Anda di halaman 1dari 19

LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

Hyronimus Rhiti1
Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Abstract
Satjipto Rahardjo’s Progressive Law (Hukum Progresif) is intended to be an antithesis to
the modern law, but the philosophical foundation of this law is not so clear. This article,
based on literature research, try to find out the philosophical basis for this kind of law. With
research methods and particular approaches, the possibility of philosophical foundation
are exlplored. First, in the basic ideas of Progressive Law such as “law for human, sociology
oriented law, liberation law, etc.” we can see the philosophical direction of this law. Second,
based on certain philosophy, we can say that the metaphysical anthropology, realism,
process philosophy and “postmodernism” are the roots of philosophy of Progressive Law.
Keywords :progressive law, philosophical foundation,postmodernism

Intisari
Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo dimaksudkan sebagai antitesis terhadap
hukum modern. Meskipun demikian, belum jelas landasan filosofis hukum ini. Dengan
metode penelitian dan pendekatan tertentu dicari kemungkinan landasan filosofis bagi
hukum ini. Pertama, berdasarkan ide-ide dasar Hukum Progresif seperti “hukum untuk
manusia”, “orientasi sosiologis” dan “pembebasan”, arah dari filosofis hukum ini dapat
diketahui. Kedua, berdasarkan filsafat tertentu dapat dikatakan, bahwa antropologi
metafisika, realisme, filsafat proses dan postmodernisme merupakan akar filsafat dari
Hukum Progresif.
Kata Kunci : hukum progresif, landasan filosofis, paska modernisme


1
Korespondensi pada hyro@mail.uajy.ac.id.
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

A. Latar Belakang Masalah semacam itu dan juga tidak menyangkal


Hukum Progresif yang dicetuskan kategori a-priori–sebagaimana dimaksud
Satjipto Rahjardjo sebagai antitesis I. Kant8- sebagai sarana dalam pikiran
terhadap hukum modern bermodel (akal budi) untuk memahami Being atau
liberal kapitalistik2 diasumsikan faktisitasa-posteriori-nya hukum. Satjip-
memiliki landasan filsafatnya sendiri. to Rahardjo justru menggunakan ruang
Dari diskursus tentang hukum ini, hal metafisika akal budi semacam itu untuk
itu belum begitu jelas. Apa landasan menciptakan Hukum Progresifnya.
filosofis Hukum Progresif? Pertanyaan
ini muncul juga karena Hukum Progresif B. Rumusan Masalah
yang agak postmodern itu3 bisa dianggap Masalah yang diangkat dalam pene-
ikut mematikan filsafat sebagaimana litian ini adalah: apa akar dan kemung-
dirancang Lyotard dalam The Postmodern kinan filsafat yang dianut Hukum Pro-
Condition-nya.4 Hukum sebagai tatanan gresif? Penelitian tentang ini juga untuk
(order) dalam pikiran Lyotard dan menanggapi “pancingan” dari Shidarta
sebagian di tulisan Derrida5 dapat ketika ia berpendapat antara lain sebagai
“mengambang” bebas tanpa landasan berikut:
filsafat apa pun. “Sayangnya sampai sekarang tidak
Tulisan ini –ringkasan dari makalah banyak kalangan yang berminat
yang panjang6 mengasumsikan Hukum mempersoalkan akar filosofis dari
Progresif menolak ide tentang kematian pemikiran Pak Tjip (panggilan
filsafat (the end of philosophy). Kematian akrab untuk Satjipto Rahardjo-
penulis). Sebagian orang bahkan
filsafat pernah didiskursuskan oleh Hei-
memandang pemikiran Hukum
degger dam Lyotard. Martin Heidegger Progresif tidak lebih daripada
misalnya, menggantikan “transendensi suatu kiat penemuan hukum
metafisika” dengan Being (keberadaan/ (rechtsvinding). Dalam perspektif
faktisitas).7 Hukum Progresif dianggap konfigurasi aliran-aliran filsafat
tidak menolak tuntutan metafisis hukum hukum, Pak Tjip sebenarnya tidak
cukup jelas memposisikan letak

2
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), Hukum Progresif.
pemikirannya.”9
Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, hlm. 9.
Penelitian ini hanya berfokus pada

3
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagad landasan filsafat. Dengan diketahuinya
Ketertiban, UKI Press, Jakarta, hlm. 39-53.

4
Jean-Francois Lyotard, 2009, Kondisi landasan ini akan dapat diketahui pula
Postmodern. Suatu Laporan Mengenai letak pemikiran Satjipto Rahardjo dalam
Pengetahuan, Selasar Publishing, Surabaya,
hlm. 36.

5
Jacques Derrida, 1982, Margins of Philosophy
8
Immanuel Kant, 1887, The Philosophy of Law.
(translated with additional notes by Alan Bass), An Exposition of the Fundamental Principles of
The Harvester, UK, hlm. 3-27. Jurisprudenceas Science of Right, Edinburgh, T

6
Makalah penulis yang disampaikan pada & T Clark, hlm. 63-93.
Seminar S3 UNPAR, Bandung, Maret 2012.
9
Myrna A. Safitri, et al, (ed.), 2011, Satjipto

7
Martin Heidegger, 1973, The End of Philosophy, Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan
The University of Chicago Press, Chicago, hlm. 1 Kritik, Epistema Institute dan Huma, Jakarta,
dan 3. hlm. 51-52.

34
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

konfigurasi aliran-aliran filsafat hukum. maksud (intensi) Satjipto Rahardjo dan


teks Hukum Progresif.13
C. Metode Pendekatan dan Di samping pendekatan, juga
Penelitian digunakan metode penelitian, yaitu
Penelitian filsafat ini menggunakan studi kepustakan. Cara umum yang
pendekatan-pendekatan tertentu. biasa dipakai adalah dengan melakukan
Pertama, pendekatan tematik, yaitu pembacaan terhadap bahan-bahan
perhatian pada tema-tema pemikiran kepustakaan primer (buku-buku karya
dalam Hukum Progresif. Berkaitan Satjipto Raharjdo, para filsuf hukum serta
dengan ini juga digunakan pendekatan para filsuf dari tradisi postmodern dan
historis-filosofis, yaitu menggunakan hermeneutika). Pembacaan itu dilakukan
pikiran para filsuf hukum berkaitan dengan analisa dan kritik teks.14Data
dengan aliran-aliran dalam Filsafat kualitatif hasil pembacaan itu akan
Hukum. Yang ingin diketahui di dianalisa. Analisa dilakukan dengan cara
sini ialah kesinambungan historis10 telaah kritis deskritp terhadap gagasan-
antara pemikiran filsafat sebelumnya gagasan filsafat dan Hukum Progresif.
dengan tema-tema Hukum Progresif.
Kesinambungan historis adalah D. Pembahasan: Gagasan-gagasan
kontinuitas konsep yang ada. Dalam Dasar Hukum Progresif
konteks ini, filsafat dipahami sebagai seni 1. Hukum untuk Manusia
membentuk, menemukan dan marajut Hukum diberi makna sebagai
konsep-konsep.11 “institusi yang bertujuan mengantarkan
Kedua, digunakan juga pendekatan manusia kepada kehidupan yang
kritis, artinya tulisan ini mempertanyakan adil, sejahtera dan membuat manusia
dan sekaligus memberi jawaban yang bahagia”15 Hukum untuk manusia,
mungkin dan memperjelas asumsi- kehidupan yang adil dan sejahtera
asumsi yang terdapat dalam Hukum sebetulnya bukan kata-kata baru.
Progresif. Berkaitan dengan ini, Pernyataan umum ini secara historis
pendekatan tersebut dimaksudkan untuk telah ada sejak zaman Yunani-Romawi
membentuk konsep-konsep filsafat (Abad VI seb. Masehi) atau dalam
Hukum Progresif.12 Pendekatan ketiga Filsafat Timur seperti ajaran Dharma di
yang juga penting adalah hermeneutika. India (1500-500 seb.M) atau juga dalam
Pendekatan hermeneutis ini bertujuan ajaran Fă-Jiā di Tiongkok (280-233 Seb.
untuk “menafsirkan” atau mengetahui M). Sokrates dan Aristoteles juga pernah

10
Anton Baker, et al, 1990, Metodologi Penelitian
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 117.
13
Jean Grondin, 2010, Sejarah Hermeneutik. Dari

11
Gilles Deleuz, et al, 2010, What is Philosophy? Plato Sampai Gadamer, Ar-Ruz Media Group,
Reinterpretasi atas Filsafat, Sains dan Seni, Yogyakarta, hlm. 79.
Jalasutra, Yogyakarta, hlm. 2-4.
14
Getraud Mitterauer, 2009, Was ist Textkritik? Zur

12
Reza Wattimena, (ed.), 2011, Metodologi Geschichte und Relevanz eines Zentralbegriffs,
Penelitian Filsafat, UGM, Kanisius, Unika Widya Niemeyer Verlag, Tübingen, hlm. 3, 16-20.
Mandala, hlm. 22-24.
15
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 3.

35
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

berbicara tentang arete (keutamaan) sosial.20


dalam hukum yang mesti bermuara pada Moralitas dalam Hukum Progresif
kebahagiaan (eudaimonia) manusia.16 tampaknya selain moralitas luar itu,
Hukum mempunyai telos (tujuan) yakni juga moralitas dalam (internal morality
kebahagiaan. Apakah kebahagiaan of law -moralitas aspiratif –istilah Lon
mempunyai telos-nya sendiri? L. Fuller21 plus etika keutamaan (arete)
Meskipun bukan sebuah pernyataan Aristoteles.22 Manusia dalam hal ini
baru, hukum untuk manusia adalah adalah subjek moral yang diharapkan
sebuah bentuk “humanisme yuridis” secara ideal memiliki mutu pribadi dan
Hukum Progresif, yang intinya adalah kebebasan moral yang ditempatkan
penghargaan terhadap manusia secara jauh di atas kesetiaan buta terhadap
radikal, non-utilitarianis dan tidak peraturan hukum (positif). Moralitas ini
mengenal “tumbal bagi sebagian kecil bukan moralitas deontologis versi I. Kant
manusia”. Oleh Satjipto Rahardjo baik ketika ia berbicara mengenai demi
humanisme itu justeru merupakan maupun sesuai dengan kewajiban atau
progresivitas dari Hukum Progresif aturan-aturan.23
itu, yaitu sebagai dasar kemanusiaan.17 Moralitas Kant bersifat dogmatis
Kemanusiaan atau humanisme ini dan agak positivistik: manusia untuk
mungkin ala Cicero atau Renaissance, moral, dan ini tidak sejalan dengan
yaitu pengabdian hukum bagi pandangan Satjipto Rahardjo mengenai
kemanusiaan dalam bentuk keutamaan- hukum untuk manusia. Moralitas
keutamaan.18 Hukum Progresif untuk sementara dapat
Berkaitan dengan manusia, Hukum disebut sebagai “moralitas heuristik
Progresif juga disebut sebagai “hukum positif,” manusia bukan budak moral.
yang pro-rakyat” dan “pro-keadilan” Heuristik adalah sebuah metode ilmiah
(substansial).19“Rakyat” dan “adil” versi Imre Lakatos. Intinya: orang tidak
adalah dua entitas moral sosial politik harus menghindari sesuatu meskipun
yang penting maknanya dalam tatanan diharuskan demikian oleh aturan,
hukum Indonesia. Namun ini adalah melainkan tetap melakukan sesuatu
semacam “moralitas luar (eksternal)” karena hati-nurani memandangnya
yang –menurut pendapat Haryatmoko- sebagai baik.24
berfungsi menghubungkan hukum
dengan ideal kehidupan sosial politik,
kesejahteraan bersama dan keadilan
20
Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan,
Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 191.

21
Lon Fuller, 1964, The Morality of Law, Student

16
Aristoteles, 1978, Nichomachean Ethics, Edition, Fawcett Publications, Inc, New York,
Translated with translasi dariIntroduction hlm. 59.
and Notes by Martin Ostwald, Bobbs-Merill
22
Aristoteles, op.cit, hlm. 8, hlm. 16-20.
Educational Publishing, Indianapolis, hlm. 7, 18.
23
Valentiner T., 1965, Immanuel Kant:

17
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 17. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, Reclam,

18
Thomas Hidya Tjahya, 2004, Humanisme dan Stutgart, hlm. 34.
Skolastisisme, Kanisius, Yogyakarta, hlm, 26-33.
24
Kebung K., 2011, Filsafat Imu Pengetahuan,

19
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 2. Prestasi Pustaka, Jakarta, hlm: 182.

36
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

2. Faktor Perilaku di Atas Peraturan Skema hukum dari perilaku menjadi


Hukum Progresif menempatkan teks membuat hukum menjadi stagnan,
perilaku jauh lebih penting sebagai faktor keras dan kaku (lex dura sed tamen
signifikan dalam ber-hukum daripada scripta). Itu merupakan salah satu sebab,
peraturan-peraturan yang tidak lain mengapa hukum modern mengalami
adalah teks-teks.25 Lebih riil lagi adalah kegagalan serius. Karena itu hukum
teks-teks yang tertulis di atas kertas- mesti dikembalikan secara “progresif ”
kertas. Menurut Satjipto Rahardjo, teks- kepada perilaku.29 Meskipun perilaku
teks hukum itu tidak dapat sepenuhnya berada di atas peraturan-peraturan,
dipercaya sebagai representasi kehidupan tidaklah berarti peraturan hukum positif
hukum yang otentik.26 Yang lebih otentik tidak diperlukan sama sekali. Norma
adalah perilaku, sebuah entitas di mana hukum positif ternyata tetap diperlukan,
hukum itu berada. Dengan perilaku dan Satjipto Rahardjo sama sekali tidak
manusia, hukum menjadi hidup.27 menolak atau menyangkal adanya
Tanpa peristiwa perilaku, hukum hanya hukum positif.
bermakna teks. Dari situ nampaknya Satjipto
Di satu pihak gagasan tersebut selain Rahardjo juga menerima positivisme
logis, juga relevan dengan pemahaman hukum, tetapi bukan dalam arti
tentang hukum untuk manusia. Sebab, sepenuhnya, ketat, tunduk tanpa
perilaku yang dimaksud di dalam ber- reserve, melainkan “positivisme menurut
hukum adalah perilaku manusia pada hati nurani yang mengendalikan
umumnya dalam masyarakat dan lebih perilaku”. Ini bisa saja disebut sebagai
khusus perilaku para penegak hukum. “pembangkangan norma” (contra legem)
Apa dan mengapa dinamakan perilaku oleh para penganut positivisme hukum
serta struktur-strukturnya tidak dibahas yang menuntut kesetiaan perilaku sesuai
dalam Hukum Progresif. Perilaku terkait seperti tertulis dalam teks hukum. Bagi
human order menurut Merleau Ponty Satjipto Rahardjo, hati nurani harus
antara lain terdiri dari kesadaran, refleks, lebih banyak berbicara alih-alih taat
fisik, psikis dan mental serta fenomena sepenuhnya pada hukum positif.
persepsi.28 Tidak mungkin hukum dapat Berkaitan dengan perilaku, maka
memahami perilaku tanpa unsur-unsur dalam menangani suatu perkara
itu. misalnya, atau dalam penegakan hukum,
Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, hakim perlu melakukan penemuan
hukum bukan hanya sekedar teks-teks. hukum dan tidak perlu mutlak menjadi
“corongnya Undang-Undang (UU)”, bila
hati nuraninya berbicara lain daripada

25
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 10.

26
Satjipto Rahardjo, 2009 (II), Hukum dan Perilaku, yang tertulis dalam UU. Dalam hal ini
Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 20.

27
Ibid, hlm. 21.

28
Maurice Merleau-Ponty, 1967, The Structure of
29
Satjipto Rahardjo, 2010 (I), Penegakan Hukum
Behaviour translated by translasi oleh Alden L. Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 13-
Fisher, Beacon Press, Boston, hlm. 160 dst. 21.

37
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

–menurut Hukum Progresif- hakim sebagai aliran-aliran yang sibuk dengan


mesti mengutamakan atau mempunyai pembicaraan tentang hukum sebagai
skala preferensi kepada keadilan dan bangunan aturan-aturan.34 Hukum
kebenaran demi kemanusiaan daripada dalam kedua aliran ini jauh dari realitas
berpegang teguh secara kaku pada sesungguhnya dalam masyarakat yang
kepastian peraturan. Perilaku hakim selalu berubah. Dengan kata lain, hukum
melalui putusannya mesti mendorong positif cenderung mempertahankan
terjadinya perbaikan dan harmoni sosial, status quo dan kurang peduli terhadap
dan ini dikatakannya sebagai salah satu penderitaan masyarakat.
ciri progresif.30 Hukum Progresif lalu dikatakannya
Tampaknya hal itu dipengaruhi sebagai dekat dengan sociological
oleh aliran Interessenjurisprudence jurisprudence Roscoe Pound.35 Kata
(keahlian hukum untuk kepentingan “dekat” yang biasanya menunjuk pada
sosial/masyarakat) dari Rudolf von jarak letak antara sesuatu (yang bisa
Jhering (1818-1892). Awalnya von sama bisa berbeda satu sama lain), dalam
Jhering memusatkan kajiannya analitis tulisan Satjipto Rahardjo bermakna
pada pengertian, logika peraturan dan ambiguitas. Hukum Progresif tidak
teknik hukum, tetapi kemudian beralih disebutkan sebagai kelanjutan historis
ke hukum dalam konteks kepentingan dari sociological jurisprudence, dan juga
sosial.31 Satjipto Rahardjo barangkali tidak identik dengannya. Kata “dekat”
tidak sepaham dengan von Jhering itu mungkin maksudnya adalah “hampir
dalam hal sumber hukum. Bagi von sama”, yaitu dalam hal pandangan hukum
Jhering hukum mengalir dari kekuasaan sebagai social engineering (rekayasa
negara dan negara adalah satu-satunya sosial) dan orientasi pada efek bekerjanya
sumber hukum.32 Bagi Satjipto Rahardjo, hukum dalam masyarakat.
hukum seharusnya mengalir dari hukum Perbedaannya ialah bahwa Hukum
an sich, dan sumber hukum tidak hanya Progresif bukanlah sociological
formal dari negara, melainkan juga dari jurisprudence-nya Pound, namun telah
kebiasaan/masyarakat.33 berdiri di atas basis Pound itu.36 Karena
3. Orientasi Sosiologis sosiologis, maka jelas legal-dogmatisme
Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum dan positivisme logikal
bahwa Hukum Progresif menolak misalnya, ditolak oleh Hukum Progresif
rechtsdogmatiek dan analytical ini. Dengan demikian di satu pihak
jurisprudence. Dua aliran ini disebutnya hukum dikatakan sebagai alat rekayasa
sosial yang ada bersama masyarakat,
30
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh menyesuaikan diri dengan setiap
Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 138-162. perubahan apa pun yang terjadi dalam
31
Theo Huijbers,1982, Filsafat Hukum Dalam
Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 133 34
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 6.
32
Ibid, 35
Ibid, hlm. 7.
33
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra 36
Satjipto Rahardjo, 2010 (II), Sosiologi Hukum,
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 82, hlm. 108-112. Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 93.

38
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

masyarakat, termasuk soal perilaku- bukan manusia yang dipaksa-


perilaku dan perubahannya. Dengan paksa untuk dimasukkan ke
kata lain, hukum terintegrasi secara dalam skema hukum, adalah
inheren dalam tubuh sosial, walaupun sesuatu yang di luar skenario social
engineering”37
tubuh sosial itu bukan semata-mata
hukum. Di lain pihak dengan sendirinya Berdasarkan pendapat itu, dapat
orientasi hukum tidak lagi ke dalam dikatakan, bahwa juga di situlah
seperti pada analitical jurisprudence dan perbedaan dan sekaligus mengenai
rechtsdogmatiek, melainkan berorientasi “dekat”-nya Hukum Progresif
ke luar. Ini berarti hukum berurusan Satjipto Rahardjo dengan sociological
dengan manusia, masyarakat dan jurisprudence dari Pound mengenai
kesejahteraannya, tidak melulu asyik rekayasa sosial. Sosiologis-nya Hukum
dengan “Rechtsegoismus”. Dengan kata Progresif tentang social engineering atau
lain, manusia atau masyarakat “tidak rekayasa sosial itu barangkali “sama”
perlu” terlalu banyak memahami hukum, dengan maksud Pound, sebagaimana
melainkan sebaliknya: hukum mesti diinterpretasikan Satjipto Rahardjo
lebih banyak memahami manusia dan terhadap ajaran atau program Pound.
masyarakat beserta seluruh realitas sosial Terhadap program Pound, Satjipto
yang ada. Rahardjo memberi makna sosiologis,
Mengenai rekayasa sosial (social antara lain bekerjanya hukum lebih
engineering) yang sering dipakai Satjipto efektif daripada isinya yang abstrak,
Rahardjo, Shidarta berpendapat, bahwa hukum sebagai lembaga sosial dapat
pikiran Satjipto Rahardjo terkesan dikembangkan melalui usaha manusia
“paradoksal” dalam memandang dan menganggap sebagai kewajiban
rekayasa sosial itu. Pendapat Shidarta: mereka untuk menemukan cara-
“Di satu sisi ia (Satjipto Rahardjo- cara terbaik dalam memajukan dan
penulis) mengaku peran hukum mengarahkan usaha itu.38 Bila tidak keliru
sebagai social engineering, bahkan tafsir, hukum sebagai rekayasa sosial
memandangnya sebagai hal yang dari Satjipto Raharjo juga maksudnya
lumrah. Kendati demikian, konsep supaya dialirkan (selain supaya mengalir)
‘biarkan hukum mengalir’ yang
oleh manusia yang dianggap lebih
dicetuskannya jelas bukan sesuatu
yang bisa dikawinkan dengan penting dan utama dari pada hukum
hukum sebagai alat rekayasa itu sendiri. Namun, rekayasa sosial oleh
sosial. Dalam social engineering, hukum itu agak berlebihan, seolah-olah
hukum seharusnya dialirkan hukum adalah “dewa” yang serba bisa
dan bukan mengalir (cetak tebal merekayasa.
oleh penulis). Demikian pula
Selanjutnya Satjipto Rahardjo juga
dengan pendapat beliau, bahwa
jika ada masalah antara mansusia mengatakan, bahwa pandangannya
dan hukum, maka yang harus

37
Myrna A. Safitri, et al, op.cit, hlm. 67.
diperbaiki adalah hukum dan
38
Satjipto Rahardjo, 2010 (II), op.cit, hlm. 92.

39
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

tersebut sangat berdekatan dengan sendirinya? Tampaknya, “menjadi” atau


tipe Hukum Responsif dari Nonet dan “mengalir” dalam Hukum Progresif itu
Selznick39 yang pada intinya menjadikan melekat pada tindakan merubah.
hukum lebih respons terhadap realitas. Jika perubahan, “menjadi” dan
Ini tentu saja dapat dipahami, ketika “mengalir” itu ditempatkan dalam
misalnya Hukum Progresif juga konteks postmodern dekonstruktif, maka
mengutamakan keadilan substantif dan dapat dijelaskan secara singkat sebagai
terintegrasinya aspirasi hukum dan berikut. Pertama, dekonstruksi tidak
politik.40Demikian pula dapat dimengerti seperti dalam paham modern sebagai
mengapa Hukum Progresif juga “dekat” “asal bongkar karena inkonsistensi
dengan Hukum Responsif ini karena logis internal dalam hukum misalnya”,
dasar dari Hukum Responsif pun disebut melainkan “peristiwa (event)” dari
oleh Nonet dan Selznick sendiri adalah dalam yang an sich adalah dekonstruksi
teori dari Roscoe Pound.41 itu. Tanpa perlu disebut-sebut, hukum
4. Hukum dalam Proses “Menjadi” dengan sendirinya selalu dekonstruksi
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum (membongkar dan dibongkar)
bukanlah sesuatu yang statis, mutlak seperti diyakini J. Derrida. Gerakan
42

final, stagnan dan tidak berubah, Studi Hukum Kritis dari Unger dan
melainkan selalu dapat berubah atau postmodernisme hukum ala Nietzche
mengalir, karena hukum berada dalam misalnya adalah contoh dekonstruksi itu.
proses menjadi (law as a process, law in the Satjipto Rahardjo tampaknya mengikuti
making). Ini cukup menarik ketika pada pola dekonstruksi lalu merekonstruksi
tingkat akal sehat umum diakui, bahwa hukum sesuai dengan pandangannya
hukum buatan manusia memang pasti sendiri, yaitu apa yang ia namakan
dapat berubah atau dirubah sendiri oleh sebagai Hukum Progresif itu.
yang membuatnya sesuai kebutuhan atau Kedua, dekonstruksi Derridarian
zaman. Dalam konsep Hukum Progresif (versi Derrida) yang nyaris mustahil
perubahan yang dimaksud barangkali dimengerti itu dapat dipakai untuk
adalah perubahan yang dinamis. struktur bangunan hukum. Walau
Apakah perubahan ini terjadi otomatis demikian sulit kiranya diterima, ketika
atau berubah sendiri (potensi) tanpa yang Derrida sendiri maksudkan
tindakan (aktus) merubah seperti dalam dengan dekonstruksi adalah semua hal
gagasan Heraklitos, filsuf Yunani Kuno, yang “bukan.” Selain itu, dekonstruksi
yaitu bahwa segala sesuatu tidak pernah versinya ialah sebuah kritik sastra, yaitu
tetap, melainkan selalu berubah dengan kritik terhadap struktur bahasa yang
terlalu metafisik dan mengandung oposis

39
Ibid, hlm. 29, 35. biner di dalamnya, seperti baik-buruk,

40
Philippe Nonet, et al, 2010, Hukum Responsif
(terjemahan Raisul Muttaqien), Nusa Media,
42
Derrida dalam J. D, Caputo (ed.), 1997,
Bandung, hlm. 19. Deconstruction in a Nutshell. A Conversation

41
Ibid, hlm. 83-84. with J. Derrida, Fordham University Press, New
York, hlm. 16.

40
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

transenden-imanen, suci-berdosa, adil- sebetulnya bukan perubahan otomatis,


tidak adil, kaya-miskin dan sebagainya. melainkan tindakan merubah. Di sini
Derrida menolak hal ini. dapat muncul pertanyaan, apakah
Dengan dekonstruksinya, Derrida perubahan itu berarti menyesuaikan diri
tidak pernah bermaksud merekonstruksi dengan perilaku yang ada atau melarang
sastra atau filsafat metafisika yang perilaku tertentu? Misalnya di Indonesia
diserangnya, melainkan hanya ketidaksetujuan terhadap kebijakan
membongkar saja tanpa perbaikan. pemerintah atau keputusan pengadilan
Ia menolak kesadaran, rasionalitas ditunjukkan dengan cara berunjuk rasa
berlebihan dan metafisika kehadiran di jalan yang sering agresif anarkis.
dalam filsafat dan juga dalam hukum. Perubahan apa yang dapat disarankan
Dengan kata lain, sebetulnya ia menganut oleh Hukum Progresif?
empirisme radikal (bukan absolut), Juga apakah perubahan itu sendiri
bahwa sesuatu yang hadir, seperti hukum disebabkan oleh perilaku yang berubah,
misalnya, selalu berdasarkan pengalaman ataukah lebih karena kehendak atau
langsung. Mungkin saja, bahwa Satjipto kemauan, seperti konsep Wollen-nya
Rahardjo juga mendekonstruksi namun Stammler?44 Pertanyaan ini diajukan,
berbeda dari Derrida. Derrida paham karena tidak setiap perubahan perilaku
bahwa sosiologi hukum terlepas dari pasti diikuti dengan kehendak merubah
alam. Sebaliknya Satjipto Rahardjo masih hukum. Hukum memang dalam proses
mengakui peran alam dalam sosialitas menjadi, namun perilaku pun demikian
masyarakat. juga: ada dan menjadi. Memang, bila ada
Kembali ke hukum sebagai proses masalah antara manusia dan hukum,
“menjadi” di atas, Satjipto Rahardjo maka yang diubah adalah hukumnya
mengatakan antara lain sebagai berikut: bukan pertama-tama manusia yang
“Hukum adalah intitusi yang se- dipaksa supaya masuk dalam skema
cara terus menerus membangun hukum, seperti diyakini Satjipto
dan mengubah dirinya menuju Rahardjo.
kepada tingkat kesempurnaan Bila suatu ketika perilaku masyarakat
yang lebih baik. Kualitas kesem-
Indonesia semuanya menjadi jahat,
purnaannya dapat diverifikasikan
ke dalam faktor-faktor keadilan, bukankah perilaku itu harus diubah
kesejateraan, kepedulian kepada dan bukannya hukum, karena hukum
rakyat dan lain-lain”43 pada prinsipnya mempunyai tujuan yang
baik dalam dirinya sendiri, misalnya –
Jadi hukum dalam konsep progresif
seperti dikatakan Dennis Lloyd- untuk
tersebut selalu dalam on going process.
mencegah adanya the force of evil
Dengan kata lain, hukum bukanlah suatu
(kekuatan jahat) dan Devil’s Workshop
keseimbangan yang diam, melainkan
institusi yang bergerak. Namun itu
44
Jürgen Baummann, 1989, Einführung in
die Rechtswissenschaft. Rechtssystem und
Rechtstechnik, Verlag CH. Beck, München, hlm.

43
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 6. 3.

41
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

(lokakarya para setan)45 setidak-tidaknya penegakan hukum.47 Dengan kata lain, ini
di Indonesia? adalah soal perilaku progresif dari para
“Hukum dalam arti teks” tidak dapat penegak hukum yang diharapkan ikut
membangun atau mengubah dirinya berubah dan menjadi.
sendiri”, kecuali hukum dalam arti sebagai Ini antara lain menyangkut tujuan
perilaku. Perilaku dapat berubah sendiri, tercapainya keadilan yang lebih
atau sengaja diubah, sementara teks tidak substansial daripada hanya sekedar
dapat berubah sendiri. Teks hanya dapat keadilan berdasarkan peraturan
berubah karena diubah atau “dibiarkan positivistikal-prosedural yang kaku dan
omong sendiri” menurut gagasan tidak adil. Dapat juga dikatakan, bahwa
differance Derrida.46 Dinamika perilaku keadilan tidak hanya dapat diperoleh
dan keseharian hidup masyarakat dari dijalankannya peraturan-peraturan,
diamati, dicatat fakta-faktanya, dinilai, melainkan juga dari “kebebasan kreatif
dirasionalisasi dalam pikiran otoritas para penegak hukum yang “progresif
pengubah –yang bisa tidak persis sama evolusioner” berhati nurani menemukan
dengan realitas yang berubah- kemudian keadilan. Demikian pula halnya, –sesuai
menjadi teks hukum yang baru yang pendapat J. Rawls48 bahwa keadilan tidak
kemungkinan diubah lagi di kemudian hanya soal fundamental yakni substansi
hari. Kalau pun tidak berubah, ia dapat dan proses, melainkan juga fairness
diinterpretasikan secara baru, berbeda (justice as fairness) yang tidak dapat
dari maksud semula dari teks, dengan dikesampingkan oleh para pihak yang
metode hermeneutikal. Inilah proses terlibat dalam penemuan keadilan.
menjadi itu. 5. Hukum yang Bersifat
Gagasan hukum dalam proses menjadi Membebaskan
yang cukup menarik pikiran itu kemudian Hukum Progresif menurut
ingin dijadikan sebagai identitas faktual Satjipto Rahardjo adalah hukum yang
aplikasi Hukum Progresif dalam aspek membebaskan.49 Karena itu proses
praksis penegakan hukum. Maksudnya, “menjadi”di atas tadi harus berujung
proses penegakan hukum tidak lagi harus pada pembebasan realitas hukum
terkungkung pada logika peraturan positivistik liberal modern menjadi
kaku yang membelenggu para penegak realitas ber-hukum seperti yang dicita-
hukum, melainkan dalam “terang citakan oleh Hukum Progresif. Ini
kebebasan progresif berhati nurani.” yang dimaksud oleh Satjipto Rahardjo
Dengan menggunakan “kecerdasan dengan “hukum pembebasan” itu, yaitu
spiritual”, para penegak hukum dapat Hukum Progresif ingin membebaskan
melakukan agenda aksi terobosan-

47
Gede A. B. Wiranata, et al, (ed), 2008,
terobosan progresif terhadap kemacetan Membedah Hukum Progresif Satjipto Rahardjo,
Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 16.

45
Dennis Lloyd, 1977, The Idea of Law, 48
K. Lebacq, 1986, Six Theories of Justice,
Harmondsworth, Penguin Books Ltd., England, Augsburg Publishing, Minneapolis hlm. 33-40.
hlm. 26. 49
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 14-16,

46
Jacques Derrida, op.cit, hlm. 3-27. hlm. 27.

42
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

diri dari kungkungan masif hukum ini. Pertama, dengan banyak mengutip
modern model liberalis-kapitalistik yang chaos and complexity atau teori disorder
melahirkan begitu banyak gejolak.50 Yang of law dari Charles Samford (1989),
juga ingin dibebaskan ialah keterikatan Satjipto Rahardjo menghendaki adanya
pada status quo, yaitu semua hal yang pembaruan total hukum modern.
menjadikan manusia sebagai “budak Nampaknya pola yang diinginkannya
hukum yang kaku”51 “sama” dengan postmodernisme itu.
Dengan cita-cita pembebasan, Namun, progresif sebetulnya adalah “sifat
Hukum Progresif ingin menunjukkan modern”. Kedua, kalau postmodernisme
kekuatannya sebagai gerakan sosial mau dinamakan sesuka hati sebagai
pembebasan pada ranah yuridik sebuah kritik zaman, maka Hukum
dan fungsional. Latar belakang dari Progresif adalah sebuah kritik terhadap
pembebasan oleh hukum ini adalah modernisme dalam hukum. Satjipto
penderitaan manusia, yang bagi Satjipto Rahardjo sendiri banyak mengulas
Rahardjo sendiri melahirkan pertanyaan, postmodernism dalam hukum. Namun
“apa yang salah dengan hukum kita?”52 postmodernisme itu bukan pembebasan
Nampaknya, dengan pembebasan melainkan “kultur kebebasan”.
itu mau dilahirkan hukum yang
solider dengan penderitaan manusia E. Merangkai Konsep Filsafat
dan mahkluk lain. Namun gerakan 1. Filsafat Manusia
ini mesti memiliki “ideologi” atau Pertanyaannya adalah apa dan
filsafat tertentu sebagai pedoman atau siapakah manusia itu dan bagaimana
pemandu perjuangannya. Sebagaimana kedudukannya dalam realitas menurut
gerakan pembebasan di Amerika Hukum Progresif? Dengan kata lain
Latin yang pada aspek religiositas bagaimana manusia didefinisikan, diberi
sosial politik berdasarkan pada suatu arti atau makna? Satjipto Rahardjo
“teologi pembebasan”, maka Hukum sendiri tidak menjelaskan tentang apa
Progresif yang membebaskan itu harus dan siapakah manusia itu. Mungkin
pula berdasarkan filosofi pembebasan manusia bukan persoalan abadi, kecuali
tertentu. Teori pembebasan tidak sempat dipersoalkan secara reflektif oleh filsafat.
dijelaskan secara komprehensif oleh Manusia seolah-olah adalah “makhluk
Satjipto Rahardjo, dan karenanya terbuka yang sudah jelas” dalam Hukum
untuk ditafsirkan sebagai suatu usaha Progresif. Misalnya sebagai “makhluk
dekonstruksi alias membongkar tatanan sosial yang dapat direkayasa, perilaku-
yang menindas. perilaku yang sebagiannya mau diikat
Nuansa “postmodernisme” cukup dengan norma hukum, bebas dan kreatif”.
kentara juga dalam Hukum Progresif Dalam hal ini yang dibicarakan
adalah manusia nyata, yang hidup, yang
50
Ibid, hlm. 15.
51
Satjipto Rahardjo, 2010 (II), op.cit, hlm. 62.
ber-koeksistensi antar manusia dan yang
52
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 31.

43
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

berhubungan dengan manusia (seluruh fenomenologi eksistensialisme- adalah


tradisi, budaya, lembaga, kekuasaan, adat, suatu eksistensi. Eksistensi ini tidak
teknologi dsb.) dalam suatu masyarakat dalam makna satu dimensi, melainkan
atau dunia. Jadi yang dibicarakan bukan plural atau multi dimensional, agar
hakikat manusia, melainkan “yang di manusia dalam Hukum Progresif itu
luar dan berkaitan dengan manusia”. dapat dipahami.
Hukum Progresif yang menolak Dalam makna eksistensi seperti itu,
analytical jurisprudence mestinya manusia adalah makhluk paradoks: bebas
analog dengan penolakan terhadap dan terikat, otonom dan tergantung,
pembicaraan metafisis mengenai hakikat terbatas dan tidak terbatas, individu dan
manusia, sebab yang ini sibuk melihat person, duniawi dan ilahi, jasmaniah
atau mengupas manusia ke dalam, ke dan rohaniah, fana dan baka.54 Dengan
dalam diri sendiri, sedemikian lengkap, demikian, manusia bersifat kompleks,
jelas dan “pasti”, sehingga nyaris tidak tidak dapat ditetapkan secara pasti,
dapat lagi disebut sebagai manusia, yang –mengutip pendapat R. Pepperell
selain konsep, citra, image, atau ide dengan paham posthuman-nya- berubah
tentang “manusia sesungguhnya atau secara abadi, kesadaraan non-linear,
idea-idea mengenai manusia”. Dengan mata rantai kemungkinan dari substansi
kata lain, gaya berpikir mengenai dan peristiwa-peristiwa serta menyatu
manusia mengikuti idealisme Plato, dengan lingkungan hidupnya. Bila dilihat
tidak dipakai dalam Hukum Progresif, dalam keseluruhan konsep Hukum
sebab penjelasan tentang manusia tidak Progresif, maka manusia demikian itu
mempresentasikan manusia, melainkan yang “dihendaki” oleh Satjipto Rahardjo.
simbol atau tanda tentang manusia Dalam hukum untuk manusia, maka
dalam imajinasi atau gagasan. manusia sebagai eksistensi mendahului
Hukum Progresif memang pembicaraan tentang esensi manusia
menempatkan manusia sebagai “pusat” dalam konteks hukum.55
dari pergulatannya dengan hukum. Dalam pemahaman Hukum Progresif,
Namun pusat dari manusia itu sendiri bagaimana pun, manusia semestinya
nampaknya bukan “di dalam manusia” masih perlu dilihat di samping sebagai
melainkan di luar manusia, atau manusia individu juga sebagai pribadi atau
yang eksentris (eks= keluar).53 Ini berarti, persona. Sebagai individu misalnya,
bahwa manusia baru dapat dilihat dengan saya berdiri sendiri, berbeda atau bukan
jelas ketika ia menemukan dirinya sendiri individu lain yang juga manusia. Perilaku
“di dunia” dan terarah kepada sesama adalah perilaku saya sendiri, tindakan
manusia dan makhluk infrahuman. dan kemauanku sendiri. Dari individu
Manusia seperti ini- meminjam istilah ini saya juga menjadi person, pribadi yang

54
Ibid, hlm. 16.

53
A. Snijders, 2004, Antropologi Filsafat, Manusia
55
I. Bambang, Sugiharto, (ed), 2008, Humanisme
Paradoks dan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, dan Humaniora. Relevansinya bagi pendidikan,
hlm. 15. Jalasutra, Yogyakarta, hlm. 160.

44
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

bebas, unik, dan sadar dalam memutus gegabah oleh kaum fundamentalis
dan bertindak. eksotis, tradisionalisme lokalis, sebagai
Apakah hukum membuat manusia “makhluk halus internasional” yang tidak
menjadi bahagia? Manusia bahagia bukan hanya menembus pagar tapi sekaligus
pertama-tama karena bebas masalah, membongkarnya.
atau hukum mampu memecahkan Diduga, karena Satjipto Rahardjo
semua masalahnya, melainkan karena adalah ilmuwan hukum berorientasi
manusia berperilaku sesuai suara hati sosiologi, maka manusia dipandang lebih
dan menghayati arti hidup sejati. Di sini dominan sebagai “makhluk sosiologis”
suara hati atau hati nurani yang sering (yang di dalamnya ia berbicara tentang
disinggung Satjipto Rahardjo dapat perilaku-perilaku), daripada sebagai
dibicarakan. Menurut B. Häring suara “makluk noumenologis”. Perilaku dalam
hati adalah kemampuan moral (moral teks Hukum Progresif dapat dikatakan
faculty) yang melaluinya orang dapat sebagai “kumpulan inter-tindakan
mengetahui nilai moral. Conscience, anonim” dalam masyarakat tanpa ajektif
man’s moral faculty, with its knowledge tertentu, atau hanya sekedar sifat sosial
of values and freedom, is the subjektive budaya sejauh dapat ditangkap rasio
source of moral good.”56 berdasarkan pengalaman spekulatifnya
Penegak hukum yang berhati teks. Namun perilaku abstrak semacam
nurani mengetahui kebenaran sejati, ini tidak berguna bagi operasionalisasi
melakukannya meskipun dengan Hukum Progresif.
risiko. Mungkin ini dapat disebut juga 2. Realisme dan Proses
sebagai sebuah progresivitas. Selain Sebagai kelanjutan tentang manusia ,
sebagai individu dan persona, manusia di sini dibicarakan tentang realitas. Tentu
bagi Hukum Progresif juga berarti dalam realitas itu terdapat manusia
masyarakat, kolektivitas, yaitu dalam juga. Tanpa manusia yang memahami,
konteks sosial dan bersifat sosiologis. Ada mempersoalkan, menjelaskan atau
teori yang menyatakan, bahwa individu menghayatinya, realitas –meskipun
bahkan persona lebur dalam kolektivitas mungkin ada- tidak dapat diketahui.
atau masyarakat yang dijadikan sebagai Menggunakan pendapat N. Driyarkara,
subjek tunggal dan berubah.57 Kalau manusia yang berdinamika mesti ada
ini realistis, maka masyarakat adalah lebih dahulu untuk dapat mengetahui
bentuk kesadaran umum yang bisa saja realitas, dan manusia sebagai dinamika
rapuh dan palsu. Masyarakat sebagai itu adalah realitas.
“subjek tunggal” merupakan pandangan
Dinamika itu menurutnya adalah
global (globalisasi), yang dicap secara
“kekuatan bergerak, menggerakkan

56
A. Sujoko, 2008, Belajar Menjadi Manusia,
dan mendorong (dapat dibaca sebagai:
Berteologi Moral menurut Bernard Hӓring, “progresif ”).58 Menghapus manusia dari
CSSR, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 120.

57
B. Agger, 2009, Teori Sosial Kritis, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, hlm. 73.
58
A. Sudiarja,et al, (ed), 2006, Karya Lengkap

45
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

realitas pun mustahil, karena untuk itu orang menderita ketidakadilan, maka
mensyaratkan adanya manusia yang ketidakadilan sebaiknya dihilangkan
ingin menghapusnya. Realitas dari (oleh hukum). Namun realitas tetap
paham realisme adalah objektif tanpa ada berupa realitas lain, yaitu keadilan.
tindakan mental dari subjek. Ini rupanya Dengan kata lain, realitas mungkin
berbeda dari realisme Hukum Progresif tidak dapat dibebaskan sama sekali oleh
yang menggunakan tindakan mental, subjek yang masih menyadari realitas
karena justru progresif itu adalah yang sudah dibebaskan itu. Realitas
“tindakan mental.” itu tidak benar, tidak salah, atau tidak
Realitas yang dibaca Satjipto Rahardjo mengandung penilaian dalam dirinya
terfokus pada realitas ber-hukum yaitu sendiri, melainkan dibahasakan, dinilai
kekacauan hukum modern. Di sini atau dipersoalkan. Dari objektif menjadi
penulis mengandaikan ia memiliki etis.
daya yang kuat untuk membaca realitas Dengan demikian, Hukum Progresif
itu dengan cermat, sehingga realitas adalah sebuah persoalan tentang realitas.
yang dibacanya itu adalah real, bukan Realitas itu adalah penilaian etis, bukan
sekedar citra mengenai realitas; bukan pembebasan. Di samping itu, gagasan
peta, melainkan wilayah. Realitas bahwa Hukum Progresif itu mengalir
tersebut meminjam istilah F. Budi atau “menjadi” agak berkontradiksi
Hardiman adalah realitas patologis, yang dengan ide pembebasan an sich. Sebab,
menghambat perealisasian diri manusia pembebasan mengandaikan gerakan
seutuhnya, seperti ketimpangan sosial, aktif membebaskan yang dikehendaki
ketidakadilan, kebohongan, penindasan, Satjipto Rahardjo, sementara realitas
kekerasan, kemiskinan dst.59 Pertama- “menjadi” atau “mengalir” menurut
tama ia mempersoalkan realitas semacam Herakleitos adalah menjadi atau
itu dan kemudian ingin dibebaskannya mengalir dari dirinya sendiri, bukan
melalui Hukum Progresif. Hanya dialirkan atau dibebaskan.60 Realitas
pertanyaannya ialah, apa maksudnya yang “tidak dapat dibebaskan itu” -dan
pembebasan dan dapatkah realitas dikatakan di atas sebagai “mengalir”
dibebaskan? (Herakleitos)- tampaknya telah dipakai
Pembebasan itu maksudnya Satjipto Rahardjo dengan “modifikasi”
adalah penghilangan dari apa yang atau rekonstruksi filosofis bagi paham
sesungguhnya dirasakan dalam Hukum Progresifnya.
kesadaran kita sebagai “tidak Pertama, Hukum Progresif yang
seharusnya”. Misalnya tidak seharusnya bersifat membebaskan mesti dibaca di
sini sebagai tidak membebaskan realitas
Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang
Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, melainkan penilaian dan tindakan
Gramedia, Jakarta dan Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 222-223.
etis terhadap realitas. Kedua, hukum

59
F. Budi Hardiman, 2003, Melampaui Positivisme
dan Modernitas, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 18-
60
J. Rehmke, 1959, Geschichte der Philosophie,
19. VMA-Verlag, Wiesbaden, hlm. 13.

46
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

berada dalam “proses menjadi” adalah itu sekaligus menjadi”. Pertanyaannya,


bagian dari realitas sebagai proses apakah itu adalah menjadi yang terus
yang mengalir. Maka dapat dimaklumi berada ataukah menjadi tidak ada?
mengapa hukum pun kemudian ikut Barangkali menjadi yang dimaksud
mengalir: mengalir secara tetap menjadi adalah “terus berada secara progresif ”.
hukum, tidak menjadi realitas yang lain. Hukum yang mengalir bersama realitas
Menggunakan “anekdot” esensialisme- pada umumnya dikatakan sebagai sarana
nya Aristoteles, maka yang mengalir yang mau mengatur, mengendalikan atau
adalah aksidensi hukum, bukan esensinya. malahan menciptakan dan merekayasa
Ditambah, dikurangi, direvisi, dialirkan realitas yang mengalir itu. Bila hukum
dan dihanyutkan, tetap disebut sebagai adalah perilaku –sebagaimana dikatakan
hukum juga. Aksidensi yang mengalir Satjipto Rahardjo maka di sini perilaku
itu adalah sifat-sifat yang menentukan yang juga mengalir itu ikut mengatur,
bagaimana keadaan Hukum Progresif mengendalikan dan menentukan
saat ini.61 realitas. Rupanya, dalam pikiran Satjipto
Jadi hukum itu adalah menjadi Rahardjo adalah sebaliknya: realitas,
hukum. Demikian pula, bahwa hukum termasuk di dalamnya pengalaman-
adalah untuk manusia dalam realitas yang pengalaman menentukan perilaku
berubah secara ajeg yang tidak berkaitan (alias menentukan hukum). Dengan
dengan status ontologis manusia yang demikian sebenarnya Satjipto Rahardjo
masih susah untuk dirubah. Berkaitan juga menganut empirisme dan realisme.
dengan ini, maka filsafat Proses A.N. Ini unik, karena masih ada unsur
Whitehead dapat juga dilihat sebagai rasionalisme di dalamnya. Sebab, realitas
landasan filsafat Hukum Progresif. A.N. yang diinginkan ditangkap oleh subjek
Whitehead yang hidup di abad modern (Satjipto Rahardjo) yang menginginkan
dengan filsafat proses-nya pun sebetulnya itu sebagai ideal bagi hukum. Ibarat kita
juga terinspirasi konsep Herakleitos kini sedang berada di dalam wilayah,
tadi. Dia menganalisis konsep “semua namun masih ingin mempersoalkan peta
benda mengalir atau aliran terus- ideal dari wilayah yang di dalamnya kita
menerus” sampai kepada soal konkresi, berada. Padahal peta bukanlah wilayah.63
yaitu proses bagi benda-benda di alam Dalam konfigurasi aliran-aliran
semesta.62 Meskipun demikian dapat Filsafat Hukum, Satjipto Rahardjo
disimpulkan, bahwa bagi dia menjadi menyetujui misalnya Oliver Wendel
itu adalah “berada”. Mungkin bagi Holmes, penganut realisme hukum
Hukum Progresif, sebaliknya “berada (pragmatis) ala Amerika Serikat,
khususnya mengenai kehidupan hukum

61
T. Cathcart,et al, 2011, Befilsafat dengan
Anekdot. Plato Ngafe Bareng dengan Singa sebagai pengalaman-pengalaman.
Laut, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 9-11.

62
A. N. Whitehead, 2009, Filsafat Proses
(terjemahan Saut Pasaribu dari Process and
63
Bdk. F. Capra,2009, The Tao of Physics (buku
Reality), Kreasi Wacana, Yogyakarta, hlm. 347- terjemahan Aufiya Ilhamal Hafidz), Jalasutra,
359. Yogyakarta, hlm. 19.

47
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

Namun sesuai sifat progresifnya maka nampaknya bagi Satjipto Rahardjo,


bukan pengalaman spekulatif (spekulative subjek mesti aktif “melalui kegiatan
Erfahrung) versi Immanuel Kant,64 yaitu sadar”, atau menjadi sadar adalah
“pengalaman tentang pengalaman” dan aktivitas subjek terhadap realitas, bukan
ide-ide tentang pengalaman yang mau aktivitas objek. Bila dikaitkan dengan
dijadikan landasan Hukum Progresif, Kant, maka itu adalah suatu a priori:
melainkan pengalaman konatif, subjektive Bedingungen der Möglichketi
pengalaman manusiawi atau riil yang ada der Erfahrung (syarat subjektif bagi
dalam kehidupan sosial atau masyarakat. kemungkinan pengalaman).66 Dengan
Dengan kata lain itu adalah pengalaman demikian ini adalah rasional, bukan
yang seluas-luasnya: disadari, dinikmati, melulu empiris.
dipersepsi, diinginkan atau dipikirkan Dalam ber-hukum, empirisme
atau pengalaman kognitif. bukanlah segala-galanya atau seakan-
Selanjutnya katakanlah hukum itu akan menjadi sumber mutlak
adalah suatu proses, yaitu proses menjadi. pengetahuan Hukum Progresif. Akal
Mengapa tidak dikatakan juga, bahwa budi atau rasio sesuai pikiran Kant adalah
hukum pun adalah suatu produk, produk tempat pengalaman-pengalaman itu
kesadaran kita yang akan direproduksi diolah. Meskipun tentu tidak bermodel
lagi secara produktif? Jika hukum adalah Cartesian (filsafat Rene Descartes:)
produk kesadaran, maka proses menjadi yang ekstrim, rasionalisme ini adalah
tersebut terjebak pula dalam pengalaman rasionalisme model Satjipto Rahardjo
spekulatif dan bahkan transendental sendiri, yaitu yang “berkecerdasan
versi Kant.65 Dengan demikian hukum spiritual dan bernurani”. Barangkali
tersebut tidak lagi ada dalam realisme saja ini adalah filosofi “baru” dalam
melainkan idealisme, bahkan idealisme pandangan Satjipto Rahardjo, yaitu
fenomenologis. Realitas tidak terlepas mengawincampurkan empirisme dan
dari idea-idea tentang hukum sebagai rasionalisme yang “berkecerdasan
gejala yang tampak pada kesadaran yang spritual plus hati nurani.”
menafsirkannya. 3. Postpositivisme
Demikian pula rasionalisme tidak Hemat penulis, positivisme masih
dapat ditolak seluruhnya. Empirisme unik berada di alam pikiran Satjipto Rahardjo,
dari Satjipto Rahardjo membuat subjek meskipun tidak lagi dianuti sepenuhnya.
pun menjadi aktif dan sadar (misalnya Realismenya pun adalah modifikasi
aktif dan kreatif dalam membebaskan). dari realisme hukum Amerika. Nuansa
Padahal kalau empirisme mau dipakai, postmodernisme tampak juga dalam
maka subjek seharusnya pasif. Realitas pemikirannya. Ringkasnya adalah
itu sendirilah yang aktif. Namun pertama, nampaknya gagasan “progresif ”

64
Szilasi Wilhelm, 1961, Philosophie und dalam Hukum Progresifnya adalah
Naturwissenschaft, Dalp – Taschenbücher,
Franke Verlag, München, hlm. 9-11.

65
Ibid, hlm. 25.
66
Ibid.

48
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

perlawanan atau antitesis terhadap karena sebaiknya semua orang hidup


positivisme yang diwujudkan dalam apa adanya dalam ruang dan waktunya
perilaku: perilaku bebas kreatif dan sendiri.
perilalu “melawan”, tidak lagi positivistik. Mungkin kita sekalian dengan hukum
Mungkin progresif semacam ini dalam adalah sebuah “seni (Kunst)”: pelukis
hal tertentu adalah civil disobedience: sekaligus juga lukisan. Tampak teratur
pembangkangan “yang positif ” dengan dan indah, namun sebetulnya terdiri dari
maksud supaya hukum lebih responsif bermacam komponen atau unsur tidak
tehadap manusia67 alias menjadi “sistesis teratur (dilihat dari kesalingterlepasan
yang mengalir”. unsur-unsur itu). Bila itu adalah
Kedua, realisme bersifat kontekstual, realitas (kita), maka realitas itu adalah
keindonesiaan. Modernisme yang “Seinsvorgang aller Seienden und zwar so,
merampas lokalitas, tradisional dan daß das subjektive Dasein, mit ein Ding
mempertanyakan kearifan perilaku sosial im Zusammenspiel aller Dinge ist”.68 Kita
dilawan dengan postmodernisme yang berada dalam suatu permainan bersama
pra-modern, pra-positif. Artinya realitas dengan semua hal di dunia ini, setelah
sosiologis masyarakat kita diposisikan segala sesuatu kita empiris-positiviskan
tidak lebih rendah daripada postivisme melalui pikiran kita.
dan menjadi sumber kebijaksanaan
dalam ber-hukum versi Hukum F. Kesimpulan
Progresif. Dengan begini, fondasi atau
Sebetulnya masih panjang dan
filsafat model keindonesiaan misalnya
lengkap uraian tentang landasan filsafat
tidak atau belum dapat dihancurkan
Hukum Progresif. Karena terbatasnya
sepenuhnya, meskipun postmodernisme
ruang, maka uraiannya diakhiri. Untuk
itu mau dianuti dengan konsekuen.
sementara kesimpulan atau jawaban
Jadi itu adalah postmodernisme versi
atas masalah di depan adalah bahwa
Indonesia.
Hukum Progresif mempunyai landasan
Ketiga, hukum tidak lagi dilihat sebagai filsafatnya sendiri, yaitu filsafat manusia,
sebuah ketertiban atau keteraturan dalam realisme, filsafat proses dan kritisisme
dirinya sendiri, melainkan “sebuah ala postmodernisme konstruktif. Filsafat
proyeksi dari semacam kekacauan”. manusia tampak dalam pemahaman
Pikiran pembuat UU atau masyarakat akan manusia sebagai “pusat” dari
setelah UU jadi misalnya, adalah pikiran progresivisme. Sementara itu realisme
mengenai ketertiban, keteraturan. Tetapi (Amerika) tampak dalam keyakinan
setelah di tengah realitas majemuk, plural Hukum Progresif, bahwa hukum
dan tidak pasti, ia lantas dibahasakan bukan sekedar teks, melainkan juga
sebagai kekacauan. Di sini filsafat apa perilaku dan pengalaman-pengalaman
pun tidak menyakinkan siapa pun, manusiawi. Sedang unsur filsafat proses

67
H. A. Bedau, 1991, Civil Disobedience in Focus,
Routledge, London, hlm. 2-5, hlm. 29-30.
68
Szilasi Wilhelm, op.cit, hlm. 27.

49
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016

terlihat jelas pada salah satu ide dasar Deleuze, Gilles & Felix Guattari, 2010,
Hukum Progresif sebagai “hukum What is Philosophy? Reinterpretasi
yang mengalir atau menjadi”. Hukum atas Filsafat, Sains dan Seni,
Progresif pun bernuansa postmodern Jalasutra, Yogyakarta.
ketika membongkar paham hukum Derrida, Jacques, 1982, Margins of
modern yang ditolaknya. Philosophy (translated with
additional notes by Alan Bass),
The Harvester, UK.
Daftar Pustaka
Fuller, Lon L., 1964, The Morality of
Buku
Law, Student Edition, Fawcett
A. Safitri, Myrna, dkk., (ed), 2011, Satjipto Publications, Inc, New York.
Rahardjo dan Hukum Progresif:
Grondin, Jean, 2010, Sejarah
Urgensi dan Kritik, Epistema
Hermeneutik. Dari Plato Sampai
Institute dan Huma, Jakarta.
Gadamer, Ar-Ruz Media Group,
Agger, B., 2009, Teori Sosial Kritis, Kreasi Yogyakarta.
Wacana, Yogyakarta.
Hardiman, Budi, F, 2003, Melampaui
Aristoteles. 1978, Nichomachean Ethics. Positivisme dan Modernitas,
Translated with Introduction and Kanisius, Yogyakarta.
Notes by Martin Ostwald, Bobbs-
Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan
Merill Educational Publishing,
Kekuasaan, Penerbit Kompas,
Indianapolis.
Jakarta.
Baker, Anton & Achmad Charris Zubair,
Heidegger, Martin, 1973, The End of
1990, Metodologi Penelitian
Philosophy, The University of
Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Chicago Press, Chicago.
Baummann, Jürgen, 1989, Einführung
Hidya Tjahya, Thomas, 2004, Humanisme
in die Rechtswissenschaft.
dan Skolastisisme, Kanisius,
Rechtssystem und Rechtstechnik,
Yogyakarta.
Verlag C. H. Beck, München.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum
Bedau, H. A, 1991, Civil Disobedience in
Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Focus, Routledge, London.
Yogyakarta.
Capra, F., 2009, The Tao of Physics
Kant, Immanuel, 1887, The Philosophy
(buku terjemahan Aufiya Ilhamal
of Law. An Exposition of the
Hafidz), Jalasutra, Yogyakarta.
Fundamental Principles of
Caputo, J. D. (ed), 1997, Deconstruction Jurisprudence as Science of Right,
in a Nutshell. A Conversation with T & T Clark, Edinburg.
J. Derrida, Fordham University
Kebung, K., 2011, Filsafat Ilmu
Press, New York.
Pengetahuan, Prestasi Pustaka,
Cathcart, T. & D.M. Klein, 2011, Jakarta.
Befilsafat dengan Anekdot. Plato
Lebacq, K., 1986, Six Theories of
Ngafe Bareng dengan Singa Laut,
Justice, Augsburg Publishing,
Kanisius, Yogyakarta.
Minneapolis.

50
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF

Lloyd, Dennis, 1977, The Idea of Law, Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum
Harmondsworth, Penguin Books oleh Hakim dalam Perspektif
Ltd., England. Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Lyotard, Jean-Francois, 2009, Kondisi Jakarta.
Postmodern. Suatu Laporan Snijders, A, 2004, Antropologi Filsafat,
Mengenai Pengetahuan, Selasar Manusia Paradoks dan Sejarah,
Publishing, Surabaya. Kanisius, Yogyakarta.
Merleau-Ponty, Maurice, 1967, The Sudiarja, A. dkk, (ed), 2006, Karya
Structure of Behaviour (translated Lengkap Driyarkara. Esai-Esai
by Alden L.Fisher), Beacon Press, Filsafat Pemikir yang Terlibat
Boston. Penuh dalam Perjuangan
Mitterauer, Getraud, 2009, Was ist Bangsanya, Gramedia, Jakarta dan
Textkritik?Zur Geschichte und Kanisius, Yogyakarta.
Relevanz eines Zentralbegriffs, Sugiharto, Bambang, I. (ed), 2008,
Niemeyer Verlag, Tübingen. Humanisme dan Humaniora.
Nonet, Philippe, et al, 2010, Hukum Relevansinya bagi pendidikan,
Responsif (terjemahan Raisul Jalasutra, Yogyakarta.
Muttaqien), Nusa Media, Sujoko, A., 2008, Belajar Menjadi
Bandung. Manusia. Berteologi Moral
Rahardjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, menurut Bernard Häring, CSsR,
Citra Aditya Bakti, Bandung. Kanisius, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Hukum Dalam Szilasi, Wilhelm. 1961. Philosophie
Jagad Ketertiban, UKI Press, und Naturwissenschaft, Dalp–
Jakarta. Taschenbücher, Franke Verlag,
Rahardjo, Satjipto, 2009 (I), Hukum München.
Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Valentiner, T., 1965, Immanuel Kant:
Indonesia, Genta Publishing, Grundlegung zur Metaphysik der
Yogyakarta. Sitten, Reclam, Stutgart.
Rahardjo, Satjipto, 2009 (II), Hukum Wattimena, Reza, A. A. (ed), 2011,
dan Perilaku, Penerbit Kompas, Metodologi Penelitian Filsafat,
Jakarta. UGM, Kanisius, Unika Widya
Rahardjo, Satjipto, 2010 (I), Penegakan Mandala.
Hukum Progresif, Penerbit Whitehead, A. N., 2009, Filsafat Proses
Kompas, Jakarta. (terjemahan Saut Pasaribu dari
Rahardjo, Satjipto, 2010 (II), Sosiologi Process and Reality), Kreasi
Hukum, Genta Publishing, Wacana, Yogykarta.
Yogyakarta. Wiranata, Gede A. B., et al, (ed), 2008,
Rehmke, J, 1959, Geschichte der Membedah Hukum Progresif
Philosophie, VMA-Verlag, Satjipto Rahardjo, Penerbit
Wiesbaden. Kompas, Jakarta.

51

Anda mungkin juga menyukai