Hyronimus Rhiti1
Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Abstract
Satjipto Rahardjo’s Progressive Law (Hukum Progresif) is intended to be an antithesis to
the modern law, but the philosophical foundation of this law is not so clear. This article,
based on literature research, try to find out the philosophical basis for this kind of law. With
research methods and particular approaches, the possibility of philosophical foundation
are exlplored. First, in the basic ideas of Progressive Law such as “law for human, sociology
oriented law, liberation law, etc.” we can see the philosophical direction of this law. Second,
based on certain philosophy, we can say that the metaphysical anthropology, realism,
process philosophy and “postmodernism” are the roots of philosophy of Progressive Law.
Keywords :progressive law, philosophical foundation,postmodernism
Intisari
Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo dimaksudkan sebagai antitesis terhadap
hukum modern. Meskipun demikian, belum jelas landasan filosofis hukum ini. Dengan
metode penelitian dan pendekatan tertentu dicari kemungkinan landasan filosofis bagi
hukum ini. Pertama, berdasarkan ide-ide dasar Hukum Progresif seperti “hukum untuk
manusia”, “orientasi sosiologis” dan “pembebasan”, arah dari filosofis hukum ini dapat
diketahui. Kedua, berdasarkan filsafat tertentu dapat dikatakan, bahwa antropologi
metafisika, realisme, filsafat proses dan postmodernisme merupakan akar filsafat dari
Hukum Progresif.
Kata Kunci : hukum progresif, landasan filosofis, paska modernisme
1
Korespondensi pada hyro@mail.uajy.ac.id.
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
34
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
35
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
36
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
37
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
38
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
39
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
final, stagnan dan tidak berubah, Studi Hukum Kritis dari Unger dan
melainkan selalu dapat berubah atau postmodernisme hukum ala Nietzche
mengalir, karena hukum berada dalam misalnya adalah contoh dekonstruksi itu.
proses menjadi (law as a process, law in the Satjipto Rahardjo tampaknya mengikuti
making). Ini cukup menarik ketika pada pola dekonstruksi lalu merekonstruksi
tingkat akal sehat umum diakui, bahwa hukum sesuai dengan pandangannya
hukum buatan manusia memang pasti sendiri, yaitu apa yang ia namakan
dapat berubah atau dirubah sendiri oleh sebagai Hukum Progresif itu.
yang membuatnya sesuai kebutuhan atau Kedua, dekonstruksi Derridarian
zaman. Dalam konsep Hukum Progresif (versi Derrida) yang nyaris mustahil
perubahan yang dimaksud barangkali dimengerti itu dapat dipakai untuk
adalah perubahan yang dinamis. struktur bangunan hukum. Walau
Apakah perubahan ini terjadi otomatis demikian sulit kiranya diterima, ketika
atau berubah sendiri (potensi) tanpa yang Derrida sendiri maksudkan
tindakan (aktus) merubah seperti dalam dengan dekonstruksi adalah semua hal
gagasan Heraklitos, filsuf Yunani Kuno, yang “bukan.” Selain itu, dekonstruksi
yaitu bahwa segala sesuatu tidak pernah versinya ialah sebuah kritik sastra, yaitu
tetap, melainkan selalu berubah dengan kritik terhadap struktur bahasa yang
terlalu metafisik dan mengandung oposis
39
Ibid, hlm. 29, 35. biner di dalamnya, seperti baik-buruk,
40
Philippe Nonet, et al, 2010, Hukum Responsif
(terjemahan Raisul Muttaqien), Nusa Media,
42
Derrida dalam J. D, Caputo (ed.), 1997,
Bandung, hlm. 19. Deconstruction in a Nutshell. A Conversation
41
Ibid, hlm. 83-84. with J. Derrida, Fordham University Press, New
York, hlm. 16.
40
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
41
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
(lokakarya para setan)45 setidak-tidaknya penegakan hukum.47 Dengan kata lain, ini
di Indonesia? adalah soal perilaku progresif dari para
“Hukum dalam arti teks” tidak dapat penegak hukum yang diharapkan ikut
membangun atau mengubah dirinya berubah dan menjadi.
sendiri”, kecuali hukum dalam arti sebagai Ini antara lain menyangkut tujuan
perilaku. Perilaku dapat berubah sendiri, tercapainya keadilan yang lebih
atau sengaja diubah, sementara teks tidak substansial daripada hanya sekedar
dapat berubah sendiri. Teks hanya dapat keadilan berdasarkan peraturan
berubah karena diubah atau “dibiarkan positivistikal-prosedural yang kaku dan
omong sendiri” menurut gagasan tidak adil. Dapat juga dikatakan, bahwa
differance Derrida.46 Dinamika perilaku keadilan tidak hanya dapat diperoleh
dan keseharian hidup masyarakat dari dijalankannya peraturan-peraturan,
diamati, dicatat fakta-faktanya, dinilai, melainkan juga dari “kebebasan kreatif
dirasionalisasi dalam pikiran otoritas para penegak hukum yang “progresif
pengubah –yang bisa tidak persis sama evolusioner” berhati nurani menemukan
dengan realitas yang berubah- kemudian keadilan. Demikian pula halnya, –sesuai
menjadi teks hukum yang baru yang pendapat J. Rawls48 bahwa keadilan tidak
kemungkinan diubah lagi di kemudian hanya soal fundamental yakni substansi
hari. Kalau pun tidak berubah, ia dapat dan proses, melainkan juga fairness
diinterpretasikan secara baru, berbeda (justice as fairness) yang tidak dapat
dari maksud semula dari teks, dengan dikesampingkan oleh para pihak yang
metode hermeneutikal. Inilah proses terlibat dalam penemuan keadilan.
menjadi itu. 5. Hukum yang Bersifat
Gagasan hukum dalam proses menjadi Membebaskan
yang cukup menarik pikiran itu kemudian Hukum Progresif menurut
ingin dijadikan sebagai identitas faktual Satjipto Rahardjo adalah hukum yang
aplikasi Hukum Progresif dalam aspek membebaskan.49 Karena itu proses
praksis penegakan hukum. Maksudnya, “menjadi”di atas tadi harus berujung
proses penegakan hukum tidak lagi harus pada pembebasan realitas hukum
terkungkung pada logika peraturan positivistik liberal modern menjadi
kaku yang membelenggu para penegak realitas ber-hukum seperti yang dicita-
hukum, melainkan dalam “terang citakan oleh Hukum Progresif. Ini
kebebasan progresif berhati nurani.” yang dimaksud oleh Satjipto Rahardjo
Dengan menggunakan “kecerdasan dengan “hukum pembebasan” itu, yaitu
spiritual”, para penegak hukum dapat Hukum Progresif ingin membebaskan
melakukan agenda aksi terobosan-
47
Gede A. B. Wiranata, et al, (ed), 2008,
terobosan progresif terhadap kemacetan Membedah Hukum Progresif Satjipto Rahardjo,
Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 16.
45
Dennis Lloyd, 1977, The Idea of Law, 48
K. Lebacq, 1986, Six Theories of Justice,
Harmondsworth, Penguin Books Ltd., England, Augsburg Publishing, Minneapolis hlm. 33-40.
hlm. 26. 49
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 14-16,
46
Jacques Derrida, op.cit, hlm. 3-27. hlm. 27.
42
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
diri dari kungkungan masif hukum ini. Pertama, dengan banyak mengutip
modern model liberalis-kapitalistik yang chaos and complexity atau teori disorder
melahirkan begitu banyak gejolak.50 Yang of law dari Charles Samford (1989),
juga ingin dibebaskan ialah keterikatan Satjipto Rahardjo menghendaki adanya
pada status quo, yaitu semua hal yang pembaruan total hukum modern.
menjadikan manusia sebagai “budak Nampaknya pola yang diinginkannya
hukum yang kaku”51 “sama” dengan postmodernisme itu.
Dengan cita-cita pembebasan, Namun, progresif sebetulnya adalah “sifat
Hukum Progresif ingin menunjukkan modern”. Kedua, kalau postmodernisme
kekuatannya sebagai gerakan sosial mau dinamakan sesuka hati sebagai
pembebasan pada ranah yuridik sebuah kritik zaman, maka Hukum
dan fungsional. Latar belakang dari Progresif adalah sebuah kritik terhadap
pembebasan oleh hukum ini adalah modernisme dalam hukum. Satjipto
penderitaan manusia, yang bagi Satjipto Rahardjo sendiri banyak mengulas
Rahardjo sendiri melahirkan pertanyaan, postmodernism dalam hukum. Namun
“apa yang salah dengan hukum kita?”52 postmodernisme itu bukan pembebasan
Nampaknya, dengan pembebasan melainkan “kultur kebebasan”.
itu mau dilahirkan hukum yang
solider dengan penderitaan manusia E. Merangkai Konsep Filsafat
dan mahkluk lain. Namun gerakan 1. Filsafat Manusia
ini mesti memiliki “ideologi” atau Pertanyaannya adalah apa dan
filsafat tertentu sebagai pedoman atau siapakah manusia itu dan bagaimana
pemandu perjuangannya. Sebagaimana kedudukannya dalam realitas menurut
gerakan pembebasan di Amerika Hukum Progresif? Dengan kata lain
Latin yang pada aspek religiositas bagaimana manusia didefinisikan, diberi
sosial politik berdasarkan pada suatu arti atau makna? Satjipto Rahardjo
“teologi pembebasan”, maka Hukum sendiri tidak menjelaskan tentang apa
Progresif yang membebaskan itu harus dan siapakah manusia itu. Mungkin
pula berdasarkan filosofi pembebasan manusia bukan persoalan abadi, kecuali
tertentu. Teori pembebasan tidak sempat dipersoalkan secara reflektif oleh filsafat.
dijelaskan secara komprehensif oleh Manusia seolah-olah adalah “makhluk
Satjipto Rahardjo, dan karenanya terbuka yang sudah jelas” dalam Hukum
untuk ditafsirkan sebagai suatu usaha Progresif. Misalnya sebagai “makhluk
dekonstruksi alias membongkar tatanan sosial yang dapat direkayasa, perilaku-
yang menindas. perilaku yang sebagiannya mau diikat
Nuansa “postmodernisme” cukup dengan norma hukum, bebas dan kreatif”.
kentara juga dalam Hukum Progresif Dalam hal ini yang dibicarakan
adalah manusia nyata, yang hidup, yang
50
Ibid, hlm. 15.
51
Satjipto Rahardjo, 2010 (II), op.cit, hlm. 62.
ber-koeksistensi antar manusia dan yang
52
Satjipto Rahardjo, 2009 (I), op.cit, hlm. 31.
43
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
44
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
bebas, unik, dan sadar dalam memutus gegabah oleh kaum fundamentalis
dan bertindak. eksotis, tradisionalisme lokalis, sebagai
Apakah hukum membuat manusia “makhluk halus internasional” yang tidak
menjadi bahagia? Manusia bahagia bukan hanya menembus pagar tapi sekaligus
pertama-tama karena bebas masalah, membongkarnya.
atau hukum mampu memecahkan Diduga, karena Satjipto Rahardjo
semua masalahnya, melainkan karena adalah ilmuwan hukum berorientasi
manusia berperilaku sesuai suara hati sosiologi, maka manusia dipandang lebih
dan menghayati arti hidup sejati. Di sini dominan sebagai “makhluk sosiologis”
suara hati atau hati nurani yang sering (yang di dalamnya ia berbicara tentang
disinggung Satjipto Rahardjo dapat perilaku-perilaku), daripada sebagai
dibicarakan. Menurut B. Häring suara “makluk noumenologis”. Perilaku dalam
hati adalah kemampuan moral (moral teks Hukum Progresif dapat dikatakan
faculty) yang melaluinya orang dapat sebagai “kumpulan inter-tindakan
mengetahui nilai moral. Conscience, anonim” dalam masyarakat tanpa ajektif
man’s moral faculty, with its knowledge tertentu, atau hanya sekedar sifat sosial
of values and freedom, is the subjektive budaya sejauh dapat ditangkap rasio
source of moral good.”56 berdasarkan pengalaman spekulatifnya
Penegak hukum yang berhati teks. Namun perilaku abstrak semacam
nurani mengetahui kebenaran sejati, ini tidak berguna bagi operasionalisasi
melakukannya meskipun dengan Hukum Progresif.
risiko. Mungkin ini dapat disebut juga 2. Realisme dan Proses
sebagai sebuah progresivitas. Selain Sebagai kelanjutan tentang manusia ,
sebagai individu dan persona, manusia di sini dibicarakan tentang realitas. Tentu
bagi Hukum Progresif juga berarti dalam realitas itu terdapat manusia
masyarakat, kolektivitas, yaitu dalam juga. Tanpa manusia yang memahami,
konteks sosial dan bersifat sosiologis. Ada mempersoalkan, menjelaskan atau
teori yang menyatakan, bahwa individu menghayatinya, realitas –meskipun
bahkan persona lebur dalam kolektivitas mungkin ada- tidak dapat diketahui.
atau masyarakat yang dijadikan sebagai Menggunakan pendapat N. Driyarkara,
subjek tunggal dan berubah.57 Kalau manusia yang berdinamika mesti ada
ini realistis, maka masyarakat adalah lebih dahulu untuk dapat mengetahui
bentuk kesadaran umum yang bisa saja realitas, dan manusia sebagai dinamika
rapuh dan palsu. Masyarakat sebagai itu adalah realitas.
“subjek tunggal” merupakan pandangan
Dinamika itu menurutnya adalah
global (globalisasi), yang dicap secara
“kekuatan bergerak, menggerakkan
56
A. Sujoko, 2008, Belajar Menjadi Manusia,
dan mendorong (dapat dibaca sebagai:
Berteologi Moral menurut Bernard Hӓring, “progresif ”).58 Menghapus manusia dari
CSSR, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 120.
57
B. Agger, 2009, Teori Sosial Kritis, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, hlm. 73.
58
A. Sudiarja,et al, (ed), 2006, Karya Lengkap
45
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
realitas pun mustahil, karena untuk itu orang menderita ketidakadilan, maka
mensyaratkan adanya manusia yang ketidakadilan sebaiknya dihilangkan
ingin menghapusnya. Realitas dari (oleh hukum). Namun realitas tetap
paham realisme adalah objektif tanpa ada berupa realitas lain, yaitu keadilan.
tindakan mental dari subjek. Ini rupanya Dengan kata lain, realitas mungkin
berbeda dari realisme Hukum Progresif tidak dapat dibebaskan sama sekali oleh
yang menggunakan tindakan mental, subjek yang masih menyadari realitas
karena justru progresif itu adalah yang sudah dibebaskan itu. Realitas
“tindakan mental.” itu tidak benar, tidak salah, atau tidak
Realitas yang dibaca Satjipto Rahardjo mengandung penilaian dalam dirinya
terfokus pada realitas ber-hukum yaitu sendiri, melainkan dibahasakan, dinilai
kekacauan hukum modern. Di sini atau dipersoalkan. Dari objektif menjadi
penulis mengandaikan ia memiliki etis.
daya yang kuat untuk membaca realitas Dengan demikian, Hukum Progresif
itu dengan cermat, sehingga realitas adalah sebuah persoalan tentang realitas.
yang dibacanya itu adalah real, bukan Realitas itu adalah penilaian etis, bukan
sekedar citra mengenai realitas; bukan pembebasan. Di samping itu, gagasan
peta, melainkan wilayah. Realitas bahwa Hukum Progresif itu mengalir
tersebut meminjam istilah F. Budi atau “menjadi” agak berkontradiksi
Hardiman adalah realitas patologis, yang dengan ide pembebasan an sich. Sebab,
menghambat perealisasian diri manusia pembebasan mengandaikan gerakan
seutuhnya, seperti ketimpangan sosial, aktif membebaskan yang dikehendaki
ketidakadilan, kebohongan, penindasan, Satjipto Rahardjo, sementara realitas
kekerasan, kemiskinan dst.59 Pertama- “menjadi” atau “mengalir” menurut
tama ia mempersoalkan realitas semacam Herakleitos adalah menjadi atau
itu dan kemudian ingin dibebaskannya mengalir dari dirinya sendiri, bukan
melalui Hukum Progresif. Hanya dialirkan atau dibebaskan.60 Realitas
pertanyaannya ialah, apa maksudnya yang “tidak dapat dibebaskan itu” -dan
pembebasan dan dapatkah realitas dikatakan di atas sebagai “mengalir”
dibebaskan? (Herakleitos)- tampaknya telah dipakai
Pembebasan itu maksudnya Satjipto Rahardjo dengan “modifikasi”
adalah penghilangan dari apa yang atau rekonstruksi filosofis bagi paham
sesungguhnya dirasakan dalam Hukum Progresifnya.
kesadaran kita sebagai “tidak Pertama, Hukum Progresif yang
seharusnya”. Misalnya tidak seharusnya bersifat membebaskan mesti dibaca di
sini sebagai tidak membebaskan realitas
Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang
Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, melainkan penilaian dan tindakan
Gramedia, Jakarta dan Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 222-223.
etis terhadap realitas. Kedua, hukum
59
F. Budi Hardiman, 2003, Melampaui Positivisme
dan Modernitas, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 18-
60
J. Rehmke, 1959, Geschichte der Philosophie,
19. VMA-Verlag, Wiesbaden, hlm. 13.
46
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
47
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
48
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
49
Volume 32, Nomor 1
Juni 2016
terlihat jelas pada salah satu ide dasar Deleuze, Gilles & Felix Guattari, 2010,
Hukum Progresif sebagai “hukum What is Philosophy? Reinterpretasi
yang mengalir atau menjadi”. Hukum atas Filsafat, Sains dan Seni,
Progresif pun bernuansa postmodern Jalasutra, Yogyakarta.
ketika membongkar paham hukum Derrida, Jacques, 1982, Margins of
modern yang ditolaknya. Philosophy (translated with
additional notes by Alan Bass),
The Harvester, UK.
Daftar Pustaka
Fuller, Lon L., 1964, The Morality of
Buku
Law, Student Edition, Fawcett
A. Safitri, Myrna, dkk., (ed), 2011, Satjipto Publications, Inc, New York.
Rahardjo dan Hukum Progresif:
Grondin, Jean, 2010, Sejarah
Urgensi dan Kritik, Epistema
Hermeneutik. Dari Plato Sampai
Institute dan Huma, Jakarta.
Gadamer, Ar-Ruz Media Group,
Agger, B., 2009, Teori Sosial Kritis, Kreasi Yogyakarta.
Wacana, Yogyakarta.
Hardiman, Budi, F, 2003, Melampaui
Aristoteles. 1978, Nichomachean Ethics. Positivisme dan Modernitas,
Translated with Introduction and Kanisius, Yogyakarta.
Notes by Martin Ostwald, Bobbs-
Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan
Merill Educational Publishing,
Kekuasaan, Penerbit Kompas,
Indianapolis.
Jakarta.
Baker, Anton & Achmad Charris Zubair,
Heidegger, Martin, 1973, The End of
1990, Metodologi Penelitian
Philosophy, The University of
Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Chicago Press, Chicago.
Baummann, Jürgen, 1989, Einführung
Hidya Tjahya, Thomas, 2004, Humanisme
in die Rechtswissenschaft.
dan Skolastisisme, Kanisius,
Rechtssystem und Rechtstechnik,
Yogyakarta.
Verlag C. H. Beck, München.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum
Bedau, H. A, 1991, Civil Disobedience in
Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Focus, Routledge, London.
Yogyakarta.
Capra, F., 2009, The Tao of Physics
Kant, Immanuel, 1887, The Philosophy
(buku terjemahan Aufiya Ilhamal
of Law. An Exposition of the
Hafidz), Jalasutra, Yogyakarta.
Fundamental Principles of
Caputo, J. D. (ed), 1997, Deconstruction Jurisprudence as Science of Right,
in a Nutshell. A Conversation with T & T Clark, Edinburg.
J. Derrida, Fordham University
Kebung, K., 2011, Filsafat Ilmu
Press, New York.
Pengetahuan, Prestasi Pustaka,
Cathcart, T. & D.M. Klein, 2011, Jakarta.
Befilsafat dengan Anekdot. Plato
Lebacq, K., 1986, Six Theories of
Ngafe Bareng dengan Singa Laut,
Justice, Augsburg Publishing,
Kanisius, Yogyakarta.
Minneapolis.
50
Hyronimus Rhiti
LANDASAN FILOSOFIS HUKUM PROGRESIF
Lloyd, Dennis, 1977, The Idea of Law, Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum
Harmondsworth, Penguin Books oleh Hakim dalam Perspektif
Ltd., England. Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Lyotard, Jean-Francois, 2009, Kondisi Jakarta.
Postmodern. Suatu Laporan Snijders, A, 2004, Antropologi Filsafat,
Mengenai Pengetahuan, Selasar Manusia Paradoks dan Sejarah,
Publishing, Surabaya. Kanisius, Yogyakarta.
Merleau-Ponty, Maurice, 1967, The Sudiarja, A. dkk, (ed), 2006, Karya
Structure of Behaviour (translated Lengkap Driyarkara. Esai-Esai
by Alden L.Fisher), Beacon Press, Filsafat Pemikir yang Terlibat
Boston. Penuh dalam Perjuangan
Mitterauer, Getraud, 2009, Was ist Bangsanya, Gramedia, Jakarta dan
Textkritik?Zur Geschichte und Kanisius, Yogyakarta.
Relevanz eines Zentralbegriffs, Sugiharto, Bambang, I. (ed), 2008,
Niemeyer Verlag, Tübingen. Humanisme dan Humaniora.
Nonet, Philippe, et al, 2010, Hukum Relevansinya bagi pendidikan,
Responsif (terjemahan Raisul Jalasutra, Yogyakarta.
Muttaqien), Nusa Media, Sujoko, A., 2008, Belajar Menjadi
Bandung. Manusia. Berteologi Moral
Rahardjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, menurut Bernard Häring, CSsR,
Citra Aditya Bakti, Bandung. Kanisius, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Hukum Dalam Szilasi, Wilhelm. 1961. Philosophie
Jagad Ketertiban, UKI Press, und Naturwissenschaft, Dalp–
Jakarta. Taschenbücher, Franke Verlag,
Rahardjo, Satjipto, 2009 (I), Hukum München.
Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Valentiner, T., 1965, Immanuel Kant:
Indonesia, Genta Publishing, Grundlegung zur Metaphysik der
Yogyakarta. Sitten, Reclam, Stutgart.
Rahardjo, Satjipto, 2009 (II), Hukum Wattimena, Reza, A. A. (ed), 2011,
dan Perilaku, Penerbit Kompas, Metodologi Penelitian Filsafat,
Jakarta. UGM, Kanisius, Unika Widya
Rahardjo, Satjipto, 2010 (I), Penegakan Mandala.
Hukum Progresif, Penerbit Whitehead, A. N., 2009, Filsafat Proses
Kompas, Jakarta. (terjemahan Saut Pasaribu dari
Rahardjo, Satjipto, 2010 (II), Sosiologi Process and Reality), Kreasi
Hukum, Genta Publishing, Wacana, Yogykarta.
Yogyakarta. Wiranata, Gede A. B., et al, (ed), 2008,
Rehmke, J, 1959, Geschichte der Membedah Hukum Progresif
Philosophie, VMA-Verlag, Satjipto Rahardjo, Penerbit
Wiesbaden. Kompas, Jakarta.
51