jam.
2.4.2 Pencegahan Penyakit Diabetes Mellitus
1. Pencegahan Primer

24
Pencegahan primer adalah pencegahan yang dilakukan sebelum seseorang
terjangkit penyakit diabetes mellitus. Pencegahan penyakit secara primer dapat
dilakukan dengan mengendalikan makanan yang dikonsumsi dan mengatur pola
makan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan berat badan yang
normal, kemudian mempertahankan berat badan normal tersebut. Dalam
mempertahankan kondisi dan mengatur kadar gula, penting memperhatikan jenis-
jenis makanan dan proporsi konsumsi yang baik. Jenis makanan dan proporsi
makanan yang dikonsumsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Kelompok sayuran, buah-buahan dan pati
Jenis makanan yang banyak mengandung vitamin, mineral, dan serat, namun
rendah kalori sangat tepat bagi penderita diabetes mellitus dengan berat badan
berlebih. Jenis makanan golongan ini dapat dikonsumsi dengan jumlah relatif
banyak, terutama sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau. Serat akan
memperlambat penyerapan glukosa dan menurunkan kadar lemak darah. Pati
yang terdiri dari sereal, biji-bijian, dan olahannya, seperti nasi, roti, mi,
kentang, dan havermount. Havermount adalah jenis makanan pemasok utama
hidrat arang kompleks serta serat. Penderita diabetes mellitus dianjurkan
mengkonsumsi jenis makanan ini sejumlah 60-68% dari total kalori.
2) Kelompok protein
Jenis makanan yang termasuk golongan ini adalah daging, ikan, susu serta
produk olahannya, dan kacang-kacangan. Jenis makanan ini memasok
sebagian kalori dan sebagian besar kebutuhan lemak jenuh dan kolesterol
yang tidak atau sedikit sekali kita butuhkan, terutama jika kita makan dari
protein hewani secara berlebihan. Kebutuhan protein adalah 12-20% dari total
kalori, kecuali pada ibu hamil, menyusui, trauma, atau keadaan sakit
memerlukan protein yang lebih tinggi.
3) Kelompok penghasil banyak energi dan lemak
Kelompok makanan ini adalah golongan yang harus sangat diperhatikan untuk
dikonsumsi oleh penderita diabetes mellitus karena kebutuhan lemak hanya
20-25% dari total kalori. Jenis makanan yang termasuk dalam kelompok ini

25
adalah minyak, alkohol, gula, lemak (gajih), dan mentega. Menghindari
makanan yang mengandung karbohidrat sederhana, seperti gula, madu, sirop,
dan selai. Konsumsi gula, maksimal 3 sdm/hari. Sebaiknya gunakan gula
alternatif yang tidak mengandung kalori, misalnya sakarin dan aspartam.
Batasi konsumsi lemak, minyak, ataupun santan maksimal 25% dari
kebutuhan energi.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakukan selama seseorang
terjangkit penyakit diabetes mellitus. Pada penderita diabetes mellitus, pencegahan
sekunder ditempuh dengan cara diet dan terapi serta penggunaan obat. Diet dan
terapi bertujuan untuk menjaga gula darah agar tetap normal. Sebaiknya kadar gula
darah puasa antara 80 – 109 mg/dl dan gula darah sesudah makan adalah antara
110 – 169 mg/dl. Pemeriksaan kadar gula darah pada penderita sebaiknya
dilakukan secara periodik dan teratur agar selalu terpantau jika ada perubahan-
perubahan yang dapat membahayakan penderita diabetes mellitus.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah pencegahan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi terhadap penderita diabetes mellitus. Pada dasarnya, sasaran
pengobatan penyakit diabetes mellitus adalah selalu menjaga gula darah normal.
Jika gula darah bertahan normal, maka akan menekan kemungkinan terjadinya
komplikasi. Hal lain yang penting diperhatikan adalah kadar lemak darah dan
tekanan darah. Jika kadar gula darah mencapai kondisi normal, pasien harus
mengupayakan menjaganya dengan perlakuan sebagai berikut:
1) Perencanaan makan. Kalori yang terukur, dihitung dari berat badan ideal.
Komposisi makanan perlu seimbang, yakni karbohidrat (60-75%), protein
(10-15%), dan lemak (20-25%). Untuk perencanaan makan lebih baik
dikonsultasikan kepada ahli gizi.
2) Langkah kedua adalah olahraga, misalnya jalan kaki, joging, bersepeda,
senam, atau bisa juga renang. Olahraga perlu dilakukan bertahap, teratur,

26
dengan intensitas yang cukup, dan bila pelu dikombinasikan. Frekuensi
sebaiknya dilakukan antara 3 – 4 kali seminggu.
3) Bila dengan dua langkah tersebut gula darah belum juga mencapai sasaran,
tambahkan obat diabetes OHO sesuai anjuran dari dokter.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan hormonal
(dalam hal ini hormon insulin yang dihasilkan oleh pankreas) dan melibatkan
metabolisme karbohidrat dimana seseorang tidak dapat memproduksi cukup
insulin atau tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi dengan baik, karena
proses autoimmune, dipengaruhi genetik dengan gejala yang pada akhirnya
menuju tahap perusakan imunologi sel-sel yang memproduksi insulin.
2. Penyakit Diabetes Mellitus diklasifikasikan menjadi empat golongan atau tipe
yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain, dan DM gestasional.
3. Tanda dan gejala yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dibedakan menjadi
gejala akut dan gejala kronik.
4. Determinan atau faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit diabetes
mellitus secara umum dapat digolongkan menjadi faktor yang dapat diubah dan
faktor yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah meliputi usia, jenis
kelamin, dan genetis. Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah diantaranya
faktor soioekonomi, faktor perilaku, faktor lingkungan, dan faktor individunya
sendiri yang mencakup penyakit yang diderita maupun kondisi tubuhnya.
5. Minimnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola penyakit diabetes
mellitus dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi kronik yang dapat
terjadi pada diabetes mellitus tipe-2 dan mengenai organ vital yang dapat fatal,
sehingga perlu penatalaksanaan dan terapi agresif untuk mencapai kendali faktor
resiko diabetes mellitus.
6. Pencegahan penyakit diabetes mellitus dibagi menjadi tiga bentuk pencegahan
yaitu pencegahan primer yang dilakukan ketika seseorang dikatakan belum
terjangkit diabetes mellitus, pencegahan sekunder saat seseorang terjangkit
diabetes mellitus, dan pencegahan tersier yang dilakukan penderita untuk
memperkecil dan mencegah terjadinya komplikasi penyakit.

28

Anda mungkin juga menyukai