Anda di halaman 1dari 62

SEMINAR KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


DIAGNOSA MEDIS ENTEROCUTANEOUS FISTULA (ECF)
DAN MALNUTRISI
DI RUANG BEDAH B RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Disusun oleh:

Kelompok 14

1. Abraham Steven Y 1318231430


2. Laily Bestari P 1318231430
3. Choirina Nur A 1318231430
4. Vania Pangestika P 131823143040

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
SEMINAR KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
DIAGNOSA MEDIS ENTEROCUTANEOUS FISTULA (ECF)
DAN MALNUTRISI
DI RUANG BEDAH B RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Laporan seminar kasus ini, dibuat dan diambil oleh mahasiswa kelompok 14
program profesi ners di ruang bedah bougenvile RSUD Dr. Soetomo Surabaya
pada masa praktik 08-13 April 2019.

Surabaya, 29 April 2019

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Lingga Curnia D, S.Kep., Ns., M. Kep. Asri Fatonah, S.Kep., Ns.


NIP. 199012162018083201 NIP.197610101998032004

Mengetahui,
Kepala Ruang Bedah B

Sri Yuniarti, SST


NIP.196906051994032008
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fistula Enterocutaneous (ECF), merupakan suatu keadaan terdapatnya

hubungan yang abnormal antara saluran gastrointestinal (GI) dan kulit yang

biasanya merupakan komplikasi dari tindakan pembedahan (Lee, 2012)

Insiden ECF yang sebenarnya belum diketahui. Menurut penelitian Llody et al

(2006) penyebab bedah iatrogenik dipengaruhi oleh pengalaman dan keterampilan

ahli bedah; kondisi pasien, seperti status gizi dan imunologi atau faktor yang

terkait dengan jenis operasi itu sendiri dan patologi yang mendasarinya. Teixeria

(2009) melaporkan kejadian 1,5% ECF yang disebabkan setelah dilakukan

laparotomi. Beberapa tahun sebelumnya, Tsuei et al. (2004) menemukan bahwa

kejadian fistula sebagai komplikasi prosedur laparotomi (dilakukan karena

berbagai alasan seperti sepsis gastrointestinal, pankreatitis atau trauma) untuk 71

pasien adalah 16,9%. Insiden pembentukan fistula spontan akibat penyakit radang

usus juga belum diteliti secara memadai (Falconi, 2001).

Tang et al (2006) menemukan bahwa fistulising di antara 1595 pasien

penyakit Crohn (CD) adalah 22,1% . Setelah penyebab iatrogenik, fistula spontan

telah dilaporkan 23% -48% sebagai akibat dari kondisi penyakit seperti CD dan

penyakit divertikulitis. Angka kematian yang ditimbulkan oleh dfistula

enterokutan ini bervariasi antara 6,5-39%. Kondisi pasien dan jenis operasi

menentukan prognosis pasien. Pada operasi usus besar dan operasi dubur,

kejadian fistula sebesar 3-12% (Valle et al., 2016). Sedangkan menurut (Dumas et
al 2017) 90% pasien dengan fistula mengalami masalah berkaitan dengan

eksoriasi kulit, dehidrasi, hingga sepsis. Selain itu angka kematian yang

ditimbulkan oleh fistula berisar antara 5-20% tergantung pada beberapa aktor

termasuk infeksi yang mendasari dan lokasi fistula. Mortalitas meningkat sebesar

16 kali lipat pada kasus sepsis dan 22 kali lipat jika pengaturan infeksi tidak

terkontrol. Mortalitas juga meningkat 26% pada pasien fistula dengan output

cairan, elektrolit, dan nutrisi rendah (Dumas, Moore and Sims, 2017).

Enterocutaneous fistula (ECF) dapat terjadi karena gangguan pada saluran

pencernaan baik karena operasi atau penyakit, atau keduanya. Ini paling sering

terlihat dalam pengaturan pasca operasi dan dikaitkan dengan morbiditas dan

mortalitas yang signifikan. Kesulitan yang dihadapi dalam manajemen mereka

terkait dengan sepsis, malnutrisi, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan

gangguan metabolisme akibatnya. Oleh karena itu, pronosis pada pasien dengan

ECF tergantung pada kontrol sepsis, dukungan nutrisi yang memadai,

pemeliharaan keseimbangan cairan-elektrolit, dan perlindungan kulit (Kumar et

al, 2011).

ECF terjadi sebagai akibat dari serangkaian faktor: kesalahan operasi adalah

penyebab paling umum. Faktor-faktor lain termasuk keganasan, penyakit radang

usus, terapi pasca radiasi untuk keganasan,obstruksi distal; iatrogenik atau cedera

usus spontan, infeksi intra-abdominal yang rumit seperti tuberkulosis, amoebiasis,

dan tipus, atau penyakit divertikular, sehingga menimbulkan beberapa masalah

keperawatan antara lain: hipertermi yang dikarenakan fistula enterokutan

menyebakan pembentukan ulkus pada membran usus, sehingga menimbulkan


reaksi inflamasi, yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh (Dumas et al,

2017).

ECF memberikan dampak secara fisiologis dan psikologis pada pasien,

manajemen perawatan kesehatan pada penderita membutuhkan tim ahli gizi multi-

disiplin, perawat perawatan luka dan ahli bedah untuk memastikan hasil yang

baik. Pentingnya pusat perawatan dengan keahlian tinggi tidak boleh di bawah

perkiraan dan telah terbukti secara signifikan menurunkan angka kematian dari

42% menjadi 20% (Dumas et al, 2017).

Kelompok mengangkat kasus EFC di ruang

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana konsep fistula enterocutan dan asuhan keperawatannya?

1.3 Tujuan Penulisan

Menjelaskan tentang konsep dari Fistula Enterocutan dan Asuhan

Keperawatan pada pasien yang mengalami Fistula Enterocutan.


BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI

Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua

organ dalam atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula

enterokutaneous adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara

organ gastrointestinal dan kulit. Fistel berarti adanya hubungan abnormal antara

ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Jadi Fistel enterokutaneus adalah

celah atau saluran abnormal antara usus dengan kulit abdomen. Berdasarkan atas

hubungan dengan dunia luar, maka fistel dibagi menjadi 2 bagian yaitu fistel

external dan fistel internal. Fistel eksternal dimaksudkan pada fistel yang

salurannya menghubungkan antara organ dalam tubuh dengan dunia luar,

contohnya fistel enterokutaneus, fistel umbilikalis. Sedangkan fistel internal

adalah fistel yng menghubungkan dua bagian tubuh yang kedua-duanya masih

berada dalam tubuh, contohnya fistel vesicorectal, fistel rektovaginal, fistel

vesikokolik (Brunner & Suddarth, 2002).


Gambar 1. Fistula enterokutaneous

2.2 KLASIFIKASI

Fistula enterokutaneous dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria

anatomi, fisiologi yaitu sebagai berikut:

1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu

fistula internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang

menghubungkan antara dua viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula

yang menghubungkan antara viscera dengan kulit.

2. Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 3 yaitu

high-output, moderate-output dan low output.

Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan pengeluaran cairan

intestinal ke dunia luar, dimana cairan tersebut banyak mengandung elektrolit,

mineral dan protein sehingga dapat menyebabkan komplikasi fisiologis yaitu

terjadi ketidak-seimbangan elektrolit dan dapat menyebabkan malnutrisi pada

pasien.
Fistula dengan high-output apabila pengeluaran cairan intestinal

sebanyak >500ml perhari, moderate-output sebanyak 200-500 ml per hari dan

low-output sebanyak <200 ml per hari.

2.3 ETIOLOGI

Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2

yaitu fistula yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi postoperasi.

Fistula yang terjadi secara spontan, terjadi sekitar 15-25% dari seluruh

fistula enterokutaneous.Fistula ini dapat disebabkan oleh berbagai hal terutama

pada kanker dan penyakit radang pada usus.Selain itu dapat juga disebabkan oleh

radiasi, penyakit divertikular, appendicitis, dan ulkus perforasi atau iskhemi pada

usus.

Penyebab utama fistula enterokutaneous adalah akibat komplikasi

postoperasi (sekitar 75-85%).Faktor penyebab timbulnya fistula enterokutaneous

akibat postoperasi dapat disebabkan oleh faktor pasien dan faktor tehnik.Faktor
pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia, dan hypothermia.Sedangkan

faktor tehnik yaitu pada tindakan-tindakan preoperasi. Sebelum dilakukan operasi,

harus dievaluasi terlebih dahulu keadaan nutrisi pasien karena kehilangan 10-15%

berat badan, kadar albumin kurang dari 3,0 gr/dL, rendahnya kadar transferin dan

total limposit dapat meningkatkan resiko terjadinya fistula enterokutaneous.

Selain itu, fistula enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya vaskularisasi

pada daerah operasi, hipotensi sistemik, tekanan berlebih pada anastomosis, dan

membuat anastomosis dari usus yang tidak sehat.Untuk mengurangi resiko

timbulnya fistula, keadaan pasien harus normovolemia / tidak anemis agar aliran

oksigen menjadi lebih optimal.Selain itu pada saat operasi harus diberikan

antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi dan abses yang dapat

menimbulkan fistula.

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah demam, leukositosis,

prolonged ileus, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan infeksi pada luka.

Diagnosis menjadi jelas bila didapatkan drainase material usus pada luka di

abdomen. Penyempitan lumen usus tadi mempengaruhi kemampuan usus untuk

mentranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen terkonstriksi dan

akhirnya mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Karena peristaltic usus

dirangsang oleh makana, maka nyeri biasanya timbul setelah makan. Untuk

menghindari nyeri ini, maka sebagian pasien cenderung untuk membatasi

masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan

nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya penurunan berat badan, malnutrisi, dan

anemia sekunder (Brunner & Suddarth, 2002).


Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan ditempat

terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan

ke kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis.

Kekurangan nutria juga bisa terjadi karena gangguan pada absorbs. Akibanya

adalah individu menjadi kurus karena masukan makanan tidak adekuat dan cairan

hilang secara terusmenerus. Pada beberapa pasien, usus yang terinflamasi dapat

mengalami demam dan leukositosis (Brunner & Suddarth, 2002).

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada kasus Fistula yaitu sebagai berikut:

a. Test methylen blue

Test ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan fistula

enterokutaneous dan kebocoran segmen usus. Tehnik ini kurang mampu untuk

mengetahui fungsi anatomi dan jarang digunakan pada praktek.

b. USG

USG dapat digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya abses dan

penimbunan cairan pada saluran fistula

c. Fistulogram

Tehnik ini menggunakan water soluble kontras.Kontras disuntikkan

melalui pembukaan eksternal, kemudian melakukan foto x-ray. Dengan

menggunakan tehnik pemeriksaan ini, dapat diketahui berbagai hal yaitu : Sumber

fistula, jalur fistula, ada-tidaknya kontinuitas usus, ada-tidaknya obstruksi di

bagian distal, keadaan usus yang berdekatan dengan fistula (striktur, inflamasi)

dan ada-tidaknya abses yang berhubungan dengan fistula.


d. Barium enema

Pemeriksaan ini menggunakan kontras, untuk mengevaluasi lambung, usus

halus, dan kolon. Tujuannya untuk mengetahui penyebab timbulnya fistula seperti

penyakit divertikula, penyakit Crohn's, dan neoplasma

e. CT scan

2.6 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan,

yaitu stabilization, investigation, decision making, definitive therapy, dan healing.

1. Stabilization

Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu: identification, resuscitation, control of

sepsis, nutritional support, control of fistula drainage

a. Identification

Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan

fistula enterokutaneous. Pada minggu pertama postoperasi, pasien

menunjukkan tanda-tanda demam dan prolonged ileus serta terbentuk

erythema pada luka. Luka akan terbuka dan terdapat drainase cairan purulen

yang terdiri dari cairan usus. Pasien dapat mengalami malnutrisi yang

disebabkan karena sedikit atau tidak diberikan nutrisi dalam waktu lama.

Pasien dapat menjadi dehidrasi, anemis, dan kadar albumin yang rendah.

b. Resuscitation

Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi.Pada

tahap ini, pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume

sirkulasi. Transfusi sel darah merah dapat meningkatkan kapasitas


pengangkutan oksigen dan pemberian infuse albumin dapat mengembalikan

tekanan onkotik plasma.

c. Control of sepsis

Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap timbulnya sepsis

dengan pemberian obat antibiotik.

d. Nutritional support

Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula enterokutaneous

merupakan komponen kunci penatalaksanaan pada fase stabilization.Fistula

enterokutaneous dapat menimbulkan malnutrisi pada pasien karena intake

nutrisi kurang, hiperkatabolisme akibat sepsis dan banyaknya komponen usus

kaya protein yang keluar melalui fistula. Pasien dengan fistula

enterokutaneous membutuhkan kalori total sebanyak 25-32kcal/kg perhari

dengan rasio kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1, protein minimal 1,5g/kg

perhari. Jalur pemberian nutrisi ini dilakukan melalui parenteral.Selain itu,

perlu diberikan elektrolit dan vitamin seperti vitamin C, vitamin B12, zinc,

asam folat.

e. Control of fistula drainage

Terdapat berbagai tehnik yang digunakan untuk managemen drainase

fistula yaitu simple gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction

catheter.Selain itu, untuk mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat

cairan fistula, dapat diberikan karaya powder, stomahesive atau

glyserin.Beberapa penulis melaporkan keberhasilan menggunakan Vacuum

Assisted Closure (VAC) system untuk penatalaksanaan fistula

enterokutaneous.Obat-obatan (Somatostatin, Octreotide dan H2 Antagonis)


dapat juga diberikan untuk menghambat sekresi asam lambung, sekresi

kelenjar pankreas, usus, dan traktus biliaris.

2. Investigation

Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu:

a. Test methylen blue

b. USG

c. Fistulogram

d. Barium enema

e. CT scan

3. Decision

Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan dalam 4-6 minggu

pada pasien dengan pemberian nutrisi adekuat dan terbebas dari sepsis.Penutupan

spontan dapat terjadi pada sekitar 30% kasus.Fistula yang terdapat pada lambung,

ileum, dan ligamentum of Treiz memiliki kemampuan yang rendah untuk

menutup secara spontan.Hal ini berlaku juga pada fistula dengan keadaan terdapat

abses besar, traktus fistula yang pendek, striktur usus, diskontinuitas usus, dan

obstruksi distal. Pada kasus-kasus tersebut, apabila fistula tidak menutup (output

tidak berkurang) setelah 4 minggu, maka dapat direncanakan untuk melakukan

operasi reseksi. Pada rencana melakukan tidakan operasi, ahli bedah harus

mempertimbangkan untuk menjaga keseimbangan nutrisi dengan memberikan

nutrisi secara adekuat, kemungkinan terjadinya penutupan spontan dan tehnik-

tehnik operasi yang akan digunakan.


4. Definitive therapy

Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan fistula

enterokutaneous yang tidak dapat menutup secara spontan adalah tindakan yang

tepat.Sebelumnya, pasien harus dalam kondisi nutrisi yang optimal dan terbebas

dari sepsis.

Pada saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi baru.Insisi secara

transversal pada abdomen di daerah yang terbebas dari perlekatan.Tujuan

tindakan operasi selanjutnya adalah membebaskan usus sampai

rektumdariligamentum Treiz.Kemudian melakukan eksplorasi pada usus untuk

menemukan seluruh abses dan sumber obstruksi untuk mencegah kegagalan

dalam melakukan anastomosis.

Pada saat isolasi segmen usus yang mengandung fistula, reseksi pada

segmen tersebut merupakan tindakan yang tepat.Pada kasus-kasus yang berat,

dapat digunakan tehnik exteriorization, bypass, Roux-en-Y drainase, dan serosal

patches.Namun tindakan- tindakan tersebut tidak menjamin hasil yang

optimal.Berbagai kreasi seperti two-layer, interrupted, end-to-end anastomosis

menggunakan segmen usus yang sehat dapat meningkatkan kemungikan

anastomosis yang aman.

5. Healing

Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi harus

terus dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan penutupan

dinding abdomen. Tahap penyembuhan (terutama pada kasus postoperasi) ini

membutuhkan keseimbangan nitrogen, pemberian kalori dan protein yang adekuat

untuk meningkatkan proses penyembuhan dan penutupan luka.


2.7 KOMPLIKASI

Edmund et al mengidentifikasi trias klasik untuk komplikasi yang dapat

ditimbulkan oleh fistula enterokutaneous, yaitu sepsis, malnutrisi, serta

berkurangnya elektrolit dan cairan tubuh. Fistula dapat menimbulkan abses local,

infeksi jaringan, peritonitis hingga sepsis. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat

meningkatkan pengeluaran isi usus yang kaya akan protein dan cairan tubuh serta

elektrolit sehingga dapat menimbulkan malnutrisi dan berkurangnya kadar

elektrolit dan cairan tubuh. Pemberian nutrisi parenteral (TPN) sangat diperlukan,

karena TPN dapat meningkatkan penutupan fistula secara spontan. Pada pasien

yang membutuhkan penutupan fistula dengan operasi, TPN dapat meningkatkan

status nutrisi sehingga dapat mempertahankan kontinuitas usus dengan cara

meningkatkan proses penyembuhan luka dan meningkatkan system imun.

2.8 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian Keperawatan

1. Identitas

Status sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan pasien. Pada pasien dengan EFC

memerukan perawatan yang lebih komprehensif, misalnya pada manajemen

nutrisi yang harus berkolaborasi dengan ahli gizi untuk maintenance kebutuhan

nutrisi klien, perawaatan luka yang dilakukan oleh perawat dan ahli bedah guna

menguraangi risiko infeksi pada permukaan luka post laparotomi pada klien

(Dumas et al, 2017).


Pasien dengan EFC banyak terjadi pada orang dewasa yang memiliki

riwayat gangguan pencernaan terutama pada post operasi (Kumar, 2011).

2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan utama

Pasien biasanya mengeluh demam, rasa tidak nyaman pada perut, dan

melaporkan infeksi pada luka. Selain hal tersebut pasien juga mengeluhkan

adanya penurunan berat badan, malnutrisi, dan kelemahan (Brunner & Suddarth,

2002).

b. Riwayat Penyakit Sekarang

c. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada riwayat penyakit keluarga

Riwayat kesehatan diambil untuk mengidentifikasi awitan, durasi dan

karakteristik nyeri abdomen, adanya diare atau dorongan fekal, mual, anoreksia

atau penurunan berat badan dan riwayat keluarga tentang penyakit usus inflamasi.

Pengkajian pola eliminasi usus mencakup karakter, frekuensi dan adanya darah,

pus, lemak, atau mucus. Alergi penting untuk dokumnetasi, khususnya intoleransi

usus atau lactose. Pasien menunjukkan gangguan pola tidur bila diare atau nyeri

terjadi padamalam hari.

Pengkajian objektif mencakup auskultasi abdomen terhadap bising usus dan

karakteristiknya, palpasi abdomen terhadap distensi, nyeri tekan, atau nyeri dan

inspeksi kulit terhadap bukti adanya saluran fistula atau gejala dehidrasi. Feses di

inspeksi terhadap adanya darah dan mucus. Gejala paling utama adalah nyeri

intermitten yang terjadi pada diare tetapi tidak hilang setelah defekasi. Nyeri pada
daerah periumbilikal biasanya menunjukkan keterlibatan ileum terminalis

(Brunner & Suddarth, 2002).

3. PENGKAJIAN PER SISTEM B1-B6

a. B1 (Breath)

Sesak napas, terdapat pernapasan cuping hidung, adanya retraksi dada

b. B2 ( Blood)

CRT <2 detik,

c. B3 (Brain)

Nyeri pada luka stoma, nyeri tekan, nyeri pada daerah periumbilikal

biasanya menunjukkan keterlibatan ileum terminalis, hipertermi bila terjadi

infeksi

d. B4 (Bladder)

e. B5 (Bowel)

Penurunan nafsu makan, penurunan bising usus, diare, mual, muntah,

penurunan berat badan, malnutrisi, terdapat kebocoran pus, darah atau feses

dari lubang kutaneus,

f. B6 (Bone)

Intoleransi terhadap aktivitas, kelemahan, rentang gerak terbatas

II. Diagnosis Keperawatan

1. Defisit nutrisi b.d asupan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan

d.d bising usus hiperaktif, BB menurun minimal 10% dibawah rentang

ideal, diare, membran mukosa pucat (D.0019)

2. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif d.d nadi meningkat, nadi teraba

lemah, turgorkulit menurun, hematorit meningkat (D.0023)


3. Hipertermia b.d reaksi inflamasi akibat pembentukan ulkus pada usus d.d

suhu tubuh diatas normal, kulit terasa hangat, takikardia, takipnea

(D.0130)

4. Nyeri akut b.d abses pada luka operasi d.d tampak meringis,gelisah,

frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola nafas berubah

(D.0071)

5. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik d.d tidak mampu mandi,

mengenakan pakaian, makan secara mandiri (D.0109)

6. Resiko infeksi d.d efek prosedur infasif dan malnutrisi (D.0142)


III. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Diagnosa Keperawatan
1. Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan intervensi 1. Kolaborasi untuk pemberian 1. Mencegah mual dan muntah
asupan makanan keperawatan selama 3 x 8 jam, antiemetik sebelum makan pada saat makan
yang tidak sesuai status nutrisi membaik dengan 2. Lakukan oral hygiene 2. Agar mulut dan membran
dengan kebutuhan kriteria hasil : sebelum makan mukosa bersih dan lembab
d.d bising usus Status nutrisi (L.03030) 3. Sajikan makanan saat masih 3. Meningkatkan nafsu makan
hiperaktif, BB 1. Porsi makan yang dalam keadaan hangat pasien dan mencegah mual
menurun minimal dihabiskan meningkat (1 4. Kolaborasi dengan ahli gizi saat makan
10% dibawah porsi) untuk menentukan diet yang 4. Menentukan diet yang tepat
rentang ideal, 2. Nafsu makan membaik tepat sesuai dengan kondisi pasien
diare, membran 3. Mukosa mulut lembab dan 5. Monitor asupan makanan 5. Mengetahui asupan makanan
mukosa pucat bersih dan albumin pasien pasien dan kadar albumin
(D.0019) 4. Peristaltik usus normal (5 - pasien
30x/m)
5. Albumin normal (3,4 – 5,0
g/dL)

2. Hipovolemia b.d Setelah dilakukan intervensi 1. Hitung kebutuhan cairan. 1. Pengeluaran cairan berlebihan
kehilangan cairan keperawatan selama 3 x 8 jam, dapat menyebabkan hipovolemia
aktif d.d nadi status cairan membaik dengan 2. Berikan asupan cairan oral. 2.Menghindari hipovolemia
meningkat, nadi kriteria hasil: 3. Anjurkan memperbanyak 3. Mencegah hipovolemia
teraba lemah, Status cairan (L.03028) asupan cairan oral.
turgorkulit 1. Turgor kulit yang membaik 4. Kolaborasi pemberian 4. Membantu rehidrasi
menurun, 2. Output urine meningkat cairan IV isotonis (mis. RL,
hematorit 3. Frekuensi nadi normal (60 – NaCl).
No. Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Diagnosa Keperawatan
meningkat 100x/m) 5. Kolaborasi dalam 5. Menghindari syok hipovolemia
(D.0023) 4. Tekanan darah normal (120/80 pemberian produk darah.
mmHg) 6. Periksa tanda dan gejala 6. Perubahan tanda vital dan hasil
5. Kadar Hb membaik hipovolemia (mis. pemeriksaan laboratorium
6. Intake cairan membaik Frekuensi nadi meningkat, mengindikasikan terjadinya
nadi teraba lemah, tekanan hipovolemia
darah menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membran
mukosa kering, volume urin
menurun, hematokrit
meningkat, haus, lemah).
7. Monitor intake dan output 7.Ketidakseimbangan antara
cairan. intake dan output cairan dapat
menyebabkan hipvolemia
3. Hipertermia b.d Setelah dilakukan intervensi 1. Lakukan pendinginan 1. Membantu menurunkan suhu
reaksi inflamasi keperawatan selama 3 x 8 jam, eksternal (kompres dingin tubuh pasien
akibat termoregulasi membaik dengan pada dahi dan aksila)
pembentukan kriteria hasil : 2. Berikan cairan oral 2. Mencegah kehilangan cairan
ulkus pada usus Termoregulasi (L.14134) pada pasien
d.d suhu tubuh 1. Tidak ada menggigil 3. Kolaborasi untuk pemberian 3. Mencegah kehilangan cairan
diatas normal, kulit 2. Kulit tidak kemerahan cairan intravena akibat panas tubuh
terasa hangat, 3. Suhu kulit tidak panas 4. Longgarkan pakaian pasien 4. Meningkatkan pelepasan
takikardia, 4. Suhu tubuh normal (36- panas tubuh pasien
takipnea (D.0130) 37,50C) 5. Monitor suhu tubuh 5. Mengetahui suhu tubuh
pasien
No. Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Diagnosa Keperawatan
4. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan intervensi 1. Kolaborasi untuk pemberian 1. Mengurangi nyeri yang
abses pada luka keperawatan selama 3 x 8 jam, obat analgesik dirasakan
operasi d.d tampak tingkat nyeri menurun dengan 2. Monitor efektifitas 2. Mengetahui respon dari obat
meringis,gelisah, kriteria hasil : pemberian analgesik yang diberikan
frekuensi nadi Tingkat nyeri (L.08066) 3. Berikan teknik 3. Mengurangi nyeri yang
meningkat, 1. Keluhan nyeri tidak ada nonfarmakologi untuk dirasakan
tekanan darah 2. Tidak ada ekspresi wajah mengurangi nyeri
meningkat, pola meringis 4. Identifikasi respon nyeri non 4. Mengetahui respon non verbal
nafas berubah 3. Tidak ada gelisah verbal pasien terhadap nyeri yang
(D.0071) 4. Tidak ada keluhan sulit 5. Ajarkan teknik dirasakan
tidur nonfarmakologi untuk 5. Membantu pasien dalam
5. Frekuensi nadi normal (60 mengurangi nyeri menurunkan nyeri yang
– 100x/m) 6. Monitor tanda-tanda vital dirasakan
6. Tekanan darah normal 6. Mengetahui tanda-tanda vital
(120/80 mmHg) pasien
7. Skala nyeri 0

5. Defisit perawatan Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor tingkat 1.Mengetahui tingkat


diri b.d kelemahan keperawatan selama 3 x 8 jam, kemandirian kemandirian pasien dalam
fisik d.d tidak perawatan diri meningkat dengan melakukan perawatan diri
mampu mandi, kriteria hasil: 2. Fasilitasi kemandirian, 2. Membantu dalam melakukan
mengenakan Perawatan diri (L.1103) bantu jika tidak mampu perawatan diri
pakaian, makan 1. Mempertahankan kebersihan melakukan perawatan diri
secara mandiri diri meningkat 3. Anjurkan melakukan 3. Melatih kemandirian pasien
(D.0109) 2. Mampu melakukan perawatan perawatan diri secara
diri secara mandiri konsisten sesuai
No. Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Diagnosa Keperawatan
kemampuan
4. Fasilitasi kemandirian, 4. Melatih kemandirian pasien
bantu jika tidak mampu dalam melakukanperaatan diri
melakukan perawatan diri
6. Risiko infeksi d.d Setelah dilakukan intervensi 1. Jelaskan tanda dan gejala 1. Mengetahui tanda dan gejala
efek prosedur keperawatan selama 3 x 8 jam, infeksi infeksi
infasif dan tingkat infeksi menurun dengan 2. Ajarkan cara mencuci 2. Mencegah infeksi
malnutrisi kriteria hasil: tangan dengan benar
(D.0142) Tingkat infeksi (L.14137) 3. Ajarkan cara memeriksa 3. Mencegah infeksi
1. Demam menurun (36,5 oC- luka operasi
37,5 oC) 4. Anjurkan meningkatkan 4. Nutrisi tidak adekuat dapat
2. Kemerahan menurun asupan nutrisi meningkatkan terjadinya infeksi
3. Nyeri berkurang (skala 0-3) 5. Batasi jumlah pengunjung 5. Mencegah penularan penyakit
4. Kadar leukosit normal (4500- 6. Berikan perawatan kulit 6. Mencegah terjadinya infeksi
10.000 sel/mm) pada area edema
7. Cuci tangan sebelum dan 7. Mencegah berkembangnya
sesudah kontak dengan kuman dan infeksi nosokomial
pasien dan lingkungan
pasien
8. Pertahankan teknik aseptik 8. Mencegah berkembangnya
pada pasien berisiko tinggi kuman dan infeksi nosokomial
9. Monitor tanda dan gejala 9. Mengetahui lebih awal jenis
infeksi lokal dan sistemik infeksi
BAB 3

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA Tn. M DENGAN


DIAGNOSIS MEDIS FISTULA ENTEROKUTAN DAN MALNUTRISI DI RUANG
BEDAH BUGENVILE RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Tanggal MRS : 07 April 2019

Jam MRS : 00.45 WIB

Tanggal Pengkajian : 09 April 2019

Jam Pengkajian : 08.00 WIB

No. Register Medik : 12.74.58.xx

Hari Rawat Ke :2

Diagnosa Masuk : Fistula Enterokutan + malnutrisi

IDENTITAS

1. Nama Pasien : Tn. M.


2. Umur : 37 tahun
3. Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : Strata 1
6. Pekerjaan : Guru Swasta
7. Alamat : Kediri
8. Sumber Biaya : BPJS

KELUHAN UTAMA

Keluhan utama : Demam, Suhu : 39,2 0C

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Riwayat penyakit sekarang:Perut pasien membesar dan sesak ± 3 hari yang lalu, perut terasa
kembung dan mual bila makan, riwayat operasi tutup stoma 3 bulan yang lalu. Pasien dirujuk
dari RS Bojonegoro dengan diagnosa fistula enterokutan. Selama di UGD RSDS, pasien
merasakan nyeri pada luka operasi, sulit BAB, mual dan muntah setiap kali makan dan berat
badan yang menurun sejak sakit.
Pada saat pengkajian pasien masih merasakan badannya demam dan nyeri dengan P : luka
post operasi, Q : nyeri dirasakan sepeti teriris, R : pada perut, S : skala nyeri 5 dan T : nyeri
terasa hilang timbul, nyeri bertambah saat bergerak. Luka operasi terlihat kemerahan dan
terpasang kantong stoma, dari luka operasi keluar cairan berwarna kehujauan dan berbau,
mual saat makan dan nafsu makan yang menurun, suhu 39,2.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

1. Pernah dirawat : Pasien pernah dirawat di RS Bojonegoro sejak tanggal 21 Maret 2019
dengan diagnosa fistula enterokutan.
2. Riwayat penyakit kronik dan menular : Tidak ada
Riwayat kontrol : Tidak ada
Riwayat penggunaan obat : Cefotaxime, metronidazole, dulcolax.
3. Riwayat alergi : Tidak ada
4. Riwayat operasi : Riwayat operasi tutup stoma bulan Januari 2019
5. Lain-lain : Tidak ada

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

 Tidak ada riwayat penyakit keturunan dalam keluarga


 Jenis : Tidak ada
 Genogram : -

PERILAKU YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN Masalah Keperawatan :


Tidak ada
Perilaku sebelum sakit yang mempengaruhi kesehatan :

 Alkohol : Tidak ada


 Merokok : Tidak ada
 Obat : Tidak ada
 Olahraga : Tidak ada

OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK

1. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 95 x/m
Pernapasan : 20 x/m
Suhu : 39,20C
Kesadaran : Compos mentis

2. Sistim Pernapasan
a. RR : 20 x/m Masalah Keperawatan :
b. Keluhan : Tidak ada keluhan sesak maupun nyeri Tidak ada
Batuk : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
c. Penggunaan otot bantu nafas : Tidak ada
d. PCH : Tidak ada
e. Irama napas : Teratur
f. Pola napas : Tidak ada dispneu
g. Suara nafas : Vesikuler
h. Alat bantu nafas : Tidak ada
i. Penggunaan WSD : Tidak ada
j. Tracheostomy : Tidak ada
k. Lain-lain : Tidak ada

3. Sistim Kardiovaskuler
a. Tekanan darah : 120/70 mmHg Masalah Keperawatan :
b. Nadi : 95 x/m Tidak ada
c. HR : 95 x/m
d. Keluhan nyeri dada : Tidak ada
e. Irama jantung : Reguler
f. Suara jantung : Normal (S1/S2 tunggal)
g. CRT : < 2 detik
h. Akral : Hangat kering merah
i. Sirkulasi perifer : normal
j. JVP : Tidak ada peninngkatan tekanan vena jugularis
k. CVP : Tidak dilakukan
l. ECG dan interpretasi : Sinus tachycardia
m. Lain-lain : Tidak ada

4. Sistim Persyarafan
a. S : 39,20C
Masalah Keperawatan :
b. GCS : 15 (E : 4, V : 5, M : 6)
Hipertermia (D.0130)
c. Refleks fisiologis : refleks patela
d. Reflleks patologis : Tidak ada
e. Keluhan pusing : Tidak ada
f. Pemeriksaan saraf kranial :
N1 : Fungsi penciuman normal
N2 : Penglihatan tidak terganggu
N3 : Refleks pupil normal
N4 : Gerakan mata normal
N5 : Menguyah baik
N6 : Deviasi mata ke lateral normal
N7 : Gerakan wajah normal
N8 : Pendengaran baik
N9 : Bisa membedakan rasa
N10 : Tidak ada muntah, refleks menelan baik
N11 : Dapat menggerakan bahu dengan baik
N12 : Dapat menggerakan lidah
g. Pupil : isokor
h. Sclera : anikterus
i. Konjungtiva : anemis
j. Istirahat/tidur : 6 – 7 jam/hari dan merasa sulit tidur karena nyeri
k. Lain-lain : Tidak ada

5. Sistim Perkemihan
a. Kebersihan genetalia : Bersih Masalah Keperawatan :
b. Sekret : Tidak ada
Tidak ada
c. Ulkus : Tidak ada
d. Kebersihan meatus uretra : Bersih
e. Keluhan kencing : Tidak ada
f. Kemampuan berkemih : Menggunakan alat bantu folley chateter ukuran 18 hari ke 2.
g. Produksi urine : 2400 ml/hari
h. Kandung kemih : Tidak membesar
i. Nyeri tekan : Tidak ada nyeri tekan
j. Intake cairan : oral : 700 ml/hari, parenteral : 2000 ml/hari
k. Balance cairan : Intake = Output (2.700 ml/ hari = 2.400 ml/ hari)
l. Lain-lain : Tidak ada

6. Sistim Pencernaan
a. TB : 165 cm Masalah Keperawatan :
b. BB : 45 kg Defisit nutrisi (D.0019)
2
c. IMT : 16,53 kg/m Nyeri akut (D.0077)
Interpretasi : Berat badan kurang Resiko infeksi (D.0142)
d. LILA : 19 cm
e. Mulut : Keadaan mulut pasien terlihat agak kotor
f. Membran mukosa : Kering
g. Tenggorokan : Tidak ada kesulitan menelan
h. Abdomen : Tegang
i. Nyeri tekan : ada nyeri tekan pada perut
P : luka post operasi, Q : nyeri dirasakan sepeti teriris, R : pada perut, S : skala nyeri 5
dan T : nyeri terasa hilang timbul, nyeri bertambah saat bergerak.
j. Luka operasi : ada luka operasi
Tanggal operasi : Januari 2019
Jenis operasi : Tutup stoma
Lokasi : Perut sampai perut bawah
Keadaan : Luka kelihatan kemerahan, keluar cairan berwarna kehijauan, ukuran
luka P x l = 20 cm x 3 cm
Drain :Tidak ada tetapi terdapat kantong stoma dengan isi cairan berwarna
kehijauan
k. Peristaltik : 10 x/m
l. BAB : Konsistensi lunak
Konsistensi : 1 x/hari, terakhir tanggal 09 April 2019
m. Diet : Makanan TKTP lunak
n. Diet khusus : Tidak ada
o. Nafsu makan : Menurun
p. Porsi makan : Pasien hanya menghabiskan ½ porsi makanan yang disediakan
q. Lain-lain : Tidak ada

7. Sistim penglihatan
a. Pengkajian segmen anterior dan posterior
OD OS
Tidak diukur Visus Tidak diukur
Simetris Palpebra Simetris
Anemis Konjungtiva Anemis
Normal Kornea Normal
Tidak diukur BMD Tidak diukur
Isokor Pupil Isokor
Normal Iris Normal
Normal Lensa Normal
Tidak diukur TIO Tidak diukur

b. Keluhan nyeri : Tidak ada Masalah Keperawatan :


c. Luka operasi : Tidak ada Tidak ada
d. Pemeriksaan penunjang lain : Tidak ada
e. Lain-lain : Tidak ada

8. Sistim Pendengaran
a. Pengkajian segmen anterior dan posterior
OD OS
Normal Aurcicila Normal
Normal MAE Normal
Normal Membran Thympani Normal
Tidak diukur Rinne Tidak diukur
Tidak diukur Webber Tidak diukur
Tidak diukur swabach Tidak diukur

b. Tes audiometri : Tidak ada Masalah Keperawatan :


c. Keluhan nyeri : Tidak ada Tidak ada
d. Luka operasi : Tidak ada
e. Alat bantu dengar : Tidak menggunakan alat bantu dengar
f. Lain-lain : Tidak ada

9. Sistim muskuloskeletal
a. Pergerakan sendi : bebas
Masalah Keperawatan :
b. Kekuatan otot :
5 Tidak ada
5

5 5

c. Kelainan ekstermitas : Tidak ada


d. Kelainan tulang belakang : Tidak ada
Frankel : Tidak ada
e. Fraktur : Tidak ada
f. Traksi : Tidak ada pemasangan traksi
g. Penggunaan spalk/gips : Tidak ada pemasangan spalk/gips
h. Keluhan nyeri : Tidak ada
i. Sirkulasi perifer : Normal
j. Kompartemen sindrome : Tidak ada
k. Kulit : Kemerahan pada daerah luka
l. Turgor : Baik
m. Luka operasi : Tidak ada
n. ROM : Rentang gerak terbatas karena luka post op dan nyeri
o. POD : Tidak dikaji
p. Cardinal sign : Tidak dikaji
q. Lain-lain : Tidak ada

10. Sistim Integumen


a. Penilaian resiko dekubitus
ASPEK YANG KRITERIA PENILAIAN
NILAI
DINILAI 1 2 3 4

Persepsi Terbatas Sangat Keterbatasan Tidak ada 4


Sensori sepenuhnya terbatas ringan gangguan
Terus menerus Kadang- 3
Kelembaban Sangat lembab Jarang basah
basah kadang basah
Kadang- Lebih sering 1
Aktivitas Bedfast Chairfast
kadang jalan jalan
Immobile Sangat Keterbatasan Tiidak ada 1
Mobilisasi
sepenuhnya terbatas ringan keterbatasan
Kemungkinan 2
Nutrisi Sangat buruk Adekuat Sangat baik
tidak adekuat
Tidak
Gesekan dan Potensial 2
Bermasalah menimbulkan
pergeseran bermasalah
masalah
NOTE : Pasien dengan nilai total  16 dapat dikatakan bahwa pasien 13
beresiko mengalami dekubiitus (pressure ulcers). (Moderate
Total Nilai
(15 or 16 = low risk, 13 or 14 = moderate risk, 12 or less = high risk risk)
b. Warna : Sawo matang
Masalah Keperawatan :
c. Pitting edema : Tidak ada
Tidak ada
d. Ekskoriasis : Tidak ada
e. Psoriasis : Tidak ada
f. Pruritus : Tidak ada
g. Urtikaria : Tidak ada
h. Lain-lain : Tidak ada

11. Sistim Endokrin


a. Pembesaran thyroid : Tidak ada Masalah Keperawatan :
b. Pembesaran kelenjar getah bening : Tidak ada Tidak ada
c. Hipoglikemia : Tidak ada
d. Hipergglikemia : Tidak ada
e. Kondisi kaki DM : Tidak ada
f. ABI : Tidak dikaji
g. Lain-lain : Tidak ada

PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
a. Persepsi pasien terhadap penyakitnya : Pasien merasa khawatir Masalah Keperawatan :
dengan penyakit yang Tidak ada
dideritanya
b. Ekspresi klien terhadap penyakitnya : Murung dan diam
c. Reaksi saat interaksi : Kurang kooperatif
d. Gangguan konsep diri : Tidak ada
e. Lain-lain : Tidak ada

PERSONAL HYGIENE DAN KEBIASAAN Masalah Keperawatan :


a. Kebersihan diri : Selama sakit, kebersihan diri pasien Defisit perrawatan diri
dilakukan dengan dibantu oleh istri (D.0109)
pasien. Mandi dengan diseka, ganti
pakaian dibantu istri, dan pasien menggunaan
pempers
b. Kemampuan pasien dalam pemenuhan kebutuhan dasar :
 Mandi : Dibantu seluruhnya
 Keramas : Tidak dilakukan
 Sikat gigi : Dibantu seluruhnya
 Memotong kuku : Tidak dilakukan
 Berhias : Dibantu seluruhnya
 Makan : Dibantu seluruhnya

PENGKAJIAN SPIRITUAL
a. Kebiasaan beribadah : Masalah Keperawatan :
Tidak ada
 Sebelum sakit : sering
 Setelah sakit : tidak pernah
b. Bantuan yang diperlukan pasien untuk memenuhi kebutuhan beribadah : Kebutuhan untuk
beribadah pasien, disediakan oleh istri pasien, memotivasi untuk berdoa

TERAPI
Tanggal : 09 April 2019
1. IVFD Tutofusin 2000 ml/24 jam 24 tpm
2. Metoclopramide inj. 3 x 10 mg IV
3. Ranitidine inj. 2 x 50 mg IV
4. Levofloxacine 1 x 750 mg Drip IV 48 tpm
5. Metamizole sodium inj. 3 x 1000 mg IV

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 07 April 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
1. Leukosit 5,53 x 103/L L 3,8 – 10,6 x 103/L
2. Hb 8,7 g/dL L 13,2 – 17,3 g/dL
3. Trombosit 294 x 103/L 150 – 400 x 103/L
4. Eritrosit 2,98 x 106/L 3,69 – 5,46 x 106/L
5. Albumin 3,2 g/dL 3,4 – 5,0 g/dL
6. BUN 14,0 mg/dL 7 – 18 mg/dL
7. Kreatinin 0,42 mg/dL 0,6 – 1,3 mmg/dL

2. Pemeriksaan EKG tanggal 09 April 2019


Hasil : Sinus Tachycardia

DATA TAMBAHAN LAIN


Tidak ada data tambahan

Surabaya, 09 April 2019

Kelompok 14
ANALISA DATA

Tanggal Data Etiologi Masalah

09 April DS : Fistula enterokutan Hipertermia


2019  Keluarga dan pasien ↓ (D.0130)
mengatakan tubuh pasien Pembentuukan ulkus
terasa panas. pada membran usus

DO : Reaksi inflamasi
 Suhu : 39,20C ↓
 Tubuh pasien terasa panas Peningkatan suhu tubuh
 Kulit pasien terlihat

kemerahan
 Leukosit 5,53 Hipertermia

09 April DS : Fistula enterokutan Nyeri akut (D.0077)


2019  Pasien mengatakan ↓
merasakan nyeri pada luka Keluarnya cairan dari
post operasi usus melalui kulit
P : Luka post operasi ↓
Q : Nyeri dirasakan seperti Abses pada luka operasi
teriris ↓
R : Pada perut Merangsang saraf pada
S : Skala nyeri 5 kulit
T : Nyeri terasa hilang ↓
timbul, nyeri bertambah Nyeri pada luka
saat bergerak operasi
DO :

 Wajah pasien tampak


meringis
 Pasien terlihat gelisah
 Frekuensi nadi : 88 x/m
 TD : 120/70 mmHg
 RR : 20 x/m
09 April DS : Fistula enterokutan Defisit nutrisi
2019  Keluarga pasien mengatakan ↓ (D.0019)
berat badan pasien menurun Penebalan pada usus
sejak sakit ↓
 Keluarga pasien mengatakan Terjadi fibrotic usus
nafsu makan pasien menurun

Lumen usus menyempit

DO :
Nyeri pada abdomen
 Nafsu makan pasien menurun
Tanggal Data Etiologi Masalah

 Mukosa mulut terlihat kering ↓


dan pucat Kecenderuman untuk
 Pasien hanya menghabiskan membatasi asupan
½ porsi makanan yang makanan
diberikan

 Mual bila makan
Kebutuhan nutrisi tidak
 Peristaltik usus 10 x/m
 IMT : 16,53 kg/m2 terpenuhi
 Albumin : 2,5 g/dL ↓
 Hb : 8,7 d/dL Defisit nutrisi
09 April DS : Fistula enterokutan Defisit perawatan
2019  Keluarga pasien mengatakan ↓ diri (D.0109)
selalu membantu pasien Penurunan BB dan
dalam perawatan diri (mandi, malnutrisi
ganti pakaian, makan, ↓
kebersihan mulut)
Anemia

DO : Kelemahan fisik

 Pasien tidak mampu untuk Defisit perawatan diri
mandi, ganti pakaian, makan,
kebersihan mulut dengan
mandiri
 Pasien terlihat lemah
 Pasien hanya berbaring di
tempat tidur
DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

Tanggal : 09 April 2019


1. Hipertermia b.d reaksi inflamasi akibat pembentukan ulkus pada usus d.d suhu tubuh

diatas normal, kulit terasa hangat, takikardia, takipnea (D.0130)

2. Nyeri akut b.d agen cidera fisiologis (infeksi pada luka operasi) d.d tampak

meringis,gelisah, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola nafas

berubah (D.0071)

3. Defisit nutrisi b.d asupan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan d.d bising

usus hiperaktif, BB menurun minimal 10% dibawah rentang ideal, diare, membran

mukosa pucat (D.0019)

4. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik d.d tidak mampu mandi, mengenakan

pakaian, makan secara mandiri (D.0109)


RENCANA INTERVENSI

Hari
Waktu Diagnosa Keperawatan Intervensi Rasional
Tanggal

Selasa 08.00 1. Hipertermia b.d reaksi inflamasi akibatManajemen Hipertermia (I.15506) 1. Membantu menurunkan suhu
pembentukan ulkus pada usus d.d suhu Observasi tubuh pasien
09 April tubuh diatas normal, kulit terasa 1. Monitor suhu tubuh
2019 hangat, takikardia, takipnea (D.0130) Terapeutik 2. Mencegah kehilangan cairan pada
2. Lakukan pendinginan eksternal pasien
Setelah dilakukan intervensi (kompres dingin pada dahi dan 3. Mencegah kehilangan cairan
keperawatan selama 3 x 8 jam, aksila) akibat panas tubuh
termoregulasi membaik dengan 3. Berikan cairan oral 4. Meningkatkan pelepasan panas
kriteria hasil : 4. Longgarkan pakian pasien tubuh pasien
Edukasi 5. Mengetahui suhu tubuh pasien
Termoregulasi (L.14134)
5. Anjurkan tirah baring
 Tidak ada menggigil
Kolaborasi
 Kulit tidak kemerahan 6. Kolaborasi untuk pemberian cairan
 Suhu kulit tidak panas intravena
 Suhu tubuh normal (36 -37,50C)

Selasa 08.00 2.Nyeri akut b.d abses pada luka operasi


Manajemen Nyeri (I.08238) 1. Mengurangi nyeri yang dirasakan
d.d tampak meringis,gelisah, frekuensi
Observasi
09 April nadi meningkat, tekanan darah 1. Monitor tanda-tanda vital 2. Mengetahui respon dari obat yang
2019 meningkat, pola nafas berubah 2. Identifikasi respon nyeri non diberikan
(D.0071) verbal 3. Mengurangi nyeri yang dirasakan
3. Monitor efektifitas pemberian
Setelah dilakukan intervensi analgesik 4. Mengetahui respon non verbal
keperawatan selama 3 x 8 jam, Terapeutik pasien terhadap nyeri yang
Hari
Waktu Diagnosa Keperawatan Intervensi Rasional
Tanggal

tingkat nyeri menurun dengan kriteria 4. Berikan teknik nonfarmakologi dirasakan


hasil : untuk mengurangi nyeri 5. Membantu pasien dalam
Edukasi menurunkan nyeri yang dirasakan
Tingkat nyeri (L.08066) 6. Mengetahui tanda-tanda vital
5. Ajarkan teknik nonfarmakologi pasien
 Keluhan nyeri tidak ada untuk mengurangi nyeri
 Tidak ada ekspresi wajah meringis Kolaborasi
 Tidak ada gelisah 6. Kolaborasi untuk pemberian obat
 Tidak ada keluhan sulit tidur analgesik
 Frekuensi nadi normal (60 –
100x/m)
 Tekanan darah normal (120/80
mmHg)
 Skala nyeri 0

Selasa 08.00 3. Defisit nutrisi b.d asupan makanan Manajemen Nutrisi (I.03119) 1. Mencegah mual dan muntah pada
yang tidak sesuai dengan kebutuhan Observasi saat makan
09 April d.d bising usus hiperaktif, BB 1. Monitor asupan makanan dan 2. Agar mulut dan membran mukosa
2019 menurun minimal 10% dibawah albumin pasien bersih dan lembab
rentang ideal, diare, membran Terapeutik 3. Meningkatkan nafsu makan pasien
mukosa pucat (D.0019) 2. Lakukan oral hygiene sebelum dan mencegah mual saat makan
makan 4. Menentukan diet yang tepat sesuai
Setelah dilakukan intervensi 3. Sajikan makanan saat masih dalam dengan kondisi pasien
keperawatan selama 3 x 8 jam, status keadaan hangat 5. Mengetahui asupan makanan
nutrisi membaik dengan kriteria hasil: Edukasi pasien dan kadar albumin pasien
4. Ajarkan diet yang diprogramkan
Status nutrisi (L.03030)
Kolaborasi
 Porsi makan yang dihabiskan 5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
Hari
Waktu Diagnosa Keperawatan Intervensi Rasional
Tanggal

meningkat (1 porsi) menentukan diet yang tepat


 Nafsu makan membaik 6. Kolaborasi untuk pemberian
 Mukosa mulut lembab dan bersih antiemetik sebelum makan
 Peristaltik usus normal (5 -30x/m)
 Albumin normal (3,4 – 5,0 g/dL)
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

Selasa 1 08.00 1. Melakukan monitoring suhu tubuh Kelompok 13.00 S: Kelompok


R/ didapatkan hasil pengukuran
09 April 2019 14  Keluarga pasien mengatakan 14
suhu pasien : 39,2 0C
tubuh pasien masih terasa panas
08.05 2. Melakukan pendinginan eksternal O:
dengan kompres dingin pada dahi
Shift Pagi  Kulit masih kemerahan
dan aksila
R/ pasien merasa lebih nyaman,  Tubuh pasien masih terasa panas
suhu tubuh masih panas  Suhu : 39,2 0C
08.06 3. Melonggarkan pakaian pasien
A : Masalah hipertermia belum
R/ pasien merasa lebih nyaman
08.20 teratasi
4. Melakukan observasi suhu
R/ didapatkan hasil pengukuran P : Lanjutkan intervensi :
suhu pasien : 39,2 0C
1. Lakukan pendinginan
08.25 5. Memberikan Paracetamol tablet 500 eksternal (kompres dingin
mg pada dahi dan aksila)
08.30 6. Memberikan cairan parenteral 2. Berikan cairan oral
- IVFD Tutofusin 500 ml 3. Kolaborasi untuk pemberian
- Levofloxacine 750 mg cairan intravena
7. Memberikan cairan oral 4. Longgarkan pakian pasien
08.35 5. Monitor suhu tubuh
R/ pasien minum 11/2 gelas dengan
perlahan-lahan
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

09.00 8. Melakukan observasi suhu


R/ didapatkan hasil pengukuran
suhu pasien : 39,00C
12.00 9. Melakukan observasi suhu
R/ didapatkan hasil pengukuran
suhu pasien : 39,2 0C

Selasa 1 16.50 1. Melakukan pendinginan eksternal Kelompok 21.00 S: Kelompok


dengan kompres dingin pada dahi
09 April 2019 dan aksila 14  Keluarga pasien mengatakan 14
R/ pasien merasa lebih nyaman, tubuh pasien masih terasa panas
suhu tubuh masih panas
Shift Siang O:
2. Memberikan cairan oral
16.55 R/ pasien minum 11/2 gelas dengan  Kulit masih kemerahan
perlahan-lahan  Tubuh pasien masih terasa panas
 Suhu : 39,40C
17.55 3. Memberikan cairan RL 200 ml guyur
dilanjutkan dengan tutofusin 2000
ml/24 jam 28 tpm A : Masalah hipertermia belum
R/ cairan masuk melalui IVFD dan teratasi
tidak ada reaksi alergi
P : Lanjutkan intervensi :
18.00
4. Melonggarkan pakaian pasien
R/ pasien merasa lebih nyaman 1. Lakukan pendinginan
eksternal (kompres dingin
19.30 5. Memonitor suhu tubuh pada dahi dan aksila)
2. Berikan cairan oral
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

R/ Suhu : 39,40C 3. Kolaborasi untuk pemberian


cairan intravena
4. Longgarkan pakian pasien
5. Monitor suhu tubuh

Selasa 2 08.02 1. Melakukan validasi status nyeri. S: Kelompok


R/ nyeri skala 5, hilang timbul
09 April 2019 bertambah saat bergerak, rasanya  Pasien mengatakan masih terasa 14
seperti diiris di area perut nyeri pada luka operasi
08.02 2. Melakukan identifikasi nyeri non
Shift Pagi verbal.
O:
R/ wajah nampak meringis
kesakitan.  Pasien masih terlihat meringis
08.30 3. Melakukan observasi tanda-tanda  Pasien masih gelisah
vital.  Pasien masih merasakan sulit
R/ TD: 120/70 mmHg N: 95 x/m tidur karena nyeri yang dirasakan
RR: 20 x/m S: 39,2 0C
 Frekuensi nadi : 88 x/m
08.35 4. Membimbing pasien untuk
 Skala nyeri : 5
melakukan teknik relaksasi napas
dalam.
R/ pasien mengikuti A : Masalah nyeri akut belum
09.00 5. Memberikan injeksi Metamizole teratasi
sodium inj. 1000 mg per IV
R/ tidak ada tanda-tanda alergi P : Lanjutkan intervensi :
09.15 6. Memonitoring efektifitas injeksi
Metamizole 1. Kolaborasi untuk pemberian
R/ pasien mengatakan nyeri obat analgesik
berkurang. 2. Monitor efektifitas
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

12.00 7. Mereassesment nyeri. pemberian analgesik


R/ skala nyeri 4, hilang timbul 3. Berikan teknik
bertambah saat bergerak, rasanya nonfarmakologi untuk
seperti diiris di area perut mengurangi nyeri
4. Identifikasi respon nyeri non
verbal
6. Monitor tanda-tanda vital

Selasa 2 16.00 1. Memberikan obat metamizole Kelompok 21.00 S: Kelompok


sodium 1000 mg IV
09 April 2019 R/ Obat masuk melalui IV dan tidak 14  Pasien mengatakan masih terasa 14
ada reaksi alergi nyeri pada luka operasi
2. Memonitor efektifitas pemberian
Shift siang 16.15 analgesik
O:
R/ Pasien mengatakan nyerinya
sedikit berkurang  Pasien masih terlihat meringis
3. Memberikan teknik nonfarmakologi  Pasien masih gelisah
16.20 untuk mengurangi nyeri (napas  Pasien masih merasakan sulit
dalam) tidur karena nyeri yang dirasakan
R/ Pasien dapat melakukan teknik
 Frekuensi nadi : 88 x/m
napas dalam dengan baik
 Skala nyeri : 5
4. Mengidentifikasi respon nyeri non
16.25 verbal
A : Masalah nyeri akut belum
R/ Pasien masih terlihat meringis
16.35 teratasi
5. Mengajarkan teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri P : Lanjutkan intervensi :
R/ Pasien dapat memahami dan
melakukan kembali teknik napas 5. Kolaborasi untuk pemberian
dalam dengan benar obat analgesik
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

16.45 6. Monitor tanda-tanda vital 6. Monitor efektifitas


R/ Tekanan darah : 120/80 mmHg pemberian analgesik
Nadi : 88 x/m 7. Berikan teknik
Pernapasan : 20 x/m nonfarmakologi untuk
Suhu : 39,40C mengurangi nyeri
8. Identifikasi respon nyeri non
verbal
6. Monitor tanda-tanda vital

Selasa 3 08.10 1. Membantu keluarga pasien Kelompok 13.30 S: Kelompok


melakukan oral hygiene
09 April 2019 14  Keluarga pasien mengatakan 14
R/ Keluarga dan pasien kooperatif,
nafsu makan pasien belum
mulut pasien terlihat bersih dan
membaik, dan masih mual
lembab
Shift Pagi 09.00 2. Melakukan injeksi Ranitidine inj. 50
O:
mg per IV, Metoclopramide inj. 10
mg per IV  Nafsu makan pasien masih
R/ tidak ada tanda-tanda alergi menurun
 Mukosa mulut terlihat lembab
11.30 3. Menyajikan makanan saat masih dan pucat
dalam keadaan hangat  Pasien hanya menghabiskan ½
R/ Pasien dapat makan dengan baik porsi makanan yang diberikan
tanpa rasa mual  Mual berkurang
 Peristaltik usus : 12 x/m
11.30 4. Memberikan pasien makanan sesuai  Albumin 2,5 g/dL
dengan diet  Hb 8,7 g/dL
R/ Diet TKTP lunak
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

12.00 5. Memonitor asupan makanan dan A : Masalah defisit nutrisi belum


kadar albumin pasien teratasi
R/ Pasien hanya makan ½ porsi
makanan yang diberikan P : Lanjutkan intervensi :
Albumin : 2,5 g/dL
1. Kolaborasi untuk pemberian
antiemetik sebelum makan
2. Lakukan oral hygiene
sebelum makan
3. Sajikan makanan saat masih
dalam keadaan hangat
5. Monitor asupan makanan
dan albumin pasien

Selasa 3 17.10 5. Memberikan obat metoclopramide Kelompok 21.00 S: Kelompok


10 mg IV
09 April 2019 R/ Obat masuk melalui IV dan tidak 14  Keluarga pasien mengatakan 14
ada reaksi alergi nafsu makan pasien belum
17.45 membaik
6. Melakakukan oral hygiene sebelum
Shift siang makan
R/ Mulut pasien terlihat bersih dan
O:
lembab
7. Menyajikan makanan saat masih  Nafsu makan pasien masih
18.00 dalam keadaan hangat menuun
R/ Pasien dapat makan dengan baik  Mukosa mulut terlihat lembab
tanpa rasa mual dan pucat
18.05 4. Memberikan pasien makanan sesuai  Pasien hanya menghabiskan ½
dengan diet
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

R/ Diet TKTP lunak porsi makanan yang diberikan


18.30 5. Memonitor asupan makanan dan  Mual berkurang
kadar albumin pasien  Peristaltik usus : 12 x/m
R/ Pasien hanya makan ½ porsi  Albumin 2,5 g/dL
makanan yang diberikan
Albumin : 2,5 g/dL
A : Masalah defisit nutrisi belum
teratasi
P : Lanjutkan intervensi :
4. Kolaborasi untuk pemberian
antiemetik sebelum makan
5. Lakukan oral hygiene
sebelum makan
6. Sajikan makanan saat masih
dalam keadaan hangat
5. Monitor asupan makanan
dan albumin pasien
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

Rabu 1 15.00 1. Melakukan monitoring suhu tubuh Kelompok 20.30 S: Kelompok


R/ didapatkan hasil pengukuran
10 April 2019 14  Keluarga pasien mengatakan 14
suhu pasien : 39,50C
tubuh pasien masih terasa panas
15.05 2. Melakukan pendinginan eksternal
dengan kompres dingin pada dahi
Shift Siang O:
dan aksila
R/ pasien merasa lebih nyaman,  Kulit masih kemerahan
suhu tubuh masih panas  Tubuh pasien masih terasa panas
15.05 3. Melonggarkan pakaian pasien  Suhu : 38,9 0C
R/ pasien merasa lebih nyaman
4. Melakukan observasi suhu
15.30 A : Masalah hipertermia belum
R/ didapatkan hasil pengukuran
teratasi
suhu pasien : 39,60C
16.00 5. Memberikan Paracetamol infussion P : Lanjutkan intervensi :
1 g/100 ml
1. Lakukan pendinginan
6. Melakukan observasi suhu
16.30 eksternal (kompres dingin
R/ didapatkan hasil pengukuran
pada dahi dan aksila)
suhu pasien : 39,20C 2. Berikan cairan oral
7. Melakukan observasi suhu 3. Kolaborasi untuk pemberian
19.30
R/ didapatkan hasil pengukuran cairan intravena
suhu pasien : 38,9 0C 5. Monitor suhu tubuh
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

Rabu 1 21.45 1. Melakukan pendinginan eksternal Kelompok 11 S: Kelompok


dengan kompres dingin pada dahi April
10 April 2019 dan aksila 14 2019  Keluarga pasien mengatakan 14
R/ pasien merasa lebih nyaman, tubuh pasien masih terasa panas
suhu tubuh masih panas
Shift malam 07.00 O:
2. Memberikan cairan oral
21.55 R/ pasien minum 1 gelas dengan  Kulit masih kemerahan
perlahan-lahan  Tubuh pasien masih terasa panas
 Suhu : 39,20C
22.30 3. Melanjutkan pemberian cairan
tutofusin 2000 ml/24 jam 28 tpm
R/ cairan masuk melalui IVFD dan A : Masalah hipertermia belum
tidak ada reaksi alergi teratasi

4. Melonggarkan pakaian pasien


22.35
R/ pasien merasa lebih nyaman
P : Lanjutkan intervensi :
11
April 5. Memonitor suhu tubuh 1. Lakukan pendinginan eksternal
2019 R/ Suhu : 39,20C (kompres dingin pada dahi dan
aksila)
05.00 2. Berikan cairan oral
3. Kolaborasi untuk pemberian
cairan intravena
4. Monitor suhu tubuh
Rabu 2 14.30 1. Melakukan validasi status nyeri. Kelompok 20.30 S:
R/ nyeri skala 5, hilang timbul
10 April 2019 bertambah saat bergerak, rasanya 14  Pasien mengatakan masih terasa
nyeri pada luka operasi
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

seperti diiris di area perut


2. Melakukan identifikasi nyeri non
Shift Siang verbal. O:
14.30 R/ wajah nampak meringis
 Pasien masih terlihat meringis
kesakitan.
3. Melakukan observasi tanda-tanda  Pasien masih gelisah
vital.  Pasien masih merasakan sulit
15.00 R/ TD: 120/70 mmHg N: 98 x/m tidur karena nyeri yang dirasakan
RR: 20 x/m S: 39,2 0C  Frekuensi nadi : 88 x/m
4. Membimbing pasien untuk  Skala nyeri : 4
melakukan teknik relaksasi napas
15.02 dalam.
A : Masalah nyeri akut belum
R/ pasien mengikuti
teratasi
5. Memberikan injeksi Metamizole
sodium inj. 1000 mg per IV P : Lanjutkan intervensi :
16.00 R/ tidak ada tanda-tanda alergi
6. Memonitoring efektifitas injeksi 1. Kolaborasi untuk pemberian
Metamizole obat analgesik
16.15 R/ pasien mengatakan nyeri 2. Monitor efektifitas
berkurang. pemberian analgesik
7. Mereassesment nyeri. 3. Berikan teknik
R/ skala nyeri 4, hilang timbul nonfarmakologi untuk
20.00 bertambah saat bergerak, rasanya mengurangi nyeri
seperti diiris di area perut 4. Identifikasi respon nyeri non
verbal
6. Monitor tanda-tanda vital
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

Rabu 2 23.30 1. Memberikan obat metamizole Kelompok 11 S: Kelompok


sodium 1000 mg IV April
10 April 2019 R/ Obat masuk melalui IV dan tidak 14 2019  Pasien mengatakan masih terasa 14
ada reaksi alergi nyeri pada luka operasi

Shift malam 23.15 2. Memonitor efektifitas pemberian


07.00 O:
analgesik
R/ Pasien mengatakan nyerinya  Pasien masih terlihat meringis
sedikit berkurang  Pasien masih gelisah
 Pasien masih merasakan sulit
21.30 3. Memberikan teknik nonfarmakologi tidur karena nyeri yang dirasakan
untuk mengurangi nyeri (napas
 Frekuensi nadi : 88 x/m
dalam)
 Skala nyeri : 4
R/ Pasien dapat melakukan teknik
napas dalam dengan baik
21.45 A : Masalah nyeri akut belum
4. Mengidentifikasi respon nyeri non teratasi
verbal
R/ Pasien masih terlihat meringis
P : Lanjutkan intervensi :
11 6. Monitor tanda-tanda vital
1. Kolaborasi untuk pemberian
April R/ Tekanan darah : 120/80 mmHg obat analgesik
2019 Nadi : 88 x/m 2. Monitor efektifitas
Pernapasan : 18 x/m pemberian analgesik
05.00 Suhu : 39,20C 3. Berikan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

4. Identifikasi respon nyeri non


verbal
5. Monitor tanda-tanda vital

Rabu 3 16.00 1. Melakukan injeksi Ranitidine inj. Kelompok 20.30 S:


50 mg per IV, Metoclopramide
10 April 2019 14  Keluarga pasien mengatakan
inj. 10 mg per IV
nafsu makan pasien belum
Shift Siang 17.15 2. Menganjurkan pasien untuk membaik
menghabiskan porsi makannya.
R/ pasien menghabiskan ½ porsi
makanan dari rumah sakit O:

 Nafsu makan pasien masih


menurun
 Mukosa mulut terlihat lembab
dan pucat
 Pasien hanya menghabiskan ½
porsi makanan yang diberikan
 Tidak ada rasa mual
 Peristaltik usus : 12 x/m
 Albumin 2,5 g/dL

A : Masalah defisit nutrisi belum


teratasi
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

P : Lanjutkan intervensi :
1. Kolaborasi untuk pemberian
antiemetik sebelum makan
2. Lakukan oral hygiene
sebelum makan
3. Sajikan makanan saat masih
dalam keadaan hangat
5. Monitor asupan makanan
dan albumin pasien

Rabu 3 24.00 1. Memberikan obat metoclopramide Kelompok 11 S: Kelompok


10 mg IV April
10 April 2019 11 R/ Obat masuk melalui IV dan tidak 14 2019  Keluarga pasien mengatakan 14
ada reaksi alergi nafsu makan pasien belum
April membaik
2019
Shift malam 2. Melakakukan oral hygiene sebelum
07.00
05.30 makan
O:
R/ Mulut pasien terlihat bersih dan
lembab  Nafsu makan pasien masih
06.00 menurun
3. Menyajikan makanan saat masih  Mukosa mulut terlihat lembab
dalam keadaan hangat dan pucat
R/ Pasien dapat makan dengan baik  Pasien hanya menghabiskan ½
tanpa rasa mual porsi makanan yang diberikan
06.15  Tidak ada rasa mual
4. Memonitor asupan makanan dan
 Peristaltik usus : 15 x/m
kadar albumin pasien
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

R/ Pasien hanya makan ½ porsi  Albumin 2,5 g/dL


makanan yang diberikan
Albumin : 2,5 g/dL
A : Masalah defisit nutrisi belum
teratasi

P : Lanjutkan intervensi :
1. Kolaborasi untuk pemberian
antiemetik sebelum makan
2. Lakukan oral hygiene
sebelum makan
3. Sajikan makanan saat masih
dalam keadaan hangat
5. Monitor asupan makanan
dan albumin pasien
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

Kamis 1 16.50 1. Melakukan pendinginan eksternal Kelompok 20.35 S: Kelompok


dengan kompres dingin pada dahi
11 April 2019 dan aksila 14  Keluarga pasien mengatakan 14
R/ pasien merasa lebih nyaman, tubuh pasien masih terasa panas
suhu tubuh masih panas tetapi
Shift siang berkurang
O:
16.55 2. Memberikan cairan oral  Kulit masih kemerahan
R/ pasien minum 2 gelas dengan  Tubuh pasien masih terasa panas
perlahan-lahan  Suhu : 39,70C
3. Melanjutkan pemberian cairan
17.55 tutofusin 2000 ml/24 jam 28 tpm A : Masalah hipertermia belum
R/ cairan masuk melalui IVFD dan teratasi
tidak ada reaksi alergi
P : Lanjutkan intervensi :
19.30
4. Memonitor suhu tubuh
R/ Suhu : 39,70C 1. Lakukan pendinginan
eksternal (kompres dingin
pada dahi dan aksila)
2. Berikan cairan oral
3. Kolaborasi untuk pemberian
cairan intravena
5. Monitor suhu tubuh
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

Kamis 1 21.00 1. Melakukan monitoring suhu tubuh 23.45 S:


R/ didapatkan hasil pengukuran
11 April 2019  Keluarga pasien mengatakan
suhu pasien : 40,3 0C
tubuh pasien panasnya tidak
21.10 2. Memberikan cairan parenteral turun-turun
- IVFD Tutofusin 500 ml
Shift Malam
21.15 3. Melakukan kompres dingin di dahi O:

21.30
4. Melakukan observasi ulang suhu  Kulit masih kemerahan
R/ didapatkan hasil 40,3 0C  Tubuh pasien masih terasa panas
21.45 5. Memberikan paracetamol infussion  Suhu : 40,1 0C
1 g/100 ml
22.00
6. Melakukan observasi ulang suhu
A : Masalah hipertermia teratasi
R/ didapatkan hasil 40,1 0C
7. Melakukan pemeriksaan darah, P : Intervensi dihentikan pasien
22.05 meninggal pukul 23.30 WIB
karena pasien dicurigai mengalami
sepsis
R/menunggu hasil
23.05
8. Dilakukan RJP dikarenkan pasien
mengalami arrest
R/ pasien meninggal
23.30 9. Melakukan perawatan jenazah
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

Kamis 2 16.00 1. Memberikan obat metamizole Kelompok 20.45 S: Kelompok


sodium 1000 mg IV
11 April 2019 R/ Obat masuk melalui IV dan tidak 14  Pasien mengatakan masih terasa 14
ada reaksi alergi nyeri pada luka operasi

Shift Siang 16.15 2. Memonitor efektifitas pemberian


O:
analgesik
R/ Pasien mengatakan nyerinya  Pasien masih terlihat agak
sedikit berkurang meringis
 Pasien gelisah
16.20 3. Memberikan teknik nonfarmakologi  Pasien masih merasakan sulit
untuk mengurangi nyeri (napas tidur karena nyeri yang dirasakan
dalam)
 Frekuensi nadi : 90 x/m
R/ Pasien dapat melakukan teknik
 Skala nyeri : 4
napas dalam dengan baik
16.35
4. Mengidentifikasi respon nyeri non A : Masalah nyeri akut belum
verbal teratasi
R/ Pasien masih terlihat agak
meringis
16.45 5. Monitor tanda-tanda vital P : Lanjutkan intervensi :
R/ Tekanan darah : 130/80 mmHg
1. Kolaborasi untuk pemberian
Nadi : 88 x/m
obat analgesik
Pernapasan : 20 x/m
2. Monitor efektifitas
Suhu : 39,70C pemberian analgesik
3. Berikan teknik
nonfarmakologi untuk
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

mengurangi nyeri
4. Identifikasi respon nyeri non
verbal
6. Monitor tanda-tanda vital

Kamis 3 17.10 1. Memberikan obat metoclopramide Kelompok 20.50 S: Kelompok


10 mg IV
11 April 2019 R/ Obat masuk melalui IV dan tidak 14  Keluarga pasien mengatakan 14
ada reaksi alergi nafsu makan pasien belum
membaik
Shift siang 17.45 2. Melakakukan oral hygiene sebelum
makan
O:
R/ Mulut pasien terlihat bersih dan
lembab  Nafsu makan pasien mulai
membaik
18.00 3. Menyajikan makanan saat masih  Mukosa mulut terlihat lembab
dalam keadaan hangat dan pucat
R/ Pasien dapat makan dengan baik  Pasien hanya menghabiskan ¾
tanpa rasa mual porsi makanan yang diberikan
 Tidak ada rasa mual
4. Memonitor asupan makanan dan
18.30  Peristaltik usus : 15 x/m
kadar albumin pasien
R/ Pasien hanya makan ¾ porsi  Albumin 2,5 g/dL
makanan yang diberikan
Albumin : 2,5 g/dL A : Masalah defisit nutrisi belum
teratasi
No
Hari/Tgl/shift Jam Implementasi Paraf Jam Evaluasi Paraf
DK

P : Lanjutkan intervensi :
1. Kolaborasi untuk pemberian
antiemetik sebelum makan
2. Lakukan oral hygiene
sebelum makan
3. Sajikan makanan saat masih
dalam keadaan hangat
5. Monitor asupan makanan
dan albumin pasien
WOC

Komplikasi operasi Trauma atau kecelakaan Kanker, radiasi, penyakit Infeksi atau

↓ ↓ radang usus kondisi iskemik

Enterotomi yang luka pada usus


Tidak disengaja

Cedera pada usus

Fistula Enterokutan

↓ ↓ ↓

Penebalan pada usus Pembentukan ulkus pada Post operasi repair

Membran usus

Fibrotik pada usus ↓ ↓ keluarnya cairan dari

↓ Rembesan pengiritasi Reaksi inflamasi usus melalui kulit

Lumen usus yang ulkus ke kolon ↓ ↓

Menyempit ↓ Demam Abses pada luka operasi

↓ Diare ↓
B3
Transport produk ↓
MK : Hipertermi
B2
makanan pada usus
MK :
↓ ↓ ↓ ↓
Hipovolemi
Nyeri abdomen Nyeri pada Demam B3
↓ tempat abses ↓ Resiko
MK :
Resiko
Infeksi
Kecenderuman untuk ↓ eksi
B3
Membatasi asupan makanan B3 Hiperter
MK :
↓ Hipertermi
MK : Nyeri
Kebutuhan nutrisi tidak Penurunan BB dan akut
terpenuhi malnutrisi

↓ ↓

B5 Anemia

MK : Defisit nutrisi ↓

Kelemahan fisik


B6

MK : Defisit
perawatan diri
BAB 4

PEMBAHASAN

Pengkajian dilaksanakan pada hari selasa, tanggal 09 April 2019 pukul 08.00 hari

rawat ke-2. Pasien dengan identitas Tn. M MRS 07 April 2019 dengan usia 37 tahun,

beralamatkan kediri jawa timur, pendidikan terakhir adalah strata satu, perkerjaan guru

swasta, dengan diagnosa masuk: Fistula Enterokutan + malnutrisi. Pasien pernah dilakukan

laparotomi dan beberapa tindakan pembedahan sebanyak empat kali dan pada januari 2019

dilakukan penutupan stoma di RS Bojonegoro. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Teixeria

(2009) melaporkan kejadian 1,5% ECF yang dikembangkan setelah laparotomi. Beberapa

tahun sebelumnya, Tsuei et al. (2004) menemukan bahwa kejadian fistula sebagai komplikasi

prosedur laparotomi (dilakukan karena berbagai alasan seperti sepsis gastrointestinal,

pankreatitis atau trauma) untuk 71 pasien adalah 16,9%. Insiden pembentukan fistula spontan

akibat penyakit radang usus juga belum diteliti secara memadai (Falconi, 2001).

Keluhan utama pasien adalah demam, dengan suhu : 39,20C dengan riwayat penyakit

sekarang, perut pasien membesar dan sesak ± 3 hari yang lalu, perut terasa kembung dan mual

bila makan, riwayat operasi tutup stoma 3 bulan yang lalu. Pasien dirujuk dari RS Bojonegoro

dengan diagnosa fistula enterokutan. Selama di UGD RSDS, pasien merasakan nyeri pada

luka operasi, sulit BAB, mual dan muntah setiap kali makan dan berat badan yang menurun

sejak sakit.Pada saat pengkajian pasien masih merasakan badannya demam dan nyeri dengan

P : luka post operasi, Q : nyeri dirasakan sepeti teriris, R : pada perut, S : skala nyeri 5 dan T :

nyeri terasa hilang timbul, nyeri bertambah saat bergerak. Luka operasi terlihat kemerahan

dan terpasang kantong stoma, dari luka operasi keluar cairan berwarna kehujauan dan berbau,

mual saat makan dan nafsu makan yang menurun, suhu 39,2. Tanda-tanda vital pasien :

tekanan darah : 120/70 mmHg, nadi : 95x/m, pernapasan : 20 x/m, suhu : 39,20C dengan
kesadaran : Compos mentis. Hal tersebut sesuai dengan gejala awal dari fistula

enterokutaneous adalah demam, leukositosis, prolonged ileus, rasa tidak nyaman pada

abdomen, dan infeksi pada luka. Diagnosis menjadi jelas bila didapatkan drainase material

usus pada luka di abdomen. Penyempitan lumen usus tadi mempengaruhi kemampuan usus

untuk mentranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen terkonstriksi dan akhirnya

mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Karena peristaltic usus dirangsang oleh makana,

maka nyeri biasanya timbul setelah makan. Untuk menghindari nyeri ini, maka sebagian

pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan

sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya penurunan berat badan,

malnutrisi, dan anemia sekunder (Brunner & Suddarth, 2002).

Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan ditempat terjadinya

inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus

yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan nutrisi juga bisa terjadi

karena gangguan pada absorbs. Akibanya adalah individu menjadi kurus karena masukan

makanan tidak adekuat dan cairan hilang secara terusmenerus. Pada beberapa pasien, usus

yang terinflamasi dapat mengalami demam dan leukositosis (Brunner & Suddarth, 2002).

Setelah dilakukan pengkajian, muncul beberapa diagnosa keperawatan dengan

penegakan diagnosa berdsarkan sumber SDKI (2017), yaitu Hipertermia dengan data subjektif

: Keluarga dan pasien mengatakan tubuh pasien terasa panas. Data objektif : Suhu : 39,70C,

Tubuh pasien terasa panas, Kulit pasien terlihat kemerahan. Menurut () Hipertermi yang

dikarenakan Fistula enterokutan menyebakan pembentukan ulkus pada membran usus,

sehingga menimbulkan reaksi inflamasi, yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh,

sehingga pasien mengalami masalah keperawatan Hipertermia. Diagnosa keperawatan kedua

adalah nyeri akut dengan data subjektif : Pasien mengatakan merasakan nyeri pada luka post

operasi P : Luka post operasi, Q : Nyeri dirasakan seperti teriris, R : Pada perut, S : Skala
nyeri 5, T : Nyeri terasa hilang timbul, nyeri bertambah saat bergerak. Data objektif : Wajah

pasien tampak meringis, pasien terlihat gelisah, frekuensi nadi : 88 x/m. Menurut Brunner ()

pada pasien dengan fistula enterokutan, pada luka stoma keluar cairan dari usus melalui kulit,

kemudian menyebabkan abses pada luka operasi, sehingga merangsang saraf pada kulit, dan

menyebabkan pasien mengalami nyeri pada luka operasi.

Masalah keperawatan yang ketiga adalah defisit nutrisi dengan data subjektif : Keluarga

pasien mengatakan berat badan pasien menurun sejak sakit, keluarga pasien mengatakan

nafsu makan pasien menurun. Data objektif : Nafsu makan pasien menurun, Mukosa mulut

terlihat kering dan pucat, pasien hanya menghabiskan ½ porsi makanan yang diberikan, Mual

bila makan, Peristaltik usus 10 x/m, IMT : 16,53 kg/m2, Albumin : 2,5 g/dL. Masalah defisit

nutrisi disebabkan karena pada pasien fistula enterokutan mengalami penebalan pada usus

akibatnya terjadi fibrotic usus sehingga lumen usus menyempit dan mengakibatkan nyeri pada

abdomen, sehingga klien bersikap kecenderungan untuk membatasi asupan makanan,

sehingga kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi. Sesuai dengan penelitian Kumar (2011)

Enterocutaneous fistula (ECF) dapat terjadi karena gangguan pada saluran pencernaan baik

karena operasi atau penyakit, atau keduanya. Ini paling sering terlihat dalam pengaturan pasca

operasi dan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Kesulitan yang

dihadapi dalam manajemen mereka terkait dengan sepsis, malnutrisi, ketidakseimbangan

cairan dan elektrolit, dan gangguan metabolisme akibatnya.

Implementasi yang diberikan kepada pasien =


Dumas, R. P., Moore, S. A. and Sims, C. A. (2017) ‘Clinics in Surgery Enterocutaneous

Fistula : Evidence-based Management’, 2, pp. 1–5.

Lee, S. (2012) ‘Surgical Management of Enterocutaneous Fistula’, 13(Suppl 1), pp. 17–20.

Valle, S. J. et al. (2016) ‘SC’, Surgical Oncology. Elsevier Ltd. doi:

10.1016/j.suronc.2016.05.025.

Anda mungkin juga menyukai